Euro 2016: Narasi Tak Selesai

Oleh Mahfud Ikhwan

“...This kind of intimacy with the ball is a mixed blessing... a poison remedy. In part this is because football is an unpredictable game. All the statistical evidence reinforces the observation that on any given day the worst team can win, that favourites are more vulnerable than in other sport, that the place for the random, the chaotic and the unexpected is surprisingly large in football...”  -- David Goldblatt  


1/

Ketika Eder mencetak gol di pengujung babak kedua perpanjangan waktu final Euro 2016, gol yang menjadi pembeda mana tim yang menang dan mana yang pecundang, Candra (14 tahun), dengan sedikit kaget berdiri dari duduknya. Tampak masih tidak percaya, ia menuding ke tembok, ke mana sorot proyektor diarahkan. “Lho, gol. Gol. Hore, Gol!” Ia bertepuk tangan dengan sedikit ragu, dan merayakan gol itu sedikit terlambat. Dan sendirian. Teman-teman sebayanya, yang kebanyakan mengidolakan Ronaldo dan mendukung Portugal, bergelimpangan di sekitarnya dihajar kantuk. Ya, bagaimana pun, itu jam setengah empat pagi. Orang-orang dewasa, yang kebanyakan bergerombol agak jauh dari layar, bersandar di tembok aula sebuah sekolah TK itu, tak ada yang ikut merayakan. Mereka ada di pihak yang kalah. Sikap sok rasional, sok analitik, yang mungkin saja mereka dapatkan dari ocehan para pengamat di televisi atau penulis-penulis Jawa Pos, membuat mereka mendukung tim tuan rumah, “yang bermain fantastis”, sang Ayam Jantan Prancis.

Beberapa dari mereka tak mampu menepikan rasa kecewanya bahkan sampai sore di hari berikutnya—ada yang bahkan menyimpannya sampai berhari-hari kemudian. Dalam sikap yang masih uring-uringan itulah salah satu dari mereka bercerita tentang perayaan Candra yang seorang diri pada dini hari itu kepada saya. Ya, saya memang tak menyaksikan secara langsung perayaan Candra tersebut. Sayang sekali—hal yang paling saya sesali di malam final itu. Padahal, saya ada di tempat yang sama sejak sore. Tapi, rasa kantuk dan bosan membuat saya memutuskan untuk pulang dari tempat nonton bareng itu 15 menit sebelum babak kedua waktu normal selesai. Tapi adegan terakhir yang bisa saya ingat dari pertandingan itu hanya saat masuknya Eder menggantikan Renato Sanchez. Saya tepar begitu sampai rumah.

Kalau diingat-ingat, itu bukan saja satu-satunya pertandingan di Euro 2016 yang tidak saya tonton (selain dua-tiga partai penentuan di babak grup yang memang disiarkan serentak), tapi juga final Euro pertama sejak saya menonton sepakbola yang tak sanggup saya selesaikan karena mengantuk. Dan ini tentu saja adalah pertandingan yang saya saksikan dengan cara nonton bareng pertama yang tak saya tuntaskan. Konyol sekali, bukan?


2/

Memang sangat konyol jika mengingat betapa saya mempersiapkan diri untuk turnamen ini. Sejak jauh-jauh hari saya sangat antusias menyambut Euro kali ini, yang kebetulan berbarengan dengan Copa Amerika edisi Centenario. Ini tahun sepakbola memang. Yang terutama, ini adalah tahun ke-20 saya sejak pertama menonton Euro—nanti akan coba saya ceritakan. Ketika seorang teman dari Jawa Pos kemudian menggubungi saya untuk ikut nimbrung nulis di kolom sportainment mereka, saya tahu ini akan jadi Euro yang tak biasa bagi saya.

(Terdengar norak dan berlebihan? Haha... biar saja. Sepakbola memang tak pernah membiarkan saya jadi terlalu kalem seperti lazimnya.)

Tulisan saya muncul sekitar tiga minggu sebelum turnamen berlangsung—itu adalah tulisan sepakbola pertama saya di Jawa Pos, juga tulisan pertama sejak saya berhasil menerbitkan dua cerpen pada 2003 silam di media itu. Beberapa teman di Jogja membacanya, kemudian membaca tulisan yang kedua, dan itu segera membuat mereka tertulari antusiasme saya. Bayangkanlah sebuah bulan puasa yang penuh dengan sepakbola, demikian saya menggoda. Tidak semua teman saya ketahui menyukai sepakbola. Tapi toh mereka ikut bersemangat juga. Seorang teman yang sehari-harinya hanya ngomong soal Islam dan Jawa dan hubungan antara keduanya bahkan menegur saya karena tak memasang jadwal pertandingan sebulan, padahal waktu turnamen sudah semakin dekat. Properti kantor, sebuah proyektor tua, yang sehari-harinya kami salahgunakan untuk menonton film-film India, untuk sebulan kedepan telah siap kami salahgunakan untuk sarana olahraga.   

Dan itulah yang memang terjadi nyaris sebulan ke depan: setiap malam, dari setengah delapan sore sampai jam lima pagi, kadang sampai jam 11 siang jika kebetulan dilanjut dengan dua pertandingan Copa Amerika. Ruang tengah di rumah-kantor kami di belakang Bandara Adi Sucipto Jogja malih fungsi jadi serupa tribun, lengkap dengan serakan sampah, kopi yang tumpah, teh yang tak habis terminum, minuman panas yang mendingin, minuman dingin yang butuh kembali dipanaskan, dan tentu saja sumpah-serapah. (Ada juga alkohol, tapi si empunya bersikeras tetap menyimpannya di kulkas. “Puasa,” katanya, “nunggu nanti setelah Lebaran.”)

Beberapa kali gedoran dari tetangga kontrakan—sebagai tanda rasa terganggu—menyelingi acara nonton bareng kami. Tapi tak ada yang lebih menarik untuk dikenang dari malam-malam nonton bareng itu melebihi malam-malam waktu seorang tamu dari Prancis datang menginap. Ia teman dari teman, seorang aktivis agraria yang kekiri-kirian, yang banyak bercerita tentang Amerika Latin, terutama soal cewek-ceweknya. Ya, dia cowok. Sejak sebelum kedatangannya, saya sudah khawatir kalau dia akan jadi selingan tak menyenangkan bagi kegilaan sepakbola yang tengah saya bangun di rumah itu. Ketika ia bilang bahwa ia suka bola, saya sedikit lega. Dan itu dibuktikannya dengan ikut menonton satu-dua pertandingan. Juga bertanya hasil-hasil pertandingan yang dilewatkannya karena harus keluar untuk keperluan kunjungannya. Juga obrolan-obrolan pendek ala-ala Tarzan-Jane soal kondisi ekonomi-politik sepakbola Prancis. Meski demikian, seperti yang saya perkirakan sebelumnya, ia dan saya memang tidak berada di level yang sama soal apa yang disebut dengan “suka bola”.

Pertama, ia tak kenal nama Luca Modric. Kedua, ia tampaknya kesulitan memahami bagaimana cara orang Asia, khususnya orang Indonesia, menyukai sepakbola. Ia terlihat berusaha keras untuk bersosialisasi, dan saya menghargai itu. Selama di Indonesia, ia ikut puasa. Ia ikut berbuka, dan memaksa diri ikut bangun makan sahur, meski pada satu Jumat siang yang panas, ia berselonjor di beranda rumah dengan hanya pakai celana pendek saat orang-orang berbondong berangkat Jumatan. Tapi, masalah itu muncul saat tengah malam.

Malam itu, ia ditinggal teman saya yang jadi temannya, sehingga dia harus bersosialisasi dengan teman-teman saya yang baru dilihatnya. Dua orang di antara teman saya pernah mengecap Program Bahasa Inggris Sanata Dharma, tapi kemampuan komunikasinya tampaknya tak banyak berbeda dengan saya. Jadi, tanpa teman saya yang jadi temannya, si Prancis tetap jauh lebih pendiam dari biasanya. Meski begitu, ia cukup berhasil jadi bagian dari kerumunan keriuhan kami pada pertandingan pertama. Ia antusias. Kata seru “O la la!” berkali-kali saya dengar dari mulutnya. Ia minum teh yang kami buat, saya nyemil snack yang dibelikannya untuk kami. Pada pertandingan kedua, yang dimulai pukul sebelas, ia undur diri ke dalam kamarnya, kamar yang persis ada di belakang tembok tempat proyektor menyorotkkan siaran sepakbola. Saya lupa apa pertandingan malam itu, yang jelas jauh lebih seru dibanding pertandingan pertama. Dan itu membuat suasana menonton jadi jauh lebih hidup. Singkatnya: lebih ribut. Saya sedikit menyimpan khawatir, tapi menetralisirnya dengan berpikir bahwa ia semestinya tahu bahwa orang Prancis main bola saat orang Indonesia tidur dan orang Indonesia nonton bola pada jam yang sama dengan orang Prancis tidur. Tapi ia ternyata tidak tahu, atau mungkin belum tahu. Sekitar setengah satu tengah malam, ia keluar kamar dengan muka merah dan mata yang lebih merah. Ia tampaknya marah, tapi mencoba dengan sopan memohon: “be quiet, please...” Kami kontan saja jadi lebih kalem, sebagaimana umumnya tuan rumah yang mendongkol kepada tamunya.

Dalam beberapa kesempatan setelahnya ia memberi nasihat soal tidak sehatnya begadang; ia bahkan menunjuk perut saya. Saya senyam-senyum saja, yas-yes saja. Tapi mungkin juga telah berpikir bahwa ia agak kebablasan, malam berikutnya, sejak sangat sore ia mendekati meja saya, minta maaf karena membuat nonton saya tidak nyaman, sembari kembali memohon-mohon agar saya nonton bolanya lebih kalem. “Saya mau good sleep,” katanya, dengan senyum memelas. Saya berjanji, karena saya tahu esoknya dia akan melakukan perjalanan jauh. Sedikit kebetulan, malam itu saya hanya punya sedikit kawan menonton. Itu malam yang tenang. Dan teman Prancis teman saya itu pun bisa sedikit pulas tidurnya. Ketika paginya ia pamit pergi dari Jogja menuju tujuan berikut, saya mengantarnya dengan ucapan selamat tinggal yang sudah saya hapalkan. Lengkap dengan senyum—senyum kemerdekaan.   

Pada pertandingan antara Kroasia-Spanyol yang seru itu, kami kemudian bisa ribut dengan tenang. Demikian juga pertandingan Hungaria-Portugal—pertandingan terbaik Ronaldo sepanjang turnamen. Dan saya sulit membayangkan betapa berat beban pemberadaban yang ditanggung teman Prancis itu jika harus menyaksikan betapa biadabnya kami di tengah malam saat merayakan tendangan voli Pelle membunuh—tampaknya untuk selamanya—tiki-taka-nya Spanyol.     

Dan saya pikir dia akan kesulitan menerima penjelasan saya bahwa kemenangan Italia atas Spanyol dan kemenangan Islandia atas Inggris mengembalikan energi puasa saya, setelah sehari sebelumnya saya lesu, lelah, dan marah usai menyaksikan betapa buruknya Argentina di final Copa Amerika, yang ditambah reaksi Messi setelahnya yang bertolak belakang dengan seramnya tato di bahu dan kakinya dan lebat brewoknya. “Itulah yang di sini kami sebut ‘suka bola’, Monsieur...”

Dengan mood yang sedang baik, juga karena jeda jelang perempat final, saya menganggap itu waktu yang tepat untuk ikut berdesak-desakan di bus Jogja-Surabaya. Berangkat selepas sahur, saya mudik dengan seringai mengejek untuk para pendukung Inggris masih tersisa di bibir. Saya bahagia untuk kesedihan mereka. Saking senangnya, saya lupa memasukkan cas laptop, cas hp, dan modem ke dalam tas. Padahal, saya masih ngutang dua tulisan untuk Jawa Pos.   


3/   

Kehilangan layar seukuran almari lawas, juga umpatan-umpatan brutal dari orang-orang yang baru ikut-ikutan nonton bola, saya kemudian melewatkan empat pertandingan perempat final dan dua semifinal dengan televisi 21 inci murahan kami di rumah bersama rekan nonton lama saya: bapak. Ia orangtua yang ribut saat nonton bola, tak banyak berubah seperti saat ia masih muda. Meski demikian, tetap saja saya tidak mungkin bisa nonton seperti biasanya. Apalagi jika dalam satu pertandingan ternyata kami berpihak pada tim yang berbeda. Sementara itu, tidak punya peralatan untuk menulis, saya ternyata masih diharuskan untuk memikirkan tiap pertandingan dengan lebih serius. Itu akan jadi modal yang baik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teman yang kadang terlalu serius—setelah beberapa dari mereka tahu saya nulis di koran—soal pertandingan-pertandingan semalam, entah saat di warung kopi atau saat jadi panitia zakat fitrah. Pada saat-saat seperti itulah tercetus untuk bikin acara nonton bareng pertandingan final.

Sudah cukup lama, acara nonton bareng telah jadi kebiasaan di desa kami. (Setidaknya, saya ingat untuk pertamakalinya ikut nonton bareng dengan menutup jalan desa saat final Liga Champions 2011, dan itu tampaknya bukan acara nonton bareng pertama di desa.) Kadang untuk sekadar nonton bareng saja, sekadar ramai-ramai dan senang-senang saja, kadang juga untuk menciptakan momentum agar kami bisa kumpul-kumpul dan mengobrolkan hal yang agak urgen, semisal soal-soal kontemporer desa, soal-soal pemuda, bahkan soal-soal agama. Toh tidak sulit cari proyektor. Beberapa institusi pendidikan di desa kami, juga beberapa individu, punya proyektor dan bisa dipinjam.

Usai Lebaran, saya diberitahu kalau nonton bareng final Euro akan sekaligus dipakai untuk mengumpulkan para pelajar dan remaja yang di hari-hari biasa kebanyakan ada di luar desa, sebagain besar karena belajar di pesantren. Organisasi remaja di masjid kami sudah lama mati suri, dan teman-teman sebaya saya merasa ikut bertanggung jawab untuk berinisiatif mengorganisirnya kembali. Sedikit di luar bayangan nonton bareng final yang gayeng, tapi saya kira itu baik.

Sempat bersilang pendapat soal di mana sebaiknya kami mengadakan nonton bareng—ada yang mengusulkan di depan masjid (agar ini tampak sebagai kegiatan yang bermanfaat), ada yang bahkan mengusulkan di depan rumah saya (agar lingkungan rumah saya yang sepi bisa sedikit ramai)—kami bersepakat menyelenggarakannya di aula sebuah taman kanak-kanak. TK itu masih ada di lingkungan masjid, sehingga akan memberi kesan bahwa itu bukan sekadar acara hura-hura. Meski demikian, lokasinya yang tidak langsung bersebelahan dengan masjid akan menghindarkan ketidakenakan menonton seandainya pertandingan memanjang sampai menerabas waktu Subuh. Cocok.

Saya menyatakan diri siap membantu. Berpengalaman dengan proyektor, saya siap jadi operator. Saya juga siapkan senjata andalan saya: hardisk eksternal beserta film-film yang mengisinya. (Ya, brengsek benar, di saat cas dan modem ketinggalan, hardisk malah tak pernah alpa ikut pulang.)


4/

Hal terakhir yang ingin saya lakukan, atau yang paling tak saya sukai,  saat dan sesudah nonton bola adalah menganalisis taktik. Karena itu pula, saya tak terlalu suka membaca analisis taktik dan utak-atik statistik. Beberapa penulis, lebih sedikit lagi komentator, memang membantu kita memahami pertandingan lebih baik. Tapi sisanya adalah omongkosong—sebuah kerangka yang telah pakem, yang bisa diisi nama-nama pemain yang berbeda, tim yang berbeda, pelatih yang berbeda, tergantung hasil pertandingan.

Dan hal paling sia-sia dalam industri game paling tua ini adalah analisis taktik sebelum pertandingan. Semua preview adalah gombal. Sejak sangat awal, saya tak menyukai tabloid olahraga edisi Jumat karena isinya cuma tebakan yang dipanjang-panjangkan. Para penjudi mungkin membutuhkannya, tapi salafus-salih sepakbola sebaiknya mengabaikannya. Menebaklah jika ingin menebak. Begitu saja. Kalau benar, asyik. Kalau salah, itulah sepakbola—dan sepakbola selalu asyik.

Saya berhasil menebak skor pertandingan Kroasia-Spanyol dengan tepat nyaris ke menit-menit golnya. Dan meski sakit, saya juga sama sekali tak terkejut ketika Kroasia tumbang oleh gol di menit terakhir perpanjangan waktu oleh Portugal. Saya tak punya statistik, dan tak lagi menyukainya kecuali ia ada dalam kalimat-kalimat Sid Lowe. Saya tak baca satu pun preview. Hanya perasaan dan pengalaman menonton ribuan pertandingan yang saya pakai. (Mungkin seperti petani yang menghapal pranata mangsa setelah bergenerasi-generasi menanam padi.) Dan—dalam kondisi tak punya mesin ketik dan tak memiliki akses internet—itulah yang saya pakai ketika membuat tulisan jelang final yang dibaca banyak orang cenderung mengunggulkan Portugal.

Tulisan itu saya garap tengah malam, sekitar satu jam sebelum pertandingan semifinal Prancis-Jerman. Tapi, sejak pagi, apa yang saya tulis itulah yang saya obrolkan dengan banyak teman di sela-sela berhari raya. Kekalahan Wales di semifinal membuat banyak orang marah, dan saya membuat mereka jadi lebih dongkol karena bilang bahwa mereka memang pantas kalah. Di sisi lain, secara bersamaan, itu adalah pertandingan terbaik Portugal. Dan pola itulah yang membawa saya bersimpulan: Portugal justru tengah ada di puncak penampilan saat mengkapling tempat di partai puncak. Dan itu mengkhawatirkan. Dan meskipun Prancis bisa mengalahkan Jerman dengan skor yang sama dengan skor Portugal saat mengalahkan Wales, namun dengan permainan terburuk mereka sepanjang turnamen (minim peluang, minim penguasaan), saya jadi semakin khawatir.

Membaca dukungan yang menggebu dan terus terang terhadap Prancis dalam tulisan seorang teman di blog ini, yang saya tahu mewakili sebagian besar penggemar sepakbola (sebagaimana yang diklaimnya), saya tahu tulisan saya yang muncul di koran beberapa jam sebelum pertandingan final itu menentang arus. Dan dengan tebakan yang melawan harapan banyak orang itulah saya datang ke tempat nonton bareng.

Sekolah TK itu adalah bangunan terbaru di lingkungan masjid kami—secara lembaga, saya adalah alumninya, tapi dulu kami belum memiliki tempat yang tetap, sehingga sekolah kami berpindah-pindah. Fakta bahwa saya tak banyak tahu kapan gedung dua lantai itu dibangun jelas menunjukkan bahwa bangunan ini sangat baru. Namun yang benar-benar sulit saya kenali adalah para remaja yang sudah banyak berkumpul di tempat itu. Cowok-cewek, mereka ada sekitar 30-an orang. Dengan rentang usia SMP kelas 2 hingga kuliah semester 4, saya nyaris tak mengenali mereka dan mereka tampaknya juga tak mengenal saya. Sebagian besar dari mereka pasti lahir beberapa tahun setelah saya ke Jogja. Sedikit yang saya kenali adalah mereka yang masih termasuk famili. Juga mereka yang pernah saya perdaya dengan bola plastik, es teh, dan ote-ote agar mau masuk ke perpus masjid yang saya dirikan.

Sembari menyiapkan proyektor, mengatur kabel-kabel, memastikan antena bisa menangkap siaran, menggotong televisi tabung dan son-son sebesar kulkas dari lantai satu ke lantai dua, saya mencuri simak bocah-bocah itu rapat di antara mereka sendiri. Hebat juga mereka. Seorang yang tertua dari mereka, dengar-dengar sedang kuliah di Surabaya, memimpin forum dengan kemampuan komunikasi yang tak saya miliki bahkan ketika sudah mengelola sebuah terbitan mingguan di kampus. Dalam dua jam, mereka membentuk formatur, menunjuk ketua, dan ketua-ketua bidang. Orang-orang tua yang selalu mengeluh soal kenakalan anak-anak mereka seharusnya melihat anak-anak mereka rapat.

Tapi yang paling mengesankan dari mereka adalah saat mereka menyelesaikan rapatnya. Sementara beberapa dari mereka segera membuat perapian untuk membakar ikan buat dimakan ramai-ramai, saya bertanya kepada beberapa di antara mereka tentang final yang akan kami tonton bareng. Yang sedikit mengejutkan, sebagian besar dari mereka tampaknya mendukung Portugal. “Kok bisa?” tanya saya, tak terima. Alasan mereka standar, namun sangat mudah diterima: Ronaldo. Ketika saya mengkonfrontir mereka dengan analisis-analisis yang beredar bahwa Portugal adalah tim buruk, dengan permainan buruk, mereka dengan enteng menukas: “Yo uwis.” Biar saja.

Untuk membuat suasana tetap gayeng, sementara jam pertandingan masih jauh, saya berinisiatif memutar film untuk bocah-bocah itu. Ya, sudah dalam beberapa kali kesempatan saya memerankan diri menjadi apa yang di waktu kecil dulu sangat saya idamkan: jadi operator video. Saya pernah sukses membuat layar tancap kecil-kecilan dengan penonton para bocah beberapa waktu lalu dengan memutar film aksi cum perjuangan tahun 80-an, Pasukan Berani Mati. Dan saya mau mengulanginya lagi. “Ojo India yo, Cak,” mohon bocah yang komputernya saya pakai memutar film. (Haha... betapa sudah tercemarnya reputasi saya.) Mengabaikan beberapa hal, saya putuskan memutar Pendekar Tongkat Emas. Dalam beberapa menit, saya segera bisa melihat bahwa itu film silat sekaligus film Indonesia yang aneh—saya baru menontonnya malam itu. Tapi saya antusias melihat kerumunan yang membesar di depan layar.

Kerumunan menjadi lebih besar ketika di luar tiba-tiba hujan tercurah dengan deras. Anak-anak yang di luar gedung sekolah berhamburan masuk, dan mereka segera bergabung dengan antusiasme layar tancap. Siapa yang nakal dan siapa yang pendiam segera terlihat saat layar memampang adegan ciuman Reza Rahadian dan Tara Basro. Yang nakal bersorak, sementara yang pendiam tersipu. Sempat ada sedikit rasa bersalah, tapi kenangan menonton film-film Suzanna, Warkop, film-film laga brutal sekaligus erotis khas tahun 90-an, di usia yang lebih muda dibanding mereka, membuat saya jadi lebih cuek. Lagi pula, Youtube dan Facebook pasti menjadikan hal-hal begituan tak terlalu istimewa untuk anak-anak remaja sekarang. Film selesai dengan sambutan yang menyenangkan. Jika ada di lokasi, Ifa Isfansyah pasti akan ikut senang.

Yang sedikit kurang menyenang, perapian untuk membakar ikan yang ada di halaman mati total karena dihajar hujan, dan kemudian sama sekali tak bisa diperbaiki. Dari duapuluh kilo ikan salem yang disiapkan, baru sedikit yang sudah matang dan siap santap. Untung nasi dimasak di rumah. Film usai, anak-anak itu—saya juga ikut—menyerbu nasi dan ikan bakar (matang) yang jumlahnya terbatas. Saya masih kebagian ikan, tapi kehabisan sambal kecapnya, sementara beberapa bocah malah hanya makan dengan sambal kecap saja.

Kembali ke depan proyektor, waktu masih setengah satu. Artinya, masih 90-an menit lagi dari final. Tak ada yang membawa kopi, sementara warung kopi pasti sudah tutup. Perut kekenyangan dan takut mengantuk, saya meminta pertimbangan mereka untuk memutar satu film lagi. Mereka sepakat. Saya pilihkan Rango-nya Verbinsky, film animasi yang sudah beberapa kali muncul di TV. Hanya untuk pelintas waktu saja. Tak saya sangka, tak seorang pun dari mereka yang pernah menontonnya. Dan kadal pembual bersuara Jack Sparrow itu pun segera jadi pusat perhatian.

Lalu jam dua tiba. Waktu kick-off menjelang, film yang masih separo jalan harus dihentikan. Beberapa orang tampak berat, tapi tak ada pilihan: ini acara nonton bareng final. Komputer dimatikan, tv dinyalakan. Beberapa orang dewasa bergabung. Juga beberapa orang yang bahkan tidak saya kenal. Anak-anak bergerombol dengan teman sebayanya di barisan depan. Orang-orang dewasa berkerumun menyender dinding, sedikit jauh di belakang. Jika dikasih kaos, kerumunan depan akan didominasi warna merah tua, sementara warna biru akan mencolok di beris belakang. Ketika Prancis mendominasi total babak pertama, memiliki peluang bersih melalui sundulan Griezman dan sepakan Sissoko, kerumunan yang bersandar di tembok terlihat riuh. Bocah-bocah di barisan depan menyembunyikan ketegangannya di balik sarung. Pasti juga untuk menyumpal kuping mereka dari mendengar cemoohan orang-orang dewasa itu terhadap tim yang mereka bela. Ketika Ronaldo yang cedera lutut dipapah keluar lapangan, masuk lagi, dan kemudian benar-benar keluar, cemoohan itu makin membadai. “Huu... pasti dia pura-pura. Agar dia punya alasan kalau kalah!” kata seseorang dari baris belakang.

Memulai pertandingan dengan grogi, banyak salah umpan, Sanchez yang tampak tenggelam, dan puncaknya kehilangan Ronaldo di babak pertama, pasti membuat pendukung Portugal khawatir. Tapi saya malah mengkhawatirkan Prancis. Saya ketemu sedikit dejavu. Banyaknya penguasaan bola, dominasi total, juga banyaknya peluang, namun tak sanggup membuat gol sampai babak pertama usai, Prancis mengingatkan saya dengan Jerman di semifinal. Dan beberapa penyelamatan gemilang Rui Patricio—terutama atas sundulan indah Griezman—seperti tengah mengulang apa yang dilakukan Llorris empat hari sebelumnya. “Kalau gini terus, dan Prancis tak punya solusi, bisa kalah mereka,” bisik saya kepada teman di sebelah.

Di awal babak kedua, Portugal tampak memperbaiki penampilan, dan kemudian semakin membaik dari menit-menit ke menit. Segera kelihatan, Deschamp memang belum menemukan solusi untuk timnya. Tapi bukan hanya Deschamp yang tak menemukan solusi. Kami juga. Dari awal pertandingan, kami mengalami persoalan dengan daya tangkap antena atas siaran—ini sebenarnya masalah klasik kami sejak zaman TVRI masih Menjalin Persatuan dan Kesatuan. Hujan deras barusan tampaknya memperburuk keadaan. Jika gambar di layar televisi memburuk, gambar yang disorotkan proyektor menghilang. Dan seiring berjalannya pertandingan, hilangnya gambar dari tembok yang disorot semakin sering. Telah dicoba menstabilkan arah antena, tapi hanya bisa mengatasi sementara saja. Kabel visual juga coba diganti. Tapi tak banyak menolong. Dalam beberapa kesempatan, kami—ada sekitar 30-an orang—dipaksa memelototi layar televisi. Dan itu tak menyenangkan.

Lalu azan awal dari masjid di sebelah berkumandang. Pertandingan masih duapuluh menitan. Prancis tetap buntu. Portugal, walau kelihatan lebih baik dibanding di awal pertandingan, kelihatan menunggu. Dan beberapa kali gambar di proyekter amblas, dan saya sudah putusasa mengatasinya. Saya simpulkan, Fernando Santos akan menunggu Prancis bosan, seperti yang dilakukannya pada Kroasia; ini akan jadi pertandingan dengan perpanjangan waktu yang kesekian untuk Portugal. Tapi sayalah yang bosan duluan. Ngantuk pula. Saya pun memutuskan pulang.

Sampai di rumah, saya menemukan bapak menonton sendiri, dan Eder masuk lapangan. Mau apa si Santos? Saya ngadal di kursi dengan muka menatap televisi dan bantal menyangga dagu. Lalu, kejadian selanjutnya saya tak tahu.


5/

Saya lebih tua dua tahunan dari Candra ketika menonton Euro saya yang pertama. Itu Euro ’96. Saat itu saya kelas dua SMA. Listrik PLN baru menyala, kalau saya tak salah ingat. Sudah cukup banyak orang yang punya televisi. Meski demikian, saya ingat betul, hanya ada dua tempat yang memungkinkan kami bisa menonton sepakbola malam-malam: Taspan di bagian tengah arah barat, dan Kaji Puad (yang waktu itu belum haji) di ujung utara desa. Tak ada yang namanya nonton bareng, karena semua tindakan menonton sepakbola di televisi adalah nonton bareng.

Jelas tak ada ikan salem bakar dan nasi hangat, lengkap dengan sambal kecapnya. Juga biasanya tak ada sisa nasi di rumah—kalau pun ada pasti sudah basi. Kalau kelaparan, kami bisa mengunduh (dengan diam-diam tentunya) jambu air di samping rumah di pinggir jalan. Meski saya tak pernah ikut, teman saya malah sering menyatroni warung bakso Mbokwak Sudar yang sudah tutup dan gelap, dan mengaduk-aduk panci kuahnya. Syukur kalau masih ada pentol baksonya, tapi kalau tak ada kuah saja dengan diberi saus banyak-banyak rasanya boleh juga. Ada pula yang malam-malam lalu lalang dengan membawa cucukan (pikulan rumput dengan ujung runcing), dan kemudian kembali dengan semangka segar yang dicuri dari dagangan seseorang di pasar. (Yang hidup di kota, tolong, jangan memaksakan diri untuk membayangkannya.) Meski warung kopi sudah ada sejak lama, saya tak pernah merasakan ngopi di warung. Juga di rumah. Selain nasi dan lauk, yang selalu akan habis sebelum jam tujuh malam, tak ada apa-apa di dapur. Emak saya akan membikinkan saya wedang jahe hanya kalau saya sakit. Kalau kuatir ngantuk, saya beli beberapa bungkus Kopiko. Mungkin karena saya tertipu iklan, tapi terutama karena hanya itu yang bisa saya beli dari uang hasil mencuri sisa belanja Emak.

Saya pendukung Argentina sejak mengenal sepakbola, dan menjadi Milanisti sejak melihat mereka dikalahkan Ajax pada final Piala Champion 1995. Tapi seingat saya, saya menyongsong Euro ’96 dengan antusias tanpa menjadi pendukung tim mana pun. Malah, kalau diingat, Euro ’96 justru menjadi titik awal saya menyukai beberapa pemain yang kemudian berujung pada kesukaan saya dengan tim-tim tertentu. Misal saja, Davor Suker. Suka sekali dengan striker Kroasia ini, saya mengikuti karirnya dengan antusias bersama Madrid. Dan dari situlah saya kira saya mulai menyukai Madrid.

Meski begitu, ada satu tim yang mengundang perhatian saya. Mungkin karena terpengaruh tulisan-tulisan bombastis di Tabloid GO, atau ulasan-ulasan asertif dari Bung Kaisar dan Bung Mario di acara Praktik Trang di Radio Suzanna Surabaya (pedoman utama para remaja penggemar bola di daerah Surabaya dan sekitarnya di masa itu). Para cewek mungkin akan menyebut tim itu tim tertampan di Euro ’96. Saya cukup menyebutnya keren saja. Tim ini dikenal sebagai generasi emas. Mereka menjuarai Piala Dunia U-20 dua kali berturut-turut. Ada tiga pemain vital yang setelah turnamen ini bermain bareng di Barcelona: kiper, bek tengah, dan gelandang. Tapi tepat di posisi playmakerlah pemain idola saya berada. Angker dan dingin di wajah, tapi begitu anggun di kaki. Ia bernama Rui Costa, yang bermain untuk Fiorentina. Dan timnya tentu saja Portugal.

Mungkin karena Potugal rontok di perempat final oleh Rep. Ceko, tim ini hanya bisa saya kenang namun tak pernah membekas di hati. Dan saya bahkan menyoraki mereka ketika kalah dari Yunani di final Euro 2004, saat mereka jadi tuan rumah. Kemudian, kemunculan Ronaldo bahkan membuat saya membenci mereka. Dan cara Fernando Santos memainkan tim itu di Euro 2016 menyempurnakannya.

Meski demikian, saya samasekali tak punya beban memberi selamat kepada Candra dan kawan-kawan sebayanya: bocah-bocah yang mendukung Portugal karena mereka menyukai Ronaldo, striker hebat itu. Sebab, kalau saja duapuluh  tahun lalu, Rui Costa bisa membawa timnya menjuarai Euro ’96, saya pasti akan sebahagia mereka.


6/

Euro 2016 banyak memberikan kekecewaan. Rerata gol yang rendah, permainan bertahan, tim-tim bagus yang rontok terlalu awal, final-final kepagian, dan—tentu saja—Portugal. Tapi, selain dengan kemenangan dan kejayaan, bukankah dengan cara itulah, sepakbola selalu membuat kita menunggu pertandingan berikutnya, musim berikutnya, dan turnamen berikutnya? Kita ingin mendapatkan penebusan. Meskipun, biasanya kembali gagal.

Untuk saya pribadi, ini adalah Euro yang tak selesai. Setelah mengikuti ribuan menit dari setidaknya 40 pertandingan, saya malah melewatkan 40 menit paling menentukan di pertandingan final, dan setidaknya 10 menit paling membanggakan bagi sejarah sepakbola Portugal. Saya membenci Ronaldo, dan telanjur tidak menyukai Portugal. Tapi, saya tak yakin, apakah di detik ketika Ronaldo mengangkat pot perak itu, saya sanggup untuk tak bertepuk tangan untuknya. Untuk mereka.     


Jogja, 19 Juli 2016   


  

Related Posts:

Helenio Herrera: The Special One yang Pertama*

Oleh Sid Lowe; Terj. Mahfud Ikhwan


Helenio Herrera tiba di Barcelona dengan sebuah misi: menjatuhkan Real Madrid dari tahtanya. Saat itu adalah pengujung musim 1957-58, dan sejenis penyakit hati tengah menggerogoti. Madrid memenangkan empat gelar liga dari lima musim terakhir dan meraih tiga gelar pertama Piala Champion. Barcelona, yang tak lagi menjadi kekuatan dominan di Spanyol, mengklaim gelar Copa del Generalisimo 1957 namun tidak lagi memenangi liga sejak 1953, tahun sebelum kedatangan Alfredo Di Stefano. Tak ada masa yang lebih buruk dari itu: gagal memenangkan gelar domestik seperti yang sudah mereka lakukan pada 1948, ‘49, ’52, dan ’53, mereka belum juga menjejakkan kaki di Piala Champion yang baru-baru itu digelar. Di balik ketidakhadiran mereka, Madrid—tanpa perlu diperdebatkan lagi—justru tengah meneguhkan posisinya sebagai tim terbaik di daratan Eropa, menenggelamkan rival-rival mereka, meninggalkan Barcelona terlupakan dan putus asa.

Barcelona tercengang dengan apa yang telah terjadi, menatap ke lawannya sebagai perompak, dan melalui kaca mata konspirasi. “Sukses Real Madrid di dalam maupun di luar Spanyol telah mengintimidasi Catalan,” kata Herrera. “Tapi kami punya tim yang bisa menandingi mereka—dan itulah yang ingin kutunjukkan kepada mereka. Fakta bahwa tim luar biasa seperti Barcelona tetap tak bisa bermain di Piala Champion harus segera diralat.” Herrera adalah sosok yang sempurna untuk pekerjaan itu, sang Spesial One limapuluh tahun sebelum sang Spesial One (yang sekarang)—ia dipanggil begitu di Camp Nou setengah abad sebelum Jose Mourinho dikenal dengan sebutan itu di Santiago Bernabeu dalam sebuah permulaan misi yang mirip, menerapkan metode yang sama, dan—puncaknya—berakhir dengan cara yang serupa.

Novelis Italia Gianni Brera belakangan menulis tentang Herrera saat bekerja di Internazionale: “badut dan jenius, vulgar dan estetis, raja dan hamba, ngawur dan cakap, megalomaniak dan gila kebersihan... [Herrera] adalah semuanya sekaligus lebih dari itu.” Putra dari orangtua Andalusia yang bertemu di Gibraltar, Herrera lahir di Argentina dan tumbuh di Casablanca, bermain bola di Maroko dan Prancis, dan jadi pelatih untuk pertama kalinya di Puteaux. Belakangan dijuluki Il Mago, sang Pesulap, ia menjadi manajer di Portugal dan bergabung dengan Barcelona dari Os Belenenses, setelah sebelumnya melatih Valladolid, Atletico Madrid, Malaga, Deportivo La Coruna, dan Sevilla. Memenangi gelar liga bersama Atletico pada 1949-50 dan 1950-51, juga membawa Sevilla menduduki tempat kedua pada 1956-57, Herrera sangat terobsesi dengan detail: seorang pemikir taktik yang serius, sering secara salah dituduh sebagai Bapak Catenaccio, sistem gerendel yang ultra-defensif.

Berkharisma, congkak, dan tak terbantahkan, tak pernah takut untuk berbicara, ia adalah penulis dari ribuan frasa legendaris, yang beberapa di antaranya sama sekali tak pernah diucapkannya. Tak ada pelatih yang menikmati profil besar di media melebihinya. Pers menggantungkan diri pada setiap kata-katanya dan ia membutuhkan mereka sebesar mereka membutuhkannya. “Yang jadi soal bukanlah apa yang dikatakannya,” tulis sebuah koran, “tapi fakta bahwa dialah yang mengatakannya. Jika HH bilang, ‘anginnya kencang’, koran-koran akan bilang: ‘HH menyerang ruang pers.’”

Dipanggil dengan singkatan HH, panggilan yang membuat aura di sekitar dirinya memendar, pada 1955 sebuah survei menunjukkan bahwa Herrera adalah pelatih terpopuler di Spanyol. Itu berarti mereka tidak menyukainya. Maksudnya, benar-benar tidak menyukainya. Ia suka jadi pusat perhatian. Blurb di sampul buku memoarnya merangkumkan hal itu: “Herrera yang ini adalah iblis! Sekarang ia menulis memoar. Semoga Tuhan mengampuni kita semua. Seolah ia masih belum cukup membuat gaduh! Seolah koran-koran belum cukup memberikan perhatian kepadanya! Seolah kata-katanya masih belum cukup menyergap setiap rumah, setiap kantor, setiap konperensi, dan setiap tempat umum! Seolah ia masih belum cukup dipuja! Seolah ia masih belum cukup dibenci!”

Para pemain Real Madrid jelas membencinya: provokasi adalah senjatanya, dan pada hari di mana dia menjadi pelatih Spanyol pada 1959, saat masih menjadi pelatih Barca, para pemain Madrid menolak untuk berjabat tangan dengannya dan berkasak-kusuk untuk mengadakan pemboikotan terhadap timnas.

Meskipun begitu, sulit juga menemukan peraduan bertabur bunga di Barcelona, di mana kecemburuan di ruang ganti dan di ruang direksi terus menguat dalam dua tahun kedatangan Herrera di klub tersebut. Josep Semitier, direktur teknik Barcelona yang membelot, mengatakan kepada Santiago Bernabeu yang bersuka ria bahwa bekas klubnya adalah “sebuah bencana”; Herrera belakangan menulis tentang “intrik di sirkus besar”, “sebuah atmosfer kedengkian yang tak menyenangkan di dalam maupun di luar”; dan setelah sebuah derbi pada musim sebelumnya, penyerang Madrid Hector Rial berkomentar: “kelakuan suporter [Barca] aneh: mereka tidak mendukung timnya.” Di sana bahkan terjadi tawuran antarsuporter dua bintang klub tersebut: Kubala di satu pihak, Luis Suarez di pihak lain. Pendeknya, Herrera mendapati apa yang belakangan oleh Johan Cruyff disebut sebagai entorno, atau gerombolan—pusaran sosial dan politik yang mencekau klub dengan angan-angan dan bayangan ketakutan.

Tak ada bayang ketakutan yang lebih besar dibanding ketakutan terhadap Real Madrid. Dewan direksi Barcelona terobsesi bahwa Madrid telah membeli wartawan, wasit, dan tim lain. Herrera juga memiliki kecurigannya sendiri; ia bangkit dari bangku cadangannya dalam pertandingan melawan Granada untuk meneriaki wasit, “kamu tak akan berani melakukan itu kepada Madrid!”. Namun, responnya sendiri benar-benar pragmatis. Jika Madrid menyogok, katanya, Barcelona harus melakukan hal yang sama. Tak ada kebusukan moral, hanya soal fakta saja. Herrera, yang pernah didekati oleh dua orang yang mau membayarnya agar mengalah di beberapa pertandingan dalam persaingan gelar antara Barcelona dan Madrid di pengujung musim pertamanya, mengaku telah menawarkan bonus kepada tim-tim yang melawan Madrid di momen kunci di musim itu—meskipun ia selalu bersikeras bahwa klubnya tak akan bisa menyamai “kemurahan hati” tim ibukota.

Di situ ada masalah lain juga. Herrera mendapati di Barcelona beberapa pemain yang tak cukup memiliki kepercayaan diri dan kurang percaya satu sama lain. Dan, sesungguhnya, ia juga tak sepenuhnya percaya dengan mereka. Beberapa gemar hura-hura, seseorang suka menyembunyikan rokok, cognac, atau majalah lucah Prancis di meja tidurnya di hotel tim, sementara ada juga tukang intip yang terkunci di “persembunyiannya” di balkon dan bisa meloloskan diri dengan merayap turun melalui pipa air dan menerobos kamar lain di lantai bawah. Dewan direksi mengkhawatirkan pemain lain yang keluyuran bersama pacarnya, yang seorang penyanyi. Lebih buruk lagi, mereka bilang kepada manajer baru mereka, saat si pemain sedang tandang bersama tim, si penyanyi akan pergi dengan lelaki lain. Klub pun mencoba memisahkan pasangan tersebut namun gagal; mereka kemudian mengupah detektif swasta untuk mengikuti sang penyanyi dan mengumpulkan bukti ketidaksetiannya, namun perempuan itu ternyata terlalu cerdik. Kembali, respon Herrera langsung ke titik persoalan. “Gampang!” katanya kepada dewan direksi: kita akan suruh seseorang untuk tidur dengan sang penyanyi. Senyap sekejap, sebelum kemudian seorang anggota direksi yang masih muda mengangkat tangan. Aku yang akan melakukannya.

Cara Herrera berurusan dengan hal macam itu simptomatik saja. Ia meninggalkan ruang pertemuan, kemudian mengajak si pemain dan pacarnya makan bersama. Dengan berurai airmata, pasangan kekasih itu mengadu kepadanya betapa hidup mereka menjadi sangat mustahil di Barcelona: mereka diikuti ke mana pun pergi, gosip tak kunjung henti, tekanan tak tertahankan. Hanya ada satu cara menghentikan kritik, kata Herrera kepada sang pemain, dan itu adalah dengan memenangkan sesuatu. Herrera kemudian beralih kepada sang pacar, menatapnya tepat di mata, dan berkata: “dan itu juga bergantung kepadamu”. Seperti dikatakan striker Brazil Evaristo de Macedo: “Herrera tidak hanya bertanggung jawab atas tim, ia juga mengambil tanggung jawab atas apa pun yang ada di sekitarnya.”

Bukan karena itu mudah, dan melalui apa yang dialami Laszlo Kubala menunjukkan hal yang lebih sulit. Tidak semata karena beberapa anggota tim menduga bahwa Herrera tak benar-benar menginginkannya. Kubala sudah berumur 31 saat itu dan, seperti kata salah satu rekan setimnya, “sedang menurun”. Ia diperlakukan dengan rasa segan yang tidak diterima Herrera. Itu bukan karena Kubala memiliki ego sebesar—dan tentu saja tak bisa dibandingkan dengan Herrera—statusnya yang menenggelamkan semua orang dan pendekatannya pada permainan yang lesu dan main-main, lagaknya yang kekanak-kanakan, juga sikap ngeyelnya dengan ide-ide pelatihnya. Seorang wartawan yang biasa meliput Barcelona pada era itu menjabarkannya dalam kalimat sederhana: “HH tidak suka kubalismo karena ia ingin menjadi prima donna.”

Potensi masalah lain adalah bahwa Kubala merupakan pemain dengan bayaran tertinggi. Pada 1956-57, ia memperoleh 1.308.025 pesetas (11.120 pound). Pemain dengan gaji tertinggi berikutnya adalah Eulogio Martinez (378.500 pesetas) dan Basora (371.673 pesetas). Seiring dengan kedatangan Herrera, dua pemain Hungaria Sandor Kocsis dan Zoltan Czibor direkrut dari Honved. Keduanya masing-masing digaji di atas 300.000 pesetas. Evaristo memperoleh 682.500 pesetas (92.400 pound), namun Kubala naik di atas 2.471.950. Total anggaran gaji Barcelona 10.886.062 pesetas (92.400 pound) pada 1957-58, naik menjadi 17.373.853 (148.000 pound) pada musim berikutnya, beban yang kemudian menggelayuti mereka. Herrera sendiri tak mau menghargai murah dirinya: Barcelona dipaksa membayar kompensasi satu juta pesetas kepada Sevilla setelah Herrera meninggalkan mereka. Dalam jangka pendek, ia seberharga itu; namun untuk jangka panjang, beberapa orang berpendapat ia tak sepadan dengan harganya.

Herrera mengeluhkan fakta bahwa dia tidak melatih Kubala pada puncak kecemerlangannya, saat sang pemain boleh jadi merupakan yang terbaik di dunia. Herrera juga percaya bahwa bintang Hungaria tersebut habis terlalu cepat. Ia komplain bahwa Kubala tidak mengaca pada diri sendiri—meskipun dengan badan besar dan kuat ia benar-benar bisa mengaca pada diri sendri, saat dengan satu pukulan ia bisa mengempaskan empat marinir Amerika ke laut dalam sebuah perkelahian saat mabuk. Herrera memakai kisah-kisah macam itu untuk menjadi alasan menyingkirkan Kubala dari tim. Namun, bukannya menciptakan kesatuan tim seperti yang diinginkannya, hal itu justru memperdalam konflik. Ketika dia mendorong pengurus Barcelona mengeluarkan statemen publik yang menuduh si pemain Hungaria itu telah berkali-kali mangkir latihan dan menolak bertanding, menyebutnya “mengaku sakit yang sulit dibuktikan”, tujuh direktur justru mundur untuk bersolidaritas dengan Kubala. Dan bukannya berpikir bahwa ia telah terlalu keras dengan pemain bintangnya, Herrera malah menyalahkan diri sendiri karena tidak berani bertindak lebih jauh.

Sejauh yang jadi keprihatinan Herrera, Kubala sudah melambat dan kebiasaan buruknya merugikan dirinya sendiri, terlalu banyak menggocek bola, mematahkan momentum pergerakan permainan yang oleh pelatih barunya ingin diterapkan: kecepatan tinggi, langsung, agresif. Kubala dianggapnya bermain untuk pamer, “lebih spektakuler daripada efektif”. Herrera menjadi lebih terobsesi: menyerang Kubala di depan para companeros-nya sabagai “kanker” bagi tim dan belakangan menulis tentang “mitos dan berhala yang ditelan mentah-mentah oleh majalah”; mengeluhkan bahwa “fan tidak melihat bahwa kemenangan tak akan mungkin didapat tanpa pemain lain seperti Segarra, Rodri, Gracia, Olivella, pria dari cantera dengan cinta murni untuk warna kebesaran klub.”

Herrera yakin ia bisa menang tanpa Kubala, namun untuk itu ia memerlukan otoritas yang absolut, sebuah mentalitas dan pendekatan baru, sebuah gaya yang baru. Saat Herrera tiba di Barcelona pada akhir musim 1957-58, tim yang diwarisinya baru saja memainkan leg pertama final Fair Cup dan berakhir sebagai urutan kedua, kedua, kedua, ketiga dan ketiga pada lima musim liga sebelumnya. Sebuah tim yang impresif namun kekurangan sesuatu; sebuah tim yang menderita krisis kegelisahan yang hanya bisa disembuhkan dengan mengalahkan Madrid dan menjadi juara Piala Champion.

Tak ada yang kurang pada tim itu. Herrera menyebutnya sebagai tim terbaik yang bernah bekerjasama dengannya—lebih baik dibanding para pemain Internazionale yang diantarnya memenangkan dua Piala Champion secara berturut-turut. Tim tersebut boleh jadi merupakan tim paling berbakat yang pernah dimiliki Barcelona, bahkan melampaui tim Cinc Copes (tim Barcelona yang memenangkan lima gelar dalam satu musim [1951-52]—penerj.). Di luar Kubala, mereka memiliki Sandor Kocsis, Eulogio Martinez, Just Tejada, Ferran Olivella, Ramon Villaverde, dan Evaristo de Macedo. Antoni Ramallets masih di depan gawang, dan mereka juga memiliki playmaker asal Galicia, Luis Suarez. Lalu ada juga si secepat cahaya Zoltan Csibor.

Csibor datang ke Spanyol usai pemberontakan Hungaria pada 1956, bergabung dengan Barcelona pada 1958. Sepuluh ribu orang terbunuh di minggu pertama pemberontakan saat tank Soviet menerjang masuk dan orang-orang Hungaria mati-matian mempertahankan diri dengan mengguyurkan air cucian di jalanan, berharap itu membuat para penyerangnya terpeleset dan kemudian pulang balik. Seperti Puskas, Czibor saat itu bermain di Austria dan mencari kesempatan kabur saat ada pertandingan antarnegara Eropa. Klubnya, Honved, mengupah para penyelundup untuk menolong keluarga Czibor menyelinap menembus perbatasan agar bisa bersatu kembali dengannya. Saat di pelarian, ketika sebuah kelompok kecil pelarian mencapai sebuah persimpangan di sebuah jalan dimana mereka memecah diri, istri Czibor dan anak-anaknya ikut salah satu rombongan. Saat itulah rombongan yang menempuh jalur lain ditumpas habis oleh berondongan senapan mesin.

Anak Czibor, juga bernama Zoltan, duduk di meja restoran yang ada di tepian Barceloneta. “Bayi-bayi diminumi sesloki alkohol agar berhenti menangis,” katanya dengan senyum nakal, seperti mengingkari drama yang terjadi di momen itu. “Untuk para pemain sepakbola, tiba di Spanyol adalah sebuah pembebasan. Orang-orang ngomong soal kediktatoran Franco, tapi kami berhasil menghindari Komunisme. Kami diberikan kewarganegaraan Spanyol sebagai pengungsi dari sebuah negara Komunis; prosesnya cepat, berdasarkan atas alasan-alasan yang disukai Franco. Ayahku kemudian merancang sebuah bar di Barcelona yang dinamai Kep Duna, yang dipakai sebagai tempat bernaung para pengungsi Hungaria. Para pelarian akan datang untuk mencari bar tersebut—mereka akan menetap di situ atau di rumah Kubala. Ayahku adalah pemain sepakbola terbaik yang pernah ada, sayap kiri yang sangat berbakat. Keadilan tak dianugerahkan kepada tim (Barcelona) itu.”

Suarez mengingat: “Kami punya penyerang-penyerang yang level kemampuannya sangat tinggi, jelas-jelas kelas dunia.” Suarez sendiri boleh jadi merupakan yang terbaik di antara mereka, seorang pemain yang oleh Herrera disebut sebagai “pengorganisir tim yang hebat”, yang “memimpin dengan teladan langsung”; Di Stefano menyebut Suarez sebagai “sang arsitek”; dan Evaristo menegaskan: “Luisito adalah pemain terhebat yang pernah aku lihat. Ia cerdas dan pandai sekali mengumpan—ia berkali-kali membuatku bisa berhadapan satu lawan satu dengan kiper.” “Aku adalah seorang organizador,” kata Suarez. “Aku memulai dari kedalaman namun bisa menguasai sebagian besar sisi lapangan dan aku punya perspektif yang luas, sebuah visi. Aku punya kecepatan, teknik yang bagus, dan bisa menembak dari luar area penalti.” Beberapa orang menyamakannya dengan Xavi Hernandez. Xavi adalah pemain yang oleh Suarez sendiri dianggap lebih hebat, namun ia adalah seseorang yang senang dengan orang pemalu yang unjuk kemampuan dan, bagaimanapun, ia tidak yakin. Senyum malu-malu merebak di wajahnya. “Aku bisa mengumpan sejauh empat puluh yard, dan bisa beralih posisi dari satu sisi ke sisi lain,” protesnya, sambil tertawa. “Permainanku lebih beragam dibanding permainan Xavi.”

Pekerjaan rumah Herrera adalah menjadikan mereka sebuah tim, membuat mereka melakukan sesuatu dengan caranya, menanamkan kesan atas dirinya kepada para pemain dan para direktur. Suara yang tajam dan pidato-pidato penyemangat berhamburan. Slogan-slogan bertempelan di dinding, berisi kata-kata seperti: Kecepatan, Teknik, Kerjasama Tim. Sebelum pertandingan, para pemain akan saling mengumpan bola secara memutar sambil berteriak “menang!” ke satu sama lain. Janji-janji diucapkan. Sebelum sebuah tur, Czibor komplain bahwa ia tak ingin bepergian jauh terlalu lama. Maka, Herrera berkata kepadanya bahwa ia bisa pulang jika mencetak tiga gol selama pertandingan tandang. Czibor membuat hat-trick pada pertandingan pertama.

“Kepada pemain Catalan, aku bicara soal ‘warna kebesaran Catalonia, bermainlah untuk negerimu’,” kata Herrera kepada Simon Kuper pada awal 1990-an, “dan kepada pemain asing aku bicara soal uang. Aku bicara soal istri dan anak-anak mereka. Kamu punya duapuluh lima pemain, kamu tak bisa bicara hal yang sama kepada setiap orang.”

Nyatanya, Herrera sering melakukan hal itu. Yang tidak dilakukannya adalah berkata hal yang sama kepada semua orang di klub. Ia secara aktif mencoba menciptakan ikatan antara dirinya sendiri dengan para pemainnya—untuk satu tujuan, melawan dewan direksi, membeli loyalitas mereka dengan mengatakan kepada mereka bahwa mereka bisa mendapatkan lebih banyak uang dibanding sebelum-sebelumnya dan berjuang agar mereka mendapat bonus yang lebih besar. Menjanjikan uang kontan membuat skuat menyorakkan dan menyanyikan namanya; sebuah momen show-me-the-money berdekade-dekade sebelum Jerry Maguire mengangkat sinisme olahraga ke sinema.

Jika di situ ada uang kontan, tentu harus ada kerja kontan juga. Sesi latihan pertama Herrera berakhir dengan muntahnya para pemain. Tiga sesi sehari adalah biasa untuk memulai latihan—ia kasar dan agresif. Ia memaksa seorang pemain tetap masuk latihan meskipun ia protes bahwasanya ia sedang sakit; ia mencabut plaster pembalut pemain lainnya, dan menolak memberi kelonggaran. Di antara berjibun rumor, salah satunya mengatakan bahwa dokter Barcelona dipaksanya untuk menolak bahwa suplemen “gula” yang dibagikan Herrera sama sekali bukan zat lain. Para pemain mengeluh tak bisa tidur setelah pertandingan, sementara pemain lain yang khawatir dengan isi kandungannya menolak mengambil suplemen tersebut atau membuangnya begitu saja saat sang pelatih tidak melihatnya. Lluis Lainz, salah satu pemain, yang curiga dengan teh yang dibagikan Herrera, memberikan teh tersebut kepada temannya yang dokter untuk menganalisisnya. Tes menunjukkan bahwa suplemen itu mengandung zat-zat amphetamine dan Kubala menantang Herrera untuk meminumnya sendiri. Beberapa pemain membantah rumor ini.

Pengejaran Herrera atas kesuksesan tak mengenal belas kasih. Ramallets menyebut pelatihnya sebagai seorang jenius. “Ia punya berkas-berkas untuk semua hal. Ia bisa bercerita kepadamu soal orangtua para pemain Jerman atau Italia, hari apa pemain-pemain itu lahir, semuanya. Ia punya visi taktik yang hebat dan ia tahu bagaimana membangkitkan semangat pemain. Ia adalah orang dengan misi, dan ia tahu tim lain dari soal pe hingga pa. Ia berkata kepadaku: ‘Antonio, jika kena tendangan penalti dan si anu atau si itu yang ambil, ia akan begini atau begitu.’ Aku tak pernah ambil pusing. Tapi ia tahu soal pemain luar-dalam.” “Senantiasa ada intensitas tinggi, keyakinan, dan konsentrasi. Ia sangat-sangat profesional—dan sama sekali berbeda dengan siapa pun,” kenang Suarez. “Kerja lebih keras, lebih kuat, lebih cepat, dan lebih agresif; pendekatannya langsung. Tak ada canda—sangat serius.”

Dibandingkan dengan Madrid dalam hal gaya, kontras itu jadi jauh lebih mencolok. Barcelona telah menemukan cara untuk menetralisir juara Eropa itu dan Herrera melakukannya; taktiknya disesuaikan dengan taktik mereka. Obat penawar bagi permainan teknikal Madrid diterapkan secara langsung dan dengan pendekatan fisikal. Dan manjur. Barcelona dan Madrid bertemu pada Oktober 1958 pada awal musim penuh pertama Herrera sebagai pelatih Barcelona. Madrid punya barisan penyerang itu—Kopa, Rial, Di Stefano, Puskas, dan Gento—namun Barcelona menang 4-0, dengan Evaristo mencetak hat-trick, sebuah hasil yang menggulingkan Madrid dari puncak klasemen. “Rahasianya adalah bermain ekstra cepat, sementara Real Madrid senang dengan gaya kalem yang memanfaatkan permainan teknikal mereka yang memang aduhai,” Herrera berkata dengan bangga. Dan meskipun Madrid mengalahkan mereka 1-0 saat mereka bertemu kembali di akhir kompetisi, tim Herrera merebut gelar liga untuk pertama kalinya sejak 1953.

Pertandingan terakhir adalah sebuah tandang ke Racing Santander. Pers menautkan sebuah kutipan atas nama Herrera bahwa ia telah berkata timnya akan menang “tanpa perlu keluar dari bus”. Meski ia membantah mengatakannya, hal itu tak menghindarkannya dari ejekan sepanjang pertandingan atau plesetan bentuk kutipan tersebut dalam leksikon sepakbola Spanyol untuk menggambarkan soal menang mudah. Para pemain Racing dituduh mendapatkan iming-iming mobil untuk mengalahkan Barcelona, tentunya dari Real Madrid. Sementara itu, Barcelona juga menawarkan bonus kepada tim yang jadi lawan terakhir Madrid. Barcelona menang dan gelar liga jadi milik mereka—dan mereka memecahkan rekor jumlah poin untuk meraih gelar itu.

Namun tidak semuanya bisa mereka menangkan. Barcelona menghadapi Madrid pada semifinal Copa del Generalisimo hanya beberapa hari setelah Madrid memenangkan gelar Piala Champion kelima mereka di Glasgow, dengan kemenangan menakjubkan atas Eintracht Frankfurt—ada penghormatan atas sang juara Eropa sebelum pertandingan itu. Puskas mencetak dua gol dan Barcelona tertinggal 2-0 saat turun minum. Namun Angel Mur Sr. mengingat Herrera—yang sebelum pertandingan dengan lantang sesumbar bahwa timnya akan menang—masuk ke ruang ganti dan meneriaki para pemainnya. “Mereka milik kita sekarang! Mereka sudah kerepotan! Kalian akan membantai mereka! Tetap main seperti itu dan kita akan hantam mereka!” Mur Sr. tak percaya dengan apa yang didengarnya, tapi Herrera memang benar: Barca menang 4-2 dan leg kedua berakhir 3-1, membawa mereka ke final dimana mereka bisa mengamankan piala bersama gelar liga dan gelar Fairs Cup, plus Copa Duarte dan Piala Martini Rossi.

Dengan kata lain, semuanya lancar. Kecuali Piala Champion.



*Diterjemahkan dari Fear and Loathing in La Liga (Yellow Jersey, 2013), khususnya Bab 10 (HH: The Original Special One), hlm. 152-161.      

                                 

Related Posts:

Mari Memaafkan Portugal

Oleh Mahfud Ikhwan

Mumpung masih dalam suasana lebaran, mari sama-sama memaafkan Portugal. Tentu atas hal-hal tidak menyenangkan yang mereka lakukan bagi para penonton netral seperti kita di sepanjang Piala Eropa 2016.

Mari memaafkan mereka karena Ronaldo, kapten mereka, berkata sengak soal cara bermain Islandia, tim kecil dari negari vulkanik berpenduduk 300 ribuan, yang mereka hadapi di pertandingan pembuka; tim yang oleh Ronaldo disebut bermain untuk hasil imbang dan merayakan hasil itu seakan sebuah kemenangan di final. Tim yang tak akan mencapai apa-apa, kecamnya. Bukan, bukan karena itu sikap arogan dari seorang pemain terbaik dunia, sebagaimana tuduhan banyak ulasan sepakbola pasca pertandingan itu. Kita memaafkan Portugal terutama karena cara bermain Islandia yang dikecam Ronaldo itulah yang di banyak kesempatan justru ditunjukkan Portugal.

Mari memaafkan Portugal karena mereka adalah tim satu-satunya yang lolos ke babak enambelas besar tanpa memetik satu pun kemenangan. Itu menyebalkan, tahu? Mereka terlihat sebagai tim paling aneh di antara 15 tim lain yang lolos. Tak akan terhindarkan, kisah kelolosan itu pasti akan menjadi anekdot lucu atau trivia unik dalam sejarah Piala Eropa di waktu-waktu mendatang, sebagaimana sejarah sepakbola mencatat kekacauan dan skandal soal bonus yang mereka timbulkan di Piala Dunia ‘86. Dan sejujurnya, dalam banyak aspek, mereka sebenarnya memang tak terlalu layak ada di babak tos-tosan.

Tapi maaf itu sebenarnya tak cukup hanya untuk itu. Jadi urutan tiga di grupnya tidak saja membuat mereka melaju dan menyingkirkan tim yang lebih menarik seperti Turki dan Albania, tetapi juga menempatkan mereka di pol yang menghindarkan mereka bertemu tim-tim tradisional macam Italia, Spanyol, Inggris, Jerman, dan tuan rumah Prancis di waktu yang lebih awal. Dan, kita tahu, sampai di mana langkah mereka saat ini. Yang lebih tak menyenangkan lagi, dalam perjalanan ke final, mereka menumbangkan tim-tim paling cemerlang di babak penyisihan. Bagi saya pribadi, melihat mereka mengalahkan Kroasi di 16 besar, dengan cara yang begitu buruk, adalah pengalaman paling tak menyenangkan di sepanjang Euro 2016.

Mari memaafkan Portugal sambil mengenang rasa sakit mereka 12 tahun lalu. Tim hebat, kombinasi dari generasi emas era Figo-Rui Costa dan generasi baru Ronaldo-Quaresma yang menjanjikan, mereka jelas tuan rumah yang pantas sampai final dan pantas juara. Apalagi tim yang mereka hadapi di final adalah Yunani. Tapi Yunani, yang saat itu punya probabilitas juara yang tak lebih baik dibanding Islandia saat ini, mengalahkan mereka dua kali. Salah satunya di final.

Untuk publik Portugal, mungkin dosa tim ini adalah gagal juara saat mereka merupakan salah satu tim terbaik di dunia. (Coba tanya Joao Pinto, yang kini sering terlihat di bangku cadangan Portugal, bagaimana bisa tim yang terdiri dari Baia di depan gawang, Jorge Costa dan Couto di belakang, Rui Costa dan Figo di tengah, dan Nuno Gomes dan dirinya sendiri di depan, sama sekali tak memperoleh satu pun gelar?) Tapi biarlah itu jadi urusan mereka. Untuk saya, yang saya takutkan bukanlah dekatnya fakta bahwa mereka mungkin akan jadi juara ketika tak benar-benar layak mendapatkannya, tetapi kemungkinan mereka akan meraih gelar itu dengan cara Yunani.

Bukan karena Yunani adalah tim yang tak pantas atau tak menyenangkan—Yunani jelas pantas, meskipun mereka memang kurang menyenangkan. Masalahnya adalah: Portugal jelas bukan Yunani. Portugal punya sejarah yang tidak dimiliki Yunani—mereka punya Eusobio, Sporting Lisbon, Benfica, Porto, Jose Mourinho, dst. Ronaldo jelas terlalu mencolok keunggulanya jika dibandingkan Chaeristeas, sementara mudah untuk menyimpulkan bahwa Renato Sancez jelas lebih berbakat dibanding Karagounis. Menonton Portugal bermain dengan cara Yunani sama seperti disuguhi mie instan di warung Padang. Bukan hanya aneh, itu tak elok!

(Oh ya, apakah hanya saya satu-satunya orang yang selalu teringat dengan Otto Rehhagel setiap melihat Fernando Santos?)

Mari memaafkan Portugal karena sampainya mereka di final Euro 2016 akan memberikan kesempatan besar bagi Ronaldo mencapai level yang mungkin tidak akan pernah dicapai Messi: mengantar negaranya merengkuh gelar internasional. Pasti, ini momen yang bikin nervous bagi Messi, pendukungnya, dan para pembenci Ronaldo. Memungkasi Copa Centenario 2016 dalam tragedi, Messi akan menghadapi musim barunya di Barca dengan skandal, setelah dicas hukuman 21 bulan untuk kasus penggelapan pajak. Banyangkan, apa rasanya jika pada saat yang sama, Ronaldo kembali ke Bernabeu sebagai juara Eropa dan calon kuat pemain terbaik dunia?

Pasti berat. Tapi siapa bilang memaafkan itu mudah? Ya, pasti itu sama sulitnya dengan menyaksikan tim-tim kesukaan atau tim-tim terbaik di turnamen gagal dari waktu ke waktu. Itu juga sama sulitnya dengan menerima kenyataan bahwa, dalam banyak turnamen, seringkali, tim terbaik kandas jauh sebelum final.

Ya, mungkin akan lebih mudah memaafkan Portugal jika mereka gagal juara. Kalau itu jalan satu-satunya, silakan saja merapalkan doa atau meletakkan uang taruhan untuk Prancis. Semoga Anda beruntung.

*Dimuat di Jawa Pos, 10 Juli 2016

Related Posts:

Sebelas Hal Yang Diberikan Portugal

Oleh Darmanto Simaepa
 

Sepakbola memberi dunia apa yang tidak diberikan oleh filsafat atau matematika. Ia tidak menawarkan hukum pasti atau logika. Lebih hebat dari sastra dan seni, sepakbola juga bisa memberi tragedi paling kejam dan drama paling mengharukan.


Dewa sepakbola telah memberi kita Portugal.


Bagi pembencinya, keberhasilan Portugal memberi rasa pahit yang tahan lebih lama dari empedu. Namun, bagi warga dan pendukungnya, ia memberi rasa manis yang berlipat ganda dari madu. Ia menghadiahi kita kegembiraan dan frustasi, penyangkalan dan penerimaan. Ia mengingatkan kita untuk berhati-hati dengan rasa cinta dan rasa benci.


Dewa sepakbola mengirim Portugal untuk memberi kita….


1# Komedi.


Eropa punya juara yang tak pernah menang di babak kualifikasi. Ia juga mengenalkan dunia tim yang bisa pulang membawa piala hanya dengan satu kemenangan di waktu normal. Semuanya dipentaskan lewat panggung besar dan kedodoran yang cukup bagi 24 peserta stand-up komedi yang tidak harus melawak, menari atau melakukan hal-hal yang tak perlu. Cukup dengan berdiri tanpa ekspresi—tidak menyerang juri atau tim yang lain—tiap peserta bisa lolos ke babak selanjutnya dan jadi juara. Panggung Piala Eropa memberi kesempatan bahkan bagi aktor berbakat yang mematung dan termangu atau peserta medioker dengan lawakan garing dan tak lucu untuk pulang membawa medali.


2# Makna keberuntungan.


Orang bodoh akan kalah sama orang pintar. Namun, orang pintar akan kalah sama orang yang beruntung. Kroasia jelas lebih pintar. Albania juga. Namun Portugal mendapat keberuntungan besar ketika Islandia mencetak gol di menit-menit tambahan waktu ke gawang Austria atau ketika tandukan Perisic menerpa tiang gawang beberapa detik sebelum serangan balik mematikan itu.


Tanpa keberuntungan itu, Austria yang akan melaju dan Portugal tidak akan berada di posisi ke tiga, yang menghindarkan mereka dari pool yang diisi Jerman, Inggris, Prancis dan Italia. Tanpa sundulan ke mistar gawang, Kroasia yang akan juara piala Eropa sementara pemain Portugal akan menikmati liburan lebih awal.


Namun, jelas Portugal bukan hanya mengandalkan keberuntungan dan pengandaian. Portugal adalah ‘órang’ yang eling. Mereka eling mereka bukan Jerman. Dan tidak sedikitpun mereka berniat menjadi Belanda. Mereka eling dari mana asal mereka. Bahwa mereka tidak punya striker menakutkan dan kecepatan sayap-sayapnya telah merosot.


Dan di atas semuanya, mereka eling, bahwa tim yang juara adalah tim yang menang di pertandingan terakhir, bukan yang menang di babak sebelumnya.


3# Dongeng bahagia.


Kere munggah bale. Petruk jadi Raja. Itu bukan hanya cerita wayang di tanah Jawa. Íni juga bukan dongeng moral. Coba tanya Pepe. Betapapun akting buruknya dan aksi brutalnya selama ini diabadikan oleh kamera dan dijadikan rujukan tiap kita bicara tentang pemain yang paling menjijikkan di dunia, itu tak mengubah fakta bahwa ia adalah bek terbaik turnamen Piala Eropa.


Jika tidak semua orang bahagia dengan tukang kayu menjadi Presiden, pasti jauh lebih sedikit orang yang suka melihat Pepe mengangkat piala. Apapun opini orang, meme di sosial media, atau siulan di stadion, tidak ada yang bisa menyangkal bahwa Pepe bermain dengan lugas dan cerdas. Ia berhasil mengkombinasikan agresifitas dan kedisiplinan.


Ia adalah tokoh yang tertawa di halaman terakhir buku dongeng sepakbola. Setelah halaman terakhir sudah dibalik, kini ia bisa meludahi wajah Gary Lineker (yang menjulukinya si kontol besar)—atau wajah kita semua—tanpa takut untuk diberi kartu merah. Ya, ia sekarang bisa melakukan apa saja. Ia raja sepakbola Eropa.


Dongeng itik rupa yang menjadi angsa cantik jelita sebenarnya bukan milik Eder. Pepe lebih berhak mendapatkannya


4# Misteri.


Wajah sepakbola tak selamanya bisa diraba. Ia selalu menjadi misteri. Alat untuk meneranya semakin canggih—statistik, GPS, pemandu bakat, dan analis jempolan. Tapi, ketika sepakbola diletakkan di atas meja bedah dan dikuliti, ia selalu bisa berkelit dan pergi meninggalkan teka-teki.


Dalam jarak sekitar satu jam, tangisan nestapa si pahlawan besar berubah menjadi tangisan suka cita. Bayang-bayang kegagalan dan kekecawaan terbalik menjadi kemenangan akbar. Kekhawatiran dan kecemasan berganti menjadi daya kreatif. Justru ketika ancaman paling besar dari Portugal menghilang, Prancis linglung. Semakin bertambah menit, Prancis yang terlihat percaya diri di awal-awal, semakin lama semakin ragu dan putus asa.


Sebaliknya, Portugal justru bermain bagus, mengalir, dan kreatif tanpa pemain terbaik dunia. Mereka keluar menyerang dan punya banyak peluang justru ketika tanpa pemain terbaiknya. Nani bermain semlohai ketika beban besar ditaruh dipundak dan lengannya.


Seperti lahir, jodoh dan mati, nasib Portugal jelas misteri sepakbola ada di tangan tuhan—meski kita bisa bertanya, tuhan siapa dan yang mana?


5# Tangan-tangan tak terlihat.


Apa saja yang digerakkan oleh “tangan-tangan tak terlihat” akan memberi berkah dan petaka sekaligus. Misalnya, “tangan-tangan tak terlihat” yang dipercaya oleh ahli politik-ekonomi turut menciptakan kemakmuran sekaligus kemiskinan.


“Tangan-tangan tak terlihat” ini beroperasi di mana saja. Di sekeliling kita, mereka membuat pria-pria buruk rupa dan kasar perangai kerapkali tetap digilai banyak perempuan cantik dan baik hati. Tangan-tangan yang sama mengirim pria mapan, cakep dan berbudi ke lorong sunyi bernama kesepian tanpa jodoh sampai mati.


Dulu, “tangan-tangan tak terlihat” ini punya tempat singgah favorit di Jerman. Mereka menghadiahi banyak piala bagi Jerman dengan permainan membosankan dan menjengkelkan. Ketika Jerman bersolek dan menjadi rupawan, “tangan-tangan tak terlihat” ini pindah ke arah selatan.


Kini, tangan-tangan tak terlihat itu menyentuh Portugal dan mengucapkan selamat tinggal kepada tim-tim yang penuh talenta, seperti Belgia dan Kroasia.


Seringkali, kita menganggap tangan-tangan tak terlihat ini berlaku tidak adil. Tidak, ia sangat adil dengan satu hukum: siapa yang bekerja paling keras dan berhasil mengeksploitasi kekayaannya dalam dunia kompetitif, dialah pemenangnya.


6# Keadilan.


Bertahun-tahun dilimpahi pemain berbakat, kreatif, dan rentetan generasi emas, Portugal tak pernah berhasil menggenggam trofi. Dua belas tahun silam, Otto Rehhagel dipilih oleh dewa-dewi Yunani dikirim untuk meremukkan pemain-pemain terbaik dunia dan mematahkan hati bangsa Portugal.


Di tahun 2016, Dewa-dewi yang sama menyeimbangkan timbangan. Namun mereka telah bekerja jauh sebelumnya. pertama-tama, mereka mengirim Fernando Santos ke Athena untuk bekerja dan belajar di liga Yunani.  Kemudian mereka membekalinya dengan paket komplet: strategi, taktik, pendekatan, dan terutama transplantasi dan ekspresi wajah Otto Rehagel.


Dewi keadilan memutuskan untuk memutar roda nasib. Portugal juara dengan cara Yunani.


7# Pahlawan.


Maaf pecinta sepakbola, si pahlawan sepakbola kita ini bukan tipe pria budiman, santun dan rendah hati. Ia seorang pekerja keras, suka caper, dan punya tekat kuat.


Anda pasti tahu. Ia bukan Lionel Messi.


Pahlawan kita ini mirip tetangga yang suka pamer di acara hajatan. Ingin selalu ingin tampil. Dari membantu menata kursi, mencek son-sistem, hingga menerima tamu. Bahkan ketika kakinya keseleo, ia tetap ingin di berada depan. Hebatnya lagi, dia juga bisa tampil di panggung memberi sambutan dengan rambut klimis dan jenggot cukuran.


Banyak orang tidak suka. Tapi karena acaranya sukses, orang tak bisa berkata apa-apa. Pemilik hajatan akan terus mengulangi ucapan ‘pesta tak bisa sukses tanpanya”. Ia akan selalu bisa mengklaim bahwa tanpa kecekatan dan otot-otonya, pesta tak akan bisa terselenggara dengan seksama.


Pahlawan tidak ditentukan oleh kabaikan, pujian dan amalan. Kita tahu semua, apa yang kita sebut pahlawan adalah orang-orang hebat yang bisa memaksa dunia berhutang pada sikap altruistiknya dan menghormati kerja keras yang telah dilakukannya.


8# Imsonia dan mimpi buruk.


Kita semua ingin akhir turnamen yang bagus dan indah, sehingga ketika pergi naik ke ranjang di pagi hari, kita merasa senang dan tidur dengan hati riang. Apa daya, Portugal memberi kita imnosia dan mimpi paling buruk.


Gol Quaresma, sundulan Perisic, kecerobohan Austria, kegagalan Giroud dan tendangan Gignac menyentuh mistar akan datang-pergi silih berganti di kepala kita. Gol Eder datang menghampiri, mata akan enggan terpejam dan jantung berdetak kencang tak henti-henti.


9# Tragedi.


Sepakbola punya kisah yang lebih tragis dari pada drama Shakespeare, apalagi sekadar naskah-naskah teater garasi. Kita semua tahu bahwa turnamen sepakbola tidak selalu dimenangkan oleh tim yang tampil menawan. Dari awal, kita tahu bahwa selalu ada kejutan dan anomali.


Plot turnamen—dari format 24 sampai kebodohan federasi sepakbola Prancis yang tidak sadar bahwa mereka membuat jadwal yang menguntungkan timnya di saat yang tidak perlu namun merugikan tim mereka sendiri di saat krusial—sudah diramalkan akan berakhir seperti tragedi.


Hampir seluruh elemen turnamen menunjukkan bahwa tim tidak menarik seperti Portugal bisa melangkah ke final. Semakin tinggi harapan atas turnamen yang berakhir dengan kisah bahagia, semakin dekat tragedi menunggu di tikungan.


Kita semua tahu orang seperti Harmoko akan selamat dan hidup tenang di tengah pergolakan. Kita tahu pahlawan seperti Munir akan mati. Tim-tim yang hebat, bermain menawan, dan menghibur mati ditengah jalan. Namun tetap saja, kita masih terus berharap Prancis menang, dan sepakbola indah dan menyerang akan terselamatkan.


Kita semua adalah Placida Linero, ibunda Santiago Nazar dalam kisah Gabriel Marquez tentan pembunuhan yang telah diramalkan. Kita punya firasat dan tahu  nubuat bahwa Portugal akan menikam kita, tapi kita pura-pura bahwa si penikam membawa pisau tumpul.


Ya, si penikam membawa pisau tumpul dan karatan, tetapi ia menorehkan ke jantung terdalam, lantas mengguriskannya dengan cara perlahan-lahan.


10# Air Mata


Benar, air mata yang tumpah duluan adalah air mata si pahlawan dan warga Portugal. (Bisa juga air mata penjudi). Untuk beberapa waktu, orang yang benci pahlawan kita bisa merasakan keharuan. Air mata ini mengucur deras karena ia jebol dari harapan besar dan  mengalir menuju rawa-rawa busuk kegagalan dan cemoohan.


Ini adalah air mata penuh pertaruhan. Jikapun Portugal gagal, kita bisa bersimpati bahwa si Pahlawan telah berusaha. Ia telah bertarung dengan sehormat-hormatnya.


Jika kuasa Tuhan bisa membelah lautan, kuasa dewa sepakbola bisa membalikkan arus air mata yang mengalir ke muara menuju balik ke sumbernya. Tangisan kekecewaan tiba-tiba memercikkan kesegaran. Sungai emosi tiba-tiba lebih dingin dan menentramkan buat Portugal, dan semakin bergolak buat para penonton netral.


Linangan air mata kesedihan itu berubah menjadi air mata suka cita. Dan bagi pendukung yang anti-portugal (termasuk saya), rona mata bahagia melihat air mata si Pahlawan yang tumpah di awal-awal pertandingan, menjadi nanar dan tak berdaya.


Kehebatan Portugal adalah ia mampu mengalirkan air mata penderitaan bagi lebih separuh penduduk dunia, tanpa berpura-pura bahwa mereka ikut menderita.


11# Fernando Santos.


Kita selalu bicara tentang Diego Simeone dan Jose Mourinho sebagai pelatih jenius yang berusaha memberi wacana tanding bagi ‘filosofi’ sepakbola a la Guardiola. Di antara dua nama itu, hanya Fernando Santos yang  sejauh ini berhasil menunjukkannya.


Di bawah asuhannya, Portugal tidak pernah menang lebih dari marjin dua gol—empat di antaranya dengan skor 1-0. Dan dia melakukannya lewat cara-cara yang membahagiakan hampir semua pemainnya. Kecuali dua kiper cadangan, semua pemain Portugal bermain dan bermain sama baiknya. Ia tahu kapan memainkan Veirinha dan kapan Cedric Soarez. Kapan memasukkan Moutinho, kapan mengeluarkan Sanchez.

 

Ia menyebut pemainnya “sederhana seperti merpati namun bijak seperti ular”. Ia pasti punya banyak jurus dan terlihat lebih bijak dari Wiro Sableng. Dan bagi Santos, ini yang terpenting: kecantikan bukan segalanya.


Ia tahu bahwa, dalam dunia persilatan yang keras, diperlukan banyak hal untuk bertahan hidup. Menjadi cantik dan punya jurus antik tentu saja menarik. Namun, tanpa keahlian mengatur kebugaran, menyiasati jadwal turnamen, dan kerja keras, tuntutan untuk menjadi cantik dan jurus klasik bisa memperpendek usia hidup.

 

Santos adalah sedikit pelatih yang tahu kapan timnya harus berdandan, kapan harus berkeringat, dan kapan bersantai. Sedikit sekali yang menguasai seni bertahan hidup dalam turnamen yang buas dan tidak mengenal kata maaf, dan Santos, meskipun bermain lebih banyak dengan otot dan kepala, menjadi orang yang paling bahagia dan tentram hati.


Ia mengajarkan kita untuk berhati-hati dengan rasa cinta yang keras kepala dan bahaya dari rasa benci yang membakar hati.


Beruntung, dewa-dewi sepakbola memberi kita Fernando Santos.

Related Posts: