Setelah 4-0*

Oleh Mahfud Ikhwan


Barca dibantai PSG di Parc des Princes 4-0 tengah pekan lalu. Dilengkapi dengan dilucutinya Arsenal 5-1oleh Munchen di Alianz Arena, orang-orang mulai mengeluarkan keluhan lama: "Sepakbola indah telah kalah." Sebagian dilengkapi dengan ekspresi cengang, tak percaya.

Keluhan dan kecengangan itu pastinya keluar dari para pendukung Barca. Tentu saja itu lazim. Mungkin ditambah dengan beberapa orang lain yang biasanya punya kecenderungan memakai standar moral dalam menonton sepakbola.

Meski saya kadang juga terjebak jadi moralis bola, ada godaan besar untuk mendebat keluhan itu. Misalnya dengan mengatakan: bukankah mereka kalah karena kalah indah? Atau: tidakkah colengan Rabiot atas bola Messi yang kemudian dilanjutkan sodoran bola Verrati kepada Draxler adalah seni, dan dua gol De Maria adalah puisi?

Tapi, dalam kesempatan ini, saya tidak mau berdebat. Dengan segala simpati kepada para pemuja Barca maupun pendukung Arsenal, saya hendak lebih berterus-terang: kalah atau bahkan sudah lama kalah, sepakbola indah yang selama ini dilekatkan kepada Barcelona memang mesti tumbang. Ini untuk kebaikan Barcelona. Dan, tentu saja, demi sepakbola indah itu sendiri.    

***

Jangankan dilihat, didengar saja Barcelona sudah indah. Coba ucapkan, nama klub itu bahkan terdengar merdu. (Mungkin yang sebanding dengannya cuma Fiorentina dan Salernitana.) Tak mengherankan jika Indonesia bahkan setidaknya punya dua lagu cinta tentangnya. Namun, sampai kedatangan Johan Cruyff untuk kedua kalinya pada 1988, lalu membangun apa yang kerap kali disebut Tim Impian, keindahan itu tak banyak terhubung dengan sepakbola yang mereka mainkan.

Romantisme sebuah kota kosmopolitan di tepian Laut Mediteran, tragedi (pendirinya, Joan Gamper, mati bunuh diri; presidennya, Yosep Sunyol, ditembak tentara fasis; kebangkitannya kembali yang dipimpin seorang pengungsi perang yang nyaris mati dari Hungaria bernama Laszlo Kubala), korban represi, dan bahkan lambang dari semangat perlawanan kaum kiri, adalah hal-hal yang lebih melekat kepada tim ini selama nyaris seabad umurnya. “Kami jagoan, sampai Franco membungkam kami,” mungkin begitu alasan para pendukung Barcelona.

Faktanya, sampai Wembley ’92, ketika mereka memenangi Piala Champion pertamanya, secara statistik Barcelona tidak lebih istimewa bahkan dibanding tim gurem macam Steau Bucarest, tim yang mengalahkan mereka di final 1986. Jangan lagi bandingkan dengan legenda tragis seperti Nottingham Forest, misalnya.

Didirikan para imigran, berasosiasi dengan politik sayap kiri kelas menengah, Barcelona selalu membanggakan karakter kosmopolitnya—sebagaimana Inter di Italia. “Tak disangsikan, Barca adalah tim asing,” tulis Simon Kuper di Soccer Against the Enemy. Mereka selalu tergantung dengan pemain asing. Tak heran, pahlawan-pahlawan dan ikon mereka adalah orang-orang asing: Kubala (Hungaria), Cruyff (Belanda), Stoichkov (Bulgaria), hingga Ronaldinho (Brazil). Sampai kemudian Pep Guardiola membentuk tim terbaik Barca sepanjang zaman—boleh jadi tim sepakbola terbaik di abad ke-21.

Guardiola memulai kerjanya dengan menyingkirkan bintang-bintang internasional yang memberi mereka gelar Liga Champion kedua untuk Barca: Deco dan Ronaldinho, menyusul kemudian Eto’o. Saat memenangi final Liga Champion 2009, Pep memainkan 7 pemain yang besar di asrama yang dulu juga dihuninya, La Masia. (Lima di antaranya bahkan kelahiran Katalunya.) Pep mengenal sebagian besar pemainnya sejak usia sangat muda. Xavi sejak belia disebutnya sebagai suksesornya, Busquet diberinya debut dan bermain nyaris mirip dengannya, Iniesta remaja bahkan punya poster Guardiola di kamarnya, sementara Messi sudah dilihatnya bahkan sejak pertama masuk asrama.

La Masia adalah berwujudan ide Cruyff pada 1979, dengan sistem yang diimpor dari Ajax. Tigapuluh tahun kemudian, bukan hanya menjadi akademi sepakbola terbaik di dunia, La Masia juga menciptakan tim terbaik di dunia. (Bahkan, menurut klaim orang Catalan, La Masia juga yang membuat Spanyol juara dunia.) Tapi lebih penting dari itu, La Masia memberi identitas terbaik bagi apa yang disebut sebagai barcelonismo.

Kurang berhasil dengan Tito dan gagal total dengan Tata Martino, dengan materi yang tak terlalu jauh berbeda Barcelona berjaya kembali di bawah Luis Enrique. Enrique lulusan akademi Gijon, pernah main di Madrid, dan tak pernah mengecap langsung kepelatihan Cruyff, sang ideolog tiki-taka. Dalam tiga musim ia memberi delapan gelar domestik dan internasional untuk Barca. Tapi penonton di Camp Nou mencari-cari di mana letak barcelonismo mereka.

Termehek-mehek saat menahan imbang Real Betis pada 29 Januari menguatkan pertanyaan dan pencarian itu. Kekalahan telak dari PSG di 16 besar Liga Champion 2017 pekan lalu memperjelasnya. Para penggemar Barca harus bersyukur menyaksikannya.

***          

Barca biasa mencetak lima hingga delapan gol dalam sebuah pertandingan. Jadi, mereka bisa saja membalik keadaan dan menyingkirkan PSG di putaran kedua. Tapi, tidak lolos 16 besar Liga Champion musim ini jelas bukan persoalan terpenting Barcelona.

Memecat Enrique—atau menunggunya pergi dengan kemauan sendiri seperti dilakukannya di Roma dan Celta—adalah opsi mudah. Mencari penggantinya juga gampang. Pelatih muda bertalenta sedang bejibun. Ronald Koeman yang sangat mengenal Barca dan bersentuhan langsung dengan tradisi tiki-taka bisa jadi pilihan utama. Sebagai mantan pemain Espanyol, Pochettino juga mengenal Barcelona, meskipun dari sisi berbeda. Dan semua sepakat bahwa ia berlimpah bakat. Pilihan lain lagi ada pada Eusebio, rekan setim Koeman dan Pep dan murid Cruyff, yang kini melatih Sociedad. Ada pula Sanpaoli yang sedang sangat mengkilap dengan Sevilla. Atau mau bikin kejutan? Ada Simeone atau Alegri. Atau... Mou?

Selanjutnya bagaimana, itu yang jauh lebih memusingkan kepala para direktur Barca.

Dalam beberapa kesempatan, Barcelona biasanya kesulitan melakukan transisi. Yang paling pahit adalah ketika mereka hendak mengubah tim usai kalah 4-0 di final Piala Champion 1994 oleh AC Milan. Sebagian besar pemain lama dibuang, dan hasilnya nol besar. Cruyff dipecat dalam sebuah pertengkaran, dan sosok dewa bagi orang Katalunya itu memejahijaukan klub yang memujanya. Ujungnya, Presiden klub kala itu, Josep Nunez, terguling.

Van Gaal memberi dua gelar liga dalam dua kali pengabdiannya, tapi tim-tim di bawah Robson, Serra Ferrer, Rexach dan Antic, adalah tim-tim semenjana, jika bukan malah jadi rangkaian kenangan yang mesti dilupakan. Mereka baru merasa pulih ketika Rijkaard, bersama tumbuhnya sebuah generasi baru dari akademi La Masia seperti Xavi dan Puyol, memberi mereka gelar Eropa ke-2. Lalu, bersama Pep, mereka panen raya.

Apa yang diberikan oleh Pep dan tim ala La Masia-nya adalah proses transisi panjang dan menyakitkan, yang makan waktu lebih dari dua dekade. Dan bagaimana Barcelona dibangun pasca-Pep menunjukkan betapa tim macam inilah yang sangat diidealkan para pendukung Barca. Dan memang, setidaknya sampai hari ini, inilah tim yang paling ideal bagi dunia sepakbola. Menengok bagaimana mereka lahir, tentu saja tak mustahil ia diulangi, mungkin dengan sedikit utak-atik dan revisi. Tentu saja butuh waktu. Dan bisa jadi lebih panjang.

Tapi itu bukan satu-satunya opsi. Dan, menilik sejarah Barcelona, itu bukan satu-satunya jalan prestasi yang pernah mereka tempuhi.

Asal tahu saja, Barca tak sesuci yang dikira para penggemar barunya. Ketika mendatangkan Cruyff dan Neesken dari Ajax, sekaligus memboyong Rinus Michels pada musim 1973-74, dengan harga dan gaji yang memecahkan rekor dunia, mereka tentu saja sedang berusaha “membeli gelar” yang didapat Ajax (tiga Piala Champions berturut-turut). Hal yang sama mereka ulang lagi ketika menunjuk Van Gaal sebagai pelatih, dengan memboyong nyaris separoh pemain Ajax yang mengantar mereka menjuara Liga Champion 1995. Dan karena Maradona, Stoichkov, Romario, Ronaldo Luis, Rivaldo, Ronaldinho, hingga Ibrahimovic, bukan produk La Masia, tentu mereka juga membelinya dengan mahal. Belakangan, toh mereka juga melakukannya dangan Neymar, Suarez, dan Andre Gomes.

Jadi, sembari menunggu pengganti Puyol, Xavi, dan Iniesta lahir (tentu secara bersama-sama), tak ada salahnya mereka menempuh cara lama, cara yang kini dijalani Chelsea, PSG, City, dan rival mereka, Real Madrid. Toh mereka bukan tim miskin.

Juan Laporta pernah bilang: “Kami memahat Ballon d’Ors, tim lain membelinya.” Presiden Barca saat ini, Josep Bartomeu, bisa saja mengubahnya sedikit: “Tim lain membeli Ballon d’Ors, kami bisa membelinya lebih banyak.”

Dan sepakbola indah pun akan tetap ada. Mungkin dengan harga yang sedikit beda.


*Terbit di Jawa Pos, Selasa 21 Februai 2017 dengan judul “Sepakbola Indah Sudah Kalah?”

Related Posts:

Lapangan Perjuangan Sungai Lebur

Oleh Darmanto Simaepa
  
Lapangan Menyedihkan

Namanya gagah: Lapangan Perjuangan. Tidak seperti aura yang bisa dibayangkan dari kata itu, penampilannya tak begitu mengesankan. Ia lebih pas digambarkan sebagai bekas ladang kecil yang ditinggal merantau oleh pemilik yang kecewa. Seperti kebanyakan lapangan desa di pinggir kebun sawit dan karet sepanjang pantai timur Sumatra, Lapangan Perjuangan adalah satu-satunya tempat cahaya matahari bisa leluasa menembus tanah.

Dari jauh, lapangan itu adalah sebuah jeda kecil dari panorama yang membosankan, tempat mata bisa mengalihkan diri dari tangkai-tangkai palem dan pohon-pohon bergetah. Meskipun bisa memberi suaka sementara, lapangan itu tak memberi kesan sejuk dan menentramkan. Rumput-rumput kering tumbuh saling tindih di atas tanah podzolik kuning kemerahan yang bergelombang. Garis-garisnya sudah kabur, tertimbun ilalang, semak dan bakung liar yang berebut hara. Cekungan kecil di sudut utara mirip rawa kecil, tempat semak liar berduri menyimpan air hujan Januari dan menancapkan akar-akarnya.

Dari dekat, permukaannya seperti wajah bulan di saat purnama. Di musim kering, panas matahari dan angin lengas menciptakan gurun tiruan, tempat telur-telur kadal kecil ditetaskan. Di musim hujan, rintik gerimis akan menciptakan kolam-kolam kecil dan kebun keladi liar musiman, mengundang katak untuk benyanyi sepanjang malam. Dari sudut pandang geometri, lapangan ini dibuat tanpa memperhatikan presisi. Bentuknya tak persegi, menyerupai ketupat setengah matang yang diangkat dari perapian sebelum waktunya.

Lapangan itu berwarna sepia, lengang dan sendirian. Meskipun tak jauh dari pemukiman, ia berada di pinggiran, jauh dari jalan utama tempat penduduk desa bersosialiasi. Jika deru suara kereta dan mobil menjauh, suara yang terdengar dari situ hanyalah lenguhan lembu di kejauhan. Satu-satunya wibawa yang ditunjukkannya adalah pipa besi putih tanpa jaring di tiap sisinya. Gawang-gawang itu berdiri gagah, kontras dengan warna kusam di sekelilingnya. Jamur dan karat belum mampu memudarkan campuran kapur putih dan cat yang melapisnya.

Anak-anak jarang main ke sana. Mereka lebih memilih untuk menyusuri jalanan dengan kereta atau asik dengan permainan atau video di telepon pintar. Desa ini tak punya cukup pemuda untuk membentuk dua kesebelasan. Hampir semua warga usia produktif pergi mengadu nasib ke luar desa. Selain orang-orang tua yang tak lagi menaruh minat, yang tersisa di kampung adalah adalah pria-pria mendekati paruh baya yang yang terkuras tenaga mendaras karet atau memetik tandan sawit.

Pertandingan bola terakhir adalah final turnamen antar kampung, yang pertama kali sekaligus terakhir pernah digelar di lapangan itu, dua atau tiga tahun lalu. Satu-satunya pengunjung setia lapangan itu adalah kambing-kambing setengah liar, dan sesekali lembu yang berhasil menerobos pagar.

Sejarah dan Napas Sungai Lebur

Sepakbola bukanlah napas dan sejarah Sungai Lebur. Selama lima hari empat malam tinggal di desa itu, aku tak menemukan kehidupan sepakbola. Bila di lain tempat seragam murahan Real Madrid atau Manchester United menjadi kebanggaan dan di pakai sampai warnanya memudar atau titik-titik jamur mengalahkan corak aslinya, anak-anak di sini lebih memilih bertelanjang dada atau lebih suka dengan seragam olahraga sekolah. Di teras-teras tak pula nampak bekas sepatu-sepatu dengan pul yang berserakan.

Terletak sekitar dua jam dari jalan raya Aceh-Medan, penampilan Sungai Lebur sangat khas desa perkebunan. Rumah-rumah di kiri-kanan jalan mengikuti arah jalan yang mengangkut hasil panenan. Di belakang areal pemukiman itu, tak ada apapun kecuali karet dan sawit. Masjid, balai desa dan kedai-kedai sederhana adalah tempat berkumpul dan bersosialisasi. Di tengah hamparan perkebunan, bisa dipastikan lapangan desa yang luas dan memadai adalah kemubaziran.

Di akhir pekan, aku berjalan sekitar 400 meter untuk mengamati siaran televisi. Rumah-rumah berada dekat jalan sehingga kita bisa melihat layar kaca dari jendela atau pintu yang terbuka. Ibu-ibu dan anak-anak menghadap televisi. Beberapa orang tua duduk santai di teras. Di jam sebelas malam sesekali aku berhenti di depan 30-an rumah yang hampir semuanya menyalakan TV. Malam itu, SCTV menyiarkan laga Manchester United di piala FA sementara RCTI menayangkan laga Barcelona. Hampir semua televisi memilih Nassar yang sedang memberi komentar ceriwis kepada salah satu kontestan menyanyi dangdut yang suaranya jauh lebih baik dari suaranya sendiri.

Sungai Lebur tidak punya memori bahwa mereka pernah punya tim bola yang disegani di daerah sekitar atau pemain hebat yang dibicarakan selama beberapa generasi. Bagi orang tua dan mereka yang tidak bisa meninggalkan kebun, kehidupan berpusat di sekitar menggores pohon karet dan mengunduh tandan sawit. Di malam hari, setelah beribadah di mushala, ruang keluarga adalah pusat sosialisasi. Bagi mereka yang berhasil, kehidupan berada di luar desa—di rimba raya Riau, pedalaman Kalimantan atau pabrik-pabrik kaleng di Malaysia.

Sejarah Sungai Libur adalah sejarah perkebunan dan ketakberdayaan yang dibawanya. Hampir 89% dari 5019 penduduknya adalah Pujakesuma, putra Jawa kelahiran Sumatra. Bisa dispekulasikan, mereka adalah keturunan buruh-buruh Jawa yang dulunya diperkerjakan-paksa oleh perusahan-perusahan perkebunan multinasional di sepanjang pantai Sumatra Timur, yang di era kolonial dikenal dengan Sumatra Plantation Belt. Meskipun mereka berbahasa Jawa, berdoa dengan bahasa Jawa, menikah dengan cara Jawa, barangkali hanya satu-dua orang yang pernah benar-benar menghirup udara Pulau Jawa.

Kisah asal-muasal desa ini pergi dengan diam bersama generasi awal yang mendiami area itu sekitar seabad yang lalu. Orang-orang tua yang masih hidup, entah karena keengganan, kesengajaan atau memang ketidakpedulian, kesulitan memberikan riwayat terperinci asal muasal desanya. Ingatan tertua tentang Sungai Lebur paling jauh bisa di lacak sampai sedikit di masa pendudukan Jepang atau sedikit sebelumnya.

“Sebelum Jepang datang, perusahaan yang dipunyai Tuan Besar Chris Wehh, menyerobot tanah kami,” kenang Pak Dua, ketua serikat tani Sungai Lebur. Dari asal usul nama dan penyebutannya, besar kemungkinan Tuan Wehh adalah pemegang konsesi tanah-tanah perkebunan kolonial Belanda yang didirikan di atas tanah-tanah yang sudah didiami dan diklaim oleh pendahulu orang-orang Sungai Libur. Selama Tuan Wehh menguasai lahan, mereka tidak diperbolehkan masuk ke dalam areal perkebunan.

Lalu Jepang datang. Atas bantuan Jepang, tanah-tanah milik Tuan Wehh diambil oleh rakyat.  “Meskipun begitu, orang tua kami bercerita mereka menderita karena dipaksa bekerja oleh Nippon.” Kata Hurli, seorang pengurus serikat tani yang lain. Jepang memaksa penduduk Sungai Lebur untuk menanam tanaman perang—jewawut, umbi-umbian, jarak—dan mengirimkannya ke lumbung di kota kecamatan. Masa Jepang adalah masa di mana mereka harus makan ganyong dan tanpa uang. Semua hasil bahan makanan dan tenaga diambil untuk kepentingan Jepang.

Setelah Jepang lari, warga leluasa mengerjakan lahan. Periode kemerdekaan sampai Demokrasi terpimpin di kenang sebagai periode paling tenang. Orang-orang muga yang penuh tenaga bisa memperluas lahan-lahan mereka ke arah hulu sungai yang masih rimba. Meskipun kehidupan sangat sulit, orang Sungai Libur mengenang era di mana mereka tidak hidup memburuh. Jarang orang pergi ke luar desa untuk mencari pekerjaan. Sungai-sungai masih penuh ikan. Hutan memberi hewan buruak. Sementara balok-balok kayu dari rimba sekitar memberi sumber penghasilan tambahan.

Di tahun 1960an, beberapa orang punya ide membuat irigasi. Namun, mereka tidak punya keuntungan geografi dan demografi. Tangan telanjang dan perkakas sederhana bukan tandingan bagi tanah-tanah keras berbatu. Meskipun irigiasi teratur tak bisa diharapkan dan tanah-tanah liat merah membuat padi berbuah tapi tidak berisi, orang-orang masih membuka dan mengelola sawah. Lahan-lahan kurang subur di sekelilingnya ditanami apa saja yang bisa dijual.

Derita besar masuk Sungai Lebur di tahun 1970 ketika Direktorat Agraria Wilayah I Sumatra Utara mengeluarkan surat pernyataan bahwa sebagaian besar wilayah desa Sungai Lebur berdiri di atas lahan Perkebunan milik Negara. Entah bagaimana asalnya, Perusahaan Perkebunan—dengan dukungan hukum dan kekuasaan—menyebut warga menduduki lahan negara. Setelah melalui proses litigasi, 309 tanah persil milik warga Sungai Lebur seluas kurang lebih 500 hektar yang masuk areal Perkebunan dikeluarkan dan diberikan sertifikat hak milik kepada warga. Untuk menebusnya, tiap warga pemilik tanah harus membayar Rp22,260 kepada pemerintah untuk tiap 1 hektar tanah yang sertifikatkan.

Bagi sebagian warga yang lain yang tanahnya tidak diakui oleh pemerintah, mereka harus keluar dari areal yang diklaim Perkebunan. Tak lama setelah perampasan tanah tuntas, kehidupan warga merosot. Laporan Dewan Perwakilan Daerah Langkat tertanggal 8 September 1975 menyebut bahwa warga yang dipindahkan kehilangan mata pencaharian utamanya. Rumah-rumah yang dibongkar tidak mendapat ganti rugi sehingga banyak warga yang tidak punya tempat tinggal yang layak di tempat yang baru. Sementara itu, tanah-tanah penampungan tidak cukup, jauh dari ladang-ladang, dan terancam banjir dan erosi.

Situasi kian memburuk ketika Kasbun, Kepala Desa Sungai Lebur periode 1975-1979, meminta surat-surat tanah warga dengan alasan untuk diperbaharui. Takut oleh ancaman dituduh sebagai PKI, warga terpaksa menyerahkannya. Sejak tahun 1976, tak ada satupun warga yang melihat surat tanahnya kembali. Dua tahun berselang, Perusahaan Perkebunan bergerak lebih jauh lagi. Areal persawahan yang tersisa mereka rampas paksa dengan bantuan tentara. Pak Sadar, satu-satunya warga yang berani melawan secara terbuka ditangkap, disiksa dan dikirim ke Penjara di Tanjung Pura selama empat tahun. Tanpa surat-surat tanah dan terus menerus berada dibawah ancaman bedil dan kekerasan, ladang-ladang warga dengan gampang berganti kepemilikan menjadi milik Perusahaan.

Di masa-masa puncak Rejim Orde Baru, warga memilih tiarap. Konfrontasi terbuka nyaris mustahil dilakukan. Satu-satunya jalan keluar dari kesulitan politik dan hidup, terutama bagi kaum pria, adalah pergi meninggalkan desa. Mereka merantau ke penjuru Nusantara, bekerja seadanya dan mengirim uang untuk keluarga di desa. Yang tidak merantau terpaksa berkarya menjadi buruh petik, atau yang berpendidikan, menjadi kerani di kantor perusahaan perkebunan. Bagi perempuan, kehidupan berpusat di desa, mengasuh anak dan merawat tanaman yang tersisa.

Kemiskinan adalah keniscayaan yang tidak bisa ditampik Sungai Lebur. Daya politik dilumpuhkan. Yang tersisa, adalah manusia-manusia kalah yang diperas keringatnya agar mesin ekonomi perkebunan terus berjalan. Kehidupan jauh dari gejolak, meskipun di balik permukaan, api penderitaan dan perlawanan tak pernah benar-benar padam.

Serangan Balik

Tumbangnya Soeharto membuka ruang perlawanan. Keberanian yang lama dipendam dalam lumpur kemiskinan bangkit bersama kesadaran baru. Suara-suara perlawanan di seluruh penjuru negeri menggemakan kembali kepercayaan diri warga Sungai Lebur. Perlawanan diam-diam malih rupa menjadi protes terbuka. Merebut kembali tanah yang dirampas, sebuah gagasan tabu selama dua dekadi, menjadi topik pembicaraan utama, dan barangkali satu-satunya di desa Sungai Lebur pasca-1998.

Pergeseran kekuasaan menciptakan revolusi kecil. Rakyat bergerak menduduki lahan-lahan perkebunan, menciptakan sengketa lahan kronis dalam skala yang luas. Gubernur, Bupati, dan Kapolda di pantai timur Sumatra Utara menyerukan maklumat bagi warga untuk tidak menyerobot lahan. Namun maklumat ini adalah gema dalam cawan. Lebih dari satu dekade, gelombang pasang perjuangan tanah warga yang hidup dalam bayang-bayang sawit tak kunjung berhenti dan memberi masalah serius bagi administratur pertanahan.

Di Sungai Lebur, perjuangan atas tanah naik ke tingkat yang lebih canggih. Dua ratus tiga petani membentuk serikat petani dan bergabung dengan gerakan petani yang lebih luas di skala nasional dan internasional. Mereka menyiapkan serangan balik yang mematikan. Lewat organisasi yang solid, peta-peta yang jelas, pengacara yang berpihak, jaringan di tingkat nasional dan internasional dan juga mantra-mantra tua Jawa untuk menangkal serangan balik dari segala penjuru yang dikirim oleh Perkebunan, mereka masuk kotak penalti perkebunan.

Sepanjang tahun 2009-2011, mereka beradu fisik dan mental secara langsung dengan polisi, preman, dan centeng bayaran Perusahaan di lahan-lahan yang disengketakan. Lahan Perkebunan yang disengketakan menyerupai kotak penalti yang tak lagi bisa dipertahankan. Pertahanan mereka ambrol di tahun 2011 dan warga menyiapkan serangan akhir yang memetikan

Lewat kombinasi perjuangan lapangan yang gigih, pendudukan lahan tak kenal letih, dan kampanye legal yang konsisten, mereka berhasil merebut lahan perjuangan. Dua ratus tiga petani Sungai Lebur yang berserikat berhasil merebut tak kurang dari 203 ha tanah sengketa. Dari total tanah yang berhasil diperjuangkan, 25 hektar di berikan kepada tim 25, tim inti serikat petani yang ikut mendirikan dan terlibat langsung dalam perjuangan mengambil lahan dari awal 2000an. Dua ratus tujuh puluh anggota lain masing-masing mendapat 16,5 rante (7.200 persegi). Pembagiannya: 1,5 rante (600 persegi) untuk perumahan dan 15 rante untuk perladangan.

Enam hektar sisa tanah perjuangan yang dibagi-bagi dijadikan tanah kolektif. Setengahnya diwakafkan ke desa dan setengahnya milik koperasi petani. Tiga hektar milik koperasi di tanami ubi. Uang penjualan panen digunakan sebagai kas dan dana operasional. Tiap anggota wajib memberi sumbangan sukarela berupa tenaga—tenaga untuk membersihkan ladang, menanam, dan memanen. Tiga hektar lain dicadangkan bagi kebutuhan publik di masa depan seperti sekolah, masjid, atau balai akan dibangun.

Dari tiga hektar itu, enam belas rante (6.400 persegi) dari wakaf itu untuk lapangan sepakbola.

Menanam Tiang Gawang

Dari hitungan ekonomi, barangkali tidak terlalu masuk akal menanami 15 rante tanah yang diperjuangkan dengan keringat, darah dan airmata hanya dengan empat tiang. Sekurang-kurangnya, tanah seluas itu bisa ditanami 400 bibit karet bagus, yang dalam waktu waktu tak lebih dari lima tahun, bisa memberi kehidupan yang layak buat satu keluarga atau koperasi petani.

Terlebih lagi, tidak ada tanda-tanda bahwa Lapangan Perjuangan itu memberi manfaat bagi kesehatan maupun identitas kolektuf warga Sungai Libur. Lapangan itu jelas gagal mengalihkan remaja-remaja tanggung dari setang sepeda motor atau gawai-gawai pintar mereka. Tidak juga akan membangkitkan demam bola bagi orang-orang tua yang, ketika sore tiba, tak lagi punya tenaga.

Dari cerita yang mereka tuturkan, nyaris tidak ada perbedaan berarti, dalam aspek sepakbolanya, kehidupan Sungai Lebur setelah mereka punya stadion. Setiap perbincangan soal sepakbola berkhir di kalimat ketiga. Orang-orang yang aku temui tidak tertarik membicarakan PSMS atau Chelsea. Sama tidak tertariknya membicarakan siapa yang juara turnamen yang mereka selenggarakan sendiri. Dari sekitar sepuluh rumah yang punya anak muda yang teramati, aku tidak menemukan satupun poster sepakbola atau tanda-tanda bahwa sepakbola menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.

— Jadi, mengapa perlu lapangan sepakbola, tanya saya.

— Coba lebih penting mana, menanam gawang atau karet, Pak Dua balik bertanya alih-alih menjawabnya.

“Paling tidak gawang-gawang itu mengingatkan masa-masa perjuangan,” sambil tersenyum, Kang Gemek pria gondrong usia 50-an itu seakan memberi jawaban Pak Dua. Di belakang gawang sebelah sana, tangan Gemek menunjuk ke arah utara, tempat ia berjuang melawan perkebunan sawit. Di sanalah dia, bersama serikat petani, mempertahankan klaim-klaim tanah. Melihat Perkebunan juga tidak punya data-data tentang lahan yang memadai, serikat tani merebut kembali tanah-tanah itu, salah satunya dengan cara menanami areal sekitar lapangan dengan tanaman-tanaman non-Perkebunan. Dengan lahan-lahan tanpa tanaman perkebunan, pihak perusahaan kesulitan mempertahankan kepastian klaim Hak Guna Usaha (HGU).

Bagi yang lain, lapangan ini memberi kenangan yang mampu menitikkan air mata. “Di tepi lapangan itu,” tunjuk pak Anta, “saya hampir membacok seorang polisi muda”. Saat itu malam pertempuran. Tentara dikerahkan Perusahaan untuk menjaga lahan sengketa. Polisi hilir mudik dengan gestur mengintimidasi warga. Preman-preman ditebarkan untuk mencegah warga tetap bersatu dalam barisan. Hari itu, suasana mengeras dan mengancam. Kabar menyebut, pihak perkebunan akan menghabisi tanaman warga. Tiap anggota serikat dihimbau untuk memperhatikan keselamatan keluarga, namun juga dipersiapkan untuk menyerang balik ketika ada setetes darah tertumpah.

Sehabis Shalat Isya, Pak Anta menghunus aritnya. Agar tidak mencolok, ia sembunyikan arit dibalik sarung yang ia selempangkan dipundak. Tahu bahwa arit tidak ada di tempatnya, istrinya mulai meratap-ratap. Di lapangan itu, teman-teman anggota serikat tani sudah berkumpul dan shalawatan. Di ujungnya, polisi dan tentara siap siaga dengan pistol, senapan dan pentungan. Saat lewat tikungan terakhir meninggalkan pemukiman dan masuk lapangan, dua orang polisi menghampirinya. Udara dingin dan langit gelap-pekat. Darah Pak Anta berdesir. Polisi berbaris rapi dan mengangkat senjatanya. Tiba-tiba saja tangannya panas. Untungnya, bentrokan berdarah bisa dihindari. “Mungkin mereka takut juga,” selorohnya.

Lapangan itu juga menjadi situs yang diingat oleh petani-petani perempuan. Di dekat lingkaran tengah yang telah hilang, perempuan-perempuan petani ikut turut berdiri menghalangi orang-orang suruhan Perkebunan untuk menggusur pagar-pagar lahan yang telah mereka siapkan. “Kalau ingat kejadian itu, saya masih merinding. Kita waktu itu tidak yakin bisa pulang ke rumah dengan selamat,” Ibu Sus, salah satu pejuang dari Serikat petani mengenang. Bagi puluhan anggota serikat petani, Lapangan Perjuangan memiliki memori tersendiri yang dikenang.

Meskipun terkesan remeh, memelihara dan membangkitkan kenangan adalah salah satu cara menjaga semangat perjuangan. Dan lapangan itu adalah sebuah situs tempat kenangan atas perjuangan lahan tidak hanya disimpan, tetapi juga secara aktif terus diproduksi dan dibagi. Perjuangan atas sumberdaya adalah perjuangan atas makna, begitu para ahli bilang—struggle over resources is struggle over meaning. Dengan menciptakan ingatan di atas lapangan Perjuangan, serikat petani di Sungai Lebur berjuang memberi makna bagi lapangan sepakbola.

Enam tahun setelah warga berhasil merebut tanah perkebunan, kepastian kepemilikan dan pengakuan formal dari negara masih jauh dari genggaman. Secara de facto, tanah-tanah itu sudah kembali di tangan petani. Mereka sudah leluasa menanam karet, ubi, sereh dan beragam tanaman palawija lainnya. Satu dua gubuk-gubuk sementara juga sudah berdiri. Namun, secara de yure, tanah itu masih dalam status sengketa. Perkebunan kapan saja bisa menyerang balik. Dengan instrumen legal dan ekstra-legal, mereka bisa membakar gubuk-gubuk, mencabuti tanaman-tanaman penduduk, dan memaksa warga masuk ke rumah sakit atau penjara.

“Tiang gawang itu tidak sendirian. Lapangan itu ikut berjuang,” Pak Dua memberi penekanan. Tiang gawang itu menandai bahwa tanah itu adalah areal non-Perkebunan. Tanpa Lapangan Perjuangan, areal itu tidak berbeda dengan kawasan-kawasan bera yang diklaim masuk Perkebunan. Lapangan Perjuangan itu, jelas-jelas, bukanlah sekadar tempat merayakan perjuangan. Bukan tempat di mana sepakbola dipertandingkan untuk memperingati d perjuangan. Lapangan Perjuangan itu sendiri adalah medium dan makhluk perjuangan.

Dua tahun setelah lahan perjuangan berhasil, turnamen sepakbola antar desa dihelat di lapangan itu sekaligus sebagai perayaan hari Tani sedunia. “Ramai sekali dan barangkali turnamen yang pertama di daerah sekitar sini yang bisa diingat generasi saya,” begitu Pak Dua memberi penekanan. Ketika saya bertanya berapa tim yang ikut dan siapa saja yang juara, Ia tidak ingat lagi. Pengurus Serikat petani yang lain juga tak mengingatnya.

Namun, ingatan tentang sepakbola bukanlah yang paling penting buat serikat tani Sungai Lebur.

Taktik menciptakan lapangan terasa lebih maju dari apa yang banyak diceritakan oleh dokumen perjuangan LSM-LSM dan teks-teks antropologi tahun 1990an tentang perlawanan penduduk pedalaman di Indonesia atas penghancuran kehidupan. Saat itu, di banyak tempat di mana ekstraksi kayu dan ekspansi perkebunan berjalan seiringan merampas sumber daya lokal, penduduk desa cepat-cepat menanami lahan-lahan yang dicadangkan untuk skema-skema konsesi (HPH, HTI, dan Perkebunan) dengan tanaman tahunan—pohon, semak dan komoditi seperti kopi, kakao.

Tanaman-tanaman tahunan itu menjadi alat yang efektif untuk menciptakan klaim-klaim kepemilikan. Jika perusahaan dari luar atau pejabat pemerintah datang, warga bisa menyatakan bahwa itu bukanlah tanah kosong. Tanaman-tanaman tahunan itu adalah bukti bahwa tanah itu sudah dibudidayakan selama beberapa generasi. Jikapun mereka kalah dan skema konsesi bersikeras menggusur, mereka punya daya tawar untuk meminta ganti rugi atau kompensasi yang tinggi.

Sungai Lebur bergerak lebih jauh. Mereka tidak lagi menanam karet atau phon di atas tanah yang mereka klaim, melainkan dua pipa besi berkaki dan bercat putih. Lalu membuat garis tepi persegi di antara dua pipa besi itu. Pipa besi berkaki itu memang benda mati. Ia tidak bisa hidup. Namun kekuatannya jauh lebih hidup dari tanaman tahunan.

Secara simbolik, tiang gawang dan lapangan Perjuangan mewakili suatu bentuk kehidupan. Kehidupan ini tidak bersifat ekonomi dan tenurial—seperti yang dimiliki oleh tanaman kopi dan cengkeh. Tiang gawang itu tidak tumbuh dan tidak menutupi seluruh tanah, justru ia meminta tanah itu untuk diberakan. Kendati begitu, kehidupan tiang gawang adalah kehidupan yang melampaui kehidupan bercocok tanam. Jika pohon kopi atau karet kopi menggambarkan dunia budidaya, maka gawang di lapangan sepakbola di tanam secara kolektif menunjukkan kehidupan berwarga negara.

Kehidupan yang diwakili oleh lapangan adalah kehidupan kolektif dan bersifat publik. Lapangan adalah bagian dari kehidupan warga desa sebagai warga negara. Dengan memberi lapangan, serikat petani ikut berkontribusi terhadap warga di luar serikat petani—warga desa, warga sepakbola dari luar desa. Siapapun bisa main di sana. Dengan memberi lapangan, serikat petani juga memberi pengabsahan atas cita-cita dan hasil perjuangan yang selama ini mereka lakukan.

“Kan payah mereka kalau menggusur lapangan,” Kang Gemek melanjutkan.

Dan itu yang membuat mereka memilih turnamen sepakbola desa sebagai cara untuk menguatkan legitimasi perjuangan atas lahan. Perusahan, institusi pemerintah dan warga dari desa-desa tetangga tahu dan berpartisipasi. Absennya keberatan dari pihak perkebunan dan lembaga pemerintah atas penyelenggaraan turnamen desa itu untuk  memberi dorongan moral dan politik bagi warga Sungai Lebur bahwa, hak-hak mereka atas tanah perjuangan telah diakui. Meskipun negara dan perusahaan belum mengakui tanah-tanah perjuangan mereka, penggunaan lapangan sebagai turnamen resmi desa memberi pengakuan publik bahwa tanah itu tanah bukan-Perkebunan.

Menanam tiang gawang dan menciptakan Lapangan Perjuangan adalah imajinasi dan tindakan politik yang sangat menawan dari epos perjangan serikat petani Sungai Lebur. Mereka mengangkat derajat lapangan, bukan lagi sekadar sebagai tempat event kemenangan dirayakan, tetapi menciptakannya sebagai bagian dari perjuangan tanah yang belum selesai.

Memanglah, lapangan itu belum memenangkan hati remaja-remaja tanggung desa dan tidak lagi membangkitkan jiwa olahraga generasi tua. Sebulan setelah aku meninggalkan desa itu, aku mencari tahu apakah lapangan itu pernah digunakan. Jawaban yang aku terima masih sama seperti yang aku tanyakan pertama kali. Aku membayangkan lapangan itu tetap murung dan kesepian. Hanya kambing yang lapar dan kadal yang sedang birahi saja yang bersenang-senang di sana.

Namun, lapangan itu telah memberi makna baru bagi perjuangan warga Sungai Lebur untuk penghidupannya. Lapangan Perjuangan bukanlah tempat orang desa bersosialisasi setelah tugas-tugas wajib kehidupan. Lapangan itu bukan tempat bersenang-senang bagi anak anak yang mabuk seoakbola. Lapangan itu juga tidak diniatkan untuk membangun identitas desa.

Lebih dari itu semua: Lapangan Perjuangan adalah tempat makna berjuang mendapatkan lahan dan mengatasi sejarah kemiskinan, makna melawan kesewenang-wenangan, dan bayangan masa depan disematkan. Di balik penampilannya yang mengeringkan air mata, lapangan itu adalah bagian integral dari perjuangan tanah dan makna kehidupan sebagai warga negara, yang masih berlangsung hingga kalimat terakhir ini dituliskan.


Related Posts:

Klub Besar Tak Pernah Mati, Persebaya Tak Akan Mati

Oleh Darmanto Simaepa

Setiap kota besar di dunia menghasilkan klub-klub bersejarah. Buenos Aires punya River Plate dan Boca Juniors. Madrid melahirkan Real dan Atletico. Di Glasgow, ada Celtic dan Rangers. Kairo menciptakan Zamalek dan Al-Ahli. Dan di negeri kolam susu, kota-kota bersejarah memberi kita Persebaya, PSMS, Persija, Persib, dan belasan lainnya.

Selama detak jantung kota-kota itu berdetak, klub-klub sepakbola legenda itu tak pernah mati. Tentu tak semua dan tak selamanya, klub-klub itu hidup dalam gelimang kejayaan. Sekali-dua mereka akan terdegradasi. Pailit. Langka talenta. Salah urus. Di antaranya ada yang harus menderita karena berlaga di kompetisi tingkat tiga atau lima dan berangsur-angsur kehilangan dukungan dari superternya yang setia dan sumber daya.

Yang malang nasibnya tertimpa bencana alam, bencana politik, atau tersulut huru-hara. Red Star hancur lebur ketika semenanjung Balkan mengalami perang saudara. Dynamo Kiev pernah bubar di bawah kekuasaan Stalin di era perang dingin. Yang lebih malang lagi terlanda bencana manusia: kecelakaan pesawat di Munich, bom bunuh diri di Kabul, perang saudara di Kairo, kebakaran di Athena.....

Saat klub-klub legenda dilanda bencana atau hidup menderita berlaga di kompetisi level tiga, penduduk kota juga tenggelam dalam duka. Saat River Plate terdegradasi dan terlilit hutang, setengah kota Buenos Aries tenggelam dalam duka dan hilang akalnya. Ketika pesawat yang membawa tim Chapecoense kehabisan minyak dan menabrak gunung Kolombia, bayi-bayi di Chapeco ikut menitikkan air matanya.

Namun, seperti burung Phoenix, klub-klub besar yang jadi abu itu akan hidup kembali. Mereka tak pernah benar-benar mati. Pendukung yang ngambek akan segera memulihkan rasa sayangnya. Bakat-bakat baru bermunculan di penjuru kota. Gema nyanyian pujian di stadion akan terdengar lagi.

Dan akan selalu ada ada orang kaya dan/atau berpengaruh yang kerasukan hantu sepakbola. Mereka akan merelakan sebagian hartanya untuk menebus cinta remajanya. Sebagian dengan mengkombinasikan bakat pencoleng yang sudah ada, maniak sepakbola yang duduk di parlemen atau kursi walikota dengan mudah mereka mengkorupsi anggaran negara demi gengsi klubnya (dan kekuasaannya). 

Pendeknya, dengan cara apapun, sebuah kota tak akan rela klub sepakbola yang ia lahirkan mati membusuk. Sebab, klub sepakbola bukan sekadar organisasi yang mencetak karcis masuk stadion atau mengatur kontrak kerja tim pelatih dan 25 pemain. Klub sepakbola—entah di Barcelona atau Salatiga—tak pernah hanya sekedar klub.

Klub besar adalah institusi kultural yang mewakili sejarah sebuah kota. Ia adalah anak kandung kota yang melahirkannya. Barcelona mewakili sejarah sosial kota pelabuhan dan pedagang cerdik Mediterania. Glasgow Celtic mewakili sejarah penderitaan orang-orang Katolik di sebuah kota pekerja pelabuhan di Britania Raya.

Itulah kenapa setiap klub besar selalu unik. Ia tumbuh berimpit dengan riwayat kota tempat ia lahir. Di Italia, Juventus atau Milan dikelola oleh para direktur yang menjalankan klub seperti direktur perusahaan mobil memonopoli suku cadang atau baron televisi memanipulasi opini; sementara klub di Selatan (Palermo, Cagliari) presiden menjalankannya seperti ketua kelompok mafia beroperasi atau bangsawan feudal abad pertengahan menarik upeti.

Tiap klub besar juga dibentuk oleh peristiwa sejarah yang membentuk karakter kota. Di Indonesia, karakter keras dan egaliter kota Medan menghasilkan PSMS yang bermain lugas dan keras; permainan tak terduga dengan pemain-pemain luar negeri yang betah tinggal di dalamnya, tim-tim seperti Persiwa Wamena atau Persidafon Dafonsoro mencerminkan kekayaan dan karakter kota-kota pedalaman yang kosmopolit dan penuh kejutan tetapi sering dianggap remeh oleh kota-kota yang telah mapan.

Tengok juga, bagaimana kota kecil, agak sedikit di pinggiran tetapi punya sejarah modernitas yang intensif dan terhubung dengan metropol seperti Padang atau Manado selalu menghasilkan tim-tim yang ‘sangat modern’ dalam pengertian selalu bermain dengan akal sehat baik dalam neraca anggaran maupun permainan di lapangan.

Pendek kata, setiap klub besar tak bisa dipisahkan dari sejarah kota dan penduduk kotanya. Klub-klub besar lahir, tumbuh, dan berkembang dalam arus sejarah yang melintasi kota-kota penting. Tanpa cinta dari penduduk kota, klub-klub itu hanya akan menjadi gelembung instan tanpa akar sosial yang kuat. Sebaliknya, klub-klub besar yang kuat juga dituntut untuk memberi sesuati lebih yang menjadi udara segar bagi penduduk kota.

Itulah kenapa, klub-klub yang hanya digenjot oleh kucuran uang instan dari luar dan mengabaikan sejarah kota tempat ia lahir selalu mendapat cemoohan. RB Leipzig sering mendapat makian di Jerman. Di Inggris, Chelsea, paling tidak pada tahun-tahun awal Abramovich, selalu menjadi bahan gunjingan.

Bahkan klub-klub besar yang secara tradisional menjadi bagian sejarah kota namun kemudian menjual jiwanya dan sejarahnya kepada pengusaha-pengusaha dari Arab, Amerika atau China demi harapan palsu, segera menyulut cemoohan dari pendukung setianya dan kehilangan elan vitalnya.

Misalnya saja Valencia. Klub bersejarah ini kini terpuruk tanpa daya setelah dibeli dan dijalankan oleh pengusaha Singapura lewat perantara broker besar dari Portugal dan dikelola oleh pengusaha China. Setiap bertanding, siulan dan sorakan kemarahan pendukung setianya diarahkan, tidak hanya ke tempat-tempat direktur dan presiden duduk di Mestalla tetapi juga, ke lokasi latihan pemain-pemainnya.

Di Indonesia, kita punya contoh klub hebat tapi tanpa jiwa sebuah kota. Klub konglomerat seperti Mastrans Bandung atau Pelita Jaya memang pernah berjaya. Namun mereka selalu pindah-pindah stadion, ganti nama, sewa stadion dan tak pernah mendapatkan rasa sayang yang cukup dari kota-kota yang disinggahinya. Mereka mati dan dikubur entah di mana tanpa ada isak tangis dari penduduk kota.

Sebaliknya, klub-klub yang lahir dari darah dan doa kota yang melahirkannya tetap dikibarkan benderanya, meskipun klub-klub itu sekarat, mati suri atau tak punya kantor lagi. Pujian dan nyanyian untuk PSIM, Persis Solo, Persib, Persebaya, PSMS—klub-klub yang lahir dari masa perjuangan kemerdekaan—diwariskan dan dikekalkan dari generasi ke generasi.  Mereka datang pasang surut namun bertahan di gelombang perubahan zaman.

*****

Kebangkitan Persebaya harus dilihat dari jiwa kota Persebaya yang berkehendak menyambung sejarah panjang sepakbola. Orang boleh berpendapat dan mengklaim bahwa pencabutan sangsi PSSI adalah hasil lobi-lobi tingkat tinggi para juragan sepakbola. Itu boleh jadi benar. Namun saya yakin Persebaya sekarang sedang siuman itu juga karena perjuangan tak kenal lelah dari pelaku dan sekaligus produk dari sejarah kota Surabaya: Bonek.

Bonek adalah wujud dari jiwa kota Surabaya. Ia adalah bentuk kolektif dari lakon Syarip Tambak Oso atau metamorfosis dari jutaan pemuda revolusioner yang di tahun 45’, berbekalkan bambu runcing dan tekat merdeka, merobek warna biru bendera kolonial Belanda. Hanya orang yang tuli dan buta hatinya, yang menganggap mereka adalah anak-tak-sah dari industri sepakbola. Sebaliknya, ia anak kandung dari sepakbola Surabaya.

Entah dulu, entah sekarang, Bonek adalah wujud sosial kota Surabaya: kota pelabuhan yang terbuka, dinamik, penuh energi. Kota dengan solidaritas sosial, jiwa kewirausahaan, namun juga dengan suara-suara gelisah yang keluar dari kost-kost sempit dan dinding-dinding pabrik di kawasan industri. Bonek adalah suara kota Surabaya yang paling terbuka, berani dan mentah: Mereka adalah suara kota yang diisi oleh keluarga-keluarga muda yang bekerja keras, pemuda rantau yang berjuang mengubah nasib, sekaligus remaja-remaja yang cemas akan masa depan.

Vitalitas dan energi Bonek-lah yang memelihara dan menghidupkan harapan bahwa Persebaya akan kembali berlaga di kompetisi sepakbola Indonesia. Ini menunjukkan betapa menyesatkannya pandangan dominan nan hegemonik bahwa Bonek adalah suporter yang bikin rusuh, mengganggu ketertiban dan memancing kekerasan.  

Surabaya adalah kota dengan jiwa sepakbola yang dahsyat, yang bahkan suara dari sepersepuluh dari jumlah keseluruhan Bonek akan membuat para administratur dan birokrat sepakbola akan gentar dan berkeringat dingin. Bung! Ini adalah kota yang melahirkan bakat-bakat besar sepakbola. Liem Tiong Hoo, Mudayat, Rusdy Bahalwan, Abdul Kadir Ruddy Keltjes, Syamsul Arifin, Bejo Sugiantoro, dan sekarang Evan Dimas lahir dari kota ini. 

Sejarah Persebaya mengalir dalam pembuluh darah kota Surabaya. Klub ini menghasilkan pertandingan-pertandingan legenda yang, dulunya  diriwayatkan dari mulut ke mulut, disiarkan dari corong radio, diabadikan dalam memori tayangan televisi, yang lantas semuanya selalu diceritakan kembali dan kembali tanpa henti, setiap hari. Ini adalah kota yang stadionnya bergelora yang tiap anak bermimpi mengenakan seragam hijau-hijau dan menendang bola layaknya Mustaqim atau Andik Vermansyah menggulirkan si kulit bundar di Gelora Sepuluh Nopember. 

Selamat bangkit kembali Bonek dan Persebaya! Klub besar tak pernah mati. Bonek tak pernah mati. Persebaya tak akan pernah mati.



Related Posts: