Muamba yang Kolaps dan Suporter Indonesia yang Mati

Oleh Mahfud Ikhwan


Wajah Jermain Defoe tertutup kaos putih Spurs-nya. Ia tak sedang merayakan gol seperti biasa, tapi menyeka air matanya. Masih dengan kostum sama, di belakangnya, Luca Modric tepekur lunglai. Tangan menumpu lutut, wajahnya kosong menatap kejauhan. Karena pertandingan sedang imbang, dan Spurs baru saja menyamakan kedudukan, bisa dipastikan ia tak sedang menyesali gol keenam yang masuk ke gawangnya. Sedikit di samping, dengan seragam cadangan Bolton, Tuncay Sanli berjongkok dengan tangan menengadah—mengingatkan kepada seorang Muslim Jawa yang tahlilan di samping kuburan. Ia belum bermain sore itu, tapi yang pasti ia tak sedang berdoa agar pelatih menurunkannya.

Mereka bertiga, dengan ras, agama, dan negara-bangsa yang berbeda, detik itu, sedang memikirkan satu hal yang sama: nyawa Fabrice Muamba—teman sejawat mereka yang tengah berhenti detak jantungnya. 

Gambar yang diambil Clive Rose itu (di mana tangis Defoe, tatapan kosong Modric, dan doa Tuncay dapat ditemukan dalam satu frame), tak diragukan, adalah salah satu gambar paling menyedihkan yang pernah diambil dari arena sepakbola. Namun, bersamaan dengan itu, gambar itu juga meruapkan keindahan yang mengharukan. (“Oleh-oleh terindah dalam sepakbola,” begitu kurang lebih kalimat kolumnis Guardian, Marina Hyde, tentang peristiwa yang sama.) Gambar itu menunjukkan, apa yang selama ini dilabeli manusia sebagai hal-hal yang lebih berharga dari hidup dan mati—entah itu warna kulit, kepercayaan, identitas kebangsaan, juga sepakbola—ternyata tak pernah lebih berharga bahkan dari selembar nyawa manusia. Ya, tak lebih berharga.

Melihat bagaimana seisi White Hart Lane, dengan kostum dan syal yang berbeda, bertangisan dan bersama-sama menyanyikan nama Muamba, wasit Howard Webb yang memilih menghentikan pertandingan, juga pelatih Owen Coyle dan kapten tim Kevin Davies yang tanpa pikir panjang memilih meninggalkan lapangan dan menyertai Muamba ke rumah sakit, maka kutipan masyhur bahwa “sepakbola lebih dari urusan hidup dan mati” milik pelatih legendaris Bill Shankly, pastilah salah—paling tidak untuk kali ini. Yang benar justru yang dikatakan Jose Mourinho, pelatih yang selama ini dianggap menghalalkan segala acara untuk merengkuh juara. Saat Petr Cech tergeletak karena mengalami retak tengkorak, sementara tim medis Stamford Bridge bertindak kurang cekatan, Mou membentak: “Ini (nyawa Cech) jauh lebih penting dari sepakbola!”

***

Muamba yang muda dan malang. Tapi, bagaimanapun, dia beruntung. Ia ada di sebuah kompetisi sepakbola yang keberadabannya jadi acuan. Ia, jelas sekali, tak semalang empat suporter Persebaya.

Sepekan sebelum Muamba tumbang di rumput White Hart Lane, empat (kabar lain menyebutkan lima) suporter Persebaya ditemukan tak bernyawa di pinggir rel kereta jalur Surabaya-Bojonegoro dengan penyebab yang tak cukup jelas. Mereka terjatuh dari atap gerbong kereta, begitu polisi menyatakan. Pertandingan Persibo vs Persebaya ditandai dengan pita hitam di lengan pemain dan diawali dengan mengheningkan cipta. Sebuah Tim Pencari Fakta dikabarkan dibentuk untuk mengetahui duduk persoalan sesungguhnya.

Tepat saat para dokter di London Chest Hospital sedang berusaha keras memulihkan detak jantung Muamba, detak jantung para pengurus PSSI yang berkongres di Palangkaraya mungkin justru tengah terpacu. Mereka pasti tengah menunggu, apa yang akan ditimpakan FIFA terhadap mereka dari Zurich sana, sekaligus melirik-lirik trik-trik apalagi yang akan dilancarkan Mattalitti dan KPSI-nya dari Jakarta. Dalam keadaan begitu, tanpa maksud berburuk sangka, rasa-rasanya akan berlebihan jika berharap empat nyawa Bonek yang telah tiada akan dianggap cukup penting untuk masuk agenda sidang mereka. (KLB KPSI? “Apa urusannya dengan kami?” paling begitu kilah mereka.) Meski begitu, sebagaimana para keluarga, saya turut berharap, polisi atau institusi apapun yang menangani kasus ini, termasuk Tim Pencari Fakta bentukan PSSI (jika itu ada), paling tidak akan memberi kejelasan lebih apa sebab kematian mereka.

Tapi, saya tak akan berharap lebih dari itu. Misalnya, mengharapkan TPF (sekali lagi, jika itu benar-benar ada) memberi rekomendasi komprehensif kepada PSSI, Polri, KNKT, MA, sekaligus DPR, untuk secara bersama menyusun sistem yang mencegah seminimal mungkin jatuhnya korban di setiap pertandingan sepakbola di Indonesia—sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Taylor Report di persepakbolaan Inggris pasca-Tragedi Hillsborough yang menewaskan 96 suporter Liverpool.

Namun, sejujurnya, saya bahkan tak akan terkejut jika pada akhirnya, kematian para Bonek itu hanya akan jadi deretan angka saja, mengikuti Bonek-Bonek yang tewas mendahului mereka. Kita toh telah terbiasa menyatakan prihatin dan kemudian dengan gampang melupakannya. Ya, saya bicara tentang dua suporter yang tewas dalam final sepakbola Sea Games 2011, seorang suporter Persela yang tewas setelah disiksa beberapa waktu sebelumnya, seorang suporter Persik yang jatuh dari stadion beberapa musim lalu, 6 suporter PSIS Semarang yang terlindas kereta jelang final Liga Indonesia 1999, dan mungkin ratusan suporter lain yang mati terlupakan.

***

“Kematian di Jawa bukanlah hal yang sesedih di dunia Barat,” begitu celetuk antropolog Andre Moller dalam bukunya, Ramadan di Jawa.

Tampaknya ia benar. Dan mungkin, dengan alasan yang salah, itulah yang membedakan nasib Muamba dengan para suporter di Indonesia. 

Related Posts:

Tiga Kisah Asosiasi #3

Oleh Darmanto Simaepa

Kontrol Erzat Kapitalisme


Tahun 1980an adalah suatu fase awal dimana, meminjam istilah Yoshihara Kunio, ‘para kapitalis semu’ Indonesia lahir. Ini adalah suatu jenis perkawinan terlarang antara birokrasi negara dan sistem kapitalis. Salah satu bentuk konkritnya adalah Kepres No. 10/1980 yang memberi keistimewaan bagi pengusaha pribumi untuk mendapatkan tender-tender besar negara. Fase modernisasi industri, pertanian dan ekstraksi sumber daya alam di Indonesia di tahun 1970an akhir dan 1980an awal memberi kemungkinan perakitan investasi dan keterlibatan perusahaan besar negara ‘maju’ dengan pengusaha ‘pribumi’ melalui proteksi tangan birokrasi. Kalla grup, kelompok Bakrie, Medco, Gobel, Fadel Muhammad, Wanandi bersaudara adalah sejumput nama pengusaha pribumi yang mendapatkan konsesi penebangan kayu, kontrak pengeboran migas, dan tender dengan cara menjadi rekanan investor asing.


Pada saat yang sama sepakbola Indonesia mulai berpikir profesionalisme dengan membentuk kompetisi Galatama. Kemunculan dua hal yang, tampaknya, agak jauh ini bukanlah terisolasi dari kehidupan politik ekonomi Indonesia. Secara nyata, sebelum digulirkan, kompetisi yang dibidani salah satu keluarga Cendana ini telah membangun patronase dengan pengusaha-pengusaha ‘pribumi’ yang mulai mapan. Bahkan pada fase pendiriannya, klub-klub yang terlibat dalam kompetisi Galatama sangat tergantung dari sumbangan dan kucuran dari bapak angkatnya, yang tak lain adalah orang-orang kaya baru Indonesia. Makasar Utama dengan Kalla, Pelita Jaya dengan Bakrie, Niac Mitra dengan Agus Wenas dan koneksi pengusaha Singapura, Harimau Tapanuli dan Pardedetex dengan keluarga Pardede, Asyabab dengan grup Salim dan pengusaha Arab. Para penebang hutan seperti Prajogo Pangestu menjadi orang tua asuh bagi Barito Putra.

Galatama menyediakan tempat bagi konglomerat baru untuk mengeluarkan santunan sosial, yang sebagian besar bersumber dari konsesi ekstraksi sumber daya alam dan akuisisi tanah yang ekspansif terutama di luar Jawa. Tak ketinggalan disini, perusaahan rokok yang mendapat keuntungan dari keringanan pajak cengkeh dan tembakau pada masa monopoli perdagangan kedua komoditi itu selalu menjadi protagonista dalam penyelenggaraan kompetisi. Hubungan-hubungan paternalistik antara klub dan pengusaha ini terbentuk dalam konteks kebijakan depolitisasi orde baru. Pengusaha dan kelas menengah baru disediakan mesin ekonomi dan sepakbola bisa dijadikan alat kebijakan politik mengambang. Sejak tahun 1975, ketua dan para pengurus PSSI dikontrol oleh pejabat militer—kecuali pada fase akhir Orde Baru dimana Azwar Anas menjadi ketua dua periode. Meskipun secara eksplisit maupun implisit rejim Soeharto tidak pernah mencampuri urusan sepakbola, urusan lapangan dan balik layarnya tidak bisa lepas dari sentuhan keluarga Cendana. Suatu contoh kecil adalah keterlibatan Sigit Hardjojudanto dalam proyek Garuda I dan II serta kepemilikannya terhadap Arseto, dan posisinya sebagai wakil ketua umum PSSI sekitar 1980an.

Bagi orde baru yang terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi, sepakbola bukanlah bagian dari strategi pembangunan. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto hanya menyinggung dua kali tim nasional dalam pidato resminya. Meskipun sepakbola sangat populer, asosiasi sepakbola tidak menjadi bagian penting dalam dinamika politik nasional. Barangkali itu menjadi alasan Galatama dirasakan terlalu elitis dan tidak merepresentasikan hubungan antara suporter dengan klub. Di tahun 1980an, kompetisi Perserikatan lebih memberi daya tarik penonton dengan sentimen kedaerahan.

Galatama memberi evolusi yang rumit bagi asosiasi sepakbola Indonesia hari ini bukan karena gagalnya profesionalisme, mandeknya kompetisi teratur, atau seretnya prestasi tim nasional. Yang menjadi pokok permasalahan adalah transformasi para kapitalis semu yang muncul karena kebijakan proteksi era bonanza minyak dan penebangan hutan. Grup Bakrie yang secara konsisten mendukung proyek-proyek tim nasional (Garuda I, Garuda II, Primavera, Baretti) melalui Nirwan Dermawan sejak tahun 1980an, tumbuh menjadi konglomerasi besar di bidang televisi, media, batu bara, dan telekomunikasi. Sementara tokoh yang satu lagi, yakni keluarga Panigoro, berkembang pesat dalam bisnis energi dan pangan. Saat orde baru runtuh, keduanya mengambil pilihan yang berbeda. Bakrie lebih membina kontinyuitas politik bersama Golkar sebagai eksponen rejim orde baru dan mampu mengkonsolidasikan kekuatannya, sementara Panigoro lebih dekat ke arah oposisi dengan membangun relasi dengan PDI Perjuangan.

Pada masa turbulensi rejim Soeharto dan instabilitas politik selama beberapa waktu, dua konglomerasi ini terlibat dalam perebutan akses terhadap energi dalam tender-tender pemerintah. Sebuah cerita bawah tanah konon mengatakan, urusan pengemplangan pajak oleh Bakrie dalam kasus penambangan batu bara dan minyak di Kalimantan membuat Arifin mendukung manuver Sri Mulyani untuk menginvestigasi neraca pembayaran Bakrie ke kas negara. Sementara kelompok Golkar di Senayan menjegal manuver Panigoro untuk menjual aset salah satu anak perusahaan Medco ke Pertamina. Hubungan panas ini semakin mendidih setelah grup Medco dianggap cuci tangan dalam kasus Lapindo dengan menarik sahamnya dari konsorsium pengeboran gas di Sidoarjo dan meninggalkan Bakrie menanggung resikonya sendirian.

Diatas segalanya, sepakbola, pasca reformasi memberi ruang artikulasi baru bagi aspirasi publik. Rakyat sudah jenuh dengan gagasan reformasi yang tak kunjung sampai, sementara praktik-praktik ketidakadilan, kemiskinan dan korupsi menyebar ke ulu hati. Genealogi politik mempertemukan Nurdin Halid dan Nirwan Bakri dalam PSSI. Akan tetapi, skandal demi skandal korupsi dan degradasi kepercayaan tidak sejalan dengan meningkatnya prestasi tim nasional. Ketidakpuasan arus bawah mendorong Panigoro yang mulai menarik diri dari pentas politik praktis untuk beraksi dan memegang kendali. Konflik-konflik di bidang kekuasaan lain—perebutan energi, akses terhadap dukungan birokrasi—menjadi dasar bagi perebutan kontrol atas PSSI. Dengan dukungan yang massiv dari suporter, ambiguitas FIFA, kegatalan militer untuk campur tangan, dan oligarkhi media massa baru bernama MNC, dukungan perubahan atas rejim Nurdin dan Bakri PSSI mendapatkan momentumnya.

Seperti halnya kisah dari Padang diawal abad 20, sepakbola Indonesia di awal abad ini adalah sumber pendapatan. Siapa yang bisa mengontrol pertandingan dan mengakses lapangan, dialah yang akan menuai keuntungan. Tentu saja dalam konteks yang berbeda, definisi lapangan telah meluas bukan hanya sebuah ‘lapangan’ Plein de Rome dan pagar tertutup dari bambu. Di zaman ketika FIFA berkuasa, PSSI adalah arena strategis yang diperebutkan karena asosiasi inilah yang diakui secara resmi. Tiket masuk, penjualan merchandise, siaran televisi, kontrak dengan apparel ternama, pajak-pajak dan komisi transfer pemain adalah bidang-bidang lapangan sepakbila yang turut menentukan akses kekuasaan dan ekonomi PSSI. Ketua asosiasi sepakbola bisa menggunakannnya kekuatan simbolik sepakbola meraih dukungan politik. Ini sudah dibuktikan oleh para ketua klub di kabupaten yang hampir pasti memenangi Pilkada. Trickle down effectnya bisa lebih gila lagi. Melalui transaksi tak kasat mata dan tak bisa dilacak buktinya, asosiasi sepakbola bisa memberi lisensi, kemudahan, tender-tender kepada jaringan yang loyal dengannya.

******
Saya tidak akan menjelaskan secara detil tentang perebutan akses dan kontrol asosiasi dalam kondisi mutakhir. Menulis kisah ini dari Leiden, saya merasa Anda, pembaca semua, jauh lebih paham dan tahu secara detil perkembangan sepakbola Indonesia hari ini. Anda pasti sudah menyaksikan sehari-hari dari televisi, koran, sms, fb, blog-blog kisah gajah bertarung melawan gajah sepakbola mati ditengah-tengah. Indonesia menciptakan rekor terburuknya sepanjang sejarah. Hanya saja, setelah menelusuri arsip dan dokumen tentang kisah sepakbola di Indonesia, kita memang tidak bergerak kemana-mana. Kita hanya memindahkan Plain de Rome menjadi GBK atau Kanjuruhan dan melihat serigala NIVB, PSV, SVM, NIVU berbulu domba Galatama, ISL, Dunhill, atau LPI......

Sumber:
Colombijn. F. 2000. The Politics of Indonesia Football. Archipel, 59: 180-188.
Kunio. Y. 1990. Kapitalisme semu Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
PSSI. 1980. Kenang-kenangan P.S.S.I. 50 tahun: 19 april 1930-19 april 1980. Jakarta: PSSI.
PSSI. 2000. Mengarungi milenium baru: 70 tahun PSSI. Jakarta: PSSI.

Related Posts:

Tiga Kisah Asosiasi #2

Oleh Darmanto Simaepa

Paris 1938: Kontrol Lapangan, Kontrol Perjuangan

Pada fase perkembangan awalnya di Indonesia di awal abad 20, sepakbola belum memiliki orientasi nasionalisme. Meskipun cepat menjadi olahraga rakyat, sepakbola masih dimainkan melalui garis segregasi etnis. Orang-orang Belanda dan Kaukasoid lain memainkan sepakbola bersama kelompoknya sendiri. Sepakbola dipertandingkan sebagai sarana nostalgis untuk memproyeksikan kehidupan Hindia Belanda dengan orientasi Eropa. Misalnya, sepakbola memiliki makna yang penting di hari peringatan ulang tahun ratu Belanda atau waktu sela dinas militer. Orientasi nostalgis itu ditandai pada saat pembukaan kompetisi dimana, para socialite (terutama perempuan)yang baru datang dari Belanda diundang untuk melakukan tendangan pembukaan.

Sementara, penduduk keturunan Tionghoa bersemangat mempertandingkan sepakbola sebagai strategi ekonomi disela-sela pertunjukan tonil keliling yang mereka miliki. Dua diantara yang terkenal adalah Oreon Opera miss Riboet dan Toneel Gezelschap Dardanella yang terkenal dikalangan rakyat karena klub sepakbolanya dibandingkan sandiwaranya. Sebagai hal yang baru, penduduk pribumi memainkannya sebagai sarana mencari uang di klub-klub Tionghoa. Namun sebentar saja, akibat dari kandungan intrinsiknya sebagai olahraga demokratis dan populer, sepakbola menjebol sekat-sekat rasial. Di bentuk awal 1915an, klub-klub sepakbola keturunan Tionghoa, yang dihimpun dalam HNVB (Hua Nan Voetbalbond) yang ada di Semarang, Surabaya, Solo dan Bandung merupakan cikal bakal klub-klub sepakbola modern di Indonesia. Klub-klub ini sudah memiliki orientasi kosmopolit dan profesional melalui pertandingan reguler antar kota.

Para pemain pribumi bermain bersama klub-klub Tionghoa sebagai pemain bayaran dan sesekali juga dibayar klub-klub Eropa pada pertandingan penting. Beberapa yang bagus dibayar untuk bermain dalam uji coba klub Belanda dengan klub luar negeri. Sepakbola menjadi kian populer karena disebarluaskan melalui pertunjukan oleh opera keliling. Hal ini memberi kesempatan pertaruhan judi yang massif di kota-kota kecil yang disinggahi pertunjukan sirkus dan sandiwara. Barangkali hanya dilapangan sepakbolalah para penjudi Belanda, China, Pribumi dan Arab bertaruh bersama dan membentuk relasi sosial yang tidak mungkin ditemukan dalam arena sosial lainnya.

Politik segregasi sosial menemukan ambivalensinya ketika berhadapan dengan sepakbola. Klub sepakbola memberi kesempatan untuk mengartikulasikan perasaan tertekan sebagai warga negara kelas tiga. Usaha-usaha menggunakan sepakbola sebagai kendaraan untuk meraih kesetaraan sebagai warga negara di mulai di Solo pada tahun 1922 meskipun belum menemukan gemanya hingga enam tahun berselang. Menjelang mendidihnya perasaan kebangsaan, yang kulminasinya ada pada peristiwa Sumpah Pemuda, perkumpulan anak-anak muda dan cendekia alias Jong-Jong di kota-kota besar di Jawa dan Sumatra mulai menggunakan sepakbola sebagai sarana integrasi dan perjuangan kemerdekaan.

Artikulasi Indonesia sebagai kesatuan secara eksplisit terlihat dalam penggunaan kata Indonesia dalam kepanjangan PSSI. Diantara lautan pergerakan partai-partai, Jong-Jong, serikat-serikat dan perkumpulan, asosiasi sepakbola adalah organisasi olahraga paling awal yang merujuk pada kemerdekaan dan perjuangan Indonesia merdeka sebagai tujuannya. Barangkali lintasan sejarah yang membentuknya ini memiliki korelasi dengan arus-arus nasionalisme dalam bentuknya yang lain sepanjang sejarah pertandingan tim nasional Indonesia.

Mukadimah Anggaran Dasar PSSI 1930 mencantumkan ‘..kelahiran PSSI..sebagai akibat tuntutan pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan. Konon, kelahiran PSSI berada dalam satu kontinum Sumpah Pemuda dalam suatu fase zaman bergerak pembentukan republik. Kongres pertama yang dilakukan di Yogyakarta 19 April 1930 berada dalam pengawasan intilejen Belanda. Pengurus Voetbal Bond dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Surakarta, Magelang dll. dalam kongres itu, yang merupakan elit terdidik dan aktivis gerakan nasional secara eksplisit menggunakan sepakbola sebagai salah satu sarana pergerakan.

Kampanye sepakbola sebagai alat perjuangan bangsa termanifestasikan didalam kompetisi nasional. Pada awal 1930an, klub yang bertanding di liga yang diselenggarakan NIVB hanyalah klub Belanda dan klub yang bernaung di asosiasi sepakbola keturunan Tionghoa (HNVB). Akan tetapi para pemain HNVB kebanyakan adalah pemuda-pemuda pribumi yang mencari nafkah. Dalam pertandingan yang bersejarah dalam kompetisi Voetbalbond Batavia en Omstreken 1930, klub asosiasi Tionghoa yang secara penuh diperkuat pemain pribumi mengalahkan klub yang dihuni pemain Eropa, 5-2. Kemenangan ini menguatkan keyakinan PSSI untuk mengkonsolidasikan diri dan menggunakan sepakbola sebagai sarana politik kebudayaan nasional.

Momen lain yang menandai bangkitnya perlawanan terhadap dominasi NIVB adalah pertandingan tandingan di Tambak Sari Surabaya. Pada 13 Mei 1932, NIVB telah menjadwalkan pembukaan kompetisi di lapangan Thor. Namun SIVB, Cabang Surabaya dari HNVB, menggelar pertandingan pribumi vs Arab-Tionghoa. Pertandingan ini dihadiri tokoh-tokoh pemuda dan pergerakan di Surabaya dan sekitarnya dan dipimpin wasit perempuan Ny. Sadjono yang mengenakan sarung dan kebaya secara lengkap. NIVB kehilangan pemasukan 20,000 gulden.

Pengurus NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Unie) berusaha menghalangi gerakan PSSI. Pada tahun 1935, NIVB melarang klubnya bermain dengan para ‘inlander’ dalam pertandingan di Solo, akan tetapi usaha ini tidak berhasil karena para pemain ‘inlanders’ tetap bisa bermain dengan klub diluar asosiasi NIVB. Para pemain-pemain yang berkompetisi dibawah NIVB dilarang bermain dibawah PSSI. Pemain-pemain terbaik PSSI direkrut NIVB dan diberi bayaran tinggi. Lapangan-lapangan dikuasai NIVB dan memaksa PSSI bermain di sawah-sawah yang diberakan di musim kemarau. Cara ini efektif karena klub-klub PSSI harus bermain di desa-desa dimana penonton tidak punya uang, dan hanya menyisakan pemain medioker yang bermain dilapangan buruk. Selain itu, pendapatan PSSI merosot drastis.

Di dalam NIVB sendiri terjadi keretakan bagaimana mengatasi gerakan PSSI sehingga mereka pecah menjadi NIVU dan NIVB. NIVU berisi orang-orang yang kooperatif dengan PSSI. Para pemain di klub-klub yang berasosiasi dengan NIVU adalah pribumi yang bekerja di perusahaan Belanda atau China. Dapat dimengerti kalau NIVU lebih kooperatif karena tanpa kompetisi dengan PSSI, mereka akan kehilangan banyak pemain andalan. Mereka membuat gentlement agreement dengan PSSI tahun 1937 dengan membolehkan klub-klub anggota PSSI bermain dengan tim-tim asing yang diundang NIVU.

Di bulan Oktober 1937, NIVU mengundang tim kenamaan dari China, Nan Hwa untuk eksebisi di beberapa kota di Jawa. Tim-tim dibawah NIVU tidak mampu mengalahkan Nan Hwa, dan justru para pemain dadakan yang diambil dari klub-klub PSSI mampu menahannya 2-2. Momen keberhasilan ini terjadi pada saat kampanye piala dunia Prancis 1938 tersebar melalui kehadiran serdadu sekutu di Indonesia yang mulai mengantisipasi invasi Jepang menjelang piala dunia ke 2. Keberhasilan menahan Nan Hwa menyemangati para pemain pribumi. PSSI, terdorong oleh semangat nasionalisme, hendak membuat kampanye politik nasionalisme melalui sepakbola di tingkat dunia.

Dengan argumen bahwa tim dari klub dibawah asosiasinya mampu menahan Nan Hwa, PSSI bersikeras tim Hindia Belanda yang dikirim ke Paris adalah pemain asosiasinya. Argumentasi PSSI diperkuat dengan lampiran surat bukti laporan pertandingan sejak tahn 1933 dimana pemain-pemain pribumi lebih sering memenangkan pertandingan ketika berhadapan dengan klub-klub anggota asosiasi NIVB maupun NIVU. Sikap PSSI ini di tengarai sebagai bentuk gejala awal nasionalisme dalam sepakbola. PSSI tidak mau diatur oleh aturan NIVU. Pada saat yang sama PSSI mendorong terbentuknya asosiasi olahraga lain untuk bertanding di Olimpiade 1936 dengan menggunakan bendera Indonesia. Selain ISI (Ikatan Sport Indonesia)—yang kelak menjadi KONI, PSSI adalah organisasi olahraga yang menggunakan kata Indonesia dalam setiap kegiatannya.

NIVU tidak setuju dan menawarkan seleksi bersama karena NIVU-lah yang menjadi asosiasi resmi FIFA di Hindia Belanda. NIVU akan menyelenggarakan pertandingan segitiga antara dua tim NIVU dan pemain pilihan PSSI. Argumentasi NIVU cukup kuat dan PSSI tidak bisa bertanding dibawah bendera Belanda. Karena PSSI tidak mau bernegosiasi, pemain-pemain dari NIVU-lah (dan bukan PSSI) dikirim ke Prancis. Pemain-pemain NIVU ini konon bukan pemain sepakbola terbaik yang ada pada zaman itu. Sebagian besar mereka juga pribumi namun kebanyakan adalah pegawai, pekerja kongsi dagang Belanda atau serdadu KNIL. Tim ini langsung ke putaran final tanpa kualifikasi. Jepang dan Amerika menarik pulang timnya dan bersiap-siap menghadapi perang. Dalam satu-satunya pertandingan yang pernah dimainkannya, NIVU kalah 6-0 dari Hungaria.

Sumber:
Colombijn. F. 2001. The Politics of Indonesia Football. Archipel, 59: 180-182.
Palupi. S. A. 2000. Sepakbola di Jawa, 1920-1940. Lembaran Sejarah: 89-98.
PSSI. PSSI 25 tahun 1930-1955. Jakarta: Visser, 1955.
PSSI. PSSI 30 tahun 1930-1960. Jakarta: PSSI, 1960.

Related Posts:

Tiga Kisah Asosiasi #1

Oleh Darmanto Simaepa

Padang: Kontrol Lapangan, Kontrol Pendapatan

Klub sepakbola pertama, Padangsche Voetbal Club, dibentuk orang Belanda tahun 1901. Tak lama kemudian, sepakbola menjadi permainan populer. Dalam 3 tahun, enam tim baru lahir. Kala itu permainan menggunakan rago, bola yang lebih kecil dan ringan--kadang campuran rotan dan plastik. Politik segregasi kewarganegaraan kolonial membuat klub sepakbola dibentuk menurut garis ras Belanda (Eropa), China (Non-Eropa), dan Minangkabau (Pribumi). Meskipun demikian, mereka bisa bermain bersama di lapangan yang sama. Tahun 1905, tujuh klub membentuk WSVB (West Sumatra Voetbal Bond), asosiasi sepakbola yang diberi wewenang menggelar kompetisi lokal di Plein van Rome—sekarang Lapangan Imam Bonjol di dekat pasar Raya Padang.

WSVB membuat pagar bambu dan menarik uang masuk bagi penonton. Mereka membayar penjaga untuk menghalau penonton yang nekat menerobos. Kompetisi ini berhenti tahun 1915 karena dua hal. Pemain-pemain klub adalah serdadu, anak kapal, pegawai kolonial, dan buruh perusahaan yang sering berpindah tugas. Selain itu, kekerasan sering muncul di pertandingan big match. Setelah vakum beberapa tahun, kompetisi diselenggarakan kembali oleh WSVB pada tahun 1921. Hanya saja pengurus WSVB yang baru semua orang Belanda. WSVB menyediakan kereta bagi penonton dari luar kereta untuk menghindari kerusuhan. Mereka juga menarik uang karcis penonton berdasar kategori etnis: 10 sen untuk pribumi, 20 sen untuk non-native, dan 50 sen untuk kursi yang hampir semuanya diduduki orang Belanda. WSVB memonopoli uang dan pengaturan pertandingan dan ini membuat klub pribumi memilih keluar dan membentuk asosiasi sepakbola sendiri SVM (Sportvereeniging Minangkabau). Surat kabar Sumatra Bode mengecam tindakan ini dan menyatakan dua asosiasi sepakbola dalam satu kota sangat menggelikan.

Untuk menggelar kompetisi dan meraih uang dari sepakbola, tiap asosiasi harus punya akses terhadap lapangan. SVM menyewa dua lapangan yang berada di bawah kontrol walikota. Selain dari gedung bioskop, penyewaan lapangan adalah pendapatan terbanyak dari pajak untuk Walikota. Akan tetapi, para pemain jarang dibayar dan mereka mengambil semua keuntungan dari sistem monopoli penyelenggaraan pertandingan. Beberapa klub lokal marah terhadap asosiasi dan memisahkan diri membentuk PSV (Padang Sport Vereniging). PSV menyelenggarakan pertandingan di lapangan yang lebih murah meskipun tidak begitu bagus. Hal ini meningkatkan ketegangan antar asosiasi. Jika klub-klub PSV bermain melawan tim dari Jawa, SVM juga mengundang tim Jawa lain untuk bertanding di jam yang sama dengan harga karcis yang lebih murah. Salah satu asosiasi mengundang tim dari Singapura dan Penang. Meskipun harga karcis masuk mahal, pertandingan dihadiri oleh ribuan penonton. Rivalitas antar asosiasi ini berlangsung selama 15 tahun. Setelah sempat akur beberapa saat dibawah PSV tahun 1935, beberapa klub menyatakan keluar dan bertanding diluar urusan PSV.

Kebuntuan ini bisa dipecahkan setelah pengurus NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Unie), perserikatan sepakbola Indis, Th. van der Lee, merestui pendirian VPO (Voetbalbond Padang Omstreken), asosiasi sepakbola yang resmi berafiliasi dengan NIVU. Van der Lee memiliki jaringan internasional dengan FIFA dan sebagai pengurus NIVU, dia bisa menggunakan hirarki otoritas nasional dan global untuk mengontrol asosiasi sepakbila lokal. Sejak saat itu, NIVU mengontrol uang karcis, pajak pertandingan, dan uang dari bandar judi.

Sumber:
Colombijn. F. 2000. The Politics of Indonesia Football. Archipel, 59: 175-179.
PSSI. PSSI 25 tahun 1930-1955. Jakarta: Visser, 1955.
PSSI. PSSI 30 tahun 1930-1960, Jakarta: PSSI, 1960.

Related Posts:

Sepakbola Tanpa Politik? Omong Kosong!

Oleh Mahfud Ikhwan


Wajah Alex Nurdin, Gubernur Sumatera Selatan, kandidat gubernur DKI Jakarta, sekaligus bos Sriwijaya FC, muncul di slot iklan di sela-sela siaran langsung Indonesia Super League (ISL) di stasiun televisi ANTV. Sesaat sebelum dilangsungkannya pertandingan Sriwijaya FC vs Mitra Kukar, Kamis (08/03), ia menyapa pemirsa dan mengucapkan selamat menonton pertandingan yang akan berlangsung.

Pantas atau tidak hal yang seperti itu, saya tak tahu. Saya bukan anggota Komisi Penyiaran, bukan pula anggota Komnas Anak yang punya kapasitas untuk menganggap munculnya wajah politisi (yang sedang punya hajat politik besar) di sebuah acara olahraga, misalnya, berbahaya bagi pendidikan mental anak-anak. Banyak hal ganjil yang tiap saat hilir-mudik di layar televisi kita. Lelaki yang dibayar mahal karena sifat keperempuanannya, perempuan yang mendalangi tindak kejahatan yang biasanya didominasi laki-laki, pengadilan yang banci, pegawai yang bersaldo CEO, hingga pemimpin yang bermental jelata. Maka, jika ada satu keganjilan lagi, sebenarnya, apa sih bedanya?

Saya memang tak nyaman melihat pemandangan itu—setidak nyaman saat melihat wajah Olga Syahputra muncul di hampir semua saluran pada saat bersamaan. Tapi, keganjilan-keganjilan yang kita hadapi tiap hari (baik di dunia nyata, dan terutama di televisi) membaut saya sudah cukup belajar: hanya buang-buang energi berteriak mengutuknya. Televisi cuma memberi dua pilihan: matikan dan pergi, atau terus tonton dan anggap itu keganjilan yang normal belaka.

Sore itu, saya lebih memilih yang kedua. Itu karena saya sedang sangat merindukan rasa cinta kepada sepakbola Indonesia. Dan selagi putus asa dengan penampilan timnas, saya merasa, hampir satu-satunya ekspresi cinta itu—paling tidak pada beberapa pekan ini—adalah dengan menonton Sriwijaya FC, pemimpin klasemen kompetisi sepakbola yang dilarang PSSI.

Boleh sepakat, boleh tidak, pada tim itu saya menemukan banyak hal yang saya idamkan dari timnas kita. Saya temukan bayangan Fachry Husaini, playmaker Indonesia terhebat yang pernah saya saksikan, pada diri Ponaryo Astaman. Firman Utina memperlihatkan hal terbaik yang dimilikinya yang tak muncul saat ia bermain untuk timnas. Aji Santoso di kanan dan Rully Nere di kiri terasa bereinkarnasi masing-masing pada diri M. Ridwan dan Siswanto. Dan, ah, alangkah indahnya jika Kurniawan masih sebugar Keith Kayamba Gumbs!

Saya berhalusinasi? Bisa jadi. Tapi, tampaknya, itulah satu-satunya cara membebaskan diri dari sakitnya hati menghadapi runyamnya sepakbola Indonesia. Dan untuk itu, saya harus menebusnya dengan mengabaikan beberapa hal: seragam kuning mereka yang menjemukan; kalimat-kalimat sumbang presenter dan komentator ANTV; wasit-wasit goblog dan pemain yang tak pernah belajar; hubungan erat kompetisi ini dengan rejim lama sepakbola Indonesia yang memang patut dibenci; dan—ya, tentunya—dengan munculnya wajah Alex Nurdin menjelang kick-off itu.

Saya tak nyaman dengan munculnya wajah politisi di siaran langsung sepakbola, karena pada dasarnya semua politisi kita menyebalkan. Tapi, saya tak akan bergabung dengan para utopis yang berkoar ingin membebaskan sepakbola dari politik.

***

Kebanyakan pemuja sepakbola akan lebih suka mengatakan sepakbola adalah sebuah ekpresi budaya. Hampir serupa dengan teater dan opera yang muncul dan berkembang di antara banyaknya waktu luang para bangsawan Eropa, sepakbola modern lahir dan berkembang di sela-sela waktu senggang kaum pekerja di Britania Raya.

Kita pasti senang dengan fakta tersebut. Sayangnya, itu hanya separoh kebenaran saja. Sebab, jauh sebelum itu, ketika sepakbola masih pada bentuk purbanya, ia hampir selalu menjadi sebuah ekspresi politik, dan karena itu—seperti ditulis Richard Giulianotti—sering mendapat respon politis. Sepakbola purba, kembali merujuk Giulianotti, dilarang oleh penguasa Cina abad ke-14 karena dianggap kegiatan yang membahayakan kaum penguasa. Di abad yang sama, Edward II dari Inggris melarang permainan sejenis karena dianggap menggangu waktu berlatih panahan.

Sepakbola modern jelas berkembang bersama dengan hal-hal politis yang dikandungnya. Kepanjangan FIFA yang setengah Prancis setengah Inggris, pertarungan antara dominasi Eropa melawan dunia ketiga saat pemilihan Presiden FIFA tahun 1974, penolakan Indonesia melawan Israel di kualifikasi Piala Dunia  1958, gelar pertama Argentina dan tegaknya rezim Jenderal Videla, polarisasi ideologi antarsuporter tim-tim Italia di selatan dan utara, dan perseteruan segitiga antara Castilla-Catalonia-Basque di Spanyol adalah beberapa contoh saja.

Ya, terlalu banyak politik dalam sepakbola, sehingga ekspresi-ekspresi apolitis dalam sepakbola malah sering menjadi sangat politis. Misalnya, tropi Piala Dunia 1998 dan Euro 2000 yang diraih tim Prancis multietnis adalah sebuah godam politik yang secara telak memukul balik propaganda ultranasionalis politisi rasis Jean-Marie Le Pen. Sedikit mundur ke belakangan, penolakan Stanley Rous, Presiden FIFA 1961-1974, terhadap politik—dengan mengatakan bahwa politik sebaiknya diurus PBB dan bukannya FIFA—secara ironis justru menjadi representasi hegemoni politik Eropa atas Amerika Latin dan Asia-Afrika.

***

Sepakbola adalah wahana pengumpul massa yang sangat efektif. (Dalam kasus Indonesia, hal itu tak jauh beda dengan panggung dangdut dan tabligh akbar.) Itulah yang selalu mengundang politik, sebagaimana juga modal, untuk masuk dan ambil peran. Politik dalam sepakbola—sama halnya dengan kapital—jelas memuakkan, bahkan menjijikkan.  Tapi, apa mau dikata, sepakbola lahir dan berkembang bersamanya. Politik bagi sepakbola seperti codet di wajah, yang hanya bisa disamarkan dengan bedak atau ditutup topi, namun tak akan pernah bisa hilang sama sekali. Sepakbola mesti hidup dengan itu.

Karena itu, membayangkan sepakbola tanpa politik adalah utopia. Dan jika seseorang datang menawarkan hal itu, apalagi dengan wajah sok suci, sudah pasti ia menebar omong kosong; ia sudah berbohong bahkan sejak pertama mengatakannya. Sebab, satu-satunya cara untuk memisahkan sepakbola dari politik adalah dengan meniadakannya.

Di Indonesia, dimana demokrasinya masih diukur dari sebesar apa kerumunan yang bisa dikumpulkan, politik tak akan pernah menyembunyikan ketertarikannya dengan sepakbola. Jadi, berhentilah berharap enyahnya para politisi dari sepakbola Indonesia. Karena—percayalah!—akan ada politisi lainnya, yang bisa jadi lebih busuk, yang akan masuk.

Satu-satunya hal yang bisa kita harapkan: sepakbola tak dimasuki oleh politik berkelas teri.

Sebagai seorang yang kerap menganggap sepakbola tak ubahnya musik atau sastra, tak berlebihan jika saya berharap politik yang melekati sepakbola bukan politiknya seorang calon bupati; bukan politiknya seorang loyalis partai; bukan politiknya seorang jenderal yang hendak berhenti; atau bahkan politiknya seorang presiden yang tengah turun popularitasnya. Politik yang masuk ke sepakbola semestinya adalah politik elegan berskup negara-bangsa. Misalnya, dengan memasukkan olahraga (khususnya sepakbola) dalam kerangka besar strategi politik-kebudayaan.

Saya tak bisa menoleh ke contoh lain selain dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan tahun 1995. Seperti yang digambarkan sutradara Clint Eastwood dalam film Invictus, saat itu, Nelson Mandela “mempolitisasi” tim nasional Rugby Afrika Selatan yang sedang mengikuti Piala Dunia Rugby untuk jadi wahana rekonsiliasi nasional. Saya kira, untuk politik dalam rupa seperti yang ditunjukkan Mandela, sepakbola tak punya alasan untuk menolaknya.

Ah, tapi apakah saya tidak sedang menawarkan utopia dalam bentuk yang berbeda? Semoga saja tidak.

Related Posts:

Indonesia Datang dan Pergi, di Warung Kopi

Oleh Mahfud Ikhwan



"Komunitas yang dibayangkan jutaan orang terlihat lebih nyata pada sebuah tim yang terdiri atas 11 orang."

-- Eric Hobsbawm, sejarawan --


Warung Kopi 1

Sedang asyik nongkrong di meja panjang warung kopi Blandongan, seorang teman tiba-tiba memutus obrolan dan bertanya, “Bahrain-Indonesia berapa-berapa?”

Saya terkejut dengan pertanyaan itu. Bukan karena itu pertanyaan yang tiba-tiba dan salah saat, tapi karena saya bahkan tak ingat kalau timnas Indonesia malam itu bertanding. Namun yang lebih mengejutkan adalah reaksi saya atas pertanyaan itu. “Oh iya, ya,” jawab saya sembari merogoh ponsel. Saya tulis pertanyaan kepada seorang teman yang pasti sedang menonton pertandingan. “4-0,” balasnya. Tanpa ada getar emosional apa pun, tak sebagaimana biasa, kami teruskan obrolan yang terpenggal.

Saya terkejut sebab, sepanjang yang bisa saya ingat, tak pernah saya seabai malam itu berkait dengan pertandingan timnas. Hendak pulang kampung, sejak siang saya merengek kepada teman-teman serumah untuk ngopi. Kental kopi Blandongan, seperti biasa, pasti akan jadi bekal yang baik untuk balik ke Jawa Timur selama satu-dua pekan—seperti shalat untuk bekal akhirat. Karena saya biasa pulang dengan bus malam, satu-satunya hal yang terpikirkan berkait sepakbola adalah saya mungkin akan melewatkan partai Inggris-Belanda. Bahrain-Indonesia sama sekali tak mampir di kepala.

Saya pernah menangis saat tak bisa nonton siaran langsung Yaman vs Indonesia dalam prakualifikasi Piala Dunia 1998 karena tak seorang pun di kampung menyalakan televisinya pada sore itu. Saya pernah pulang malam-malam dengan telanjang dada dari rumah tetangga karena jijik dengan kaos warna biru (yang kebetulan saya pakai) usai Indonesia dikalahkan Thailand di final Sea Games 1997. Saya juga pernah dengan tenang menjalani hukuman tingkat berat di pesantren hanya agar bisa menonton Indonesia vs Vietnam di Piala Tiger 1998. Dan, ya, seperti yang pernah saya kisahkan, saya berhari-hari tak bisa apa-apa usai Indonesia kalah oleh Malaysia di final Sea Games 2011.

Dan malam itu, saat sepakbola Indonesia mengukir rekor terburuknya, anehnya, perasaan menggelora yang biasa terasa setiap timnas bertanding itu hilang entah ke mana.

Saya masih sempat melihat gol ke-10 Bahrain saat balik dari warung kopi untuk mulai berkemas. Saya tak ingat betul siapa pencetak golnya. (Ah, bahkan saya sama sekali lupa siapa penjaga gawang Indonesia.) Tapi, saya ingat betul suara masygul dan hampir menggeram dari Tommy Welly dan Tris Irawan sesaat setelah gol itu terjadi. “Saya tak ingat betul kapan kita kalah sebanyak ini, Bung,” kata Bung Towel. “Tanpa ragu saya katakan,” timpal Bung Tris dengan suara tercekat, “ini memalukan!”

Sama dengan Bung Towel, saya tak ingat Indonesia pernah kalah sebanyak itu—karena Indonesia memang belum pernah kalah sebanyak itu. Tapi, berbeda dengan Bung Tris, saya sama sekali tak malu. Melihat permainannya pada tiga menit terakhir, tim itu jelas bermain bobrok dan tak patut dibela. Tapi lebih dari itu, saya merasa, tim itu sama sekali tak ada hubungannya dengan saya. Dengan ke-Indonesia-an saya! Ada garuda di dada kanan kostum mereka. Tapi saya merasa mereka bermain untuk beberapa orang saja. Dan, jelas, saya tak termasuk di dalamnya.

Karena itu, di hati saya, tak tebersit sehelai pun rasa sangsai. Berangkat hanya beberapa saat setelah pertandingan “bersejarah” itu usai, saya pulang kampung dengan dada yang lega. Pikiran saya bening, seperti tanpa kaca.


Warung Kopi 2

Seorang teman menulis di dinding facebook kalau ia menunggu ulasan saya tentang kekalahan Indonesia. Saya sama sekali tak menanggapi pesan itu, apalagi dengan tergesa menyalakan komputer dan menulis sebuah ratapan berjudul “Narasi Kekalahan untuk yang Kesekian”. Tak ada denyar di dada yang perlu dituangkan. Tak ada “demam” yang bisa dipakai untuk memulai kalimat pertama. Pikiran saya lebih tersita dengan perkara sepele tapi aneh yang terjadi di rumah. Seorang tukang kayu yang sudah tak laku, tanpa permisi, memasangkan jendela baru di rumah saya, dan kemudian membuat keluarga kami tiba-tiba berhutang. Ini baru benar-benar Indonesia...

Sampai kemudian, di warung kopi Mbok Juni, saya melihat pemandangan tak biasa: seorang bocah tanggung memakai kostum kuning-hitam milik timnas Malaysia.

“Ah, itu sih banyak, Cak,” terang seorang teman soal kostum Malaysia itu. Dan teman saya benar. Sebab, tak lama kemudian, saya melihat bocah lain memakai kostum yang sama.

Mengingat darimana bapak-bapak mereka mendapatkan sumber nafkahnya, tentu saja saya punya segudang permakluman untuk bocah-bocah itu. Namun itu tak menghentikan saya mengasosiasikan seragam kuning-hitam itu dengan berbagai memori buruk: gol-gol Malaysia yang menyakitkan di final Sea Games lalu, judul-judul berita online mereka yang angkuh, Munafid yang dikencingi dan Gus Sodik yang dipukuli di Bukit Djalil, sampul novel saya yang buruk (dan kuning!). Dan, lebih dari semua, kostum Malaysia yang dipakai bocah-bocah itu secara menyakitkan melontarkan saya kepada ingata akan ke-Indonesia-an saya yang pergi entah ke mana.

Saya tak bisa seperti seorang teman yang menegaskan ke-Indonesia-annya dengan merokok, apalagi dengan ikut kompetisi cosplay antarnegara. Hampir tak tersisa untuk yang lainnya, kepada sepakbolalah secuil ke-Indonesia-an masih saya tautkan. Dan ketika tautan itu tercerabut, hampir pasti saya sedang tak memiliki hubungan apa-apa dengan Indonesia. Meminjam istilah Emile Durkheim, saya tengah mengalami anomi—paling tidak dalam konteks negara-bangsa. Durkheim menyebut, kondisi anomi adalah penyebab utama seseorang bunuh diri. Saya tak akan bunuh diri karena kehilangan ke-Indonesia-an. Tapi, yang pasti, itu sungguh tak saya kehendaki.

Maka, sepanjang sisa hari itu, saya merenungkan ke-Indonesia-an saya yang lepas tautan. Saya rindu merasakannya. Itu membuat saya rindu timnas saya. Saya rindu bahagia dan sedih karenanya.    


Warung Kopi 3

Lalu saya menemukan kembali Indonesia di warung kopi Bu Siti.

Takut tak cukup punya gairah untuk menonton sendirian di rumah, saya berangkat ke warung kopi Bu Siti untuk menonton pertandingan terakhir penyisihan grup Hasanal Bolkiah Trophy antara Indonesia vs Philipina. Cukup berhasil.

Tim itu, dengan sebagian besar pemain yang tak dikenal, sama sekali tak menarik untuk ditonton. Tapi, denyar itu kembali saya dapatkan. Saya bisa memaki untuk setiap umpan yang salah. Saya bisa berhenti bernafas untuk sebuah peluang yang gagal. Saya bisa bersorak ketika Andik mencetak golnya. Tim itu seharusnya menyertakan Ferry Pahabol, Lukas Mandowen, David Faristian, atau Sunarto. Dan seharusnya bisa menang lebih dari lima gol melawan Philipina. Tapi bagaimanapun, toh mereka telah membuat saya menemukan lagi tautan dengan Indonesia.

Mereka kembali memberi bukti benarnya kata sejarawan Eric Hobsbawm, bahwa “komunitas terbayang itu tampak lebih nyata pada 11 orang di lapangan sepakbola”. Mereka membuat saya menghabiskan sisa malam dengan memikirkan sebuah tulisan. Mereka bisa membuat saya, pada keesokan harinya, mengobrol dengan teman tentang peluang kita menghadapi Vietnam di semifinal.

Lepas dari betapa cemen-nya tropi yang sedang diperebutkan, mereka telah membuat saya berdoa, semoga mereka sampai final dan juara.


Warung Kopi 3 (bag. 2)

Masih di warung kopi Bu Siti, saya berharap menemukan Indonesia yang berbeda. Indonesia yang juara. Persetan apapun pialanya.

Seperti menjelang partai final melawan Malaysia di Sea Games lalu, ide tulisan telah berjejalan di kepala. Karena itu, saya berangkat ke warung kopi dengan membawa kamera. Dengan harapan-harapan baik, lensa saya set untuk scene party.

Saat saya datang, ruang di depan televisi 21 inci yang sekaligus jadi tempat nongkrong para pengopi, sudah disesaki orang. Beberapa celetukan menjelang laga, yang rasa-rasanya tak pernah berubah sejak saya kecil, meramaikan suasana. Ada yang mengomentari ringkihnya tubuh sang sultan yang katanya terkaya sedunia. Ada pula yang menawarkan taruhan dengan memegam tim yang menang. Yang menarik, ada juga yang menyamakan kostum kedua tim di lapangan seperti PDIP dan Golkar sembari menambahkan komentar, “mana ada yang menang lawan Golkar?” Ke-Indonesia-an jelas memenuhi ruangan.

Indonesia memulai pertandingan dengan sangat tidak mengesankan, dan itu jelas menggelisahkan. Namun, hingga babak pertama usai, mereka sukses membuat Brunei menunggu di lapangannya sendiri. Beberapa cemoohan ditujukan kepada pemain Indonesia. Tapi, sasaran kemarahan adalah wasit asal Thailand yang terlalu mudah memberi pelanggaran untuk tuan rumah. Saya mengambil beberapa gambar. Harapan itu masih ada.

Kegelisahan itu semakin membuncah ketika di babak kedua tak tampak ada perbaikan. Kegelisahan berubah jadi geram ketika Brunei menciptakan gol pertamanya. Bukan pada gol itu, tapi dari kebodohan yang mengawali proses terjadinya. Dan geram jadi kemarahan ketika pemain Indonesia tak terlihat menemukan cara untuk mencetak gol balasan. Andik yang selalu jadi tumpuan harapan mulai dapat cemoohan karena tampak sudah tak lagi mempercayai teman-teman setimnya. Satu-dua orang tampak minggir dari depan televisi dengan muka gusar. Saat gol kedua Brunei tercipta, kerumunan di depan televisi bubar jalan. Saat peluit berbunyi panjang hanya tersisa dua orang saja. Saya adalah salah satunya.

Saya keluar dari warung dengan sesak di dada. Sakitnya luar biasa. Tapi, saya jelas akrab dengan rasa sakit itu. Pasti, tak mungkin lain, itulah sakitnya menjadi Indonesia.

Lamongan, 10-03-12

Related Posts:

Uang, Kompetisi, dan Inovasi

Oleh Darmanto Simaepa

Setelah mencium piala Carling, Steven Gerard mengatakan, target besar musim ini adalah masuk liga Champion. Ia menekankan rumah yang layak bagi tim sebesar Liverpool adalah liga yang dianggap paling kompetitif itu. Pun begitu dengan Arsenal. Setelah hampir mustahil mengejar duo Manchester dan membalikkan skor melawan Milan, Wenger menyebut pertaruhannya adalah posisi empat besar.

Kenapa Champions begitu berarti? Para determinis akan menyebut uang. Alasan ini jelas masuk akal. Al Jazeera dan Sky Sport—dan itu berarti para kelas menengah di penjuru dunia yang mampu membayar TV langganan dan para pengiklan seperti Djarum atau Gudang Garam—rela membayar siaran langsung dengan uang yang entah jumlah nolnya berapa. Match fee pertandingan liga Champions 13 kali lebih besar dari liga domestik, dan jangan sekali-kali dibandingkan dengan hadiah juara Carling atau FA.

Selain itu Liga Champions dianggap paling kompetitif. Para pemain terbaik dunia dalam 20 tahun terakhir bermain di liga ini—kecuali Ronaldo Nazario (1997) yang bermain di piala Winners untuk Barca. Tim-tim yang dianggap menjadi terbaik dunia menjadi juaranya—Liverpool, Juve dan Milan di 1980an, Barca, Madrid atau MU di 1990an, dan Barca lagi dalam tahun-tahun terakhir. Kecuali Wenger, coba hitung siapa pelatih papan atas yang belum menjuarainya?

Mungkin pandangan ini bias Eropa—dan para sarjana kritis akan menganggap ini bisa terjadi hanya karena siklus kapitalisme dan surplus ekonomi yang memeras negara dunia ketiga. Mungkin. Ini juga abai terhadap heterogenitas kompetisi di penjuru dunia. OK, saya bisa terima. Tapi, maaf bagi para pecinta sepakbola yang terlalu dalam mengapresiasi tim Suda-Mericana atau klub-klub Afrika, dalam urusan industri sepakbola, kita tidak bisa berpaling dari benua biru ini. Baiklah, dalam kejuaraan antar klub dunia, tim-tim Eropa tidak selalu menang melawan klub-klub Amerika Selatan. Tapi apa yang telah dilakukan oleh Barca terhadap Santos tempo hari menunjukkan ada dimana posisi industri dan inovasi taktik Eropa diantara tempat lain di dunia.

Champion menjadi barometer keberhasilan klub karena arus perputaran uang, memang, berputar kencang. Namun, menyatakan hanya uang dan bisnis yang menentukan segalanya, itu tidak menggambarkan keseluruhan cerita. Uang dan prestasi adalah sisi koin yang sama. Akan menjadi reduksi gila jika satu sisi mendeterminasi yang lain.

Misalnya, jika uang menjadi masalah, saya pikir orang Lamongan tidak akan membayar tiket untuk sebuah liga yang dimainkan dalam sebuah stadion yang lebih mirip kandang sapi di Surajaya. Atau, penduduk Ngraho di sepanjang Ngawi-Bojonegoro akan protes karena pajaknya digunakan membayar mahal pemain bon-bonan dan membangun stadion dari pada memperbaiki jalan yang berlumpur itu.

Saya tidak tertarik mendiskusikan pertanyaan telur dan ayam antara sepakbola dan uang. Mungkin lebih baik melektakkannya dalam sebuah dialektika dalam sebuah cerita yang bersifat historis. Kisah liga champions dan tim-tim negara akan sedikit membuka kisah gerak sejarah industri sekaligus inovasi dalam sepakbola.

*****

Secara historis, kompetisi modern sepakbola lahir dari revolusi industri di Inggris. Para aktornya adalah kelas buruh yang membutuhkan hiburan akhir pekan dalam sebuah hari-hari yang rampat oleh pekerjaan yang sangat terjadwal. Meskipun berkembang pesat pada awal abad 20-an, industri belum mengglobalkan sepakbola. Tentu saja lalu lintas jual beli pemain telah melewati batas-batas negara, tapi kompetisi antar negara—dalam bentuk klub maupun negara belum menemukan momentumnya. Resesi, krisis kapitalisme global tahun 1930an dan biaya-biaya perang membuat sepakbola tidak menjadi prioritas.

Perang-perang, terbentuknya nation-state, aliansi-aliansi antar negara dan blok-bloknya, serta konfigurasi geopolitik global menjadi latar bagi kebutuhan piala dunia. Sepakbola, dalam takaran tertentu menjadi kendaraan nasionalisme. Pertandingan di piala dunia Italia dan Uruguay sangat politis dan secara langsung terhubung dengan rejim-rejim kekuasaan.

Justru hubungan yang lebih erat dengan kekuasaan dan politik menunjukkan sisi paradok sepakbola. Pada masa ini memenangkan piala dunia sebangun dengan memberi kemenangan atas politik. Karena kejuaraan-kejuaraan negara menjadi penting, inovasi taktik sepakbola modern lahir. Sejarah umpan panjang di Inggris, Jerman yang deterministik, lahirnya playmaker dan seniman lapangan tengah dari Swiss dan Austria, serta embrio seni defensif Italia menggambarkan konteks historis dimana taktik ini ditemukan, diciptakan dan diperbaharui.

Karena tidak terlibat dalam persekutuan penyelenggaraan piala dunia, pada masa transisi perang dunia pertama dan kedua, tim kreatif seperti Austria dan Swiss kurang begitu bergema.

Namun, ada paradoks lain pasca perang. Permainan kreatif dan inovatif, anehnya lahir dari negara-negara yang tidak terlibat dalam perang. Jonathan Wilson dalam kitab sucinya, Inverting the Pyramids menyebutkan gejala ini sebagai pengaruh sedikitnya tekanan dari rejim yang berkuasa untuk mengejar faktor kemenangan sebagai satu-satunya alasan. Hungaria memiliki Magical Magyar dan Brazil melahirkan Jogo Bonito. Keduanya bermain ofensif dengan skema 4-2-4 di dua edisi piala dunia (1954 dan 1958), yang dari jumlah gol dan atraksinya, pasti sangat lezat dinikmati.

Selain faktor geopolitik dan hubungannya situasi pasca perang, zaman itu, pemain nasional lebih banyak berkutat di kompetisi domestik. Para pelatih memiliki waktu bersama untuk membangun tim dan menciptakan strategi.

Juara piala dunia adalah tim yang bermain atraktif dan inovatif. Hampir semua pemain Brazil bermain di liga semi amatir. Para pemain Prancis, kecuali Raymond Kopa yang bermain di Madrid, punya banyak waktu untuk berdiskusi tentang strategi di Swedia. Sebagian besar tulang punggung tim nasional biasanya bermain dalam satu klub. Misalnya saja tim Hungaria pada dasarnya adalah bayangan dari klub Honved.

Negara-negara yang pemainnya melanglang buana biasanya tidak terdengar, meskipun materi pemainnya luar biasa. Argentina punya Stefano dan Rattin, tapi mereka lebih terkenal karena sikap kebinatangannya di Wembley 1966. Setelah Puskas dkk. patah hati tahun 1954, para pemain lainnya tersebar ke klub-klub dan sejarah sepakbola Hungaria berbalik arah.

Hingga tahun 1970an, inovasi sepakbola masih berada dalam rahim kebangsaan. Brazil konon memiliki tim terbaik tahun 1970—meskipun tidak jelas apa yang dimainkannya. Belanda memiliki total voetballnya akhir 1960-an dan awal 1970-an. Di masa-masa itu industri sepakbola sedang mengembang di horison. Klub-klub mulai mengambil posisi. Para pemain terbaik mulai diincar. Tele Santana dan tim terbaik Brazil yang pernah ada—ya, jauh lebih jogo bonito dari timnya Pele—berusaha mengembalikan inovasi sepakbola. Namun, seni saja, dalam sepakbola mutakhir, tidak pernah cukup menaklukan dunia!

Sementara, diujung cakrawala, industri sepakbola sedang meraih momentumnya....

*****

Industri sepakbola berkembang 1970an, terutama, karena pulihnya ekonomi Eropa pasca perang dan masuknya siaran televisi. Kompetisi domestik kian penting dan klub-klub berinvestasi membeli pemain mahal. Kompetisi ini digulirkan secara teratur dengan sistem pertandingan terjadwal. Sepakbola menjadi profesi dan pemainnya menjadi pekerja. Efek kompetitif ini menghasilkan inovasi-inovasi teknik dan taktik baru. Ketatnya kompetisi dan pertandingan yang lebih bisa diamati lewat rekaman video dan televisi membuat para pelatih harus memeras otak untuk mencari inovasi-inovasi baru. Formulasi-formulasi strategi yang lebih bertahan mulai dikembangkan Helenio Herera dengan Intermilan. Dan Ajax menemukan embrio total voetball.

Tidak cukup dengan kompetisi dalam negeri, UEFA mencari inovasi penyelenggaraan liga Champions, Liga UEFA, dan piala Winners. Tujuan pertama mungkin menarik keuntungan dengan menjangkau pasar yang lebih luas. Tapi kisahnya lebih dari sekadar fulus semata. Sistem penyisihan (setengah kompetisi atau kompetisi) dan knock out dievaluasi secara berkala. Hal ini membuat kompetisi menjadi lebih kompetitif, dan pada gilirannya menarik minat konsumen untuk membeli tiket terusan. Siaran-siaran televisi menyediakan uang secara teratur bagi kas klub. Investasi ini kemudian diputar untuk membangun stadion baru dan pemain-pemain berkelas.

Siaran televisi secara langsung tidak hanya mengglobalkan sepakbola tetapi juga merangsang setiap pelatih dan klub memikirkan pendekatan baru untuk menaklukannya. Klub menjadi laboratorium penciptaan taktik dan inovasi. Para pemain dan pelatih bisa bekerja 4-5 hari atau 48 jam setiap pekan untuk menyiapkan dan menyempurnakan timnya. Dalam sebuah industri yang bisa memperbaharui diri—biasanya muncul dari produksi kapitalis—waktu, ruang, dan emosi diatur untuk meraih sebuah objektif tertentu.

Tim-tim terbaik yang pernah ada muncul dari latar ini. Liverpool, Juventus dan Milan muncul di akhir 1970an dan akhir 1980an, serta kemudian Barca awal 1990an. Salah satu ciri tim-tim terbaik ini adalah dibangun dalam waktu yang panjang dan skuadnya bermain bersama dalam periode waktu tertentu. Bob Paisley membutuhkan 5 tahun dengan tim yang sama sebelum menaklukan Eropa. Brian Clough dengan Notingham Forest, untuk meraih sukses, harus bekerja selama 14 tahun.

Sistem kebersamaan mungkin berubah dalam tahun-tahun terakhir—kecuali MU tentu saja. Namun poin pentingnya, tim-tim terbaik berhasil diciptakan oleh industri yang kompetitif dan investasi kapital. Jika kita merujuk bagaimana sepakbola harus diselenggarakan dan standar permainan ditentukan kita tidak bisa berpaling dari liga Eropa.

Tim-tim terbaik yang membawa inovasi taktik, hampir semuanya memenangkan liga Champions. Santos telah menjadi masa lalu, sementara Sao Paoulo hebat karena talenta individual pemainnya. Yang kita bicarakan adalah Corto Strettonya Milan, Barca dibawah Cruijff, dan paling akhir, Barca arahan Guardiola.

Jika kita neg dengan fakta sejarah, kita bisa meminta statistik untuk menjelaskannya. Opta menunjukkan bahwa jumlah tendangan ke gawang, umpan dan akurasinya, gol pertandingan terbuka, menit bola dimainkan dan penguasaan bola di liga Champions lebih tinggi dari liga manapun di Eropa. Dari analisa rekaman video, fakta ini telah muncul sejak 1984. Tidak hanya memberikan kesempatan seni menyerang, jumlah tekel dan intersep—memotong atau mengantisipasi aliran arah bola—di liga Champion juga lebih tinggi. Di sebutkan juga, bahwa tim yang menang, secara konsisten adalah tim yang memiliki penguasaan bola lebih unggul dan mengumpan jauh lebih banyak.

Dari segi teknik, tempo permainan lebih tinggi dan taktik dimainkan secara cerdik dan variatif di liga Champion. Guardiola selalu berksperimen dengan permutasi para pemainnya. Ini menjelaskan bagaimana tim pemenang dan kuat hasil olah gagasan Mourinho atau MU yang merajalela di Inggris masih terlihat primitif. Milan musim ini paling sering mengganti para pemain tengahnya untuk variasi taktik menghadapi tim yang berbeda. Dalam pertandingan melawan Barca yang belum pernah bisa diimajinasikan dunia, Allegri hampir menyentuh level yang dicapai Guardiola.

Sementara manajer di klub terus berpikir seperti alkemis, para pelatih tim nasional lebih sering berpikir seperti pengemis. Mereka sering disalahkan karena membuat pemain cedera. Mereka harus dikasihani dan minta bantuan FIFA ketika harus memanggil para pemainnya. Lamere harus dipecat karena gagal membawa Prancis juara— apalagi kalau gara-garanya Zidane tidak fit setelah musim yang hebat di Madrid. Hal ini menjelaskan kenapa Wenger tidak tertarik menangani Inggris.

Para pelatih nasional hanya punya waktu sangat sempit dalam menyiapkan tim di turnamen besar. Mereka hanya bisa berkumpul selama setahun maksimal 10 kali—itupun paling banter 2-3 hari sekali kumpul. Mereka tidak bisa meracik taktik yang inovatif karena para pemainnya, selain tidak mudah menerapkan ide-idenya, juga sudah terpola dalam permainan di level klub. Tidak Maradona, Bielsa, Batista atau Sabella, semua tidak bisa membuat Messi menemukan rumahnya dan bahagia. Para pemain disekeliling Messi telah dibongkar pasang, tapi hasilnya sama.

Jadi, apa yang terjadi dengan Spanyol belakangan menunjukkan dua gejala. Gejala pertama, kehebatan tim ini adalah ulangan cerita lama yang dimulai Santos dan Brazil, Honved dan Hungaria, Ajax dan Belanda, serta Juventus dan Italia. Enam-tujuh pemain inti Spanyol adalah punggawa Barca, dan 3 sisanya sudah jatah Ramos, Alonso dan Casillas dan para pemain seperti David Silva atau Mata, hanya akan jadi cadangan saja. Para pemain itu telah bermain bersama dengan taktik yang tampaknya sama—tapi sangat dinamis—dari klub-klub yang memang terbaik di level dunia.

Namun kisah Spanyol juga memberi gejala betapa tim nasional lebih memilih untuk bertahan dan tidak mengembangkan taktik yang brilian. Karena tidak punya waktu yang intens, para pelatih tim nasional memilih bermain aman, bertahan dan menunggu lawan menyerang. Selain bahwa para pemainnya bergerak dengan sisa tenaga yang diperas di akhir pekan selama 10 bulan, para pelatih juga harus mengamankan kursinya dari pemecatan.

Itulah mengapa del Bosque sangat berhati-hati mengarahkan para pemainnya. Menyaksikan bola berputar ke kiri dan ke kanan di sekitar Xavi, mata kita seperti disuguhi menu telor rebus dan nasi putih setiap hari. Disisi lain, karena ketakutan yang sama, para lawannya menumpuk 6 pemain di tengah untuk memaksa mereka bermain seri atau setidaknya mencuri gol di menit-menit akhir pertandingan.

Hal ini menjelaskan kenapa jumlah gol di piala dunia semakin sedikit dan tim-tim memilih bermain negatif. Spanyol yang dianggap tim terbaik dalam turnamen dunia dan Eropa, lebih sering bermain membosankan. Ingat, mereka adalah tim juara yang mencetak gol paling sedikit dalam sejarah. Taktik bermain aman, miskinnya inovasi strategi, dan keletihan membuat para pemain terbaik seperti Messi dan Ronaldo sulit menjadi protagonista bagi negaranya. Dalam situasi kontemporer,diantara sekian tim besar, mungkin hanya Jerman yang sedikit punya keberanian hati dan inovasi.

******

Menjadi jelas kenapa Wenger dan Gerard sangat menginginkan timnya masuk ke Champions. Bagi para maestro seperti Wenger atau pemain sekaliber Gerard, kompetisi ini menyediakan sisi ganda sepakbola: keindahan permainan dan bisnis menggiurkan. Uang mungkin menjadi isu utama—tapi ini tidak segalanya. Wenger tetap tidak mau melatih Inggris meski digaji dua kali lebih besar dengan kerja yang lebih sedikit. Gerard menyatakan piala Carling memang penting, tapi tempat yang diinginkannya adalah final Istanbul. Seniman bola terbaik dan pelatih inovatif membutuhkan panggung yang besar untuk mewujudkan egonya. Dan liga Champions, lebih dari liga manapun—bahkan mungkin piala dunia—yang menyediakannya.....

Related Posts: