Messi Yang Biasa Saja

Oleh Darmanto Simaepa

Gol Drogba ke gawang Barca membuktikan ucapan Peter Cech sehari sebelumnya.’Messi juga manusia,’ ujar kiper Ceko itu. Yang membuktikan kata-kata Cech bukannya karena Messi gagal bersinar, tidak mampu melewati lawan, atau memberi umpan brilian. Messi tetap menjadi orang paling berpengaruh di lapangan—seperti yang ia lakukan di setiap pekan.

Peter Cech benar karena satu hal: Messi membuat satu kesalahan terpenting dalam pertandingan itu. Ia gagal menguasai bola, lalu Frank Lampard berhasil mencegatnya dan memberi umpan diagonal yang, kalau Mario Teguh penggemar bola pasti akan bilang, supppppperrrr! Di detik yang sama, Ramires, si Kenya Biru itu, mengambil momentum larinya. Serangan balik kilat membuat empat bek sejajar Barca kehilangan awalan untuk berbalik arah. Satu-satunya tembakan ke gawang dan satu-satunya peluang dari Chelsea, juga satu-satunya gol di Stamford Bridge.

Empat hari kemudian Madrid dan Barca seperti biasa—kecuali kerendahan tensinya. Madrid, dengan pendekatan anti-taktik Barca, tidak banyak menguasai bola. Sedikit tembakan ke gawang, sedikit peluang. Ronaldo, diluar aktingnya dan satu lari kencang dan penyelesaian akhir yang klinis, tidak begitu kelihatan sebelumnya.

Kesalahan umpan, bola tercegat, dan serangan balik yang mematikan. Strategi menyerang (dan satu-satunya cara yang diketahuinya) menghukum Barca. Apa yang dialami oleh Barca dalam empat hari terakhir ini mengingatkan saya akan kata-kata penganjur Catenaccio, Eanzo Bearzot, yang membawa Italia juara piala Dunia 1982. Dalam sejarah pertandingan besar, kata Bearzot, siapa yang menang bukanlah tim yang selalu membuka peluang, menyerang dan menembak ke gawang. Tim pemenang tidak selalu bermain dengan taktik dan strategi. ‘Namun, tim yang menang,’ ujarnya usai piala dunia yang dimenanginya, ‘adalah tim yang membuat paling sedikit kesalahan.’

Pelatih kontemporer yang paling obsesif dengan ucapan Bearzot barangkali adalah el-Loco Marcelo Bielsa dan Mourinho. Secara ekstrim, Bielsa mengklaim akan mengetahui siapa tim yang menang dan kalah dengan melihat jumlah umpan dalam suatu serangan yang berhasil dan jumlah salah umpan yang terjadi dalam menit-menit tertentu. El-Loco menggunakan Chile dan sekarang Bilbao sebagai laboratorium untuk mengembangkan tim pembuat gol dari peningkatan proporsi umpan tepat sasaran dan menghindari kebobolan dari serangan kebetulan dan bola-bola mati.

Morinho yang dengan pintar, mengambil rute yang berbeda. Ia memanfaatkan kesalahan lawan sebagai dasar penciptaan peluang. Kehebatannya adalah menggunakan jurus lama Kung Fu: menggunakan kekuatan lawan untuk membuat serangan balik. Ia sangat impulsif dengan cara menciptakan serangan paling cepat setelah lawan gagal menekan dan empat bek lawan kehilangan kesejajarannya. Gol-gol serangan balik di Mestalla dan di Nou Camp, terjadi lewat 3-4 sentuhan selama 6-13 detik dari kegagalan pertama pemain lawan mengumpan.

Ia lebih marah melihat blunder para pemain belakangnya dari pada mendapati strikernya membuang banyak peluang. Mungkin dia tidak terlihat kreatif, meracik taktik dengan indah, atau mengusung kemenangan dengan elegan. Namun kita harus ingat, Mou tidak pernah kalah dalam pertandingan finalnya. Kehebatan Mou, salah satunya adalah, memastikan pemainnya tidak salah umpan yang mengundang serangan balik. Saat membawa Inter dan Porto menang di final, timnya tak pernah terkena serangan mendadak lawan.

*****

Dalam pertandingan ketat dan penuh tensi: kepintaraan dan kebrilianan kadang kala dihukum oleh sebuah kesalahan kecil. Kita ingat Portugal melawan Yunani di final piala Eropa. Tim Brazil 1982 yang indah, elegan dan flamboyan gagal juara karena karena salah pengertian antara Junior dan Socrates saat menghadapi Italia. Kita ingat tragedi Maracana akibat kesalahan antisipasi Alcides dan Moacir Barbosa. Orang Indonesia mungkin lupa bahwa timnas gagal dua kali di SEA GAMES (1979 dan 1981), karena dua salah umpan Ronny Pattinasarani, pemain terbaik di Indonesia saat itu.

Tentu saja, kita bisa mengambil perspektif tersendiri terhadap pertandingan Barca vs Chelsea atau Barca vs Madrid. Anda bisa menyebut ketidakberuntungan: taktik ultra-defensif Di Matteo atau Mourinho; Drogba dan Ronaldo yang lebay seperti aktor kelas satu; spirit tim Chelsea atau Madrid yang kuat, empat bek dibawah arahan John Tery yang brilian dan trio gelandang bertahan yang disiplin di Madrid.

Namun menurut saya, momen krusialnya ada pada kesalahan Messi mengamankan bola menjelang turun minum itu dan kesalahan Tello dalam mengumpan ke arah Iniesta. Ini bukanlah kejadian kebetulan. Jika Anda ingat kekalahan Barca dari Inter di edisi Champion 2010, gol terakhir yang dicetak oleh Milito lewat serangan balik juga dimulai dari kesalahan Messi menguasai bola di sayap kanan. Sekuennya hampir sama: Messi membawa bola, Barca menyusun serangan, empat bek sejajar maju, lalu rencana gagal dan serangan balik kilat yang membunuh. Begitu juga gol kedua yang diawali oleh pelanggaran Messi terhadap Maicon. Anda juga harus ingat gol Lampard di Nou Camp yang berawal dari kesalahan umpan Ronaldinho.

Saya tidak tahu kenapa kesalahan krusial Messi kurang dibahas media. Mungkin ini karena kita punya imajinasi tersendiri terhadapnya. Selama tiga tahunan ini, Messi digambarkan nyaris seperti dewa. Media massa dan pengamat menulis tentang pemain dari sebuah planet lain dengan hidup sempurna. Statistik membeberkan berapa banyak umpan dan gol ia lesakkan ke gawang lawan. Tentu saja dia pemain terhebat saat ini. Namun, imajinasi tentang Messi sedikit mengaburkan bahwa sepakbola adalah permainan yang secara alamiah berisi cerita tentang kesalahan dan kekalahan.

Beragam analisis para pundit bisa didengarkan dan dijadikan panduan. Ada faktor kelelahan: Messi hampir memainkan semua pertandingan di semua kompetisi musim ini. Cedera rekan-rekan setimnya, Afellay, Villa, Pique, Abidal. Dan performa Xavi dan Iniesta. Ya, ini fakta. Tetapi semua tim yang bermain di banyak kompetisi mengalami hal yang sama. Tak ada tim yang bebas dari resiko cedera. Saya pikir ini alasan yang mudah dibantah.

*****

Sepakbola adalah permainan manusiawi. Tim yang paling hebat pada masanya, tidak pernah bisa menang terus menerus. The Dream Team Milan akhirnya bisa kalah oleh tim gurem Parma dan Barca runtuh oleh kesombongannya sendiri di Athena. The invicible Arsenal harus takluk—meskipun melalui pertandingan brutal di Old Traffold. Meskipun menyesakkan, ada untungnya juga Messi berbuat salah dan Barca kalah. Sepakbola akan sangat membosankan jika Barca menguasai bola dan menang terus menerus.

‘Yang indah dari olahraga,’ kata Mou suatu kali di FourFourTwo, ‘Kita bisa menguji dan diuji tim yang lebih baik dari kita.’ Jika Barca mengumpulkan seluruh medali, apa gunanya kompetisi? Seperti halnya dalam revolusi ilmiah, suatu paradigma permainan sepakbola akan selalu mengundang tantangan dari paradigma lain yang berbeda. Strategi menyerang Madrid era Di Stefano menghasilkan antitesis pertahanan grendel Helenio Herera. Total voetball Belanda yang egaliter menghasilkan permainan terpimpin der Panzer dengan der Kaizer Beckenbauer-nya. Strategi Barca era 90-an harus macet oleh taktik Milan arahan Capello.

Kekalahan Barca, sepertinya juga akan membawa kebaikan untuk Messi. Ia dicintai karena membawa kisah yang penuh perjuangan: anak brilian yang memiliki masalah hormon pertumbuhan. Mampu mengalahkan kesepian di La Masia dan tumbuh menjadi remaja yang kuat. Ia adalah contoh kisah dongeng produksi Walt Disney. Ia dicintai karena semua orang menginginkan ceritanya berakhir bahagia. Ia dicintai karena semua orang ingin menjadi dirinya. Tidak ada celah dalam hidupnya yang tidak kita sukai.

Namun untuk menjadi kuat dan terhebat dalam sejarah sepakbola—ia, sepertinya, harus mengalami kegagalan. Pemain-pemain hebat adalah figur yang membuat kesalahan. Maradona di kartu merah dalam debut piala di dunia 1982. Van Basten gagal menembak penalti terpenting dalam hidupnya di piala Eropa 1992. Prancis selalu mengingat kesalahan umpan Ginola dan Cantona saat melawan Bulgaria. Kesalahan-kesalahan itu pahit diterima, tapi ini memberi gambaran bahwa sepakbola selalu dimainkan dengan cara yang manusiawi.

Jika ingin menyaksikan Messi mengangkat piala dunia, saya pikir, dia harus lebih banyak mendapatkan kegagalan dan frustasi. Saya teringat bagaimana reaksi Zidane terhadap kebintangannya di piala dunia 1998 setelah ia kalah dalam final Champion pertamanya. Begitu pula, ketika ia gagal mendapat piala dunia di usia emasnya ketika baru saja mencetak salah satu gol terindah di final piala Champions edisi 2002. ‘Dalam sepakbola, Anda tidak mendapatkan semuanya dalam satu waktu’ kata Zidane saat berefleksi atas tindakannya terhadap Materazzi, ‘itulah kenapa saya masih menjadi l’humane’.

Gol Chelsea adalah satu momen dimana sepakbola adalah permainan manusia dan Messi bukanlah dewa...

Related Posts:

Sepakbola Wanita (di) Eropa

Oleh Darmanto Simaepa

Saat cuaca Leiden menghangat di akhir Maret, sepulang dari kuliah atau perpustakaan, saya menikmati sejenak gadis-gadis kecil berambut pirang bermain bola dengan teman laki-lakinya di jalanan dekat kos kos-an. Di akhir pekan, gadis-gadis kecil yang berbeda bermain di taman Hoffland sambil menikmati matahari musim semi—juga dengan sekumpulan bocah laki-laki. Mereka mungkin masih tidur dengan barbie atau belajar mengusap lipstik sendiri, tapi sepertinya tidak dilarang menendang si kulit bundar karena jenis kelaminnya. Di benua di mana seksisme berusaha dikikis habis, sepakbola menjanjikan buat perempuan dan terlihat demokratis.

Tetapi ternyata tidak begitu faktanya. Di Belanda, saya hanya sedikit mendengar obrolan liga wanita. Berita pesepakbola wanita jarang muncul dikoran setempat, buku panduan ekstrakurikuler universitas atau siaran televisi. Supervisor penelitian saya—suaminya pemain bola amatir—bahkan tak pernah ke stadion. Majalah-majalah sepakbola terkenal seperti Voetbal International, Kickers, French Footbal, dan World Soccer hampir semuanya berisi kisah laki-laki. Hanya sesekali situs yahoo Belanda melaporkan berita kalau ada pemain cantik yang cedera, skor-skor besar, atau saat Ajax dan tim besar di Eredevisie tidak bertanding.

Di liga terbaik Eropa—Spanyol, Inggris, Italia, Prancis—liga wanita tak populer. Meskipun tiap pekan ruang keluarga dilimpahi siaran sepakbola terbaik atau cewek-cewek terbiasa menemani pacarnya ke stadion, sepakbola tak pernah menjadi olahraga kaum wanita. Negara-negara juara dunia untuk laki-laki ini bahkan tidak ada satupun berhasil menembus semifinal piala dunia wanita. Sementara Jerman yang juara dunia dua kali masih harus meminta pemainnya memamerkan payudara dan bokong di majalah Playboy agar penonton tertarik pergi ke stadion.

‘Pemain perempuan disini sangat hebat. Sungguh sangat hebat,’ Jan van der Ploegh, mahasiswa PhD antropologi yang juga pemain sepakbola di akhir pekan, mengatakan, ‘Mereka bisa mematahkan kakimu dan membuatmu seperti pemain amatir,’. Tetapi dia juga tidak tahu mengapa liga perempuan di Belanda tidak pernah masuk televisi. Di awal April, dia menyarankanku melihat pertandingan sepakbola semi profesional di Cattweigt, sebuah desa pantai dekat Leiden yang terkenal akan kegilaan bermain sepakbola.

Aku melihatnya sebentar dari luar stadion yang berpagar kawat. Tidak ada bangku-bangku seperti stadion kecil di Millwall atau Larborough di Inggris—meskipun rumputnya sangat empuk dan halus. Penonton juga tidak terlalu banyak. Karena cuaca mendadak turun lagi, para pemain perempuan itu tidak begitu maksimal menendang bola. Meskipun begitu, saya bisa melihat sepakbola industri ‘sungguhan’: teamwork, skill, persiapan, organisasi permainan, kerja keras, wasit yang teliti. Saya yakin—meskipun ini tidak mungkin diperbandingkan—para pemain perempuan itu akan membuat Andik Vermansyah atau Boaz sama sulitnya mencetak gol ke gawang Sriwijaya atau Persib Bandung.

Jan hanya menggelengkan kepala ketika ditanya kenapa sepakbola perempuan tidak begitu berkembang dan populer di Eropa, meskipun para pemainnya bermain dengan brilian. Dia hanya menjawa dengan sebuah hipotesis. ‘Mungkin standar permainan sepakbola profesional pria jauh lebih bagus,’ ujarnya, ‘atau siaran televisi memang lebih tertarik kepada laki-laki’. Saya tidak membenarkannya. Hanya saja, saya langsung teringat di bulan Martha terpilih sebagai pemain terbaik dunia perempuan untuk kali kelima berturut-turut, FourFourTwo malah menulis puing-puing stadion dan laki-laki gila yang meninggalkan keluarga demi klubnya.

Anehnya, liga sepakbola berkembang di negara-negara yang timnas laki-lakinya kurang ditakuti. Norwegia, Kanada atau Amerika adalah negara yang menggelar kompetisi wanita secara teratur. Mereka membayar pemain seperti Martha dengan layak. Padahal di negara itu sepakbola tak menjadi olahraga rakyat. Cina selalu jadi kuda hitam dan maju ke Final ke dua edisi piala dunia. Swedia selalu lolos ke perempat final dalam beberapa edisi terakhir. Sementara Inggris, Spanyol, Belanda, yang liganya dianggap terbaik tak pernah bisa maju hingga ke Semifinal.

Di sinilah letak paradoks sepakbola. Di Kanada dan Amerika, separuh pemain profesional adalah wanita dan prestasi timnasnya dalam urusan mencetak gol mengalahkan tim prianya. Sebuah dokumen resmi FA menyebutkan (Anda bisa mengunduhnya dari FIFA.com), di Inggris, dimana para gadis muda bermimpi dipacari pesepakbola, perempuan memainkan sepakbola sebagai rekreasi. Remaja berbakat sulit menapak jenjang karir dari lapangan di taman, menuju tim sekolah menengah, universitas hingga akhirnya berlabuh di klub profesional.

Ini jelas aneh karena disisi yang lain, Chris Smalling hanya bermain di taman di Oxford sambil mencuci piring untuk sebuah hotel 2-3 tahun yang lalu dan kini secara teratur bermain di Old Trafford dan akan bermain untuk Inggris di piala Eropa. Di negeri dimana sepertiga transaksi industri sepakbola berputar, dan kisah cinderela seperti Smalling bisa terjadi di liga prianya, kompetisi wanitanya bermasalah dengan pelatih, sponsor, stadion, dan kestabilan. Bahkan, sebagian besar klub perempuan bernaung di klub ‘laki-laki’ dan menjadi parasit karena tidak menghasilkan uang sendiri.

Dalam buku Football Againts Enemy (1994), Simon Kuper menyebut sepakbola berkembang di Amerika dan Norwegia karena kecelakaan strategi pemasaran. Di Amerika, federasi sepakbola pada awalnya mendekati keluarga seperti salesman menjual produk pembasmi kecoa. Jelas ini sebuah taktik primitif yang terpaksa dipilih karena media, televisi dan universitas sudah dikuasai Basket dan American Football. Yang tidak disangka, mereka justru mendapat perempuan penuh talenta. Dengan sedikit modifikasi, asosiasi sepakbola Amerika kemudian mengarahkan ke institusi pendidikan di SMP dan SMA.

Anehnya, generasi awal yang masuk industri sepakbola berasal dari sekolah-sekolah menengah kelasatas terdidik. April Heinrich, kapten Amerika yang mengangkat piala dunia di China mengatakan, justru karena simbol kelas atas, sepakbola wanita menjadi mudah tersebar. Remaja putri berbakat di sana akan mendapat dua hal sekaligus: gelar sarjana dan kesenangan bermain bola. Industri sepakbola berjalan bukan karena iklan dan televisi tetapi terkait sistem pendidikan tinggi.

Tesis sederhana tentang hubungan antara kesetaraan jender dan hilangnya seksisme dalam relasi sosial dengan sepakbola sebagai olahraga maskulin belum sepenuhnya terbukti. Saya kira perempuan di Eropa tidak banyak mendapatkan prasangka sosial karena tidak bisa memilih jenis kelamin pada waktu lahir. Di Belanda dan, seperti di film seperti Bend it Like Beckham gadis cantik tidak selalu identik dengan catwalk atau calon pemenang miss universe.

Masalahnya barangkali ada pada struktur industrinya. Dalam logika investasi dan akumulasi, siaran sepakbola perempuan relatif jarang masuk rating tinggi. Iklan-iklan jarang menampilkan celana dalam Mia Hamm atau parfum Brigite Prinz. Saya tetap tidak mengerti kenapa para perempuan berteriak histeria dan menunggu berjam-jam untuk melihat lambaian tangan Beckham dalam beberapa detik dari kejauhan di sebuah Bandara, sementara para laki-laki tidak tertarik menonton betapa seksi dan hebatnya Martha menggocek bola atau kecantikan Abby Wambach.

Hipotesis mentah saya: dalam sepakbola, kapitalisme ikut menentukan selera konsumen dan memilih komoditi. Tidak seperti dalam prostitusi, ia lebih memilih laki-laki.

Related Posts:

Rasisme Sepakbola Kita

Oleh Darmanto Simaepa

Apa yang ada dalam gagasan penonton sepakbola mengenai rasisme mungkin adalah ucapan Luis Suarez terhadap Patrice Evra, lemparan kulit pisang penonton Osasuna kepada Carlos Kameni, atau tiruan suara monyet saat Samuel Etoo melakukan selebrasi. Dalam konteks Indonesia, rasisme yang setengah disadari dan setengah dikagumi ini, selalu saya dengar dan saksikan dari teriakan suporter Semen Padang (SP) di Stadion Agus Salim. Terutama di tribun timur, pendukung SP akan berteriak ‘Papua itam (hitam]’ kepada pemain Persipura (meski Elie Aiboy dari Papua dan Edu Wilson berkulit gelap adalah pemain kesayangan mereka). Jika klub dari Jawa yang bermain, selain umpatan 'Pantek Ang Wasit', koor ‘baruak [monyet]Jawa’ pasti akan ditujukan kepada pemain yang bersiap menendang bola.

Namun, definisi rasisme bisa jadi sangat relatif. Mengucapkan kata negro di Brazil bisa menjadi cara mengekspresikan rasa sayang. Di Indonesia, dengan 500 lebih suku bangsa dan bahasa, kita tiap hari bertemu dengan lelucon, humor, atau alegori yang mungkin membuat orang Eropa tercerahkan yang mendengarnya segera menelpon kantor pengacara HAM ternama di jalan Sudirman. Lelucon tentang tubuh, asal-usul, suku kita dapati di acara komedi, kedai kopi hingga konferensi politisi sesering kita mengusap daki.

Tentu saja saya tidak membenarkan sterotyping, prasangka berdasar etnis, atau pelabelan berdasarkan warna kulit. Namun, saya tidak akan menceritakan kisah rasisme sepakbola jenis itu!

*****

Saya ingin membahas rasisme yang jauh lebih serius. Hal ini berangkat dari keterkejutan bahwa satu-satunya pemain keturunan Tionghoa terakhir yang saya ingat adalah Hermansyah, kiper legendaris era 1980an. Mungkin data saya terbatas sehingga tidak mendeteksi para pemain keturunan Tionghoa yang bermain di ISL/LPI sekarang ini. Akan tetapi, jika kita membandingkan dengan sejarah awal tim nasional Indonesia, kita menemukan masalah serius dengan sepakbola kita terkait dengan keturunan Tionghoa.

Gejala surutnya peran pemain keturunan Tionghoa selama 3-4 dekade dari timnas berkebalikan dengan sejarah awal sepakbola ‘nasional’ di permulaan abad 20. Di Padang, Medan, Makasar, Bandung, Semarang dan Solo, dan terutama Surabaya, asosiasi sepakbola keturunan Tionghoa memainkan peranan penting dalam kompetisi nasional di akhir periode kolonial. Melalui pertunjukan sepakbola yang digelar di sela-sela pemanggungan opera Dardanella dengan kisah Sam Pek Eng Tay hingga Laila Majnun, pemilik opera dan panggung sandiwara mengorbitkan pemain-pemain ‘pribumi’. Pemain itu dibayar dengan harga yang pantas dan mendapat popularitas sebagai artis lapangan hijau.

HVNB, asosiasi sepakbola milik keturunan Tionghoa, dalam berbagai cara, berpartisipasi dalam pembentukan gagasan nasionalisme melalui PSSI tahun 1930 yang dilatari suasana pergerakan melawan Belanda. Sebaliknya, gerakan kebangsaan populis dan egaliter melanjutkan zaman bergerak memberi peluang bagi warga keturunan Tionghoa berpartisipasi dalam pemantapan gagasan nasionalisme.

Pemain-pemain bintang klub-klub elit seperti Persib Bandung, Persis Solo, Persebaya dan Persija berasal dari keturunan Tionghoa. Dalam seleksi versi PSSI yang akan diberangkatkan—namun tidak jadi karena PSSI berkonflik dengan asosiasi sepakbola Belanda, NIVU—5 pemain utama adalah keturunan Tionghoa. Mereka menjadi andalan timnas Indonesia saat mengikuti Asian Games di New Delhi (1950) dan Manila (1954). Lima pemain inti yang berhasil menahan Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne adalah keturunan Tionghoa.

Sampai paruh 1950an, pemain timnas keturunan tionghoa memakai nama aslinya. Bee Ing Hien, Tee San Liong, Bing Moheng, Taan Liong Houw, dan Han Siong bermain dengan nama lahir aslinya menjelang penyisihan piala dunia Swedia. Mereka bermain secara reguler dan nyaris tak tergantikan, baik untuk klub profesional maupun untuk tim nasional.

Entah dari mana asalnya, sebelum melawan China tahun 1957, beberapa media nasional menyangsikan nasionalisme pemain keturunan Tionghoa ini. Beberapa pemain ternama sangat terpukul akibat pertanyaan. Meski Indonesia mengalahkan China 2-0, hati mereka telah retak dan angin rasisme dalam sepakbola nasional tak pernah mereda.

Nuansa diskriminasi di masa itu meningkat pesat tanpa diketahui jawabnya hingga kini. Kita hanya merasakan gejalanya dalam surat-surat Pramoedya A. Toer yang dibukukan dalam Hoa Kiau di Indonesia (1963). Bukan kebetulan jika pada masa itu terjadi konflik etnis Dayak dan keturunan Tionghoa di Kalimantan Barat (1959) dan kerusuhan anti-Tionghoa di Bandung (1963). Bukan suatu kebetulan juga jika salah satu pemain keturunan Tionghoa terbaik Taan Liong Houw mengubah nama menjadi L. H. Tanoto setelah tahun 1958.

Periode 1960-1970an menandai lenyapnya keterlibatan pemain-pemain keturunan Tionghoa dalam sepakbola nasional. Sebagian bekas pemain hebat itu membina klub, dan sebagian menyepi ke kota kelahirannya. Seperti Beng Ing Hien, pemain legendaris yang memlih pulang ke Lasem dan berjualan kue untuk menafkahi keluarganya.

Pasti ada penjelasan sosial kenapa sepakbola kita kehilangan bakat-bakat terbaik dari penduduk keturunan Tionghoa—dan kemudian bulu tangkis mendapatkan berkahnya. Kebijakan rasial politik kolonial memberi embrio segregasi sosial berdasar garis etnis. Politik kewarganegaraan Indonesia pasca merdeka belum bisa mengintegrasikan status yang menurut saya sangat rasis, ‘non-pribumi’, ke dalam kesetaraan warga. Apalagi gejolak sosial sebelum dan sesudah kontra-revolusi 1965 menyebabkan terjadi diskriminasi rasial yang sangat serius dan dalam beberapa aspek, memiliki kualitas dengan Anti-Semit. Ada asosiasi yang sangat sublim antara ‘menjadi komunis’ dan menjadi ‘keturunan Tionghoa’.

Rasialisme ini muncul dalam konteks politik menjelang perebutan kekuasaan 1965. Pasca 1965, strategi politik baru atas nama pembangunan banyak mempengaruhi konfigurasi sosial warga keturunan Tionghoa. Pertumbuhan ekonomi dan kapitalisme semu mendomestikasi peran keturunan Tionghoa dalam bidang ekonomi. Domestikasi ini, secara tidak langsung, membatasi peran keturunan Tionghoa dalam arena publik seperti militer, partai politik, atau Universitas.

Masalahnya adalah: diskriminasi ini ditemukan gejalanya pada sepakbola, olah raga yang dipercaya sangat demokratis dan inklusif. Sebuah arus balik telah meminggirkan peranan penting pesepakbola ke garis pantai yang marjinal hanya karena mereka dikategorikan secara administratif sebagai tidak ‘pribumi’. Ini adalah suatu paradoks, karena suara yang meragukan etos nasionalisme pesepakbola tidak pernah terdengar di suatu masa menjelang merdeka, dimana semua orang berhak meleburkan diri dalam pembentukan sebuah bangsa yang berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu: Indonesia.

Ini adalah gejala anomali dalam hubungan politik dan sepakbola di sebuah negara yang secara eksplisit memberikan hak dan kewajiban yang sama dalam konstitusinya. Di belahan dunia lain, sepakbola adalah alat politik hebat untuk melawan rasisme. Zidane, Makelele, Desailly dkk. mampu membungkam politisi sayap kanan Le Pen dengan menjuarai piala dunia 1998 dan piala Eropa 2000. Kehadiran Oezil, Khedira, Cacau dan para imigran memberi dimensi baru bagi integrasi Jerman dengan pendatang pada masa yang belakangan.

Hingga kini saya belum menyaksikan lagi pemain keturunan Tionghoa bermain di timnas. Mungkin saya salah, karena pasti diantara ribuan anak muda yang mencintai sepakbola dan berhasil masuk dalam industrinya, ada diantara mereka adalah keturunan Tionghoa. Mungkin masalahnya bukan sepakbola Indonesia sendiri yang rasis. Namun, dengan melihat ketidakmampuannya mengintegrasikan kelompok sosial tertentu ke dalam permainan ini, yang direpresentasikan oleh timnas, sepakbola kita memang belum memberi kontribusi bagi politik kewarganegaraan Indonesia yang lebih inklusif. Jika timnas kita tidak bisa merepresentasikan keberagaman, apalagi yang bisa dikatakan selain bahwa, memang rasisme dalam bentuknya yang paling sederhana, masih belum bisa diatasi oleh sepakbola Indonesia.

Related Posts:

Fandi Ahmad : Kisah si Anak Emas

Oleh Nurcholis Kartiman


------
Judul: The Fandi Ahmad Story,
Penulis: Wilfred Yeo.
Tahun: 1993
Penerbit: Brit Aspen Pub, Singapore.

-----

Tahun 1996 Fandi Ahmad bertemu kembali dengan kawan lamanya, Malena Maroof, dan memintanya menjadi manajernya. Buku berjudul The Fandy Ahmad Story merupakan salah satu hasil awal dari kerjasama itu. Wilfred Yeo, seorang wartawan yang mewawancarai fandi ketika masih belia kemudian ditunjuk menjadi penulisnya.


Fandi lahir dari keluarga yang miskin. Saking miskinnya dia harus sering mendengar seruan ibunya, Semiah Ismail, agar ayahnya membeli pesawat televisi. Ahmad Wartam bukannya tidak bekerja keras. Selain menjadi pegawai rumah sakit Woodbridge Hospital, ia juga merupakan penjaga gawang tim nasional sepakbola Singapura, termasuk adiknya, Abu Sujak. Meski demikian, kedua hal tersebut tidak menolongnya dengan kehidupan ekonomi yang baik.

Meski bukan kepala keluarga yang mampu memberi sedikit kemewahan, Ahmad Wartam adalah pahlawan Fandi. Fandi masih mengingat kebanggannya berjalan di belakang sang ayah, dengan menggantungkan sepasang sepatu, menuju lapangan latihan. Sembari duduk di belakang gawang, Fandi berujar dalam hati, “Bagaimana rasanya bermain untuk tim nasional?”. Ia mulai bermain sepakbola dengan menjadi penjaga gawang, seperti ayahnya. Tubuhnya yang kecil kemudian mendorong pelatihnya di SSB Kaki Bukit mendorongnya sebagai pemain tengah.

Kesempatan untuk bermain bola tim nasional Singapura datang ketika Fandi berumur 16 tahun. Selepas membawa tim masa belianya menjuarai Lion City Cup, ia dipanggil mengikuti tur tim nasional Singapura dalam latih tanding ke Rusia. Fenomena Fandi tak berhenti di Singapura. Selepas pertandingan persahabatan melawan Boca Juniors, dimana mencetak satu gol meski kalah 2-1, Fandi diundang mengikuti uji coba selema tiga minggu di Ajax Amsterdam, diakhiri dengan tawaran kontrak 60 ribu dolar Amerika. Tapi bukan Ajax yang dipilih Fandi. Adalah Niac Mitra yang datang dengan tawaran fantastis, 75 ribu dola Amerika ditambah rumah tinggal dan tiket Surabaya-Singapura semaunya. Tawaran yang besar dan mengikuti pilihan keluarganya, Fandi bergabung dengan Niac Mitra. Di Niac, Fandi tidak sendirian, terdapat kompatriotnya di timnas Singapura, yaitu penjaga gawang David Lee. Penolakannya terhadap Ajax di kemudian hari disesali Fandi, “Saya tak pernah tahu apa jadinya jika saya bermain untuk tim sebesar mereka”.

Mempersembahkan gelar juara Galatama tahun 1982 serta satu asist dan satu gol dalam pertandingan persahabatan melawan Arsenal, menang 2-0, membuat sukacita warga Surabaya terhadap duo Singapura itu meluap-luap. Bahkan keduanya dianugerahi sebagai warga kehormatan Surabaya, bersanding dengan mantan Gubernur Jawa Timur tahun 1967-1976, Muhammad Nur. Pelarangan pemain asing di musim berikutnya, keberadaan duo Singapura hanya bertahan semusim.

Musim berikutnya Fandi dikontrak FC Groningenselama dua musim. Menjalani musim pertama yang baik, termasuk mencetak gol dan asist ke gawang Inter Milan, tetapi tidak pada musim kedua. Meski masih berharap ada tawaran dari klub Eropa, Fandi kembali ke Asia dan bermain di Malaysia Cup. Serangkaian prestasinya yang baik membuat datang tawaran dari OFI Crete, sebuah klub liga Yunani. Ketakjelasan ITC membuat Fandi membatalkan kontrak dan membayar denda 30 ribu dolar. Dalam level internasional, meski mampu bermain impresif, Fandi Ahmad tidak pernah memberikan gelar apapun untuk Singapura.

***

Terdapat paling tidak tiga hal yang coba diungkap Wilfred Yeoh,soal kesusksesan yang identik dengan kekayaan, soal sikap terhadap fans, dan pengaruh Fandi. Dalam satu bagian ditulis bagaimana Fandi mengenang penggemarnya di Surabaya, “Mereka begitu miskin, sehingga tak mampu membeli sepatu dan jersey. Saya merelakan beberapa pasang sepatu dan jersey”. Trauma Fandi, dan mungkin juga keinginan penulisnya agar pembaca melihat Fandi sebagai jutawan olahraga, terhadap masa kecil yang miskin terbaca dalam buku ini. Alih-alih menceritakan suka duka Fandi dalam perjalanan karirnya, Yeo lebih banyak mengungkap sisi kehidupan yang menyenangkan.

Sebagai pahlawan nasional, Fandi kemudian dibanding-bandingkan dengan Maradona dan Pele, tentunya bukan dari sisi sepakbola. Sebelum pertandingan persahabatan Selangor FA melawan Boca Juniors, Fandi bertemu dengan Maradona dalam lift. Tidak membuang kesempatan, Fandi meminta tanda tangan Maradona. Alih-alih memberikan tanda tangan, Maradona malah bersikap tak acuh. Dendam terhadap Maradona, membuat Fandi menuruti setiap permintaan tanda tangan, karena itulah ia lebih baik. Pele dan Fandi, melalui sepakbola dapat bersahabat dengan orang-orang besar, tetapi hanya Fandi yang berani melarang ketua klub datang di malam pertandingan.

The Fandi Ahmad Story di tulis ketika Fandi menjadi sorotan utama di Singapura, karenanya kisah yang ditulis tentang dirinya akan lebih banyak mengungkap sisi manis hidupnya. Buku ini dengan tepat menggambarkan kekhawatiran Budiawan, dalam buku biografi Suryopranoto, Anak Bangsawan Bertukar Jalan (2006) bahwa godaan terbesar dalam menulis biografi adalah terjebak pada personifikasi nilai-nilai dan tak jarang menjadikan sang tokoh sebagai manusia setengah dewa.

Related Posts: