Catatan tentang Sebuah Kerusuhan


Oleh Mahfud Ikhwan


Sejarah mengajarkan, hanya butuh satu orang gila untuk mengobarkan perang dunia. Dan sore itu (07/02), saya menyaksikan langsung bahwa hanya butuh seorang pemarah setengah teler untuk menyulut kerusuhan di sebuah pertandingan sepakbola.

***

Mendamba cukup lama untuk bisa kembali menonton sepakbola langsung di stadion, setelah hampir setahun tak melakukannya, digelarnya pertandingan ISL antara Persija vs Persipura di Jogja tampaknya akan jadi penebusan yang melegakan. Kalau bukan berkah, ini paling tidak sedikit hal baik dari tidak menentunya kompetisi bola yang bisa saya nikmati. Makanya, meski sedang amat sulit memikirkan sepakbola, saat seorang teman mengingatkan kalau hari itu Persija-Persipura bertanding di Mandala Krida, dengan bersemangat saya mandi dan mempersiapkan diri.

Mengingat kurang dari seminggu sebelumnya, saat pertandingan Persija vs Persiwa di tempat yang sama, terjadi keributan, saya merasa harus sedikit berhati-hati. Untuk itulah saya pilih outfit netral: kaos merah polos berbedge bendera Indonesia dan lambang Sea Games 2009 (pemberian seorang kenalan) dan syal (timnas) Indonesia. Tapi, seorang teman yang baru datang dari Solo mengingatkan kalau itu warna yang identik dengan Pasoepati, kelompok suporter Solo yang punya hubungan kurang baik dengan Brajamusti, kelompok suporter PSIM, yang kandangnya dipakai untuk pertandingan kali itu. Mencoba menghindari masalah sekecil apapun, saya buru-buru berganti kaos.

Datang satu setengah jam sebelum kick-off, saya dan seorang teman disambut dengan suasana stadion yang sudah hiruk-pikuk. Kami memang menyangka, meski partai usiran, pertandingan ini akan ramai ditonton—mengingat reputasi kedua tim. Namun, tetap mengejutkan jika seramai itu. Karena sedang dalam keadaan berhutang, saya menyepakati ajakan teman saya agar kami membeli tiket paling murah di tribun terbuka. Tapi, cuaca yang sedang sangat panas membatalkan niat itu. Kami akhirnya beli tiket kelas dua di tribun beratap.

(Ketika keluar stadion usai pertandingan, kami pasti mensyukuri keputusan itu...)

Satu jam sebelum kick-off, stadion sudah hampir terisi separo. Tribun paling mahal, 75 ribu, yang tepat di sisi barat garis tengah lapangan, mutlak dikuasai oleh suporter Persipura—meski mereka bukan golongan yang berkostum dan berspanduk. Tribun di kiri-kanannya tapi masih di sisi barat lapangan, dimana kami berada, adalah tribun yang tampaknya akan jadi paling cair. Kebanyakan diisi oleh penonton tanpa kostum, namun di banyak bagian terlihat penonton beratribut Persipura dan Persija duduk sebanjar. Mereka sama-sama meneriakkan nama pemain macam Yoo, Boaz, Tibo, BP, atau Ramdani dan bertepuk tangan saat rombongan pemain Persipura maupun Persija memulai sesi pemanasan.

Di tribun terbuka, suporter (berseragam dan berspanduk) Persipura lebih dulu masuk. Petugas keamanan mengawal mereka ke sektor belakang gawang bagian utara, dimana suporter tamu tampaknya biasa ditempatkan. Namun, jumlah mereka yang jauh lebih besar dibanding kapasitas sektor suporter tamu itu, mereka akhirnya meluber hingga mengisi hampir separo tribun terbuka (atau sekitar sepertiga kapasitas stadion). Sepertinya semua orang Papua di Jogja hari itu berkumpul bersama di Mandala Krida. 


Di sisi tribun terbuka lain, saat itu, spanduk suporter Persija terlihat lebih banyak dibanding jumlah suporternya sendiri. Saya menyangka, suporter Persija akan kalah jumlah hari itu—mungkin keributan dengan suporter Persiwa tempo hari jadi sedikit pertimbangan mereka. Tapi, saya salah. Mereka cuma masuk agak terlambat. Lima menit sebelum pertandingan dimulai, jumlah mereka mulai mendekati suporter tamu.   Namun, karena mereka jauh lebih terlatih dan lebih reguler berada di tribun stadion, suara dan gerakan  mereka segera mengambil alih arena. Mereka menjadi tampak lebih besar lagi saat penonton netral yang membeli tiket kelas tiga bercampur dengan mereka.


Saat kick-off dilakukan, hampir tak ada sela kosong di tribun penonton. Itu membuat, kelompok suporter Persipura di sisi utara dan kelompok suporter Persija di sisi selatan hampir menyatu di sisi timur lapangan belahan utara. Terlihat hanya beberapa petugas berompi hijau terang dan segelintir suporter tak berseragam yang tampak tak antusias—teman saya mengatakan, itu petugas berpakaian preman—yang memisahkan kedua kelompok suporter.  

Saat itulah saya baru ingat kalau dua kelompok suporter ini pernah punya masalah. Kalau tak salah, mereka ribut saat Persipura mengalahkan Persija di Senayan pada final Divisi Utama 2005.

***

Tapi, masalah itu sepertinya tak akan kambuh hari ini. Tensi pertandingan berlangsung sangat biasa. Persija bermain aman, Persipura kurang tajam. Dicadangkannya Ramdhani Lestaluhu di satu pihak dan gagalnya Boaz bermain secara mendadak di pihak lain mungkin jadi penyebabnya. BP terisolasi, meski Robertino Pugliara bermain sangat baik. Di sisi lain, bola-bola sodoran Zah Rahan yang memukau (seperti biasanya), banyak disia-siakan oleh Tibo dan Beto. Lebih banyak diserang, Persija mendapatkan gol dari tendangan penalti BP, setelah sebuah handball yang tak begitu jelas di depan gawang Persipura.

Gol itu tak mengesankan. Juga keseluruhan jalannya pertandingan babak pertama. Sebuah aksi spektakular kiper Andrithany yang menggagalkan sundulan Tibo dari jarak dekat adalah adegan terbaik di 45 menit pertama. Tapi, hal paling menarik justru terjadi di tribun terbuka. Yaitu, saat usaha suporter Persipura membuat mexican wave berkali-kali gagal karena suporter Persija tak pernah menyambutnya. Kami yang ada di tribun kelas dua sebenarnya ingin terlibat dengan gelombang manusia ala Piala Dunia Mexico 1986 itu, dan karena itu sedikit menyesalkan dinginnya sambutan suporter Persija. Karena itu pula, kebanyakan penonton di tribun tertutup memuji usaha itu. Tapi, karena berkali-kali melihat gelombang itu macet di belahan lapangan yang sama, kegagalan suporter Persipura kemudian jadi bahan tertawaan.

Di lapangan, babak kedua jadi lebih membosankan lagi. Persija mulai tampak bertahan, sementara Persipura justru kehilangan ritme. Masuknya Lukas Mandowen dan Ramdhani Lestaluhu di waktu yang tak berselang lama disambut gemuruh penonton. Keduanya bermain baik. Pada satu-dua momen, terlihat jelas keduanya adalah talenta-talenta terbaik Indonesia saat ini. Tapi, mereka tak mampu mengangkat suhu pertandingan. Kira-kira memasuki 10 menit terakhir, hanya orang edan yang  bisa membayangkan kalau pertandingan itu akan merujung kerusuhan.

Sialnya, sore itu, orang edan itu ternyata ada di stadion.

Antara tujuh hingga lima menit menjelang pertandingan berakhir, seorang berkaos putih melompat dari tribun belakang gawang utara tempat suporter Persipura berada. Ia berlari sejauh panjang lapangan—dengan melewati puluhan petugas keamanan!—menuju tribun tempat suporter Persija terkonsentrasi. Seorang diri, si kaos putih itu menantang dan melempari ratusan (malah mungkin ribuan) suporter Persija. Orang itu pasti sangat bangga terhadap dirinya sendiri, karena dalam hitungan menit saja bisa memukul mundur ratusan orang. Yang aneh, bukannya menangkap si kaos putih, petugas keamanan justru memburu suporter Persija yang memberikan perlawanan. Ribuan suporter Persija berhamburan. Ada yang ke pintu keluar, ada yang ke lapangan, ada pula yang menantang maut dengan melompati pagar pembatas sektor yang memisahkan tribun terbuka dengan tribun beratap.

Meski tempo sedikit meningkat di waktu tambahan, pertandingan berakhir hampir tanpa perhatian. Lapangan yang ditinggalkan pemain ke ruang ganti, diisi penonton yang meluber dari tribun. Si kaos putih bergulat dengan temannya sendiri. Suporter Persija kini berhadap-hadapan langsung dengan petugas keamanan. Titik api terlihat di beberapa bagian stadion. Beberapa orang tampak terluka.

Yel-yel “Polisi goblok!” membahana saat kami memutuskan untuk keluar dari stadion.

Related Posts:

0 Response to "Catatan tentang Sebuah Kerusuhan"

Posting Komentar