Oleh Darmanto Simaepa
Ada semangat istemewa dalam diri kami. Itu sudah tertulis di langit.
—Herve Renard, pelatih Zambia—
Selama lebih kurang tiga jam menyaksikan final piala Afrika, beserta ritual penyerahan pialanya, saya tidak hanya menikmati keajaiban sepakbola, tetapi juga kisah tentang manusia dan misteri permainan ini. Saya tertegun beberapa lama dan selama sepekan, terus memikirkannya. Sisi akal sehat saya meyakini, juara adalah urusan kerja keras, latihan spartan, taktik yang cerdik, persiapan matang dan pendekatan tepat atau kemampuan finansial yang hebat. Dalam hampir setiap kasus pertandingan besar, detil-detil kecil persiapan dan kalkulasi matematis yang rinci akan sangat menentukan. Namun akal sehat seringkali tidak pernah cukup dalam sepakbola. Pasukan The Chipolopolo (peluru timah) mengingatkan bahwa spirit--campuran antara gairah yang menyala dan semangat untuk menerima derita--akan melampaui kalkulasi teknis yang paling hebat sekalipun.
Kisah Zambia adalah ‘realisme magis’ sepakbola! Tim ini bermain seakan-akan melampaui hukum gravitasi. Menonton langsung Zambia adalah sebuah berkah tersendiri. Setiap permutasi pemainnya digerakan oleh sebuah spirit tim yang tidak bisa dicari di liga terbaik Eropa. Setiap senyum dan gerak tubuh pasukan Zambesi merefleksikan individu yang bergerak bersama menuju sebuah metafisika. Mereka berlari, mengumpan, menekel, menyundul, dalam sebuah bingkai ketegangan antara keyakinan akan juara dan ketegangan mewujudkannya. Herve Renard, sang pelatih, menyebutnya sederhana: mereka sedang bermain dengan takdir.
Juga, dua hal yang dilakukan Renard setelah pertandingan, membuat saya merasa, apa yang penting dalam sepakbola adalah hubungan antar manusia. Menang mungkin puncak segalanya, tapi memberi dimensi pada momen kemenangan akan memberi nilai tambah bagi sejarah. Apa yang dilakukan Renard membuat sepakbola bukan soal statistik, klasemen, bonus, uang atau halaman muka surat kabar. Ia bisa membuat sepakbola bisa dirasakan oleh sel-sel darah merah anda. Ya, saya tidak menolak orang yang menyatakan sepakbola modern adalah kalkulasi siaran televisi dan urusan akuntansi. Namun, orang yang paling deterministik menyatakan sepakbola adalah urusan uang belaka, harus disumpal mulutnya untuk tahu bahwa sepakbola bisa jadi bukan urusan uang belaka.
Pertama, ia segera menggendong Joseph Mosunda, bek kiri yang cedera, dari bangku cadangan sepanjang setengah lapangan ke sudut lapangan, dimana seluruh tim berkumpul, berdoa, histeris, dan menyanyi bersama. Kedua, ia memberikan medali dan pialanya kepada Kalusha Bwalya, satu-satunyapemain terbesar Zambia yang tersisa dari generasi emas pesepakbola yang pernah ada di negeri itu. Jika publik dunia (terutama Eropa) tersentuh hatinya oleh sikap humanistik Guardiola yang memberikan ban kapten kepada Eric Abidal dan memberi kesempatan bermain selama beberapa menit pasca operasi hati di Final Champions, apa yang telah dilakukan Renard tidak bisa dideskripsikan dan disentuh dengan kata-kata. Tindakannya membuat mata anda berkaca-kaca dan hati anda yang keras meleleh. Renard memberi pesan bahwa, sepakbola dengan segala keglamorannya, adalah: fana.
*****
Pada awalnya, saya sulit untuk merangkai kolase gambar yang muncul di layar notebook—saya melihat siarannya dari streaming internet di kamar Marienpoel Straat nomor 25. Televisi selalu menyorot seorang pria paruh baya yang berwajah tegang. Setiap Zambia meraih peluang, mata pria 40-an tegap itu berkilat. Saat Pantai Gading menembak ke gawang Zambia, ia sekilas menahan napas dan otot mukanya mengeras. Setelah mencari-cari siaran berbahasa Inggris yang bagus, akhirnya saya tahu itu adalah Kalusha Bwalya, satu-satunya pemain Zambia yang saya pernah kenal namanya entah dari suatu masa.
Kisah Bwalya dan tim segenerasinya adalah kisah yang jauh lebih tragis dari tragedi Munich. Tanggal 30 April 1993, Zambia dijadwalkan bertanding untuk kualifikasi piala dunia 1994. Pesawat DHC-Buffalo buatan Kanada yang membawa 30 penumpang—25 awak tim dan 5 kru—singgah di Libreville untuk mengisi bahan bakar dan segera menuju Abidjan untuk transit kedua menuju Dakar. Namun sesaat setelah lepas landas, pesawat militer itu jatuh di lepas pantai Libreville di Gabon. Jika Boby Charlton masih bisa bermain dengan 3-4 anggota tim yang selamat, Bwalya kehilangan semua anggota timnya—termasuk dua saudaranya. Ia beruntung, karena sebagai pemain PSV Eindhoven dan bermain di liga Eropa, dia bisa menyewa jet pribadi dari Belanda ke Senegal.
Delapan belas pemain yang disebut-sebut sebagai tim terbaik Zambia yang pernah ada meninggal. Satu generasi pemain hilang. Tim inilah, yang pada masa remajanya, mengalahkan Italia yang diperkuat Roberto Baggio dan Di Canio, 4-0 di Olimpiade Seul 1988. Saat menuju Senegal itu, mereka memulai perjalanan untuk menjadi tim yang membawa negara di delta sungai Zambesi ini pertama kali masuk piala dunia 1994. Kecelakaan itu membuat sepakbola tidak pernah lagi menjadi sama bagi Zambia dan Bwalya. Sepanjang dua dekade, Kalusha dibebani perasaan bersalah—karena menjadi satu-satunya orang yang selamat. Dan sebagai pemain terbesarnya, ia dihantui oleh sejarah.
Bwalya berkesempatan menghapus trauma tragedinya di piala Afrika 1994. Bersama tim compang-camping, masih berduka dan semangat penebusan, ia memimpin Zambia ke Tunisia. Keajaiban hampir ia raih. Sebuah tim setengah amatir, menantang salah satu tim terbaik Afrika sepanjang sejarah di partai puncak. Namun, waktu belum memberi takdirnya. Satu generasi emas Nigeria (anda ingat Amunike, Amokachi, Nii Lamptey muda, Finidi George, Residi Yekini kan?) mengalahkan tim terluka itu.
Hidup akan memberi keadilan jika kita cermat menghitungnya. Seluruh rangkaian peristiwa sepanjang dua dekade sejarah sepakbola memberikan haknya pada Zambia. Kalusha, the last man standing, yang kini menjadi presiden sepakbola akhirnya bisa hidup dengan tenang di sepanjang sisa hidupnya setelah berdamai dengan ingatannya.
Zambia tahu, sekarang adalah waktu yang tepat. Sebelum pertandingan, Bwalya, Renard dan pemain pergi ke tepian pantai Libreville untuk berdoa, mengirim bunga, dan memandang ke arah lautan lepas atlantik di teluk Guinea. ‘Kami tahu mereka bermain bersama kami,’ kata si kiper Kennedy Mweene dalam ziarah menjelang final, ‘arwah mereka akan membantu kami’. Dan begitulah takdir tak pernah tidak menepati janjinya.
Jika suatu takdir sudah tertulis, tidak ada kekuatan yang bisa mencegahnya. Bahkan jika itu adalah sekumpulan pemain bintang yang dianggap melampaui generasi emas Nigeria, yang berisi kumpulan pemain terbaik di liga terbaik dunia. Dalam setiap detilnya, stadion di Libreville seakan menjadi momen di dimana ‘seluruh semesta seakan-akan telah menyediakan panggung untuk Zambia’. Misalnya, pada fase penyisihan grup hingga ke semifinal, Zambia selalu mendapat tempat—yang telah ditentukan melalui undian grup—di di Guiena Ekuatorial. Namun, tanpa disangka, finalnya dilangsungkan di Gabon, di stadion yang lokasinya mengarah ke arah lokasi jatuh pesawat.
Namun, satu takdir tidak pernah bisa memberi kebahagiaan bagi semua pihak dalam sepakbola. Dari perspektif lain, takdir Pantai Gading tidak menemukan momennya. Tim ini juga berpeluang mengulangi apa yang dilakukan oleh pemain generasi terdahulunya, menjadi satu-satunya tim yang mampu juara tanpa kebobolan di tahun 1992. Takdir itu juga sebuah deja vu bagi Didier Drogba yang gagal mengeksekusi dua penalti dalam dua final yang ditempuhnya.....
*****
Di menit-menis sebelum kick off, kamera dari dekat memperlihatkan para pemain Pantai Gading yang sudah merasa juara. Mereka sering sekali berpelukan dan tersenyum riang. Satu-satunya tim yang dianggap sepadan, menjadi rival, dan juga sedang berevolusi mencapai tahap terbaiknya, Ghana, telah tersingkir di semifinal. Zambia hanya memiliki dua pemain yang bermain di Eropa, salah satunya di kasta dua liga Rusia.
Tapi ada sesuatu yang mengambang di udara. Itu adalah sebuah perasaan yang muncul pada tim Brazil 1998 dan 2006. Rasa percaya diri yang tinggi, yang berada sekian milimeter dari beban tinggi sekaligus takut gagal. Dan benarlah, pelukan dan salam yang canggung itu menjelaskan situasi akan seperti mereka bermain. Drogba seperti pastor yang kehilangan jemaatnya, Toure seperti sedan mewah yang hilang kuncinya, Gervinho sepertinya tidak belajar bagaimana menjadi Messi dan dia nyata-nyata bukanlah Maradona.
Zambia bukanlah tim favorit. ‘Tapi kami percaya bahwa kami memiliki kekuatan istimewa’ , kata Nkusu sebelum pertandingan. Tangisan Josef Mosunda pada sepuluh menit pertama menunjukkan seberapa besar hasratnya bermain untuk pertandingan ini demi negara dan sejarahnya. Saat harus menerima kenyataan tekel pentingnya terhadap Gervinho membuat betisnya tidak bisa lagi menopang badannya, ia sesenggukan di sudut bangku cadangan seperti kehilangan anggota tubuhnya. Sebagai pemain paling senior, dia mengatakan apa yang dirasakannya dengan tubuhnya. Semua orang yang cinta sepakbola tahu itu adalah sebuah hasrat besar yang hanya muncul beberapa tahun sekali dalam bentuk terbaiknya—salah satunya adalah bahasa tubuh Gerard saat memimpin Liverpool dalam keajaiban ‘Malam Istambul’.
Para pemain Zambia tidak bermain dengan teknik yang brilian. Namun mereka bermain sebagai unit yang saling terhubungkan. Dengan postur yang jauh lebih kecil, mereka terlihat ada di seluruh sudut lapangan. Mereka sering menang saat berebut bola. Mereka tidak sekalipun merasa terintimidasi oleh nama besar lawannya. Bahkan sebuah umpan satu dua yang diakhiri dengan cungkilan Mayuka kepada Nathan Sinkala di sekitar 1970, membuat Pantai Gading seperti Madrid dan Zambia layaknya Barca. Selain tendangan Yaya Toure yang masih tipis, pada dasarnya, Pantai Gading tidak memberi ancaman berarti.
"Saat penalti Drogba gagal,’ batin Davis Nkausu yang melanggar Gervinho di kotak penalti, ‘saya semakin yakin, (final) ini adalah milik kami’. Anda bisa melihat keyakinan itu dari sorot mata Kenedy Mweene. Tangkapannya tidak lengket dan secara teknis buruk. Bola selalu melenting dari tangannya. Tapi dari gestur tubuhnya, cara dia berkomunikasi dengan bek-beknya, cara dia bersijingkat, dan sikap menghadapi penalti Drogba, ia menikmati pertandingan ini layaknya anak-anak mendapatkan bola pertama kalinya—bahkan saya tidak pernah menyaksikan Schemeichel atau Casillas menikmati pertandingan seperti ini. Bahkan saat dia mengambil penalti yang menentukan sebagai penendang kelima, lewat sebuah tendangan pelan dan mendatar tapi mematikan, dia tampak jauh lebih berpengalaman dari pada Rogerio Ceni.
Saat adu tendangan penalti, saya menyaksikan sebuah elemen yang berbeda dari kedua tim yang bertanding. Di bangku cadangan Pantai Gading, wajah-wajah frustasi dan tegang begitu terasa. Di tengah lapangan, pemain the Elephant berdiri mematung dan agak berjauhan. Mereka tahu, nasib baik sedang menjauhi mereka. Sementara itu para pemain Zambia saling melingkarkan tangan dan berlutut. Di bangku cadangan, mereka seperti sedang berdoa menunggu pesta hasil hewan buruan. Saat penalti Bamba dari Pantai Gading yang gagal harus diulang, tidak ada keluhan dari Zambia. Saat Renford Kalaba gagal menyarangkan bola, mereka tidak terasa tertekan. Dari kamera televisi, mereka terus berdoa, bernyanyi dan berlagu secara ritmik. Pemain, pelatih, presiden bergabung saling menopang tangan pada bahu.
Saat tendangan terakhir Gervinho melambung dan Sunzu masuk, takdir itu menemukan bentuknya. Diantara ekspresi juara yang saya pernah saksikan sepanjang masa 20 tahunan terakhir, ini adalah ekspresi yang paling menggetarkan. Para pemain, staf pelatih, dan Bwalya berlari menuju sudut lapangan. Mereka saling berangkulan dan membentuk lingkaran. Mereka bergumam secara ritmik, dengan nada-nada cepat yang mungkin tidak ada yang mengerti. Sesekali mereka menunjukkan jari ke arah langit dan menengadahkan tangan.
‘Kami ingin memberikan hadiah ini kepada para pemain yang telah meninggal disini dan sedang menyaksikannya. Keluarga mereka yang ditinggalkan akan merasa bahagia. Arwah-arwah mereka kini telah tenang’, kata mereka bersama.
*****
Momen yang membuat saya tertegun adalah saat semua orang berlari menuju sudut lapangan, Renard segera menggendong Mosunda ke sana. Tubuh Mosunda dalam balutan selimut warna bendera menggigil. Air matanya tidak berhenti mengalir, bahkan kian deras setelah juara. Anda bisa memberi perspektif apa saja dari dimensi humanistiknya. Itu adalah sebuah peristiwa, dimana, hasrat yang besar menemukan ruang dan waktunya. Juga sebuah momen dimana nilai-nilai persaudaraan, gairah, respek, kebersamaan, sama rasa sama rata, cinta dan kasih sayang—nilai-nilai yang bila dihayati, membedakan kita dengan spesies lain—masih ada dalam sepakbola dan menjadi bagian penting di dalamnya.
Keajaiban tidak selalu muncul tiap pekan dalam sepakbola. Zambia barangkali akan sulit mengulangi capaian ini di masa-masa mendatang. Tetapi justru karena tidak datang setiap hari, kita pantas dan punya alasan mengingat momen magis ini.
Sejarah, konon adalah adalah timbunan dan akumulasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Dia selalu hidup dan meminta untuk diingat. Apa yang telah diperbuat oleh sepakbola Zambia di Libreville dan hubungannya dengan sejarah mereka di masa lalu, bagaimana mereka memberi makna pada setiap peristiwa dalam arus waktu dan menghormatinya memberi petunjuk bahwa takdir sepakbola hanya bisa terwujud jika kita merawat setiap detil peristiwa yang telah berlalu, belajar darinya, dan memberi nilai tambah baginya. Takdir, barangkali, adalah hasil dari penghayatan dan penghargaan terhadap sejarah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Takdir Zambia"
Posting Komentar