Roy Keane: Bahan-bahan Alex Ferguson yang Menjejali Pers adalah Kebohongan, Samasekali Bohong*

Wawancara Daniel Taylor (Dublin, 9 Okt. 2014); Alihbahasa Mahfud Ikhwan



Kamu bilang orang-orang bicara "seabrek kebohongan" tentangmu. Hal apa saja yang membuatmu sakit hati?

Aku tak akan terpancing untuk memberimu nama-nama. Aku tak akan masuk ke hal-hal renik. Namun, secara umum, itu bohong. Bekas teman setim; aku agak yakin kamu tahu siapa yang aku maksud.

Di bukumu kamu bilang bahwa Ferguson datang menengokmu setelah Manchester United mengalahkan Sunderland dan bilang kepadamu untuk menelponnya soal deal peminjaman bagi Jonny Evans -- dan itulah untuk pertamakalinya dia menunjukkan rasa welasasih. Itu memberi kesan bahwa hubungan (yang memburuk--penj.), dalam pikiranmu, bisa dipulihkan.

Jangan pikir dia memberi kami Jonny begitu saja. Di situ melibatkan fee peminjaman yang lumayan besar. Pada saat itu, OK, aku merasa: 'Oh, baik, mungkin...' tapi boleh jadi aku salah. Boleh jadi ini soal bisnis semata.


Tapi ada hal-hal lain yang terjadi toh?

Tentusaja. Banyak hal yang terjadi. Kamu harus membela dirimu. Banyak orang duduk-duduk di situ dan orang-orang takut padanya. Kalian (wartawan) tidak bisa melawannya karena kalian tak akan diperbolehkan mewawancarainya lagi. Tapi, alhamdulillah, aku tak punya masalah itu. Kenapa orang-orang membiarkannya lolos dengan hal itu? Orang cuma diam dan takut setengah mati padanya.

Menarik bahwa kamu adalah satu-satunya orang yang mencoba mengatasi masalah Karang Gibraltar itu.

Aku tak mencari tepuk tangan untuk soal itu. Aku tak akan menemuinya karena hal itu. Itu sebenarnya berkait buku terakhirku. Aku memberinya satu bab tentang itu dan itu muncul dalam obrolan. Aku tak akan masuk ke ruangannya dan bilang: 'Aku rasa ini salah'. Itu cuma obrolan yang kau punya dengan seorang manajer, wabil khusus kamu adalah seorang pemain senior. Itu bukannya aku masuk dan bilang: 'Dengar, kamu perlu melihat dirimu sendiri'. Itu adalah: 'Dengar, aku sudah bilang pada Anda untuk tak memenangi hal ini'. Itu bukanlah perkara aku mengkorek-korek urusan orang lain. Aku ada di kantornya dan jika orang-orang berpikir aku ke kantornya setiap pekan dan ngobrol-ngobrol ringan dengannya, mereka salah kaprah. Kurasa ada 5-6 dari 12 hal ikhwal dan ada tahun-tahun di mana aku punya satu kesempatan bermuka-muka dengannya.

Apa ada saat ketika kamu takut dengan Ferguson?

[Terlihat jijik] Takut dengannya?

Kamu bilang orang-orang takut sama dia.

Ya, ya, maksudku media.

Apa para manajer sepakbola takut?

Aku rasa banyak manajer boleh jadi terintimidasi olehnya, mungkin takzim dengannya. Aku rasa banyak manajer yang sangat terpengaruh olehnya, tentu saja. [Roberto] Martinez beranggapan dia telah disalahartikan beberapa tahun lalu ketika dia bilang bahwa Ferguson punya murid-murid, tapi sebenarnya memang begitu. Saat seorang manajer menarik balik pemain-pemain dalam status pinjaman--aku rasa itu Preston (North End--penj.)--ketika putranya [Daren] dipecat. Dan, segalanya serba mendadak, semua pemain (dari Stoke City, saat Tony Pulis jadi manajernya) juga dipanggil pulang dari peminjamannya.

Apa kamu tak mau menanggapi apa yang Ferguson katakan tentangmu di bukunya?

Aku tidak membaca bukunya.

Dia bilang lidahmu adalah bagian tubuhnya yang paling keras?

Apa menurutmu begitu?

Aku tidak pernah kamu tendang.

Tendanganku keras. Itu tonjokan enteng. Dia tak pernah kritis kalau kita memenangi piala-piala dan ia dapat kontrak baru, dapat ini-itu atas namanya -- raden ini, tumenggung anu. Dia tidak menarikku dan pemain-pemain lain, dan bilang: 'Dengar, santailah sedikit.' Itu adalah permainan dan aku menghargai permainan. Permainan selesai, kami pun selesai, namun itu ternyata masih dibawa-bawa setelahnya.

Apa kamu dapat undangan untuk peresmian patung Ferguson? Semua mantan pemain hebat United datang.

Aku rasa aku dapat, ya, namun aku tak merasa dia mengundangku. Boleh jadi itu komitenya, atau anaknya, atau apalah. Kenapa aku harus datang? Semua kuasa dan kontrol ada padanya.

Ruud van Nistelrooy datang.

Tapi aku bukan Ruud van Nistelrooy

Tapi perseteruannya dengan Fergie parah juga.

Tak separah aku.

Namun apa Ferguson mengundangmu bukan sebagai sebuah isyarat untuk damai?

Tidak, tidak, bukan...

Kuasa dan kontrol, kau bilang?

Ya..., maka dia masuk dan kita semua berdiri di sana [memberi tepuk tangan menjilat] dan dia akan bilang: 'Aku punya kalian saat aku inginkan kalian'

Apa butuh kerja keras untuk jadi Roy Keane? Apa kamu menyukai dirimu sendiri sekarang?

Sedikit berat, bukan begitu? Aku puas dan nyaman dengan diriku... Ya Tuhan!

Sudah lihat tanggapan Alf Inge Haaland?

Aku bermain melawan dirinya, aku tahu yang dia suka.

Jadi lawan macam apa yang disukainya?

[Jeda panjang] Yang lemah.

Secara mental?

Semuanya. [Jeda panjang] Pemain semenjana.

Kau menyebutnya 'licik' dalam bukumu.

Licik? Itu biar sopan. Terus apa dia bilang? Apa tanggapannya?

Ada di Twitter, soal jenggotmu.

Di Twitter? Aku akan bilang jangan diteruskan.

Apa kamu akan bisa memaafkan Ferguson?

Pertanyaan bagus. Aku tidak yakin. Dunia sepakbola itu cuma sedaun kelor dan ujungnya kamu akan berpapasan dengan orang-orang itu lagi. Masalahnya, aku duga, yang aku alami saat kita bekerja dengan seseorang untuk waktu lama--dan tentu saja kami berbeda pendapat dan aku pergi, dan aku tak punya persoalan dengan itu, it's fine. Masalahnya adalah setelahnya, saat orang-orang mulai nyerocos omong kosong.

Untuk Alex Ferguson, bukan cuma karena mengkritikku, namun juga karena mengkririk pemain lain yang jadi bagian dari tim yang memberi banyak kegembiraan bagi para suporter... untuknya yang mengkritik saat kamu berpikir tentang apa yang telah ia dapat dengan apa yang telah kami lakukan. Dia dapat uang banyak dari itu. Ia dipatungkan. Ia dapat stan yang mengabadikan namanya. Untuk kembali dan mengkritik.... Aku tak terlalu terganggu dengan hal itu, namun mengkritik orang yang memberinya kesuksesan sungguh konyol. Apa aku akan memaafkannya? Aku tak tahu. Hal-hal yang dikatakan soal aku selama bertahun-tahun, bahkan dari bekas teman setim, adalah segepok kebohongan, cuma bohong dan bohong. Dan suatu saat kamu cuma bisa bilang: 'Dengar, aku bangkit dan ngomong sesuatu tentangku dan sedikit membela diri.' Harapannya, buku ini akan mencerminkan hal itu. Banyak hal yang aku biarkan berlalu -- banyak hal yang aku biarkan berlalu--namun pada akhirnya kamu harus angkat bicara: 'Nggak, nggak, sudah cukup'. Anak-anak di Man United benar-benar fantastik. Mereka semua hebat, pemain-pemain hebat. Cuma karena kekurangsepahaman--sudah pasti termasuk persoalanku dengan Peter [Schmeichel] yang kembali ditegaskan di buku ini--hari-hari yang aku lalui bersama mereka di United bisa jadi adalah hari-hari terbaik dalam hidupku. Mereka benar-benar pemain-pemain fantastik dan kami memenangkan banyak piala. Jadi, untuk orang yang mencoba menodai hal itu dan mengorek luka, itu kenapa kamu harus bangkit melawan.

Pada 2005, saat Ferguson bilang bahwa itu waktunya untuk berhenti, kamu menyetujuinya. Bisa dijelaskan kenapa?

Itu sedikit sulit dijelaskan. Aku cuma tahu. Banyak omong kosong dan propaganda yang muncul dari United soal bocoran video [MUTV] itu. Mereka cukup senang membiarkan hal itu tersiar. Mereka baru saja tersingkir dari Liga Champions. Ada perselisihan soal video itu tapi itu cuma omong kosong. Tak seorang pun pemain yang mendengar isu itu kecuali Ferguson dan [Carlos] Queiroz dan bagaimanapun mereka sudah menyiapkan sesuatu tentangku di pikiran mereka.

Itu bukan masalah. Itu setelahnya. Saat orang-orang mendongeng tentangku, bilang ini dan itu. Begitulah hal itu ditangani, pernyataan-peryataan tentangku dan hal-hal semacam itu muncul. Aku agak yakin aku tahu sumber dari mana hal-hal itu berasal. Tentu saja Ferguson punya teman-teman di media. Beberapa dari mereka ada di sini hari ini. Aku bisa mengenali mereka dari kejauhan. Dia berteman dengan mereka dan dia menabur remah-remah tentangku di luar sana. Itu bohong, bohong sebohong-bohongnya. Maka aku keluar dan bilang, 'dengar...' dan ini adalah saatnya. Aku memilih saat yang tepat dan aku telah menunggu cukup lama. Jadi, sampai di sinilah kita.

Kamu kelihatannya cuek saat Jose Mourinho mencoba menjabat tanganku di beberapa minggu lalu?

Ya, sebab pertandingan masih berjalan.

Kenapa dia melakukan itu? Apa dia mau sok kuasa juga?

Aku tak memikirkan soal itu, tapi pertandingan masih berjalan. Itu memalukan. Aku melihatnya melakukan hal itu kepada manajer lain; itu aib. Permainan masih berlangsung. Kamu tak bisa melakukan hal itu di Minggu pagi, kamu bisa dihajar.

Tak punya rasa hormat ya? Arogan?

Kau pikir apa? Itu pertanyaan bodoh.





Apa sepakbola masih punya budaya "apa yang ada di ruang ganti tetaplah tinggal di ruang ganti"?

Boleh jadi tidak. Itu bagian dari industri saat ini, bahwa apa yang terjadi di ruang ganti akan selalu dibocorkan. Ambil contoh, aku melihat ke beberapa tim saat ini, mereka dapat hasil bagus dan para pemain di ruang ganti punya Twitter dan hal (di ruang ganti) ini terbawa-bawa. Dan mereka kalah pada pertandingan sebelum 10 kali. Aku rasa oke oke saja jika kamu memenangkan gelar dan kamu berhak untuk merayakannya. Namun permainan telah berubah.

Kamu ketahuan soal kebiasaanmu minum di awal karirmu. Lebih banyak yang kau minum karena kau senang minum atau cuma karena amarah dalam dirimu?

Aku rasa banyak anak muda -- boleh jadi pemuda atau pemain bola Irlandia -- yang terjangkit hal ini. Saat aku main di Liga Irlandia, minum adalah bagian dari pertunjukan. Saat aku masih di Cobh [Ramblers, klub di Liga Irlandia -- penj.], langsung setelah pertandingan aku akan ngeloyor cari satu-dua sloki. Jadi aku tak pernah merasa hal itu salah. Namun saat kau sedikit lebih tua, kena cedera, ngobrol sama para pemain asing, kamu pikir boleh jadi tak baik pergi keluyuran. Aku rasa itu hebat dan aku tak akan mengubah hal itu. Namun jika aku pemain 19 tahun dan seseorang bilang padaku setelah pertandingan 'kamu sebaiknya pulang dan makan karbohidrat yang cukup untuk minggu depan', aku akan bilang: 'Persetan, silakan kalau mau di kurungan, aku mau keluyuran."

Kau memberi dukungan pada David Moyes. Kau bilang dia dapat ruang ganti yang lemah?

Ya, begitulah dia.

Apa dia dapat warisan skuad cemen?

Jelas ada kemelut saat ia mengambil alih. Kamu bisa jadi tetap mengambil alih tim yang bagus tapi yang tidak kamu butuhkan, dan Man United selalu bagus dalam hal tim. Ada ketakpastian yang jelas pada diri [Nemanja] Vidic, Rio [Ferdinand], [Patrice] Evra, Giggsy [Ryan Giggs] yang menjelang akhir karirinya. Jadi, semua hal itu tak membantu. Apa yang kau butuhkan dalam sepakbola, terpenting dari apapun, adalah beberapa kemenangan, beberapa momentum, dan mereka sepertinya tak pernah mendapatkannya. Aku pergi ke Old Trafford dan di sana ada banyak hal negatif yang menyelimuti.

Mereka tak mendapat momentum dan itu seolah-olah David Moyes telah tertipu sejak pekan-pekan awal. Hal-hal negatif itu masuk ke ruang ganti dan itulah kenapa aku merasa itu adalah ruang ganti yang lemah. Mereka harus mengatasi hal itu dan para pemain harus melakukan hal yang lebih baik. Apa pun yang sedang berlangsung -- politik, pergantian manajer, kurangnya pemain baru -- mereka harus melakukannya lebih baik dan mereka membiarkan diri mereka remuk, tanpa ragu.

Terakhir Roy, jika 'Dancing Queen'-nya Abba adalah lagu yang salah untuk ruang ganti, apa menurutmu lagu yang benar?

Cukup aneh, karena musik sebenarnya tak penting buatku untuk mendapat motivasi. Jadi aku rasa aku tak punya lagu yang bisa aku sorongkan kepadamu yang bisa membuatku bersemangat. Tapi aku rasa itu bukan Abba.

Sebentar, lagu kesukaan pertamamu Karma Chameleon, kan?  

[Menuding marah] Aku baru 12 tahun, cuk!



*Diindonesiakan dari "The staff Alex Ferguson fed the press was lies, basic lies" (The Guardian, 9 Oktober 2014). 

Related Posts:

Cruyff: Mampukah Van Gaal yang Militeristik Menangani Ego-ego di United?*

Oleh Donald McRae (The Guardian); Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Legenda Belanda, yang pernah menghadang penunjukan Luis van Gaal di Ajax, mengatakan manajer MU harus mendapat pemain-pemain yang membangun permainannya demi tim.


Johan Cruyff pulang ke Amsterdam dan, pada siang yang mendung di kota tua di mana dia dilahirkan, tumbuh dan melakukan debut profesional untuk Ajax 50 tahun silam di November ini, ia melangkah dengan langkah elegan melewati kerumunan yang memanggil-manggil namanya dan mencoba menyentuhnya. Di Stadion Olimpiade, berjalan berkeliling di arena yang disewa sehari oleh yayasannya, ini adalah gerak-gerik yang familiar dari seorang Johan Cruyff. Pria 67 tahun itu menyambut puja-puji itu, dan bahkan berpelukan dengan seorang tua yang berpakaian maskot "ke-Cruyff-Cruyff-an", dengan senyum menyeringainya. Beginilah rasanya menjadi mahabintang sepakbola dalam lima dekade.

Bersanding bersama pahlawan masa kecilnya Alfredo Di Stefano, yang meninggal musim panas ini, Pele dan Diego Maradona, Cruyff menjadi bagian dari empat serangkai yang mengilhami sepakbola dengan reputasi mereka yang hampir seperti dongeng. Cruyff lebih menonjol karena hanya orang Belanda inilah yang bisa mengklaim impak yang berkesinambungan bagi sepakbola dari sisi lapangan saat masa kepelatihannya di Barcelona--sementara Di Stefano sukses sebagai pelatih. Suatu kali, Di Stefano pernah mengeluh bahwa manajemen sepakbola "yang dipisahkan dari bekerja dengan pemain muda, adalah pekerjaan paling mengerikan yang pernah ada."

Cruyff selalu memiliki pikiran yang berbeda. Saat masa kerjanya yang luar biasa di Barcelona, dari 1988 sampai 1996, ia memanfaatkan kecepatan, ruang kosong dan taktik cair dari Total Football, yang dibangunnya bersama Rinus Michels, pelatihnya di Ajax, untuk menyulap tim yang sekarat menjadi warisan yang abadi.

Master tiki-taka Barcelona macam Xavi Hernandez dan Andres Iniesta selalu menekankan bahwa semua yang mereka lakukan berbasis pada cetakan yang dibuat Cruyff. Dari kreasinya membuat akademi pemain muda di La  Masia hingga membuat baling-baling latihan yang disebut rondos, yang menyempurnakan kefanatikan mereka atas penguasaan bola, hingga kengototan untuk menekan lawan, Barcelona dan Spanyol memakai model Cruyff untuk mendominasi sepakbola Eropa dan dunia. Era itu sudah surut, yang mendapati akhir simboliknya pada suatu malam Piala Dunia di bulan Juni saat Belanda, yang dilatih Luis van Gaal, dengan siapa Cruyff berbagi rasa saling benci, menghancurkan Spanyol 5-1.

Tentu saja Van Gaal saat ini ada di Manchester United, berjuang untuk menyelesaikan persoalan pasca-rejim Ferguson, sementara Cruyff tengah terbebas dari belenggu tekanan sepakbola. Hidup Cruyff tetaplah melelahkan--dan dia menjelaskan dengan senyum nyengir bahwa ia harus terbang kembali ke Barcelona, "rumahnya" yang lain, malam ini. Namun, untuk saat ini, menjadi Luis van Gaal tampaknya lebih sulit.

Kami mojok di sebuah ruangan kecil yang menghadap ke sebuah kanal khas Amsterdam. Cruyff, yang bersahabat dan asyik namun enggan memulai perang baru dengan Van Gaal, orang yang ia sebut memiliki "kemistri buruk" dengannya, bisa membuat pandangan yang ringkas tentang kerja keras rekan senegaranya. Ditanya apakah ia berharap Van Gaal sukses di Old Trafford, Cruyff angkat bahu. "Kami harap begitu, sebab itu akan  baik bagi sepakbola Belanda dan bagi manajer Belanda yang lain. Tapi bagaimana caranya? Mana tahu. Itu akan butuh waktu."

Pada 2011, Cruyff, yang kemudian menjadi anggota direksi di Ajax, pergi ke pengadilan untuk mencegah penunjukan kembali Van Gaal di klub yang mereka dukung saat bocah. Keduanya juga menjadi bagian dari skuad Ajax pada awal 1970-an saat, sebagai adik angkatan, Van Gaal tidak punya peluang untuk menggeser Cruyff sebagai bintang di lini depan. Cruyff meneguhkan namanya sebagai pemain terhebat di Eropa saat Van Gaal memburuh di klub-klub tidak jelas macam Royal Antwerp dan Sparta Rotterdam.

Saat Cruyff beralih menjadi pelatih, di Ajax dan di barcelona, Van gaal mengikutinya di kedua klub tersebut. Van Gaal, yang lebih muda empat tahun, mendapati kemampuan sejatinya di manajemen dan naik sebagai pelatih kepala di Ajax pada 1991. Cruyff dan Van Gaal diisukan tidak saling menyapa -- tampaknya sejak sebuah salah faham pada makan malam Natal pada 1989. Permusuhan tersebut mengemuka kembali tiga tahun lalu saat dewan direksi Ajax menunggu Cruyff kembali dari Barcelona untuk mengadakan rapat yang menyetujui kembalinya Van Gaal. Cruyff menempuh jalur hukum untuk menentang keputusan tersebut. Pada akhirnya, meskipun pengadilan tidak mengabulkan tuntutan Cruyff, Van Gaal tak pernah kembali ke Ajax. Malah, pada 2012, ia menjadi manajer timnas Belanda.

Cruyff terdiam ketika kembali ditanya firasatnya soal prospek Van Gaal dengan United. "Aku tidak tahu, sebab mereka hampir membeli dan membuat sebuah tim baru. Mereka sekarang harus memperbaiki hal itu bersama-sama--tim itu sendiri. Tak ada pertanyaan soal kualitas para pemain, atau apa mereka cukup bagus atau tidak. Namun membuat racikan dari para pemain bagus sangatlah sulit."

Apakah dia bisa mengerti logika kebijakan transfer United, yang mana membuat Van Gaal sekarang menumpuk secara sekaligus para pemain penyerang macam Radamel Falcao, Robin van Persie, Wayne Rooney, Angel di Maria, Adnan Januzaj, dan Juan Mata?  "Logis-logis saja, namun masalah terbesarnya adalah mengatur semua pemain itu. Hal yang sama terjadi di Barcelona. Mereka sekarang punya Suarez, Messi, Neymar--bagaimana caramu memainkan mereka bersama-sama? Jika dipandang secara perorangan, maka mereka adalah para pemain hebat. Hal yang sama terjadi di Manchester United. Secara individual mereka hebat, tapi mereka harus bermain sebagai tim.

"Lalu ada masalah berikutnya. Mereka semua terkenal. Mereka dapat banyak uang baik di dalam lapangan maupun di luar lapangan. Bagaimana caramu meracik sebuah tim dan menyatukan ego-ego mereka? Tujuan utama Manchester United adalah membuat mereka bermain bagus--dan tidak ada pemain yang bilang, 'Aku main bagus, mencetak dua gol'. Sebab jika pun aku mencetak dua gol namun kemasukan tiga, tetap saja kami kalah. Mereka menyediakan (Van Gaal) banyak pemain bagus, namun ia harus mengubah mereka menjadi sebuah tim. Dan kamu tak bisa menciptakan kemistri tim dalam dua pekan. Itu butuh waktu."

Apakah itu berarti Van Gaal membutuhkan waktu semusim penuh untuk mengubah transfer United yang tampaknya membabibuta itu menjadi sebuah tim yang nyambung? "Tidak, tidak," kata Cruyff. "Itu terlalu lama. Namun itu bukan berarti mereka bisa memenangi liga. Namun kamu bisa melihat penampilan yang membaik dari pekan ke pekan dan kamu bisa mengarah jadi tim yang lebih baik dalam hal-hal yang lebih rinci. Dan (Van Gaal) adalah orang yang rinci. Jadi mungkin saja beberapa hal berguna. Namun, sekali lagi, bisakah para pemian itu mengembangkan permainannya sendiri demi tim? Itu tidak mudah."

Apakah ia dan Van Gaal memiliki kemiripan pada filosofi sepakbola masing-masing? "Tidak, tidak banyak. Kami sama-sama orang Belanda dan itu senantiasa memberi dasar yang sama. Namun aku selalu menekankan pada  soal kecepatan dan bola. Boleh jadi ia tahu lebih banyak dibanding aku, namun aku selalu ingin menguasai bola. Saat aku tidak menguasai bola, apa yang harus aku lakukan? aku menekan untuk merebutnya kembali. Itulah cara bertahan. Namun yang lebih penting aku suka menguasai bola."

Cruyff bilang: "Van Gaal punya visi bagus tentang sepakbola namun itu berbeda denganku. Ia ingin punya tim juara dan memiliki cara yang militeristik untuk berhasil dengan taktiknya. Aku menginginkan setiap individu berpikir bagi permainannya sendiri." Apakah Van Gaal tetap "militeristik" dalam penekanannya pada "kolektivitas"? Cruyff mengangguk. "Ya. Namun aku selalu punya seorang individu yang senang berkreasi untuk dirinya sendiri dalam tim. Aku senang pemainku berpikir. (Pep) Guardiola adalah contoh yang bagus. Sebagai pemain, ia sempurna secara taktik. Namun ia tidak bisa bertahan. Itu yang dikatakannya. Aku bilang: 'Aku sepakat--dalam arti sempit. Kamu memang pemain bertahan yang buruk jika mencoba mengatasi seluruh area lapangan. Tapi jika kamu bisa mempertahankan area kecilmu, aku rasa kamulah yang terbaik. Urusi areamu, akan ada orang lain yang membantumu mengurus area lain. Selama kamu melakukan hal itu, kamu akan menjadi pemain bertahan yang sangat bagus.' Dan dia jadi pemain yang sangat bagus."

Dia juga mengkritik keengganannya untuk fokus pada pelatihan individu pemain -- dan Cruyff mengulangi poin tersebut. "Itu kenapa aku percaya dengan sesi pelatihan individu untuk mempersiapkan pemain dengan layak. Kamu harus mengurusi individu untuk memperoleh keuntungannya bagi tim -- sebagaimana ditunjukkan kerja kami bersama Guardiola."

Guardiola adalah salah satu murid Cruyff dan penerusnya sebagai manajer Barcelona sebelum mengaso dan kemudian pindah ke Bayern Munchen tahun lalu. Cruyff mengakui pujiannya untuk Bayern. Namun, pada saat yang sama, "Aku tetap sangat mencintai Barca. Aku juga suka Madrid. Caranya sama sekali berbeda dengan gayaku, mereka memperbaiki semuanya secara bersama-sama. Sekarang mereka adalah tim yang kamu tunggu akan melakukan apa lagi. Di lapangan tengah, mereka memiliki tiga pemain yang memiliki sentuhan bola sempurna, namun mereka juga memiliki tiga pemain depan yang membutuhkan tempat untuk bermain. Apa jadinya? Kita akan tunggu. Barca juga kembali ambil ancang-ancang sedikit ke belakang karena mereka menunjuk pelatih baru. Aku tidak bilang pelatih itu bagus atau jelek, namun selalu sangat sulit mengendalikan seorang Messi dan seorang Neymar. Jika kamu tidak bisa mengendalikannya, itu masalah. Hal yang sama terjadi dengan David Moyes dan Manchester United. Beberapa orang bisa mengendalikan pemain tertentu dan kamu butuh itu--itulah yang tidak berjalan. Moyes adalah pelatih yang bagus--cuma, bukan untuk Man United."

Cruyff menggelengkan kepalanya dan mengalihkan arah pembicaraan. "Sepakbola sekarang melulu soal uang. Ada persoalan dengan nilai-nilai dalam permainan ini. Dan ini memprihatinkan, sebab sepakbola adalah permainan terindah. Kita bisa memainkannya di jalanan. Kita bisa memainkannya di mana saja. Semua orang bisa memainkannya, namun nilai-nilai itu tengah menghilang. Kita harus membawanya kembali."

Apakah ia percaya bahwa situasi  di Inggris -- di mana Premier League justru menenggelamkan perkembangan tim nasional dan itu kontras dengan apa yang terjadi dengan Bundesliga dan timnas Jerman--akan berubah? "Harapannya begitu," kata Cruyff. "Di Premier League masalahnya ada pada uang, namun aku benar-benar tidak tahu bagaimana mengendalikannya. Jika melihat timnas Inggris atau bahkan Spanyol, kamu bisa melihat ada masalah. Berapa pemain Inggris yang bermain untuk empat tim teratas di Premier Laegue? Berapa penyerang Spanyol yang bermain di Barcelona atau Real Madrid?

Kami bicara beberapa hari setelah tim asuhan Roy Hodgson menang mengesankan 2-0 melawan Swiss, namun poin penting Cruyff tentang mandeknya pengembangan pemain muda Inggris, dan bahkan sejawatnya di Spanyol di antara masa keemasan La Liga, tetaplah berlaku. Dan yang terasa memilukan adalah, apabila pulang ke Amsterdam, Cruyff pasti menyebut-nyebut pelatih-pelatih Inggris yang membantunya tumbuh di Ajax pada awal 1960-an.

"Aku memikirkan Vic Buckingham, orang yang memungutku (bagi debut Cruyff untuk Ajax pada November 1964). Bahkan sebelum Vic (yang melatih Cruyff di Ajax dan Barcelona) ada Keith Spurgeon. Dia tidak dikenal, namun dialah pelatih pertamaku. Aku belajar Bahasa Inggris dari Keith Spurgeon. Dia punya anak kecil dan saat itu aku masih kecil, dan kami ngomong pakai bahasa Inggris bersama-sama dan itu fantastik."

Pelatih Inggris tidak selalu dikenal karena inovasi taktiknya--jadi apakah Spurgeon dan Buckingham lebih terbuka cara berpikirnya dibanding para penerusnya? "Mereka open minded, namun secara taktik kamu bisa melihat di mana kami berada saat itu. Sepakbola di Belanda bagus, namun tidak benar-benar profesional. Mereka memberi kami sikap profesional itu sebab mereka sudah berjalan lebih jauh. Namun pemikiran soal taktik datang belakangan bersama Michels. Itu dimulai belakang."

Cruyff mengubah visi Michels jadi kerja nyata, terutama di Barcelona. Namun, yang lebih mencolok ia terlihat lebih bangga berkait kegiatannya bersama yayasan yang memampang namanya. Setelah sehari ia membaktikan dirinya membantu anak-anak penyandang cacat berkembang dengan berbagai jenis olahraga, Cruyff berkata dengan enteng: "Ini indah. Dan hal yang luar biasa adalah hal ini memberimu lebih. Aku mencoba membantu mereka, namun mereka juga membantuku. Presiden Paralympic pernah berkata kepadaku perbedaan antara tubuh yang tidak cacat dengan yang cacat. Dia bilang: 'Penyandang cacat tidak berpikir tentang apa yang tidak mereka punya. Mereka cuma berpikir tentang apa yang mereka punya'. Kalau saja kita semua bisa belajar berpikir seperti itu.

"Kami punya institut dengan banyak anak muda yang bisa membantu federasi mereka dan klub-klub olahraga. Ajaib melihat hal ini terjadi, sebab mereka selalu mengejutkanku. Jika kamu melihat apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka berkembang sebagai seseorang, kamu akan belajar banyak hal."

Pesepakbola gaek ini tampaknya berbagi kesenangan dengan Di Stefano dalam penghiburannya berkait "bekerja dengan anak muda". Dan, dengan warisannya sendiri sebagai seorang pemain dan pelatih yang terabadikan, Cruyff bisa melihat Van Gaal dari kejauhan -- dan bertanya-tanya apa rivalnya tersebut mungkin masih mengakui, meskipun sekejap, atas kepercayaan yang sengit Di Stefano bahwa manajemen sepakbola adalah "pekerjaan paling mengerikan yang pernah ada".

Cruyff tampaknya lebih tertarik dengan cara Guardiola menjalani musim keduanya di Bayern. Ia mengisyaratkan sang juara bertahan mampu mempertahankan gelar Bundesliganya -- namun mereka boleh jadi tidak meraih kembali tropi Liga Champions yang mereka menangi di bawah asuhan Jupp Heynckes pada 2013. Namun Cruyff melihat prinsip-prinsip terbaik filosofinya pada Guardiola. "Ya, ia punya itu. Lazimnya aku akan bilang bahwa hal terpenting bagi pelatih adalah ia (mampu melewati) masa-masa sulitnya saat ia muda. Lihat Guardiola dan aku. Persis sepertiku, ia sangat kurus dan ia harus melatih tekniknya. Kamu bisa melihat itu pada Iniesta dan Messi juga. Mereka harus melakukan sesuatu dengan cepat atau mereka sama sekali tidak mendapatkannya. Itu artinya, mereka peduli dengan hal-hal rinci. Kamu harus berpikir lebih cepat dan melihat lebih banyak hal. Dan jika kamu melihat lebih banyak hal kamu bisa menolong lebih banyak orang."

Cruyff melihat jauh ke gelanggang Olimpiade tua di Amsterdam dan, dengan gerakan bahunya yang familiar, dia berkata, pada akhirnya: "Ini seperti semua hal di sepakbola--dan hidup. Kamu perlu melihat, berlu berpikir, perlu bergerak, perlu menemukan ruang kosong, dan kamu perlu menolong orang lain. Itu sangat sederhana pada akhirnya."


*(Diterjemahkan dari "Johan Cruyff: How will 'militeristic' Louis van Gaal manage all the egos at Manchester United?", by Donald McRea, The Guardian, Jumat, 12 September 2014)

Related Posts:

Akhir Permainan*

Oleh Eduardo Galeano; alihbahasa Mahfud Ikhwan



Bola bergulir, dunia terus berputar. Orang-orang menyangka matahari adalah bola api yang bekerja sepanjang hari dan menghabiskan waktu malamnya dengan terpental-pental di sekitaran surga saat rembulan menjalankan tugasnya, meskipun sains agak meragukannya. Yang jelas-jelas tak dipertanyakan, bagaimanapun, bahwa dunia mengitari sebuah bola yang berputar: final Piala Dunia ’94 ditonton lebih dari dua miliyar manusia, kerumunan terbesar yang pernah ada dari beberapa kerumunan yang berhimpun dalam sejarah planet ini. Inilah hasrat yang paling luas dibagikan: sebagian pemujanya bermain bersamanya di lapangan dan padang rumput, dan sebagian lagi dengan kursi malas di depan televisi dan menggigit kukunya saat menonton pertunjukan yang dimainkan oleh duapuluh dua orang bercelana pendek yang mengejar bola dan menendangnya untuk menunjukkan rasa cinta mereka.

Pada pengujung Piala Dunia ’94, setiap anak yang lahir di Brazil dinamai Romario, dan rumput stadion di Stadion di Los Angeles dijual seperti pizza, seharga duapuluh dolar seiris. Sedikit gejala kegilaan layak jadi alasan yang lebih baik? Sebuah perniagaan yang primitif dan vulgar? Sekantung trik yang diutak-atik si pemilik? Saya salah seorang yang percaya sepakbola memiliki semua itu, namun juga lebih dari itu: perayaan mata yang menontonnya dan kebahagiaan bagi tubuh yang memainkannya. Seorang reporter suatu kali bertanya kepada teolog Jerman, Dorothe Solle: “Bagaimana Anda menjelaskan kepada seorang bocah arti kebahagiaan?”

“Aku tak akan menjelaskannya,” jawabnya. “Aku akan lemparkan bola kepadanya dan membiarkannya bermain.”

Sepakbola profesional melakukan apapun untuk mengebiri energi kebahagiaan ini, namun itu masih terpendam dalam kedengkian dari segala kedengkian. Dan mungkin karena itulah kenapa sepakbola tak pernah berhenti membuat ketakjuban. Dan teman saya Angel Ruocco mengatakan, hal terbaik tentang hal itu—adalah kapasitas kekeraskepalaannya untuk membuat kejutan. Semakin banyak teknokrat masuk ke hal-hal detil yang lebih kecil, semakin kuat memanipulasinya, sepakbola terus saja menjadi seni tak terduga. Saat Anda kurang mengharapkannya, tak mungkin terjadi, macam semut yang melumpuhkan gajah, maka seorang bocah hitam kerempeng dengan kaki pengkor membikin sebuah patung atlet di Yunani jadi tampak konyol.

Sebuah kesia-siaan yang menakjubkan: sejarah resmi mengabaikan sepakbola. Teks-teks sejarah kontemporer lalai menyebut-nyebut, meskipun hanya sekilas saja, soal negara-negara yang mana sepakbola telah menjadi dan terus saja menjadi simbol primordial identitas kolektif. Aku bermain sebab itulah aku: sebuah gaya permainan adalah cara untuk mengungkapkan keunikan wajah dari tiap-tiap komunitas dan menegaskan haknya untuk jadi berbeda. Bertahun-tahun, sepakbola dimainkan dengan cara-cara yang berbeda,  jadi ekspresi personalitas masing-masing orang, dan melestarikan keberagaman hari ini menjadi lebih pentig dibanding sebelumnya. Inilah hari-hari wajib seragam, dalam sepakbola dan dalam segala hal. Tak pernah dunia begitu timpang dalam kesempatan yang ditawarkan dan begitu serupa dalam kebiasaan yang dipaksakan: pada akhir abad ini, barangsiapa yang  tidak mati karena lapar akan mati karena bosan.

Bertahun-tahun, saya merasa tertantang oleh kenangan dan kenyataan dalam sepakbola, dan saya mencoba untuk menulis sesuatu yang layak bagi berhala agung massal ini yang mampu bicara dengan bahasa yang berbeda dan mengumbar hasrat universal. Dengan menulis, saya melakukan dengan tangan apa yang saya tak pernah bisa lakukan dengan kaki: ketololan yang terus dipiara, bikin malu di lapangan, saya tak punya pilihan selain mengiba kepada kata-kata apa yang ditolak oleh bola yang begitu saya damba.

Dari tantangan tersebut, dan dari kebutuhan untuk menebus dosa, buku ini lahir. Penghormatan untuk sepakbola, perayaan atas cahayanya, yang mengikis bayang-bayangnya. Saya tidak tahu apabila buku ini malah memunggungi cara sepakbola disuka, tapi saya tahu buku ini tumbuh bersama saya dan telah mencapai halaman terakhir, dan sekarang buku itu lahir jadi milik Anda. Dan saya merasakan haru-biru yang tak tersembuhkan yang kita rasakan setelah bercinta dan pada akhir permainan.


Montevideo, musim panas 1995.


*Diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow, Eduardo Galeano, 2003, transl. Mark Fried.

Related Posts:

Dosa Kekalahan#

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan

Sepakbola mengangkat sisi keilahiahannya dan menampakkan balasan setimpal bagi mereka yang beriman. Dengan bola di kaki dan warna kebangsaan di badan, pemain yang mewakili negara maju berderap untuk merengkuh kejayaan di medan perang yang jauh. Apabila dia pulang takluk, sang prajurit pun jadi iblis terkutuk. Di lapangan terbang Ezeiza pada 1958, orang-orang melemparkan uang recehan ke para pemain Agentina yang kembali dari penampilan buruknya di Piala Dunia di Swedia. Pada Piala Dunia ’82, Caszely meleset dalam melakukan tendangan penalti dan ketika kembali ke Chile mereka membuat hidupnya tak memungkinkan lagi. Sepuluh tahun kemudian, beberapa pemain Ethiopia memohon perlindungan PBB setelah mereka kalah 6-1 dari Mesir.

Kami ada karena kami menang. Jika kami kalah, kami tak lagi eksis. Tak perlu dipertanyakan lagi, seragam tim nasional telah menjadi simbol paling jelas bagi identitas kolektif, tak cuma bagi negara-negara miskin atau kecil yang keberadaannya di peta hanya tergantung pada sepakbola. Saat Inggris tak lolos kualifikasi Piala Dunia ’94, halaman depan Daily Mirror menampilkan sebuah kepala judul dalam ukuran huruf yang cocok untuk sebuah berita bencana: “AKHIR DUNIA.”

Dalam sepakbola, seperti pada semua hal lain, kalah tidak diperbolehkan. Di zaman kalabendu* ini, kegagalan adalah satu-satunya dosa yang tak terampunkan. Saat Piala Dunia ’94, segelintir orang fanatik membakar habis rumah Joseph Bell, kiper Kamerun yang terkecundangkan, dan pemain Kolombia Andres Escobar ditembak mati di Medellin. Escobar kena sial dengan mencetak sebuah gol bunuh diri, sebuah tindak penghianatan yang tak termaafkan.

Haruskah kita menyalahkan sepakbola? Atau haruskah kita menyalahkan budaya sukses dan keseluruhan sistem kuasa yang direfleksikan oleh sepakbola profesional? Sepakbola tak punya bawaan lahir sebagai olahraga kekerasan, meskipun beberapa kali menjadi kendaraan untuk peluapan angkara. Tidaklah kebetulan pembunuhan Escobar mengambil tempat di negeri paling keras di seantero planet. Kekerasan tidak ada pada gen orang-orang yang menyukai perayaan dan menjadi liar oleh nikmatnya musik dan sepakbola. Rakyat Kolombia mengalami derita kekerasan seperti terkena penyakit menular, namun mereka tidak mengenakan itu sebagai tanda lahir di kening. Mesin kekuasaan, di sisi lain, adalah sebenar-benarnya penyebab kekerasan: seperti di seantero Amerika Latin, ketidakadilan dan keterpurukan meracuni jiwa-jiwa rakyat di bawah sebuah sistem yang memiliki tradisi kebal hukum, yang memberi tanda jasa bagi si durjana, menganjurkan kepada kemungkaran, dan membantu melanggengkan hal itu sebagai semacam jatidiri bangsa.

Beberapa bulan sebelum Piala Dunia ’94 dimulai, Amnesty International mengumumkan sebuah laporan terkait ratusan warga Kolombia “yang dieksekusi tanpa proses yang wajar oleh tentara dan paramiliter sekutu mereka pada 1993. Sebagian besar korban dari eksekusi di luar hukum ini adalah warga yang tak diketahui afiliasi politiknya.”

Laporan Amnesty International juga menunjukkan peran polisi Kolombia dalam operasi “bersih-sosial”, sebuah eufemisme bagi pembasmian sistematik terhadap homoseksual, pelacur, pecandu obat, pengemis, orang gila, dan anak jalanan. Masyarakat menyebut mereka “orang sisa-sisa”**, manusia sampah yang sebaiknya mati saja.

Di dunia yang menghukum kegagalan, mereka selalu saja adalah para pecundang.


# diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow, Eduardo Galeano, 2003, trans. Mark Fried.


*) diterjemahkan dari “fin-de-siecle days”, istilah Prancis untuk zaman dekaden dan menuju keruntuhan. (Lih. wikipedia.com terdekat).
**) diterjemahkan dari “disposables”, mungkin “rongsokan” lebih tepat, tapi frasa “orang sisa-sisa” dari lagu “Air Mata Api”-nya Iwan Fals tak bisa lepas dari kepala saya.

Related Posts:

Luis Suarez Bermain Sepakbola Cara Uruguay: Kemenangan adalah Segalanya*

Oleh Martin Aguirre; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Adalah satu kebenaran yang tak terbantahkan bahwa di Uruguay sepakbola selalu mengambil kedudukan agama di beberapa negara. Sepakbola juga mengambil peran sangat besar dalam penciptaan mitos kami. Uruguay cuma sebuah negara mungil yang dikelilingi para raksasa, berumur kurang dari 200 tahun, dan kisah paling heroik yang dituturkan orang-orang ke anak-cucu adalah kejayaan sepakbola dan bukannya dahsyatnya peperangan. Di antaranya, tentu saja, adalah Maracana, di mana Uruguay mengalahkan Brazil di kandangnya sendiri untuk memenangi Piala Dunia 1950.

Kami membangun sebuah mitos nasional tentang kemenangan. Kemenangan melawan takdir, melawan setiap rintangan yang menghadang. Kami tertawa saat orang Inggris ngoceh tentang permainan indah. Ada seorang pelatih sangat kondang di Uruguay, Julio Ribas, yang bilang bahwa sepakbola sudah seharusnya tidak indah. Jika mau keindahan, pergilah nonton balet.

Sepakbola adalah soal kemenangan. Ini bukan berarti bisa diterima menginjak muka lawan dalam rangka mencetak gol. Namun, hal itu berdampak bahwa sekali kamu berjalan di atas lapangan, satu keseluruhan perangkat baru aturan moral masuk juga, yang sangat berbeda dibanding dengan aturan yang mengendalikan dunia luar yang kacau dan membingungkan.

Datanglah ke lapangan-lapangan sepakbola amatir di sekitaran Montevideo dan Anda akan menyaksikan pertandingan paling keras yang pernah Anda lihat. Pertandingan antara orang-orang yang kerja di kantor yang sama, sekelas, teman sepermainan begitu serunya sehingga hampir semua hal diterima untuk menang.
Sekali pertandingan selesai, orang-orang yang sama itu akan berkumpul, minum bir dan tertawa-tawa, dan segala yang telah terjadi di lapangan biar sampai di situ saja.

Semangat ultra-kompetitif ini adalah penjelasan kenapa sebuah negara dengan tiga juta penduduk mampu membangun semacam massa yang kritis bagi elit-elit pesepakbola, sebagaimana yang dilakukan Uruguay. Dan itulah satu-satunya penjelasan yang masuk akal bagi Luis Suarez.

Di negeri yang menciptakan agama kemenangan, mencucurkan keringat terakhir di lapangan, di mana orang hebat macam Nicolas Lodeiro memperoleh kreditnya hanya jika ia menyorongkan kepalanya untuk memblok bola sebagaimana ia lakukan saat melawan Inggris, maka menjadi jelas bahwa orang macam Suarez akan menjadi pahlawan nasional. Seseorang yang jadi jadi jutawan karena usahanya sendiri namun menyerahkan hidupnya di barisan untuk merebut bola, mencetak gol, dan memenangkan pertandingan. Dia mewakili semua nilai yang kami akui mengesahkan seorang pesepakbola sejati.

Maka ketika gol-golnya dan tingkah lakunya mulai menjadikannya sosok dunia, dan ketika media internasional mengarahkan lensa pembesarnya kepadanya, kami membuat-buat dua penjelasan untuk membenarkan tingkah-lakunya.  Pertama adalah masa kecilnya yang kurang bahagia: keluarganya yang  pecah dengan beban finansial, kepindahannya yang dini dari rumah keluarganya di Salto untuk mendaftar di tim muda Nacional. Namun, sejujurnya, itu saja tidak cukup, paling tidak di mata orang Uruguay. Itu boleh jadi adalah kisah sembilan dari sepuluh pemain di negeri ini. Maka, diperlukan penjelasan kedua dan sekaligus spesialisasi orang setempat: teori konspirasi.

Jika ada sebuah mitos yang menyemai sepakbola Uruguay, maka itu adalah obsesi bahwa di luar sana selalu ada persekongkolan melawan kami dalam politik permainan ini. Bahwa kami bukanlah pasar ekonomi yang penting, bahwa kami selalu merontokkan nama-nama besar di berbegai even, dan oleh karena itu kami mewakili bisnis yang buruk. Ide ini cuma akan berlaku setelah sanksi berat dan belum pernah terjadi terhadap Suarez, terutama ketika, apabila Uruguay bisa melewati Kolombia, perempat final melawan Brazil tampaknya akan terwujud.

Beginilah reaksi terhadap perkara Suarez dari sang kapten, Diego Lugano, yang mengklaim "sudah diketahui dengan baik bahwa media Inggris selalu melawan Suarez," atau dari sang pelatih, Oscar Tabarez, yang menyebut bahwa pemain bintangnya adalah "selalu jadi sasaran tembak oleh pers Inggris" dan "ini adalah Piala Dunia sepakbola, bukan lomba budi-pekerti cengeng". Bahkan Jose Mujica, Presiden Uruguay dan satu-satunya persona yang bisa menandingi ketenaran Suarez, angkat bicara membela, bersikeras bahwa ada sebuah kampanye melawan Suarez dan bahwa dirinya adalah "anak hebat". Mujica menambahkan: "Kami tak memilihnya untuk jadi filsuf, atau mesinis, atau sebab karena akhlaknya yang terpuji, dia cuma seorang pemain sepakbola yang hebat."

Semua komentar itu bukan berarti dukungan mendalam bagi Suarez. Sebagian besar orang Uruguay tak akan memaafkan saya karena menulis di koran Inggris tanpa mengibarkan bendera dan membela orang kami dari apa yang kami pandang di sini sebagai agresif, tidak jujur, dan semacam (ironisnya) kampanye rasis dari media Inggris. Tapi menggigit? Seorang pemain sepakbola profesional, yang tahu ada ratusan kamera mengarah kepadanya? Seseorang yang menghasilkan uang miliyaran dan mewakili impian dan harapan seluruh negeri? Mikir apa dia? Dari Diego Maradona ke Mike Tyson ke Tiger Wood, sebagian besar atribut yang menciptakan seorang atlet elit adalah apa yang membuat mereka begitu sulit untuk dipahami orang biasa. Namun dalam kasus Suarez, ada sesuatu yang berbeda.

Karirnya di Liverpool diikuti dengan penuh gairah di Uruguay. Orang-orang datang ke bar dan berdebat seru tentang pertandingan-pertandingan di Anfield seakan itu adalah bagian dari liga lokal. Komentar umum yang biasa muncul adalah betapa hambarnya para pemain itu, bagaimana mereka tidak mempedulikan pertahanan dengan semestinya, bagaimana sebagian besar dari mereka tidak berbeda antara yang menang dengan yang kalah. Kami memiliki istilah yang mendefinisikan pemain jenis ini beserta tingkah lakunya: "pecho frio", atau "berhati batu".

Tak seorang pun akan menganggap Suarez berhati batu. Dia mungkin melakukan hal tergila di lapangan sepakbola, namun Anda bisa memtaruhkan jiwa Anda dia akan bersedia menyerahkan hidupnya di atas lapangan. Di dunia yang dingin dan materialistis, ada puncak kualitas yang diinginkan kebanyakan orang Uruguay dari seorang pemain sepakbola. Itulah kenapa orang-orang mencintainya. Itulah kenapa mereka akan memaafkannya untuk hampir semua dosa. Dan itulah kenapa mereka akan selalu membelanya, seperti ekspresi yang dilakukan orang setempat, dengan kuku dan gigi mereka.


*Diterjemahkan dari "Luis Suarez plays football the Uruguay way: winning is all that counts", Guardian, 26 Juni 2014.

  



Related Posts:

Kerajaan Sihir*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan
Catatan
Tulisan Eduardo Galeano tentang Piala Dunia dalam Soccer in Sun dan Shadowpada edisi 2003 hanya sampai Piala Dunia 2002. Oleh karena itu, untuk Piala Dunia 2006 dan 2010, saya terjemahkan tulisan Galeano yang ada di situs The Progressive, edisi 13 Juli 2006 dan New Internationalist, edisi 11 Agustus 2010. Saya tidak tahu apakah kedua tulisan itu ditulis langsung dalam bahasa Inggris, atau hasil terjemahan dari bahasa Spanyol, sebab tak ada keterangan tambahan. -- mahfud ikhwan --



Pacho Maturana, pria Kolumbia yang telah mengecap asam-garam di belantara sepakbola, menyatakan bahwa sepakbola adalah kerajaan sihir, yang mana segalanya bisa saja terjadi. Dan Piala Dunia kali ini membenarkan perkataannya: ini adalah Piala Dunia yang tak biasa.
Sepuluh stadion yang jadi tempat Piala Dunia dimainkan adalah stadion-stadion tak biasa, indah, megah, dan mahal. Siapa yang tahu bagaimana Afrika Selatan akan mampu menjaga beton-beton raksasa itu beroperasi? Berjuta-juta dolar yang dihamburkan mudah dijelaskan, namun sulit untuk membenarkannya di salah satu negara paling timpang di dunia itu.
Bola 'Jabulani' dari Adidas tidak biasa, licin dan setengah gila, suka lepas kalau dipegang dan tak menurut kalau ditendang. Bola itu diperkenalkan meskipun kenyataannya para pemain sama sekali tak menyukainya. Namun, dari kastil mereka di Zurich, para penguasa sepakbola telah bertitah, dan bukannya hendak musyawarah. Itulah cara mereka.
Juga tak biasa karena pada akhirnya para birokrat pemegang kuasa di FIFA mengakui, setelah bertahun-tahun, harus ditemukan satu cara membantu wasit dalam memutuskan permainan. Tak banyak-banyak, cuma satu hal saja. Dan inilah waktunya. Bahkan petugas sukarelawan tuli ini harus bisa mendengar kegaduhan yang terdengar dari kesalahan wasit tertentu, yang telah mencapai tingkat mengerikan di pertandingan final. Kenapa kita harus melihat di televisi apa yang tidak bisa dilihat atau tak mungkin terlihat oleh wasit? Akal sehat berteriak: hampir semua olahraga yang lain, macam bolabasket, tenis, baseball,  bahkan anggar dan balap mobil, biasa pakai teknologi untuk menuntaskan keraguan. Sepakbola tidak. Para wasit punya hak untuk berkonsultasi dengan  temuan kuno yang disebut "jam" untuk mengukur lamanya pertandingan dan waktu tambahan, namun lebih dari itu tidak. Dan justifikasi yang memberi pijakan kebijakan ini sangat konyol kalau bukan sangat mencurigakan: eror adalah bagian dari permainan, kata mereka, membuat kita bengong saat mereka mendapati bahwa khilaf itu manusiawi.
Juga tak biasa bahwa di babak lanjutan di Piala Dunia di Afrika yang pertama dalam sejarah ini tak ada negara Afrika, termasuk tuan rumah, bisa melaju. Cuma Ghana yang bisa bertahan sampai mereka kemudian kalah oleh Uruguay di pertandingan paling hidup di sepanjang turnamen.
Pun tak biasa bahwa kebanyakan tim-tim Afrika masih mempertahankan kegesitannya namun kehilangan kebaharuan dan keberaniannya. Banyak lari, namun sedikit menari. Beberapa kalangan percaya bahwa para pelatih tim-tim itu, hampir semuanya orang Eropa, punya andil pada hambarnya permainan mereka. Jika ini masalahnya, mereka tidak memberi sumbangan pada permainan yang menjanjikan limpahan kebahagiaan dan sukaria. Afrika mengorbankan keunggulannya demi efesiensi, namun nyata benar kalau mereka tak memiliki efesiensi.
Tak biasa juga bahwa beberapa pemain Afrika tertentu mampu tampil menonjol, namun di tim-tim Eropa. Saat Ghana melawan Jerman, Boateng bersaudara saling berhadap-hadapan. Satu dalam seragam Ghana, satunya lagi dengan baju Jerman. Tentang para pemain Ghana, tak satu pun dari mereka di kejuaraan lokal Ghana. Namun semua pemain di tim Jerman bermain di kompetisi Jerman. Seperti Amerika Latin, Afrika mengekspor buruh tangan--dan kaki.
Penyelamatan terbaik di kejuaraan ini pun tak biasa. Penyelamatan itu tak dilakukan oleh penjaga gawang, namun oleh seorang penyerang. Menggunakan kedua tangannya, persis di garis gawang, pemain Uruguay Luis Suarez menghentikan bola yang akan menyingkirkan timnya dari turnamen. Berkat aksi patriotik gila-gilaannya, ia terusir tapi tidak dengan timnya.
Perjalanan Uruguay pun tak biasa, dari titik rendah hingga titik tertingginya. Negara kami, yang masuk kualifikasi Piala Dunia paling akhir, dan nyaris tidak lolos ke babak berikutnya setelah mendapat grup yang sulit, bermain dengan penuh kebanggaan, pantang mundur, dan berakhir sebagai salah satu tim terbaik. Beberapa ahli jantung memperingatkan kami, di koran, bahwa kebahagiaan yang berlebihan bisa berbahaya bagi kesehatan kami. Banyak orang Uruguay, yang nampaknya ditakdirkan untuk mati bosan, merayakan risiko ini, dan jalan-jalan di seluruh negeri membara dalam pesta raksasa.
(Tim) kami mendarat di urutan keempat, hasil yang tidak terlalu buruk bagi satu-satunya negara yang berhasil mencegah Piala Dunia menjadi sekadar Piala Eropa. Dan tak kebetulan apabila Diego Forlan terpilih menjadi pemain terbaik kejuaraan.
Tidak biasa bagi juara dan runner-up Piala Dunia sebelumnya kembali pulang sebelum sempat membuka kopernya.
Pada 2006, Italia dan Prancis bertemu di pertandingan final. Kali ini keduanya bertemu di pintu keluar bandara. Di Italia meletup kritik terhadap permainan sepakbola yang inginnya sebisa mungkin mencegah lawan ikut bermain. Di Prancis, bencana memantik krisis politik dan menyulut amarah rasial sebab hampir semua pemain yang menyanyikan Marseillaise di Afrika Selatan berkulit hitam.
Favorit lainnya, seperti Inggris, tidak bertahan lama juga. Brazil dan Argentina dipermalukan secara kasar. Setengah abad lalu, timnas Argentina dihujani uang recehan saat pulang dari Piala Dunia yang penuh prahara, namun kali ini disambut oleh kerumunan penggemar yang percaya pada hal-hal yang lebih penting dibanding keberhasilan atau kegagalan.
Tak biasa juga bahwa superstar-superstar yang paling terkenal dan ditunggu-tunggu tidak bersinar di kesempatan itu. Lionel Messi ingin berada di sana, melakukan apa yang ia bisa, dan ia sedikit kelihatan. Dan mereka bilang bahwa Cristiano Ronaldo ada di sana, namun tak seorang pun melihatnya: mungkin dia terlalu sibuk melihat dirinya sendiri.
Pun tak biasa bahwa bintang baru tak disangka-sangka justru muncul melata dari dasar samudera dan mencapai puncak tertinggi langit sepakbola: seekor gurita yang hidup di sebuah aquarium di Jerman yang pandai meramal. Namanya Paul, namun boleh juga dinamai Octodamus. Sebelum tiap pertandingan Piala Dunia dimulai, ia diberi pilihan dua remis yang masing-masing ditandai dengan bendera tim-tim yang bertanding. Ia selalu memakan remis yang ditandai bendera tim yang menang dan ia tak pernah salah.
Peramal berkaki delapan memiliki efek menentukan di dunia taruhan dan dianut di seluruh dunia dengan ketakziman agamawi, dicinta dan dibenci, dan bahkan difitnah dengan segumpal rasa dongkol, seperti saya, yang berpurbasangka, tanpa bukti, kalau dia sudah diajari.
Tidak biasa bahwa di ujung kompetisi, keadilan ditegakkan, yang tak sering terjadi baik di sepakbola maupun di kehidupan nyata.
Untuk pertama kali, Spanyol juara Piala Dunia.
Juara yang sudah ditunggu hampir seabad lamanya.
Si gurita telah mengumumkan hal itu dan Spanyol melakukannya dengan cara seperti yang saya sangka: Mereka menang dengan bersih, jadi tim terbaik di turnamen, hasil dari kerja keras dan solidaritas di atas lapangan, satu untuk semua semua untuk satu, dan berkat kemampuan mencengangkan penyihir kecil bernama Andres Iniesta.
Si gurita menunjukkan bahwa pada satu masa, dalam kerajaan dongeng sepakbola, ada keadilan.
Saat Piala Dunia dimulai, saya tempel pada pintu rumah saya sebuah kartu yang bertuliskan: Tertutup untuk Sepakbola. Saat kartu itu saya robek sebulan kemudian, saya telah menonton 64 pertandingan, dengan bir di tangan, tanpa pernah bergerak dari kursi kesayangan.
Capaian ini membuat tubuh saya remuk, otot pegal-pegal, tenggorokan serak, namun saya sudah bernostalgia.
Saya sudah mulai merindukan litani vuvuzela yang tak tertahankan itu, emosi dari gol-gol yang diperingatkan oleh para ahli jantung, keindahan dari permainan terbaik yang diputar ulang dalam gerak lamban. Dan perayaan, dan kesedihan, sebab kali ini sepakbola adalah kebahagian yang melukakan, dan musik yang dimainkan untuk merayakan kejayaan yang membuat tarian kematian terdengar sangat mirip dengan tempik-sorak keheningan stadion yang kosong, di mana malam turun, dan seseorang yang kalah tetap duduk, tak sanggup untuk bergerak, sendirian di tengah samudera luas jejak-jejak.


*diterjemahkan dari "The Realm of Magic", New Internationalist, 11 Agustus 2010.

Related Posts:

Piala Dunia Zidane*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Catatan

Tulisan Eduardo Galeano tentang Piala Dunia dalam Soccer in Sun dan Shadow pada edisi 2003 hanya sampai Piala Dunia 2002. Oleh karena itu, untuk Piala Dunia 2006 dan 2010, saya terjemahkan tulisan Galeano yang ada di situs The Progressive, edisi 13 Juli 2006 dan New Internationalist, edisi 11 Agustus 2010. Saya tidak tahu apakah kedua tulisan itu ditulis langsung dalam bahasa Inggris, atau hasil terjemahan dari bahasa Spanyol, sebab tak ada keterangan tambahan -- mahfud ikhwan --




Di panggung yang mulia, sebuah serangan menggila.

Di sebuah kuil yang dipersembahkan bagi pemujaan atas sepakbola dan penghormatan atas aturan, di mana Coca-Cola menghidangkan kebahagiaan, MasterCard menjamin kemakmuran, dan Hyundai menawarkan kecepatan, menit-menit terakhir dari pertandingan terakhir di Piala Dunia dimainkan.

Itu juga pertandingan terakhir dari yang terbaik, yang paling dipuja, pemain paling dicintai, yang saat ini berencana mengucapkan selamat tinggal kepada sepakbola. Mata seluruh dunia tertuju kepadanya. Dan tiba-tiba, sang raja pesta malihrupa menjadi banteng terluka dan menghantam seorang lawan, menjatuhkannya dengan tandukan tepat ke dada, dan kemudian melangkah pergi.

Ia dikeluarkan oleh wasit dan dilempar ke cemoohan penonton yang seharusnya memberinya tepuk tangan, pergi tidak lewat gerbang utama tapi lorong menuju kamar ganti.

Saat pergi, ia melewati piala emas yang akan dianugerahkan kepada tim juara. Ia bahkan tak meliriknya.

Saat Piala Dunia kali ini dimulai, para pengamat bilang bahwa Zinedine Zidane sudah menua. Mariano Pernia, si Argentina yang bermain untuk tim Spanyol, bilang: “Angin itu telah renta, dan ia tetap bertiup.”

Dan Prancis mengalahkan Spanyol, dan di pertandingan ini dan di pertandingan-pertandingan berikutnya, Zidane adalah yang paling muda dari semua.

Bagaimana pun, di pengujung Piala Dunia, setelah yang terjadi telah terjadi, sangat mudah memaki si penjahat dalam sebuah film silat. Namun hal itu, dan terus akan begitu, sulit untuk dimengerti. Apa itu benar? Jangan-jangan itu cuma mimpi buruk saja? Bisa-bisanya dia meninggalkan para pemujanya saat mereka begitu membutuhkannya?

Horacio Elizondo, sang wasit, sudah benar mengacunginya kartu merah. Tapi kenapa Zidane melakukan apa yang telah dilakukannya?

Tampaknya pemain bertahan Italia Marco Materazzi melontarkan beberapa makian rasis yang biasanya dipekikkan oleh orang-orang gila dari tribun.

Zidane, seorang muslim, anak dari imigran Aljazair, tahu bagaimana mempertahankan dirinya sejak kanak-kanak, saat ia mendapat serangan serupa di wilayah kumuh Marseille. Ia kenal mereka dengan baik namun mereka mengganggunya seperti yang sudah-sudah. Dan musuh-musuhnya tahu bahwa provokasi itu manjur. Lebih dari sekali ia hilang kendali karena perilaku buruk yang serupa, dan Materazzi tidak dikenal—kalau boleh dikata—karena tindakannya yang budiman.

Piala Dunia kali ini ditandai dengan slogan-slogan melawan wabah rasisme, yang dianjurkan oleh tim-tim yang berlaga pada saat dimulainya pertandingan. Dan Zidane adalah salah satu dari pemain yang membuat hal itu jadi mungkin.

Rasisme adalah isu panas. Pada malam sebelum Piala Dunia dimulai, politisi ekstrem kanan Prancis Jean-Marie Le Pen berkoar bahwa timnas Prancis tidak lagi dikenali oleh para pemainnya sendiri, sebab mereka semua hampir seluruhnya hitam dan sebab kapten mereka, orang Arab itu, tidak menyanyikan lagu kebangsaan. Wakil presiden dari Senat Italia, Roberto Calderoli, menggemakan pernyataan Le Pen, dan menyatakan bahwa timnas Prancis terdiri atas orang-orang Negro, Islam fanatik, dan Komunis, yang lebih menyukai mars Internationale dibanding Marseillaisedan lebih senang Mekah daripada Belen. Sebelumnya, pelatih timnas Spanyol, Luis Aragones, menyebut pemain Prancis Thierry Henry sebagai “kotoran hitam,” dan Presiden Asosiasi Sepakbola Amerika Selatan yang tak ganti-ganti, Nicolas Leoz, bilang dalam buku otobiografinya bahwa ia lahir di sebuah kota kecil yang dihuni oleh tigapuluh orang dan 100 Indian.

Tapi bisakah seseorang mereduksinya menjadi satu hinaan, atau satu rangkaian hinaan, tragedi tentang pemain yang memilih untuk kalah ini, bintang yang mencampakkan kejayaan saat kejayaan itu bergelut melawan dirinya?

Mungkin, siapa tahu, boleh jadi amuk kemarahan itu, tanpa Zidane kehendaki atau bahkan ia sadari, merupakan sebuah lolongan ketakberdayaan.

Boleh jadi itu adalah lolongan ketakberdayaan melawan hinaan demi hinaan, tonjokan, cipratan ludah, sepakan diam-diam, simulasi yang lihai atas pelanggaran dan kesakitan, ketakberdayaan melawan drama para bintang panggung sandiwara orang-orang yang menonjokmu dan kemudian pura-pura sekaan-akan mereka tidak pernah berada di sana.

Atau boleh jadi itu adalah lolongan ketakberdayaan melawan kesuksesan yang menghancurkan dari sepakbola kotor, melawan ketidakjujuran, kepengecutan, dan ketamakan dari sepakbola yang mengglobal, musuh dari kebinekaan, yang dipaksakan untuk kita. Pada akhirnya, sebagaimana Piala Dunia telah dilangsungkan, menjadi jelas dan lebih jelas lagi bahwa Zidane bukanlah bagian dari sepakbola dengan pendekatan macam itu. Dan sihirnya, kejadukannya, keanggunannya yang mengharu-biru, pantas untuk dikalahkan, sebab dunia hari ini, dengan produksi massal sebagai model kesuksesan, hanya layak untuk Piala Dunia yang semenjana.  

Namun bisa juga dibilang bahwa Italia layak untuk memenangkan Piala Dunia, sebab seluruh tim di Piala Dunia, beberapa lebih menonjol dari lainnya, memainkan gaya Italia, dengan gaya permainan yang sama, empat pemain bertahan dalam formasi gerendel, yang mencetak gol lewat serangan balik.

Italia melakukan apa yang harus dilakukan. Alhasil, cara bertahan ala catenaccio menciptakan kebosanan namun juga empat tropi dunia. Di Piala Dunia kali ini, cuma dua gol yang berhasil diceploskan ke gawang Italia. Satu dari titik penalti, yang lain hasil bunuh diri. Dan para pemain terbaik mereka berada di garis belakang, bukan di depan. Buffon, sang kiper, dan Cannavaro, bek tengah.

Delapan pemain Juventus tampil di final di Berlin: lima bermain untuk Italia, tiga untuk Prancis. Itu adalah kebetulan yang aneh mengingat Juventus adalah tim yang paling terlibat dalam skandal mengaturan hasil pertandingan yang merebak persis sebelum Piala Dunia. Dari Tangan Bersih ke Kaki Bersih: pengadilan Italia memutuskan untuk mendepak ke tingkatan lebih bawah di Serie B dan Serie C tim-tim paling kuat di negeri itu, termasuk di dalamnya Lazio, Fiorentina, dan Milan—yang dimiliki si budiman Silvio Berlusconi, yang berlaku curang dengan berbekal kekebelan hukum baik di sepakbola maupun di politik.

Kehakiman membuktikan serangkaian kongkalikong yang meliputi menyuapan wasit dan wartawan, pemalsuan kontrak dan akrobat neraca bank, hingga memanipulasi program-program televisi.

Seorang menteri pemerintah mengapungkan ide tentang pengampunan jika Italia memenangi kejuaraan. Dan Italia juara. Akankah ada tangan-tangan di balik meja, lagi, seperti biasa? Zidane dilempar keluar membuatnya lebih gampang.

Seseorang, entah siapa, merangkum Piala Dunia 2006 sebagai berikut: Para pemain bertingkah laku dalam gaya penuh keteladanan. Mereka tidak minum, tidak merokok, dan tidak bermain.

Begitulah, barangsiapa yang dari waktu ke waktu menciptakan gol tidak bermain sepakbola indah, sementara yang bermain sepakbola indah tidak mencetak gol. Tim-tim Afrika tersingkir dini, dan tak lama kemudian tim-tim Amerika Latin terdepak juga.

Piala Dunia malihrupa jadi Piala Eropa.

Hasil akhir jadi milik apa yang sekarang disebut pendirian praktis: tembok tinggi pertahanan dan menyisakan ujung tombak sendirian di depan, lalu memohon Tuhan untuk memberikan pertolongan. Seperti yang biasa terjadi dalam sepakbola dan hidup, dia yang bermain baik kalah, sementara yang bermain untuk tidak kalah justru menang.

Pengujung adu penalti cuma menambah ketidakadilan. Hingga 1968, pertandingan yang alot akan ditentukan dengan undian koin. Dalam satu hal, ini tetap terjadi. Mencolok sekali, adu penalti terlihat cuma soal untung-untungan saja.

Argentina lebih baik dari Jerman, dan Prancis lebih baik dibanding Italia, namun beberapa detik jauh lebih berarti dibanding dua jam pertandingan. Dan Argentina harus pulang, sementara Prancis hilang gelar.

Cuma ada sedikit imajinasi dalam pertunjukan itu. Para seniman meninggalkan permainan kepada pemain angkat besi dan pelari Olimpiade, yang lewat sekadar untuk menendang bola atau menendang lawan.

Piala Dunia begitu membosankannya sehingga sang pemilik perhelatan tak memiliki pilihan kecuali memikirkan cara-cara untuk menyuntikkan antusiasme pada pertunjukan yang suram itu.

Salah satu ide yang diusulkan FIFA adalah memberi hukuman bagi hasil 0-0. Ide lain adalah meluaskan ukuran gawang untuk meningkatkan jumlah gol. Dan, ujung-ujungnya, seperti lelucon di sekolah: “Jika kamu tidak suka sup, bawalah dua mangkuk,” adalah ide menghelat Piala Dunia dua tahun sekali.

Namun sepakbola profesional, yang menjadi cerminan dunia, dimainkan untuk menang, dan bukannya untuk dinikmati. Dan kalkulasi biaya menciptakan olok-olok tentang khayalan tak berguna lingkaran birokrat yang mengatur sepakbola dunia.

Untungnya, tidak semua sepakbola adalah profesional. Yang Anda butuhkan adalah keluar ke jalan atau pergi ke pantai untuk melihat bahwa bola masih menggelinding dengan gembira.

Dalam sepakbola profesional, dalam keramahan televisi, hanya ada sedikit kebahagiaan yang bisa disaksikan. Kita rasa-rasanya dikutuk noltalgia di masa lalu saat sepakbola memiliki lima penyerang, dan menuju pada pengakuan menyedihkan bahwa sekarang cuma tinggal satu. Dan berdasar rerata yang tengah terjadi, satu penyerang itu bahkan tak akan bersisa lagi: suatu masa, hanya akan ada satu pemain bertahan.

Zoolog Roberto Fontanarrosa telah membuktikannya: pemain depan dan panda adalah makhluk-makhluk yang terancam punah.
  

*diterjemahkan dari “The World Cup of Zidane”, yang dimuat pada situs The Progressive, July 13, 2006.

Related Posts:

Piala Dunia a la Galeano XVII: Piala Dunia 2002*

Oleh Eduardo Galeano; Alihbahasa Mahfud Ikhwan


Satu masa rusak-rusakan. Serangan teroris merata-tanahkan Menara Kembar New York. Presiden Bush menghujani Afganistan dengan rudal dan memberantas Taliban, kelompok yang disusui oleh bapaknya dan Reagan. Perang melawan terorisme memberikan restu pada teror militer. Tank-tank Israel meluluh-lantakkan Gaza dan Tepi Barat, sehingga rakyat Palestina bisa terus menebus dosa Holocaust yang tidak mereka lakukan.

Spiderman nangkring di puncak box-office. Sumber informasi terpercaya di Miami mengumumkan tentang pasti jatuhnya Fidel Castro, hanya soal waktu saja. Yang tersungkur justru Argentina, negara model itu, dan mata uangnya, pemerintahannya, juga semua hal yang berkait dengannya. Di Venezuela, sebuah kudeta menggulingkan Presiden Chavez. Khalayak menaikkan kembali yang termakzulkan, namun televisi Venezuela, sang kampiun kebebasan informasi, gagal menyiarkan fakta tak menyenangkan ini.

Remuk karena aksi tipu-tipunya sendiri adalah perusahaan raksasa Enron, penyumbang paling pemurah bagi kampanye Bush dan sebagian besar senator Amerika Serikat. Dan seperti domino, saham para gergasi yang disembah-sembah ini segera bertumbangan setelahnya: WorldCom, Xerox, Vivendi, Merck—semua karena kesalahan kecil akuntasi beberapa miliar dolar. Rekanan-rekanan FIFA yang terbesar, ISL dan Kirch, juga musti mengetatkan ikat pinggang. Namun berbagai kebangkrutan memalukan itu gagal mencegah Joseph Blatter dinobatkan, dengan sebuah tanah longsor, di atas tahta sepakbola dunia. Carilah orang yang lebih buruk, maka kamu akan tampak baik: Blatter yang tak tergoyahkan itu membuat Havelange terlihat seperti ibu-ibu pengajian.

Bertie Felstead tersungkur juga, mangkat. Felstead, orang tertua di Inggris, adalah satu-satunya orang yang masih hidup dari pertandingan sepakbola luar biasa antara tentara Inggris dan tentara Jerman di Hari Natal, di tanah tak bertuan. Di bawah pengaruh jampi-jampi sebutir bola yang datang entah dari mana, medan perang untuk sementara berubah jadi lapangan pertandingan, sampai teriakan para komandan mengingatkan para tentara itu bahwa mereka diwajibkan saling membenci.

@@@

Tigapuluh dua tim bertandang ke Jepang dan Korea untuk melangsungkan Piala Dunia ketujuhbelas di stadion baru yang gemerlap di duapuluh kota. Piala Dunia pertama di milenium baru adalah Piala Dunia pertama yang dimainkan di Asia. Anak-anak Pakistan menjahit bola canggih untuk Adidas yang mulai bergulir di malam pembukaan di stadion di Seoul: sebuah aula dari karet, dibebat dengan kain rajut yang berlapis busa, di dalamnya kulit polimer putih dihiasi simbol api. Sebuah bola menarik keberuntungan dari rumput.

Di sana ada dua piala dunia sepakbola. Yang satu diikuti oleh para atlet dengan darah dan daging. Yang lain, yang diselenggarakan bersamaan, menampilkan para robot. Para pemain mesin, yang diprogram oleh para insinyur perangkat lunak, mengikuti RoboCup 2002 di Fukuoka, pelabuhan Jepang di seberang lepas pantai Korea. Apa yang para saudagar, teknokrat, birokrat, dan para ideologi industri sepakbola impikan? Satu impian mereka yang terus berulang, sampai lebih seperti kenyataan, adalah membuat para pemain menirukan robot.

Tanda duka dari sebuah titimangsa: abad keduapuluh satu mengkuduskan keseragaman atas nama ketepatgunaan dan mengorbankan kebebasan di depan altar kesuksesan. “Kamu menang bukan karena kamu bagus, tapi kamu bagus karena kamu menang,” tulis Cornelius Castoriadis beberapa tahun lalu. Dia tidak merujuk pada sepakbola, namun bisa jadi begitu. Membuang waktu adalah terlarang, demikian juga dengan kekalahan. Dikebiri jadi sejenis pekerjaan, ditundukkan oleh hukum rugi-laba, sepakbola tidak akan dimainkan lebih lama lagi. Seperti semua hal, sepakbola profesional terlihat dijalankan oleh Yang Maha Kuasa—bahkan jika itu tak benar-benar ada—SMK (Serikat Musuh Keindahan).

Kepatuhan, kecepatan, kekuatan, dan tak satu pun segala keindahan itu bisa kembali: inilah jamur yang tumbuh pada globalisasi yang mengguyur permainan tersebut. Sepakbola jadi produksi massal, dan ia jadi lebih dingin dari peti es dan tak punya perasaan seperti gilingan daging. Itulah sepakbola untuk para robot. Barang membosankan itu konon berarti kemajuan, namun sejarawan Arnold Toynbee telah cukup melihat hal tersebut saat ia menulis, “Peradaban yang runtuh selalu saja ditandai oleh tendensi menuju standarisasi dan penyeragaman.”

@@@

Kembali ke Piala Dunia darah dan daging. Pada pertandingan pembukaan, lebih dari seperempat manusia menyaksikan kejutan pertama di televisi. Prancis, juara pada penyelenggaraan sebelumnya, dihajar Senegal, salah satu negara bekas jajahannya dan tampil untuk pertama kalinya di Piala Dunia. Bertentangan dengan semua ramalan, Prancis tersingkir di putaran pertama tanpa menceploskan satu gol pun. Argentina, favorit besar lainnya, juga terjungkal di bursa awal. Dan kemudian Italia dan Spanyol yang dikirim pulang setelah babak belur di tangan wasit. Semua tim perkasa itu tewas di hadapan dua saudara kembar: pentingnya kemenangan dan ngerinya kekalahan. Bintang-bintang terbesar sepakbola dunia datang ke Piala Dunia dengan kewalahan menanggung beban berat ketenaran dan tanggungjawab, dan kepayahan akibat kerja habis-habisan yang dituntut oleh klub-klub tempat mereka bermain.

Dengan tanpa memiliki sejarah Piala Dunia, tanpa bintang, tanpa jaminan untuk menang atau rasa was-was kalah, Senegal bermain dengan keikhlasan dan jadi ilham bagi segenap kejuaraan. Cina, Ekuador, dan Slovenia juga bermain dengan semangat menyala, namun tersingkir di putaran pertama. Senegal sampai ke perempat final tanpa terkalahkan, namun mereka tak bisa melaju. Meski demikian, gerak-tari mereka yang abadi membawa pulang kebenaran sederhana yang cenderung bertolak belakang dengan para ilmuwan sepakbola: sepakbola adalah permainan, dan siapa yang benar-benar memainkannya akan merasa bahagia dan membuat kita juga bahagia. Gol yang paling saya suka di sepanjang turnamen adalah gol yang diciptakan Senegal, melalui umpan tumit Thiaw, lalu dituntaskan tembakan jitu Camara.  Pemain Senegal lainnya, Diouf, selalu menggiring bola rata-rata delapan kali tiap pertandingan, di sebuah kejuaraan yang mana memanjakan mata tampaknya dilarang.

Kejutan lain adalah Turki. Tak seorang pun mempercainya. Mereka absen dari Piala Dunia selama setengah abad. Di pertandingan pertamanya, melawan Brazil, kubu Turki secara semena-mena dicurangi wasit. Semangat dan kualitas permainan mereka membuat para pengamat yang meremehkan mereka bungkam.

Selebihnya hampir-hampir adalah sebentuk rasa jemu yang berkepanjangan. Untungnya, di pertandingan final Brazil mengingat bahwa mereka adalah Brazil. Tim yang akhirnya berangkat dan bermain layaknya Brazil, keluar dari kerangkeng kesemenjanaan yang oleh pelatih mereka, Scolari, dipakai untuk mengurung mereka. Lalu, empat serangkai R mereka, yakni Rivaldo, Ronaldo, Ronaldinho Gaucho, dan Roberto Carlos, moncer. Dan Brazil, pada akhirnya, kembali berpesta.

@@@

Dan mereka adalah kampiun. Persis sebelum final, seratus tujuhpuluh juta rakyat Brazil tertusuk lencana para serdadu Jerman, dan Jerman menyerah 2-0. Itu adalah kemenangan ketujuh dalam tujuh pertandingan. Kedua negara telah menjadi finalis berkali-kali, namun tak sekali pun mereka sebelumnya saling berhadapan di Piala Dunia. Turki merebut tempat ketiga, sementara Korea Selatan keempat. Jika diterjemahkan dalam bahasa marketing, Nike merebut tempat pertama dan keempat, sementara Adidas berada di tempat kedua dan ketiga.

Ronaldo dari Brazil, yang pulih dari cedera panjang, memimpin daftar pencetak gol terbanyak, diikuti oleh kompatriotnya Rivaldo dengan lima gol, kemudian Tomason dari Denmark dan Vieri dari Italia dengan empat gol. Sukur dari Turki mencetak gol tercepat di sejarah Piala Dunia, sebelas menit setelah pertandingan dimulai.


Untuk pertama kalinya, seorang penjaga gawang, Oliver Khan dari Jerman, terpilih sebagai pemain terbaik di turnamen. Karena kengerian yang diruapkannya, para pemain lawan berpikir bahwa ia adalah anak dari Khan yang lain, Jengis. Tapi tentu saja bukan.


*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003. 

Related Posts: