Akhir Sebuah Permainan: Ketika Adzan Berkumandang dan Gol Terakhir Tercipta

Oleh Darmanto Simaepa

Dalam sepakbola modern-komersial, bunyi peluit panjang menandai awal dan akhir sebuah pertandingan. Benda mirip huruf P telentang, yang mengeluarkan nada tinggi ketika udara di dalam kapiler sempit ditiup, mengatur kapan pemain mulai berlari dan kapan bersalaman. Di antara dua peluit panjang, sempritan pendek mengatur tempo dan irama bola. Saat ia jarang bekerja, bola mengalir ibarat arus sungai kecil yang jernih dan deras. Namun, ketika pengadil berpakaian burung gagak berulangkali meniupnya, lapangan berubah menjadi sebuah perempatan yang macet, penuh bunyi klakson dan lalu-lalang umpatan.

Peluit adalah wajah konsepsi dan aturan sepakbola modern yang 
menempatkan hasrat bersenang-dalam penjara waktu. Ia juga mengubah permainan-bebas menjadi sebuah pertandingan. Dari sisi industri, Ia memberi jalan bagi televisi untuk mentransformasikan permainan menjadi untaian komoditi. Saat peluit diistirahatkan, iklan-iklan berseliweran; pedagang menawarkan kacang rebus dan gorengan; dan penonton di rumah merebus mi instan. Tentu saja, peluit bisa menertibkan pertandingan yang lintang-pukang dan mengurangi resiko perkelahian. Namun lebih sering ia memotong-motong alur permainan seperti sebuah film yang diedit dengan buruk.

Syukurlah, di lapangan sempit di desa-desa Jawa, di bekas ladang di pedalaman Sumatra, atau taman-taman bermain di Australia, orang-orang mengalirkan bola tanpa interupsi sempritan dan menentukan akhir permainan secara spontan tanpa peluit panjang.

Gema Adzan dari Mushala di Jawa

Di desa-desa di Jawa, permainan sepakbola dihelat di lapangan pinggir desa yang menjadi tempat kambing, sapi atau kuda makan dan buang tai. Lazimnya, permainan dimulai selepas ashar dan diakhiri saat beduk magrib bertalu. Pertandingan tidak selalu diawali oleh dua puluh dua orang. Lima enam pengangguran datang lebih awal untuk memulai. Remaja-remaja tanggung pulang sekolah, tak perlu singgah ke rumah, lekas memarkir sepeda di tepi lapangan dan ikut bergabung.

Semakin ramai orang, dentuman bola dan teriakan dari kejauhan memanggil para veteran yang sedang menyabit rumput, menggembala kambing atau menyiram bibit cabe di ladang. Orang-orang tua yang tak lagi bisa bermain duduk-duduk di sisi lapangan sambil membayangkan kejayaan masa lalu
. Sebagian lain penonton adalah laki-laki yang menghindar omelan para istri.

Tak ada peluit, tak ada wasit. Para pemain keluar masuk, sampai lapangan sempit penuh sesak oleh semua laki-laki sehat. Satu-satunya aturan barangkali adalah Anda harus berusaha menghindari tim yang pertama kali kebobolan. 
Tidak ada pemain yang suka panu atau pusar yang tak dipotong dengan bagus dilihat banyak orang. Tidak ada juga orang yang, ketika jatuh, kulit punggung langsung menyentuh kotoran sapi yang masih segar

Satu tim dengan 
17 orang bertanding melawan 23 adalah hal lumrah. Sekali-dua kali perbedaan mencolok komposisi tim yang membuat pertandingan tidak seimbang memaksa pemain dihitung ulang dan dibagi rata. 

Ada tendangan sudut dan lemparan ke dalam. Tapi aliran bola tidak dianggap berhenti sebelum masuk ke semak-semak, tersangkut di pepohonan, atau masuk ke comberan tetangga sebelah. Opset? Tidak ada ruang tersisa bagi penyerang untuk berlari menyambut umpan terobosan: pemain berimpit bahkan di dekat tiang gawang. Lagi pula siapa yang suka opset? Aturan ini tidak menarik hati laki-laki tambun yang menunggu datangnya bola di pojokan.

Pertandingan mengenal heng atau hens, tapi nyaris tidak ada tendangan bebas karena pelanggaran. Jika seorang pemain merasa dikasari, ia harus membalas secerdas mungkin 
ketika berebut bola. Tidak ada aturan seragam atau pelindung betis. Setiap orang harus pintar berkelit untuk menjaga punggung kaki atau tulang kering dari sergapan pul sepatu.

Tidak ada kartu merah atau hukuman pertandingan untuk adu jotos atau menempeleng lawan. Anda harus siap-siap 
diincar sanak-saudara lawan yang ingin balas dendam. Atau tidak perlu pergi ke kedai kopi beberapa hari dan pura-pura orang sedesa tidak bicara tentang insiden itu, paling tidak secara terbuka.

Bola bahagia berpilin-pilin di udara, menyusur tanah dan pindah dari kaki-kaki yang mengandalkan kesenangan belaka. Tak ada peluit 
yang akan mengedit gerakan. Bola bergerak dari satu pemain ke pemain karena salah umpan atau mengarah peler lawan. Tapi inilah bagian terbaiknya. Tak ada kontrol atas tempo dan aliran bola. Si kulit bundar terus bergerak cepat mengiringi lari dan lompatan kaki-kaki telanjang.

Suara tarkhim dari mushala terdekat atau kaset pengajian Zainudin MZ dari masjid yang jauh adalah ‘injury time’. Saat-saat seperti ini, para pemain berusaha untuk tidak menendang bola sekuat atau sejauh mungkin. Sekali bola melintas rumpun bambu atau kolam ikan dan butuh beberapa menit untuk diambil, pertandingan praktis berhenti.

Di bulan-bulan kering bulan Juni atau Juli, saat matahari lebih terang dan pulang kandang lebih telat dari biasanya, beduk adzan maghrib adalah akhir pertandingan. Saat hujan deras dan listrik mati, pertandingan bisa berlanjut sampai larut senja.

Setiap remaja di desa pernah mengalami—paling tidak tahu—hal ini: suatu hari hujan begitu derasnya. Pertandingan seru. Speaker masjid mati. Lumpur
, keringat dan tai kuda bercampur jadi satu. Air hujan dan ingus terasa asin di bibir. Tapi anda tidak mau berhenti. Orang malas pergi ke surau menabuh beduk. Permainan hanya berakhir ketika Ibu-ibu dengan rambut basah dan sapu lidi berteriak-teriak penuh amarah dari pinggir lapangan. 

Esok sore adalah pertandingan yang lain dan adzan magrib akhir yang lain.

Maen Sore dan Injury Time di Sumatra

Di kota Padang atau di Kepulauan Mentawai, keberadaan peluit adalah salah satu hal penting yang ditanyakan sebelum pertandingan dimulai. Meskipun tidak selalu di bawa ke lapangan, peluit adalah barang inventaris wajib organisasi pemuda atau rukun warga. Jika mencari peluit adalah satu hal maka mencari peniup peluit adalah hal lain. Meminta orang berdiri di tengah lapangan dengan sempritan di tangan lebih sulit mencari orang yang mau berdiri di bawah mistar. Hanya orang-orang tua yang sudah tidak kuat berlari atau ketua pemuda setempat yang mau mengalah. Itupun mereka melakukannya 
dengan setengah hati.

Dengan peluit, pertandingan lebih tertib dari pada yang ada di desa-desa di Jawa. Sebagian besar pertandingan yang saya tonton dan mainkan memakai aturan jumlah pemain dan pelanggaran. Remaja tanggung dekat di pantai Padang menerapkan tendangan sudut dan back-pass, meskipun gawangnya berupa sendal dan batok kelapa, sementara tepi lapangan berubah-ubah seturut pasang surut hempasan ombak. Di Mentawai, pemain yang datang telat akan tertib antri di pinggir lapangan dan menunggu giliran setelah kuota 22 orang terisi.

Ketika matahari mulai turun dan kabut tipis senja hari berarak dari arah Bukit Barisan, penonton dan pemain berseru riang 
‘maen sore, maen sore’. Seruan bergema menjelang akhir permainan dan secara harfiah menunjukkan ujung senja hari. Segera, peluit dan segala aturan akan ditanggalkan dan spontanitas pegang kendali

Lebih dari sekadar harfiah
 maen di ujung hari, seruan itu bisa berarti sebagai ajakan bermain sepakbola dengan penuh perasaan, tak peduli menang-kalah dan lebih dekat dengan istilah permainan ‘tak terkendali’.  Istilah ini dilontarkan baik oleh pemain dan terutama penonton untuk menyemangati tim yang sedang kalah atau tidak punya harapan untuk menang. 

Seruan ini juga bisa berarti: kalau tidak dapat menang di pertandingan, harus menang dalam ‘memakan’ pemain lawan. Setiap pemain harus siap-siap menjaga badan. Tekel-tekel tinggi akan melayang. Siku-siku dan lutut bersiap-siap menghantam. Terkadang ludah ikut muncrat dan urat leher menegang sesering seringai ejekan dan senyum-senyum cibiran. 

Dalam periode maen sore, wasit biasanya undur diri dan peluit berhenti berbunyi. Pemain menyukai karena longgarnya aturan. Penonton menyenangi karena suara mereka bisa menghidupkan irama permainan. Pelanggaran paling kasar akan dimaklumi. Salah umpan atau buang-buang peluang tidak begitu dipedulikan. 
Permainan bisa jadi tidak karuan dan bola bergerak mengikuti arah angin puting beliung. Tapi bukankah demikian juga dengan "tempo" dalam lukisan terbaik Affandi atau film-film Tarantino?

Maen sore ini adalah bagian paling maskulin dari sepakbola rakyat. Seorang pemain yang mundur dari periode ‘maen sore’ tanpa alasan harus siap menerima ejekan.  Ejekan yang terlontar lazimnya punya asosiasi dengan perempuan. Kata-kata “pakai rok saja”, “kutangnya 
ukuran 35”, atau “pulang menyiapkan makan malam” diarahkan kepada pemain yang pulang lebih cepat sebelum maen sore berakhir.

Adzan maghrib dan beduk tidak begitu banyak berperan. Karena hanya dimainkan di akhir pekan, 
permainan bisa berlangsung hingga matahari benar-benar terbenam. Terkadang maen sore lebih panjang dari “maen normal. Selama sisa-sisa cahaya merah matahari masih memendar dan ujung-ujung pohon durian di perbukitan sekitar masih kelihatan, bola terus bergulir di sela-sela kaki. Di bulan-bulan kering, pertandingan bisa berlanjut sampai masuk malam.

“Hari Sabtu depan masih lama lagi, kalau perlu kita “maen malam””, seloroh para pemain Mentawai yang bersemangat. Saya pernah terlibat permainan hingga hampir 
jam delapan malam, ketika suara tonggeret dari ladang sagu bersaing dengan teriakan kiperyang bingung dan kabur memperhatikan arah serangan lawan.

Maen sore dekat dengan permainan kasar, cepat dan lepas kendali. Cedera, luka-luka, perkelahian adalah peristiwa yang menandai periode ini. Maen sore bersifat relatif: tanpa aturan dan bunyi peluit, ia bisa berakhir lebih cepat atau lambat. Ketika terjadi benturan keras, tekel kasar, atau gestur marah tak terkendali dari salah seorang pemain, itulah pertanda permainan harus berakhir.

Jika "injury time" adalah istilah industri sepakbola untuk waktu tambahan yang diberikan oleh wasit atau panitia karena pertandingan di waktu normal terhenti, biasanya karena ada pemain yang cedera, maen sore adalah sekaligus injury time dan peluit panjang dalam pengertian yang sesungguhnya.

Gol Terakhir di Australia

Di negeri empat musim, sihir sepakbola membuat orang-orang yang mencintainya mengatasi perubahan cuaca. Saat matahari beredar lebih lama di musim panas, taman-taman lengkap dengan garis lapangan dan tiang gawang di seantero kota adalah tempat terbaik mengeluarkan keringat malam hari. Di musim dingin, ketika matahari masuk peraduan lebih cepat, lampu-lampu dan pemanas dinyalakan di pinggir lapangan.

Seperti pertandingan sepakbola non-televisi di mana-mana, cuaca, waktu dan hukum adalah perkara relatif untuk pemain. Di pertandingan akhir pekan di taman-taman di Perth Australia atau di Leiden, Belanda, orang-orang beragam warna kulit dan usia bertanding tanpa peluit dan banyak aturan. Mereka juga bertanding tanpa batasan waktu resmi dan pasti.

Permainan bisa di mulai lebih awal ketika tujuh atau delapan 
berkumpul di taman. Jika terlalu sedikit, mereka bergabung dengan orang lain tak di kenal di lapangan sebelah.  Sambil menunggu pemain lain berdatangan, mereka main dalam lapangan kecil dengan batas imajiner. Gawangnya berupa sepasang sepatu kets atau dua tas yang ditata selebar satu langkah kaki.

Meskipun sebagian ada yang tidak mengerti lemparan ke dalam atau back pass, pertandingan relatif lancar. Pemain yang melanggar atau menyentuh bola “dengan sadar” mengangkat tangan. Sesekali terjadi perdebatan tentang posisi opset. Namun pada prinsipnya emosi ditekan agar bola mengalir dan tidak mudah berhenti. Teriakan-teriakan mengikuti arah bola. Terkadang, jika pemain terlibat sengketa, berhenti dan keluar lapangan adalah pilihan masuk akal dari pada 
membalas tebasan kaki lawan.

Pertandingan lebih sulit dihentikan ketika kedua tim sedang seru-serunya jual beli serangan. Masjid jarang-jarang (lagipula gema suara adzan 
dianggap menyalahi aturan) sementara pengontrolan emosi tidak membuka kemungkinan bagi maen sore. Lagi pula, tidak mudah mengajak orang yang sedang asyik menghayati arti permainan. Selama kaki masih sanggup berlari dan bola terus mengalir, selalu ada alasan untuk menunda batas permainan.

Namun, setiap pemain tahu kapan tendangan terakhir dalam permainan hari ini. “Satu gol lagi” atau “Gol terakhir hari ini” adalah istilah yang 
keluar jika permainan hampir mendekati akhir. Bukannya menurunkan tempo, sekali ungkapan ini terucap, para pemain berlari semakin kencang dan gesit membuka ruang, sementara yang lain bersiap waspada dan meningkatkan akurasi umpan.

Gol terakhir sangat penting. Selain mengakhir permainan, gol itu akan diingat sampai pertandingan berikutnya, tidak peduli 
Anda kalah atau menang. Ia definitif gol yang dicetak terakhir, tapi siapa yang punya gol ini sangat tergantung dari kerelaan kedua tim menerimanya. Satu gol lagi bisa berarti aliran gol-gol berikutnya, ketika salah satu tim yang unggul menggunakannya sebagai cemoohan atau salah satu tim masih merasa bisa menciptakan gol balasan. 

Permainan bisa menjadi demikian panjang seperti Sabtu kemarin. Di bawah udara mengigil akhir musim gugur Australia Barat, sebuah pertandingan berlangsung tak seimbang. Di makan usia dan tanpa pemain cadangan, tim yang saya bela menjadi bulan-bulanan. Lebih dari enam gol menjebol gawang kami, hanya dibalas dengan dua atau tiga kali peluang.

Tim lawan berulangkali memberi isyarat untuk mengakhiri permainan. Namun, kami pura-pura tidak mendengar. Kami berupaya menghapus rasa malu dengan gol terakhir. Kami berharap mendapat satu-satunya peristiwa yang pantas diingat sampai pekan depan. Kami mendapat tendangan penalti, tapi tidak berhasil dituntaskan. Suhu turun menjadi delapan derajat. Angin 
kian kencang dan dingin hujan semakin menusuk tulang. Tim memburu kesempatan, namun gol terakhir tak kunjung datang. Sebaliknya, tim lawan dengan fisik dan teknik yang lebih baik terus bersenang-senang, menikmati hujan air dan hujan gol.

Semakin bernafsu kami memburu, semakin habis napas dan semakin tipis udara, semakin jauh kami dari harapan. Bola sudah seperti anjing hitam berlari ke sana kemari di malam hari dan tidak mau berhenti. Sampai kemudian, sebuah serbuan terakhir dan tendangan terakhir. Kiper sudah tidak lagi bisa melihat apakah tendangan itu mengarah ke gawang atau menyamping. Tidak ada jaring sehingga sulit memastikan apakah itu gol atau bukan.

Yang pasti, itu adalah gawang kami.


Related Posts:

Andai Sepp Blatter Raja Mataram

Oleh Darmanto Simaepa

*Untuk Dian Yanuardi

Andai saja Sepp Blatter berusaha menjadikan anak perempuannya, Corrine, sebagai kandidat presiden FIFA, saya tidak keberatan pasang taruhan bagi kemungkinan revolusi kesetaraan jenis kelamin dalam sepakbola. Di bidang di mana sepekan klub Perancis dilatih seorang ibu asal Portugal untuk kepentingan komersial dirayakan seperti penobatan Paus, kemungkinan FIFA dipimpin perempuan lebih masuk akal dari pada penobatan raja Mataram perempuan. 

Blatter melakukan segala yang ia bisa lakukan agar perempuan dihargai dalam olahraga tercinta ini. Konon Piala Dunia wanita terwujud karena campur tangannya—saat ia masih menjadi sekretaris Havelange. Ia juga mengklaim sebagai pencetus Ballon d’Or untuk pesepakbola wanita dan penyeru fasilitas stadion profesional liga perempuan. Pokoknya, di depan pesepakbola wanita di seluruh dunia, Ia berani menyebut dirinya sebagai “Godfather”. Jika ia mengubah aturan, menitahkan perintah, atau mengatur pertemuan agar buah spermanya menjadi presiden FIFA, yang keberatan paling-paling Hamam dan Maradona—atau para penulis the Guardian. 

Sementara bagi lelaki dan dunia, jasa Blatter tidak sedikit! Ia dengan cerdik mengemas perubahan demografi pesepakbola elit di Eropa (dan dunia) sejak dua dekade terakhir dengan kampanye respek dan anti-rasisme, seakan-akan badan pengelola sepakbola siap dengan banjir pemain kulit berwarna dan tantangan multikuturalisme. Di bawah pimpinannya, FIFA tak henti-henti melobi kementerian tenaga kerja di negara-negara Eropa untuk menerapkan pajak rendah dan regulasi kontrak pekerja di bawah umur agar anak-anak berharga murah dari Afrika, Amerika Latin, dan sebagian Asia dapat diubah menjadi “homegrown player” bagi klub-klub kaya. 

Itu baru sebagian. Kampanye sepakbola untuk orang miskin menjangkau Haiti, El Salvador atau Kaledonia Baru. Sebentar lagi bendera FIFA akan berkibar-kibar di bekas reruntuhan kuil-kuil dewa di Nepal. Sambil menciptakan lapangan-lapangan bagus di kawasan kumuh di negara-negara berkembang, FIFA juga mengirim rumput dan sepatu impor serta mengenalkan apparel di sudut-sudut lapangan. Oh ya, selain menyerukan financial fairplay agar pangeran Arab atau Oligarki Russia tidak menghambur-hamburkan uang minyak, Blatter juga berhasil membendung upaya investigasi rekening dan akuntansi FIFA selama gelaran piala dunia. 

Kalau saja Blatter raja Jawa—pengandaian penggemar sepakbola tentu saja—Ia tidak akan sulit untuk menjadi sinkretik, adaptif, dan membaca tanda-tanda zaman untuk tetap berkuasa. Meski di lemari kerjanya di Swiss tidak ada serat yang ditulis Ranggawarsita atau Jayabaya, bukan hal yang sulit bagi orang dengan kaliber dia untuk meramal perubahan zaman. Ia tidak perlu belajar dari perjanjian Gianti untuk belajar mempertahankan kekuasaan dengan cara bekerja sama dengan musuh dan mengirim sekutu dekat-si pangeran Arab-ke penjara.  

*****

Mungkin suatu kebetulan semata bahwa naiknya Blatter ke tampuk kerajaan FIFA tahun 1998 persis dengan penobatan Raja Mataram sebagai gubernur Yogya. Yeah, anggap saja ini suatu kebetulan yang enak dijadikan perbandingan. Keduanya juga kebetulan melewati masa turbulensi dan transisi rejim kekuasaan. Tidak perlu uji IQ untuk tahu bahwa kedua raja ini sama-sama pintar.Jika tidak pintar, masa kepemimpinan Blatter tidak bertahan selama 4 kali periode. Jika tidak lihai, tidak mungkin jabatan Gubernur di Yogya bisa melampaui aturan undang-undang.

Namun, ada juga sedikit perbedaaannya. Tidak seperti si Sultan yang, seperti leluhurnya dan juga wangsa-wangsa pra-Indonesia Modern, terus mencari-cari legitimasi dari langit dan mimpi dini hari, Blatter relatif  tidak perlu pergi memanggil arwah manusia Neanderthal. Ia juga tidak perlu UU keistimewaan FIFA atau Sabda Tama untuk membuat singgasananya aman. Ia terus berkelit dari bayang-bayang rejim korup a la Havelange melalui kampanye-kampanye manis transparansi dan akuntabilitas.   

Memang ada masa ketika Raja Jawa lebih lihai dalam meramal cuaca dan masa depan mahkota. Ahli sejarah dan cerdik-pandai percaya bahwa masuknya Kerajaan Mataram dalam pelukan republik adalah bukti hilangnya primordialisme dan munculnya ikrar nasionalisme. Saya pernah mendengar langsung salah satu mulut bapak Sosiologi Indonesia bilang bahwa klausul dalam perjanjian Giyanti—bahwa VOC/Belanda tidak bisa menyerang kedudukan raja Mataram—digunakan untuk menyelundupkan para pemimpin revolusi lewat pintu dapur Keraton. Boleh juga ditambahkan di sini: tanpa pemihakan Yogya ke Republik, serangan Umum 1 Maret tidak terlaksana dan revolusi Indonesia tinggal nama. 

Orang juga bilang, Raja Mataram lihai membaca arah badai politik paska-kemerdekaan. Keraton sigap mewujudkan tuntutan populer kaum tani tak bertanah sambil membentangkan layar bersiap-siap menyambut pasang naik Orde Baru yang muncul di balik cakrawala. Lebih menakjubkan lagi, sang Raja segera melegalkan pembagian tanah kepada rakyat dan dianggap ikut menerapkan reforma agraria. Para cerdik-pandai memuji, rakyat senang hati, dan raja harum namanya. Pun ketika kerusuhan Mei meletus, Raja Mataram dengan cermat membuat perhitungan. Ia menghelat Pisowanan Agung, bergabung dengan rakyat untuk menurunkan Presiden Jawa, yang merupakan teman akrab bapaknya dan juga salah satu pimpinannya, dan aha! berhasil menderet namanya dalam barisan tokoh pembaharu…

******

Sejarah yang diingat cenderung berisi kisah aktor-aktor lihai-pandai yang berhasil mengarungi kemelut zaman. Itulah mengapa, buku-buku sejarah diisi oleh orang-orang besar. Itulah mengapa, kita gampang terjangkiti amnesia sejarah. Itulah mengapa, Sartono Kartodirjo menjadi anomali ahli sejarah. Orang lupa bahwa zaman peralihan berisi oleh kecamuk peristiwa sosial dan silang sengkarut kekuatan sosial yang bekerja. Kita menapis sejarah yang berlumpur demi mendapatkan ikan yang mudah dijadikan bahan perbincangan. 

Prestasi Blatter adalah paksaan dari sebuah kekuatan sosial. Putaran uang siaran televisi dan keunggulan komparatif tenaga kerja murah Bangladesh atau China memungkinkan FIFA dan klub-klub kaya mendapatkan kontrak mega-milyar sambil kampanye respek dan perang melawan kemiskinan. Semakin krusial gol dan hasil pertandingan dalam menentukan klub mendapatkan tiket liga Champions atau negara melaju ke babak gugur, membuat FIFA mengadopsi teknologi. Menguatnya peran penonton di dalam dan diluar stadion dalam industri sepakbola memaksa FIFA memberi penghormatan bagi orang yang dipandang penting mati atau ada hal-hal yang musti diperingati.


Menjawab tantangan industrialisasi sepakbola, FIFA malih rupa. Mereka mengklaim menjadi malaikat penyelamat sepakbola dan menjajakannya ke seluruh penjuru dunia. (Nabi kita Galeano pasti tidak setuju dengan kalimat ini. Ia menyebut Blatter sebagai mucikari). Entahlah. Dengan baju sinterklas atau lipstik menor, FIFA mengecer permainan brilian ini ke dalam sirkulasi konsumsi. Semakin banyak iklan berjejal di siaran televisi; semakin banyak waktu dihabiskan para pemain di gym dibanding dengan di meja makan keluarga; semakin dalam penonton merogoh kocek untuk bisa menonton di stadion. 

Begitu juga dengan raja-raja Jawa. Agak sulit diterima bahwa hal-hal bijak (atau paling tidak dianggap bijak) hanya bersandar dari wahyu dari langit. Tidak banyak rujukan yang menyatakan bahwa ketika Mataram gabung Republik, kerajaan Melayu di Sumatera Timur dihantam revolusi, kepala tengku-tengku di Aceh dipenggal massa, dan raja-raja di Sunda Kecil terkencing-kencing di celana. Tidak banyak analisa kritis yang menjelaskan praktik redistribusi tanah dengan kebutuhan legitimasi baru ketika kerajaan Mataram berhadapan dengan institusi politik demokratis bernama Indonesia.

Saya tidak membantah bahwa redistribusi tanah paska proklamasi adalah kecakapan politik luar biasa Sultan Mataram IX. Tapi, ini bukanlah politik berdasar atas azas kebaikan. Semua sarjana sepakat bahwa di Jawa penguasaan cacah lebih penting dari wilayah. Tanah tentu saja penting, tapi saat barangkali tidak penting-penting amat untuk dimiliki. Bahwa dia dibagi-bagikan kepada "rakyat", ini lebih memberikan legitimasi politik-kultural yang amat dibutuhkan untuk membangun relasi dengan Indonesia. Raja Jawa bersikap adaptif dan terbuka oleh kekuatan sosial bernama negara agar bisa melanggengkan kepentingannya di saat Mataram sedang meredup sementara republik sedang gegap-gemputa menyambut ufuk fajar. 

Dulu, mengurus abdi dalam tidak membutuhkan banyak anggaran. Status sosial menggerakkan orang bekerja dengan upah minimal. Dengan nama baik, legitimasi, tahta untuk rakyat, orang-orang di keraton masih makan enak dan tidur nyenyak. Kekayaan kultural memberi legitimasi kultural dan penerimaan simbolik. Kini, Anda tidak hanya butuh abdi dalem untuk menyemir keris Sultan atau mengganti atap keraton bukan?

Nah, sebagai Raja FIFA, Blatter yang punya ijazah dibidang bisnis dan bekerja di departemen pariwisata Swiss lihai mengubah kampanye dan birokrasi sepakbola sebagai sarana menggali dana. Kemanapun ia pergi, eksekutif Adidas, Pepsi, atau Microsoft selalu mengikuti. Ketika sumur penghasilan FIFA kelihatan tidak akan kering, keistemewaan Yogyakarta tidak otomatis menjamin alokasi dana dari Jakarta bisa menyelamatkan posisi politik-ekonomi keraton.

Dulu mungkin pasir pantai laut Selatan hanya menjadi taman bercinta sang Raja dan Nyai Roro-nya.  Ketika pasir-pasir hitam itu bisa dijual mahal ke investor Australia, bukan hal sulit untuk menjelaskan sengketa Sultan Ground. Keistimewaan adalah kata yang indah dan mesin politik yang canggih untuk melegitimasi penarikan tanah-tanah swapraja yang (telah?) diserahkan ke negara dan rakyatnya.

Bintang telah beralih, mengiringi Yogya yang agak lain. Seperti halnya sepakbola dunia, kita menyaksikan Yogya semakin intensif dilintasi pergerakan orang dan uang. Hotel-hotel menghalangi pandangan jernih ke arah Merapi. Kolam renang apartemen-apartemen mengeringkan sumber-sumber air tanah. Bangunan-bangunan gagah itu memberi insentif finansial dibanding rumah-rumah petak dan gardu-gardu siskamling. Di kawasan peri urban, duit-duit pertambangan dari luar Jawa mengubah sawah-sawah dan sungai menjadi lahan bisnis properti. Preman, jasa sekuriti, dan tukang parkir membanjiri trotoar dan lalu lalang di tiap perempatan.

Tidak perlu baca Naomi Klein untuk tahu bahwa lintasan kapital lazimnya diikuti dengan rentetan kekerasan. Perkelahian antar geng bukanlah hal yang baru di Yogya. Joxzin, GPK atau Qzruh lahir dan beranak pinak dua generasi. Namun belakangan dimensi "ras dan identitas" dalam setiap pertempuran semakin jadi penanda kuat. Gadis Batak ceroboh di pom bensin itu bukan hanya ketiban sial, tapi target yang paling mudah dan lemah bagi orang-orang frustasi dalam kesehariannya. Kata 'Indonesia Timur' tiba-tiba muncul secara kasat telinga, mengiringi lalu-lalang industri narkotika dan huburan malam paska kasus Cebongan. 

*****

Di tengah deras arus perubahan ini, kerajaan harus malih rupa dan ikut dalam permainan. Sosio-ekonomi Yogya terentang-paksa oleh arus kapital, begitu juga sikap politiknya. Di tengah upaya resentralisasi Jakarta dan kelimun investasi, pendulum politik keraton akan sulit memilih untuk bertahan di wilayah kultural dan simbolik. Mereka terpaksa untuk menceburkan diri dalam arus dan arah sejarah.

Orang mungkin lupa teka-teki ini: Sultan berikrar berhenti jadi orang nomor satu di Yogya dan mendedikasikan karir politiknya sebagai tokoh nasional tahun 2007. Ia juga berjanji akan menjadi pemimpin simbolik dan spiritual setelah itu. Sukar untuk tidak diterjemahkan bahasa politik ini selain untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini. Ia kelilingi nusantara. Dapatlah ia dukungan dari raja-raja yang bangkit kembali di era otonomi.

Saat itu, rencana bisnis ekstraksi pasir besi dengan investor Australia telah disepakati . Namun, rencana itu tidak mungkin bisa dieksekusi hanya dengan keputusan provinsi. Petani Kulonprogo melawan, legitimasi kultural sulit dipertahankan. Sulit bagi Keraton untuk melawan keputusan politik Bapak-kakeknya sendiri. Sebuah artikel di Rolling Stone menyebut ada pembiayaan untuk kampanye dan pendaftaran konvensi calon presiden versi Golkar. Saatnya sang Raja naik ke panggung nasional. Ia perlu UU untuk membuat keputusan politik besar

Rencana gagal. Pesona raja Jawa tidak ada apa-apanya dengan mulut manis SBY. Ia terpaksa mudik untuk menyelamatkan rejim yang menghadapi gelombang perubahan. Hanya orang yang tidak melek hatinya saja yang percaya keputusan untuk menanggalkan gelar sebagai sebuah sikap bunuh diri hirarki atau dorongan bagi emansipasi. Tidak lain dan tidak bukan, keputusan politik menanggalkan gelar khalifatullah justru adalah taktik dan legitimasi untuk meneruskan kuasa

Seperti halnya era transisi “feodalisme” Havelange menuju “industrialisme” Blatter, kita sedang menyaksikan transformasi kerajaan feodal Yogya, dengan segala kebajikan dan kejahiliahannya, menuju (mmmh.. ada usulan kata lain?) kerajaan yang harus menghadapi penggencaran modal. Seorang Raja butuh cara dan rencana untuk menyelamatkan rejim dari “arus balik”ini. Seperti yang sudah-sudah, legitimasi kultural mengikuti keterpaksaan politik.


Di sini ada beda sedikit antara Blatter dan Raja Jawa: Ia tidak perlu Corrie untuk menjadi juru selamat dan kita tidak perlu bertaruh dan berdebat mengenai emansipasi perempuan dalam sepakbola.

































































































































































































































































.





















Related Posts: