Karena dukungan dari guru olahraga mereka, anak-anak SD itu bisa pulang lebih pagi, dan dengan demikian kick off bisa dilaksanakan 15 menit lebih awal dari kesepakatan. Namun, beberapa saat sebelumnya, Kacung dan kawan-kawan, yang datang lebih dulu di lapangan—karena sekolah mereka masuk siang—dan tengah memain-mainkan bola plastik mereka, menyambut dengan wajah setengah tak percaya ke arah di mana musuh mereka muncul. Mereka melihat ada kesepakatan yang disalahi. Atau, paling tidak, mereka menganggap kubu musuh melakukan tindakan yang tidak ada dalam kesepakatan. Coba bayangkan, anak-anak SD itu datang ke lapangan dengan membawa bola kulit besar. Atau lebih tepatnya, bola kulit yang sangat besar—jika kita memandang dari mata para bocah madrasah yang terbiasa dengan bola plastik sekepal itu.
Agak sulit disembunyikan kalau wajah bocah-bocah dengan bola plastik itu segera menjadi pucat. Bagaimanapun, benda yang dibawa musuh itu adalah salah satu penyebab yang mereka perhitungkan—selain misalnya soal tenaga atau sepatu bola—untuk tak tergesa-gesa bermain di lapangan bersama para pemain bola dewasa. Ini jelas bencana.
SD Negeri, yang berada di bawah naungan Kementerian P & K memang mendapat fasilitas olahraga yang lebih baik dibanding dengan madrasah ibtidaiyah yang di bawah Kementerian Agama, apalagi yang swasta kecil seperti sekolah samping masjid itu. Jadi, anak-anak SD itu memiliki bola kulit yang tidak dimiliki anak-anak madrasah.
Seperti orang-orang yang melihat langsung piring terbang yang selama hanya didengar, tim dengan bola plastik itu menatap takjub ke arah bola kulit yang dibawa pasukan musuh. Pandangan Isnan tersedot oleh gambar buntut burung bertuliskan tut wuri handayani yang dilingkari tulisan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di salah satu sisi bola kulit itu. Pada hari-hari biasa, gambar dan tulisan yang dapat dengan mudah ditemukan di palang nama di depan SD itu tampak biasa. Namun, pada siang itu, entah kenapa, terasa sangat mengancam. Kacung bahkan menjadi jauh lebih pendiam dari biasanya. Kombinasi hitam-putih pada bola kulit itu, yang seharusnya jadi pemandangan biasa bagi siapa pun yang mencintai sepakbola, kali ini tampak berbahaya baginya. Di pikirannya, warna belang-bentong bersahaja yang khas warna bola itu berubah menjadi loreng-loreng coklat-hitam-keemasan yang garang dari seekor macam tutul. Ia sempat berteriak kepada kubu musuh kalau itu adalah tindakan curang, namun suaranya tak kedengaran karena tubuhnya sedikit gemetar. Ia mau mengulanginya lagi, namun segera sadar kalau itu akan terdengar sebagai ungkapan ketakutan. Maka ia kemudian memilih untuk diam.
“Tak apa-apa,” bisik Isnan kepada teman-temannya, dan terutama kepada dirinya sendiri.
“Kalau berani pakai bola kulit,” seru Umar, sembari menginjak bola kulit itu dengan cara yang tampak agak mirip dengan cara Claudio Gentile, bek Italia yang membikin mati kutu Maradona itu.
Salim, dengan lagak kalem, yang tak kalah dengan gaya Mu’ad, si playmaker Perserok, melambaikan telunjuknya ke arah dadanya sendiri. Ia melakukan itu dengan tanpa suara. “Bawa sini bola kulit murahanmu itu,” pasti begitu maksudnya.
Umar menggulirkan bola yang diinjaknya.
Ketika bola yang digulirkan Umar sampai ke kakinya, Salim yang sebelumnya terlihat tenang jadi grogi juga. Maklum, untuk Salim yang berkaki pendek dan gemuk, lingkar bola itu ternyata tidak lebih rendah dari tinggi lulutnya. Ia jadi ragu, apakah kakinya akan kuat menendang bola tersebut.
“Ayo mulai!” Isnan memutus keraguannnya dan keraguan teman-temannya, meskipun kata itu ditujukan untuk kubu lawan. “Karena kami datang lebih dulu, kami di gawang utara, kalian yang selatan.”
Dua tim kemudian mengambil tempat masing-masing.
Persis saat itulah segera terlihat sebuah pemandangan ganjil. Bagaimana tidak ganjil? Di lapangan besar itu, tanpa menimbang rasa, dua tim yang penuh kesumat itu sepakat untuk bermain 6 lawan 6. Itu sungguh gila, jika mengingat para bapak dan kakak mereka saja biasa bermain 15 lawan 15 kalau sedang latihan. Keganjilan lainnya: dimulai tepat saat matahari sedang ganas-ganasnya, dilangsungkan tanpa wasit, dan dilaksanakan dalam kondisi di mana perbandingan antara ukuran badan pemain dengan bobot dan besar bola, luas lapangan, dan lebar gawang sangat-sangat timpang. Sungguh, jika saja ada sebuah kamera yang menyorot pertandingan aneh itu dan menyiarkannya ke layar televisi, niscaya penonton hanya akan melihat sehamparan lapangan hijau dan sebutir bola di tengahnya dengan dilengkapi 12 titik hitam yang agak kabur dan—karena bocah-bocah itu mulai berkeringat—sedikit mengkilat.
Singkat cerita, begitu permainan dimulai, dengan segera terlihat kalau pertandingan berjalan jauh lebih ganjil dari yang diperkirakan. Bocah-bocah itu rata-rata masih berumur 8-9 tahun. Jadi, permainan bola mereka jelas masih sangat mentah. Namun, dengan lapangan dan bola yang tidak lazim bagi mereka, mereka tampak seperti bocah-bocah umur satu setengah tahun yang baru saja melihat bola untuk pertama kalinya. Tak ada yang bisa menendang dengan baik. Umpan-umpan tak ada yang sampai. Anak-anak madrasah jelas hampir tak pernah pakai bola kulit, jadi mudah dibayangkan betapa berat permainan siang itu bagi mereka. Namun, anak-anak SD yang empunya bola ternyata juga sama. Rupanya, bola itu belum pernah mereka pakai sebelumnya. Bola itu benar-benar baru dikeluarkan dari lemari. Dan mereka membawanya ke lapangan hanya untuk gagah-gagahan.
Ketika pertandingan aneh itu memasuki menit belasan, belum ada tim yang bisa mendekati gawang lawan (mendekati saja tidak bisa, apalagi membuat peluang gol). Pasalnya, tak ada umpan yang sampai ke teman setim. Tak ada giringan yang sulit untuk dihadang. Tak ada pula yang cukup kuat untuk membuat tembakan jarak jauh. Malah, tak menunggu terlalu lama, satu-dua dari mereka mulai bersimpuh teraduh-aduh saat berusaha terlalu keras di luar kemampuan.
Kacung yang bernafsu membuat tendangan jarak jauh langsung terpincang-pincang dan akhirnya menepi untuk berteduh. Kelingkingnya, untuk kedua kalinya, terkilir hebat setelah dihantamkan ke kulit bola. Ia akhirnya memutuskan tak kembali ke tengah lapangan karena tak kuat lagi menahan sakit. Kacung tak perlu merasa malu akibat mengakhiri permainan lebih cepat, karena tak begitu lama kemudian menyusul seorang dari kubu lawan dipapah keluar lapangan. Edi mengalami sesak nafas setelah mencoba menghentikan bola lambung dengan dada. Lalu, menyusul satu lagi. Kemudian berikutnya. Dan berikutnya lagi.
Belum sampai masuk menit ke-30, setelah masing-masing tim semakin menyadari bahwa pertandingan yang sedang mereka langsungkan itu tidak menarik, sia-sia, dan berbahaya—juga karena kelelahan, kepanasan, dan kesakitan yang sama-sama mereka rasakan—kedua pihak akhirnya sepakat untuk mengakhiri pertandingan. Selain menyepakati kalau sebaiknya urusan tantang-menantang itu dilaksanakan dengan cara tandang dan kandang, kedua tim itu—kepada siapa nanti masa depan sepakbola Lerok digantungkan—secara tidak langsung sepakat untuk menunda keinginan ikut bermain di lapangan.
Khusus untuk anak-anak madrasah, setelah pertandingan siang itu, dua orang di antaranya tidak masuk sekolah dengan alasan sakit. Kacung bahkan bolos tiga hari berturut-turut setelah kelingkingnya yang bengkok harus membuatnya dibawa kakeknya ke tukang urut.
0 Response to "BEK: Sebuah Novel (Bag. 5)"
Posting Komentar