Usai Enam Satu

Oleh Darmanto Simaepa

Hanya Tuhan yang punya imajinasi, MU bisa kalah enam-satu di Old Trafford dari City. Saya tak pernah mendengar orang suci, penderita skizofrenia, atau bandar judi paling berani menebak marjin angka hingga lima. Bukannya sepakbola penuh dengan kemungkinan? Itu tidak usah diragukan. Pemuja fanatik si Merah pasti khawatir timnya bisa saja kalah. Fans paling pesimis dan kurang percaya diri si Biru pasti punya harapan liar timnya menang pertandingan. Namun, komet Halley hanya terlihat 79 tahun sekali. Dan itu agaknya tidak akan melintas waktu dekat ini.

Begitulah. Kadang sepakbola memberi kita kejutan akhir pekan. MU sudah lama tidak pernah kalah dengan cara begini. Anda boleh menggunakan statistik. Halaman sejarah boleh ditilik. Tentu saja, dalam derby, MU mungkin pernah lebih buruk. Tetapi, sebuah kekalahan tidak pernah bisa dibandingkan. Tidak pernah. Tidak semenyakitkan ini. Tidak semengejutkan ini. Lagi pula itu sudah lama sekali.

Di konferensi pers, Fletcher bilang, ‘kita akan segera bangkit. Ini rasanya sama kalah dengan 0-1,’. Pernyataan Fletcher tidak menggambarkan sebenarnya. Dia sedang ingin menghibur diri. Melalui ESPN, Fergie menyatakan, sabtu sore itu adalah ‘hari terburuk dalam hidupnya’. Baru sekali ia merasakan kalah 1-6 di Old Trafford. Bahkan ia tidak ingat apakah pernah kalah setelak ini semasa bermain. Tahun 1989, MU kalah 5-0 di Maine Road. Waktu itu, MU bukanlah siapa-siapa. Di akhir kompetisi MU ada di no. 14 dan City no 7. Itu kekalahan tidak dikandang sendiri. Juga, belum disaksikan ratusan juta penduduk dunia. Sesaat setelah pertandingan itu, Fergie langsung pulang membenamkan kepalanya di bawah bantal berhari-hari.

Oh ya, masih ada satu lagi kekalahan yang tidak pernah dilupakan Fergie. Kekalahan itu didapatkan MU dari Barca di Nou Camp. Kejadiannya terjadi 17 tahun lalu. Saat itu—dengan Stoichkov, Romario, Laudrup, Guardiola, Zubizaretta dan Koeman—Barca di bawah Cruijff adalah tim terbaik dunia. Edisi Maret 2011, Fourfourtwo mengenang pertandingan itu dengan penuh nostalgia. Babak knock-out Liga Champions yang menyisakan banyak trauma. Dua minggu sebelumnya, mereka bermain imbang 2-2 di Old Trafford.

Nou Camp bagaikan neraka bagi Garry Pallister. Bek raksasa itu menyatakan, ‘aku frustasi sepanjang laga. Aku tidak pernah melihat tim sebaik itu. Aku tidak pernah bisa mengambil bola dari kaki mereka. Inilah satu-satunya pertandingan yang aku ceritakan kepada anakku tanpa rasa bangga,’. Steve Bruce, kapten tim, berkata, ‘Saya mengerti bagaimana sulitnya Vidic dan Rio menghadapi Messi dan Xavi’, ketika berusaha membandingkan dengan kekalahan MU di Final Champion tahun ini, ‘tapi saat itu, kami bahkan tidak tahu harus berbuat apa-apa’.

Melihat tayangan ulang pertandingan itu, pemain MU seperti kehilangan akal melihat pergerakan pemain Barca. Skor 4-0 tidak menggambarkan keseluruhan pertandingan. Statistik belum secanggih sekarang. Kita tidak pernah tahu berapa data penguasaan bola dan operan keduanya. Hanya saja kita bisa menerka dari bagaimana Eric Cantona bereaksi terhadapnya. Ia begitu marah terhadap dirinya sendiri karena tidak mampu mengimbangi gelandang Barca. Konon, kekalahan inilah yang mengubah pendekatan Fergie terhadap kejuaraan Eropa.

Sejak itu, MU tidak pernah kalah dengan cara memedihkan.

******

Mengakui kehebatan lawan tidak mengobati kegusaran. Mengecam kecerobohan Evans semakin menambah pedih ingatan. Melihat lagi angkanya, kepala anda seperti sedang dihantam badai paling buruk di lautan. Saya tidak tahu bagaimana cara pendukung MU akan menanggungnya. Olok-olok atas kekalahan ini akan bertahan sangat lama. Media-media Inggris membuat lelucon memedihkan di headline-nya. ‘They Feel Six’, ‘Six in the City’ atau ‘Six-pens on the Richter’. Jelas kekalahan itu bukan lagi gema enam Magnitudo.

Sama seperti penggemar MU lain, saya sulit mempercayai skor akhirnya. Awalnya, saya cukup percaya diri, ketika Koen Meyers, teman dari Belgia, bertaruh dua botol Corona untuk kemenangan City. Dia sebetulnya fans MU, tapi karena Kompany—sama-sama dari Belgia dan lahir di Kongo—bermain di City, dia segera beralih pegangan. Kami menonton bareng di sebuah bar dekat jalan Pajajaran, Bogor. Suasana ramai. Awal-awal pertandingan, sorak-sorai pendukung MU lebih dominan.

Pertandingan berimbang meski penguasaan dan peluang memihak lawan. Itu biasa bagi MU di babak pertama. Lalu, gol elegan Balotelli. Ini sedikit mengubah cuaca pertandingan. SMS dari pembenci MU mulai datang. Ada dari Yogya, Padang, Mentawai, dan satu dari Belanda. Ejekan mulai menghampiri. Suasana di bar semakin menghangat. Fans City mulai berani bernyanyi dan memaki. Seseorang mulai berkeringat dingin. Babak pertama selesai, saya masih bisa membela diri. Beberapa sms bernada ejekan bisa dibalas dengan nada tenang. Pertandingan belum usai. Anda bisa berharap kecepatan Chicarito akan mengubah irama permainan. Atau kejeniusan Nani di piala Carling Nani akan berulang lagi. Kentang goreng sedikit mengalihkan perhatian.

Setelah kebodohan Evans, kartu merah itu membunuh MU. SMS datang bertubi-tubi. Rasa frustasi mulai datang. Hanya sayap ayam goreng dan alkohol yang menjadi penenang. OK, permainan berlanjut. Ada pesan masuk mengatakan, pertandingan telah berakhir dan matikanlah televisi. Saya membalasnya, masih ada harapan untuk hal-hal yang kita cintai. Tapi harapan mulai menjadi tragedi. Balotelli kembali. Lalu Kun, Silva, dan Dzeko. Saya tidak bisa lagi menelan ludah. Gol cantik Fletcher hanya sebuah jeda untuk menarik napas sebelum anda tenggelam. Sepanjang babak kedua, anda hanya menahan kesabaran. Meski hari gerimis, saya bersikeras untuk pulang. Hujan air jauh lebih bisa diterima dari pada hujan cemoohan dari tetangga berisik yang dimabuk kemenangan.

Setiap kekecewaan selalu membutuhkan penjelasan.

Analis sering mengatakan, MU selalu bermasalah dengan kiper. Jika Fergi menemukan figur penjaga gawang yang tepat , MU akan berada di jalur kemenangan. Itu benar, sejauh gelandang tengah tidak punya masalah. Jika kita melihat kekalahan dari Barca atau City, jelas, masalah MU bukan kiper.

Kehilangan terbesar dari permainan MU adalah gelandang berkarakter kuat. Gelandang ini sangat vital dalam skema 4-4-2 yang mengandalkan permainan melebar dan serangan sayap. Terbentuk sejak era Busby, MU selalu memiliki gelandang jangkar petarung yang hebat. Pemain ini tidak begitu produktif atau brilian. Tapi ia seorang ball winner, memiliki kekuatan berlari dari kotak penalti-ke kotak penalti untuk memulai serangan dan menangkal serangan balik. Gelandang ini beroperasi ditengah untuk membuat pemain sayap berkonsentrasi menuju sudut lapangan dan mengirim umpan.

MU bukanlah tim yang mewarisi cara bermain dengan penguasaan bola atau kekuatan mengatur irama. Setan merah bukan tim yang menjadi rumah bagi Fantasista. Gazza sudah menandatangani pra-kontrak, meskipun batal. Ronaldinho, sebelum mendarat di Nou Camp, nyaris mampir. Raul pernah ditaksir. Begitu juga Kaka. Namun Fergie jauh lebih paham, permainan MU lebih banyak mengandalkan karakter dan determinasi. Bukan seni dan menghibur diri. Jika Cantona dianggap playmaker, dia bukan jenis seniman mudah murung hati dan lemah gemulai.

Fergie tidak pernah menyesal gagal bekerja dengan para seniman besar sepakbola. Masa kejayaan MU dipenuhi gelandang keringat, lutut luka dan determinasi. Denis Law, Duncan Edward, Boby Charlton, Bryan Robson, Paul Ince, atau Keane. Tentu anda bisa bertanya, diparuh akhir 2000-an, setelah tanpa Keane, mengapa MU bisa meraih gelar liga berturut tiga kali dan Champions? Itu karena tertolong ‘faktor Ronaldo’ dan pengorbanan Rooney. Di masa-masa itu, sisa-sia tenaga dan imajinasi Scholesy bisa ditransformasikan menjadi gelandang bertahan. Keterampilan melindungi bola dan lari kijangnya Giggsy dirubah jadi pengatur serangan. Ia bermain jauh lebih ke dalam agar Wazza bisa memainkan banyak peranan.

Sudah lama ssaya merasakan MU tidak bermain dengan cara sesungguhnya. Tidak banyak fantasi dan kreasi, tapi penuh determinasi. Tidak elegan tetapi memberi banyak tekanan. Tidak gemulai tetapi penuh dengan pengorbanan. Sudah lama Fergie mengakui MU tidak bermain dengan gayanya. “Dalam beberapa tahun terakhir, kami dikiritik tidak bermain cara kami sendiri. Ya, saya juga merasa ada perbedaan kami bermain dengan 15 tahun saya menanganinya,’ ucapnya saat diwawancarai The Guardian pasca Ancelotti memberi gelar bagi Chelsea. Tahun kemarin, MU bisa juara bukan karena tradisi permainannya yang hebat. Ini lebih karena para lawannya bermain jauh lebih jelek dan tidak konsisten.

Kehilangan cara bermain ini, saya rasa sejak MU ditinggalkan Keane. Fergie sudah terbiasa kehilangan Poborsky, Beckham, Stam, Hughes, Strachan, Nistelrooy atau Ronaldo, tapi ia jelas tidak mudah mendapat ganti pemain yang besar hati ala Robson atau orang gila dari Cork itu. MU telah mencoba banyak gelandang tengah. Kleberson, Djemba-Jemba, Hargreaves, Veron, dan sekarang Anderson. Tetapi tidak ada satupun yang berhasil.

Ada kemiripan dalam kekalahan MU dari Barca atau City. Lawan begitu mudah mengambil kendali. Irama permainan ditentukan permainan satu dua sentuhan dari pihak seberang. Gelandang MU mudah kehilangan bola dan posisi sementara Rooney terlihat Frustasi. Serangan balik tidak bisa berjalan, karena ketika transisi menyerang, para gelandang mudah kehilangan bola dan berjauhan. Kehilangan determinasi ditengah, inilah penyebab David Silva bisa mengiris pertahanan MU. Ia begitu leluasa bergerak ke kanan dan ke kiri. Tanpa gelandang sekuat Keane di jantung kedalaman, Xavi, Iniesta dan Messi membuat para pemain MU seperti baru belajar menyepak bola.

Tentu saja Fergie sudah lama memahami masalah ini. Ini menjelaskan kenapa ia ngotot membeli Sneijder. Rumor media menyatakan ia pernah menghubungi Munich untuk mendatangkan Schwenie. Vucinic, Lassana Diarra, Nasri pernah ada dalam radar. Jeda musim dingin nanti ia berusaha mendatangkan Javi Garcia dari Benfica. Hasil-hasil bagus di awal membuatnya merasa yakin, skuad ini mampu bertahan dalam kompetisi. Berkali-kali ia mengatakan tidak butuh gelandang lagi. Saya sangat yakin, setelah rasa malu ini, ia akan merevisi gagasannya sendiri. Kalau boleh menilai, yang dibutuhkan MU adalah gelandang seperti Modric atau Schwenie. Ia bisa nyaman dengan bola dan bermain penuh determinasi. Ia bisa menjelajahi lapangan tengah dan menendang bola dari kaki kanan dan kiri. Pemain yang bisa menjemput bola sekaligus mendistribusikannya.

Selain penjelasan, setiap penggemar membutuhkan pembelaan.

Anda tidak bisa mengubah hasil pertandingan. Anda hanya bisa menerimanya. Derita ini lebih mudah diterima bila ada pembelaan. Baiklah, 6-1 adalah skor horor. Itu akan menghantui beberapa generasi pendukung MU dimanapun berada.

Salah seorang teman mengatakan, MU dibunuh oleh mental juara yang dimilikinya. MU bisa memilih bertahan dan bermain aman. Mungkin dengan mengganti Wellbeck dengan satu pemain belakang. Berusaha menahan gempuran dan sesekali menyerang balik ketika ada kesempatan. Sebaliknya, sesudah ketinggalan dan bermain 10 orang, Fergie memainkan skema 3 striker dengan 2 gelandang. Para pemain MU bahkan kelihatan sangat bernafsu menyerang. Phil Jones sering terlibat hingga ke sayap kanan, dan Smalling menciptakan beberapa peluang. Mungkin aroma derby memompa adrenalin sehingga para pemain rela kehilangan segalanya atau mendapatkan segalanya.

Akal sehat akan mengatakan itu jelas bunuh diri. Mancini adalah orang Italia. Ia menggunakan pendekatan ala Italia untuk membunuh lawannya. Ia kadang tidak perlu menang besar atau bermain indah. Ia memiliki game-plan tersendiri. Ia akan menunggu lama. Atau Membuat pertandingan menjadi membosankan. Lantas memberi satu gol kejutan yang sangat direncanakan. Booring, booring City lebih sering terdengar dibanding ketika Mourinho mendapatkan booring, booring Chelsea. Mancini lebih cepat belajar dari kekalahan di Carling Cup. Gol-gol yang dicetak ke gawang MU setelah gol kedua jelas bukan dari ambisi untuk menghabisi, tetapi terlahir dari perhitungan irama yang terkendali. Pemain City di bawah arahan Mancini tahu kapan harus menghunus belati.

Baik. Itu dari satu sudut pandang. Yang jelas, setelah ketinggalan dan kartu merah, MU tetap bermain sepakbola sepenuh hati. Teman Belgia saya mengatakan, di Eropa, tindakan ini disebut
Pro-Football. Anda tidak menyerah. Anda menginginkan kemenangan. Anda tidak bertahan dan bangga mengatakan, ‘kami hanya kebobolan satu gol’. Anda terus bertarung, berapapun harga yang anda bayarkan. Pada titik ini, sepakbola adalah urusan hati. Ia bukan hanya urusan menang-kalah dan seberapa banyak kemasukan. Ini adalah bagaimana anda sepakbola yang anda inginkan. Pendekatan MU terhadap pertandingan itu sangat Inggris. Anda bertarung layaknya seorang Gentlemant. Itu seakan-akan adalah pertandingan terakhir yang anda mainkan. Anda mati dan terluka, tapi anda boleh bangga!

Untuk membuatnya menjadi lebih jelas, anda boleh membandingkan cara Madrid menangani kekalahan 5-0 dari Barca. Di babak pertama, Mou berusaha meladeni permainan Barca. Tetapi setelah kalah 3-0, dia segera mengganti penyerangnya dengan gelandang bertahan semua. Madrid masih bermain 11 orang—dengan 4 pemain belakang dan 6 gelandang. Meskipun ia bilang dalam suatu kesempatan, “kalah 0-1 dalam sejarah tidak berbeda dengan kalah 0-5”, dibabak kedua ,ia tidak ingin melanjutkan pertandingan. Ia tidak mau kalah lebih banyak. Ia berusaha untuk membuat pertandingan berjalan stagnan. Apa yang terjadi setelah kekalahan itu lebih buruk lagi. Dia mengganti identitas Madrid dalam usaha memenangkan el-classico. Dia memilih strategi anti-football. Pemain Madrid diinstruksikan untuk menendang, menyikut dan menginjak lawan untuk meraih kemenangan.

******

Empat bulan yang lewat, setelah kalah dari Barca, di televisi terlihat tangan Fergie bergetar. Jarang sekali ia sampai pada taraf seperti itu. Mengunyah permen karet dengan cepat sudah menjadi pertanda pak Tua ini sedang tegang. Semakin cepat ia mengunyahnya, jantungnya berdetak semakin kencang. Sesaat sebelum menghampiri Pep, Sky TV berulang kali menyorot tangan dan tubuhnya yang bergoyang. Ia menjelaskan kenapa tangannya bergetar: Ia menerima kekalahan itu sebagai tantangan. Ia menganggap Barca telah menetapkan standar permainan sepakbola. ‘Kami akan berusaha menuju ke sana,’ ujarnya setelah menyalami Guardiola.

Barcelona saat ini ada di level dimana Milan ala Sacchi, Madrid 60-an, Ajax-nya Rinus Michels 1970-an, dan Barca ditangan Cruijff pernah meraihnya. City dengan kekuatan uang minyak dan Madrid dengan para Galacticos dan Mou sedang berevolusi menuju Barca. Setahu saya, MU tidak pernah dirujuk menjadi standar permainan bola. Mungkin itu bukan DNA-nya. Sama seperti Juve, atau timnas Jerman, MU lebih memberi pedoman perihal mentalitas juara, determinasi, dan pendekatan terhadap pertandingan. Bukan kebetulan jika kali ini MU kalah dari Barca dan City. Keduanya jelas berada dilevel permainan yang hampir setara. Penguasaan bola. Lini tengah yang terus bergerak, bermutasi, dan mencari ruang. Kuncinya ada pada pengaturan tempo, permainan satu dua sentuhan, dan presisi umpan. Dan diakhiri dengan senjata mematikan.

‘Kekalahan ini akan menjadi tantangan buat saya,’. Begitu ia bereaksi terhadap kekalahan dari City. Ucapannya adalah ucapan MU. Dan dalam sejarahnya di MU, tantangan-lah yang menggerakkan hasratnya. Tantangan-lah yang membuatnya bertahan selama 25 tahun. Ketika ditunjuk sebagai manajer tahun 1986, ia menantang dirinya sendiri dengan bersumpah melewati raihan gelar Liverpool. Ia sudah menunaikannya janji, tapi tetap saja belum berhenti.

Kata-kata Fergie sekurang-kurangnya menjelaskan dua hal. Pertama, dia tidak akan mundur dalam waktu dekat. Rumor dia akan pensiun akan tetap jadi rumor. Orang seperti dia, akan mundur jika dia berhasil menaklukkan dirinya sendiri. Setelah menguasai Eropa dua kali, rumor tentang habisnya sebuah era pernah terdengar. Namun, dia menciptakan tantangan baru untuk dirinya lagi: menjadi manajer pertama yang mempertahankan piala Champion. Ia hampir melakukannya sebelum kehebatan Barca mengagalkan. Kedua, tantangan ini akan mentransformasikan kekuatan MU di masa mendatang. Selepas kalah dari Barca, gagal mendapatkan Sneijder atau Modric, ia mengubah formasi lini tengah dengan memberi keleluasaan pada Cleverly, Nani, Anderson, Rooney dan Wellbeck untuk bermain satu dua sentuhan di luar kotak penalti. Di awal-awal musim usaha ini agak berhasil sebelum cedera Cleverly, Wellbeck dan Rooney mengusik ritme yang sudah terbentuk.

Saya yakin, Fergie tengah berpikir keras untuk memperbaiki lini tengah. Saya tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Sepanjang 25 tahun, ia terlihat selalu berhasil mengatasinya. Ia akan berusaha keras membuat MU mendekati level permainan yang telah dipegang Barca. ‘Kami akan kembali selepas musim dingin nanti,’ begitu janji Fergie. Mungkin ia akan membeli gelandang yang nyaman saat menguasai bola dan mengatur ritme pertandingan. Atau ia menciptakan taktik yang berbeda. Kekalahan memalukan ini akan memberinya cara untuk membuktikan diri. Sejarah MU dibentuk oleh egonya, dan akan selalu seperti itu.

Sebagai pendukung MU, setelah rasa malu ini, saya layak berharap musim ini City tidak mendapatkan apa-apa selain kegembiraan besar dari laga derby. Itulah mengapa, seorang teman dengat tepat memparodikan kaos tulisan di kaus Balotelli, Why always MU....

Related Posts:

Sepakbola Indonesia di Mulut Harimau dan Buaya*

*Bagian Kedua dari Dua Tulisan

Oleh Darmanto Simaepa

Para ilmuwan sosial telah lama mengenali dialektika antara pelaku dengan struktur sosialnya. Seorang pelaku atau sebuah tindakan hidup dalam struktur sosial tertentu. Begitu juga sebaliknya, tak ada struktur sosial yang tidak melibatkan pelaku/tindakan. Sebuah perlawanan atau protes pelaku tertentu terhadap kekuasaan selalu berada dalam matriks kekuasaan yang dilawannya. Contohnya, perlawanan terhadap rezim PSSI NH dengan demonstrasi oleh suporter mudah diabaikan karena (dianggap) berada diluar struktur kekuasaan. Mereka baru mulai cemas ketika para pemrotes berkunjung ke Zurich, menggunakan statuta FIFA sebagai dasar hukum atau hak-hak angggota dalam kongres resmi.

Melihat hubungan antara struktur kekuasaan dan pelaku sepakbola di Indonesia, sebenarnya tidak ada beda antara rejim baru dan rejim lama. Keadaan sedikit lain ketika politik sentralisasi memayungi zaman Kardono atau Azwar Anas, dimana kekuasaan sepakbola sangat tergantung dari restu Soeharto. Hanya orang-orang loyal dan perwira militerlah yang lazim menguasai PSSI. Selepas era reformasi, kelompok Jenggala juga makhluk berdaging dan berdarah yang muncul dari relasi sosial yang juga membentuk rezim NH. Mereka jelas beroperasi dalam skema yang sudah menjadi pola relasi dalam industri dan governmentality olahraga kita. Mengapa yang muncul adalah Arifin Panigoro dan Jenderal bintang 4 TNI? Kenapa dulu sayup-sayup muncul nama Jusuf Kalla dan Sutiyoso? Bagaimana Johar Arifin (JA) yang menang pemilihan ketua umum? Kenapa Sihar Sitorus yang jadi direktur kompetisi?

Kita tidak pernah tahu apa yang dibicarakan di kamar-kamar tertutup di hotel-hotel di Yogya dan Solo menjelang kongres PSSI. Di luar elit-elitnya, publik sepakbola hampir tidak mengenali aktor-aktor yang bermain, apa agenda mereka, dan bagaimana mereka menjalankannya. Hari-hari disekitar krisis PSSI masih masih menjadi kabut peristiwa. Apa trade-off antara pemilik suara dan para pialang politik yang mengincar kesempatan mendapatkan kekuasaan? Bagaimana kaitan kelompok Jenggala dan kelompo 78 pemilik suara? Kenapa muncul orang seperti Erwin Aksa dan lusinan nama-nama yang menyeruak tiba-tiba. Setelah semua agak reda, yang tertinggal hanyalah teka-teki.

Sebagai sebuah teka-teki, perebutan kekuasaan di PSSI bukannya tidak bisa dipahami. PSSI memang merupakan badan otonom yang bertugas mengelola urusan bersama yang bernama sepakbola. Tetapi, otoritas PSSI untuk mengelola sepakbola harus bersaing, berhadapan, bekerja sama dengan bidang-bidang kekuasaan lain seperti para pemodal (dari pemilik pabrik rokok hingga pedagang energi), lembaga perbankan, para politisi di DPRD yang mengesahkan anggaran, kekuasaan media atau ijin-ijin dari polisi. Untuk meraih kursi di PSSI, sebuah rezim atau seorang pelaku harus mengumpulkan dukungan dari kekuasaan lain. Ia perlu mendekati media untuk mencitrakan dirinya, mengambil uang investor untuk membiayai kampanye—dan kalau perlu membeli suara anggota. Sangat jelas, dalam iklim politik hari-hari ini, seseorang harus melakukan investasi politik sangat mahal untuk meraih jabatan lembaga sepakbola.

Untuk menyelenggarakan sepakbola dan kompetisi, orang-orang yang berhasil merebut kekuasaan di PSSI menjadi tawanan sekaligus hanya dapat bekerja oleh berbagai bidang kekuasaan lain.
Memang pernah ada suatu waktu, seorang picik mengabarkan bahwa urusan sepakbola adalah urusan PSSI. Tidak hanya seperti igauan orang ketakutan atau suara pemabuk dilarut malam, itu jenis suara abai pada kenyataan. Kita lihat kontradiksi ini: PSSI meminta otonomi dan tidak ada campur tangan pemerintah, tetapi dia selalu mengeluhkan sedikitnya bantuan dana dari Menegpora dan KONI.

Ketika kita memakai istilah PSSI, sebenarnya ia bukan pelaku, melainkan suatu arena tertentu yang diperebutkan oleh pelbagai macam kepentingan. Kita banyak mendengar nama seperti NH, Nirwan Bakrie, Sutiyoso, Diza Ali, Arifin, Toisutta dan puluhan nama menyingsikan lengannya menjelang kongres di Solo. Para bandit, politisi, jenderal, pengusaha, pemilik klub, gubernur dan bupati saling mengincar kursi ExCo PSSI. Persis dalam situasi penuh kabut ini biasanya para petualang malang-melintang untuk meraih kepentingannya dan kelompoknya. Para petualang ini berhasil disatukan oleh satu hal: hancurkan NH. Semua orang tahu, dengan lengsernya NH, semua kepentingannya bisa terbuka. Sebelum NH turun, kepentingan mereka tidak pernah terakomodasi.

Runtuhnya rejim NH adalah kata kunci dimana para pengkritiknya, suporter, pemilik klub, para Menteri, pialang politik, oportunis, pebisnis, petinggi militer bisa bersepakat, sepanjang kepentingannya yang tersembunyi masing-masing pihak tidak benar-benar diekplisitkan. Adanya tujuan tunggal mengaburkan banyaknya kepentingan dari bidang-bidang kekuasaan yang saling berebut pengaruh. Semua orang tahu JA hanyalah boneka dari kelompok-kelompok yang lebih besar.

Meskipun begitu, kemenangan kelompok Jenggala dan JA sebagai simbolnya tidak mengurangi harapan tentang pembaharuan membumbung yang sudah sampai diubun-ubun kepala. Kita berharap kepemimpinannya mampu mengatasi masalah yang mendera sepakbola kita selama rezim-rezim sebelumnya. Namun setelah 100 hari kepemimpinannya, harapan itu semakin menjauh dari arah semula. Rejim JA sepertinya gagap menghadapi masalah-masalah yang kita hadapi. Ia jadi sedemikian kalap mengeluarkan kebijakan yang tidak terkendali. Belakangan, rejim ini dituduh melanggar statuta dan akan dilaporkan ke FIFA oleh anggotanya sendiri.

Persis disinilah kita melihat kinerja rezim ini ada dalam medan pertarungan berbagai kekuasaan lain. Saya tidak yakin uang yang beredar dalam rekening-rekening rahasia pemilik suara PSSI diambil dari gaji JA sebagai pegawai. Dukung-mendukung, jual beli suara dan posisi dalam politik Indonesia seperti hantu, dia tidak kelihatan tapi mudah untuk dipercaya benar adanya. Gemuknya struktur kepengurusan dua kali lipat dari rejim sebelumnya dan keterlibatan pelbagai kepentingan—dari pemilik 78 suara, klub-klub LPI, para politisi dan petinggi militer—membuat rezim ini terlihat menjadi tawanan dari pelbagai kepentingan kelompok-kelompok yang mendukungnya.

Pembaharuan PSSI adalah harapan, tetapi juga suatu utopia. Cita-cita sepakbola bisa berbalik ke arah yang sebaliknya bukan lantaran buruknya ketua umum PSSI, melainkan karena rezim dia ditawan kelompok-kelompok seperti pemodal, penguasa militer, pemilik siaran televisi dan para petualang lainnya yang kekuasaannya digunakan, dipinjam, dihutang, atau dibarter agar memungkinkan rezim itu berkuasa dan berjalan diatas puingpuing rejim lama.

Kita bisa saja berpura-pura untuk mengabaikan bau busuk ini. Tetapi jenis permainan ini sangat mudah dikenali. Ada banyak fakta yang menunjukkannya. Tiba-tiba MNC milik Hari Tanusudibyo menyerobot hak siaran milik ANTV. Ini jelas ada urusannya dengan politik karena, pada minggu yang sama MNC jadi official partner LPI, taipan pemiliknya bergabung dengan parta Nasional Demokrat. Juga tiba-tiba SCTV mendapatkan hak siar pertandingan timnas tanpa lelang yang terbuka. Disisi lain, kelompok Bakrie Capital bergegas untuk meraih hak siar piala dunia 2014.

Ada banyak aspek kekuasaan yang dijalankan dengan brutal oleh rezim JA untuk mengakomodasi banyak kepentingan para pendukungnya. Alfred Riedle diganti seminggu menjelang kualifikasi oleh pelatih yang dikontrak LPI. Orang yang pertama merilis isu ke media ini justru Arifin Panigoro, yang tidak memegang jabatan apapun di PSSI. Di Klub-klub yang bertikai (Arema, Persebaya dan Persija, misalnya), mengapa satu eksponen LPI yang dimenangkan dan ‘kubu Bakrie’ diamputasi? Kompetisi tiba-tiba membengkak diikuti 24 klub dimana banyak rumor klub-klub belum diverifikasi. Saya kira ini ada kaitannya dengan klub-klub yang mencoba menarik upeti dari pemberian suara saat kongres. Para profesional bertangan dingin seperti Joko Driyono dan Iman Arif tidak dipakai lagi dan PSSI mempekerjakan orang-orang yang tidak pandai menyusun jadwal kompetisi.

Bung Towel—aka Tommy Welly—dalam esainya pernah risau reformasi ala Jenggala ini (Liputan6 10/10/2011). Reformasi ini sangat mudah mendemarkasi siapa pro status quo dan siapa tidak dengan cara mengorbankan timnasional. Seorang teman mengatakan bahwa kelompok Jenggala ingin membasmi rezim NH sampai ke akar-akarnya. Apa yang berbau NH dan Bakrie harus diberangus. Menurut saya, pokok persoalannya lebih luas dari itu. Disinilah kita bisa menjelaskan hubungan antara pemerintah dan penguasa. Dalam suatu tata kepemerintahan (govermentality), ketua umum/pemimpin bukanlah pemegang kekuasaan secara penuh. Pemimpin adalah salah satu pemegang kekuasaan dari beragam kekuasaan yang saling menawan dalam matriks kepemerintahan PSSI. Kapital, pasar, negara, politik juga kekuatan suporter adalah bidang-bidang lain yang menentukan corak kekuasaan PSSI.

PSSI ala JA memunculkan kebijakan-kebijakan baru karena harus mengakomodasi janjinya bagi pemilik bidang kekuasaan lain yang mendukungnya. Ini adalah pertarungan banyak gajah dengan banyak gajah yang ada berada dibelakang kekuasaan PSSI. JA mungkin bukan pelanduknya, tapi jelas dalam rimba raya kekuasaan ini, dia bukanlah gajah yang sudah punya gading. Mengapa PSSI menggunakan logo penuh tanda tanya dan juga nama yang sama dari LPI? Kenapa PSSI bersikeras memulai kompetisi tanggal 15, ketika bahkan, beberapa klub tidak menerima panduan liga atau aturan verifikasi? Kenapa tetap ngotong melikuidasi PT Liga Indonesia yang telah terbukti sangat bagus menyelenggarakan ISL? Saya melihat langsung laporan bahwa klub PSMS Medan belum memiliki dana, direktur, dan daftar pemain resmi, meski ia tercatat sebagai klub peserta liga.

Lebih buruknya, bertahun-tahun penjenjangan kompetisi—Divisi 3, Divisi 2, Divisi 1 dan paling tinggi ISL diabaikan begitu saja. Kita tidak pernah mendengar secara resmi bagaimana rezim JA ini mengurus Divisi Utama dan dibawahnya. Masuknya 24 klub sebagai peserta liga jelas lebih lucu dari lawakan paling ironis. Jika dengan 18 klub saja sudah banyak yang rugi, kenapa musti 24? Ini tak lain menggambarkan adanya kesepakatan-kesepakatan bawah meja pemilik (suara) klub yang telah dimulai sejak pemilihan ketua umum PSSI.

Kekacauan sepakbola Indonesia bukan melulu karena tiadanya pemimpin yang hebat, tetapi karena kita sebagai warga sepakbola gagal menghentikan keganasan para bandit bisnis, petualang politik, campur tangan militer, atau bos-bos media yang berambisi menguasainya. Lalu kita memaki rejim NH dan bermimpi tentang sosok seperti JA akan membebaskannya. Jika kita sendiri tidak sanggup, mengapa JA kita andaikan sanggup? Kita dulu melihat rezim PSSI dibawah ND menjadi tawanan agenda partai politik Golkar, agenda bisnis Bakrie, atau oligarki bisnis yang menutup diri. Namun kita melihat bau busuk yang sama sekarang ini telah merayap ke dalam PSSI.

Dilihat dari proses perubahan rezim kepemerintahan sepakbola, kita telah melakukan blunder yang sama dalam kehidupan politik bangsa. Kita membebankan masalah sepakbola itu kepada segelintir orang yang berkuasa. Blunder itu sering tidak kita kenali, seperti rasa asing kita terhadap bau mulut kita sendiri. Diam-diam saya melempari pemain lawan dengan botol minuman dan meneriaki wasit dengan makian tetapi berharap kompetisi berjalan damai. Kita menggunakan tiket dari calo tapi berharap sepakbola menjadi industri. Kita berharap mengembangkan pemain muda, tapi sekaligus mengamini naturalisasi. Kita sangat tahu bahwa orang-orang Jenggala itu manusia seperti kita, tetapi kita berharap ia bisa menjadi malaikat yang mengurusi sepakbola. Mereka dibentuk oleh sejarah sosial dan struktur kekuasaan yang sama dengan rejim NH, namun pada saat yang sama menuntut mereka bertindak sangat luar biasa untuk menyelamatkan sepakbola Indonesia.

Segala keceriwisan saya diatas mungkin tidak ada hubungannya dengan kemelut PSSI sekarang ini. Tapi saya merasa (perasaan kadang sukar dibuktikan), sepakbola kita sangat mudah berpindah dari mulut harimau ke mulut buaya. Kebetulan kedua hewan itu menyukai rawa-rawa keruh dalam evolusi sejarahnya. Pendulum sejarah sepakbola sepertinya hanya berayun dari kedua mulut hewan karnivora.

*Terinspirasi tulisan B. Herry Priyono, Kepemimpinan Republik (2003).

Related Posts:

Sepakbola Indonesia di Mulut Harimau dan Buaya*

*Bagian Pertama dari Dua Tulisan

Oleh Darmanto Simaepa

Dalam gelombang sejarah sepakbola Indonesia, setiap janji perubahan tidak selalu membawa kita menuju arus jernih perbaikan. Sejalan dengan tikungan waktu, secercah harapan yang pernah memandu langkah ke depan ternyata berujung terperosoknya kita ke dalam rawa busuk penuh lumpur kesalahan dan kebebalan. Dua kalimat ini bukanlah estetisasi dari rasa frustasi, hanya sekadar penamaan atas gejala yang kita pahami dari komedi PSSI belakangan ini.

Keributan menjelang kompetisi, ketidakjelasan apakah Semen Padang vs Persib Bandung sebagai eksebisi atau pertandingan resmi, huru-hara pergantian Riedle dan urusan kompensasi, klub-klub memboikot liga, cek-cok pemain-pelatih tim nasional secara terbuka dimedia, rebutan hak siaran televisi, ancaman kongres luar biasa, simpang siur intepretasi atas statuta hasil kongres Bali, jumlah penonton di GBK secara drastis turun kembali, dan kekalahan beruntun tim kita tiga kali adalah peristiwa-peristiwa yang bukannya saling tak berkaitan. Ini menunjukkan semesta bagaimana sepakbola di Indonesia bergerak, ditata, dan dijalankan.

Mengapa kemelut kekanak-kanakan ini masih terjadi, sementara kompetisi sepakbola sudah lebih berusia setengah abad di negeri ini? Tak terhitung klub muncul dan mati. Kita telah mengalami pasang surut emosi dimana gelora bangsa terhadap sepakbola meninggi, melemah, membumbung tinggi, sebentar mati suri dan lantas bertransformasi nyaris menyerupai birahi. Dengan segala hormat atas geletar emosi kedaerahan yang dibawa perserikatan dan ‘profesionalisme’ liga ala Galatama, kita telah menyelenggarakan kompetisi ‘modern’ sejak 15 tahun lalu—yang ditandai oleh kemunculan Liga Dunhill Indonesia.

Dengan segala petaka dan ongkos sosial yang dibawanya, kompetisi modern Indonesia telah membawa banyak pelajaran berharga. Kompetisi pernah di hentikan gara-gara kerusuhan Mei, kalah oleh kampanye politisi, dibubarkan polisi, format yang berganti-ganti, atau dibatalkan secara semena-mena. Ada banyak peristiwa kita lalui: pemain dikeroyok, wasit masuk rumah sakit berhari-hari, suap-menyuap tak terungkap, stadion runtuh, suporter menjarah kedai-kedai.

Tentu saja masalah masih melimpah. Para pemain dibayar dari pajak petani, kita sering berjumpa dengan penalti-penalti kontroversi, dan keluhan atas kelelahan para pemain masih menghantui. Namun, sejak beberapa tahun terakhir ini, kita sudah mulai akrab dengan jadwal liga yang teratur rapi. Klub-klub mendapat uang dari hak siar televisi. Penonton bisa menerima kekalahan tidak hanya dengan rasa frustasi, emosi dan mentransformaikannya menjadi anarki. Gadis-gadis masuk stadion tidak takut diremas payudaranya oleh kerumunan tak bernama. Ibu-ibu dan anak-anak melihat kembang api di tribun penonton sebagai rekreasi.

******

Lalu lintas penuh kekacauan ini lantas memunculkan pertanyaaan yang sering berulang menghampiri, darimana kebebalan ini diawali? Barangkali ini dimulai dari gejala sosial mengenai kekuasaan yang sering salah kaprah dipahami. Dari perbincangan warung kopi, diskusi di televisi, hingga debat serius para akademisi, sulit membedakan antara kepemimpinan dan kekuasaan. Pemimpin sebagai subjek pemerintahan sering disamakan dengan penguasa yang merujuk subjek kekuasaan. Keduanya saling berkaitan tetapi seringkali berjalan tidak saling bersesuaian. Apa sangkut pautnya urusan kekuasaan dengan PSSI dan sepakbola?

Kita belum beranjak dewasa menghadapi problema tentang siapa dan bagaimana kekuasaan bermula. Kita memiliki kegemaran untuk mudah memuja para pemberani yang mendobrak rezim berkuasa. Barang siapa menyelamatkan kita dari kesesakan, dialah sang pahlawan. Impian terhadap Ratu Adil dan milleniarisme memang bukan gejala khusus orang Indonesia, tapi disini gemanya lebih keras dan terasa. Di masa lalu Ken Arok, Gadjah Mada, lalu Soekarno, Soeharto dan SBY juga...

Sebagaimana kita hafal narasinya, gejala ratu adil itu menjamur ditengah kondisi frustasi. Makin besar rasa depresi, makin kuat harapan ada sosok figur pemberani. Beberapa bulan lalu kita semua ingin sepakbola terlepas dari rezim Nurdin Halid (NH) yang konon penuh dengan dusta. Rasa sesak terhadapnya membuat kita tergopoh-gopoh menggulingkannya. Keringnya prestasi timnas, muaknya publik atas retorika, dan dugaan korupsi didalamnya menjadi minyak dalam api perjuangan untuk membebaskan sepakbola Indonesia dari cengkeraman oligarki yang dibangunnya.

Lalu entah dari mana, di sudut harapan yang tersisa, muncullah apa yang disebut sebagai kelompok Jenggala. Saya yakin, publik sepakbola tidak tahu makhluk apa yang sedang kita hadapi. Ia sosok yang diperkenalkan kepada kita secara tiba-tiba. Energi besar untuk menyepak rezim NH keluar arena sepakbola membuat kita tidak mengenali siapa dia. Pun kita tidak diberikan keahlian mengendus apa yang ganjil pada sepak terjangnya. Kita juga tidak memiliki waktu untuk mengerti apa hasratnya. Kita hanya tahu dia dari kelebat nama-nama. Arifin Panigoro, Limbong, Bob Hippy, Tri Goestoro, Johar Arifin, George Toisutta....

Motivasi adalah lautan maha luas berwarna biru dimana tersembunyi banyak palung ambisi. Memperbaiki sepakbola Indonesia adalah mantra yang gampang dirapal penjahat kelas teri. Motivasi menyingkirkan rezim NH telah menyembunyikan maksud-maksud gelap para petualang yang mengintai kursi kekuasaan. Turunnya NH dan riuh rendah suara PSSI sekarang ini mengabarkan semesta kepentingan yang ada dikepala para penjungkalnya.

*******

Meskipun demikian, ditengah sulap dan akrobat PSSI, mengapa penonton masih membanjir di stadion Siliwangi? Saat aturan liga penuh kontradiksi dan manipulasi, mengapa klub-klub masih menginginkan kompetisi? Ditengah wabah korupsi dan ancaman stadion yang tidak selesai, rakyat masih berharap timnas U-23 meraih medali? Atau lebih sublim lagi, para pengecam seperti saya tetap berharap Indonesia menang dikualifikasi? Teka tekinya ada pada gejala psikososial berikut ini.

Di dalam cuaca dimana suap-menyuap wasit, jual beli pertandingan, atau kebohongan pengurus PSSI sudah menjadi pemandangan biasa, kita tetap berharap sepakbola memberi rasa bahagia bagi jutaan orang Indonesia. Sementara pencurian umur terus dilaporkan, klub-klub memeras penghasilan rakyat melalui APBD, atau timnas U-23 dikalahkan Laos, dan program-program luar negeri yang membuang-buang uang, kita tetap berharap Indonesia maju ke putaran final Piala Dunia.

Dengan melihat gejala ini sudah cukup kita melihat bahwa betapa pentingnya sepakbola di negeri ini. Sepakbola adalah urusan umum (res publica) karena melibatkan jutaan orang, jutaan uang, dan jutaan harapan. Dari tarkam dengan trofi kambing jantan hingga kompetisi bernilai milyaran, dari acara tujuh belasan hingga perayaan natalan, sepakbola telah mengalir dalam sungai sejarah sosial negeri ini. Sepakbola bukan lagi permainan 3 lawan 3 di gang sempit Manggarai atau kegembiraan anak-anak dengan bola plastik di pantai. Ia telah menjelma menjadi entitas bisnis raksasa yang menggiurkan pengusaha, ajang perebutan mikropon bagi politisi, atau acara rekreasi bersama tiap akhir pekan bagi keluarga kelas menengah Indonesia.

Agar tidak terjebak dalam kegiatan hiburan kosong belaka atau tersuruk dalam permainan anarki, setiap res publica mensyaratkan, menghendaki dan mengandaikan adanya cita-cita yang lebih tinggi. Apa cita-cita sepakbola kita? Seringkali ini sukar dirumuskan. Kadang kita menyebut sebagai kebanggaan nasional yang menyatukan nasib-sepenanggungan bangsa. Atau dalam istilah lain, kita merasa sepakbola dapat menaikkan harkat nasionalisme. Kali lain kita menginginkan sebagai sumber kebahagiaan bersama.

Cita-cita seperti gugusan udara, terlalu mudah diraba indera tetapi tidak pernah bisa kita tangkap dan pelihara. Dalam bentuk yang paling mudah diukur, cita-cita sepakbola kita tak lain, puncaknya, adalah tampil dikejuaraan dunia, menyelenggarakan kompetisi yang sehat bebas dari korupsi; sepakbola menuju industri, menggerakkan ekonomi dan membuka lapangan kerja; klub-klub indonesia bermain dikompteisi tertinggi di Asia; dan setiap pekan hiburan tiap pekan kepada rakyat Indonesia yang sudah terhimpit banyak derita.

Seiring masa, res publica sering bercampur dengan utopia. Tidak ada yang keliru dengan kelindan keduanya. Res publica dan utopia merupakan gabungan realitas dan cita-cita. Setiap utopia merupakan refleksi kebusukan realita. Sebaliknya, kebusukan realita tidak pernah bisa ditanggung bersama tanpa adanya utopia. Ketika kita gagal meraih cita-cita, bukan utopia yang harus disalahkan atau diganti, tapi realitasnyalah yang harus diubah. Sepakbola, dalam definisi tertentu, hampir mirip dengan agama atau negara-bangsa. Ketika harapan untuk melihat sepakbola Indonesia memberi kebahagiaan atau kebanggaan semakin menjauh, bukan cita-cita sepakbolanya itu yang disalahkan, tetapi ia malah memberi legitimasi bagi pemuja/pengikut/pengurus untuk mewujudkannya.

Kecamuk mengenai PSSI adalah cermin ketidakmampuan jutaan pecinta sepakbola di Indonesia untuk mengkoordinasikan jutaan utopia menjadi realita bersama. Tentu saja tidak mungkin cita-cita terwujud tanpa ada rencana yang disepakati dan tindakan yang dikehendaki. Disinilah kita membutuhkan kepemerintahan (govermentality). Para wakil rakyat mengeluarkan UU olahraga, menyepakati anggaran, FIFA mengakui federasi, pejabat keamanan mengeluarkan ijin pertandingan. Aturan-aturan dan statuta diciptakan, pembidangan dilakukan, dan kepengurusan diciptakan agar PSSI memiliki tata kepemerintahannya sendiri. Lalu terbentuklah eksekutif dan pengurusnya yang diberi mandat rakyat Indonesia untuk membawa cita-cita itu menjadi terang sosoknya.

Tepat disinilah kita membebankan ketidakberdayaan mewujudkan cita-cita kepada sekelompok orang yang kita yakini memiliki kemampuan untuk membawa harapan menjadi kenyataan. Pembebanan itu kita tukar dengan pemberian mandat dan legitimasi. Ketika rejim Agum Gumelar gagal, kita memberikannya pada NH. Ketika NH tidak bisa bisa, kita berharap kelompok Jenggala. Terlihat, dalam setiap harapan ini, kita berusaha menaruhnya di level yang lebih tinggi. Ada semacam gerak bawah sadar bahwa kita berharap NH lebih baik dari Agum, dan kelompok Jenggala menjadi lebih baik dari pada NH.

Related Posts:

Belajar Menyukai Jerman


Oleh Owen A. McBall


Hampir semua sebutan yang lazim disematkan pada tim nasional Jerman bernada cemooh. Anda bisa menangkap hal baik dari istilah “diesel” atau “panser”? Dalam kepala saya, itu hampir seperti akronim dari “statis, membosankan, dingin”. Kalau Anda membenci Jerman, sembari membayangkan wajah Toni Schumacher, Lothar Matthaus, atau Oliver Kahn, Anda bisa tambahkan frasa: “ganas, tidak manusiawi.”

Para pendukung Jerman pasti punya sangkalan jitu soal itu. Dan karena saya bukan—atau belum jadi—bagian dari mereka, izinkanlah saya sedikit berputar-putar untuk menemukan kalimat-kalimat simpatetik bagi juara dunia yang disegani sekaligus paling ditolak ini.

+++

Jerman memulai tradisi sepakbolanya dari barak-barak tentara. Mungkin itu bisa jadi penjelasan awalnya.

Berbeda dengan kebanyakan kekuatan tradisional sepakbola, semisal Inggris, Uruguay, Argentina, Brazil, Italia, Spanyol, yang membangun fondasi sepakbolanya dari kaum pekerja, para serdadu Perang Dunia I-lah yang dianggap sebagai golongan yang berjasa memassalkan sepakbola di negeri yang sangat memuja olahraga-olahraga gimnastik ini. Klub-klub sepakbola telah berdiri di paroh akhir abad ke-19. Tahun 1850, sekelompok pekerja Inggris telah membuat klub di Dresden. Namun, hingga awal abad ke-20, sepakbola tak tampak akan jadi olahraga kebanggaan nasional Jerman—sebagaimana yang tampak seperti sekarang ini. Seperti ditulis Wolfram Pyta, permainan yang ditiru dari Inggris ini kebanyakan dimainkan secara sporadis oleh para pemuda yang enggan menggeluti atletik yang membosankan. Meningkatnya jumlah kelas menengah dan munculnya para remaja dengan waktu luang, yang memungkinkan mereka memainkan sepakbola di akhir pekan, sedikit memberi harapan olahraga ini berkembang. Namun, sepakbola malah mulai mendapat banyak pemain (dan terutama penonton) justru di kamp-kamp tentara PD I. Untuk mengusir rasa bosan kehidupan di barak, para serdadu memainkan dan menyelenggaran pertandingan-pertandingan sepakbola. Ketika perang usai, “para serdadu itu pulang ke kampung halaman masing-masing dengan membawa serta sepakbola dalam ransel mereka,” demikian kata Pyta.

Sepakbola yang disebarkan para veteran perang ini menjadi tonggak terbentuknya banyak klub dan menggelembungnya jumlah massa penggemar. Namun, hingga berpuluh-puluh tahun kemudian, Jerman tetap bukan siapa-siapa dalam rimba sepakbola. Mereka cuma dianggap tim kejutan saat melaju hingga semi-final pada Piala Dunia 1934. Tersingkirnya mereka di babak awal di Olimpiade 1936, Berlin, saat jadi tuan rumah, dan mengulangi kegagalan yang sama di Piala Dunia Prancis dua tahun kemudian, menjelaskan di mana posisi Jerman dalam peta sepakbola dunia saat itu. Ketika para serdadu Hitler menguasai tak kurang dari sepertiga daratan Eropa, sepakbola Jerman malah terkucil dan cuma jadi secuil bagian dari banyak hal yang dipaku di spanduk dan pamflet-pamflet propaganda Nazi. Hingga berwindu-windu kemudian, sepakbola Jerman menderita rendah diri akut atas tetangga-tetangganya macam Austria dan terutama Hungaria.

Sepakbola baru benar-benar mendapatkan tempat istimewa—bahkan teramat istimewa—dalam diri bangsa Jerman justru tak lama setelah negeri ini hancur berkeping-keping dihajar Perang Dunia II. Saat luka yang diderita para veteran belum sembuh benar, dan malu karena kalah perang masih jadi mimpi buruk dari malam ke malam, sepakbola membangunkan Jerman dari debu perang. Adalah Miracle of Bern (Keajaiban Bern) yang jadi tugu pancangnya. Itu saat tim nasional Jerman (Barat), yang di awal turnamen dianggap tak lebih dari serombongan bekas tawanan, mampu memukul Hungaria, tim yang dijuluki Para Penyihir Magyar karena kedigdayaannya (tak terkalahkan dalam 32 pertandingan internasional), pada final Piala Dunia 1954 di Swiss.

Fakta menariknya, orang yang dianggap paling berjasa terciptanya Keajaiban di Bern itu adalah seorang bekas tentara Jerman yang lolos dari sekapan Gulag milik Soviet karena kepandaiannya bermain bola. Namanya Fritz Walter. Ialah kapten tim pertama yang mengangkat tropi Piala Dunia untuk Jerman.

+++

Usai Perang Dunia II, Jerman tak lagi menakutkan di medan perang. Bisa jadi karena mereka kini lebih suka bikin mobil daripada kapal selam. Tapi, saya menduga—Anda boleh sepakat—karena para prajurit terbaiknya kini ada di lapangan hijau dan bermain sepakbola. Di ranah itulah Jerman menggentarkan dunia.

Para pendukung Jerman mungkin saja akan membantah. Tapi, saya merasa, energi bertempur yang dipaksa-redamkan sejak kalah perang di PD II mereka pindahkan ke sepakbola. Tim mana pun bisa mengklaim kalau mereka tampil di lapangan macam prajurit di medan perang: semangat menyala-nyala, pantang menyerah, berjuang hingga titik darah penghabisan. Namun, tampaknya, di banyak turnamen besar, cuma Jerman yang secara hampir sempurna memadukan mental macam itu dengan kebugaran badan. Layaknya sekompi batalyon, mereka selalu tampak memainkan pertandingan dalam kesatuan, satu komando, satu tujuan. Senantiasa bermain rapi, minim kesalahan, taktis, klinis, Jerman adalah Der Panzer dalam arti yang nyaris denotatif.

Dan, coba perhatikan. Menyusul Fritz Walter yang benar-benar tentara, tokoh-tokoh sentral dalam skuad Jerman dari masa ke masa cenderung diasosiasikan sebagai seorang pemimpin pasukan dan bukan yang lain. Beckenbeuer pada Jerman ‘74, Rummenigge (’82), Brehme (’86), Matthaus (90), Kahn (’02), hingga Ballack (’06) adalah sosok-sosok yang, tidak bisa tidak, membuat kita membayangkan seorang panglima perang dengan tongkat komando di tangan.

Bukannya Jerman tak dikarunia pemain berjenis konduktor macam Maradona, Hagi, atau Xavi. Jelas mereka punya. Namun, pemain macam itu biasanya sayup dalam ingatan. Dengan agak mengecualikan Thomas Hasler, pemain-pemain yang nyeniman macam Mehmet Scholl, Lars Ricken, atau Fredi Bobic cuma jadi figuran dalam riwayat panjang kejayaan sepakbola Jerman. Boleh jadi, nama-nama itu memang tak cukup dibutuhkan tim. Tapi yang paling jelas, fakta berbicara, karena otot dan sendi-sendi kaki mereka tak sekuat pemain-pemain tim nasional Jerman pada umumnya. Dan, tampaknya, dalam barisan panser Jerman yang perkasa itu tak cukup celah bagi barang pecah-belah—meski itu indah.

Dengan ransel dan senapan di balik kaos Adidas para pemainnya—dan mental tentara di balik tubuh atlet mereka—Jerman membawa pulang tiga tropi Piala Dunia. Itu kesimpulan saya.

Mereka jagoan, jelas. Elegan, mungkin. Tapi mempesona, agak sulit dibayangkan. Dalam pada inilah, jika Anda bukan orang Jerman dan tidak punya masalah dengan Belanda atau Argentina atau kedua-duanya, rasa-rasanya agak susah untuk jatuh hati dengan Jerman.

+++

Lalu, Klinsmann—moncong panser paling mematikan dalam sejarah sepakbola Jerman, tukang selam yang cuma bisa dicintai oleh pendukung Stuttgart, Inter, Monaco, Spurs, Munchen, dan Jerman—muncul dengan perubahannya.

“Para pelatih bisa mengajarkan sepakbola, tapi di lapangan, sepakbola bukan olahraga yang bisa diajarkan,” demikian kata Klinsmann suatu ketika. Penjelasan paling gamblang dari kalimat itu tentu saja adalah cara dia memilih pemain di Piala Dunai 2006 dan bagaimana pemainnya memainkan sepakbola.

Dan kemudian Joachim Low menyempurnakannya.

Jogi—meneruskan apa yang dimulai Klinsi—mengisi skuadnya dengan para anak muda, dari latar belakang yang berbeda-beda, dan memainkan sepakbola menyerang yang menyenangkan. Tapi, terutama, karena ia menyiapkan panggung untuk Mesut Ozil untuk kita nikmati bersama.

Mungkin akan terdengar ngawur jika mengatakan bahwa perubahan Klinsi yang disempurnakan Jogi sukses menanggalkan kesan sangar pada tim Jerman. Gegabah juga menganggap ditunjuknya Philipp Lahm, seorang bek sayap yang bertubuh mungil dan berwajah ramah, sebagai kapten tim dengan serta-merta menandai telah usainya era para komandan di tengah lapangan. Pun terburu-buru kalau munculnya Ozil, seorang yang wajah dan gerak-geriknya mengingatkan kita pada para penari sufi, mengindikasikan kalau Jerman mau merebut Piala Dunia dengan cara Brazil atau Spanyol. Tapi, jelas, Jogi dan para pemainnya—dan sepakbola yang mereka tampilkan—membuat Jerman jauh lebih mudah untuk disukai.

+++

Argentina begitu saja tertulis dalam suratan takdir sepakbola saya. Tapi karena Argentina telah lama tidak juara dan seringkali gagal bermain baik, kebahagiaan menonton sepakbola saya biasanya berpuncak pada kekalahan Jerman. (Saya masih ingat, betapa bahagianya saat melihat Jerman dibantai Kroasia tiga gol tanpa balas di perempat final Piala Dunia 1998).

Tapi, melampaui Argentina, pertama-tama saya adalah pencinta sepakbola. Dan seperti seorang pemuja sastra yang pasti bertekuk lutut dengan Arus Balik-nya Pramoedya, saya tak bisa menolak untuk tidak menyukai Ozil.

Jika Jerman di bawah Low yang bermain indah sekaligus “membunuh”—demikian istilah seorang teman—tetap tidak membuat saya tergugah mulai untuk menyukai Jerman, sosok Ozil bisa membuat hasil akhir yang berbeda. Saya memulai kecintaan terhadap Argentina dari Maradona, menggemari Fiorentina melalui Batistuta, dan membenci United lewat Ronaldo. Saya kuatir, bocah Turki yang suka mengaji itu bisa mengantarkan saya untuk jadi pendukung Jerman. Dan karena Piala Eropa tahun depan tak mungkin ada Argentina, sementara saya tak ingin lagi Spanyol mempertahankan gelarnya dan Italia tampak terlalu kaku untuk jadi nomor satu, kekuatiran saya untuk jadi pendukung Jerman makin besar.

Ya, saya sungguh kuatir. Tulisan panjang ini bisa jadi gejala awalnya.


14-10-11

Related Posts:

Horor Sepakbola Indonesia

Oleh Darmanto Simaepa

Kekalahan Indonesia dengan cara buruk menyisakan rasa getir dimulut. Siaran amatir, taktik yang ceroboh, pemain yang gugup, pelatih yang bingung dan penyiar yang linglung mengubah kegembiraan menonton sepakbola menjadi horor gelap. Ini memang bukan Jumat Kliwon, tapi ini malam dimana harapan yang pernah singgah di kepala rakyat Indonesia penonton lenyap dengan tiba-tiba dan digantikan hantu kegagalan yang berteman dengan sejarah sepakbola kita.

Jutaan orang memulai menonton tayangan timnas dengan antusias. Pisang goreng, cemilan, kacang goreng, kopi panas , teh hangat, atau indomi rebus telur dihidang. Di kafe-kafe, syal, kaos, jaket dan spanduk dikibarkan ditengah yel-yel untuk menambah gegap gempita. Di ruang keluarga—baik yang di rumah megah di Karawaci, gubuk-gubuk di lereng bukit di Morowali, maupun kost-kostan di gang sempit Dolly—posisi duduk ditata agar ledakan histeria tidak memecahkan kaca atau kegembiraan merusak jendela. Banyak anak gadis dan ibu-ibu terpaksa melewatkan satu episode sinetron favoritnya.

Di rumah, Owen McBall, seorang kawan yang mencintai sepakbola dengan cara menuliskannya, membikin 2 gelas kopi Palembang. Sebelumnya, Saya telah membeli 3 bungkus cemilan: keladi goreng, kentang pedas, dan kacang. Dua teman datang menonton bersama menambah intensitas suasana. Meski datang kawan yang tidak suka sepakbola, dan terpaksa duduk bersama karena tidak ada teman lain yang mengajak bicara, semua berharap akan jadi pertandingan sempurna.

Stasiun televisi memulai siaran dengan serampangan. Setengah jam lebih, penonton menunggu siaran dengan iklan. Komentator distudio disuruh memulai dan diminta berhenti tepat sebelum kalimatnya belum selesai. Sementara penyiar dari stadion seperti bicara terhadap dirinya sendiri. Setiap pertanyaan dari partnernya diulang kembali, dan dijawab dengan hal-hal yang tidak berhubungan dengan pertanyaan. Tidak ada data, statistik atau analisa mendalam. Saya yakin malam tadi, jutaan penonton televisi memencet tombol remot ketika komentator memulai bicara dan seperti saya, berharap mikroponnya rusak atau kabelnya putus.

Timnas memulai pertandingan seperti koboi yang kehilangan pistolnya. Atau setidaknya mirip penulis yang kehilangan idenya. Sisa-sisa cekcok pelatih-pemain seperti keramik retak yang coba direkatkan dengan lem besi oleh Limbong berakhir sia-sia. Tidak ada kegembiraan dari semua elemen tim ketika keluar dari kamar ganti. Cedera beberapa pemain dan masalah kedisplinan, yang hilang dimasa Riedle, kini datang kembali. Lebih buruk lagi, yel-yel dan koor gegap gempita yang memberi semangat dari pemain ke-12 berkurang separuhnya.

Wim merubah formasi tim yang bermain bagus saat melawan Arab Saudi. Saya sangat yakin, ketika tim ini diisi Bambang, Firman, Ferry, Ridwan dan mencadangkan pemain-pemain seperti, I Made, Wahyu, Ferdinand ini bukan soal strategi. Bagaimana mungkin sebuah eksperimentasi yang sangat berhasil 3 hari menjelang pertandingan resmi diabaikan? Ini soal rasa takut orang Belanda itu dalam mengambil resiko.

Sikap menyalahkan pemain pasca kekalahan dari Bahrain masih bisa dimaafkan. Ajaibnya, begitu lantang dia membela diri, kenapa dia masih memasang para pemain yang berontak? Saya menduga, di saat posisinya terjepit sekarang ini, dia butuh kambing hitam. Ia harus menghindari hantaman. Dengan memainkan para pemain senior itu, jika nanti timnas bermain buruk dan kalah, Ia akan mudah bilang, ‘kan saya sudah memainkan semua pemain yang kaliang inginkan”. Atau begini: nah apa gua bilang. Terbukti kan. Para pemain itu memang buruk.

*****

Hujan turun. Lapangan basah. Para pemain memulai serangan dengan cara yang tidak Indonesia. Para pemain gugup. Kontrol bola tidak sempurna. Lebih banyak tekel dari pada umpan akuratnya. Belum genap setengah jam, dua teman meninggalkan kami. Setelah gol yang mudah akibat kesalahan umpan Firman, sumpah serapah pun berhamburan. Asu. Jancuk. Pantek. Tilei. Peret. Pukimak. Keple. Kere-re. Bajingan. Pakak. Goblok. Keparat. Kadang2, Fuck off. Setelah gol kedua dan ketiga, yang tersisa hanyalah gelengan kepala. Gelengan kepala yang menyisakan rasa sakit di ulu hati.

Semalam, Indonesia bermain dengan taktik yang aneh. Wim sebenarnya tidak memainkan 4-4-3 seperti yang dikhayalkannya. Tidak juga 4-4-2 warisan Riedle yang mulai membentuk karakter timnas kita. Melihat mutasi Hamka, Roby, dan Purwaka, Wims sedang memainkan pola 5-3-2 ketika bertahan dan bertransformasi menjadi 4-4-2 ketika menyerang. Ketiga pemain itu diperintahkan untuk menguasai kawasan di depan posisi Ferry. Jika Hamka gagal menyapu bola, masih ada Purwaka. Ketika Purwaka menyergap aliran bola serangan balik, Hamka menjadi orang terakhir yang mengamankan kotak penalti atau segera mendapat bantuan dari Roby. Kira-kira begitulah logikanya.

Saya duga, dia terinspirasi taktik brilian Mourinho saat melawan Barca. Di final Copa del Rey, Mou memainkan Pepe sebagai gelandang bertahan bersama Alonso dan Khedira. Taktik yang sangat physical ini sangat merusak ritme permainan tiki-taka Barca. Aliran bola lawan menjadi macet akibat kemampuan memotong aluran serangan dapat menyempitkan area lapangan. Lewat Media Wims menjelaskan kenapa dia memainkan Purwaka sebagai gelandang bertahan. Anehnya, saya semalam tidak melihat Purwaka bermain disitu meneerI Jutaan orang juga tidak melihatnya. Emang elu kira penonton Indonesia bloon? Purwaka, baik di Arema maupun di Deltras tidak pernah main diposisi itu.

Sebagai peniru, Wims mencontek dengan buruk. Pertama, timnas Indonesia tidak sedang menghadapi Barca. Saya bisa terima asumsi kehadiran Hamka akan menghadang umpan-umpan panjang diatas kepala pemain kita. Asumsi itu jelas kehilangan relevansinya ketika Qatar hanya 2 kali memanfaatkan sayap dan mengirim umpan langsung ke kotak penalti. Statistik menunjukkan tendangan penjuru 3 kali lipat lebih banyak Indonesia. Bahkan jika asumsi itu benar, mengapa si pendek Purwaka dimainkan? Tiga gol Qatar memberi jawaban atas asumsi sinting itu. Semuanya berasal dari kesalahan posisi tiga pemain itu. Sudah lama kita tidak melihat Indonesia menderita dari gol-gol serangan balik dan tusukan dari tengah lapangan. Qatar hanya menendang 4 kali ke arah gawang, dan tiga diantaranya mampu bersarang.

Qatar bukan tim yang istimewa. Bakat yang buruk dan otak sepakbola yang biasa-biasa telah menyebabkan banyak pelatih kelas dunia dipecat dari tim ini. Thailand atau bahkan Myanmar terlihat lebih hebat. Tidak ada gerak tipu. Tidak ada keunggulan bola-bola atas. Tidak ada kehebatan pacu lari. Tidak ada organisasi permaian yang rapi. Lantas apa yang dikerjakan Wims selama ini? Apakah ia menonton rekaman pertandingan Qatar sebelumnya? Saya tidak tahu, tapi yang pasti, ini menjelaskan kenapa, meskipun lulusan Oranje 74, reputasinya sebagai pelatih tidak pernah terdengar.

Kedua, dia membuat Firman yang dalam beberapa pertandingan terakhir bermain buruk menjadi semakin buruk. Setelah huru-hara ancaman boikot dari Firman muncul secara terbuka, saya tidak mengerti kenapa Wims tetap memainkannya. Dulu, ia memang bermain bagus. Ketika hari buruk tiba, Bustomi menolong dengan penguasaan ritmenya. Malam ini, Hamka tidak membantu Firman sama sekali. Mungkin Wims terlalu takut dengan kritik yang sangat bias dan tidak menggunakan akal sehat dari Benny Dolo di TV beberapa hari lalu. Apapun skema permainan Bendol, pusat permainan ada pada anak kesayangannya. Bendol barangkali lupa, jaman telah bersalin dan melahirkan taktik yang sama sekali lain.

Semalam, Firman tidak pernah memenangkan perebutan bola. Kontrolnya selalu salah—kalau gak salah, bola sangat liar dikakinya. Umpan pendeknya mudah dicegat lawan dan umpan panjangnya tidak pernah menemui sasaran. Dua gol pertama Qatar berawal dari kesalahannya mengoper bola. Bahkan ia tidak pernah bisa melewati pemain dengan talentanya. Yang menyedihkan, Wims mengabaikan metronom permainan sesungguhnya, Bustomi. Kekhawatiran gelandang bertahan kita tidak begitu bermain sebagai hardman bisa kita terima, tetapi Qatar sama sekali tidak berbahaya! Pergantian telat membuat Bustomi tidak bisa berbuat apa-apa.

******

Selain pertandingan yang buruk, siarannya juga sangat buruk. Saya tidak mengerti mengapa SCTV memenangkan tender pertandingan dari PSSI. Saya merasa bola selalu keluar dari batas layar televisi. Kamera menyorot ke tengah ketika permainan berlangsung di kotak penalti. Kadang tayang ulang disiarkan ketika bola masih aktif di sepak di lapangan. Sebaliknya, di saat jeda cepat karena pelanggaran atau lemparan ke dalam, momen-momen menarik tidak di siarkan ulang. Beberapa kali kita kehilangan peristiwa-peristiwa penting dengan lengkap—tendangan ke arah gawang, skrimit di kotak penalti. Gemuruh suara penonton GBK hanya terdengar sayup-sayup.

Yang lebih buruk adalah penyiar tidak memberi nilai tambah bagi pertandingan ini. Saya tidak pernah membenci penyiar atau komentator sepakbola. Komentator cerdas akan membantu pemirsa memahami bagaimana pertandingan berlangsung. Analisa yang mendalam, data-data yang relevan, dan kecakapan penguasaan pengetahuan dapat menarik emosi pemirsa ke dalam suasana pertandingan. Siaran-siaran luar negeri, dengan gairah yang tepat dan bahasa yang pas membuat pertandingan punya irama tersendiri. Mundurnya Andy Gray dari Sky TV membuat kita merindukan suaranya. Martin Tyler membuat liga Champion tidak hanya enak ditonton, tapi sangat enak didengar. Edy Sofyan, John Halmahera adalah komentator di hati saya. Bung Towel yang terbaik di era sekarang. Kusnaini, Gita Suwondo, Ucup, bisa sangat memikat.

Tim buruk, siaran buruk dengan penyiar buruk menghasilkan pertandingan horor. Bung Kusnaini tidak punya waktu panjang membedah pertandingan. Iklan-iklan berseliweran memenggal keahlian analitiknya. Penyiar pertandingan, yang punya waktu 90 menit untuk menemani pemirsa, berbicara untuk dirinya sendiri. Lebih mirip penyiar radio, dia menganggap para penonton tidak tahu apa-apa. Ia hanya melaporkan belaka. Tidak ada antusiasme. Tidak ada analisa pertandingan. Tidak ada penghantar tentang cuaca atau suasana agar emosi penonton di rumah terseret arus nuansa pertandingan.

Dari sebelas pemain Qatar, yang ia sebut hanya 4 orang: Al Shulaiti, Razarak, Khalfan dan Malick Baba. Pertanyaan-pertanyaan dari partnernya tidak pernah dijawab. Saya memetik beberapa momen seperti dibawah ini:

‘Kira-kira, menurut bung Kesit, bagaimana cara Indonesia mencari ruang kosong di babak kedua. Apa perubahan strategi yang harus dilakukan?

‘Eeeee....benar bung kita harus mencari ruang kosong. Itu yang harus dilakukan oleh para pemain Indonesia. Ruang kosong harus dicari untuk menekan para pemain Qatar. Firman, Ilham harus terus berusaha mencari ruang kosong di pertahanan Qatar bung. Dalam sebuah pertandingan dimana kita tertinggal, para pemain harus berhasil mencari ruang kosong. Strategi kita adalah bagaimana kita menemukan ruang kosong itu. Selama 60 menit tampaknya tim kita belum berhasil menemukan ruang kosong itu.’

Sepanjang pertandingan kita mendengar omong kosong sejenis itu. Ketika permainan timnas kian berengsek, saya berharap ada kalimat-kalimat tepat yang menjelaskannya. Itu jauh panggang dari api. Kalimat-kalimat datar yang tidak ada relevansinya dengan pertanyaan dan pertandingan terus saja bermunculan. Kalaupun menjelaskan pertandingan, itu dengan cara yang tidak sama sekali elegan.

*****

Lewat babak pertama, kehendak hati meninggalkan siaran ini. Kejeniusan orang gila dari Uruguay dapat mengurungkannya. Ilham dengan tusukan dan keberaniannya membawa bola memberi sedikit harapan yang tersisa. Setiap luluh lantak oleh gol-gol yang ceroboh, ada secercah harapan. Tapi lambat laun, setelah gol ketiga, pertandingan semakin mengerikan. Semangat yang menyala-nyala yang dulu pernah ada di AFC 2007 atau AFF 2010 menguap entah kemana.

Para pemain bergerak seperti hantu gentayangan. Kalimat penyiar seperti lolongan anjing kudisan di kejauhan. Kamera bergerak ke sana kemari seakan-akan mengejar penjahat cabul dalam film-film Suzanna. Malam lengang dan murung di kepala penggemar sepakbola menjadi latar belakangnya. Jutaan pemirsa patah harapan. Horor gelap dalam sepakbola Indonesia.

Usai pertandingan, sumpah serapah tidak meringankan sakit kepala sepanjang 90 menit yang saya derita. Sementara, kesabaran tidak pernah bisa menemukan tempatnya dalam momen semacam ini. Melihat timnas kalah dengan cara seperti ini, rasanya jauh lebih pahit dan getir dari nasib usia 30-an yang masih jejaka dan tidak punya kerja.

Related Posts: