Berita Cuaca dari Lima Liga

Oleh Mahfud Ikhwan
Italia membeku. Tidak oleh cuaca ekstrem di pengujung tahun, atau kabut, atau banjir seperti biasanya. Dan ini tidak terjadi baru-baru saja. Sudah berlangsung bertahun-tahun, begitu-begitu melulu. Klub kota Turin, yang bukan Torino, mencengkam kuat-kuat nyaris semua gelar yang melingkupi sepakbola Italia. Nyonya Tua tak hanya terdengar angkuh sebagaimana namanya, tapi juga kikir. Setelah kepergian Mourinho dari Inter hampir sewindu lalu, dan Milan tak lagi juara sejak setengah dekade lalu, Juve tak ada yang mengganggu. 
Napoli sebenarnya selalu tampak berbahaya sejak dipunyai De Laurentis yang setengah gila itu. Tapi tampak berbahaya berbeda dengan benar-benar berbahaya. Dan Roma… Ah, klub yang dikuasai oleh seorang pangeran memang akan selalu sulit untuk berkuasa. 
Bagi yang merindukan kiprah Italia di level Eropa, bolehlah sedikit berandai-andai. Montella sepertinya bisa diharapkan membawa Milan ke posisi ketiga dan ke Eropa, dan sedikit membikin gentar Barcelona. Kalau itu gagal, mungkin takdir Italia masih akan sama—kecuali gunung berapi di Islandia meletus kembali. 
Hal yang kurang lebih sama terjadi juga di Jerman. Munchen lagi, Munchen lagi. Dan tampaknya akan Munchen lagi. Yang sedikit berbeda, Munchen bersama Ancelotti, pelatih yang catatan gelar domestiknya sebenarnya tak sementereng namanya, tak semulus Munchen di musim-musim sebelumnya. Mereka sudah kalah di pekan ke-11 dan kalah dua kali di babak grup Liga Champions. Di puncak liga, mereka harus berbagi tempat dengan klub pupuk bawang, RB Leipzig. 
Setelah bertahun-tahun tak punya saingan berarti, usai Dortmund berevolusi, penggemar Liga Jerman (yang bukan fan Munchen) semestinya gembira ada klub yang mampu mengganggu Munchen. Tapi, tampaknya tidak begitu. Publik Jerman membenci Leipzig, klub milik pabrik minuman berenergi punya orang Austria itu. Munchen yang dominan lebih dimaklumi dibanding RB Leipzig yang karbitan, klub yang baru berdiri 2007, yang berarti satu tahun sebelum Wolfburg juara Bundesliga untuk pertama kalinya dan Jurgen Klopp menjalani musim pertamanya bersama Dortmund. 
Tapi Liga Jerman tetaplah liga yang menarik, setidaknya jika Anda mau melongok dasar klasemen. Tahun lalu, klub tradisional macam Stuttgart (juara liga 5 kali, dan biasa mondar-mandir di kompetisi Eropa) terjerembab, bergabung dengan tim-tim kenamaan lain macam 1860 Munich, Armenia Bielefeld, hingga Kaiserslautern di liga level dua. Kali ini, klub-klub yang sangat akrab di telinga dan mata macam Bremen, Schalke, M’Gladbach, dan Hamburg, sudah harus pontang-panting menjauhi lubang-lubang becek degradasi bahkan sebelum Natal.
Sama bekunya tentu saja Spanyol. Meskipun beriklim lebih hangat dan liganya kini bermain lebih siang (agar pemirsa di Cina tidak harus begadang untuk menontonnya), La Liga masih sama dengan sebelum-sebelumnya. Hanya ada dua kuda pacu: Madrid dan Barca, atau Barca dan Madrid, terserah Anda bagaimana membacanya. 18 klub sisanya cuma jadi garis lintasan, bahkan debu. Memang ada kuda liar pada diri Simeone dan Atletico-nya dalam beberapa musim belakangan, tapi di akhir tahun ini dan tampaknya di akhir kompetisi mendatang Atletico tak akan cukup bisa memberi kesulitan. 
Jika ingin menemukan yang agak panas, maka itu adalah bangku cadangan di Camp Nou tempat Luis Enrique biasa duduk. Ia telah membeli banyak gelar untuk Barca dalam tiga musim kepelatihannya, sangat banyak malah. Tapi, seperti para penonton dan para direktur di Bernabeu, para penonton dan para direktur di Camp Nou juga adalah orang-orang paling ceriwis di dunia, yang tak merasa cukup dengan gelar, atau permainan cantik, atau bahkan kedua-duanya sekaligus. Mereka ingin lebih dari itu: identitas. 
Barca di tangan Enrique, bagi seorang macam saya yang tidak terlalu menyukai tiki-taka (yang rutin dan mekanik itu), sebenarnya lebih enak dilihat dibanding Barca ala Pep. Lebih langsung, lebih tak terduga, dan terpenting lebih manusiawi. Tapi ketakterdugaan ala Enrique memang mudah dibaca sebagai ketidakjelasan. Statistik di klasemen menjelaskannya, sementara belanja besar di awal musim yang tak berbuah, dan deretan pemain semenjana di bangku cadangan adalah garis bawahnya. Ketika rival di ibukota sedang sangat stabil, dan Valdebebas sedang menyaksikan mekarnya bibit-bibit baru dari akademinya sendiri, Camp Nou justru sedang cemas melihat generasi emas La Masia menua dan tak segera mendapat gantinya. 
Maka beruntunglah sepakbola Inggris yang menitipkan hal-hal tak jelas macam identitas kepada klub-klub level bawah seperti AFC Wimbledon, Millwall, atau Oxford United. Di jelang pergantian tahun, di lapangan-lapangan yang berangin dan nyaris selalu di bawah guyuran hujan, dan tentu saja di bawah guyuran duit hak siar, tak ada yang semenarik Inggris dalam hal persaingan. 
Jika mengacu kepada gelar Leicester musim lalu, dan melihat posisi MU dan City saat tulisan ini dibuat, pemeo para idealis olahraga bahwa uang tak bisa membeli gelar masih benar adanya. Tapi melihat tim apa saja yang berada di paroh atas tabel klasemen, uang jelas menguasai sepakbola—seperti dulu-dulu, dan masih akan begitu. Kecuali Liverpool, lima klub yang ada di enam besar termasuk dalam 10 klub dengan belanja tertinggi di Eropa. 
Yang paling menyenangkan dari Liga Inggris musim ini adalah cuaca dan arah anginnya yang berubah-ubah, cepat, dan sering tak dinyana—meskipun, tentu saja, tak seekstrem musim sebelumnya. Tiga kemenangan beruntun United bersama Mourinho di pembuka kompetisi seperti memberi tanda: sang Mefisto langsung menunjukkan keajaibannya begitu Dr. Faust bersedia menyerahkan jiwanya. Tapi setelah kekalahan di derbi oleh City pada pekan ke-4, tajuk utama langsung berpindah ke tim sebelah. Dan City-nya Pep segera jadi primadona, seakan tiki-taka telah berpindah dari Katalan ke Manchester dalam enam pekan. Lalu, tibalah saat Spurs, yang dilatih mantan pemain Espanyol, menghantam mereka. 
Meski begitu, yang ambil panggung selanjutnya adalah klub London yang lain. Chelsea, yang secara beruntun digasak di pekan-pekan awal oleh para pesaingnya, masing-masing oleh Liverpool 1-2 dan Arsenal 3-0, tiba-tiba menemukan harinya dan tampak begitu digdaya. Timnya Conte, yang sekilas terlihat seperti sebuah tim Italia dari pertengahan ’90-an, memenangi 13 pertandingan selanjutnya, dan memuncaki klasemen sendirian. 
Sementara itu, kondisi menarik menyelimuti Prancis. Duit Qatar yang memayungi langit Ligue 1 selama empat musim berturut-turut tampaknya sedang membuyar. Nice dengan Balotelli-nya yang tengah memimpin klasemen mungkin saja tak akan menjadi juara. Tapi, setidaknya, ini memberi tanda baik akan kembalinya Liga Prancis ke sifat alaminya, sebagai liga paling “demokratis” di Eropa; liga yang melahirkan 10 juara dalam 20 musim terakhir.

Related Posts:

Setengah Musim di Eropa

Oleh   Darmanto Simaepa

Musim dingin merambati kota-kota di Eropa Barat. Sisa hujan semalam dan embun di ujung rerumputan memutih-beku di pagi hari. Keluarga, api perapian dan kerlip cahaya Natal di dekat jendela-jendela kaca rumah Belanda membuat suhu menghangat. Di tengah deru angin dari Laut Utara ini saat terbaik untuk melihat apa yang terjadi di separuh musim kompetisi.

Liga Primer

Di Inggris, Liverpool dan Chelsea menemukan identitas sepakbolanya. Ketika dua manajer di kota Manchester masih sibuk merakit tim yang solid, dan seperti biasa, tim asuhan Arsene Wenger mulai menggigil dan gemetar di bawah udara minus, Jurgen Klopp dan Antonio Conte, dengan caranya masing-masing, berhasil memadukan terobosan taktik, tontonan  menarik dan rangkaian kemenangan.

Conte layak mendapat apresiasi. Bukan karena menyulap Chelsea yang pingsan menjadi pemuncak klasemen dalam tempo enam bulan. Tetapi karena keberhasilannya mengusir hantu Jose Mourinho dari Stamford Bridge. Silih berganti pelatih top dipekerjakan dan diberi pesangon, tak ada satupun dari mereka yang bisa mencegah seisi stadion bernyanyi dan mencintai Jose. 

Conte bisa. Ia menendang bokong Jose keluar dari hati dan kepala pendukung Chelsea seperti Bill Murray muda yang menyedot hantu New York di Ghostbusters dan melemparkannya ke gorong-gorong. 

Kini tidak ada lagi klaim, ‘ini timnya Jose’, íni pemainnya Jose',  atau ‘ini mentalitas Jose’. Kemenangan Chelsea 4-0 atas MU menandai segalanya. Conte membentuk timnya sendiri, dengan pemain-pemain yang dibeli Jose, dan uniknya, lewat permainan nyaris sempurna ketika melawan timnya Jose.

Kemenangan beruntun sebelas kali Chelsea, saya yakin, juga membuat Roman Abramovich tak lagi tidur menggigau dengan menyebut nama Joseph Guardiola.

Di Anfield, kita menyaksikan sepakbola deras mengalir penuh energi dan bertekanan tinggi, dengan gol-gol yang turun seperti hujan badai. Jurgen Klopp menciptakan sepakbola rock and rollyang membuat seisi kota terbangun dengan senyuman di pagi hari.

Tidak hanya itu, gairah dan energi Klopp sedang membangunkan kembali raksasa yang lama tertidur. Dengarlah gemuruh suara kelas pekerja di Anfield dan Anda akan mengerti, ribuan orang sedang bermimpi, bernyanyi, dan menari dengan mata terbuka. Mimpi itu sedang menjalar ke seluruh dunia, terutama bagi generasi yang besar di paruh tujuh puluhan atau delapanpuluhan.

Meskipun tabu sebagai pendukung MU untuk memuji Liverpool, untuk kali ini saya harus mengatakan bahwa musim ini hanya Klopp-lah yang menyegarkan sepakbola dunia—terutama setelah buruknya Piala Eropa dan Liga Champions musim lalu . Hanya fanatik bola yang buta hati saja yang tidak tergerak jiwanya untuk memuji Klopp dan pendukung Liverpool. Mereka adalah perkawinan yang sempurna. 

La Liga

Sevilla dan Real Sociedad adalah tim yang memberi kenikmatan tontonan—bukan Real Madrid, Barcelona, atau Atletico Madrid. Menonton Sevilla seperti menghirup udara segar. Menonton Real Sociedad membuat Anda tak bisa bernapas.

Tim Jorge Sampioli dan Eusebio Sacristan memainkan sepakbola tempo tinggi,penuh jual beli serangan dengan hujan gol sebagai jaminan. Publik sepakbola Spanyol sepakat bahwa Sevilla kandidat juara dan Sociedad ke Liga Champions. Ukurannya?

Tengok saja saat mereka melawan Barcelona, tim terbaik dengan pemain terbaik di La liga. Jika bukan karena mukjizat bernama Lionel Messi, Barcelona tidak akan pulang dengan poin, tetapi juga malu besar karena kalah telak dari segi taktik dan permainan.

OK, Real Madrid dan Barcelona masih di posisi satu-dua. Namun, tidak ada pertandingan mereka yang pantas dibicarakan—kecuali ketaktisan Madrid dalam derbi ibu kota. Madrid tak pernah kalah, tapi juga tak pernah meyakinkan. Mereka menciptakan rekor tidak-terkalahkan, tapi mereka terlihat bukan Madrid.

Barca jelas sekali bermasalah di lini tengah. Tiap kemenangan menjadi kian tergantung suasana hati Messi. Gejala keletihan juga melanda Luis Enrique. Tidak hanya ia pusing menemukan komposisi tiga gelandang, tapi juga letih dengan cerewetnya societe.

Atletico Madrid  belum pulih dari luka final Liga Champions. Rumor hengkangnya Diego Simone ke Inter setelah pemangkasan durasi kontrak membuat permainan Atletico goyah dan lunglai. Jauh dari identitas permainan  Atletico yang selama ini tampil dengan solid, tangguh dan keras hati.  

Bundesliga

Revolusi pelatih muda tampak belum bisa menggoyah kemapanan kerajaan Bayern Munich. Inovasi taktik Thomas Tuchel, Roger Schmidt, atau Andrew Schubert justru membuat Borussia Dortmund, Bayer Leverkusen, Bayern Moenchengladbach terseok-seok di papan tengah. Alah-alih merebut singgasana Munich, mereka malah pontang-panting menyelamatkan kursi kepelatihan yang sedang mereka duduki.

Posisi tradisional Dortmund atau Leverkusen kini coba diisi oleh tim-tim tua semenjana yang pernah sekali-dua-kali berjaya dua-tiga dekade lalu seperti Koeln, Hertha Berlin atau Eintracht Frankfurt.

Tim promosi RB Leipzig bolehlah memberi kejutan, terutama karena curahan uang pabrik minuman. Kaya dan dibenci, Leipzig menggunakan cemoohan suporter lawan menjadi batubara untuk bersaing dalam balapan dengan klub-klub mapan. Kejutan ini mungkin akan bertahan sampai akhir musim, namun ini hanyalah badai dalam cawan bagi Bayern.

Jika ada sisi baiknya dari Bundesliga, itu pasti keberanian mereka memberi panggung buat pemain-pemain belia. Sebuah kenikmata melihat calon-calon pemain terbaik masa depan seperti Mousa Dembele, Emre Mor, Pulisic (Dortmund ), Hakan Chalanoglu dan Heinrichs (Leverkusen), Sule (Hoffenheim), untuk sedikit nama, diberi banyak kesempatan menguji semangat masa muda di kompetisi tertinggi.

Serie A

Di Italia, tak ada gunanya membicarakan persaingan. Juventus akan meraih scudetto, betapapun gigih usaha tim-tim dari selatan. Roma, si pemberi harapan palsu, mungkin akan berjuang sampai Februari. Napoli, agak menjanjikan, terutama dalam partai kandang.

Namun seperti biasa, Spaletti akan lebih sering mengusap kepala yang berminyak itu dari pada tersenyum bahagia. Roma hany hanya punya satu solusi ketika krisis: mengirim Pangeran Tua ke medan peperangan. Dan Napoli? Mereka belum benar-benar pulih dari patah hati setelah Higuain pergi. Lagi pula, Dries Mertens tak akan menjadi Maradona kan?  

Anda pasti tahu keluarga Agnelli dan Beppe Marotta di sela libur natal dan tahun baru ini sedang bernegosiasi dengan agen-agen pemain dari klub rival untuk persiapan musim depan. Agnelli tinggal mengangkat alisnya saja untuk memerintahkan Marotta memindahkan Dries Mertens atau Mohammad Salah di transfer Januari atau Juni.

Yang menarik musim ini adalah munculnya tim-tim muda dengan kesegaran taktik.  Tim-tim tradisional yang selama dekade terakhir ini merana (AC Milan , Atalanta, Bologna, dan Torino) beralih strategi dengan menguatkan akademi dan menambalnya dengan pemain pinjaman murahan. Oh ya, mereka juga membuat inovasi taktik dengan memainkan skema 3-4-3 atau 3-5-2 yang cair dan mengalir.

Montella sedang membentuk tim AC Milan yang paling menjanjikan dalam satu dekade. Ini membuat il presidente, Silvio Berlusconi gamang bukan kepalang. Mau lanjut terus takut merugi dan melewatkan uang China. Mau berhenti, timnya punya peluang ke Champions lagi.

Ligue 1

Di Prancis, tema favorit musim ini adalah Mario Balotelli dan Nice. Namun, jujur saja Balotelli tidak sepenting yang tampak dipermukaan. Gol-golnya memberi beberapa kemenangan. Namun, ketika Balotelli absen-pun, Nice tetap menang dan menawan.

Pujian atas keberhasilan Nice juara paruh musim harus diberikan kepada Lucien Favre. Sesuai dengan jejak rekamnya di liga Swiss dan Jerman, Favre membangun kombinasi tim yang setengahnya dipenuhi pemain muda yang enerjik, cekatan dan tajam dan sebagian pemain berpengalaman. Boleh di kata, Balotelli hanya pemanis yang melengkapi adonan kue lezat yang diracik Favre.

Heboh Balotelli tidak bisa dilepaskan dari kepergian Zlatan Ibrahimovich. Pindahnya Zlatan membuat sepakbola Prancis kehilangan tokoh yang mengangkat pamor kompetisi.Media dan publik Ligue 1 membutuhkan tokoh dan Mino Raiola, agen kedua pemain, pintar membaca situasi dan menjadikan Balotelli sebagai protagonista baru.

Munculnya Favre dan Nice cukup menggembirakan. Ini mengembalikan sifat kompetitif liga Prancis yang anehnya, juga menghasilkan dinasti-dinasti model PSG Semoga saja uang Qatar tidak membuat PSG bisa juara liga 7 kali berturutan, seperti yang pernah dilakukan oleh Lyon atau Saint Etiene di waktu lampau.

Related Posts: