Pemakaman: Kekalahan Madrid dari Inter dan Akhir Karir Di Stefano*

Oleh Sid Lowe; Terj. Mahfud Ikhwan



“Pemakaman.”

Alfredo Di Stefano terdiam untuk beberapa saat. Rasa itu, andai saja ia masih bisa melihatnya, masih mendekam. Duka. Ngungun. Saat ketika semua menuju penghabisan.

Pemakaman?

Si! Muerta, la gente.” Ya! Semua orang mati.

Sekali lagi, diam.

“Lihatlah,” ia berkata menggumam, “orang-orang selalu ingin menang, dan jika tidak…”

Dan jika mereka tidak menang, maka ada konsekuensinya. Malam itu, di Stadion Prater Wina, adalah konsekuensinya. Terpental dari Piala Champion untuk pertama kalinya pada 1960-61 oleh Barcelona, Real Madrid kembali mencapai final di Amterdam pada 1961-62, ketika mereka kalah oleh Benfica 5-3, dan mereka kemudian dikalahkan Anderlecht pada babak awal musim 1962-63. Tapi pertandingan-pertandingan itu tak ada yang memiliki dampak seperti pertandingan yang ini.

Adalah 27 Mei 1964 dan Real Madrid mencapai final berikutnya di Piala Champion—final ketujuh dalam sembilan edisi pertama kompetisi ini—melawan Internazionale. Dilatih oleh Helenio Herrera, Inter memiliki Sandro Mazzola, Jair da Costa, Mario Corso, dan bekas pemain Barcelona Luis Suarez, sementara presidennya adalah Angelo Moratti. “Bernabeu tidak seperti Moratti,” kata Di Stefano belakangan. “Ia selalu bilang, kalau kita membagi pena atau bendera kepada para wasit, ia membagikan medali emas.”

Inter juga punya bek kiri bernama Giancinto Facchetti. Pelatih Madrid, Miguel Munoz, terobsesi dengannya. Facchetti punya reputasi mengebom sisi sayap dari full-back dan Munoz sudah memutuskan bahwa dialah, dan hanya dia, yang harus dihentikan. Beberapa pemain tidak yakin dengan keputusan itu; ada perdebatan sengit saat rapat tim. Semua dirancang untuk mencegah Facchetti membuat masalah bagi Madrid, menyisakan yang lainnya bebas, dan itu mengubah pendekatan permainan Madrid. “Perkara Facchetti ini membuat kami gila, menjadikannya pemain yang tampak sangat penting,” kenang Di Stefano. “Semua orang harus berpikir bahwa Facchetti adalah Gento. Jadi apa yang terjadi? Facchetti tak pernah menyerang kami, sekali pun.”

Pada babak kedua, pemain lainlah yang melakukannya. Inter mengendalikan Madrid. Tarcisio Burgnich menjaga Paco Gento, Facchetti mengatasi Amancio Amaro, dan Aristide Guarneri menempel ketat Ferenc Puskas. Untuk Di Stefano, Carlo Tagnin mengikutinya ke mana pun ia pergi. Itu adalah malam yang memutusasakan. Madrid lebih banyak pegang bola, tapi meraka tak bisa ke mana-mana. Inter secara mengejutkan justru merasa nyaman: “Satu-satunya hal yang tidak dilakukan sweeper mereka hanya ambil kursi dan main biola di tengah lapangan,” keluh Di Stefano. Mazzola mencetak dua gol, Milani satu, dan Inter menang 3-1. Mereka merengkuh gelar pertama dari dua gelar Piala Champion yang mereka menangkan secara berturut-turut. Untuk Madrid, itu adalah kekalahan berikutnya di final Piala Champion. Dan akhir masa keemasan itu pun datang menjelang.

Ignacio Zoco dikontrak dua tahun sebelumnya dan menjadi gelandang Madrid malam itu. Ia menunjuk rekaman video di pojok ruangan. “Kami pasti sudah menonton pertandingan itu delapan kali,” katanya. “Dan setiap kami menontonnya, semakin sulit kami menjelaskan kenapa kami kalah. Aku tetap tak mengerti. Tak ada seorang pun yang mengerti. Tapi kami kalah; sesering apa pun kami menontonnya, skor tetap tak berubah. Kami jadi nomor dua, dan di sepakbola nomor dua tak berarti apa-apa, lebih-lebih di klub ini.”

“Reaksi setelah pertandingan persis seperti sekarang ini: saat kamu bermain bagus, kamu fenomenal dan semua orang menepuk punggungmu; begitu kamu bermain buruk, kamu tak ada harganya,” terus Zoco. “Selalu sulit hidup dengan menanggung beban di klub ini, tapi kamu tak ada pilihan lain kecuali tak hidup sama sekali. Saat naik taksi, kamu kuatir sopirnya mengajak ngobrol: ‘pertandingan kemarin malam itu...’. Begitulah kalau keadaan sedang memburuk. Semua orang maunya main ganti: ‘orang itu sudah nggak berguna’. Itu seperti ganti oli untuk mobil: ‘ini sudah aus, ganti ini!’ Mereka ingin memensiunkanmu.”

Ingin memensiunkanmu? Untuk kasus Di Stefano, hal itu nyaris harafiah.

Final Piala Champion 1964 adalah pertandingan resmi terakhir Alfredo Di Stefano untuk Madrid. Ia tak bisa melepaskan diri dari penjaganya dan dalam sebuah kesempatan yang jarang ia lakukan, ia ribut dengan Armandi Picchi, “salah seorang sweeper” ia menandai, “yang bermain sangat dalam, yang jika kamu ada di kelimun kabut dan kamu berpikir bahwa kamu sudah melewati semua lawanmu, satu orang itu akan muncul menghadang: entah dari mana anak itu datangnya? Apa mereka main ber-12 atau bagaimana?” Di Stefano tidak terkesan dengan taktik yang dipakai timnya, bersikeras bahwa ia sudah patuh untuk berlari tak tentu tujuan sepanjang pertandingan, dan itu membuat Madrid seperti bermain satu orang lebih sedikit. Di situ ada tensi yang meletup, frustrasi, dan amarah. Pada satu kesempatan, ia mengklaim Munoz menyumpahinya dari pinggir lapangan, meneriakinya brengsek. Di Stefano menyumpahinya balik: “Kamu yang brengsek! Kami main bertaruh nyawa, berlari seratus mil perjam, dan kamu masih bilang aku brengsek?”

“Saat itulah,” Di Stefano mengenang, “Aku tahu siapa sebenarnya Munoz.”

Jika Di Stefano berpikir bahwa ia sudah terlalu banyak berlari, orang lain berpikir ia tak cukup berlari—dan tak akan kuat berlari lagi. Bagaimana pun, ia sudah dekat dengan ulang tahunnya yang ke-38, rambutnya telah menipis, dan kecepatannya telah surut. Seperti seorang pemain seangkatannya menyebut, si Anak Panah Pirang telah kehilangan dua hal yang membuatnya menjadi si Anak Panah Pirang: ia sudah tidak lagi pirang, dan ia sudah tak lagi sebilah anak panah. “Di Stefano sudah tak ada lagi. Ia kehilangan kecepatannya; ia tak lagi sanggup menjelajah lapangan,” tulis sebuah surat kabar. “Sungguh menyedihkan, kita telah menengarai masa senja karirnya.”

Respon marahnya kepada Munoz sama sekali tidak menolong. Konflik telah membesar untuk beberapa lama; Di Stefano sudah lama menjadi pelatih Madrid secara de facto dan ia sudah menjadi terlalu angkuh, sulit untuk menanggung hal itu. Kenyataanya, ia bukan lagi dirinya yang dulu. Meski begitu, akhir itu begitu tiba-tiba dan tak disangka. Sebelum final, Bernabeu bersikeras, “prajurit tua tak ada matinya.” Setelah pertandingan, “Jika kamu ingin berlagak bintang, kamu sudah pernah tahu bagaimana caranya. Tak cukup dengan bilang, ‘aku sudah begitu, sudah begitu, terbaik di posisinya.’ Oke, terus...?”

Jika ada orang yang mengira-ira bahwa orang yang di-“begini-begitu”-kan itu adalah Di Stefano, maka perkiraan itu segera terjawab. Pertandingan Real Madrid berikutnya adalah melawan Atletico Madrid, dan Di Stefano ditepikan, untuk pertama kalinya dalam 11 tahun. Ketika ia menanyakannya pada Munoz, sang pelatih hanya bilang: “Aku tak perlu menjelaskannya.”

Di Stefano kemudian ditawari posisi tertentu di klub, tapi karena harga dirinya sudah terluka dan masih yakin bahwa ia masih bisa terus tampil di lapangan, ia menolak tawaran itu. Seperti dikenangnya, Bernabeu bilang ia menginginkannya bertahan dan bekerja untuk klub “di berbagai posisi”; “Berbagai posisi,” Di Stefano menimpal. ”Posisi apa? Aku tak mau jadi satpam atau pegawai TU... Perbarui kontrakku, dan jika pada Oktober atau November aku tidak bermain sebagaimana biasanya, aku akan pulang dan kamu bisa menawariku pekerjaan. Jika aku suka, aku akan terima. Tak ada masalah. Tapi setidaknya, setelah darah, keringat, dan air mata ini, bicaralah padaku.”

Bernabeu bergeming. Munoz, orang yang oleh sang presiden dideskripsikan di media sebagai “jujur dan bijaksana”, telah menulis laporan yang merekomendasikan bahwa pemain terhebat Real Madrid sepanjang zaman sedang menuju pensiun, dan bersikeras bahwa ia tak akan sanggup lagi bermain dalam sistem klub tersebut. Tapi itu bukan satu-satunya alasan. “Aku tidak membela atau menyalahkan Di Stefano, tapi yang tak lagi bisa kami terima adalah kurangnya kedisiplinan,” sang presiden mengumumkan, mencoba menyembunyikan luka hatinya. “Di Stefano sudah pergi, dan itu tak masalah. Pemain lain juga pergi. Kami menangis, tapi itu sama sekali tak jadi soal.”

Di Stefano bergabung dengan Espanyol, tempat ia kembali setim dengan teman lamanya Laszlo Kubala dan mencetak 19 gol dalam dua musim. Bernabeu melihat kepindahannya ke klub lain sebagai pengkhianatan; demikian juga Di Stefano. Pemain-pemain lain sama tidak senangnya dengan tindakan klub terhadap pemain Argentina itu. Dalam sebuah pertengkaran tak lama setelahnya, kepada sekretaris klub Marquitos ngotot: “separo lapangan ini adalah milik Alfredo.” Di Stefano berpikir, ia tahu dari mana semua ini bermula: “Munoz bilang ‘brengsek’ ke aku,” tulisnya belakangan, “dan mereka menendangku dari klub karena aku bilang balik kalau dialah yang brengsek.”

Itu adalah akhir dari sebuah persahabatan yang indah. Bernabeu menamai perahu pemancingannya yang ia apungkan di lepas pantai Santa Pola dengan nama Di Stefano, namun sang Anak Panah Pirang tak pernah kembali ke Real Madrid. Istri Bernabeu belakangan mengeluh bahwa Di Stefano tak pernah sekalipun menanyakan kabar suaminya saat ia sakit keras. Tapi Bernabeu sendiri mungkin tidak akan menyambut kunjungan bezuknya. Di Stefano memperoleh bet pelatihnya, menyelesaikan ujiannya sebagai peraih rangking satu bersama Kubala. Keduanya sah jadi pelatih, dan masing-masing menjadi manajer yang sukses. Di Stefano memenangkan liga dan Piala Winner bersama Valencia, juga memimpin River Plate menjadi juara Argentina. Namun ketika media mendorong-dorong bahwa ia adalah orang yang paling pas menangani Real Madrid, sang presiden tak mau tahu, dan—seperti dilaporkan—bersumpah bahwa Di Stefano tak akan bisa balik lagi ke Madrid selama dirinya, Bernabeu, masih hidup.

Di Stefano sudah seperti rasa asin pada air laut, seseorang yang namanya tak ingin disebut oleh Bernabeu. “Aku kehilangan seorang anak,” seseorang pernah mendengarnya mengatakan demikian. Di Stefano, bagaimanapun, akhirnya kemballi di awal 1980-an, melatih klub muda Madrid dan kemudian klub utamanya. Pada 1983, Madrid yang dilatihnya menjadi runner-up di lima kompetisi, dan belakangan, pada 1990, ia menjadi manajer sementara bersama Jose Antonio Camacho. Fkorentino Perez menjadikannya presiden kehormatan Madrid pada awal milenium. Namun karena Bernabeu sudah mati lebih dari dua dekade lalu, sumpahnya pun tunai.


*Diterjemahkan dari  Fear and Loathing in La Liga (Yellow Jersey Press, 2013), khususnya sebagian Bab 9 (Blond Arrow), hlm. 146-151.   

Related Posts:

Ketje Belgia dan Warisan Kolonial Sepakbola Eropa

Oleh Darmanto Simaepa


Jika timnas Swiss atau Austria mendapatkan bakat alam dari anak-anak pengungsi Albania, Jerman dipenuhi talenta keturunan pekerja imigran Turki,  maka Belgia diuntungkan oleh kehadiran orang-orang Afrika, terutama dari negara bekas jajahannya. Orang-orang dari Zaire atau Kongo merantau ke Brussel atau kawin-mawin dengan perempuan Antwerpdan melahirkan pemain seperti Romelu Lukaku, Vincent Kompany atau Jason Denayer.

Orang Afrika atau campuran yang lahir di Belgia diberi istilah khusus, Ketje. Berasal dari bahasa Flemish, Ketje secara literal merujuk pada anak-anak muda non-kulit putih. Ketje gampang ditandai karena mereka berwarna gelap dan berperawakan tegap, atletis, kuat, liat, dan cepat.

Ketje adalah sebutan bagi anak-anak muda yang hidup santai, penuh canda, suka pesta, dan gemar berkencan. Secara sosial, Ketje punya kaitan dengan gambaran kehidupan idaman yang bebas, mengalir dan tanpa beban. Mereka hidup dalam suasana sukaria tanpa banyak pikiran.

Ketje secara metaforis juga menggambarkan kehidupan campuran di kota-kota Eropa paska kebangkitan nasionalisme abad 19 dan 20. Kehidupan bebas Ketjemenubuhkan imaji zaman peralihan bebas belenggu kolonisasi. Periode peralihan ini ditandai masuknya gayahidup baru yang dibawa penduduk  bekas jajahan ke negara bekas penjajah.
Ketjedikagumi karena memiliki apa yang tidak dipunyai oleh Eropa: semangat anti-kemapanan, energi dan vitalitas. Gayahidup serampangan dan ringan hati dipandang melengkapi, atau anti-tesis dari, apa yang dipunyai  Eropa: keteraturan, logika presisi, dan organisasi.

Di Belgia dan Belanda, kekaguman (dan juga hinaan) tentang Ketje adalah gambaran tentang kehidupan Eropa yang dekaden. Ketje menjadi sebuah olok-olok terhadap sopan-santun sisa feodalisme abad pertengahan. Ia alegori bagi penduduk benua yang  mapan dan berkecukupan sisa penjarahan dan penjajahan, namun hidup membosankan.

Di lapangan sepakbola, gayapermainan Ketje memberi dimensi lain sepakbola Eropa yang mengandalkan logika. Kehadiran Ketje secara fisik memberi metafor bagi percampuran gaya main non-Eropa dan Eropa. Mereka memberi otot dan kelenturan, kecepatan dan dinamika, semangat dan fantasi. Di timnas Belgia, kualitas fisik Kompany, atletisme Romelu Lukaku, dan kegesitan Jason Denayer melengkapi teknik Eden Hazard dan Kevin de Bruyne.

Kehadiran Ketje di Belgia di Piala Eropa kali ini lebih istimewa. Dengan jumlah separuh dari keseluruhan skuad, mereka turut menciptakan generasi emas Rode Duivels yang komplit dibanding generasi emas era Enzo Scifo tahun 1980-an. Dari belakang ke depan, tim Belgia berisi kombinasi menarik antara kualitas teknik dan keunggulan fisik.
Sejak dua tahun lalu, tim ini digadang-gadang menjadi kandidat pendobrak kemapanan negara adidaya sepakbola. Bahkan dari ukuran koefisian FIFA, Belgia di atas Jerman, Spanyol atau Italia.

Kehadiran kolektif Ketje di timnas Belgia mengingatkan generasi emas Prancis di Piala Eropa 2000. Waktu itu, Prancis memiliki tim multikultur yang komposisinya setara. Generasi ini juga memaksa kita membandingkannya dengan timnas Belanda 1988. Kala itu, kombinasi teknik Belanda totok dan kualitas fisik Ketjedalam diri Ruud Gullit, Aaron Winter atau Frank Rijkaard menyandingkan permainan Total Football dengan raihan piala.

Apakah KetjeBelgia ini akan menciptakan sejarah baru? Karena bukan juru ramal, saya tidak tahu. Yang lebih menarik bagi saya tentang Ketje ini adalah mereka mencerminkan kesinambungan historis antara Belgia sebagai bekas negara penjajah dan negara-negara jajahannya dalam memproduksi pemain sepakbola.

Terputusnya rantai kolonialisme tidak serta merta memutuskan rantai sejarah sepakbola negara koloni dan metropol. Dan ini tidak hanya Belgia. Separuh dari skuad  Portugal dan Prancis diisi oleh pemain yang lahir di negara jajahan atau hasil kawin campur. Dan ini juga bukan hal yang baru.

Jika turnamen Piala Eropa selalu diwarnai kehadiran Ketje, kenapa jarang sekali di antara mereka berasal dari Asia Tenggara, dan terutama Indonesia, meski negara ini dijajah selama berabad-abad oleh negara Eropa?

Baiklah. Tentu saja benar bahwa darah Maluku menyumbang Giovanni van Bronckhorst dan Johny Heitinga. Dan pastinya marga Nainggolan ada di timnas Belgia. Namun, ada dua perbedaan besar antara Ketje Indonesia atau Asia Tenggara besar dengan Ketje Afrika.

Pertama, Ketje Indonesiahanya berlaga di liga-liga kelas dua dan tiga dan sedikit sekali yang menjadi pemain kelas dunia. Kedua, mereka muncul sporadis, dan tidak melahirkan satu generasi pemain seperti Lukaku dan kawan-kawannya.

Apakah Ketjedi Indonesia di Belanda tidak banyak? Tidak juga. Apakah mereka kurang bisa beradaptasi dan tidak punya sikap petualangan anak muda seperti KetjeAfrika? Mungkin saja. Apakah Ketje Indonesia tidak punya kualitas fisik, teknik dan bakat? Bisa jadi.

Ataukah ini lebih luas dari sekadar urusan sepakbola? Misalnya, apakah ini karena keterputusan historis sepakbola kita dengan Belanda paska 1945 sehingga menyulitkan kesinambungan industri sepakbola Indonesia dan Belanda? Ataukah karena ini dosa Belanda yang tidak mewariskan sesuatu yang berharga kecuali hutang perang?

Menyaksikan Ketje di timnas Belgia melentingkan bola membuat saya berandai-andai jika saja Belanda mewariskan sesuatu berharga bagi Indonesia selain tanam paksa.


*terbit di Jawa Pos, 15 Juni 2016


Related Posts:

Dua Xhaka, Dua Negara, Satu Wajah Piala Eropa

Oleh Darmanto Simaepa


Piala Eropa kali ini adalah momen istimewa buat keluarga Xhaka. Dua bersaudara, Toulant dan Granit, akan saling bertarung di grup A, mewakili dua negara berbeda. Granit, saudara muda, berseragam Swiss; sementara Toulant berkaus Albania. Lahir di Swiss dari pasangan Albaniayang mengungsi akibat perang Yugoslavia, kedua Xhaka lahir dan memulai karir di Basel.

Xhaka bersaudara punya bakat cemerlang. Tampil di liga profesional sejak usia belasan, mereka langganan juara bersama FC Basel. Keduanya bermain di semua level tim nasional Swiss junior, meski akhirnya, Toulant memilih Albania. Keputusan ini diambil atas saran si adik yang tidak ingin ia mengulangi kesalahan sama dengan memilih Swiss.

Toulant dan Granit mewakili pesepakbola masa kini yang hidup di banyak negara dan punya lebih satu kewarganegaraan. Lihatlah Jerman dan Turki. Sebagian pemain timnas Jerman adalah orang-orang Turki. Sebaliknya, timnas Turki berisi pemain-pemain yang lahir, besar dan bermain di liga Jerman. Lihatlah timnas Austria dengan Serbiaatau Bosnia.

Xhaka bersaudara adalah dua di antara puluhan pemain di Piala Eropa yang bisa memiluh bermain untuk negara tempat mereka lahir atau negara orang tua. Para pemain ini lahir dari pasangan yang pindah entah karena akibat perang atau menjadi pekerja migran. Dengan hidup yang lebih baik, mereka memilih menjadi warga di negara baru dengan mempertahankan ikatan dengan negara lama.

Bagi mereka, sepakbola menawarkan jalan keluar bagi masalah adaptasi dan integrasi. Ketrampilan mengolah bola dapat mengalahkan prasangka rasial dan mengeluarkan bocah-bocah berbakat ini dari perumahan pengap dan gelap di pinggiran kota. Yang utama: sepakbola memberi pengakuan sebagai warga negara.   

Bagi negara tempat ia lahir, pemain seperti Xhaka atau Ibrahimovic adalah berlian kasar yang jarang mereka hasilkan. Dengan akademi dan industri sepakbola yang tertata, berlian itu bahan dasar prestasi tim nasional. Selain itu, mereka adalah inspirasi bagi integrasi dan contoh keberhasilan sistem demokrasi. Bagi negara asal orang tua, mereka sumber daya siap jadi. Pengalaman dengan liga profesional membuat mereka dinilai tinggi. Lebih dari itu, mereka adalah teladan perantau sukses.

Meski bukan hal yang baru sama sekali, fenomena pemain seperti Xhaka bersaudara ini muncul secara kolosal sejak satu dekade terakhir. Mereka semua lahir akhir 1980an atau awal 1990an. Dan ini bukan kebetulan. 

Pada periode tersebut, dunia menyaksikan kematian perang dingin dan menyongsong kelahiran Uni-Eropa. Setelah Tembok Berlin runtuh, kebijakan neo-liberal mulai dirasakan secara global: perdagangan bebas menjadi mantra dan arus tenaga kerja murah melintasi batas-batas negara. Nama-nama Rakitic, Hakan dan  Karim lahir di Amsterdam atau Stuttgart.

Arus migrasi ini seiring globalisasi sepakbola, yang ditandai lahirnya aturan Bosman atau siaran liga Eropa ke lima benua. Arus ini melicinkan pertukaran tradisi sepakbola yang dulunya ‘khas’ negara tertentu. Hollandse Schoolmelanglang ke Spanyol, dikembangkan menjadi tiki-taka, lantas dimodifikasi di Jerman. Inggris mengadopsi gaya Eropa Daratan, sementara Italia tak lagi mengandalkan catennacio.

Kombinasi arus pergerakan pemain dan pertukaran gaya main, gilirannya, mengubah wajah Piala Eropa. Dulu sepanjang perang dingin, Piala Eropa menjadi suaka bagi sentimen nasionalisme. Timnas adalah wakil negara yang lebih nyata dari bendera, lebih manusiawi dari kepala negara, dan lebih konkrit dari pada angka statistik.

Menonton timnas bertanding adalah wujud sentimen nasionalisme. Di Austria, Belanda, atau Polandia pertandingan melawan Jerman dan Soviet selalu dirayakan sebagai momen kolektif sebagai bangsa. Peluang mengalahkan Jerman dan Soviet sebanding dengan harapan membalas atas apa yang dilakukan Hitler atau Stalin selama masa perang.

Generasi Xhaka di Piala Eropa kali berbeda. Mereka menghadirkan turnamen sepakbola sebagai festival bagi nasionalisme kosmopolitan. Kebanggaan nasional tidak hilang, tentu saja, namun ia malih-rupa menjadi karnaval global. Tidak jarang saya ketemu orang Belanda memuji Jerman dan berharap mereka juara. Eric ‘the King’ Cantona yang orang Prancis, memberikan suaranya untuk Inggris. Beberapa orang Italia di Napoli mendukung Slovakia, negara kapten klub mereka.  

Piala Eropa masa kini kehilangan wajah nasionalisme yang keras, sempit dan patriotik. Mendukung timnas tertentu bukan lagi perkara ‘tumpah-darah’. Tiap orang pasti punya lebih dari satu negara jagoan. Dimainkan oleh pemain kosmopolit dan disaksikan secara global, turnamen ini menunjukkan jalinan evolusi mutakhir sepakbola dan globalisasi yang membentuknya. 

Apakah gelaran Piala Eropa menunjukkan gejala senjakala nasionalisme? Saya tidak yakin. Di Jerman dan Prancis, masih ada protes tentang timnas Jerman yang tidak Jerman dan Prancis yang tidak Prancis. Gambar orang Inggris menangis tetap akan ada dan perkelahian melibatkan orang Albania di Zurich mungkin saja terjadi.

Sepakbola berpilin ke udara mengikuti putaran globalisasi. Ia pernah mengeraskan sentimen nasionalisme namun sekarang melenturkannya. Arah sepakbola tidak pernah bisa ditebak atau diprediksi. Namun kita bisa menangkap wajahnya. Wajah itu terlihat dari kebahagian dan kebanggaan yang dibagi keluarga Xhaka di Basel atau Albania, seperti halnya kebahagiaan yang dibaginya untuk jutaan orang Indonesia yang tidak punya hubungan historis dan emosional dengan Albania.

Related Posts:

Anak-anak Bangau Berjenggot

Oleh Mahfud Ikhwan


Migrasi dan perang kentara mewarnai sejarah sepakbola. Dulu begitu. Dan tampaknya masih akan begitu.

Tanpa pendatang Inggris, mungkin hari ini Amerika Latin tidak bermain bola melainkan sumo. Jika para budak dari Ghana tidak dibawa kapal-kapal Portugis ke Brazil dan dipekerjakan di perkebunan-perkebunan kopi dan tebu di hutan hujan Amazon, boleh jadi yang mereka punya hanya Ayrton Senna, sebab Garincha, Pele, Romario, hingga Ronaldinho tak pernah ada. Italia mungkin tak akan seperkasa sekarang, atau bahkan lebih memilih main basket saja, bila para oriundi dari Argentina tidak keluar dari negara mereka dan Azzuri tidak meraih dua gelar dunia pertamanya.

Jika Yahudi jenius bernama Sindelar tidak mati secara misterius, dan Austria tidak dicaplok Nazi, dan tim impiannya tidak dipaksa bermain untuk memuliakan Hitler, mungkin yang punya 5 gelar dunia bukan Jerman, tapi Austria. Bila saja Yugoslavia tidak terbelah, pemain-pemain Denmark yang sudah berangkat piknik itu tidak akan pernah memperoleh piala Eropanya.

Gelar dunia pertama Prancis diwarnai dan ditentukan para keturunan imigran, sama seperti yang dilakukan para anak imigran untuk gelar paling mutakhir Jerman. Dikapteni anak imigran Balkan, Swedianya Zlatan jauh lebih dikenal dibanding Swedianya Brolin yang cemerlang, semifinalis Piala Dunia 1994. Dalam tim Belgia yang belum lama ini menempati peringkat pertama FIFA kita bahkan menemukan nama Indonesia. Sementara itu, seorang bocah Thailand ada di tim Swiss yang menjuarai Piala Dunia U-17 2009. Tim ini sendiri dikapteni seorang anak imigran Albania.

Dan bocah Albania yang sama, Frederic Vaseli namanya, bersama sembilan nama lain yang lahir dan/atau besar di Swiss, pulang ke negeri orangtuanya, untuk mengantar Albania lolos ke Euro 2016, kejuaran besar sepakbola pertama dalam sejarah negara paling tertinggal di Eropa itu.

***

Vaseli lahir dan tumbuh di Swiss. Juga Cana, Mavraj, Ajeti, Xhaka, Abrashi, Basha, dan Gashi. Lanjeni dan Aliji pun tumbuh di Swiss, meskipun masing-masing lahir di Kosovo dan Macedonia. Dari 23 pemain yang dibawa pelatih De Biasi ke Prancis, yang lahir di Albania hanya 8 orang. Tak mengherankan, asisten pelatih Paolo Tramezzani harus keliling Eropa untuk menemukan anak-anak perantau Albania yang berbakat.

Kemiskinan tinggalan rejim komunis Enver Hoxha, juga konflik berdarah di Kosovo, wilayah bekas Yugoslavia yang dihuni oleh minoritas etnik Albania, membuat bangsa itu tercerai-berai. Mereka pergi untuk menghindari perang, sekaligus mencari penghidupan yang lebih baik. Dari sekitar 3 juta, tak kurang dari sepertiga penduduk Albania hidup di luar negaranya. Kebanyakan menjadi pekerja kasar di negara-negara Eropa Barat, terutama Italia, Jerman, dan Swiss. Anak-anak para perantau inilah yang belakangan kita kenal namanya lewat kiprahnya di sepakbola. Valon Behrami, Xherdan Shaqiri, Granit Xhaka, Adnan Januzaj, dan Shkodran Mustafi adalah sedikit dari banyak anak perantau Albania yang mengemuka.

Albania memang bukan kisah satu-satunya. Awal 2000-an, kita temukan nama-nama Balkan di banyak tim dunia, dari Swedia hingga Singapura. Pada kurun yang kurang lebih sama, bocah-bocah turunan Turki ada di timnas Jerman, Swiss, Belanda, Denmark, dan lain-lain. Sebaliknya, nyaris separoh anggota timnas Bosnia-Herzegovina di Piala Dunia 2014 lahir atau besar di negara-negara lain.

Kasus Albania mirip Bosnia-Herzegovina, tetangga yang sama-sama terpapar konflik Balkan. Tapi Albania lebih mengundang perhatian karena jumlah pemainnya yang lahir di rantau lebih banyak. Juga, karena di Euro 2016 ini, mereka satu grup dengan Swiss. Bukan saja karena Swiss adalah tempat sebagian pemain Albania lahir, tapi karena tim ini begitu berwarna Albania. Tak kurang, enam pemain timnas Swiss berdarah Albania, dan sangat memenuhi syarat memperkuat Albania. Keluarga Xhaka bahkan memiliki masing-masing satu wakil di kedua tim. Konon, kakak-beradik Granit dan Taulant perlu melewati rapat keluarga yang emosional sebelum akhirnya memilih memperkuat dua negara yang berbeda.

Bangau yang jauh terbang akhirnya kembali ke kubangan, kata pepatah Melayu. Itu mengena, tapi tak tepat benar menggambarkan timnas Albania. Yang pulang ke kubangan bukanlah bangaunya, melainkan anak-anaknya.

***
Enver Hoxha (baca Anwar Hoja, biar lebih mudah) adalah seorang tiran yang mengamalkan Stalinisme pada level paling aneh. Anak seorang guru sufi ini ingin melenyapkan jejak-jejak sejarah Ottoman berusia 500-an tahun di Albania. Salah satu caranya adalah dengan melarang orang Albania memelihara jenggot. Maka ada cerita, pada pertandingan Piala Champions 1979, bek Skotlandia Danny McGrain ketakutan dengan jenggotnya saat timnya, Celtic, harus bertandang melawan juara Albania, Partizan Tirana.

Hoxha sudah mati, menyusul visi-visi revolusionernya yang gagal. Ia juga gagal mengikis corak Usmani yang melekati Albania. Setidaknya menurut demografi, 90% warga Albania masih menautkan diri dengan Islam. Kalau Hoxha bisa menonton siaran langsung Euro 2016 dari kuburnya, dia mungkin menyumpah-nyumpah: sebagian pemain Albania datang ke Prancis dengan jenggot lebat di dagu.

Kalah dari Swiss, "saudara angkat"-nya, Albania pasti akan sulit mengikuti jejak Denmark atau Yunani untuk membuat kejutan. Apalagi di pertandingan kedua, mereka mesti menghadapi tuan rumah Prancis. Lepas dari itu, semoga Ramadan akan memberkati mereka. Penampilan bagus anak-cucunya, yang lahir di negeri orang, berjenggot pula, mungkin bisa sedikit menenangkan Hoxha di alam sana.


*dimuat di Jawa Pos, 15 Juni 2016 

      

Related Posts:

Sepakbola Jadi-jadian ala Pabrik Minuman

Mahfud Ikhwan


Mimpi buruk Philip Oltermann dan sebagian fan sepakbola Jerman—mungkin juga dunia—itu akhirnya jadi nyata. Pada 2014, Oltermann, kontributor Jerman untuk The Guardian, menulis tentang kegundahannya berkait perkembangan sebuah klub aneh bernama RB Leipzig. Klub yang waktu itu masih bermain di divisi tiga kompetisi sepakbola Jerman itu dianggapnya bukan saja akan membahayakan tatanan mapan sepakbola Jerman, tetapi juga mengancam sistem (kepemilikan) yang dianut klub-klub di negara itu.

Pada 8 Mei 2016, RB Leipzig naik kelas. Hanya butuh satu tahun di kasta kedua sepakbola Jerman, RB Leipzig menjadi satu dari dua klub yang langsung promosi ke level tertinggi, Bundesliga. Menyertai juara Freiburg, klub yang jadi langganan Bundesliga, RB Leipzig menyingkirkan banyak klub besar lain macam Duisburg, Armenia Bielefeld, Bochum, hingga FC Kaiserslautern. Jika sebagian saja keajaiban yang dialami Leicester City di Liga Inggris musim ini terjadi pada Leipzig di Liga Jerman musim depan, mungkin saja kita akan lihat klub ini berlaga di Liga Champions lebih cepat dibanding yang angankan pemiliknya, Dietrich Mateschitz, saat mendirikan klub ini tujuh tahun lalu. Ya, tujuh tahun lalu. Klub itu berdiri pada 2009, setelah menyulap sebuah klub desa di kawasan Saxonia, bekas Jerman Timur, yang berlaga di divisi lima.

Tak mengherankan, oleh para fan klub-klub tradisional di Jerman, RB Leipzig diejek sebagai “plastic club”, alias klub jadi-jadian.

***

Banyak orang dan hal ganjil dalam sejarah sepakbola. Dan keganjilan itu makin menjadi-jadi dalam 10 tahun terakhir, seiring menggilanya industrialisasi di sepakbola, dan makin banyak dan bergentayangannya para taipan yang serampangan menanam uangnya. Tapi Mateschitz dan RB Leipzip mungkin yang paling ganjil di antaranya.

Dietrich Mateschitz adalah co-owner Red Bull GmbH, pabrik berbasis di Austria yang memproduksi minuman berenergi Red Bull. Setelah sukses mencaplok salah satu klub terbesar di negara asalnya, SV Austria Salzburg, pada 2005, Red Bull GmbH mencoba merambah Jerman. Atas saran orang terpenting dalam sejarah sepakbola Jerman, Franz “Der Kaiser” Beckenbeuer, Mateschitz mengincar area bekas Jerman Timur, tepatnya kota Leipzig. Leipzig punya sejarah dan fanatisme yang kuat soal sepakbola (asosiasi sepakbola Jerman, DFB, berdiri di kota ini pada 1900; juga tempat bermarkas VfB Leipzig, juara pertama Liga Jerman, yang di masa lalu tidak asing dengan kompetisi level Eropa). Namun, sejak Unifikasi, kawasan ini tak mampu bersaing dengan para pesaingnya dari belahan barat dan mengelami ketelantaran yang parah.

Pada 2006, deal sudah hampir kelar dengan FC Sachsen Leipzig, klub divisi empat yang dulunya juara Liga Jerman Timur. Tapi veto dari DFB dan protes keras dari fan setempat membuat deal itu gagal.

Merasa gagal di timur, Red Bull menoleh ke barat. Mereka pertama kali mengontak FC St. Pauli, klub kecil di Hamburg yang kesohor di dunia karena militansi dan ideologi kiri suporternya. Mencium gelagat tak menyenangkan, manajemen St. Pauli tak tertarik meladeni. Hal yang sama juga terjadi ketika mereka menghubungi klub yang lebih bersejarah, 1860 Munchen. Petulangan Red Bull berlanjut ke Fortuna Dusseldorf, klub besar lainnya. Tapi begitu suporter mendengar bahwa pabrikan minuman itu mau mengubah nama klub, mereka mengamuk. Red Bull kemudian balik kucing lagi ke Leipzip.

Adalah SSV Markandstadt, sebuah klub desa di pinggiran Leipzig, yang akhirnya ketiban sampur. Klub itu menjual hak bermainnya di liga kasta kelima ke Red Bull, tak pakai lama. Dan kali ini tak ada aral hukum dan administrasi yang menghalangi. Maka, pada 19 Mei 2009, berdirilah RB Leipzig. Dengan segala keganjilannya.

Keganjilan pertama ada pada nama klub. Karena Liga Jerman tidak membolehkan merek menempel pada nama klub, apa yang dilakukan Red Bull dengan klub di Salzburg dan New York tak bisa mereka lakukan di Leipzig. Dicari-carilah istilah yang mengacu pada inisial Red Bull, yaitu Rasen Ballsport yang disingkat RB. Inisial RB bukan saja ganjil untuk ukuran Jerman, tapi juga untuk sepakbola dunia. Sebab Rasen Ballsport berarti “olahraga bola rumput”.

Keganjilan kedua adalah sistem kepemilikannya. Pemilik RB Leipzig terdiri atas 11 orang, yang kesemuanya adalah karyawan atau agen Red Bull. Jumlah urunan yang mahal dan persyaratan yang ribet membuat sistem kepemilikan yang luas dan biasanya didominasi suporter klub, seperti yang lumrah di sepakbola Jerman, tak terjadi di RB Leipzip. Sebagai contoh, untuk menjadi member Bayern Munchen, seseorang hanya perlu membayar 60 Euro permusim, sementara member Leipzig harus membayar 800 Euro setahun.

Hal ganjil lain ada pada tim mudanya. Ketika berdiri, RB Leipzig tak memiliki tim junior, salah satu syarat untuk bisa berkompetisi. Ambil jalan gampang, mereka mendekati FC Sachsen Leipzig, klub yang gagal mereka akuisi tiga tahun sebelumnya, agar mau menjual tim juniornya kepada klub sekotanya yang baru berdiri itu. Klub yang keuangannya sedang kelabakan itu tak punya pilihan. Dan jadilah, maka jadi.         

Setelah semua beres, mereka akhirnya berkompetisi. Selalu menjadi klub dengan belanja terbesar di tiap divisi yang ditapakinya, termasuk dengan mengakuisisi stadion bekas Piala Dunia 2006 berkapasitas hampir 43 ribu kursi dan mengontrak Ralf Ragnick, pelatih yang pernah membawa Schalke ke semifinal Liga Champions, menjadi direktur olahraga dan kemudian pelatih kepala, RB Leipzig sulit dibendung para kompetitornya. Hanya butuh tujuh tahun untuk merangsek dari divisi ke-5 menuju puncak piramida sepakbola Jerman, Bundesliga.

***

Industri, atau lebih spesifik lagi merek dagang, memang tak pernah jauh dari sepakbola. Olahraga paling populer ini jelas terlalu ramai untuk bisa diabaikan kaum bakulan. Kita bisa mencatat, dalam sejarah sepakbola, peran mereka bahkan jauh melebihi semestinya. Misalnya, terpilihnya Joao Havelange sebagai Presiden FIFA pada 1974, tak bisa lepas dari uang bekingan milik Adidas dan Coca Cola. Karenanya, begitu Havelange menggulingkan Stanley Rous yang rasis dan Eropasentris itu, dua merek tersebut mendapat hak istimewa di turnamen-turnamen yang diselenggarakan FIFA dan pengembangan program sepakbola di berbagai level dan tempat.

Belakangan, uang dan merek dagang tampil dalam bentuk yang lebih jelas, lewat para juragan yang datang dari wilayah-wilayah yang jauh dan kadang berlatar belakang remang-remang, yang keluyuran di liga-liga Eropa. Uang mereka yang seperti tak berseri mencoba menyulap tim-tim biasa saja, atau bahkan gurem, menjadi kekuatan baru yang ditakuti. Ada yang berhasil, biasanya karena besarnya uang yang mereka kucurkan, ada pula yang gagal total. Yang berhasil akan mencoba mencari mangsa baru, sementara yang gagal dengan enteng pergi, meninggalkan klub ambyar dan para suporter yang meradang.

Red Bull, dengan sangat mencolok, tampaknya merangsek ke tahap yang lebih jauh lagi.

Pada awal-awal kiprahnya di dunia olahraga, Red Bull lebih banyak berkutat di cabang-cabang otomotif dan olahraga ekstrem. Mereka punya tim di F1 dan NASCAR, dan memiliki ajang balapan pesawat yang memakai merek mereka sebagai nama kejuarannya.  Tapi kita tahu, mereka tak akan tenang kalau mereka belum masuk ke sepakbola. Dalam waktu empat tahun saja (2005-09), mereka telah memiliki lima klub di tiga benua dengan nama, logo, dan seragam klub yang nyaris atau bahkan sama sekali mirip: Red Bull Salzburg (Austria), RB Leipzig (Jerman), New York Red Bull (AS), Red Bull Brazil (Brazil), dan Red Bull Ghana (Ghana).

Jika merek lain memburu bagian dada seragam klub-klub besar, atau menawar stadion-stadion kandang untuk dinamai merek produk, Red Bull memilih langsung ikut bermain. Meskipun cibiran datang dari kiri-kanan, mereka tetap gerak jalan. Kalau semua lancar, dengan sedikit keberuntungan, mungkin dengan ditambah kelancangan di bursa pemain, Dietrich Mateschitz akan bisa menonton klub miliknya di Liga Champions Eropa. Dan kenapa cuma satu jika bisa dua. Dan alangkah tidak mustahilnya pada tahun 2027, misalnya, separoh dari peserta Piala Konfederasi memiliki nama, logo, dan seragam yang sama. Oh, siapa tahu juga, nama pialanya kali itu disebut Piala Red Bull.

Sama sekali tidak mustahil. Setidak mustahil jargon mereka: “Red Bull Gives You Wings”.


*Pernah dimuat di Jawa Pos, 17 Mei 2016    



          

Related Posts:

Krisis Sepakbola dan Demokrasi Sosial Belanda


Darmanto Simaepa 


Sepakbola Hollandse School adalah produk kultural dan politik Belanda yang sangat penting. Sepakbola gaya ini menempatkan umpan satu-dua sentuhan, kebebasan pemain mencari ruang dan pertukaran posisi sebagai dasar permainan. Diciptakan akhir 1960-an oleh kombinasi kedisplinan Rinus Michel dan kejeniusan Johan Crujff, gaya Hollandse School tumbuh dan berkembang di bawah sistem demokrasi sosial.

Selain memelopori inovasi penggunaan transportasi publik dan kebebasan berpendapat, sistem demokrasi sosial Belanda menyediakan lapangan bola terbaik, pelatih bersertifikat, serta subsidi bagi anak berbakat. Di lapangan, ruang ganti, dan layar televisi, iklim demokratis menjadikan sepakbola sebagai bahan debat dan diskusi. Inovasi taktik 4-4-3 dan kemunculan generasi emas sepakbola Belanda era 1970an adalah hasil demokrasi sosial tersebut.

Gaya sepakbola ini diekspor, diadopsi di seluruh penjuru dunia,  dan lantas dikenal dengan nama Total Football. Kesuksesan timnas Jerman dan Spanyol, begitu pula Barcelona, mengembangkan formasi dasar 4-3-3 Hollandse School memberi inspirasi siapapun untuk mengandalkan penguasaan bola, umpan menyusur tanah, dan eksploitasi ruang sebagai kunci meraih prestasi.  

Ironisnya, ketika gaya Belanda berkembang di luar negeri, timnas dan klub-klub Belanda justru merana. Kegagalan ke Piala Eropa tahun ini merupakan indikasi kemandekan Hollandse School di tanah kelahirannya. Lebih dari itu, kegagalan ini barangkali mencerminkan kebangkrutan sistem demokrasi sosial yang menciptakannya. 

Kemandekan sepakbola Belanda bisa dilihat dari tiga aspek: tidak adanya pelatih inovatif, keringnya prestasi klub, dan seragamnya produk akademi.

Di zaman keemasannya (1970 hingga 1990an), negara kecil berpenduduk 17 juta ini melahirkan pelatih dan pemikir jenius macam Rinus, Cruijff, Leo Benhakker, dan Luis Van Gaal. Skema 4-3-3 dengan dua sayap penyerang membawa Belanda ke final piala dunia dan juara Piala Eropa. Klub-klubpun berprestasi, sementara pemain kreatif macam Marco Van Basten, Ruud Gullit, atau Dennis Bergkamp bermunculan.

Pada periode itu, Belanda punya slogan ‘pemandu demokrasi dunia’. Belanda, para politisinya bilang, menawarkan inovasi demokrasi sosial dari negara kecil. Negara inilah yang mengenalkan cuti panjang bagi pekerja perempuan, pengakuan hak minoritas dan pengaturan peredaran ganja. Duniapun berhutang pada Belanda untuk kata ‘toleransi’ dan ‘multi-kultur’.

Krisis sepakbola Belanda muncul bayangannnya di awal 2000an, setelah tim Oranyegagal ke Jepang dan Korea. Sejak kalah dari Irlandia sepuluh hari sebelum serangan WTC, sepakbola Belanda kehilangan identitas. Tim Oranye yang dulunya memuliakan kreativitas, umpan dan serangan sayap, berubah menjadi bertahan, reaktif, dan mengandalkan serangan balasan.

Alih-alih mengembangkan sistem 4-3-3, pelatih-pelatih Belanda paska pergantian alaf (Dick Advokaat,  Bert van Marwijk, Guus Hiddink) mengadopsi sistem 4-2-3-1. Meskipun Van Basten memberi harapan di Piala Eropa 2008—dengan serangan sayap lewat skema 4-5-1—ia gagal membangkitkan Hollandse School dari tidur panjangnya.

Yang masih segar dalam ingatan kita tentang sepakbola Belanda adalah tim kasar dan gemar mencederai lawan. Di Jerman, pemain Belanda beradu tinju dengan pemain Portugal. Sementara di Afrika Selatan, keanggunan gaya Belanda ditukar dengan sikutan van Bommel dan tendangan kungfu Nigel De Jong.

Belakangan, citra sepakbola Belanda diwakili oleh tim Luis Van Gaal: membosankan, gampang ditebak, dan  bikin frustasi. Di Brazil, ia memilih pendekatan konservatif dengan skema 5-3-1-1. Belanda sukses melaju semifinal Piala Dunia, dengan cara yang tidak-Belanda: ‘reactie voetball’ dengan mengandalkan kecepatan individual Arjen Robben. Di Manchester United, sepakbola garing yang ia rancang berakhir dengan pemecatan.

Dalam periode yang sama, demokrasi sosial yang pernah dibanggakan Belanda pergi entah ke mana. Partai aliran kanan dengan agenda anti-imigran dan pemakaian jilbab meraih simpati luas. Ketegangan dengan pendatang meningkat dan kata toleransi tidak lagi membanggakan. Anggaran sosial dipangkas dan pemerintah menyarankan warganya untuk menyelesaikan masalah tanpa bantuan negara.

Ditambah dengan krisis ekonomi global, kegagalan demokrasi sosial menciptakan stagnasi ekonomi dan memukul industri sepakbola. Klub-klub Belanda, kalah bersaing secara keuangan maupun prestasi. Untuk bertahan, klub tradisional seperti Ajax atau Feyenoord harus cepat menjual talenta terbaiknya setiap tahun sebelum harganya turun. Sementara klub kecil hanya bisa mengandalkan penjualan tiket dan sokongan perusahaan lokal.

Banyak dari klub Belanda kini hanya menjadi tempat ‘peminjaman’ klub-klub besar. Siaran televisi tidak memberi uang banyak, sementara  pasar global sudah dikuasai klub besar dari Jerman, Spanyol dan Inggris. Tidak mengejutkan mereka tidak pernah juara lagi di Eropa, sejak Feyenord terakhir kali melakukakannya. 

Kegagalan inovasi dan keterpurukan industri sepakbola jelas sekali terlihat dari produk pembinaannya. Belanda tidak lagi menghasilkan pemain kelas dunia. ‘Tengoklah Daley Blind,’ tulis Simon Kuper, pakar sepakbola Belanda, ‘maka kita akan melihat masalah mendasarnya’.

Blind mewakili generasi pesepakbola Belanda kontemporer. Ia pintar membaca permainan, bagus dalam mengumpan, dan bermain di berbagai posisi. Masalahnya, Blind dan pemain segenerasinya, tidak punya kualitas spesifik.

Tidak lagi ada pemain Belanda yang ahli mengirim umpan silang seperti Arie Haan. Tidak ada lagi agresifitas dan tekel bersih versi Johan Neskeens. Siapa pemain Belanda kini yang pintar memberi umpan panjang dari belakang macam Ronald Koeman atau Frank de Boer? Mana ada pemain Belanda sekuat Jaap Stam atau Ruud Gullit? Akademi di Belanda menyederhanakan kompleksitas sepakbola menjadi permainan umpan satu-dua.

Kombinasi dari mandegnya inovasi taktik dan kegagalan klub-klub memproduksi pemain kelas dunia memaksa timnas Belanda untuk bermain lewat dua skema yang berseberangan dengan dasar Hollandse School. Kalau tidak mengandalkan skema 5-3-2 lewat serangan balik, mereka bertahan dengan 4-3-3 lewat penguasaan bola tetapi minus kecepatan dan penetrasi. Dua-duanya gagal memberi jalan keluar.

Kegagalan ke Piala Eropa hanyalah puncak dari gunung es kemunduran Hollandse School. Situasi ini paralel dengan kegelisahan Belanda menghadapi krisis globalisasi. Mereka tidak lagi menjadi ‘pemandu demokrasi’. Di tahun 2013, Raja William bahkan resmi mengumumkan kebangkrutan Belanda sebagai welfare state(negara sejahtera), buah dari demokrasi sosial.

Krisis sepakbola Belanda  mungkin akan terus berlanjut sepanjang mereka belum bisa merumuskan ulang Hollandse School dan demokrasi sosial yang melahirkannya.




Related Posts:

Si Kulit Bundar yang Belah Dua

Mahfud Ikhwan


Bola itu bundar. Demikian pemeo popular di kalangan penggemar sepakbola Indonesia. Itu benar jika diberlakukan umum, untuk semua jenis bola. Bola golf bundar. Bola tennis juga bundar. Dan masih banyak lagi. Tapi jika kita benar-benar merujuk kepada bola sepakbola, bola yang dimainkan 22 orang dan disoraki jutaan mata yang menontonnya, benda yang ditemukan oleh tiga orang Argentina (Tossolini, Valbonesi, dan Polo) sebelum dipabrikasi oleh perusahaan Jerman setelah ditemukannya teknologi 32 panel oleh kiper Denmark yang juga tukang sepatu, Eigil Nilsen, percayalah bahwa “si kulit bundar” itu sebenarnya belah jadi dua. Tak main-main, pembelahnya adalah Samudera Atlantik.

Tak setua terbelahnya benua purba Pangaea, yang membuat Eropa dan Afrika terpisah dengan Amerika. Tapi belahnya si kulit bundar nyaris setua sejarah sepakbola modern kita.

***

Ketika pada Oktober 1894, Charles Miller, pemuda Brazil peranakan Inggris, turun di pelabuhan Sao Paolo setelah mudik dari sekolahnya di Southampton, penyelenggaraan Piala FA sudah memasuki tahun ke-25-nya. Aston Villa memenangkan gelar liga pertamanya dan menjadi klub Inggris terhebat hingga mengujung abad, sementara Liverpool baru saja menjuarai divisi dua. Sepuluh tahun lebih awal, di dua sisi Sungai La Plata, dua imigran Inggris lain, kebetulan keduanya guru, yaitu William Leslie Poole dan Alexander Watson Hutton, masing-masing mengajari Uruguay dan Argentina bermain bola. Saat itu, FA (Football Association) setidaknya sudah berumur lebih dari 20 tahun.

Sebenarnya, para imigran Ingris itu tak benar-benar ingin mengenalkan sepakbola kepada negeri-negeri baru mereka di Amerika Latin. Mereka lebih tampak ingin pamer. Klub-klub sepakbola pertama di Brazil, Argentina, dan Uruguay didirikan oleh orang Inggris, tapi hanya untuk dan oleh mereka sendiri. Dan oleh karena itu, seperti diceritakan Galeano, di waktu-waktu awal, orang Argentina menganggap sepakbola sebagai “permainan gila dari orang Inggris gila”. Jika ada sedikit niat baik, maka itu adalah niatan yang sama dengan yang dibawa para penjajah Eropa 500 tahun sebelumnya: mengenalkan nilai-nilai hebat Barat dan menebar moralitas Kristen.

Namun, tak  menunggu lama, benda bulat dari kulit itu menggelinding dan kemudian lengket dengan kaki kurus dan korengan anak-anak setengah Indian dan keturunan bekas budak Afrika itu. Dari Rio hingga Rosario. Meminjam kalimat David Goldblatt untuk konteks Brazil, sepakbola “menyebar dengan kecepatan dan energi berkembang biak yang lebih mematikan dibanding hama atau wabah sampar.” Sepakbola segera menjadi “ibu peri baik hati” bagi para bocah mulato dan kulit hitam di Amerika Latin, demikian tulis Galeano.

Maka, belum tak sampai sedeka kemudian, sepakbola telah menjebol batas-batas ras dan sosial yang awalnya dibawa bersamanya. Ia melenting dari pagar-pagar sekolah kulit putih, masuk ke gang-gang sempit di perkampungan miskin di Sao Paolo atau Buenos Aires. Ia merangsek keluar dari klub-klub sport ekslusif para pendatang Eropa ke kalangan buruh pelabuhan dan kuli kereta api di Montevideo. Di kondisi sosial politik negara-negara Amerika Latin yang rasis dan segregatif, sepakbola menjadi wahana demokratisasi yang paling ampuh.

Sebelum nyaris seabad kemudian seorang mulato Argentina bertubuh boncel mengkadali mereka dengan kaki (dan tangannya), orang-orang Inggris belum-belum sudah menyesali diri karena telah membawa sepakbola di Benua Amerika. Seperti dikutip Galeano, pada 1915 Sports, koran berbahasa Inggris di Brazil, pernah menulis: “Sebagian dari kita yang memiliki posisi yang jelas di masyarakat harus rela bermain bersama para kuli, dengan sopir... Olahraga kini cuma jadi derita, pengorbanan, dan bukan lagi penghiburan.”

Saat para aristokrat Inggris dan Prancis masih ribut bagaimana sebaiknya menulis dan mengeja nama asosiasi sepakbola dunia, seakan ingin mendahului, negara-negara Amerika Latin sudah menyepakati sebuah kompetisi antarnegara pada 1916. Turnamen yang akan kita saksikan perayaan ke-100 tahunnya sebentar lagi ini adalah kompetisi sepakbola antarnegara tertua—jika tak menghitung Home Nation di Inggris Raya. Ketika Amerika Latin telah menyelenggarakan lima kali kejuaraan, Eropa, dengan mengatasnamakan dunia, baru mempertandingkan sepakbola di Olimpiade Paris 1924.

Meskipun berlayar ke Eropa dengan uang hasil gadaian, dan membiayai penginapan dari mengamen pertandingan, juga sempat diremehkan, Uruguay tak terbendung menjuarai turnamen sepakbola lintas benua pertama. Pada penyelenggaraan berikutnya, masih di Eropa, dua tim Amerika Latin, Argentina dan Uruguay, bertemu di final Olimpiade 1928—final yang mereka ulangi lagi dua tahun kemudian di Piala Dunia 1930. (Dan perlu diingat, dua gelar dunia pertama Italia (1934 dan 1938) tak akan terjadi tanpa para oriundi dari Argentina.)  

***

Pada 1904, Asosiasi Sepakbola Internasional (FIFA) didirikan di Eropa dan sampai lebih dari setengah abad kemudian mereka menganggap bahwa itu hanya milik mereka. Negara-negara luar benua cuma nebeng saja. Mungkin karena itu, negara-negara Eropa baru merasa butuh asosiasi sendiri setelah 1954, yakni dengan berdirinya UEFA. Bandingkan dengan Conmebol di Amerika Latin yang berdiri sejak 1916.

Gelaran Piala Dunia pun dianggap punya mereka. Memakai alasan kualitas, kuota tim-tim Eropa di Piala Dunia sangat timpang dibanding kawasan lainnya. Seperti ditulis McBall, Eropasentrisme bahkan semakin menggebu saat kepemimpian Stanley Rous (Presiden FIFA 1961-1974). Tentu ada musabab selain perang kalau mereka baru menyelenggarakan kejuaraan antarnegara Eropa tahun 1964, meskipun Henry Delaunay, pria Prancis yang namanya diabadikan di nama tropi Piala Eropa, telah mengusulkannya sejak 1927.

Kelicinan Joao Havelange dari Brazil, yang menggandeng Pele keliling dunia untuk mengail dukungan pencalonannya sebagai Presiden FIFA dari negara-negara non Eropa, benar-benar menjadi ancaman nyata. Ketika Havelange berhasil menggulingkan Rous di Frankfurt, sejarah dan peta sepakbola berubah untuk selama-lamanya. Punya ikatan unik dengan negara-negara “kecil”, Havelange bertanggung jawab atas maraknya kejuaraan-kejuaran kelompok umur dan mekarnya Afrika. Dengan bertambahnya peserta Piala Dunia secara signifikan, Havelange juga memberi harapan—yang dulu dikunci oleh birokrat konservatif macam Rous—kepada lebih banyak negara.      

Tapi Havelange juga punya dosa. Selain membawa Pele keliling dunia, ia juga membawa serombongan bakul ke dalam sepakbola. Tanpa Adidas, Coca Cola, dan lainnya, ia tak akan bisa jadi Presiden FIFA. Dan kepada merk-merk itu, juga terutama kepada televisi, nyawa sepakbola diserahkan. Tak mengherankan, selain dua gol sensasionalnya, Piala Dunia 1986 Mexico juga dikenang karena kemarahan Maradona dan koleganya akibat dipaksa bermain pada jam 12 siang demi pemirsa televisi di Eropa.

Dosa lainnya adalah karena ia mengkader Sepp Blatter, orang Swiss yang tak pernah menendang bola, yang oleh Galeano disebut “selirnya Havelange”. Meneruskan visi Havelange, Blatter menjual sepakbola sampai di level tak terbayangkan. Ia sebisa mungkin mengisi nyaris semua tanggalan di kalender dengan jadwal pertandingan, baik di tingkat klub maupun timnas. Korupsi dan keserakahan yang menimbun FIFA di pengujung kepengurusan Blatter tak bisa dilepaskan dari visi Havelange. Juga eksploitasi habis-habisan para pemain bintang yang dibayar mahal di klub-klub elit Eropa. Untuk yang disebut terakhir itu, tak ada yang lebih dirugikan selain tim-tim nasional dari Latin Amerika sendiri, tempat para pemain terbaik di dunia dilahirkan dan akan terus dilahirkan.

Kini tak ada lagi tim nasional yang menggondol pemain dari tim nasional lain, seperti yang dulu sering dilakukan Italia dan Spanyol terhadap pemain-pemain dari Amerika Latin. Tapi, yang sekarang terjadi mungkin lebih buruk. Setelah kompetisi yang padat dan panjang, pemain-pemain seperti Messi, Neymar, Suarez, Willian, Godin, Sanchez, Vidal, pulang ke negaranya dengan punggung linu, kaki pincang, dan mata bosan. Tak terhindarkan, pola lama bahwa Eropa mengeruk bahan mentahnya dan menyisakan remah-remahnya untuk Amerika Latin kembali terjadi.   

***

Terpisah seperlima luas dunia, belahnya si kulit bundar beririsan dengan sejarah penjajahan, prasangka ras, perlawanan (budak melawan tuan, murid melawan guru, gelap melawan terang), dan kemudian perbudakan lagi. Tapi seperti terbelahnya Laut Merah bagi kaum Israel, terbelahnya si kulit bundar ini adalah sebuah berkah.

Ya, berkah. Terutama untuk kita, bangsa yang tergila-gila dengan sepakbola tapi tak memiliki sedikit pun kemampuan untuk mengurusnya. Dan karena hanya dimuat mual oleh sepakbola kita sendiri, menemukan siaran Piala Eropa dan Copa Amerika secara hampir bersamaan seperti meneguk es degan di buka puasa pertama. Segar... dan enak di perut. Dan untuk itu, mari berterimakasih kepada Havelange dan Blatter atas dosa yang mereka lakukan terhadap sepakbola.

Kemegahan pasti akan didapat pada gambar-gambar dari Paris atau Marseille. Tapi jika ingin melihat pesta dan drama (ingat colekan Jara ke bokong Cavani tahun lalu?), maka pelototi siaran dari Chicago atau Seatle. Dan karena ini Ramadan, jangan lupa tarawih dan tadarusnya. Dan tentu saja puasanya.












  


Related Posts: