Tidak Ada Tempat Pulang Untukmu Jose


Oleh Darmanto Simaepa



Chelsea bukan, dan tidak akan pernah, menjadi rumah bagi Jose Mourinho. Memang, ia menyebut berulangkali bahwa Chelsea adalah “sebuah klub yang ada di dalam hatiku dan akan menyertaiku ke manapun aku pergi”. Orang-orang, terutama pendukung Chelsea, percaya, melatih di Cobham adalah perjalanan kembali Jose untuk menemukan rumah dan menjadikannya orang yang paling bahagia. Namun, hati kecil tidak pernah bisa berdusta. Ia menyebut Chelsea sebagai rumah lebih karena ia pernah berusaha kembali ke rumah yang membentuk dirinya dan begitu ia cintai namun cinta itu bertepuk sebelah tangan, dan nampaknya hampir mustahil ia bisa merebut cinta itu di masa depan. Atau paling tidak ia menyebut Chelsea rumah karena ia sedang berharap menemukan dan membangun rumah tempat ia mewariskan dinasti dan legasi di sana.

Sebelum rentetan konflik internal dan hasil-hasil buruk di awal musim ketiga-periode kedua, terlihat bahwa ada kerlip cahaya di ujung lorong yang membawa petunjuk bahwa Chelsea bisa menjadi rumah masa depannya. Kegemilangan dua musim pertama di Stamford Bridge memaksa para pandit dan pembencinya menelan ludah dan berkeringat dingin, sambil semakin menguatkan iman para pendukung, mendapati kenyataan bahwa ia akan melampaui capaian pelatih-pelatih agung dalam sejarah sepakbola. Kontrak perpanjangan kerja empat tahun yang disodorkan Chelsea seperti menjadi rute pembuka bagi Jose dalam usahanya membangun Chelsea sebagai imperium sepakbola, seperti yang pernah berhasil dilakukan oleh Tuan Matt Busby, Bill Shankly, Rinus Michel, Cruijff……Ferguson.

Dengan janji proyek jangka panjang Chelsea, Ia punya kesempatan untuk melengkapi citra sosok salah satu pelatih terhebat yang pernah diproduksi oleh sepakbola Eropa.  Sosok itu tidak akan hanya dikenal dalam sejarah sepakbola sebagai pemburu trofi, pelatih jenius sekaligus pragmatis yang menghalalkan segala daya-upaya untuk meraih kemenangan. Ia punya kesempatan untuk membangun fondasi kokoh sepakbola Chelsea yang kelak akan di kenal sebagai Warisan Mourinho.

Yang menjadi masalah adalah Chelsea bukanlah Manchester United, Arsenal, Juventus atau Barcelona. Lahan dan bangunan tempat ia hendak menyemaikan dan mendirikan kerajaan sepakbola sudah dibeli, dimiliki, dan ditempati Roman Abramovic.

Baiklah, kita bikin jelas. Dalam banyak aspek, klub-klub kaya ini lebih punya banyak kesamaan dari pada yang saya sangkakan. Paling tidak para pemilik dan pemegang saham bisa menentukan apa yang mereka mau beli dan belanjakan, meskipun tidak bisa mengintervensi formasi pemain di atas lapangan secara langsung. Mereka juga akan setuju jika lebih banyak siaran televisi berbayar dan harga tiket dinaikkan. Florention Perez, presiden yang dipilih lewat pemilu societe, bisa sama brutalnya dengan Roman, dan Glatzer jelas-jelas menghisap keringat pemain, pelatih, dan terutama penonton sepakbola sama rakusnya dengan Stan Kroenke dan para pemilik saham di Arsenal.

Yang membedakan, MU, Arsenal dan Liverpool (paling tidak sebelum dikuasai Fenway Sport Group) memberi ruang dan waktu bagi pelatih macam Ferguson, Wenger, dan Houilier atau Benitez untuk menciptakan identitas sepakbola yang sesuai, dan identik, dengan personalitas dan nilai-nilai yang mereka percayai. Di Chelsea, Roman memberi banyak uang bagi pelatih untuk menciptakan sepakbola yang membuatnya bahagia, sepakbola menyerang dan menghibur sekaligus menang, dan di sinilah letak masalahnya.

Roman berpikir ia bisa seperti Berlusconi dan Agnelli dalam hal membeli dan menciptakan sebuah klub sepakbola sebagai tempat memuaskan hasrat artistik dan ekonomi-politik. Hanya saja ia tidak ambil pusing dengan kebenaran fakta bahwa setiap warisan sepakbola dibangun dari sebuah tradisi, dan tradisi selalu dibangun di atas landasan kesabaran dan keberuntungan. Di sini, kesinambungan adalah kata kunci. Chelsea bukannya tak punya tradisi sepakbola yang kuat dan berkesinambungan, namun kalau dibandingkan dengan Milan, United, Everton, Barcelona……. 


Abramovic tak punya kesabaran untuk memotong pohon, membilai papan, merangkai layar, mengurai tali atau memilih-milah kompas untuk membuat kapal pinisi yang tangguh mengarungi lautan. Dengan uang tak terbatas di rekening, ia lebih memilih memesan yacht atau kapal pesiar pabrikan. 

Mourinho direkrut sebagai nakhoda bayaran untuk membuat yacht ini mengelilingi dunia dan memenangi pacuan kapal layar, sementara si pemilik melihat dari tribun jauh bahwa propertinya—kapal, nakhoda, kru—mengalahkan properti milik pesaing bisnis atau kolega makan kaviar dan minum sampanye. Si nakhoda bukanlah siapa-siapa melainkan bagian dari properti. Benar ia punya keahlian dan bisa mengambil kredit dari kemenanganya, namun yacht itu bukanlah rumahnya. Seperti dalam lahraga pacuan kuda, kuda pemenang pacuan dan pemiliknya selalu lebih penting dari pada si joki.

******

Tidak berbeda dengan dongeng, legenda, cerita tentang orang-orang besar, kisah pelatih agung (dan kontroversial) dalam sejarah sepakbola dunia adalah kisah tentang bakat dan ego besar. Seringkali ego dan bakat itu mencapi potensi terbesarnya karena dendam kesumat. Apa yang terjadi dengan Jose lebih dari sekadar pelatih bergelimang piala yang sedang mengalami ujian dan kejatuhan atau, yang populer di antara wartawan Inggris disebut sebagai siklus syndrom tiga-tahunan. 

Setelah menyigi wawancara-wawancara, dokumenter, biografi dan beragam bahan yang tersedia di internet, saya bisa melihat narasi tentang Mourinho adalah perjalanan tentang seseorang yang tidak bisa pulang ke rumah tempat ia melewatkan masa akil balig sebagai pelatih dan belum bisa menciptakan rumah untuk dirinya sendiri.

Tidak diragukan lagi bahwa ia adalah seorang pembelajar cerdas dan gigih dengan bakat melatih yang sangat besar. Ia lahir dari keluarga sepakbola—kakeknya presiden klub Vitoria Setubal dan ayahnya Felix adalah kiper nasional Portugal yang menggagalkan tendangan penalti Eusebio dalam pertandingan debutnya. Ia membantu ayahnya sebagai pemandu bakat klub Rio Ave sejak masa belia—mungkin dengan kesadaran bakat dan teknik sepakbolanya semenjana dan kemudian bekerja sebagai guru olahraga bagi anak-anak dengan disabilitas. Sampai kemudian pertemuan dengan pelatih kenamaan Inggris Boby Robson membawanya menjadi penterjemah di Sporting Lisbon dan kemudian menjadi asisten di Porto dan Barcelona.

Barcelona dekade 1990an dipandang sebagai rumah terbaik bagi pelatih papan atas yang beredar di liga utama Eropa sekarang. Cruijff, dan kemudian Van Gaal, mewariskan tradisi kepelatihan sepakbola yang mengkombinasikan taktik total-voetball dan seni Catalan ala Gaudi dan menetaskan anak didiknya dari pesepakbola perancang taktik brilian. Barca menghasilkan tidak hanya figur pelatih terkenal seperti Koeman, Luis Enrique, Guardiola, Michael Laudrup, Van de Boer (Ajax), Laurent Blanc, Lopetegui (Porto), tetapi juga pelatih Almeria (Sergi Barjuan), Pizzi (ex-Valencia, sekarang Leon di Meksiko) Sporting Gijon (Abelardo Fernandez), Chapi Ferrer (Cordoba). Nama-nama itu bisa diperpanjang hingga Prosinecki (Azerbaijan), Ammunike di Nigeria, Giovanni di Olympiakos...

Dan tentu saja Barcelona adalah rumah tempat Mourinho mengasah taringnya. Ia menjadi satu-satunya orang (non-pemain) yang mengalami secara langsung turbulensi dan transisi Barcelona era Cruijff—Robson—Van Gaal. Ia bekerja mulai dari penterjemah di awal-awal masa Robson hingga menjadi asisten pelatih yang diberi tanggung jawab penuh oleh Van Gaal untuk menyiapkan tim dalam pertandingan non-kompetitif. Bagi pemain, ia tidak hanya dikenal sebagai la traductor (penterjemah), tetapi juga menjadi teman dan asisten pelatih yang memiliki kemampuan membangun solidaritas dan kedekatan dengan pemain sekaligus cakap dalam hal pemahaman taktik.

Periode di Barcelona-lah yang membentuk formasi metode dan gaya kepelatihannya.
Hampir semua pemain Barca yang mengenal dekat Jose memberi pujian. Ia dikenal sebagai seorang yang ambisius, berani mengemukakan pendapat, tegas namun sekaligus dekat dan hangat dengan pemain.  Berulang kali ketika Robson dan Van Gaal sibuk mengurusi etorno, kegaduhan politik dalam tubuh pengurus Barca, Jose mengambil sikap dan memimpin tim.

‘Dia memang spesial. Dia ingin menjadi yang terbaik dan ingin klub meraih hasil terbaik. Seringkali ia mengambil alih kepemimpinan jika pelatih mengurusi hal-hal non-sepakbola.’ kenang Stoichkov. Bekerja dengan pemain-pemain besar dengan ego besar—Ronaldo, Figo, Rivaldo, Stoichkov, Blanc—dan belajar dari pemikir sepakbola dalam diri Cruijff dan Van Gaal memberi bekal melimpah baginya untuk menjadi pelatih sepakbola hebat.

*****

Yang menarik, ada kesan kuat bahwa Mourinho enggan dan menolak periode formatifnya di Barca sebagai periodi paling penting dalam karir kepelatihannya. Dari selusin wawancara eksklusif yang saya tonton, Mourinho mengulangi pernyataan bahwa ia belajar dari dirinya sendiri. Dengan hati-hati ia memilih kalimat untuk menjelaskan Ia tidak belajar secara khusus dari siapapun, tidak dipengaruhi atau mengekor figut pelatih ternama dan tidak berhutang pada tradisi sepakbola manapun. 

Ia mengakui bahwa Van Gaal membantunya dalam pengambilan keputusan menerima tawaran Benfica sebagai pelatih utama dan terang-terangan mengatakan bahwa ia menyukai meneer Belanda itu, dan jelas-jelas hubungan itu bersifat resiprokal karena Van Gaal juga tanpa sungkan menyukai dan memuji Jose. Namun ia di setiap wawancara terlihat jelas ia menahan diri untuk menyebut Barcelona sebagai rumah tempat ia berkepompong dari penterjemah menjadi salah satu pelatih paling sukses di dunia.

Saya baru sadar bahwa sebagian besar dokumenter dan wawancara Jose yang saya tonton itu diproduksi paska tahun 2007. Itu adalah tahun ketika ia mendapat pemecatan pertama kali dan masuk kandidat sebagai pengganti Frank Rijkaard yang tidak bisa lagi mengontrol ego pemain bintang. Peluang ini menjadi harapan besar setelah ia mendapat perlakuan buruk di Chelsea. Ia pantas berharap tinggi dengan apa yang telah ia raih dengan Uniao de Leiria, Porto dan Chelsea. Dalam periode 7 tahun setelah meninggalkan Barca, ia telah mengoleksi empat titel liga domestik, Piala Champions dan UEFA, dan tujuh gelar domestik lain.

Presiden Laporta dan Direktur Begiristain memberi angin segar, tapi Cruijff memberi pertimbangan akhir, merasa Mourinho memiliki kepribadian yang tidak tenang dan strategi bertahannya tidak cocok dengan filosofi Barca. Alih-alih memilih orang Portugal yang ambisius, berpengalaman, dan bergelimang sukses, Barca menunjuk Guardiola, pelatih Barca B yang bahkan belum punya ijin melatih tim utama.

Guardiola adalah teman Jose paling dekat dan paling antusias dalam mendiskusikan taktik dan strategi selama periodenya Barca. Mereka dikisahkan sering beradu argumen sampai pagi untuk membahas apakah seorang bek harus maju dua langkah untuk menutup ruang lawan atau seorang gelandang menggulirkan bola lebih lambat setengah detik ketika tim mengalami tekanan. Sama-sama punya obsesi dengan permainan ini, ada suatu masa keduanya adalah saudara kembar-seperguruan dalam menimba ilmu kepelatihan. 

Yang membedakan, Jose telah melewati banyak ujian dan mengalahkan para pendekar dari perguruan lain. Keberhasilannya menaklukkan Eropa dengan klub ‘kecil’ Porto dan memotong dominasi rivalitas United-Arsenal memberi kredibilitas dan kredensial buatnya untuk mengklaim bahwa ia telah menjadi jagoan pengelana naik turun bukit sampai ke manca negara dan memenangkan banyak sayembara adu pedang.

Ia berhak menjadi pelatih Barca dari pada Guardiola. Ia menyebut keputusan Laporta dengan menunjuk Pep adalah kesalahan terbesar dalam sejarah Barca dan waktu akan menunjukkannya.

Barca mengambil jalan lain yang beresiko itu namun sukses besar. Guardiola tidak hanya membangun dan menyempurnakan inovasi sepakbola 4-3-3 dalam tradisi Michels-Cruijff-an dan memberi sentuhan seni geometris ala Catalunya ke dalamnya, tetapi ia juga memberi warisan kepada sejarah sepakbola salah satu tim terbaik yang pernah ada dengan gaya permainan yang khas. Lebih dari itu, ia membuktikan bahwa menang dengan cara agung bukanlah mustahil bagi sepakbola.

*****

Meletakkan kisah Jose dalam arus sejarah sepakbola Eropa elit kontemporer yang mata airnya ditimba di kota dagang Mediterania bisa menjelaskan narasi yang diciptakan oleh sepakbola untuk Mourinho seperti halnya narasi kitab suci tentang pengusiran Iblis dari Surga. Guardiola adalah manifestasi penuh sifat dan karakter sepakbola Catalunia. Ia adalah makhluk sempurna dan berpengetahuan yang dijanjikan oleh Tuhan dalam taman surga Catalunia. Terlahir dekat stadion Nou Camp, Pep adalah ball boy, pemain akademi, kapten, pemegang tiket terusan, pelatih, anggota societe. Mourinho, pintar, arogan, jenius dan lebih terbukti diciptakan oleh sejarah sebagai orang yang pertama kali meragukan kesempurnaan Guardiola.

Iblis terbukti salah: di bawah asuhan Guardiola, Barca merajalela dan menaklukkan dunia—dengan penguasaan bola, pergantian posisi, menyerang secara membabi buta, dan kreativitas dan keindahan tiada tara. Kegemilangan Barca dan pengakuan Guardiola menjadi nemesis dalam pengalaman psikologi Jose. Kegagalannya menjadi pelatih Barca adalah titik balik yang menandai keterusiran Jose dari surga (dan rumahnya). Dalam perebutan siapa yang paling berhak mewarisi rumah Barca, Jose terlempar keluar.

Ia memilih berkelana dan mengambil sumpah untuk menjadi rival Guardiola dan mendedikasikan energi kepelatihannya sebagai antitesis bagi permainan Barcelona. Ketika Guardiola menikmati waktu di taman indah tiki-taka dan bergelimang kebahagiaan, Jose memulai rute perjalanan untuk menjatuhkan Guardiola dari surga dengan menerima tawaran Inter Milan, dan kemudian Real Madrid.

Tidak sulit untuk memahami kenapa dia menuduh Barca berkonspirasi dengan UEFA untuk mengalahkan Chelsea di semifinal Champions edisi 2009. Ia juga menuduh para wasit selalu memberi keuntungan buat Barca. Ia menggunakan kepintarannya berkelakar, menyindir, melucu dan membuat headline ketika menjawab pertanyaan wartawan di konferensi pers. Di mana ia memberi pernyataan, ia selalu menyerang Barca dan Guardiola. Dan ia menyerang dengan cara yang jenius yang langsung menohok jantung Guardiola, nyaris menyerupai psikopat dalam menakut-nakuti korbannya.

Ia mendapat kesempatan terbaik untuk membuktikan diri bahwa ia lebih baik dari Guardiola dan timnya lebih baik dari Barca pada semifinal Piala Champions edisi 2010. Ia telah siap menunggu hari penentuan itu. Berhari-hari ia menyiapkan tim dengan 10 pemain; bertahan dengan 9 pemain di dalam kotak penalti sendiri. Bahkan ia sudah tahu ke mana dan apa yang akan dilakukannya setelah peluit akhir dibunyikan. Kemenangannya atas United tahun 2003 dan perayaan ke tengah lapangan sambil berlutut tidak ada apa-apanya dibandingkan arah larinya menuju keriuhan dan siulan suporter Barca sambil mengangkat telunjuk jari. Ia menunjukkan bahwa Guardiola dan pemain Barca adalah manusia, dan menyebut kemenangan itu adalah pertandingan terbaiknya sepanjang menjadi pelatih.

Juga tidak sulit untuk memahami kenapa ia memilih tawaran Real Madrid. Obsesi Barca dengan keagungan Madrid dalam sejarah sepakbola menyediakan medan pertempuran bagi penebusan luka lama Jose. Rivalitas sosio-politik Catalunia dan Espana  yang terwujud dalam el-classico Madrid-Barca adalah eksemplar dari pertempuran Guardiola-Barca dan Jose anti-Barca. Ia tidak pernah benar-benar menjadi Madridista dan Madrid tidak pernah bisa menjadi rumahnya juga. Membesut Secara taktik, seorang Madridista tidak menggunakan tiga gelandang bertahan dan menyiku lawan serta merubung wasit untuk menjadi pemenang. Secara mental dan norma, seorang Madridista tidak akan mencolok mata pelatih lawan.  Madrid adalah pilihan terbaik untuk membuktikan bahwa ia bisa membongkar rumah lamanya.

******

Rivalitas Jose dengan Guardiola sering dipandang hanya sebagai bagian perang psikologis lewat media untuk mengganggu konsentrasi lawan. Saya berpendapat bahwa rivalitas itu lebih dalam dari sekadar permainan media. Akar-akar masalahnya terbenam dalam struktur narasi tentang si baik dan si jahat dalam sejarah sepakbola kontemporer. Narasi ini berakar dari satu visi moral tentang hukum kehidupan yang memilih sendiri perimbangan sisi gelap dan sisi terang. Jose dan Guardiola tidak memilih karakter si jahat (anti sepakbola, bertahan, menghalalkan segala cara) dan Guardiola (atraktif, menyerang, pro-aktif). Tapi dunia membutuhkan narasi hitam-putih, kawan-lawan, baik-buruk agar hidup lebih mudah untuk dipahami dan tatanan sosial bisa ditegakkan.

Narasi tentang Jose yang anti-sepakbola selalu muncul dari perbandingan dengan sepakbola yang diaspirasikan oleh Barca dan para romantik sepakbola. Narasi tentang Chelsea yang membosankan, misalnya, muncul karena keberhasilan Jose mengalahkan permainan atraktif Arsenal dan United. Rekor poin kemenangan dan mencetak gol Madrid dalam sejarah La Liga tidak menjadi narasi dominan, kalah oleh imaji tentang Pepe yang menyeringai dan Casillas yang menderita, meskipun ia berhasil ia mematahkan dominasi Barca.

Jose telah menciptakan sejarah. Namun ingat, ia adalah produk sejarah yang tidak bisa ia ciptakan sendiri. Ia tidak bisa memilih untuk tidak ikut Robson dan menjadi bagian dari rejim van Gaal. Ia tidak bisa memilih untuk menimba ilmu dari tempat lain, dalam hal taktik dan manajemen sepakbola. Jose barangkali dengan sadar menciptakan rentetan permusuhan anti-Barca, namun hal ini terjadi setelah ia menjadi anak durhaka.

Si malin kundang, ironisnya, adalah produk Barca. Ia adalah produk Barca yang dianggap bukan-Barca. Ia adalah produk Barca par excellent, namun di saat yang sama ia tidak dilihat mewakili tradisi dan filosofi sepakbola Barca.

“Ia memang lain,” begitu definisi pemain Barca era 90an. Semua orang yang mengenalnya di Barca bilang ia brilian, berdedikasi, berkomitmen, teliti, tekun, dan hebat mengelola emosi pemain. Tetapi, tidak ada orang yang mengidentifikasi bahwa taktik dan permainan sepakbolanya bagian dari tradisi Barcelona. Jika para pandit bisa mengidentifikasi struktur 4-3-3 di Soton, Porto, Bayern, PSG, Ajax, Celta Vigo, Sporting Gijon sebagai warisan formasi baku Barca (yang berasal dari akademi Ajax 1970-an), mereka membuktikan struktur dasar formasi Jose adalah 4-2-3-1. Sepakbola, ditangan Jose, adalah cara untuk menghentikan permainan menyerang dan memukul balik dengan bola mati atau serangan balik. Van Gaal, patron Jose bahkan menuduh Mourinho “lebih bertahan’, dan mengatakan “saya lebih menyerang” sebelum final Champions 2010.

Bekas pemain Barca selalu menyebut Pep sebagai pewaris tradisi sepakbola Catalunia dan, dengan demikian menempatkan Jose diujung anti-tesisnya. Mereka menyebut Jose ketika mereka mengenang masa-masa formatif itu. Hanya saja, mereka tidak menempatkan Jose dan tim-timnya dalam horison perspektif yang dihasilkan oleh sekolah Barca. Ada kesan kuat bahwa kejayaan klub-klub yang ditangani oleh Jose mengganggu permainan ideal sepakbola yang secara romantik diidentikkan di dalam figur seperti Pep, Wenger atau Bielsa. Pandit dan bekas pemain sepakbola mengagumi kepiawaian Jose menghadirkan trofi, tetapi diam-diam tidak menyukai sepakbola yang mereka mainkan.

Narasi tentang si jahat-si baik ini menempatkan Jose dalam pesakitan, tetapi dalam waktu yang bersamaan ia menarik simpati yang luas karena ia mewakili sisi dan hasrat tersembunyi setiap orang yang menginginkan kemenangan dengan segala cara dan di atas segalanya. “Sepakbola bukan sekadar permainan menguasai bola di atas rumput halus dan rata tanpa gawang,” ujarnya suatu kali. Esensi sepakbola adalah mencetak gol dan memenangkan pertandingan bukan selama mungkin menguasai bola.

Iblis adalah makhluk yang pintar, dan dalam banyak hal, ia memiliki keahlian lebih dibanding manusia. Ia tidak memilih untuk memusuhi manusia. Hanya saja, hukum kehidupan (agama dominan), menuntutnya berbuat demikian untuk menunjukkan pemisahan baik-buruk, jahat-mulia. Ia adalah produk sejarah yang sama dengan manusia.  

Di titik ini, saya bisa bersimpati terhadap Jose. Narasi jahat-baik adalah hukum kehidupan, yang tidak pernah adil bagi orang seperti Jose—juga buat Iblis yang terusir dari Surga. Jose sekuat tenaga membela prinsipnya dan seperti sedang melawan dunia, dan membuktikan bahwa sepakbola bisa dimainkan dengan beragam cara. Dia gigih memperjuangkan keadilan epistemik—frase yang saya curi dari istri saya—dalam jagad sepakbola. (Yang dimaksud dengan keadilan epistemik itu adalah membuka segala cara berpikir (filosofi) dan cara pandang terhadap sepakbola.)

Ketika semua klub hendak mengekor cara Barca mengelola klub, memproduksi pemain akademi dan menerapkan taktik untuk meraih kemenangan, Jose memberi alternatif lain bagi klub yang bekerja mengandalkan keringat dan darah. “Messi dan Ronaldo hanya untuk dua klub,” Jose memberi perumpamaan, “tetapi juara bisa diraih oleh tim manapun yang hidup tanpa mereka”.

Seluruh rangkain kerjanya paska-Barca—dari keliling ke Brazil mencari pemain tarkam sampai keberanian mencadangkan Casillas—digerakkan lewat prinsip kerja keras. Bakat tidak ada berarti apa-apa tanpa etos kerja, begitu ia punya mantra. Keberhasilannya bisa menginspirasi klub-klub kecil yang tidak kebagian hak siar televisi dan menjual kaos pemainnya untuk bertarung melawan klub-klub mapan. Ia barangkali orang yang pertama kali memberi selamat kepada klub gurem dari Siprus, Apoel Nicosia, saat mereka melaju ke babak 16 piala champions.

Pujian di atas barangkali sedikit aneh mengingat bahwa saya selalu menulis hal-hal buruk tentang Mourinho. Seorang teman menyebut saya ‘pendengki Mourinho’ dan semua pendengki selalu bisa melihat kekurangan dan celah orang lain. Saya tetap mendengki Jose, dan ia masih menjadi nemesis saya dalam menulis sepakbola. (Saya bisa mengabaikan sakit kepala setiap menyaksikan United di bawah Van Gaal bermain atau menahan diri ketika Barca menampilkan sepakbola terbaik dalam lima tahun terakhir dalam el-classico terakhir, namun saya tetap tidak bisa menahan diri menulis tentang pemecatan Jose Mourinho!!).   

Nada yang berubah dalam menuliskan Jose barangkali mengejutkan karena, anda bisa bilang bahwa saya adalah moralis sepakbola. Sebagai penggemar sepakbola menyerang, atraktif, kreatif dan penuh keberanian mengambil resiko, Jose adalah iblis laknat. Bagi saya, sepakbola yang layak tonton adalah sepakbola yang berakhir dengan skor 4-5 di mana tim yang saya dukung tersungkur dari pada pada pertandingan 0-0 yang memberikan gelar juara.

Saya selalu geleng-geleng kepala ada orang yang menyukai Tony Pulis atau Materazzi. Bahkan ketika ketika Barca kalah atau MU menderita, saya masih bisa tersenyum menyaksikan Chelsea tersungkur dan gembira setelah melihat Jose merah mukanya di depan kamera post-match interview.

Namun, kedengkian terhadap Jose saya bisa letakkan dalam perspektif yang lebih luas.

Ada suatu masa ketika terobsesi dengan pertanyaan “apa dan lingkungan seperti apa yang membentuk formasi seorang Mourinho?”, saya menelusuri internet untuk melihat dokumen audio-visual tentang Jose. Berpuluh-puluh jam usai memelototi layar monitor dan mendengarkan rekaman, saya bisa mengatakan bahwa Jose adalah pelatih yang brilian, jenius dan dengan etos kerja yang luar biasa. Barangkali dia adalah pelatih modern yang memiliki kelengkapan taktik dan kemampuan manajemen pemain terbaik. Tidak perlu bukti-bukti dari statistik OPTA untuk menyebutnya dia pelatih terbesar yang dihasilkan Abad 21. Dari kemampuan berbahasa, hubungan dengan pemain, adaptasi strategi dalam pertandingan-pertandingan besar, dan terutama setiap trofi yang ia berikan kepada klub-klub yang mempekerjakannya, sederhana saja: ia yang terbaik.

Namun, dalam sepakbola trofi semata tidak pernah cukup. Dalam wawancara mendalam usai periode Madrid, Ia menyatakan secara eksplisit bahwa ia membutuhkan tempat yang stabil untuk membangun imperiumnya. Ia masih haus akan gelar dan kemenangan, tetapi ia ingin menciptakan versi lain dari dinasti Ferguson. Chelsea menjadi pilihan yang paling masuk akal. Ia mencium gelagat Roman sepertinya sedikit punya kesabaran setelah berhasil mencium piala Champions di Munich.

Si anak durhaka, iblis terkutuk yang ditolak kembali ke surga ingin mencari rumah tempat ia melabuhkan hati. Ia berharap Chelsea menjadi benar-benar rumah tempat hati sepakbolanya ditaruh dan bisa melupakan penolakan dari Nou Camp.

*****

Cerita tentang Jose adalah kisah tentang pelatih jenius yang mencari-cari rumah tempat ia hendak meletakkan warisannya. Rumah tempat ia tumbuh telah direnggut darinya dan tidak ada kemungkinan untuk mendapatkannya kembali; Rumah itu telah diberikan kepada saudara seperguruan, dan saudaranya itu telah berhasil membuat rumah versi megah dan nyaman untuk ditempati.

Dalam kisah Iblis yang terusir dari surga, konon Tuhan tidak pernah bisa memaafkannya dan tidak ada jalan untuknya pulang ke rumah. Yang tidak pernah dikatakan kepada kita para pemeluk teguh adalah Iblis punya kejeniusan untuk menciptakan rumahnya sendiri.

Penolakan dari Nou Camp memberi peluang baginya untuk menciptakan dinasti dan tradisinya sendiri. Dan Jose tidak akan berhenti sampai ego dan dendam kesumatnya menciptakan pembalasan dan hidup dengan damai dan tenang. Hanya saja, tinggal sedikit klub besar di Eropa yang memberikan kesempatan dan terutama kesabaran bagi orang seperti Jose untuk membangun dinastinya.

Di kitab suci, tempat abadi bagi Iblis adalah neraka. Namun kita tidak pernah tahu bahwa apakah Iblis sengsara atau bahagia di sana dan membangun rumah megah di sana. Kita juga tidak tahu apakah dia akan punya rumah atau tidak. Sepakbola menunggu akan ke mana sang Iblis menciptakan rumahnya. Di sebelah utara London, ada tempat yang ramah bagi Iblis yang wajahnya suka memerah kalau kalah. Bukan kebetulan jika namanya the Red Devils. Itu adalah satu-satunya tempat yang profilnya cocok dengan Jose.

(Jujur saja, saya agak sedikit menggigil membayangkan dalam dekade-dekade mendatang, Jose berhasil membangun rumahnya sendiri di samping istana yang telah dibangun oleh Ferguson.)

Related Posts:

Orang Kebanyakan Tak Masuk Hitungan*

 Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Pada pengujung 1994, Maradona, Stoichkov, Bebeto, Francescoli, Laudrup, Zamorano, Hugo Sanchez dan beberapa pemain sepakbola lainnya, memulai sebuah organisasi serikat pemain sepakbola internasional.

Para bintang pertunjukan itu sama sekali tak dilibatkan dari struktur kekuasaan ketika keputusan-keputusan dibuat. Mereka tidak memiliki hak untuk berteriak “huu..” kepada manajemen sepakbola lokal, tidak juga menikmati kemewahan yang sering terdengar dari tahta agung FIFA ketika kue global tengah jadi rayahan.

Siapakah para pemain? Monyet di sirkus? Ya, mereka bisa jadi berpakaian sutera, tapi bukankah monyet tetaplah monyet? Mereka tidak pernah dimintai pendapat ketika tiba saatnya diputuskan tentang kapan, di mana, dan bagaimana mereka bermain. Birokrasi sepakbola internasional mengubah aturan semau mereka, sementara para pemain tak punya suara. Mereka bahkan tak bisa mencari tahu berapa uang yang dihasilkan oleh kaki-kaki mereka sendiri, atau ke mana larinya uang itu.

Setelah bertahun-tahun mogok dan unjukrasa oleh sarikat pemain lokal, pemain kini mendapatkan kontrak yang lebih baik, tapi para bakul bola terus saja memperlakukan mereka tak ubahnya mesin yang bisa dibeli, dijual, dan dipinjamkan: “Maradona adalah sebuah investasi,” kata Presiden Napoli.

Kini klub-klub Eropa, demikian juga beberapa klub di Amerika Latin, memiliki staf psikolog, seperti di pabrik-pabrik. Para direktur tidak membayar mereka untuk menolong jiwa-jiwa merana (para buruh), tapi untuk jadi pelumas mesin dan menaikkan output. Apa output (yang didapat dari seorang) atlet sepakbola? Ya seperti output seorang buruh, meskipun tidak seperti buruh yang digaji tangannya, mereka digaji kakinya. Faktanya bahwa pemain profesional menawarkan tenaga buruh mereka ke pabrik pertunjukan untuk ditukar dengan gaji. Harga tergantung penampilan. Dan semakin mereka memperoleh harga tinggi semakin mereka diharapkan untuk berproduksi lebih. Dilatih untuk menang atau menang, diperas keringatnya sampai kering, mereka diperlakukan lebih buruk dibanding kuda pacuan. Kuda pacuan? Paul Cascoigne suka membandingkan dirinya dengan ayam pedaging: gerak dikekang, diatur ketat, tindak-tanduk disetel agar melakukan hal yang berulang-ulang.

Para bintang bisa memperoleh gaji tertinggi sementara kemegahan mereka dengan cepat menguap. Klub memang menggaji mereka jauh lebih tinggi dibanding 20 atau 30 tahun lalu, dan kini mereka bisa menjual nama atau wajah mereka untuk iklan. Namun kejayaan para pesepakbola idola tak setimpal dengan dongeng-dongeng yang dibayangkan orang-orang. Majalah Forbes menerbitkan daftar 40 atlet dengan bayaran tertinggi di dunia pada 1994. Di antara mereka, hanya ada satu pemain sepakbola, Roberto Baggio dari Italia, dan ia ada di urutan yang nyaris buncit.

Lalu bagaimana dengan ribuan di antara ribuan pemain yang bukan bintang? Pemain yang tidak masuk dalam jajaran kerajaan ketenaran, yang terjebak mutar-muter di situ-situ saja? Dari setiap sepuluh pemain sepakbola profesional di Argentina, hanya tiga di antaranya yang bisa hidup layak. Gaji mereka tidak tinggi, terutama mengingat pendeknya karir sepakbola mereka: peradaban industrial yang kanibalistik memakan mereka mentah-mentah.

*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 


Related Posts:

Pesepakbola dan Penulis


Oleh Darmanto Simaepa

♯Pesepakbola 

Tidak ada orang  yang mengawali kerja (“karir”) menendang bola di usia kepala tiga. Ini berlaku untuk pemain bayaran di liga yang disiarkan televisi maupun pemain amatir di turnamen tujuh belasan.  Justru, umur tiga puluhan adalah lonceng kematian bagi pesepakbola. Coba hitung tetangga Anda yang masih mau ikut bermain di alun-alun kecamatan untuk mempertaruhkan kebanggaan desa.  Kalau tidak terserang encok dan linu, pemain senior paling antusias di desa pun di dera rasa malu bila harus berada di satu lapangan dengan anak laki-laki dan/atau disoraki anak gadisnya.

Di level yang paling tinggi, tidak banyak pemain yang masih cemerlang mengolah si kulit bundar melewati tiga dekade. Hanya pemain-pemain yang punya gen berkualitas dan hidup bagai rahib sajalah yang mampu menyeimbangkan gairah bermain, disiplin makanan dan tindakan luar lapangan, serta keterampilan menjaga badan. Seberapa banyak pemain seperti Maldini, Giggsy, atau Rogerio Ceni?

Oke, Roger Milla pertama kali menendang si kulit bundar di Indonesia ketika usianya 42. Tapi, saya ragu apakah dia sedang benar-benar bermain bola saat itu, kecuali, sedang dibayar menjadi aktor pembantu—spesialis goyang pinggul—dalam lakon setengah babak untuk menarik penonton datang ke pertunjukan di stadion yang lengang.

♯Penulis

Saya punya postulat bahwa penulis novel yang bertahan lama di Indonesia tidak akan memulai  “karir” sebelum usia 30-an. Dengan kalimat ini saya tidak sedang mengatakan bahwa semua novelis baru menulis atau menghasilkan karya pertama di usia tersebut. Sebagian besar penulis brilian menoreh kalimat pertama sejak mengenal abjad dan telah menerbitkan sejumlah buku di usia belasan.

Yang saya maksud dengan memulai “karir” di sini adalah periode memantapkan diri sebagai seorang penulis. Postulat tersebut berangkat dari gagasan bahwa setiap penulis memiliki satu periode di mana ia berada pada dilema untuk gigih menjadi penulis atau menyerah dengan keadaan.

Saya tidak sedang bilang bahwa selalu ada kegelisahan dan periode transisi dalam rite de passage seorang novelis.  Banyak penulis yang langsung yakin bahwa dia akan berhasil menjadi pengarang novel. Ada juga dari mereka yang menghasilkan novel bagus dan menjual banyak eksemplar lewat karya pertama. Paling tidak seorang yang sebelumnya kurang dikenal seperti Andre Hirata dapat keduanya.

Menulis novel boleh jadi menjanjikan kekayaan dan kemasyhuran tanpa harus melewati periode transisi. Hanya saja, seperti lagunya Hetty Koes Endang, janji itu kerap hanya menjadi janji. Sulit dibantah kalau dibanding profesi lain, ‘struktur’ dunia kepenulisan di Indonesia relatif kurang membuka ruang bagi banyak ‘agensi’ untuk berhasil menjadi penulis yang berhasil dan menjual karya bagus.

Hampir semua penulis novel harus bersiasat untuk menopang kehidupan. Dan  mereka lazim punya periode transisi sebelum akan meneruskan profesi kepenulisan sebagai sandaran hidup. Periode transisi ini setara dengan masa ketika anak-anak akademi sepakbola masuk jenjang profesional. Banyak pemain bagus saat di akademi, diklat, atau event olahraga amatir (PON, Porda), namun persentase yang lolos menjadi pemain profesional di waktu yang lama sangatlah terbatas.

Paling tidak digenerasi saya (2000-an), banyak penulis muda memulai ‘latihan’ menata paragraf, memilin cerita dan mengolah kalimat lewat tulisan 1000 kata di lembar ‘budaya’ koran minggu atau sayembara ini-itu. Sebagian di antara mereka berkibar di surat kabar sebelum masuk duapuluh.  Namun, dari semua penulis produktif itu, tidak banyak yang berhasil memantapkan diri sebagai penulis yang punya kekhasan tersendiri—secara komersial dan artistik.

Tentu saja tiap orang punya masalah dan pilihan pribadi yang tidak diketahui orang luar. Mereka juga mungkin tidak melihat profesi ini sebagai cara untuk punya karya besar, laris manis atau membuat terkenal. Banyak teman memberakan praktik menulisnya untuk kegiatan yang dipandang lebih relevan, misalnya berdemonstrasi atau aktif menggalang massa melawan ketidakadilan.

Justru karena tiap penulis punya alasan untuk tidak meneruskan ‘karir’ dan sementara semua yang ingin hendak jadi penulis tidak semua berhasil mengatasi masa ‘transisi’ membuktikan bahwa ‘agensi’ penulis tidak selalu bisa memilih sejarahnya sendiri di hadapan ‘struktur’ dunia kepenulisan.

Penulis yang bersemangat di awal masa remaja mentransformasikan semangat itu ke profesi lain ketika mulai membayangkan bagaimana membayar katering pernikahan atau tagihan listrik. Tentu saja keadaan sesungguhnya tidak sedramatik itu, tapi kita langsung ke poinnya: kegigihan menulis ditentukan justru oleh ketidakmenentuan apa yang akan diberikannya.

Bahkan penulis yang sudah menerbitkan beberapa karya sering tidak merasa yakin bahwa ia akan bertahan. Seorang Gabriel Garcia Marquez pun merasa belum yakin akan jadi penulis meskipun ia sudah menerbitkan kumpulan cerpen pertama.      

*****

♯Pesepakbola

Ada sebagian pesepakbola, yang setelah pensiun, beralih profesi menjadi penulis. Penggemar Albert Camus bisa memasukkan namanya ke daftar ini. Sebelumnya, Neil Peterson memperoleh hadiah sastra bergengsi Atlantic Award setelah pensiun menjadi kapten Dundee United atas cerita pendeknya. Pepe Mel menulis novel detektif yang mendapat sambutan hangat. Terry Venables bahkan menulis naskah televisi di antara jeda latihan bola semasa masih aktif bermain. Nama David Beckham muncul di sampul buku cerita horor dan Theo Walcott menulis cerita berseri untuk anak-anak.

Ada juga bekas pemain bola atau pelatih yang menjadikan menulis sebagai seni. Bila membaca kolom-kolom Luis Menotti atau Jorve Valdano, Anda akan mendapat sensasi sastra. Esai-esai Beckenbauer menarik tapi citarasa Jerman terasa begitu teknis dan ‘arsitektonik’. Namun, rata-rata bekas pesepakbola yang menulis cenderung menghasilkan otobiografi. Atau paling banter mereka akan menulis kolom ulasan taktik, atau prediksi pertandingan.

Berharap pemain bola menulis cerita silat adalah tuntutan yang tidak bertanggung jawab, dan saya tidak sedang melakukannya.

♯Penulis

Saya punya teman dari masa remaja yang punya punya hasrat bermain bola, namun sama sekali tidak berbakat. Saat SMA, ia memilih posisi bek kiri bukan karena kidal atau pengen meniru salah satu legenda Milan, klub kesayangannya. Kaki kirinya mirip kayu getas, tak lentur mengarahkan umpan. Ia bisa menerjang dan larinya cukup kencang tapi napasnya pendek, seperti ukuran tubuhnya. Sederhana saja: tidak banyak saingan cadangan di posisi itu.

Pada masa itu, kemampuan mengolah kata dan menenun bahasa mirip bakat sepakbolanya. Angka di rapornya untuk Bahasa Indonesia barangkali delapan, tapi itu tidak menunjukkan bahwa ia akan lebih piawai menggiring cerita dan bercita-cita menjadi penulis novel.

Ketika ia memilih jurusan Sastra Indonesia di universitas, itu bukan diawali oleh kesadaran akan peluang pekerjaan yang akan diraih setelah menjadi sarjana atau membantunya memenangkan sayembara sastra. Seperti kebanyakan siswa kampung yang keder melihat persaingan masuk perguruan tinggi, Ia memilih Sastra Indonesia di nomor ketiga.

Sebagai penulis dari keluarga sederhana yang tidak memiliki riwayat sebagai penulis, ia memulai menulis cerita sebagai cara untuk membeli buku, makan bareng teman, atau menambahi kiriman orang tua yang tidak seberapa. Ia punya sedikit keahlian beternak ayam, tapi tempat tinggalnya di Yogya bukanlah pulau Buru tempat Pram bisa menukar telur dengan kertas.

Ia terus menulis, barangkali, karena tidak melihat ada kemungkinan menyambung hidup di luarnya. Sudah lama pertanian bengkoang di kampungnya susut, sementara membuat jubung telah ditinggalkan laki-laki di sekelilingnya. Lebih buruk lagi, sikap skeptis dan introvetnya jelas tidak cukup meyakinkan untuk dijadikan bekal melamar pekerjaan ‘membantu’ masyarakat.

Beberapa bulan di Jakarta untuk pekerjaan lain membuatnya seperti ikan asap. Lalu pekerjaan lumayan sebagai penyunting buku pelajaran membuatnya bisa bayar kost dan sedikit mengumpulkan tabungan pernikahan, sebelum hari pemecatan diumumkan. Di antara waktu-waktu itu, ia berusaha keras menulis cerita tentang desanya, kerabatnya, dan ‘dirinya’ dalam sebuah novel.

Setelah satu dekade lebih bergulat dengan tokoh, plot dan narasi tentang desanya, ia syah menjadi novelis. Namun, hari di mana novelnya keluar dari percetakan itu bukanlah menjadi hari pertamanya menjadi seorang ibu yang melahirkan anak yang dikandung selama sepuluh tahun. Itu nyaris menjadi hari terakhir menjadi orang tua.

Kenyataan bahwa novelnya tidak beredar luas di pasaran komersial, artistik, dan akademik membuatnya mengalami ‘krisis 30an’.  Ia menghadapi ada jarak antara impian masa mahasiswa dan kenyataan dunia setelahnya. Di satu sisi, sangat sulit membayangkan hidup di luar menulis tetapi di sisi lain,  sulit membayangkan hidup hanya dengan menulis.

Seperti pemain bola di Indonesia, ia harus melewati masa transisinya dengan bermain tarkam. Ia mengerjakan apa saja untuk menyambung hidup. Krisis inilah yang membuatnya betah membujang. Ia mungkin tidak ingin membagi periode transisinya bersama orang lain.

♯ Bekas Pemain dan Penulis

Setiap profesi punya titik balik.

Titik balik pemain sepakbola adalah paruh 30an. Xavi pindah dari Barca, Gerard pergi ke Amerika, Kurniawan DJ undur diri. Mereka tidak bisa berkompromi dengan waktu. Ketika badan sudah mulai melawan perintah otak, saatnya pemain sepakbola menepi ke level kompetisi yang lebih rendah atau gantung sepatu dan menyiapkan karir kepelatihan.

Para penulis yang akan bertahan panjang, sebaliknya, memulai titik baliknya di usia 30an. Apalagi penulis yang dulunya kurang becus mengolah bola. Saya tidak sedang bicara tentang Galeano. Teman remaja saya itu kini telah melahirkan novel ketiga dan telah bermetamorfosa menjadi seorang penulis yang kuat dan, saya percaya akan bertahan lama.

Baginya, novel pertama barangkali yang paling penting—tiap pengarang hanya sekali menulis kisah atau tempat di satu novel, dan biasanya itu ada di karya yang pertama. Novel kedua penting karena memberi kemungkinan untuk bertahan hidup. Namun bagi saya, novel ketiga adalah yang paling krusial: ia menandai keberhasilan periode transisi.

Saya akan kembali ke postulat di atas: berkebalikan dengan pemain bola, penulis novel hebat dan novel yang bagus memulai siklus karirnya setelah usia tigapuluhan. Saya percaya teman yang tengah menikmati penerbitan dan promosi novel ketiga di usianya yang ke tiga puluh lima itu telah melewati ‘akademi’ dan bersiap-siap memainkan ‘kompetisi’ di level yang paling tinggi.

Novel ketiga bekas pemain bola kacangan itu judulnya Kambing dan Hujan.

Related Posts:

FINAL SEPULUH MENIT

Oleh Darmanto Simaepa

Bagi saya, pertandingan final liga champion edisi 2015 baru dimulai pada menit ke lima puluh lima. Meskipun kaki Mascherano gemetar dan aliran darah Busquet berdesir sedikit lebih kencang sehingga pada satu-dua sentuhan pertama Barca terlihat gugup dan tegang, saya yakin bahwa pertandingan di Berlin itu adalah sebuah peragaan, bukan pertandingan ‘sesungguhnya’. Saya bilang ke teman kost yang seorang Juventini—ia menyimpan foto bareng Alex Del Piero—bahwa Si Kuping Lebar telah diantar ke Nou Camp sehari setelah pertandingan semifinal kedua. Saat itu saya tidak berkelakar atau ingin ditertawakan, apalagi menyepelekan Juventus. Saya hanya sedang berusaha tidak terlalu gembira. Juve adalah tim yang sangat bagus, tapi dengan mengingat sejarah, DNA Madrid jelas lebih terbiasa dengan Liga Champions, sementara rivalitas sosio-politik sepakbola Castilia-Catalunya bisa mengubah Madrid jadi monster yang berbahaya.

Sore menjelang kick-off, kaki saya tidak terasa dingin. Perut baik-baik saja. Tidak mulas dan serasa mau muntah seperti yang biasa saya derita ketika tim kesayangan berlaga di partai-partai besar atau final. Tidurpun sangat pulas, sampai-sampai teman yang mengajak nonton bareng—anak muda penyorak tim dari Manchester, tapi bukan United—harus menelepon berkali-kali, memastikan saya bangun dan siap dijemput. Ini berbeda dengan, misalnya, setahun yang lalu ketika saya tak bisa tidur menjelang final Piala Dunia dan mengeluarkan sebaskom isi lambung sepanjang malam. Bahkan semalam terlintas di pikiran untuk mengajak Gerei, anak laki-laki saya yang berusia 5 bulan, menembus dingin dini hari jalanan Australia dan menikmati kemenangan indah Barca.

Saya tidak gelisah bukan karena barisan penyerang Barca saling mengisi, produktif dan bermain penuh pesona. Sid Lowe atau Daniel Taylor dari the Guardian atau Rob Hughes punya banyak kalimat bagus untuk mendeskripkan ketajaman dan pergerakan itu Barca punya trisula. Tim ini menenangkan hati bukan karena secara statistik lini belakangnya lebih solid, jarang kebobolan dari bola mati dan mengelak dari derita serangan balik. Anda hanya perlu singgah di laman ‘copy-paste’ala pandit detiksport untuk tahu. Lagipula, untuk apa bersaing dengan analisa taktik Jonathan Wilson di majalah Champions tentang bagaimana Enrique menata skema pertahanan Barca dan mengarahkan umpan diagonal. Bahkan, tanpa membaca artikel dunia mayapun—yang sebagian bertele-tele dan sebagian lain menyegarkan—Anda sudah tahu bahwa tim ini lebih lengkap, adaptif dan dinamis, meskipun elegansi dan aura ‘aristokrat’ yang dipunyai era Guardiola sedikit menguap entah ke mana.

Yang membuat saya lega adalah: ini bukanlah tim sepakbola impian Catalunya yang congkak dan kelewat percaya diri, seperti yang pernah membuat banyak orang patah hati seperempat abad silam. Barca yang ini sedikit rendah hati. Dari penggalan tayangan pemanasan yang saya peroleh via streaming Sky Sport, tampak jelas kegugupan di wajah Messi. Ia sering menelan ludah sehabis melakukan lari jarak pendek. Sesekali matanya nanar, menatap langit-langit stadion. Tindak-tanduknya menunjukkan bahwa kegagalan final Piala Dunia telah merasuk ke sumsum dan menjadikannya sebagai manusia biasa. Di sudut yang lain, Pique meremas-remas genggaman tangan lalu menciumnya sesaat sebelum masuk arena. Hanya Alves dan Neymar yang bisa menyembunyikan tekanan dibalik senyum ceria Brazilia.

Kecuali untuk Rakitic, Suarez, Alba, Neymar, dan Stegen, semua pemain inti Barca telah mencecap final Champions yang kedua, ketiga, atau bahkan yang ke empat kali. Namun tetap saja mereka gelisah dan jantungan. Jelaslah para pengamat berlebihan dengan menganggap Messi berasal dari planet antah berantah di luar galaksi Bima Sakti atau Xavi adalah ilmuwan paling rasional dan dingin dalam permainan ini.

Yang jelas: mereka lebih pintar menggulirkan si kulit bundar—baik sebagai tim maupun individu. Ini bukan berarti Juventus tidak terampil atau bermain dengan naif. Bukan. Juve sangat cerdas secara taktik dan siap secara fisik. Alegri membuat Conte tampak seperti pelatih semenjana, dan membikin orang tidak lagi bicara tentangnya. Di tangan Alegri, Juve jauh lebih matang. Dari beberapa kali operan satu dua yang cepat, terlihat ia berhasil menanamkan sikap percaya diri sekaligus perhatian detil pada akurasi. Misalnya, bek dan gelandang Juventus secepat kilat mengumpan bola panjang ke rusuk kiri yang ditinggal pergi Jordi Alba. Di sana, Morata sudah menunggu bola dan langsung berhadapan satu-lawan satu dengan Mascherano. Remaja itu lebih ligat dan beberapa kali berhasil memperdaya Masche, membuat kita menggerutu mengapa Madrid menyia-nyiakan bakatnya. Di sebelah kiri, jangkauan kaki dan kelenturan bagian tubuh atas Pogba sesekali memancar dan mengindikasikan bakat besar. Kemampuan fisik serta ketrampilannya memindah arah serangan membuat Dani Alves bimbang mengambil keputusan menunggu momentum atau merangsek maju.

Hanya saja, sungguhlah sulit melawan sistem penguasaan klasik Barca. Kombinasi satu-dua sentuhan Busy, kehalusan dan kecerdikan Iniesta mengatur arah bola, serta kecerdasan Rakitic mencari ruang kosong membuat Pirlo, Vidal dan Marchisio seperti menjala angin yang melesat. Keunggulan satu gol tidak menggambarkan kualitas pertandingan. Itu hanya menunjukkan kebenaran komentator David Pleat yang dengan kering menyebut Gigi Buffon sebagai 'evergreen goalkeeper’. Terutama saat syaraf refleknya meminta tubuh rebah ke arah kanan, sementara otak kanannya secepat kilat memerintah tangan kirinya bergerak ke arah sebaliknya, menghalau sepakan jarak dekat Alves. Atau momen ketika ia dengan sigap membaca arah tendangan punggung kaki Suarez dari jarak kurang sepuluh langkah ke arah tiang dekat.

*****

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menonton tim dukungan berlaga di final dengan nyaman. Namun, tiba-tiba saja datang momen itu. Jordi Alba keliru membuat perhitungan, dan sentuhan tumit Marchisio (satu-satunya yang bisa kita ingat darinya malam itu) mengubah arah lari Leichsteiner. Tepat saat orang Swiss itu menekuk bola dengan bagian dalam kaki kanannya, Tevez membalik badan dan menyambar bola menyusur tanah dengan kaki kiri tepat ketika bahu kirinya mengerahkan daya tolak. Stegen berhasil memblok bola yang dipotong dan digunting dari arah di mana ia datang. Apa daya, taktik sepakbola Italia dengan menempatkan seorang penyerang di garis ofset untuk menerima pantulan masih berguna! Morata menunjukkan pilihannya bermain di Italia tidak keliru. Ia punya insting pemburu yang bertahun-tahun tinggal dalam kepala Inzaghi. Ia juga punya kemampuan meraba arah bola dan arah nasib.

Pertandingan final mulai. Keringatan hangat mulai mengalir, tapi ini bukan karena semangkup sup, saksang dan sambal pedas kemiri campur andaliman yang saya tuntaskan di tengah jeda. Tentu saja tubuh saya menghangat karena makanan Batak itu dimasak penuh perasaan dan sepenuh hati dengan takaran bumbu yang pas oleh kawan Reinhard Sirait. Hanya saja, tubuh tiba-tiba lembab karena game plan Italia racikan Alegri yang diam-diam saya reka-reka sendiri dan takuti bekerja dengan baik.

Sulit menterjemahkan frasa dalam bahasa Inggris Italian Job ke dalam bahasa Indonesia, tapi Anda pasti tahu maksud saya. Dan ini bukann kali pertama. Kedewasaan Juventus bermain sudah terasa selama dua pertandingan semifinal. Meskipun tertinggal dan dalam posisi tidak menguntungkan, mereka bermain penuh percaya diri, tidak panik, dan sedikit membikin kesalahan, Tevez turun ke dalam, sementara Morata selalu berhasil memenangi duel dan memberi bola pantulan. Vidal seperti seorang perwira perang yang langsung turun bertempur di medan perang, berlari ke sana kemari penuh tenaga dan tipu daya. Plot permainan dirancang lewat skenarion yang matang. Mungkin mereka tidak yakin akan mencetak gol atau menang, tapi mereka tahu cara mengolah tempo pertandingan.

Saya melihat secercah kedewasaan itu selepas kedudukan imbang. Mereka tidak buru-buru. Dengan telaten, mereka menunggu Barca melakukan kesalahan, mengubah arah bola dan membuat serangan kejutan. Mereka teguh dengan prinsip menekan setinggi mungkin, tetapi jarang melepas umpan panjang. Berapa kali Anda melihat Buffon melepas tendangan gawang langsung ke pemain depan? Meskipun Vidal terlalu berangasan, Bonucci dan Barzagli hampir tidak terlihat membuat kecerobohan. Jarak antar pemain rapat, sementara duet pemain depan selalu berusaha mengoyak dan merentangkan ruang.Tatkala Pirlo mulai mengambil momentum, pemain Barca bingung mencari bola dan terlihat linglung. Periode ini adalah yang periode yang membuat saya menderita.

Coba bayangkan pemain Barca bergerak tanpa menguasai bola! 

Imajinasi saya seketika melayang duapuluh satu silam ketika Guardiola dan kawan-kawan berlari pontang-panting ke semua sudut lapangan untuk mendapati bola sudah dioper Maldini ke Desailly dilanjutkan ke Boban lalu menuju Savicevic dan berakhir di jala Zubizareta setelah digulirkan oleh Massaro. Semakin keras pemain lini tengah Barca merebut bola, semakin sering mereka menemukan pemain Milan telah jauh meninggalkannya. Imajinasi itu bertaut dengan masa-masa ketika Messi mulai menunduk dan Suarez berlari menuju ruang hampa. Selama beberapa menit, bola menjadi liar di kaki Busy dan Iniesta, dan itu menghasilkan umpan-umpan yang kerap salah sasaran. Bahkan, untuk sekian waktu, Messi tidak menyentuh si kulit bundar sementara kuartet Juve mulai mengatur suhu permainan.

Bagi penggemar Barca yang sedikit-banyak membaca sejarah klub ini, Anda akan memahami trauma sejarah sepakbola  Dalam kalimat Franklin Foer atau Sid Lowe, sejarah Barca adalah sebuah perulangan atas “melankolia kegagalan dan romantisme destruktif”. Hal buruk yang pernah dialami Barca akan kembali berulang dengan jauh lebih buruk—saya menulis versi pendeknya dengan judul “Madre Mia!” di blog ini. Kalah tipis (adu penalti) di final Piala Champions 1961 diulangi dengan kegagalan final 1986—dengan seluruh penendang penalti gagal menceploskan bola. Untunglah saya tahu periode itu dari tulisan orang sehingga tidak memiliki ikatan kuat dengan tahun-tahun Barca sebelum saya lahir dan disunat. 

Namun untuk memori kelam Barca yang lain, saya ingat sampai ke rinciannya. Ijinkan saya sebentar untuk bernostalgia.

*****

Seminggu sebelum final Milan-Barca di Athena 1994, saya selalu bangun pagi-pagi. Bukan untuk lari pagi yang disarankan emak saya, pergi ke masjid yang selalu diminta bapak saya atau membeli lontong sayur di dekat rumah seperti yang saya inginkan sendiri. Selama seminggu berturut-turut, sebelum matahari naik saya langsung menuju puskesmas untuk meminjam lembar Olahraga harian Jawa Pos. Perawat desa yang tugas di puskesmas itu memiliki suami (Pak Katno namanya) yang penggemar berat kisah-kisah Bondet, Susan, dan Cipluk di kolom Opo Maneh Jawa Pos. Keluarga perawat itu menganggap saya bagian dari keluarganya. Kalau bosan mengaji, saya pasti ke rumah mereka yang menyatu dengan bangunan puskesmas untuk membaca majalah Bobo milik anak bungsu, majalah Aneka atau Gadis milik dua anak gadis remajanya, atau terkadang hanya untuk makan malam bersama mereka.

Tukang koran datang duluan dari jam bangun bapak itu. Saya menyisihkan halaman pertama hingga dua belas untuknya. Lantas, saya menaruh bagian olahraga di dalam tas sekolah di antara buku catatan pelajaran. Dua kali jeda istirahat cukup untuk membaca habis seluruh ulasan olahraga.

Saat itu Jawa Pos adalah yang terbaik. Mereka juga sangat dermawan dengan membuat 12 halaman olahraga (8 halaman khusus untuk sepakbola). Saya menemukan idola masa remaja Rayana Djakasurya atau sesekali mencari laporan balapan yang dimenangi Aryton Senna dari Ramadhan Pohan. Pekan itu, Rayana menulis laporan pandangan mata langsung dari Yunani. Ia menulis banyak pernak-pernik terkait final akbar tersebut, mulai dari penyambutan fans di Bandara, hotel tempat menginap ke dua tim, profil Capello dan Cruijf, perkiraan susunan pemain, stadion dan rumput lapangan. Ada juga kutipan pendapat pemain-pemain timnas, anggota Primavera dan klub-klub liga Dunhil tentang duel ini. Saya ingat, Bima Sakti menjagokan Milan sementara Fachri Husaini membela Barca.

Kebetulan, Milan dan Barca adalah dua kekasih saya sejak masa kanak, pada masa puber, dan tentu saja hingga sekarang—selain Manchester United. (Saya akan menuliskan kisah tim-tim hebat ini dan kenikmatan serta pahala si “pemburu kemenangan” lain waktu saja). Jika pernah mendengar istilah the Dream Team untuk klub sepakbola mereka adalah keduanya.

Barca dan Milan disebut sebagai dua tim impian—juga impian remaja manapun yang menyukai sepakbola indah. Meneruskan kerja Sacchi, tangan dan wajah dingin Capello menjadikan Milan sebagai mesin kemenangan. Dengan uang hasil kejayaan televisi, Berlusconi menambahkan pemain terbaik Eropa—sedikit di antaranya adalah Boban, Savicevic, Papin, Desailly—ke dalam skuat yang sudah punya Maldini, Baresi, Custacurta, Donadoni, Albertini. Tim ini empat kali Scudetto berturut-turut dan tiga kali mencapai final champions di awal 90an.

Sementara itu pantai barat Mediterania, Cruijjf menyulap tim 'destruktif' menjadi Total Voetbal versi Spanyol. Ia merestukturisasi akademi dan mengambil Ajax 70an sebagai model. Namun, ia juga menambahkan kombinasi 'susu basi' dan 'roti selai' dalam diri Stoichkov dan Romario untuk mengekskusi pergerakan cepat bola yang diatur oleh anak-anak akademi La Masia—Guardiola, Bakero, Sergi, Abelardo, Ferrer. Mereka 4 kali juara La Ligaberturut-turut (1991-1995) dan berhasil melampaui kutukan final Champions dua tahun sebelumnya di Wembley.

Saat itu posisi saya lebih condong ke Barca. Saya membaca artikel saduran tentang Michael Laudrup dan gaya bermain Barca yang ditulis oleh wartawan Inggris—saya tidak ingat persis, tapi mungkin saja itu Simon Kuper—dan merasa jatuh hati dengan orang Denmark itu. Suara Rayana berusaha membela Milan, barangkali karena tugasnya sebagai pegawai konsulat Indonesia di Roma sedikit memberinya perasaan memiliki tim Italia. Lebih dari itu, satu kaki Milan teramputasi. Baresi dan Costacurta tidak bisa bermain di final karena akumulasi kartu. Setelah bertahun-tahun melihat sosok Baresi yang dengan jenius menggalang pertahanan dan memulai penyerangan akan absen, bisa dimengerti bahwa keyakinan saya terhadap klub ini sedikit goyah. Capello berinovasi dengan memindahkan Desailly dari gelandang bertahan ke bek tengah, mendampingkannya dengan Maldini. 

Satu laporan Rayana di Jawa Pos di edisi Minggu, tiga hari sebelum duel, masih tertanam di kepala. Dengan hidup dan penuh nuansa, Rayana membuat deskripsi latihan Barca. Ia menggambarkan situasi yang sangat rileks, tanpa tekanan, dan terkesan meremehkan. Ia menyitir ucapan Cruijf yang dengan jumawa mengatakan bahwa anak didiknya tak perlu latihan untuk merebut piala. Alih-alih mengatur taktik dan menyiapkan kondisi fisik, ia justru mengajak para pemain taruhan. Dua hari menjelang final, Ia menyuruh pemainnya menaruh bola di titik penalti. Bukan, ia tidak sedang menyiapkan skenario adu tos-tosan. Ia justru menantang duel setiap pemain untuk mengincar mistar dan tiang gawang. Siapa yang berhasil melakukanny akan mendapat seratus peso. Tidak ada yang berhasil kecuali dua kali tendangan Stoichkov dan Felix yang mengenai mistar.

Artikel-artikel Jawa Pos membangun drama dan menyiapkan suasana sebelum saya menonton siaran langsung yang saya nikmati lewat televisi berwarna Panasonic--yang baru saja dibeli dari hasil patungan uang dua kakak saya yang memburuh di Malaysia dan menjual es lilin di Maluku Utara. Saat itu saya terlalu kecil untuk jeli memperhatikan gestur para pelatih dan pemain sebelum pertandingan. TVRI punya dana dan jam tayang terbatas, sehingga tidak ada kemewahan satu jam preview pertandingan dan tetek bengek ritual televisi yang kini nyaris lebih heboh dari pertandingan itu sendiri. Saya juga sudah lupa apa yang dikatakan oleh Edy Sofyan dan Max Sopacua tentang pertandingan itu—Sofyan jelas membela Milan karena van Basten, pemain kesayangannya, bermain untuk klub itu.

Saya menonton sendirian, diam-diam. Bapak saya akan memukul kaki saya dengan sapu lidi atau menyiram dengan air tajin jika saya akan melewatkan shalat subuh karena kurang tidur sehabis begadang. Emak saya yang pengertian terbangun duluan untuk menyiapkan dagangan dan menyuruh saya untuk mengecilkan suara. Dalam kesunyian itu, saya mengigil dan terisak selama hampir 90 menit. Anda sudah tahu semua: Barca nyaris tidak pernah mampu mendekati kotak penalti atau mengarahkan tendangan ke gawang Sebastiano Rossi. Bahkan mereka jadi iwak-iwakanSavicevic dan Boban. Maldini memerankan kepemimpinan tiada duanya dan Milan memainkan salah satu sepakbola terbaik yang secara langsung pernah saya saksikan.

Saya hanya mengingat tatapan kosong Cruijf dan orang di sampingya (kemudian saya tahu itu Carles Rexarch) yang terus mengusap-usap kepala setiap Milan mencetak gol. Barca tak berdaya dan kalah segalanya. Kelak, lewat Sid Lowe dan Graham Hunter, kita tahu bahwa kesombongan Cruijf menelan semuanya. Apa yang terjadi sebelum dan sesudah final membuat Cruijf dan proyek tim impian Barca kehilangan segalanya. Zubizaretta pergi dan Guardiola menangis meratapi kepergiannya. Laudrup—yang tidak dimainkan di final karena aturan 3 pemain asing—menyeberang ke Madrid, Cruijf dipecat dengan cara yang brutal dan tim impian itu terbangun dari mimpi yang paling buruk.

******

Meskipun gol cepat Rakitic semakin meyakinkan saya bahwa momentum pertandingan menguntungkan Barca, gol balasan Juve membawa saya pada keyakinan Paolo Bandini akan keuntungan atas absennya Chiellini. Tiba-tiba semua harapan Bandini seolah menjelma nyata. Bonucci dan Barzagli benar-benar lebih 'teknikal’ dan efektif dari pada tenaga besar Chiellini. Pogba lebih percaya diri dan Marchisio-Pirlo lebih jitu dalam memainkan tempo lambat. Barca kehilangan momentum untuk melakukan serangan balik. Evra pelan-pelan mengunci Messi dalam sudut sempit di sayap kanan, sementara Lichsteiner lebih sering naik tanpa cemas Neymar akan mendapat banyak ruang. 

Lebih dalam dari itu, hati kecil saya segera menautkan paralelitas antara absennya Baresi dan Chielini dan cara bermain Juve dan Milan 1994 dalam menghadapi Barca. Horor kepergian Zubizaretta dari Nou Camp terulang musim ini. Selama sepuluh menit, kaki saya mendingin tapi tubuh saya terserang demam. Rasa lada Tapanuli yang tersisa di lidah semakin terasa mengigit. Kawan sepertontonan Jemi Irwansyah, mahasiswa ‘Marxis’ yang percaya bahwa Messi bukanlah manusia melainkan Jin Iprit dari kawasan Pampa Santa Fe Argentina, mulai mendesah dan dengan jitu mengamati bahwa Barca terbawa arus permainan Juve. Sementara anak muda penggemar tim Manchester bukan United yang menjemput saya ikut-ikutan bersorak-sorai. Josh nama anak muda itu berkali-kali mengumpat dan berteriak sampai-sampai membangunkan teman kostnya yang sedang bermimpi Persib memenangi Piala Champions Asia dan Umuh Muchtar kawin lagi.

Sepanjang sepuluh menit itulah adrenalin saya mengalir deras. Perut mual, dan lambung ikut-ikutan berontak. Kaki semakin dingin tapi badan semakin panas. Ada sedikit rasa cemas bahwa Juve akan mengontrol bola sampai menit-menit akhir dan menuntaskan pertandingan seperti seharusnya tim Italia. Di sisi lain, saya mengalami sensasi bahwa saya sedang menonton final liga Champions, sebuah peristiwa tahunan yang memilin drama, sejarah, kerja keras, rivalitas, dalam keindahan permainan sepakbola. Semua atribut dan adjektif yang bisa dilekatkan ke dalam sepakbola—paling tidak di level klub—dapat Anda temukan dalam final ini.

Seiring detak urat nadi mengeras, gemuruh suara Juventini juga mulai membahana. Televisi dengan pintar memainkan perasaan. Kamera mulai sering menyorot laki-laki brewok dan gadis-gadis sintal berkaus Del Piero atau mengibarkan bendera Italia. Gerak lambat Buffon yang berlari dengan tangan terkepal mengingatkan Berlin 2006. Berkelebat bayangan final Athena.....

Untunglah, final itu hanya berlangsung sampai menit 68! Inisiatif dan pergerakan Messi mencari ruang yang ditinggalkan Barzagli diakhiri dengan kecermatan membaca bola pantul oleh Suarez. Gol itu meredakan kecemasan dan mengubah arah serta tegangan pertandingan. Secara drastis, mood permainan kembali normal, begitu juga aliran bola. Suarez mencetak gol untuk kota yang membawa Sofia dan menuntaskan dongeng pemuda Uruguay tonggos dan miskin yang memperjuangkan cinta lewat sepakbola dengan sebuah pergerakan magis.

Kamera kembali mengayun emosi. Enrique berlari girang dan membetulkan ikat pinggang. Asistennya memanggil pemain cadangan dan Xavi segera berdiri siap mengotrol irama permainan. Tiap selesai ditekel, wajah Suarez yang meringis antara menahan rasa sakit dan mengulur waktu muncul dalam jarak dekat. Gambar pendukung Juve memegang kepala dan menggigit kuku berseliweran. Bendera-bendera bergaris merah-kuning berkibaran.

Bagi penonton "netral", bandar judi, dan pemasang iklan, drama 90 atau 120 menit adalah final ideal. Namun, saya yakin bahwa fans jujur tidak akan ada yang mau menderita jantungan sepanjang pertandingan. Mereka pasti tidak menikmati masa-masa ketika timnya berada sejengkal dari resiko kekalahan. Apalagi bagi pendukung Barcelona yang punya momok sejarah kelam. Jelas saya tidak ingin menangis sendirian seperti duapuluh satu silam. Cukup pendukung Atletico Madrid atau Bayer Munich yang dihantui oleh sejarah. \

Sepuluh menit adalah waktu yang cukup buat Juventus untuk menunjukkan bahwa mereka datang ke Berlin dengan mental yang matang dan keyakinan yang kuat—bukan sebagai tim yang turun ke pertahanan dan menunggu serangan balik versi Inter Milan. Sepuluh menit itu adalah obat duka lara bagi para penggemarnya—hati kecil mereka bicara bahwa ini adalah tahunnya Barca. Meskipun begitu, mereka juga tahu bahwa ada menit-menit yang pantas dirayakan. Saya menikmati sepuluh menit itu, sepuluh menit yang pantas dirasakan, suatu waktu yang menempatkan masa silam dan kekinian; waktu sekarang yang menarik lapisan-lapisan sejarah dan pengalaman sepakbola.

Itu adalah sepulu menit masa final sesungguhnya: suatu periode yang menghadirkan ambang batas antara kalah dan menang. 

Related Posts: