Big Sam dan Wajah Sepakbola Industri

Oleh Darmanto Simaepa

Asosiasi sepakbola Inggris  (FA) memecat Sam Allardyce (Big Sam), terutama karena ia menerima tawaran untuk mendapat penghasilan tambahan dengan menjadi konsultan sepakbola di Asia. Lewat teknik menjebak wartawan The Daily Telegraph, ia juga kepergok bicara tentang cara mengakali aturan yang melarang kepemilikan pemain oleh pihak ketiga.

Bagi FA dan publik Inggris, ucapan dan komentar Big Sam melampaui batas. Ia dianggap serakah dan menyalahi moralitas sebagai pelatih tim nasional, yang merupakan jabatan publik. Dengan kontrak sekitar 130-an miliar selama 2 tahun (2016-2018), ia masih ingin menambah penghasilan tanpa sepengetahuan pihak yang resmi mempekerjakanya.

Ia juga dianggap menampar muka FA karena komentarnya yang secara tidak langsung mendukung aturan kepemilikan pemain oleh perusahaan/investor, suatu praktik perbudakan terselubung dalam sepakbola. Aturan ini resmi di larang di Inggris sejak tahun 2007, terutama setelah melibatkan transfer mencolok Carlos Tevez dan Javier Mascherano dari Corinthians ke West Ham dengan perantara Kia Joorabchian, investor yang memiliki hak registrasi dan 30% kepemilikan kedua pemain tersebut.

(Publik Inggris sendiri telah lama memendam prasangka bahwa Big Sam juga bermain dengan aturan ini ketika ia membeli tiga pemain dengan pihak ketiga lewat perantara agen yang tak lain adalah anaknya sendiri)

Meskipun pemecatan ini menggambarkan komitmen organisasi sepakbola terhadap keserakahan, suap, atau perdagangan manusia, sepakbola tidak serta merta menjadi bersih dan suci. Seperti halnya bank, universitas, dan institusi global lain yang tumbuh lewat jual-beli barang dan jasa, ketamakan dan korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan dari industri sepakbola. Dan industri seperti ini, hidup dan berkembang, tiada lain, lewat eksploitasi tenaga manusia.

***

Mari kita meninggalkan romantisme bahwa sepakbola modern adalah olahraga rakyat terindah yang dimainkan dengan suka cita dan tanpa dosa. Dari kelahirannya, industri sepakbola melibatkan praktik perdagangan manusia. Meskipun pada awalnya dimainkan para buruh Inggris di waktu senggang sehabis revolusi industri, tangan-tangan tak terlihat kelas berkuasa segera memperdagangkannya, anak-anak kolonial menyebarluaskannya, dan para politisi memanfaatkannya.

Kini sepakbola telah menjadi industri global yang melibatkan jutaan tenaga kerja, jual-beli angka statistik, atau penyediaan jasa potong rumput, konsultan nutrisi hingga ahli psikologi. Uang yang berputar di dalamnya luar biasa besarnya, hampir setara dengan perdagangan senjata dan jauh meninggalkan peredaran uang narkoba.

Memang ada era di mana sepakbola bisa membangkitkan nasionalisme, menghentikan sesaat konflik berdarah, dan menjadi rute bagi penduduk terjajah dan kaum pinggiran untuk melawan. Namun, hal itu mungkin sudah berlalu.

Industri sepakbola modern mencerminkan kehidupan dunia. Struktur industri ini terdiri dari 99% orang biasa (yang hampir semuanya konsumen) dan 1% superkaya yang menentukan hitam-putihnya bagaimana sepakbola dimainkan. 99% orang ini jatuh cinta dan bersedia melakukan apa saja, dan menyerahkan hidupnya untuk bisa memainkan atau menikmati permainan indah ini. 

Sementara 1% ini (pemilik klub, penjual sepatu, kaos dan bola, pemilik bandar judi, penjual minuman kalengan, atau pemilik media yang menguasai hak siar televisi) tidak pernah benar-benar jatuh cinta dengan sepakbola tapi bisa melanggengkan kuasa dan modalnya dari sepakbola. Dunia antara 99% dan 1% ini ditempati birokrat sepakbola, akuntan, dan manajer yang dibayari oleh si minoritas.

Struktur ini paralel dengan tatanan ekonomi (keuangan) dunia. Sebagian besar uang di bank dan penabung adalah rakyat kebanyakan (97.8% untuk kasus di Indonesia). Uang itu, oleh segelintir orang superkaya (0,7%) pemilik bank, perusahaan yang mengajukan kredit dan hutang, dan para investor, digunakan untuk melipatgandakan kekayaan dan, ironisnya, lewat penghisapan keringat jutaan orang lain yang menjadi pekerja.

Dengan struktur tersebut industri sepakbola mencerminkan dunia kita: segala sesuatunya dilakukan untuk melipatgandakan laba dengan cara mengekploitasi para pekerja yang terlibat dalam hubungan langsung dan tak langsung dengan industri sepakbola.

***

Tanpa tenaga jutaan tenaga rakyat jelata, industri sepakbola tidak akan berjalan. Lihatlah! Hampir semua pemain hebat yang membentuk olahraga ini berasal dari keluarga-keluarga kalangan bawah. Orang tua Maradona, Garincha, Messi, Zidane, Widodo Cahyo, Evan Dimas adalah buruh pabrik, petani miskin, imigran gelap, satpam, kuli bangunan, atau pekerja rel kereta api. Pemain-pemain besar sepakbola tidak pernah lahir di rumah mewah dan berlatih di taman-taman istana megah.

Dari mimpi jutaan anak-anak orang miskin menjadi pesepakbola bayaran dan mengubah nasib keluarganya, industri sepakbola terus berkembang. Dari jutaan orang yang percaya klub dan stadion sepakbola adalah ruang publik untuk menautkan kebersamaanlah industri ini terus bernapas.

Di dasar struktur ekonomi sepakbola global yang kokoh adalah milyaran fan sepakbola biasa yang tiap hari menghisap rokok ketengan, minum kopi sachetan, langganan pulsa eceran, menenggak bir murahan atau minuman kalengan, beli hp yang bisa memperlihatkan hasil pertandingan atau ikut judi online kecil-kecilan. Mereka adalah kalangan pekerja dan petani yang butuh hiburan agar tidak semakin terasing dengan pekerjaan.

Tanpa keterpakasaan pekerja migran yang menyabung nyawa memasang besi dan paralon di stadion-stadion megah, pemotong rumput yang bangun pagi-pagi di musim dingin untuk meratakan lapangan, atau tukang cuci sepatu dan pakaian pemain, kita sulit membayangkan sepakbola modern bisa dimainkan dengan hebat di layart televisi. Bahkan tanpa pemain miskin yang gagal bersinar dan berharap menjadi manajer sukses, sepakbola tidak akan menjadi industri yang merangsang kreativitas dan inovasi.

Dan di sinilah ironi terbesar sepakbola. Meskipun sangat tergantung dari orang-orang biasa, industri sepakbola memperlakukan tenaga mereka dengan buruk. Meskipun badan sepakbola berusaha memerangi perbudakan dan jenis praktik lain yang menempatkan para pemain serupa daging kiloan yang dimiliki oleh majikan dan diperjual-belikan secara bebas dan menjadikan pemain bintang setenar bintang Bollywood dan sekaya bintang Hollywood, industri ini memeras tenaga pemain dengan brutal.

Sama seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan industri ekstraktif yang memerlukan pekerjaan fisik, sepakbola membutuhkan tubuh pemain. Namun, di banding industri ekstraktif yang membutuhkan pegawai hingga nyaris usia pensiun, industri sepakbola butuh fisik pemain rata-rata paling lama 10-15 tahun.

Meskipun memberi bayaran sangat besar, industri sepakbola memberi waktu pendek bagi pemain untuk mengeksploitasi bakat dan fisiknya. Dengan masa karir pendek dan persaingan keras, setiap pemain harus mengoptimalkan nilai yang melekat di tubuhnya. Jika tidak bisa optimal dan beradaptasi dengan kerasnya persaingan, pemain ditawarkan kanan-kiri sebagai barang pinjaman. Ketika kaki mulai renta, rentan cedera dan otot mengendor, mereka mudah menjadi barang rongsokan yang dijual rombengan.

Tak perlu heran jika kita semakin sering melihat pemain pindah klub tiap tahun demi bayaran lebih tinggi. Loyalitas adalah barang mewah. Mereka harus pintar mengumpulkan kekayaan dalam waktu singkat. Mereka juga butuh banyak uang  untuk menghidupi anak-cucu setelah gantung sepatu.

Industri ini juga memaksa anak-anak berlatih diluar kemampuan ototnya dan perkembangan usianya. Pemain-pemain berbakat juga harus rela meninggalkan orang tuanya sedini mungkin, menjauhi kesenangan, dan hidup seperti rahib di biara untuk sukses. Persaingan yang keras tidak memberi ruang bagi sedikit sikap santai dan berpuas diri. Dari usia muda, mereka telah dibebani dengan tekanan dan tuntutan.

Lantas apa kaitannya dengan Big Sam dan keserakahan?

***

Bagi pelatih, posisi mereka di industri sepakbola lebih buruk lagi dari pemain. Karir mereka jauh lebih pendek dan bayaran mereka jauh lebih sedikit dari pemain. Mereka hidup dalam bisnis yang mendewakan hasil dan menuntut hasil cepat. Seringkali, mereka dituntut untuk memberi prestasi dalam waktu yang singkat dan dalam tekanan luar biasa. Ibaratnya, mereka dipaksa membuat sop enak dengan bahan-bahan yang hanya cukup untuk membuat mi rebus instan. Tiap hasil buruk datang, kepala merekalah yang dicemplungkan ke dalam kuali. Sebagai kambing hitam.

Oleh karena itu pelatih harus pintar mengeksploitasi apa yang mereka punyai. Dalam waktu singkat, mereka harus mengoptimalkan banyak pihak yang berpotensi memberi ekstra pendapatan. Kalau tidak, mereka bisa saja menghabiskan masa tua dengan teman alkohol dan depresi. Jaminan hidup diperlukan. Agen, perusahaan, bandar judi adalah orang-orang yang sangat menentukan kehidupan. Kerja administrasi mereka dalam urusan transfer pemain atau kesepakatan kontrak iklan memberi ruang yang besar untuk mengakali aturan resmi yang dikeluarkan badan sepakbola.

Di tengah kompetisi yang berat dan resiko pekerjaan tinggi, mereka menemukan siasat untuk mengamankan pekerjaan dan kehidupan. Banyak cerita pelatih mendapat komisi tambahan dengan mengakali aturan transfer pemain. Banyak cerita mereka mendapat uang terima kasih dari agen pemain.

Tidak heran jika mereka tidak sepenuhnya mendukung larangan kepemilikan pemain oleh pihak ketiga. (Praktik ini dilarang karena membuat si pemain seperti budak belian—misalnya, ada pemain yang punya kontrak bahwa kakinya dimiliki oleh si investor A, sementara lengan punya perusahaan B). Pelatih bisa kongkalikong dengan investor atau pemilik sebagian hak kepemilikan pemain untuk mendapat uang ekstra. Terlebih lagi jika sanak saudara dan teman dekat terlibat dala bisnis ini. Semua aturan bisa diakali.

Tidak terbatas pada transfer pemain, ekspansi industri sepakbola adalah lahan subur yang memberi peluang menambah  penghasilan. Setiap hari, klub-klub baru dibentuk. Akademi terus didirikan. Situs-situs perjudian tumbuh semarak. Buku-buku biografi kontroversial ditunggu-tunggu.

Seperti halnya industri bala bantuan atau ekstraktif, industri sepakbola butuh tenaga kerja yang lebih fleksibel untuk berkembang pesat. Konsultan, penasihat, atau motivator paruh waktu selalu dibutuhkan. Dan pelatih, terutama pelatih nasional, bisa mengisi celah ini. 

Kita tidak pernah tahu tiba-tiba kita punya Wim Rijsbergen sebagai pelatih nasional setelah kunjungan singkatnya sebagai wisatawan. Berapa kali perseteruan siapa pelatih PSSI adalah asap dari api industri sepakbola yang tidak pernah kita tahu secara pasti.

Pasar baru di negara-negara berkembang membutuhkan mereka. Di Indonesia, PSSI dan sponsor tiap tahun mengundang pemain-pemain pensiunan dan pelatih luar negeri untuk memberi ceramah dan latihan. Tim-tim legenda juga diundang untuk pertunjukan eksebisi. Pemain-pemain punya nama di media di datangkan untuk menghangatkan kompetisi. Mereka dibutuhkan oleh sepakbola industri seperti industri minyak atau bala bantuan membutuhkan jasa konsultan.

Big Sam adalah wajah dari industri sepakbola modern yang semakin eksploitatif, baik terhadap pekerja di dalamnya maupun konsumennya. Tanpa terasa, sepakbola dalam takaran tertentu telah menjadi candu bagi massa. Stadion disterilisasi. Tayangan televisi disterilisasi. Pemain yang mengekspresikan pandangan politik dilarang. Klub yang membiarkan pendukungnya yang mengibarkan bendera Palestina didenda. Ia telah digunakan untuk menjinakkan pemain dan penonton.

Di tengah situasi ini, apakah pantas Big Sam kehilangan pekerjaan dan dinistakan? Ya, tidak diragukan lagi. Ia bergaji 60 miliar rupiah lebih per tahun. Ketika ia masih menginginkan uang tambahan secara rahasia, FA punya alasan untuk memecatnya. Publik yang membayar pajak untuk gajinya juga pantas mengutuknya. 

Namun, sekali lagi, ini tidak lantas menjadikan sepakbola lebih bersih.

Industri dan pasar telah mencemari olah raga yang kita cintai ini, membuatnya sangat eksploitatif dan korup. Ia membuat Big sam dan banyak orang yang terlibat di dalamnya berlumur kotoran. Ia membuat kita, penonton eceran di belakang gawang dan sofa butut di depan televisi, hanya menjadi atom-atom tak bernama yang siap dieksploitasi, bahkan ketika kita sedang mentertawai nasib Big Sam yang berusaha menambah penghasilan. 


Related Posts: