Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan Bola (3)

Oleh Darmanto Simaepa

Cerita bola yang ketiga terkait dengan kabit. Kabit adalah sejenis cawat yang dipakai oleh orang Mentawai. Terbuat dari kulit pohon baiko (Artocarpus caryophylla) yang telah diolah dengan cara dipukul-pukul dengan sebilah kayu. Cawat ini dililitkan disekitar pinggang dan menutupi alat vital. Alat ini hanya dikenakan laki-laki. Pemakaian kabit menandakan profesinya. Bagi para dukun atau kerei, kabitnya berwarna merah. Warna itu didapat dengan mencampur kulit togro, suatu jenis mangrove yang direndam bersama kabit. Dengan tato, badan kekar dan berotot serta bunga-bunga (manai), orang Mentawai terlihat gagah dengan kabitnya.

Meskipun sederhana, kabit menyimpan sejarah yang panjang dan kompleks. Di zaman ketika arus perdagangan dengan etnis tetangga atau pedagang kolonial belum intensif, kabit adalah pakaian yang lazim dikenakan sehari-hari. Dipercaya sebagai keturunan Austronesian paling awal, orang Mentawai di Siberut, anehnya, adalah bagian dari kelompok-kelompok yang tidak mengenal pengolahan tekstil, produksi gerabah, atau mengolah minuman keras. Sampai akhir kolonial dan menjelang kemerdekaan, laporan etnografis menyebutkan bahwa kabit adalah pakaian sehari-hari.

Penggunaan kabit memberi gambaran ambivalensi identitas yang dilekatkan kepada orang Mentawai. Tahun 1950-an, melalui peristiwa yang disebut sebagai ‘rapat tiga agama’, penggunaan kabit resmi dilarang—setidaknya oleh pejabat setempat. Pelarangan ini dibarengi dengan kewajiban meninggalkan agama setempat dan memeluk agama resmi negara, meninggalkan ritual dan upacara. Kabit disimbolkan sebagai ciri orang Mentawai yang terbelakang, primitif, miskin dan kolot. Orang-orang tua di zaman itu mengenang, mereka dihukum membersihkan kantor kecamatan atau kerja bakti di gorong-gorong desa jika kedapatan mengenakan kabit.

Bagi generasi baru Mentawai, sebagian besar mewarisi pandangan ini. Kabit mewakili sebuah era yang harus ditinggalkan karena berasosiasi dengan kekunoan. Sebagian anak muda menganggap bahwa pemakaian kabit adalah tanda orang tidak mampu membeli celana kain dan sebuah ciri dari kemiskinan Mentawai. Agar ciri itu hilang, mereka mencurigai apapun yang berkaitan dengan penghargaan terhadap kabit, adalah cara untuk menempatkan orang Mentawai dalam museum kehidupan. Sementara bagi aktivis konservasi dan pengakuan hak-hak budaya—terutama dario generasi 80-an dan 90-an—kabit dan sikerei dijadikan simbol dan bukti hubungan harmonis antara suku pedalaman dan hutan. Kabit dan dukun menjadi ikon perjuangan lingkungan.

Bagi orang Mentawai, kabit bisa berarti beragam. Orang-orang tua menyukainya saat bekerja di ladang. Di dangau-dangau dekat hutan yang lengas dan panas, orang-orang lebih suka bertelanjang dada dan hanya mengenakan kabit. Di lembah-lembah yang lebih terpencil, terutama bagi generasi tua, kabit masih dipakai sehari-hari. Dimana para kerei masih terasa dibutuhkan, produksi kabit nyaris ajek bertahan. Di lembah-lembah yang telah intensif kontak dengan migran, pemakaian kabit sangat jarang—kecuali di ladang atau pada saat diselerenggakannya ritual atau pengobatan. Di lembah Rereiket, beberapa orang tua menunjukkan kebanggaannya mengenakan cawat. Almarhum Teu Bijai Kerei dari Ugai pernah mengatakan, ia merasa menjadi orang Mentawai sejati dengan mengenakan kabit.

Desa-desa yang didominasi pemeluk Katolik, kabit masih bisa dijumpai. Di lembah Simatalu, di pantai barat, sesekali para orang tua mengenakan kabit yang dilapisi celana longgar untuk pergi ke gereja. Situasi agak berbeda di kawasan Utara Siberut, dimana penyebaran agama protestan lebih gencar, praktik-praktik perdukunan secara keras dihentikan dan penggunaan kabit dianggap mewakili iman lama yang harus ditinggalkan. Kabit, menggambarkan campuran segala hal tentang menjadi Mentawai. Rasa bangga, prakti-sisme, keterbatasan, pergulatan identita, hasrat meninggalkan masa lalu dan pergulatan untuk mencari identitas.

Limu, sebuah desa katolik di pantai barat yang terisolir dan hampir mustahil bagi sampan melempar sauh karena ombaknya ganas berasal dari Samudria Hindia, adalah dusun yang sebagian penduduknya masih mengenakan kabit. Dusun ini terdiri dari 80 kk yang mengandalkan kelapa, kakao dan nilam sebagai sumber mata pencaharian. Sepakbola adalah gairah olahraga terbesar disana. Lapangannya cukup datar dan kering. Terletak dipinggir pantai, lapangan ini bahan dasarnya bukanlah pasir lempungan tetapi pasir pantai yang ditumbuhi rumput. Di separuhnya, sepertinya dengan sengaja, ditanam rumput Jepang. Jenis rumput yang membuat lapangan seperti datar, keras dan jika kita jatuh tergores akan menimbulkan parutan luka dan goresan pedih.

Bulan Juni 2010 yang lalu, saya ke desa tersebut untuk membuat sebuah survei tentang perburuan. Setelah letih keluar masuk hutan untuk menghitung populasi primata, di akhir pekan, saya menikmati sepakbola. Lapangan baru saja dikepras melalui gotong royong yang dikomandoi oleh dukun setempat. Saya telah mendengar banyak cerita mengenai para pemain sepakbola berkabit di Simatalu. Dusun Paipajet yang terletak di hulu sungai—sangat terkenal karena kehebatan pemainnya—pemain-pemain berkabit dan bersepatu kacang menjadi pemandangan yang lazim.

Seluruh laki-laki di Limu sore Minggu itu ada di lapangan bola. Ada juga beberapa anak muda yang datang dari Bojo, dusun sebelah yang tidak memiliki lapangan. Permainan di mulai agak sedikit siang. Setengah empat, peluit sedah dibunyikan. Nampaknya untuk dua kali pertandingan, seluruh penduduk itu akan kebagian main semuanya.

Di pinggir lapangan, ada sekitar 4-5 orang yang mengenakan kabit menunggu giliran. Termasuk diantaranya adalah Teu Manai, pemandu yang menyertai sebuah survei mengenai perburuan dan populasi primata yang saya lakukan. Di dusun ini Kabit ternyata tidak menggunakan kulit pohon baiko. Mereka mengenakan kain panjang yang dililitkan menyerupai kabit. Jadi agak sukar untuk melihat apakah orang yang mengenakannya seorang sikerei atau tidak. Orang-orang berkabit itu lengkap dengan tato-tato diseluruh tubuh, tas pinggang yang digunakan untuk menyimpan tembakau dan kertas rokok dan korek apinya.

Saya tidak punya foto dan anda hanya bisa memvisualisasikannya. Seorang dukun mengenakan cawat tradisional lengkap dengan rokok menunggu giliran bermain bola. Anda bisa juga menyebutnya sebuah globalisasi yang aneh: bola Mikasa dari jepang, permainan impor China, tembakau payakumbuh, dan kabit Mentawai. Tapi ini bukanlah lawakan ala God Must be Crazy. Ini bukan lelucon orang primitif dan orang-orang kulit putih. Ini adalah bagaimana sepakbola bisa dinikmati oleh jutaan orang—apapun warna kulitnya, apapun pakaiannya.

Salah satu diantara pria berkabit mereka masuk pada pertandingan pertama. Dengan langkah yang santai dan terkesan tersipu, Ia tidak melepaskan rokok dan tas pinggangnya. Tas pinggang itu diisi tembakau panorama dan lintingan daun nipah yang akan jadu kertas rokoknya. Ia berlari-lari kecil ke tengah lapangan sambil menghisap dalam-dalam tembakaunya. Saya telah menyiapkan ide untuk membuat pertandingan menjadi jenaka. Jika ia menjadi lawan, saya akan membawa bola didekatnya, mengicuhnya dan membuatnya agak sedikit bingung lalu...tiba-tiba berhenti di depannya, membiarkan ia merebut bola lantas mengambil rokok dari bibirnya. Itu mungkin akan jadi edisi Just for Laugh Mentawai.

Sayangnya, dia masuk di tim saya. Dia tidak bisa dikatakan cukup pandai. Cara menendangnya menunjukkan kakinya lebih ahli menapak diatas titian kayu atau menyisir lereng bukit mencari manau. Ia lebih banyak menunggu bola dan ketika datang, menyepaknya sekeras mungkin.
Ketika bola tidak ke arahnya, dia menghisap rokoknya dalam-dalam. Rokok itu akan mati kena angin atau lupa dihisap ketika berlari.
Sangat jarang dia membawa bola. Saya berusaha untuk berdekatan dengan posisinya. Setiap saya mendapatkan bola, saya oper kearahnya. Bukannya menendang, ia selalu mengembalikannya ke arah saya disertai dengan senyuman. Saya tidak begitu menguasai bahasa Mentawai dialek lembah ini. Sementara dia tidak lancar berbahasa Indonesia—dan agak kurang mengerti dialek Sabirut yang saya kuasai. Sepanjang pertandingan hanya bicara pelan dalam satu dua kata yang sama-sama dimengerti. Kami lebih banya berbicara dengan senyuman.

Di Limu, dan hampir di semua kampung-kampung yang tidak memiliki tim yang bagus, pesepakbola yang terkenal adalah sesorang yang berani mengadu kaki atau menendang bola yang paling keras. Selain pencetak gol dan para pemain sayap yang berlari kencang, pemain yang bisa menyepak bola dan menghasilkan suara tumbukan yang paling menggema adalah orang yang paling dikagumi. Operan-operan pendek tidak begitu terbiasa sementara pacu lari membuktikan siapa yang paling laki-laki.

Karena mengoper satu dua sentuhan ke arahnya bukanlah hal biasa, setiap ia mendapatkan bola dari saya, para pemain dan penonton berteriak untuk membuat operan pendek-pendek ke pemain lain. Setiap teriakan datang, ia lebih banyak gugup dan kehilangan bola dengan sendirinya. Semakin ia sering mendapat bola, ia semakin bersemangat dan berlari. Dan semakin sering tertawa. Mungkin ia bisa menikmati pertandingan dan mematikan rokoknya. Di pertandingan kedua, saat dia tahu saya ikut ingin bermain lagi, dia segera berbaris di belakang saya. Kali ini tanpa rokok dan bau tembakau dimulutnya.

Malam hari setelah makan Teu Isak, begitu namanya disebut, datang ke rumah tempat saya tinggal. Pertama-tama, ia datang hanya dengan senyuman. Setelah saya jelaskan bisa bicara dalam dialek Rereiket, dia mulai bicara bahasa Mentawai. ‘Maeru ban maenu. Mantap’ ujarnya, ‘maagai ekeu’. Dalam bahasa Indonesia, ini adalah sebentuk pujian. Terjemahan bebasnya ‘bagus kawan main bola kamu. Mantap. Pintar kamu bermain bola.’ Saya menjawab dengan bahasa percaya diri sehari-hari Mentawai, ‘elek a teu ? kalau kiiiiiita’ (begitu ya pak? Kalau kiiiiiita!).

Iseng-iseng saya tanya apakah nyaman bermain bola dengan kabit? Ia menjawab, ‘Jika kamu memberinya celana bola yang tadi kamu pakai, saya akan menggunakannya minggu depan’. Jawaban selanjutnya sungguh tidak terduga: memakai celana bola, menambah biaya. Ya, saya harus beli celana dalam, katanya. Dengan kabit, ia tidak memerlukan celana dalam. Bukannya berkeringat? Bermain bola, untuknya, untuk bersenang-senang. Bukan untuk mencetak gol atau menang. Keringat bermain bola bukan jenis keringat yang sama seperti merambah hutan atau membuka ladang. ‘Semua yang bermain-main dan menyenangkan itu pasti membuat kita basah’, ujarnya sambil tertawa-tawa tanpa menjelaskan maksudnya.

Cara Teu Manai melihat sepakbola mengingatkan pada cerita remaja saya. Dulu saat pertama ikut klub sepakbola, ada banyak aturan sebelum para pemain menyentuh bola. Pelatih memulangkan teman yang mengenakan kemeja. Diharuskan mengenakan celana olahraga dan harus memakai sepatu bola. Setiap pemain harus melakukan pemanasan terlebih dulu. Padahal sebelumnya, seperti jutaan anak lainnya, saya bermain sepakbola tanpa memerlukan syarat tertentu. Anda punya bola—bisa bola plastik, gulungan kertas yang dibundel menyerupai bola, bola tenis, sandal—dan anda bisa main sepuasnya. Anda bisa bermain bola dengan celana seragam sekolah, telanjang kaki, atau sepatu biasa.

Setelahnya, kami tenggelam dalam cerita-cerita mengenai tanah, asal-usul leluhur, bagaimana menjadi sikerei, harga kakao, hasil kopra, dan tentu saja sepakbola. Lalu, dia memberi nasehat kepada saya agar tidak terlalu serius untuk bermain bola. Sepakbola adalah permainan dan kesenangan adalah hal utama. Menurutnya, sepakbola itu seperti berburu. Mendapatkan hewan buruan adalah penting, tetapi seseorang harus menikmati perburuan itu sendiri. Kalau tidak menikmati dan bersenang-senang, begitu ia mengatakan, simagre (roh) pemburu akan tertinggal di hutan. Seperti halnya berburu, sepakbola memberi efek permainan sekaligus keseriusan, tujuan-tujuan praktis dan sekaligus metafisis. Jadi, sepakbola harus dinikmati, kalau tidak roh kita akan tertinggal di lapangan? Begitu balas saya. Ia mengangguk serius dan mengatakan, jika tidak bermain-main, kita akan teringat-ingat kekalahan, terobsesi dengan kemenangan, dan karena itu kita melupakan kesenangan yang lain.

Terakhir dia mengatakan, keberhasilan sepakbola dan berburu sama: terletak dari mengkombinasikan kesenangan dan kesungguhan, kehebatan individu dan pembentukan tim sebagai kesatuan. ‘Dan disini,’ ujarnya, ‘hanya laki-laki sehat yang bisa melakukannya’.

Related Posts:

Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan Bola (2)

Oleh Darmanto Simaepa

Cara lain menikmati sepakbola adalah cerita dari Muntei, sebuah desa kecil dekat pantai di bagian tenggara Siberut. Desa ini terbentuk sejak tahun 1970-an melalui program OPKM (Otorita Pengembangan Kepulauan Mentawai) yang disponsori perusahaan kayu. Desa-desa OPKM umumnya memiliki lapangan sepakbola yang bagus dan cukup besar. Terletak di lembah Sabirut yang landai tempat bertemunya sungai Rereiket dan Silaoinan, desa ini merupakan kawasan yang subur dan sedikit makmur. Ladang kakao telah menyebabkan ekonomi desa ini bertahan menghadapi resesi akibat jatuhnya nilam dan cengkeh.

Lapangan bola Muntei sangat luas, dan barangkali salah satu yang paling bagus di pulau ini. Saya pernah menghitung: lebarnya mencapai 73 meter dan panjangnya hingga 110-an meter. Lapangan itu terletak lebih tinggi dari aliran sungai sehingga cukup kering meski agak miring dan di bagian timurnya akan tergenang air selepas turun hujan. Di sebelah kanan kirinya adalah ladang kakao, pisang dan kebun durian. Satu-satunya kekurangan lapangan ini adalah jenis rumputnya. Di sebelah barat yang datar dan cukup kering, rumput sipitpit tumbuh amat cepatnya. Di musim-musim hujan, pertumbuhannya luar biasa dan menyebabkan lapangan seperti ladang gandum. Batang dan bunganya tumbuh meninggi setinggi betis dan menyebabkan aliran bola tidak lancar. Putik rumput itu mudah tersangkit di kaos kaki.

Lapangan bagus cenderung menghasilkan tim bagus. Sejak mulai dikenalkannya olahraga ini pada awal 70-an, pemain-pemain bagus di Siberut bagian Selatan mulai bermain sejak kecil dari lapangan Muntei. Sepanjang tahun, generasi baru selalu bermunculan. Tim desa ini selalu segar. Anak-anak mudanya mendominasi susunan pemain SMA. Beberapa yang kuliah sesekali menjadi pemain sewaan di Padang. ‘Muntei bisa membentuk 3 tim sekaligus,’ Agustinus Sagari, ketua pemuda setempat menyatakan, ‘di setiap turnamen 17 Agustusan’. Sejak 2007, desa ini juara turnamen Kecamatan berturut-turut sehingga berhak mengkoleksi piala tetap.

Diantara generasi yang muncul paruh 2000-an, dua yang paling terkenal adalah Jingglo dan SiMax (bacanya Simex). Jingglo, nama baptisnya Januarius, adalah campuran dari ejekan sekaligus pujian. Dalam bahasa Mentawai dialek Sabirut, Jingglo berarti timpang atau berat sebelah. Ia mendapatkan nama itu karena kakinya tidak simetris—padanan populernya adalah milik Rivaldo. Kaki kanannya lebih panjang dan jika berjalan sedikit melengkung dan seperti membentuk huruf O. Usianya sekarang mungkin 27-an, dengan kulit agak gelap dan semampai. Sehari-hari ia mengolah batu-bata milik pamannya.

Teknik bermain Jingglo tidak mempesona tapi cara dia lari sambil membawa bola mungkin yang paling cepat di lembah itu. Posisi yang paling ia sukai adalah penyerang sayap. Walau kakinya asimetris, kecepatan larinya tak terhentikan. Cara larinya juga sangat unik. Dalam bahasa Jawa Timuran, seperti layang-layang gojeg—layang-layang yang bergerak ke kiri kanan karena tidak seimbang sayapnya. Saat pertama kali berhadapan dengannya, saya hanya mendengar suara celana di kedua pahanya bergesekan dan tiba-tiba saja dia sudah ada dimuka gawang.

Sementara SiMax memiliki nama asli Sergius Sabajou. Kisah namanya menjelaskan bagaimana ia bermain bola. Sebelum akrab dengan julukan itu, ia punya banyak nama. Dua yang terkenal adalah Si Prend (dari SiFriend) dan SiPitung dari sinetron SCTV. Sewaktu SMA, dia sering mencopot seragam dan lebih suka mengenakan kaus bertuliskan Max Bengkel. Ia mengaku punya baju itu setelah bapaknya mendapat bonus pembelian mesin pemotong rumput dari Bengkel milik pengusaha Tionghoa di Muara Siberut. Rumor yang berkembang, salah seorang gadis desa yang bekerja di bengkel itu adalah pacar gelapnya.

Di sekolah, ia kerap memparodikan dirinya sebagai pebengkel. Tidak ada yang tahu ia punya berapa kaus tipis berwarna putih itu. Yang pasti, di jalan, di sekolah, dan saat pergi ke ladang, ia terlihat mengenakan kaos yang sama. Ia adalah figur bandel. Terlihat merokok di sepanjang jalan menuju sekolah dan daftar absennya dipenuhi tinta merah. Ia selalu tinggal kelas sehingga membutuhkan 4 tahun untuk naik ke kelas 3 sebelum dipindahkan orang tuanya di Tua Pejat. Meskipun demikiant, teman-teman SMA mencintai dan menghormatinya. Semuanya karena kemampuanya memberi kebahagiaan pada banyak orang saat mengolah bola.

Bertubuh mungil, mungkin tidak sampai 160 cm tingginya, SiMax, barangkali bakat terbaik yang pernah saya lihat di Mentawai. Skillnya sangat hebat. Kedua kakinya sama kuat. Sprint pendek dan caranya mencari ruang sangat enak dilihat. Lompatanya juga sangat tinggi sehingga ia sering mencetak gol dari sundulan kepala. Beberapa orang menyebutnya si kancil, merujuk cara bermain Iswadi Idris pada masa jayanya: kecil, cepat, cekatan, dan cerdik. Bagi saya, caranya memainkan si kulit bundar mengingatkan saya pada Ronaldinho. Kejenakaan dan sifat main-mainnya membuat sepakbola menjadi alat beriang-gembira dan bahagia. Di pertandingan yang ketat, ia bisa membuat banyak trik, menembak bola dengan ekor kaki ala Maradona. Saat dijegal dan dicurangi bek, ia masih tersenyum, dan kemudian malah mendekati lawan sepanjang pertandingan untuk mempermainkannnya.

Dipertandingan Sabtu-Minggu, lebih banyak humor sepakbola darinya. Paling sering ia peragakan adalah ketika mendapat umpan terobosan. Ia akan berlari sekencang mungkin mendahului bola. Saat ia agak jauh melampaui aliran bola, tiba-tiba ia duduk dan bersedekap menunggu bola itu menghampirinya. Bila berhadapan satu-lawan-atu dengan kiper, ia sering mengerjainya: berputar-putar memaksa kiper keluar sarangnya dan lalu mencungkilnya. Jika memungkinkan, ia akan mengincar kolong kaki lawan, melewati kiper, menghentikan bola di garis gawang dan menyundulnya sambil rebahan atau menyorongnya dengan pantat.

Hanya saja, keduanya bisa mengeluarkan kehebatan terbaiknya jika tidak memakai sepatu. Semua teknik, Jurus dan skil yang mereka miliki ada di kaki telanjangnya. Ini agak menyulitkan tim Muntei di awal-awal pertandingan. Panitia tarkam selalu mensyarakat pengunaan sepatu—bisa sepatu kacang—untuk mengurangi cedera. Dalam 5 turnamen terakhir, mereka selalu mengenakan sepatu baru. Atau setidaknya kelihatan bersih dan baru dicuci. SiMax mengaku, sebagian besar sepatu yang ia pakai dari pinjaman atau milik pamannya. Bapaknya, yang bekas pemain, menyiapkan gaud, sejenis ramuan dari daun-daun yang dipercaya memiliki kekuatan gaib melindungi kaki.

Mereka tidak pernah mencetak gol cepat. Di awal-awal pertandingan, keduanya lebih sering terjatuh atau terpeleset dengan sepatu. Keduanya sulit menjinakkan bola dan mudah salah mengirim umpan. Sesekali sepatu itu lepas dari kaki. Jika itu terjadi, SiMax hanya tersenyum-senyum, mengambilnya, kadang menciumnya, mengacungkan ke arah penonton dan memakainya lagi. Dalam momen ini, penonton akan terbahak-bahak dan mulai berteriak agar SiMax melepasnya. Beberapa menit setelah wasit dan panitia sudah terhanyut oleh suasana pertandingan dan para pendukung Muntei mulai berteriak hilang kesabaran, keduanya menepi dan mencopot sepatunya. Setelah sepatu itu berhasil dilepas, lepas pula beban dikepala mereka. Gol-gol tinggal menunggu waktu dan permainan menemukan bentuk terbaiknya. Saat hari hujan, keduanya tidak melepaskan kaus kaki.

Empat kali Saya menghadapi Jingglo dan dua dengan SiMax dalam kejuaraan resmi. Sekali menang dan sisanya adalah kekalahan. Saat cuaca cerah tahun 2007, tim yang saya bentuk Kompass, mengalahkan mereka 4-0. Yang paling ingat saya ingat adalah perempat final tahun 2008. Waktu itu cuaca mendung dan lapangan becek karena hujan deras pagi hari. Dalam 12 menit pertama, Kompass sudah unggul 2 gol. Saat itu, mereka masih mengenakan sepatu. SiMax ada di tim cadangan karena terserang flu. Setelah Jingglo kesulitan sendirian di depan, SiMax diturunkan. Sampai babak pertama—saat mereka masih menggunakan sepatu—kedudukan masih tetap 2-0.

Lalu mereka menanggalkan sepatu dan 45 menit berikutnya bermain dengan kaos kaki saja. SiMax dengan kaki telanjangnya mencetak gol terbaik yang pernah saya saksikan selama 7 tahun di Siberut. Di luar kotak penalti, sambil membelakangi gawang dia menerima umpan dengan dadanya. Kecerdikannya memperdayai bek kami dengan cara melambungkan bola melewati bahu lawan, lantas menimang-nimang bola dengan tiga-empat kali sentuhan. Masih membelakangi gawang, tanpa melihat ke arah sasaran, sebelum bola jatuh ke tanah, dia mengirisnya dengan kaki bagian luar. Bola melengkung menuju sudut gawang dan kiper hanya terpaku diam. Sebuah gol yang mungkin lebih indah dari milik Thierry Henry ke gawang Barthez satu dekade lalu. Setelah gol itu, pertandingan milik Muntei.

Dengan usia masih muda, bakat SiMex menarik minat pengurus PSSI Mentawai. Kebetulan, pamannya yang menjadi anggota DPRD (2004-2009) adalah ketuanya. Tahun 2007, dalam usia 17, ia ikut seleksi tim Pekan Olahraga Daerah (Porda). Seleksi dilakukan di kota Padang—dan ia datang. Oleh pamannya, ia dibelikan kostum, kaus kaki, sepatu, deck pelindung tulang betis yang baru. Ia dibelikan sepatu yang cukup mahal. Karena tidak ada ukuran seragam yang pas, ia mengenakan kaos dan celana yang menelan seluruh tubuhnya.

‘Hilang semua ilmu saya,’ sambil nyengir dia menceritakan pengalaman seleksi itu, ‘karena pakai sepatu bola’. Gampang ditebak, seleksi itu hanya menambah panjang daftar gagalnya bakat terbaik sepakbola untuk dirubah menjadi pemain hebat. Seluruh kejenakaannya lenyap dalam seleksi itu. Perasaan riang dan gembira saat bersama bola menguap bersama uang yang dibayarkan pamannya untuk kostum itu. Pelatih tim Mentawai mengatakan, bahwa SiMax punya bakat yang hebat. Namun, ia menjelaskan, tidak mungkin bertanding tanpa sepatu di kalender pertandingan milik PSSI. Saat saya tanya mengenai kesempatan yang hilang, SiMax mengatakan, lumayan sudah pernah ke Payakumbuh dan mendapat uang belanjat Rp300,000 dari panitia seleksi.

Di belahan dunia yang lain, para produsen apparel sepakbola berlomba menciptakan sepatu yang paling hebat dan paling mahal: bola yang paling ringan, dan kaus yang paling menyerap keringat . Konon katanya, semua ditujukan agar sepakbola semakin menghibur, lebih banyak gol, kontrol semakin akurat. Atau lari lebih kencang. Sepatu-sepatu dibuat seringan mungkin, setipis yang bisa dicapai, didesain agar cocok dengan lapangan sintetis atau licin. Semua dibuat dengan kalkulasi matematis agar penyerang bisa menciptakan gol dan memecahkan rekor. Tapak kaki dilindungi agar cedera tidak menghampiri.

Tampaknya, Messi dan Ronaldo harus belajar mencetak gol dari Jingglo dan Max. Juga, Adidas dan Nike harus merevisi iklannya.

Related Posts:

Tentang Dua Penonton yang Terkapar*: Sebuah Narasi Kekalahan


Oleh Mahfud Ikhwan


“Ah, ini pasti gara-gara Pak Mahfud nonton. Kita jadi tak bisa suap wasit.”

-- Sriyono, warga Sambilegi, tetangga Mahfud MD--


Sebelum Kekalahan

Saya sangat menikmati kemenangan Indonesia saat melawan Vietnam di semifinal. Mungkin karena terlalu senang, saya tak melakukan hal lain selain berlama-lama menikmatinya. Darmanto Simaepa di kamar sebelah juga mengalami kegembiraan yang sama. Bedanya, energinya cukup besar untuk menyalurkan rasa syukurnya ke tulisan tiga halaman yang penuh puja-puji. Kepada Andik Vermansyah, Egi Melgiansyah, Diego Michiels, dan—yang paling aneh—kepada Jose Mourinho. Boleh dikata, hari itu, demi Indonesia, ia “mengkhianati” Barcelona sekaligus bersimpuh di haribaan “musuh sepakbola nomor satu” versinya sendiri.

Tapi, masa-masa menikmati itu tak panjang. Malam kedua setelah pertandingan, saya mengalami serangan dari dalam—yang oleh Darmanto diistilahkan sebagai “demam”. Ada keinginan kuat untuk membuat sebuah tulisan menjelang partai final lawan Malaysia. Namun, hanya sebuah judul aneh dan dua paragraf yang meragukan yang bisa saya hasilkan. Ketika keesokannya bisa bangun pagi, saya kembali coba menulis. Kali ini lancar.

Cantelan tulisannya berasal dari gestur pelatih Vietnam Falko Gotz saat mengingatkan penjaga gawangnya agar membusungkan dada dan menegakkan kepala, meski ia baru saja mengalami cedera leher lumayan parah. Yang menarik, Rahmad Darmawan tidak melakukan hal yang sama bagi pemain-pemainnya. Bukan karena ia terlalu kalem seperti Wim—ia berlari dengan mulut terbuka dan tangan mengepal ke udara saat Tibo mencetak gol kedua. Bukan juga karena tak ada pemainnya yang berlari dengan rasa sakit (bisa kita lihat sendiri, Nguyen Trong Hoang, pemain Vietnam bernomor 8 yang menyebalkan itu, melabraki semua pemain Indonesia yang dihadapinya). Mungkin RD sudah melakukannya di ruang ganti. Bisa jadi Malaysia-lah yang justru melakukannya pada pertandingan sebelumnya. Tapi, yang jelas, para pemain kita tampak tak perlu disuruh untuk tampak tangguh di depan musuh.

Saya kemudian menemukan frasa “daya tahan”. Sesuatu yang berkait dengan kemampuan untuk survive. Ini meliputi ketabahan menahan rasa sakit, ketangguhan menanggung kelelahan, kekuatan menghadapi tekanan, kesabaran untuk menunggu peluang. Dalam sejarah sepakbola dunia, ini dicontohkan oleh timnas Jerman Barat 1958 dan 1974 serta Italia 1982 dan 2006 saat menjadi juara dunia.

Di Indonesia, “daya tahan” itu dicontohkan oleh tetap penuhnya kepulauan ini oleh manusia penghuninya meski 5 dari 10 bencana terbesar yang melanda dunia terjadi di tempat ini. Juga tentang bagaimana bangsa ini melewati masa-masa revolusi. Dan, coba cermati, dalam sejarah sepakbolanya, “daya tahan” adalah kunci utama saat timnas Indonesia mengalami puncak-puncak kejayaannya. Misalnya, menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956, menjadi semifinalis Asian Games Seoul 1986, juga medali emas Sea Games 1987 dan 1991. Dalam capaian-capaian timnas yang selalu diceritakan berulang-ulang itu, bukan ketajaman para striker yang menentukan, tapi ketahanan tim untuk menanggungkan tekanan. Di sisi lain, pada setiap kegagalan menyakitkan yang dialami timnas Indonesia, itu adalah saat “daya tahan” itu menguap entah di mana. Blunder libero Ronny Pattinasarani pada final Sea Games 1979 dan semifinal Sea Games 1981, kaki gemetar Uston Nawawi saat adu penalti di final Sea Games 1997, hingga insiden sinar laser dan kecerobohan Maman Abdurahman pada final AFF Cup 2010.

Karena “daya tahan”-lah Indonesia menang atas Vietnam di semifinal. Dan menurut saya, itu pasti akan menjadi kunci mengalahkan Malaysia di final.

Tapi, karena hingga menjelang sore saya tak menemukan penjelasan yang memuaskan dan mendalam tentang “daya tahan”, yang membuatnya tak sekadar sebagai pengindonesiaan istilah endurance semata, tulisan itu tidak selesai. “Daya tahan” itu tak saya miliki. Saya meninggalkannya begitu saja untuk menonton pembantaian Myanmar atas tim yang tak lagi memiliki daya tahan, Vietnam, 4-1.


Saat-saat Kekalahan

Karena kami kehabisan gula, sebelum pertandingan Darmanto keluar sebentar untuk membeli gula, ditambah sebungkus keladi goreng dan sebanjar biskuit selai. Tak memperhitungkan volume gula dan volume toples wadahnya, Darmanto membuat sebagian gula tumpah berceceran saat menuangnya. Karena saya cukup optimistis (juga karena saya seorang Islam modernis), saya hanya menganggap kejadian itu sebagai kecerobohan dan bukan pertanda buruk.

Meski begitu, sebagai penonton bola yang—ehm—lumayan berpengalaman, kami sebenarnya melihat pertanda buruk itu. Kekalahan telak Vietnam atas Myanmar pada perebutan medali perunggu adalah karena kelelahan setelah semifinal yang keras itu. Dan, karena menjalani pertandingan yang sama dengan Vietnam, Indonesia sangat mungkin mengalami hal yang sama. Apalagi pada pertandingan dua hari lalu itu, Egi, kapten dan pemain terpenting tim Indonesia saat ini, keluar dari lapangan dengan cedera.

Namun, gol cepat Gunawan Dwi Cahyo di menit ke-4, merontokkan semua prasangka. Kami berdua teriak sekencang-kencangnya, lupa kalau rumah-rumah di sekitar adalah milik keluarga polisi, tentara, dan satpam. Kami semakin bersemangat setelah Indonesia mengurung pertahanan Malaysia hinga 10 menit berikutnya. Pada saat itulah kami berani bicara tentang rencana tulisan masing-masing jika Indonesia menang. Kami semakin bersemangat dengan ide masing-masing saat Tibo tampak menceploskan gol yang kedua. Sayang offside.

Tapi keadaan macam itu tak berlangsung lama. Serangan Indonesia mengendor, dan Malaysia mulai leluasa menekan. Ujungnya adalah gol balasan Asra pada menit ke-33. Bersamaan dengan itu, mulai kelihatan apa yang sebelumnya dikuatirkan: kelelahan. Melihat laju Andik jauh melambat, sementara Wanggai tampak linglung di wilayah pertahanan lawan, saya mulai jadi lebih pendiam. Tapi Darmanto semakin banyak mengoceh.

Babak kedua dimulai, Malaysia langsung ambil kendali. Sebaliknya, di depan televisi, Darmanto mulai hilang kendali. Ia mengomentari hampir setiap gerak bola. Ia memaki setiap pemain Indonesia yang melakukan kesalahan. Namun, saat Indonesia menguasai permainan, menyerang, dan membuat peluang (dan gagal), ia mulai berbuat kerusakan: membanting antena duduk tv di depannya, menggampar dinding di belakangnya, atau menghempaskan keladi goreng yang digenggamnya. Tapi, penderitaan saya tak lebih ringan. Selain harus berkali-kali membenarkan letak antena akibat ulah tangan jahat itu, saya juga menahan mulas hampir sepanjang pertandingan. Pasti itu karena setiap peluang Malaysia yang nyaris jadi gol atau peluang Indonesia yang gagal seakan selalu jadi tendangan yang telak ke arah perut.

Ketika dua kali babak perpanjangan harus disambung adu penalti, saya mulai pasrah. Bayangan buruk tentang Ronny Wabia dan Uston Nawawi di final sepakbola Sea Games 1997, di tempat yang sama, menghantui saya. Darmanto, yang juga lunglai, mulai menghibur dirinya dengan berceloteh tentang teori-teori adu penalti. Ia memperkirakan Egi akan jadi penendang pertama dan Tibo yang terakhir.

Ketika Tibo yang pertama maju, Darmanto memegang kepalanya tanda cemas. “Tatap mata kiper! Tatap matanya!” teriak Darmanto—seakan ia ada di bangku cadangan Indonesia. Kami memekik sekencangnya saat penalti Tibo sukses. Tapi, Darmanto kembali menjerit-jerit ketika Gunawan maju sebagai penendang berikutnya. “Oh, para pencetak gol di pertandingan terbuka biasanya gagal saat adu penalti!” katanya. Saya terpengaruh. Apalagi melihat ia berkomat-kamit terlalu banyak. Saya menyangka ia tak cukup percaya diri. Hasilnya, doa Gunawan tumpul dan sumpah-serapah Darmanto yang manjur. Kami baru menjadi lebih tenang setelah eksekusi Fakri diblok Kurnia Meiga.

Tapi, tiga menit setelah itu adalah kesunyian. Seperti garis lurus di alat pendeteksi detak jantung yang ditempelkan ke badan orang mati. Tak ingin melihat tempik-sorak pasukan kebangsaan di kejohanan Sukan Sea dan tangis Ferdinand Sinaga, saya langsung mematikan tv dan keluar ruangan; meninggalkan antena yang baru saja dibanting, keladi goreng yang berserakan, dan seorang penonton yang terkapar dengan tangan lunglai seperti maling yang usai dihajar massa.

Karena perut kosong, sebagaimana kepala kami, makan tampak jadi pilihan yang bijak. Tapi, Darmanto belum sembuh benar dari “suwung”-nya. Di warung bakmi jawa, ia mencemooh pembeli lain yang bilang Indonesia tidak kalah dan cuma tidak beruntung. Ia juga menumpahkan minumannya.

Usai makan, saya segera tidur dengan film India lama sebagai pengantar. Sementara itu, Darmanto, menurut pengakuannya, tak sanggup memicingkan mata hingga pagi berikutnya.


Setelah Kekalahan

Tak ada yang perlu dijelaskan...


*Didedikasikan untuk dua orang penonton yang meninggal di GBK. Semoga Tuhan menerima amal baiknya, dan pengurus PSSI yang menerima segala kesalahannya.


Sambilegi, 23 November 2011

Related Posts:

Belakang Gawang Dikosongkan untuk Waktu yang Belum Ditentukan...

Oleh Belakang Gawang

Karena gawangnya dibakar, maka, dengan ini dinyatakan bahwa Belakang Gawang, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, akan dikosongkan. Untuk apa bertakik-takik ngomong bola, berbuih-buih mengutak-atik pertandingan, jika timnas Indonesia tak menang-menang. "Gabah sinawur wono, mubazir tanpa guno," begitu pelawak Baseman pernah ucapkan.

..............................................................................................................................................................................

Related Posts:

Saat Salim Bermain untuk Malaysia*

Oleh Mahfud Ikhwan


“Salim lahir dengan bola di kakinya,” demikian kata orang-orang desa tentangnya.

Sejak kecil, bakat main sepak bola Salim memang luar biasa. Jika bola sudah berada di kakinya, sepertinya, tak ada yang bisa merebutnya. Lawannya hanya bisa menunggu sembari berdoa agar ia tersandung dan bola akan lepas. Sementara, kiper hanya berharap tendangan Salim melenceng. Tapi, itu sulit terjadi. Badannya sangat kuat. Keseimbangan tubuhnya tiada tara. Larinya kencang bukan main. Dan sepakannya akurat. Para orang tua di desanya menganggapnya titisan Maradona, entah bagaimana caranya. Sementara anak-anak sebayanya, dengan agak berlebihan, menganggap Salim tidak kalah dengan Zinedine Zidane.

Dengan bakat yang dimilikinya, tidak berlebihan ia bercita-cita suatu saat bisa bermain dengan kostum hijau-hijau Persebaya, klub yang dicintainya. Sayangnya, bakat saja tidak cukup. Untuk menjadi pemain Persebaya, tentunya Salim mesti bisa menunjukkan kemampuannya pada pelatih atau pengurus Persebaya. Dan inilah yang sulit. Untuk itu, hanya ada satu cara: ikut berlatih di klub-klub milik Persebaya. Itu artinya, ia mesti tinggal di Surabaya serta membayar sejumlah uang untuk pendaftaran dan iuran bulanan. Artinya pula, ia mesti jauh dari rumah, tidak bisa membantu bapaknya menggarap sawah atau menjadi buruh tani di ladang tetangganya. Itu pun tidak menjamin ia bisa mulus masuk skuad Persebaya. Rahman, seorang teman Salim yang pernah berkabung di salah satu klub anggota Persebaya, gagal masuk Persebaya—meski telah menghabiskan banyak uang untuk iuran dan biaya hidup.

Ada cara lain, yang mungkin lebih murah. Yaitu, dengan bermain di klub-klub yang lebih kecil di kabupatennya. Itu bisa dicapai dengan cara bermain sebanyak mungkin di kejuaraan-kejuaraan lokal yang bisa membuatnya dikenal. Namun, ini akan memakan waktu yang panjang dan lebih tidak menjamin lagi. Sebab, kompetisi lokal biasanya hanya diadakan setahun sekali, menjelang 17 Agustusan.

Itulah. Semuanya jadi terasa sulit. Bukan saja karena Salim lahir di sebuah desa yang begitu pelosok (yang sepertinya jauh dari manapun juga), tapi juga karena orangtua Salim terlalu miskin untuk mendukung cita-cita anaknya.

Ketika Salim berumur 16 tahun, tak lama setelah lulus MTs, cita-citanya jadi pemain Persebaya jadi makin mustahil. Seperti teman-teman sebayanya di desa, ia harus memutus sekolahnya—meskipun ia bukan anak bodoh. Ia mesti mulai bekerja. Dan, itu artinya, ia kudu pergi ke Malaysia. Sebab, hanya di sanalah pekerjaan tersedia.
Untuk berangkat, ia dapat talangan 2 juta dari seorang makelar TKI, dengan jangka waktu pembayaran selama 6 bulan. Bagi Salim, hal itu jauh lebih jelas dan lebih menjanjikan baginya dari pada harus hutang tetangga 800 ribu untuk biaya latihan di sebuah klub sepakbola.

***

Maka, setelah bertangis-tangisan dengan ibu dan bapaknya, ia berangkat. Hampir seminggu ia terapung-apung di laut dengan kapal feri, antara Tanjung Perak, Belawan, Dumai, lalu Melaka. Seminggu berikutnya, ia telah bergabung dengan teman-temannya sesama warga desanya bekerja di proyek pembangunan perumahan di wilayah Ipoh, dekat Kuala Lumpur. Meski masih sangat muda, ia tidak kesulitan mendapat pekerjaan di proyek. Badannya besar dan tenaganya kuat. Dua modal paling berharga para pekerja bangunan di Malaysia itu dimilikinya.

Lalu, bagaimanakah dengan cita-citanya jadi pemain Persebaya? “Sudah aku buang di laut. Pas naik kapal kemarin,” demikian jawab Salim, setiap ada yang bertanya soal cita-citanya. Jawaban itu biasanya disertai tawa kecil. Kini, Salim sudah cukup berbahagia bisa mulai mencicil hutang kepada makelarnya, mengirimi ibunya kain melayu, dan main bola plastik dengan teman-temannya sesama pekerja proyek di luar jam kerja.

Tapi, Salim rupanya tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Sepakbola tidak pernah benar-benar dibuangnya ke laut. Ia hanya menelannya dalam-dalam, menyembunyikan di dasar kepasrahannya. Buktinya, dengan tabungan yang dikumpulkannya, bukannya membeli celana Camel atau tape deck Aiwa yang jadi idaman setiap TKI remaja, ia justru beli sepotong kaus Liverpool, sepasang sepatu bola Nike termurah, dan sebuah bola buatan Tangerang.

Satu lagi yang tak cukup disadarinya, ia kadang terlalu sungguh-sungguh saat bermain bola plastik. Saat menggiring bola di tanah kosong dekat proyek, Salim tetap membayangkannya sedang melakukannya di Stadion Tambaksari Surabaya. Ia terlalu polos untuk menyembunyikan kemampuan sepakbolanya. Tentu saja ini tidak bisa diimbangi oleh teman-temannya yang bermain bola untuk senang-senang saja. Akibatnya, Salim terlalu mendominasi setiap permainan. Setiap tim yang dibela Salim akan menang dengan angka mencolok atas tim lawan. Akibat lebih jauh, setiap orang berebut untuk jadi satu tim dengan Salim. Jika tidak satu tim dengan Salim, biasanya mereka jadi malas bermain. “Ya, lebih baik jadi penonton saja daripada dipermalukan,” demikian mereka beralasan.

Maka, untuk menghindari kemungkinan yang lebih buruk, beberapa orang mengusulkan untuk mencari lawan dari tim proyek lainnya saja. Ini adalah sesuatu yang baru. Sebelumnya, jangankan mencari lawan, mendapat tantangan dari tim proyek lain pun tak pernah mereka layani. “Ah, kita main bolasepak untuk senang-senang saja,” demikian jawaban penolakan mereka sebelum-sebelumnya. Tapi, setelah ada Salim, mereka sepertinya lupa dengan jawaban itu. Kini saatnya main sepakbola untuk kebanggaan.

Lawan pertama pun mereka dapatkan. Tim lawan ini berasal dari pekerja proyek jembatan yang tidak jauh dari lokasi proyek Salim dkk. Jika Salim dkk. adalah kelompok TKI Jawa, lawan mereka adalah kelompok TKI Aceh. Kedua tim bertanding di sebuah lapangan di komplek perumahan yang mereka bangun sebelumnya. Sebelum ada Salim, mereka tidak pernah bisa membayangkan bertanding melawan tim TKI Aceh. Orang-orang Aceh terkenal sebagai pemain bola yang bagus. Tapi kini, dengan Salim ada di antara mereka, siapapun lawannya, sepertinya akan mudah. Dan, benar. Meski tidak semudah yang dibayangkan, mereka dapat memenangkan pertandingan melawan tim TKI Aceh.

Kemanangan atas tim Aceh, membuat Salim dkk. makin percaya diri. Setelah itu, setiap ada cuti, Salim dkk. selalu mencari lawan tanding. Usai mengalahkan TKI Aceh, giliran tim Boyan (sebutan lazim untuk TKI dari Pulau Bawean) mereka sikat. Lalu, tim dari Flores, Sumbawa, kemudian Padang. Pertarungan paling berat mereka hadapi saat menghadapi kelompok pekerja Vietnam.

***

Pada sebuah ujung liburan perayaan Cina, mereka bertanding melawan tim Bangla, sebutan untuk pekerja Bangladesh atau India. Tidak bisa disangkal, ini adalah salah satu pertandingan besar bagi Salim dkk. Tim Bangla sangat terlatih. Hal ini dikarenakan mereka sering bertanding. Dan satu lagi, mereka punya tauke seorang penggila bola, Mahesh Gunalan. Dengar-dengar, Mahesh adalah bekas pemain sepakbola yang pensiun dini karena cedera. Kabarnya pula, ia punya hubungan keluarga dengan seorang petinggi sepakbola Malaysia. Tidak heran, meski hanya terdiri dari para pekerja proyek, Mahesh mengurus timnya dengan serius. Meski berkulit gelap, berbadan besar, dan berbulu lebat sebagaimana orang-orang Bangla, Mahesh adalah seorang Malaysia tulen. Dan, seperti kebanyakan warga Malaysia, ia selalu bersemangat ingin mengalahkan Indonesia. Meski hanya para pekerja proyek, mengalahkan mereka adalah tetap sebuah kebanggaan besar.

Tapi, ketika ia melihat seorang anak muda dari tim pekerja Indonesia, meliuk-liuk indah melewati para pemainnya, sepertinya harapan mengalahkan para pekerja Indonesia itu bukan pekerjaan mudah.

“Lihat budak kecil itu! Celaka!” teriak Mahesh kepada anak buahnya yang duduk di sampingnya, seorang Melayu, dengan pandangan tetap tertuju ke arah Salim.

“Awak dengar namanya Salim,” jawab si anak buah.

“Indon celaka!” hentak Mahesh ketika sebuah sebuah sepakan Salim dari luar kotak penalti bersarang manis di gawang tim Bangla. Sorakan Salim dkk. ditingkahi oleh tangan Mahesh yang mengepal geram. Namun, ia tidak bisa menutupi kekagumannya terhadap permainan Salim.

Sesaat kemudian ia berteriak-teriak kepada para pemainnya. Tidak ada pelatih bagi sebuah tim proyek, dan karena itu Mahesh-lah yang mengatur permainan timnya. Dengan bahasa Melayu yang kental, agar menyerukan untuk memperbaiki permainan, dan terutama mengawasi pergerakan Salim. Tak lama kemudian, tim Bangla mencetak gol balasan. Namun, kini itu sepertinya tidak lagi menjadi yang terpenting bagi Mahesh. Karena perhatian Mahesh lebih banyak tersedot kepada gerak-gerik Salim.

“Indon tak tahu pebolasepak bagus! Budak itu mestinya main untuk tim kebangsaan di Olimpic, tak di tim macam ni! Celaka!” katanya lagi-lagi kepada anak buahnya yang duduk di sampingnya. Kata-kata itu kemudian ditutup oleh gelengan kepala yang keras, sebab secara bersamaan, sebuah solo run Salim diakhiri oleh gol cantik. 2-1.

Mahesh kecewa karena timnya kalah. Namun, ia mendapatkan penawar yang setimpal: penampilan Salim. Ia seperti melihat dirinya di saat muda, sebelum cedera parah menghajar lututnya. Ia menemukan masa depan sepakbola akan terus berlanjut. Ketika dua tim saling bersalaman seusai pertandingan, Mahesh juga turut menyalami tim lawan. Dan ketika giliran menjabat tangan Salim, Mahesh berhenti cukup lama. “Gol nan elok. Tahniah. Salut,” puji Mahesh. Salim hanya tersipu.

“You seharusnya jadi profesional,” kata Mahesh lagi. Dan lagi-lagi, Salim hanya tersenyum. Ia sebenarnya mau bicara bahwa itulah cita-citanya sejak kecil. Tapi, Salim hanya diam. Dan lagi-lagi, kembali tersenyum.

***

Sore itu, mess yang dihuni para pekerja proyek itu tiba-tiba menjadi ribut. Bukan karena pertandingan sepakbola, sebagaimana biasanya. Namun, karena sebuah surat yang aneh namun menakjubkan. Surat itu berasal dari Syarikat Bolasepak Wangsa Maju (WMFC), sebuah klub sepakbola yang bermain di Divisi III Liga Malaysia. Surat ditujukan kepada Salim. Isinya, meminta Salim datang ke markas klub guna melakukan tes.

“Kamu akan jadi pemain sepakbola yang betul, Lim?” komentar seorang teman Salim.

“Gajinya besar, Lim. 35 ribu ringgit!” seru yang lain.

“Kamu akan lebih terkenal daripada Elie Aiboy!” yang lain lagi menambahi.
Salim sendiri tak bisa berbicara apa-apa. Baginya, ini semua seperti sebuah dongeng yang penuh keajaiban. Ia tidak pernah mengirim lamaran apapun, ke satu klub mana pun. Tiba-tiba saja sebuah klub memangilnya untuk menjalani tes, meski dari sebuah klub Malaysia yang tidak begitu dikenalnya. Ia masih ragu-ragu kalau-kalau surat ini salah alamat. Bisa jadi, bukan dirinya yang dimaksud. Ada Salim yang lain. Namun, setelah berkali-kali ia membola-balik sampul surat dan membaca isi surat, ia tidak menemukan alasan untuk meragukan bahwa Ahmad Salim yang dimaksud dalam surat tersebut adalah dirinya.

Pada hari yang telah ditetapkan, sebagaimana yang tertera dalam surat panggilan, Salim berangkat ke markas WMFC. Ia diantar oleh seorang teman yang telah puluhan tahun bekerja di Malaysia dan paling lengkap dokumen kerjanya di antara semua teman Salim. Sementara Salim sendiri hanya mengantongi permit kerja yang ia sendiri meragukan keaslianya.

WMFC berhomebase di sebuah stadion berukuran mungil (kira-kira berkapasitas 12000 penonton yang terletak di pinggiran kota Kuala Lumpur. Untuk klub yang berlaga di Divisi III, punya stadion yang dapat menampung 12000 penonton sudah lebih dari cukup. Apalagi, semua fasilitas tampak baik dan sangat terawat. Hal itu telah cukup membuat Salim berdebar-debar ketika memasuki komplek klub.

Setelah menunggu beberapa saat, seorang perempuan berumur 40-an tahun dan berwajah Melayu yang mengaku sebagai sekretaris manajer klub menyambutnya. Namanya Syarifa Zainon. Orangnya ramah dan menyenangkan. Bersama Cik Syarifa ini, Salim kemudian dibawa menemui pelatih klub, (di Malaysia biasa disebut jurulatih). Ia adalah laki-laki berbadan besar, berkulit gelap, dengan rambut yang mulai memutih dan perut yang agak membuncit. Dengan suara bariton dan logat Melayu yang kental, sang jurulatih mengenalkan diri sebagai Suresh Gunalan. Suresh tidak lain adalah kakak Mahesh Gunalan, tauke tim Bangla yang bebeberapa waktu lalu memuji permainan Salim. Kata Suresh, Mahesh-lah yang merekomendasikan nama Salim kepadanya.

***

Salim masih merasa seperti bermimpi ketika dia melakukan raga bola di depan tim jurulatih WMFC. Demikian pula ketika ia melakukan tes kesehatan. Setelah dinyatakan lulus dan menandatangani kontrak satu tahun, barulah ia sadar bahwa ia kini telah menjadi seorang pesepakbola profesional. Usianya, 17 tahun 3 bulan.

Tidak bisa digambarkan seperti apa perasaan Salim. Ini semua tidak pernah dibayangkan. Inilah yang disebut nasib. Empat belas bulan lalu, ketika ia berangkat ke Malaysia, ia dengan getir mencoba mencampakkan cita-citanya menjadi pemain sepakbola. Dan kini, ia telah menyandang kostum sebuah kesebelasan. Ada logo sebuah klub di dadanya. Namanya, sebentar lagi, akan tercatat di database Football Association of Malaysia sebagai salah satu dari ribuan pemain profesional di Liga Malaysia. Ia tidak peduli meski berada di sebuah klub yang masih berkutat di Divisi III. Ia tidak ambil pusing meski ia tahu gajinya adalah yang paling kecil dari semua pemain di klub tersebut. Ia juga akan cukup sabar menunggu hingga musim depan mulai, sembari menunggu visa kerjanya dibereskan oleh klub.

Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana berlatih segiat-giatnya, meningkatkan kemampuan dan fisik sebaik-baiknya, dan memulai karir profesionalnya semulus mungkin. Bagaimana pun, WMFC telah membuat mimpi yang sempat dicampakkannya itu kini menjadi terasa dekat dan terjangkau. Dan ia tak mau menyia-nyiakannya dengan tampil alakadarnya. Inilah masa depannya.

***

WMFC beruntung menemukan Salim. Bukan saja karena masih sangat muda dan mau digaji rendah, tapi juga karena tipe pemain seperti Salim-lah yang mereka butuhkan. Seorang pemain tengah yang eksplosif sekaligus impresif. Badannya kuat dan besar, drible-nya mantap, dan tendangannya akurat.

Pada tahun pertamanya, Salim belum berhasil membawa Wangsa Maju melaju ke divisi yang lebih terhormat. Di penghujung kompetisi, WFMC hanya bertengger di posisi lima klasemen akhir. Sebuah prestasi yang tidak buruk, sebab ini adalah prestasi tertinggi WMFC selama lima tahun terakhir. Cukup sulit keluar dari tradisi WMFC yang selama ini hanya jadi tim medioker saja di Divisi III Liga Malaysia. Meski demikian, sebagai pemain debutan dan pemain muda, Salim sama sekali tidak bisa disebut gagal. Ia disebut-sebut sebagai pemain tengah paling impresif di kompetisi Divisi III Liga Malaysia. Statistik menjelaskan, ia adalah pemain tengah di kompetisi yang paling produktif mencetak gol, dengan 14 gol.

Tapi Salim tak hanya penting di lapangan hijau. Ia juga jadi andalan klub di luar lapangan. Nama Ahmad Salim, pemain kelahiran Indonesia, bekas seorang pekerja bangunan, rupanya menarik perhatian komunitas TKI di seantero Kuala Lumpur. Mereka berbondong-bondong mendukung Salim setiap WMFC berlaga. Tidak heran jika jumlah rata-rata suporter yang datang ke stadion merupakan rekor yang paling tinggi yang pernah dicapai WMFC.

Jika selama ini WMFC identik dengan suporter Bangla-nya, kini lambat-laun mulai berubah citra. Perubahan citra itu tidak lain karena banyaknya para pekerja Indon yang jadi pendukung setia WMFC. Maka, warna bendera merah putih di tribun-tribun WMFC kini jadi pemandangan biasa. Juga, yel-yel berbahasa Jawa, kini jadi nuansa yang tidak bisa dipisahkan dari pertandingan demi pertandingan yang dilakoni WMFC.
Dengan keberadaan Salim di dalam skuad WMFC, manajemen klub menjadi lebih percaya diri dan lebih serius dalam menyongsong musim kompetisi berikutnya. Mereka tidak lagi berpikir sebatas bertahan di kompetisi, namun mantap menargetkan untuk melaju ke divisi yang lebih tinggi, yaitu Liga Perdana Malaysia. Kabarnya pula, manajemen klub juga mulai berpikir untuk menambah kapasitas stadion.

***

Salim akhirnya berhasil membawa klubnya melaju ke Liga Perdana pada musim ketiganya. Timnya meraih posisi kedua di klasemen akhir dan dengan demikian berhak untuk promosi ke level kompetisi yang lebih tinggi. Kaberhasilan WMFC promosi ke Liga Perdana ini disambut dengan meriah oleh komunitas TKI di Kampung Pandan dan selitarnya. Para TKI, yang sebagian adalah teman-teman sekampung dan bekas teman satu proyek Salim, menggelar pesta seolah-olah sedang menyambut 17 Agustus-an di negeri sendiri. Untuk sejenak mereka lupa kalau di Malaysia mereka hanya perantauan dan orang upahan. Mereka bahkan lupa, dalam suasana seperti itu, Jawatan Imigrasi Malaysia (para TKI menyebutnya, migresyen) bisa saja melakukan penggerebegan dan manggaruk beberapa di antara mereka yang tidak lengkap dokumen kerjanya.

Kegembiraan itu bertambah-tambah ketika keesokan harinya, di foto depan beberapa koran, mereka menemukan wajah Salim yang terlihat tersenyum bangga. Ia dinobatkan sebagai pemain muda terbaik kompetisi Divisi III Liga Malaysia musim itu. Di koran, Salim menyatakan bahwa ia tidak begitu memikirkan soal penobatan dirinya sebagai pemain muda terbaik. Yang terpenting, kata Salim kepada wartawan, Wangsa Maju FC saat ini berada di Liga Perdana. Meski demikian, Salim mengucapkan terima kasih kepada FAM yang telah memilihnya. Ia menganggap terpilihnya dia sebagai pemain muda terbaik tidak lepas dari dukungan rekan-rekan timnya, manajemen klub, dan tentu saja para suporter—terutama para TKI yang senantiasa mendukungnya.

Foto dan pernyataaan Salim ini sangat mengharukan untuk sebagian besar TKI. Selama ini, jika ada gambar TKI di halaman depan, dapat dipastikan itu adalah gambar TKI ilegal yang tertangkap. Apalagi mereka merasa Salim tidak melupakan mereka. Ibu-ibu, yang sebagian besar bekerja sebagai orang gaji (sebutan orang Melayu untuk pembantu rumah tangga), ramai-ramai membeli koran dan menyimpannya. Tidak peduli meski di antara mereka banyak yang tidak bisa membaca dengan baik. Mereka merasa Salim adalah juga anak mereka. Tidak lupa pula mereka saling berandai-andai untuk mengambil Salim sebagai suami bagi anak-anak gadis mereka di kampung.

“Ganteng ya, anak ini,” kata seorang ibu menunjuk gambar Salim. “Lihat.”

“Kuambil untuk anakku, mau tidak ya?” kata ibu yang lain, tersenyum menerawang.

“Salim itu dulu satu tadika sama anakku,” seorang ibu lain, yang katanya satu desa dengan Salim, tidak mau ketinggalan berandai.

“Salim dulu satu feri sama aku waktu berangkat,” daku ibu yang lain lagi, seorang janda, dengan nada penuh gairah.

Maka, untuk sementara, berita tentang Salim menjadi penghiburan yang sangat berarti bagi para TKI. Lebih menghibur dari lagu-lagu Sheila on 7 dan Peterpan yang hari-hari ini kerap mereka dengarkan. Tidak dapat disangkal, Salim adalah pahlawan baru bagi para TKI. Salim menjadikan mereka merasa lebih terhormat.

***

Sepak terjang Salim semakin tersorot ketika ia berlaga di Liga Perdana. Meski bermain di sebuah klub kecil, perhatian media dan publik (terutama para TKI) kepada Salim jauh lebih besar dibanding dengan beberapa pemain Indonesia yang bermain untuk klub-klub Malaysia yang lain. Bahkan dengan pemain-pemian lokal Malaysia yang selama ini mendominasi halaman-halaman rubrik olahraga koran-koran Malaysia.

Namun, Salim benar-benar menyedot perhatian publik ketika sang jurulatih WMFC, Suresh Gunalan, melansir sebuah statemen yang menggegerkan di media. Menurut Suresh, Salim sangat laik untuk dipertimbangkan mengisi skuad Pasukan Kebangsaan Malaysia untuk Sukan SEA (SEA Games) mendatang.

“Salim masih belia dan sangat potensial. Dan belum pernah berkhidmat untuk Pasukan Kebangsaan Indonesia pada kejohanan apa jua!” kata Suresh, memberi alasan.
Pernyataan Suresh ini kemudian mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai pihak. Mengingat kemampuan Salim, tidak sedikit yang mendukung pandangan dan usulan Suresh.
Saat ini, fenomena naturalisasi pemain adalah hal yang wajar dalam dunia sepakbola. Jika Singapura saja mau menaturalisasi pemain Nigeria dan pemain Inggris, mengapa Malaysia ogah menaturalisasi pemain kelahiran Indonesia—yang kulit dan bahasanya hampir-hampir tidak berbeda?

Tapi, banyak pula yang menolak mentah-mentah. Yang tidak setuju rata-rata bersikukuh bahwa Malaysia belum lagi kekurangan pemain-pemain muda berbakat. Mengapa harus impor? Apalagi yang diimpor adalah pemain dari Indonesia, yang sepakbolanya tidak lebih baik dari Malaysia. Naturalisasi pemain, menurut kelompok yang menolak ini, adalah sampah bagi sepakbola, dan karena itu harus dienyahkan. Tidak cukup sampai di situ, mereka juga menambahkan fakta-fakta yang harus dipertimbangkan lebih jauh jika ingin memasukkan Salim ke dalam Pasukan Kebangsaan Malaysia di Sukan SEA. Salah satu yang diungkap oleh mereka adalah masa lalu Salim yang merupakan pendatang haram atau buruh migran ilegal.

Selanjutnya, suara yang tidak setuju ini mendapat tanggapan balik. Tanggapan balik ini menganggap bahwa orang-orang yang menolak Salim itu tidak lebih dari orang-orang reaksioner dan nasionalis yang kesiangan. Mereka menolak Salim masuk pasukan kebangsaan Malaysia lebih untuk menutupi inferioritas mereka terhadap Indonesia. Mereka ini adalah orang-orang yang takut, jika suatu saat, Malaysia semakin didominasi Indonesia—bukan hanya pada ranah budaya, seperti saat ini, tapi juga di bidang olahraga.

Pihak FAM sendiri hanya memberikan jawaban yang remang-remang berkait dengan isu Salim. Seorang pejabat FAM mengatakan masih akan mempelajari lebih jauh keuntungan dan kerugian jika memasukkan Salim ke pasukan kebangsaan. Sementara, jurulatih pasukan kebangsaan Malaysia menyatakan masih menunggu keputusan FAM, meskipun secara jujur ia mengakui sangat tertarik untuk memasukkan Salim ke dalam timnya.

Perdebatan yang tidak kalah seru mengenai Salim juga terjadi di kalangan para TKI. Suara mereka juga terpecah. Ada yang terang-terangan menolak jika Salim sampai bermain untuk Pasukan Kebangsaan Malaysia. Mereka tidak bisa membayangkan Salim, pemain kesayangan mereka itu, mengobrak-abrik pertahanan timnas Indonesia. Mereka tidak mau pahlawan mereka itu jadi penghianat bagi negeri kelahirannya sendiri. Bagi mereka, tidak masalah jika Salim bermain untuk Belanda atau Amerika, misalnya. Namun untuk Malaysia, tidak! Mereka sudah cukup sakit hati ketika Indra Gunawan, mantan pemain bulutangkis kebanggaan Indonesia itu, menjadi pelatih bulutangkis di Malaysia. Itu baru bulu tangkis, bagaimana kalau sepakbola? Tidak, tidak, mereka tidak rela.

Namun, tidak sedikit pula yang mendukung agar Salim bersedia menerima jika suatu saat ditawari FAM untuk memperkuat Pasukan Kebangsaan Malaysia. Alasan mereka tidak lain adalah karena buruknya persepakbolaan Indonesia, terutama kinerja PSSI, dan penghargaan yang rendah terhadap pemain. Mereka sudah sering mendengar tentang mantan pemain sepakbola di Indonesia yang hidup miskin dan memprihatinkan saat menginjak usia tua. Mereka ngeri membayangkan jika suatu saat nanti Salim harus menjual medalinya hanya untuk memeriksakan sakit rematiknya. Malaysia, jelas berbeda. Di sini, atlet, lebih-lebih pemain sepakbola, akan terjamin masa depannya. Bukan hanya karena digaji tinggi, tapi juga hidupnya dijamin setelah tak lagi bermain. Karena alasan itulah, mereka lebih mendukung jika Salim memperkuat Pasukan Kebangsaan Malaysia.

Lalu, bagaimana dengan Salim sendiri? Ia cenderung enggan menanggapi kontroversi seputar dirinya. Ia tidak mau berkomentar sebelum FAM membuat sebuah keputusan. Dan, kata Salim, ia lebih suka membicarakan persiapan timnya menghadapi pertandingan-pertandingan berikutnya.

***

Di Indonesia, berita tentang Salim baru saja mencuat. Di beberapa koran, berita tentang adanya seorang pemain Indonesia yang akan bermain untuk Timnas Malaysia menempati halaman depan. Tampak jelas, kebanyakan foto salim yang dipakai diambil dari internet: buram dan pecah. Bahkan ada satu-dua koran yang memasang foto yang salah.

Meski ada yang menanggapinya dengan bijak dan penuh nada introspeksi, kebanyakan koran Indonesia bereaksi keras menanggapi isu Salim ini. Ada yang mengecam Malaysia sebagai negeri yang telah bobrok olahraganya, sehingga bisanya hanya membajak pemain berbakat dari Indonesia. Ada pula yang menganggap Salim sebagai kacang lupa kulitnya. Sementara, beberapa tajuk rencana menyamakan kasus Salim dengan lepasnya Pulau Sipadan-Pulau Ligitan serta sengketa Perairan Ambalat dengan Malaysia. “Terang Sekali, Malaysia kembali telah menginjak kehormatan kita. Masalah Salim adalah masalah kita semua. Masalah kedaulatan sebuah bangsa!” demikian salah satu kalimat tajuk koran itu dengan lugas dan tegas.

Beberapa klub di Indonesia tidak ketinggalan memberi tanggapan. Seorang manajer dari sebuah klub besar yang sedang berjuang lepas dari jurang degradasi dengan berapi-api menyatakan bahwa Salim harus diselamatkan. “Klub kami dengan tangan terbuka akan menampung Salim,” demikian katanya. “Soal gaji, jangan khawatir. Kami telah mengajukan dananya ke DPRD dan beberapa sponsor,” katanya lagi dengan mantap.

Di sisi lain, PSSI juga telah bergerak cepat. Menurut salah satu pengurus, Ketua Umum PSSI telah memerintahkan dibentuknya Tim Advokasi dan Tim Investigasi untuk menangani kasus Salim. Tim Advokasi bertugas untuk mengajukan protes keras kepada Federasi Sepakbola Malaysia dan mengajukan banding ke AFC, bahkan mungkin FIFA. Sementara Tim Investigasi akan mengumpulkan data-data tentang Salim, yang memang belum dimiliki PSSI.***

*Ditulis tahun 2006, saat nama Irfan Bachdim belum kepikiran...

Related Posts:

Modal, Mental, Final

Oleh Darmanto Simaepa

Saya tahu betapa beratnya bagi pemain seperti Andik berebut bola, mundur jauh ke dekat kotak penalti sendiri, dan berkonsentrasi menjaga zona teman yang kehilangan posisi. Andik adalah jenis pemain yang senang menyerang, nyaman bersama bola, dan bermain dengan kecerdikan dan fantasi. Sangat sulit bagi pemain yang biasa berkelit dari cegatan lawan harus mengubah pendekatan untuk menekel dan beradu badan. Seorang pemain penuh imajinasi yang diminta mencegah gol terjadi seperti pecinta wanita yang dikebiri. Atau ibarat seorang aktor drama yang disuruh memerankan film aksi.

Saya sulit menikmati tim yang memaksa fantasista-nya berkorban terlalu banyak. Idola saya adalah gelandang yang tidak mau ditugasi dengan tetek-bengek pertahanan. Laudrup, Le Tessier, Ronaldinho, Fachri Husaini—untuk menyebut beberapa nama. Saya selalu menginginkan tontonan sepakbola versi Barcelona. Tim yang terdiri dari gelandang pintar, menyerang, rendah hati, imajinatif, produktif, kreatif. Mereka menggunakan lapangan seperti novelis dan penyair menggunakan kertas dan mesin tiknya.

Saya terkadang heran kenapa orang bisa menyukai Italia. Saya mencintai kesebelasan yang memainkan bola dan bermain di daerah lawan. Tim-tim saya adalah tim yang tidak takut kalah dan meletakkan kesenian sebagai kebajikan dan alasan bermain bola. Brazil 1982 atau Oranje 1974—keduanya tidak pernah juara—adalah contoh utamanya.

Saya membenci pendekatan Dunga, Capello atau Mourinho terhadap sepakbola. Juga Pasarella. Untuk menang dan dan mendapatkan cincin juara, mereka mengekang imajinasi seniman kreatifnya. Mereka menggunakan kata ajaib dalam taktik modern sepakbola yakni ‘keseimbangan’, untuk memaksa playmaker atau trequartista bermain jauh ke dalam dan kehilangan sentuhan ajaibnya.

Namun, akal sehat dan pengalaman kadang tidak sinkron dengan emosi dan suhu tubuh. Saya merasakannya semalam. Setiap menyaksikan Andik merebut bola dari kaki lawan, kepala saya jadi tenang. Saat Octo seperti banteng kecil yang bertarung, saya bernapas lega. Ketika bek-bek menghalau serangan, suhu badan turun. Saat para gelandang mampu menyempitkan ruang dan membuat tekel bersih, saya melupakan khayalan Indonesia yang bermain elegan.

Saya menyaksikan sepakbola Indonesia dari jenis yang tidak begitu saya harapkan. Rahmad mengambil pendekatan berbeda. Ia menuntut dan meminta pemainnya untuk bermain menekan lawan. Tim Indonesia tidak bermain kreatif. Tidak bermain brilian dengan satu dua sentuhan atau umpan-umpan terobosan yang mengejutkan. Tidak juga dominan—dari statistik, Vietnam lebih banyak penguasaaan. Tim ini tidak mengandalkan teknik, bakat dan selera seni menggiring bola dan melewati lawan.

Namun, setiap berebut bola, anak-anak garuda menang. Vietnam yang lebih rapi dalam memainkan bola dari kaki ke kaki kehilangan sentuhan. Istimewanya: tidak hanya Andik melakukannya. Eggi seperti seorang jenderal gagah berani yang memimpin langsung perang gerilya. Diego Michel seakan berada dimana-mana—ia selalu terlibat dalam setiap perebutan bola. Dirga bermain dingin, taktis dan rapi. Octo cepat berbalik ke posisi saat gagal menekan lawan. Hasim Kipuw sulit dilewati. Bek tengah berhasil membuat penyerang Vietnam hanya membelakangi gawang. Tibo berlari liar, mengejutkan, dan selalu dilanggar. Setiap bola ada dikakinya, situasi berbahaya tercipta. Wanggai, yang terlihat menurun, agak bingung dan canggung seperti orang tersesat, muncul disaat yang tepat.

Jika melawan Malaysia, Indonesia digerakkan oleh hasrat untuk menang dan harga diri, malam tadi, tim ini bekerja dengan semangat pembuktian untuk bertahan. Tidak ada umpan-umpan kreatif. Tidak ada ruang-ruang kosong yang tercipta dari gerakan tanpa bola. Tidak banyak senyum gembira. Tidak ada individu yang paling cemerlang atau pemain bintang. Setiap pemain memberi kontribusi dengan caranya sendiri. Mereka bermain sebagai tim, menang sebagai tim.

Saya—dan anda pasti juga merasa—terkesan dengan kesederhanaan ini. Tim Indonesia tidak memakai trik dan skill yang canggih. Tak ada pemain menggunakan umpan dengan tumit atau sodoran membelah pertahanan. Semua pemain berlari tanpa henti, berbenturan kaki, dan bertarung sepenuh hati. Yang jauh lebih menggetarkan, para pemain menggunakan senjata terakhirnya: semangat juang dan nasib sepenanggungan. Siaran langsung punya cerita tentang ini: di menit 70-an, Wanggai gagal menghalau tendangan sudut dengan sempurna. Bola berbelok arah dan menciptakan kemelut. Secara reflek, ia mengangkat kedua tangan. Sebuah isyarat meminta maaf. Lambaian itu tidak hanya ditujukan kepada rekan-rekannya. Gerak tangannya diarahkan ke seluruh stadion —atau bahkan jutaan rakyat yang, ia tahu, berharap padanya.

'Bahkan kalaupun kalah,’, seorang penjual lele di dekat rumah mengatakan, saya tetap akan menonton Indonesia jika bermain seperti lawan Vietnam’. Dari Sabang hingga Merauke, saya rasa semua penduduk negeri ini memiliki pendapat sama. Tidak hanya kemenangan yang membuat tim ini layak dihormati, tetapi apa yang mereka tunjukkan mewakili elan-vital nilai dan kata-kata yang menghilang dinegeri ini: kerja keras, pengorbanan, perjuangan.

Mungkin tidak adil bila membandingkan apa yang kita rasakan di tim U-23 ini dengan semangat rakyat di masa-masa revolusi. Tapi saya merasa semangat berkorban dan bertahan dari saat-saat sulit selama 90 menit mewakili apa yang pernah ada dalam sejarah republik ini: kemauan untuk berkorban. Kemauan untuk berjuang. Bahasa Indonesia memiliki kosa kata seperti ‘bahu-membahu’, ‘sama-rasa-sama rata’, ‘senasib sepenanggungan’. Setiap kata, dalam bahasa, tidak pernah lahir dari ruang hampa—ia diperas dari praktik-praktik kehidupan. Kata-kata itu pernah menyihir orang Indonesia untuk melawan bedil dengan bambu runcing. Pernah menginspirasikan para bajingan kecil untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan--seperti dalam buku-bukunya Cribb atau Nagabonar. Kata-kata yang membangkitkan imajinasi politik tentang sesuatu bernama Indonesia. Kalau dalam waktu lama kita tidak menggunakannya, itu berarti jenis kehidupan yang menumbuhkan dan menciptakannya juga telah lama meninggal dunia.

Lama tidak mengenali arti dibalik kata 'berkorban', 'senasib' atau ‘bersama’, saya merasa kekuatannya muncul kembali malam tadi. Tim Indonesia mengorbankan bermain menyerang dengan mengganti dengan kemauan untuk berkonsentrasi dan menunjukkan determinasi. Sejujurnya, kita tidak lebih bermain pintar dibanding Vietnam. Tidak banyak umpan terobosan dan kreasi-kreasi brilian. Indonesia hebat karena bermain lebih ketat dan membuat frustasi pemain Vietnam. Bila dibandingkan saat bermain Malaysia, gelandang Indonesia lebih sering mematahkan serangan. Ini membuat para pemain Vietnam kesulitan mengembangkan permainan. Hanya ada dua tendangan ke arah gawang Kurnia Mega—salah satunya karena kesalahan Tibo.

Satu momen yang tak terlupakan bagi saya adalah bagaimana Eggi terus berlari ke kotak penalti. Saat dijegal dan terjatuh, ia berdiri kembali. Bisa saja ia berguling-guling dan meminta penalti. Saya yakin itu sangat layak. Tapi dengan kepercayaan diri yang tinggi, ia berusaha menguasai bola, mengecoh lawan dengan kaki kiri dan menendang ke gawang. Peristiwa di babak kedua itu mengingatkan momen ketika Dwight York diganjal Ferara dikotak terlarang di semifinal Liga Champions musim 1998/1999. Ia terjungkal tapi tidak meminta penalti. Dengan keyakinan penuh ia percaya bahwa timnya bisa menceploskan bola dari situasi ini ke gawang Peruzzi.

Apa yang dilakukan Eggi menggambarkan semuanya. Eggi terus bermain dengan bantuan penghilang rasa nyeri. Tim ini tidak mau dikasihani wasit yang murah hati. Sepanjang pertandingan, tidak ada pemain Indonesia pura-pura cedera ketika unggul sementara. Tak ada pemain memperlambat waktu untuk mempertahankan angka. Satu-satunya kelemahan dari permainan Indonesia semalam adalah daya bunuhnya yang tidak tepat waktu. Seharusnya penonton sudah bisa minum kopi dengan santai dan tersenyum riang saat serangan balik bisa dituntaskan oleh Tibo dan Octo menjelang menit 60-an.

Diatas segalannya, Rahmad telah mentransformasikan keraguan menjadi kemenangan. Ia menepati janjinya untuk mengubah kekalahan menjadi sumbu perjuangan. Ia mampu membuat para pemainnya seperti prajurit yang siap mati dalam peperangan. Ia berhasil membujuk setiap orang untuk berkorban demi kemenangan tim. Hanya sedikit pemain dan tim yang bisa melakukannya. Kita pernah menemui Etoo melapis bek kiri saat Inter bertahan di Nou Camp, Gerard mengisi posisi bek kanan di Saracuglu-Istambul, dan Rooney yang turun menjadi gelandang bertahan di Moscow.

Orang Indonesia sangat layak menaruh harapan. Ya, harapan yang mampu mengalahkan selera mengenai sepakbola menyerang saya. Rahmad telah membawa tim melaju dengan keringat, kerja keras, dan perjuangan. Saya tiba-tiba merasa nyaman dan menemukan secercah kebenaran saat membaca ulang cara Mourinho melihat pertandingan. ‘Ketika saatnya mesti habis-habisan mengerahkan segala kemampuan di lapangan,’ sesaat setelah Inter menahan serangan Barca di Nou Camp, ‘Anda tidak mengerahkan skill, tapi semangat juang.’

Rahmad telah memberikan modal dan mental yang cukup untuk ke final. Untuk pertandingan terakhir nanti, Tuan Mou, ijinkan saya melupakan Barca dan memuja Anda.

Related Posts:

Untunglah, Kalah!

Oleh Darmanto Simaepa

Tim juara adalah tim yang selalu terluka. Anda bisa menemukan polanya dalam sejarah turnamen-turnamen sepakbola. Tim-tim juara selalu melalui rute yang berliku dan meragu. Ia harus melalui pertandingan berat yang menguji batas-batas rasa yakin, keraguan dan juga, keberuntungan.

Tim-tim yang tak pernah kalah dan menang dengan meyakinkan—jarang juara. Anda tahu, Swiss tak pernah kalah di ajang piala dunia. Namun, kita juga tahu, tim itu tidak pernah lolos dari babak ke dua. Saya ingat Belanda 2008. Mereka selalu menang menghadapi tim besar dengan skor meyakinkan dan permainan mengagumkan di babak penyisihan. Tapi dikaki-kaki pemain Rusia, mereka tidak berdaya. Saya ingat Inggris 1996. Saya ingat Brazil 1998. Saya ingat Brazil 1982.

Anda perlu diragukan untuk bertahan hingga ujung permainan. Masih segar ingatan tentang Spanyol yang secara mengejutkan dihantam Swiss di Johanessburg. Kekalahan itu membuat milyaran orang yakin kembali, Spanyol adalah tim unggulan yang mudah rontok dipenyisihan. Juara adalah tim yang kalah disaat perlu kalah dan menang disaat harus menang. Malaysia punya cerita tentang kisah ini di Tiger Cup tahun lalu.

Orang Italia sangat tahu bahwa, dalam sepakbola, kemenangan bukanlah satu-satunya cara menjadi juara. Anda harus tahu kemenangan itu diraih kapan dan dengan cara seperti apa. Kisah sukses Italia ditopang oleh timbunan 'kegagalan' dibabak penyisihan. Buffon menyebutnya sebagai, ‘bangun tidur ala Italia’. Azzuri selalu membutuhkan detik-detik terakhir untuk memastikan kelolosan--kadang tertolong oleh tim lain.

Bukan kebetulan jika Lippi tampak tenang ketika menjawab pertanyaan mengapa strikernya, sampai pertandingan ke 3, tak kunjung mencetak gol di Jerman. Bearzot hampir dipulangkan ketika timnya seri terus dibabak grup. Seusai lolos, ia mengatakan, ‘Seringkali tim juara tidak harus selalu memenangi pertandingan. Ia hanya kadang perlu satu kemenangan’.

Anda bisa merunut pengalaman Jerman di sepanjang kejuaraan utama—tahun 1954, 1980, 1990, 1996. Di turnamen-turnamen itu, Jerman (Barat) selalu tertatih-tatih. Tim-tim yang penuh medali itu selalu saja diragukan dan pernah kalah dibabak-babak yang kurang menentukan. Tahun 1954: Tak ada yang mengira der Panzer bisa menang di final, sementara saat di pembukaan, mereka kalah 6-2 dari Magical Magyar. Tahun 1974: bandar taruhan akan tersenyum riang jika de Oranje yang diunggulkan tidak tumbang. 1990: Di Italia, semua orang berdoa si anak ajaib, Maradona, akan menggenggam piala dunia untuk kali kedua.

Saya tidak sedang menghibur diri. Mencari pembelaan. Atau sekadar menenangkan pikiran.

Kita melihat gundah gulana dari bangku cadangan. Hasim Kipuw melonjak dan menengadahkan tangan saat Tibo membuang peluang. Abdulrahman menggulung wajahnya dibalik lengan. Si Wanggai mukanya menegang. Ribuan umpatan dan penyesalan pasti terlontar saat Alfred Sinaga menendang bola dengan ekor kaki kanan. Dan anda tahu sendiri reaksi Rahmad kan?

Suasana gempita penonton masih sama. Rasa haus dan lapar publik menggantung di udara. Gairah dan harapan masih menyala-nyala—harapan yang makin dihancurkan para petinggi PSSI sendiri. Kalah adalah kalah. Anda tidak bisa menerima sisi positifnya—kalaupun itu ada. Kekalahan bisa jadi adalah pelajaran—itu mungkin saja. Yang jelas bagi saya, kekalahan ini pantas disyukuri karena satu hal: ketepatan momennya.

Ini adalah kekalahan yang bisa diterima. Saya berani bertaruh, timnas tidak akan lolos ke semifinal bila kalah lebih awal. Seorang sinis mungkin akan mengatakan, itu hanya karena tiket ke semifinal telah dipastikan. Ini pertandingan yang tidak banyak hal dipertaruhkan.

Baiklah! Itu kemungkinan yang terbuka. Tapi dalam perspektif permainan, Indonesia memainkan sepakbola yang matang tadi malam. Di pertandingan pertama, Kamboja bukanlah lawan sepadan. Pengangkatan bendera off-side asisten wasit—sebuah keputusan yang bisa diperdebatkan—telah membunuh mental pemain debutan Kamboja. Setelah Tibo memanfaatkan umpan silang bagus dan Indonesia menemukan ritmenya, selanjutnya adalah pertunjukan pemain Papua.

Singapura harus bermain jam 2 siang—bahkan sebelum genap istirahat 40 jam. Bukanlah nasib malang yang membuat mereka menderita karena kesalahan pemain belakang. Otot-otot yang lelah berkontraksi membuat gelandang Singapura yang letih cepat naik emosi. Rasa frustasi itu menyebabkan kecerobohan dan memudahkan wasit memberikan hukuman. Disaat unggul pemain dan menguasai pertandingan, apa yang terlihat dari timnas, selain sejenis ego tak terkendali? Tidak ada skema rapi. Atau koordinasi antar lini. Yang kita saksikan adalah umpan-umpan panjang Eggi dan tusukan-tusukan Octo yang hanya memuaskan ambisi.

Sementara saat menghadapi Thailand, wasit Korea terlalu keras dan dingin hati. Ia mudah mencabut kartu dari saku. Sebuah provokasi cerdik Diego Michel membunuh harapan Thailand. Bahkan saat unggul 2 pemain, Indonesia sangat kerepotan menghadapi serangan Rangsit dkk. Saya bayangkan, jika Indonesia yang ketinggalan 2-1 dengan bermain 9 orang, kemungkinan terbaiknya adalah Thailand menang dengan marjin lebih dari 5. Atau terburuknya, dua pemain Indonesia lagi terkena kartu merah.

Yang menjadi kunci tim juara adalah bagaimana mengambil reaksi dan menangani situasi kekalahan. Saya merasa, tim ini berada di jalur yang benar. Saat tertinggal, anak-anak muda itu cukup memberi harapan. Mereka bermain tenang, agak rapi meski sedikit frustasi. Gelandangnya tidak ceroboh membangun serangan walau bola terlalu sering hilang. Tim ini lebih solid meskipun sangat kewalahan ketika mendapat serangan balik dari rusuk kiri dan umpan silang.

Saat ketinggalan dan waktu semakin berkurang, mereka tetap memainkan bola dari kaki ke kaki. Baiklah, semua pemain pengganti—kecuali Ramdhani—bermain dibawah standar. Yongki bahkan tidak pernah berhasil mengontrol bola dengan baik sekali saja. Selain keterlambatan Yericho menutup serangan balik dari rusuk kiri, tidak banyak tembakan ke gawang Aditya.

Anda bisa mengkritik Rahmad soal komposisi dan formasi pemain. Yang harus diingat, Indonesia tidak mendapat keberuntungan tadi malam. Peluang bersih Malaysia tidak seberapa, meskipun serangan baliknya selalu menciptakan bahaya. Yeeeaah, andai saja Tibo memutar bola dengan kaki bagian dalamnya. Beberapa kali momen Ramdhani bermain satu-dua sentuhan yang imajinatif membuka peluang kreatif.

Detil-detil ini memberi petunjuk bahwa waktu sedang menguji kesabaran. Indonesia kalah karena memang harus kalah. Semesta keberuntungan akan tiba pada saat yang tepat. Seperti Eduardo Galleano bilang tentang Copa America 1989, ‘yang diperlukan Uruguay adalah bermain teka-teki dengan waktu’.

Diluar lapangan, tampaknya, Rahmad telah menyiapkan permainan dengan waktu itu. Para pemain cukup tenang menghadapi wartawan. Tidak ada ekspektasi berlebihan—meskipun mereka kini giliran dipuja sebagai pahlawan. Tak ada terasa besar kepala meskipun sorot mata Tibo atau Michel menjawab pertanyaan TvOne dengan penuh keyakinan. Sebelum Bepe memberikan petuahnya tentang perlunya sikap hati-hati, tim ini telah dibekali oleh sikap sederhana dan rendah hati. Tim ini telah menyadari satu hal: harapan jutaan rakyat yang menggema di hari-hari penuh kesesakan adalah berkah sekaligus kutukan.

Malaysia memberi kekalahan yang paling pedih sekaligus paling nikmat bagi garuda muda. Saya yakin mereka sekarang tahu apa yang mereka miliki, apa yang sedang dihadapi, dan batas-batas kemampuan mereka sendiri. Ini adalah sebuah tamparan yang membangkitkan kesadaran. Tamparan yang memberikan rasa nyeri namun masih ada waktu untuk diatasi dan ada kesempatan untuk membalas kembali. Kekalahan ini semoga membangkitkan lapar, menaikkan rasa penasaran dan membakar semangat pembuktian. Seperti yang dibilang Rahmad, pertandingan hari ini penting, tetapi arti pentingnya adalah untuk pertandingan tanggal 19 dan 23.

Balas dendam bukanlah perkataan yang bijak, tapi untuk medali emas yang telah lama dirindukan, istilah itu akan sangat berarti bagi republik ini. Sampai bertemu lagi dengan Malaysia di Final.

Related Posts:

Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan bola (1)

Oleh Darmanto Simaepa

Sepakbola bisa dimainkan dan dinikmati dengan beragam cara di Siberut. Di lembah-lembah terpencil, olahraga ini dimainkan secara teratur di sore hingga menjelang malam diakhir pekan. Suasananya akan lebih ramai di hari Minggu karena semua petani sudah pada pulang dari ladang. Setelah acara kebaktian di Gereja untuk segala usia, lapangan bola adalah tempat sosialisasi bagi anak laki-laki dewasa dan orang tua. Di desa-desa terpusat berlokasi di dekat kecamatan atau pusat pemerintahan, yang jumlah populasi anak mudanya lebih banyak, ia dimainkan lebih sering—kadang nyaris setiap hari.

Studi etnografi, laporan media, atau pamflet-pamflet politik tentang Siberut tidak pernah memuat satu katapun tentang sepakbola. Buku-buku, kliping media atau kertas kerja dipenuhi istilah-istilah ritual, primitif, animistik, upacara, terasing, konservasi alam, sagu, dukun atau Sikerei, adat. Sebelum menginjak daratan pulau itu, kata-kata yang paling dekat dengan Siberut adalah ‘jauh, malaria, terpencil, hutan, dukun, eksotik.’

Saat bertanya kepada seorang teman, apa yang harus saya bawa ke Siberut, dia menyarankan untuk membeli kelambu. Bila diingat, saran itu sungguh menyesatkan, karena kemudian kelambu itu tidak berguna. Ini bukan karena barang itu tidak penting. Keluarga muda tempat saya tinggal memiliki banyak kelambu. Kelambu yang saya beli di Jakarta lebih cocok untuk menjaring ikan disungai dari pada mencegah nyamuk mendenging dekat telinga.

Saya tiba di Ugai, sebuah dusun kecil di lembah Rereiket tempat penelitian etnografi, tanpa sepatu bola. Seminggu beradaptasi di dekat Muara, saya mencium aroma sepakbola. Tembakau-rokok dan gitar adalah cara berkomunikasi paling mudah sebelum menguasai bahasa Mentwai—selain sepakbola. Saya tidak bisa merokok dan suara saya ‘kurang garam’—meskipun sedikit bisa main gitar. Kemampuan mengolah bola bisa diandalkan untuk mendapat teman.

Ugai terletak sekitar 20-kilometer dari kota Kecamatan. Di huni sekitar 110 keluarga, dusun ini merupakan pemukiman yang dibentuk pemerintah pada awal 1990an. Dusun itu sangat sepi karena di hari Senin-Sabtu, penduduknya berada diladang. Selasa petang di awal Januari adalah perjumaan dengan Ugai. Butuh waktu 3-4 hari untuk menunjukkan diri kepada seluruh kampung ada orang baru.

Lapangan bola adalah tempat yang paling tepat untuk memperkenalkan diri. Lapangan kecil iitu terletak di belakang gereja. Berukuran sekitar 30-an meter x 50 meter dekat kebun kelapa dan disamping tanaman keladi. Sisa angin kayoman masih bertiup lembut dari arah tenggara di awal Januari, membawa awan lembab dan angin basah. Sisa musim hujan dan banjir limpahan terlihat dari warna abu-abu rumput tipis. Lumpur yang terbawa bersama sapuan banjir beberapa hari lalu memberi bekasnya.

Setelah peluit disempritkan berulang-ulang, para pemain berdatangan.

Sebagian bertelanjang kaki. Sebagian membawa sepatu hitam-kecil tanpa kaus kaki. Sepatu ini sangat terkenal di Siberut. Terbuat dari campuran plastik dan karet murahan tipis, sepatu ini sederhana saja. Seperti sepatu selop dengan tali pendek 3 lobang. Dicetak dengan mesin pabrikan, sepatu ini hanya memiliki 3 jenis ukuran: kecil, menengah dan besar. Harga sepatu ini cukup murah—Rp10,000. Di telapak kakinya terdapat tonjolan tipis menyerupai pull, dimana sepatu ini mendapatkan namanya: sepatu kacang.

Tonjolan itu sengaja diciptakan untuk menambah daya cengkeram saat bergesekan dengan tanah. lazimnya, sepatu ini digunakan untuk masuk ke hutan atau pergi ke ladang. Bagi para pencari rotan dan gaharu, sepatu ini sangat diandalkan. Ia cukup tangguh untuk mengatasi duri-duri rotan dan ringan saat dibawa melintasi sungai-sungai dangkal berbatu tajam. Ia juga gampang dicopot dan dipakai seperti memakai sandal. Jika sudah bosan, ia masuk ke ranjang dan tidak menambah beban. Agak sedikit longgar dan licin bila dipakai, tapi cukup efektif untuk menaklukkan rawa-rawa sagu dan genangan lumpur.

Sepatu itu cukup populer bagi pecinta sepakbola Siberut karena cukup murah dan praktis untuk dipakai. Terutama di desa-desa yang tim sepakbolanya tidak pernah juara. Di lembah-lembah dimana memiliki sepatu bola adalah prioritas ke sekian dalam ekonomi rumah tangganya, sepatu ini pasti dikoleksi, setidaknya oleh setiap laki-laki dewasa . Sepatu ini cukup licin jika dimainkan di lapangan berumput rata, tapi tidak ada tandingannya jika digunakan dilapangan seperti di Ugai. Apalagi lapangan licin bekas banjir.

Sore itu, agaknya sepatu kacang menemukan momentumnya. Seiring riuh rendah pemain bersuara, sepatu bola itu sering tertancap dalam genangan lumpur atau melenting ke udara bersama bola. Setelah lepas, anda tidak perlu menunggu 10 detik untuk memakai kembali. Pemain tidak perlu menyingkir ke sisi lapangan dan meminta wasit menghentikan, untuk sementara, pertandingan. Ketawa dan senyuman sudah cukup untuk jadi alasan pertandingan diteruskan.

Semakin sore, semakin banyak pemain berdatangan. Semakin banyak keringat berjatuhan. Lapangan menjadi genangan lumpur. Satu-satunya area yang bisa digunakan menggiring bola, mengumpan dan melewati lawan adalah sisi kanan-kiri lapangan di bagian tengah. Di depan gawang, sudut sayap dan tengah lapangan menyerupai lahan peternakan babi. Memanglah tidak separah sepakbola di sawah, tapi jelas, anda menendang bola hanya jika kaki sebelah harus tertancap kuat dikubangan.

Setelah rehat sejenak untuk melakukan pergantian, beberapa pemain mengeluhkan kondisi lapangan. Meskipun demikian tidak ada tanda-tanda permainan berhenti. Agar lebih ramai dari pertandingan pertama dan menguras emosi, Extra Joss jadi taruhan. Dua pak diambil dari kedai, siapa yang kalah yang harus membayari. Beberapa penyerang meminta waktu pulang. ‘Mengambil sepatu’, mereka bilang.

Tak lama kemudian, mereka menenteng sepatu bot! Anda bisa bayangkan semuanya. Sebuah pertandingan dengan para pemain yang penuh lumpur mengenakan sepatu bot karet yang, kalau di Jawa, digunakan untuk pergi membajak sawah. Betapa sulitnya menendang bola, berlari, mencari posisi dan mengarahkan sepakan ke arah gawang. Agaknya di Ugai, ini perkara biasa. Lapangan berisik dengan suara gesekan kaki dan karet sepatu. Klok..klok..klok.... bercampur dengan teriakan pemain meminta bola atau mengumpat rekannya.

Sepanjang pertandingan, bola dibawa dari pinggir dan diumpan ke depan gawang. Pencetak gol bersepatu bot menunggu disana. Saat bola mendarat, lantas diperebutkan dan berubah menjadi hitam dalam genangan. Jika beruntung, si penyerang bisa mencucuk bola ke mulut gawang. Yang lebih sering terjadi adalah bola tertinggal di lumpur sementara sepatu melayang ke udara. Atau sepatu tertinggal di dalam kubangan dan kaki pemain menendang kosong udara. Kejadian-kejadian konyol begitu adalah salah satu menu utama dan penggugah selera untuk tetap menikmati pertandingan. Umpatan, makian, dan tertawa dan teriakan menjadi satu dalam semangat permainan.

Kali lain, si penyerang yang nyaris frustasi, melemparkan sepatu botnya ke alam gawang dan berteriak histeria gol! Semua orang—pemain, wasit, penonton dipinggir lapangan, orang yang baru pulang dari ladang—menikmati sepakbola sebagai arena kegembiraan bersama dengan diri mereka sendiri sebagai bahan tertawaan. Salah seorang pemain depan tim lawan, saat gagal menghadang bola segera mencopot sepatu botnya dan melempar ke arah bola.

Saya adalah sedikit pemain yang bersemangat meski tidak membawa sepatu bola. Terpukau oleh pengalaman pertama melihat cara orang Siberut menikmati pertandingannya, saya terhanyut oleh suasana. Menjelang petang, Aman tak Gozi, orang yang menjadi induk semang selama penelitian, bertanya, apakah kaki saya sakit. Saya menggeleng kepala. Namun setelah berjalan beberapa meter di jalan rabat beton P2D yang baru dibuat saya menahan jeritan. Setelah tersadar beberapa saat, saya merasakan telapak kaki seperti terkena pecahan beling. Benar saja: dari jempol ke tumit, kaki ini penuh dengan sayatan yang dalam. Sepanjang pertandingan, rasa sakit tidak terasa.

Sambil ketawa-tawa, dia menjelaskan kenapa orang Ugai memakai sepatu bot. Lapangan itu dulunya adalah semak—dan baru-baru ini saja agak bersih setelah pertandingan memeriahkan pesta natal dan tahun baru. Di bawah lumpur terdapat akar popou, sejenis rumput liar yang sukar dibersihkan. Rumput itu menyerupai gelagah dan berakar rhizoma tajam dibawah tanah. Akar itu tidak terlihat tapi membuat kaki berjalan diatas pecahan kaca. Dari jarak yang agak jauh, orang-orang Ugai tersenyum simpul dan sesekali mencemooh. Mereka mengatakan, ‘eeeret, sasareu, simagai maen bola, tak oa pasikeli derenia. ’ Artinya: ‘Itulah, orang jauh/pendatang, tahu dia bermain bola, tapi tidak tahu menjaga kakinya,’

Sepatu bot tidak pernah saya lihat dipakai dalam pertandingan resmi. Saya hanya menyaksikannya di Ugai dan Simatalu, dan sekali di Matotonan. Sementara sepatu kacang kerap dipakai dalam tarkam. Sepatu ini tidak mudah digunakan dilapangan datar dan berumput bagus. Sepatu akan melenting lebih kencang dari pada bola yang ditendangnya. Bagi para pemain dari kampung yang sepakbola sering kalah, pilihan membeli sepatu kacang lebih masuk akal dibandingkan dengan sepatu bola biasa.

Yang jelas: sepatu bot dan sepatu kacang membuat sepakbola layak untuk dinikmati tanpa mengorbankan kaki.

Related Posts:

Towel tentang Wim: Resensi Siaran Langsung


Oleh Mahfud Ikhwan


Rasa bahagia saya atas gol cepat Wanggai dan gol bagus Tibo ke gawang Singapura pada pertandingan Sea Games tak ingin hilang dalam semalam. Karena itu, saya menunggu pertandingan timnas (senior) melawan Qatar dengan rasa enggan—sepertinya, tak pernah saya menunggu pertandingan timnas Indonesia dengan rasa seenggan itu, sepesimis apapun saya. Obor yang padam dan lagu penutup yang “menjilat pantat rakyat” di Upacara Pembukaan Sea Games rasanya sudah cukup merusak. Saya tak mau malam ini pergi tidur dengan umpatan di tenggorokan.

Tapi, seperti yang sudah-sudah, tentu tak segampang itu perkaranya. Saya mungkin tak sesemangat teman-teman tetangga kampung—para buruh bangunan di Qatar—yang berbondong-bondong datang ke stadion al-Sadd dan mengambil alih gelanggang dari pendukung tuan rumah dengan “Garuda di Dadaku”. Tapi, saya tak mungkin pergi, mengunci diri di kamar, dan membiarkan timnas Indonesia kalah dan tidak ditonton.

Yeah…, katakan saja, saya memaksa menonton (bakal) kekalahan keempat timnas itu karena ada Tommy Welly di meja komentator. “Ia selalu bisa memberi nilai tambah siaran pertandingan,” begitu puji teman saya soal Towel—begitu para pembawa acara sepakbola RCTI biasa memanggilnya. (Kalau menurut saya, Towel bisa mengarahkan dengan tepat kepada apa dan siapa kita mengumpat.) Sebagai alasan lain, saya rasa, dibanding menonton film Steven Seagal yang ngomong cara Surabaya di JTV, menonton timnas—bagaimanapun—adalah cara yang lebih baik sebagai pelewat waktu untuk menunggu play-off kualifikasi Piala Eropa.

***

Tris Irawan membuka siaran langsung dengan obrolan soal pemain-pemain baru yang dibawa Wim ke Doha. Tercatat, selain mengeluarkan Markus Harrison dari tim dan tak membawa Made Wirawan ke Qatar, Wim memasukkan (kembali) kiper Hendro Kartiko (38, jimat Indonesia di even-even besar), kiper Syamsidar, bek sayap Mahyadi Pangabean, dan Fandi Muchtar. Mengisyaratkan kebingungan, Towel menyatakan kalau penambahan skuad itu sulit dimengerti. Pertama, pemain-pemain yang dipanggil tak tampak mewakili kebutuhan tim. Kedua, tak ada parameter yang jelas kenapa pemain-pemain itu dipanggil—karena para pemain Indonesia sudah hampir setengah tahun libur dari kompetisi. Ketiga, tak ada visi ke depan dalam pemanggilan para pemain baru tapi lama itu.

“Kalau Thailand menarik kiper utama tim U-23 ke tim senior untuk melawan Arab Saudi, jelas karena kiper itu diproyeksikan untuk masa depan tim nasional Thailand. Tapi, memanggil Hendro yang telah berumur 38, kita tak melihat proyeksi itu,” demikian komentar Towel.

Karena itu, simpul Towel, para pemain baru itu tak lebih sebagai pelapis saja.

Namun, ia jelas salah tebak, saat kamera mulai menyorot wajah-wajah pemain Indonesia di lorong menuju lapangan pertandingan. Di situ, ada wajah (sangat) senior Hendro Kartiko, dengan seragam bernomor dada 1. “Tampaknya, Wim ingin memanfaatkan pengalaman indah Hendro saat melawan Qatar,” komentar Towel, sembari mengacu kemenangan Indonesia 2-1 atas Qatar di Piala Asia 2004 di Cina. Saat itu, selain mendapat gelar man of the match, ketangguhan Hendro juga berhasil membuat Phillipe Trossier, si Dukun Putih, dipecat oleh Federasi Sepakbola Qatar hanya beberapa jam setelah pertandingan.

Catatan menarik dari Towel yang lain—yang patut dicatat—adalah soal tak adanya Gonzales—satu-satunya pemain Indonesia yang sejauh ini bisa mencetak gol di kualifikasi. Ia mashgul. Tampaknya, penonton di seluruh Indonesia juga.

***

Salah satu hal yang paling saya sukai dari Towel adalah kemampuannya menciptakan suasana dan emosi pada siaran pertandingan, terutama untuk pertandingan-pertandingan timnas Indonesia. Jelas itu karena analisis yang tajam dan pilihan kalimat yang tepat, tapi terutama karena Towel tak pernah merasa perlu untuk menyembunyikan emosinya. Ia tak mempertentangkan posisinya sebagai komentator dengan kenyataan bahwa ia pendukung fanatik timnas Indonesia. Hal itulah yang membuatnya menjadi komentator yang paling bisa mewakili penonton. Meski sering sangat bijak, ia tak sok bijak; objektif tanpa harus membuat jarak. “Serahkan bola pada Boaz, dan mari kita lihat apa yang bisa dilakukannya,” kata Towel saat pertandingan pra-kualifikasi Indonesia vs Turkmenistan. Saya rasa, menjelang pertandingan yang berakhir 3-2 itu, tak ada pendukung tim nasional yang tak cocok dengan pendapat ini.

Tapi, pada pertandingan Qatar vs Indonesia itu, Towel tampak lebih dingin. Sepanjang dua jam siaran, saya hampir tak mendengar satu momen di mana suaranya meninggi-memarau—sesuatu yang biasa kita saksikan jika timnas sedang dalam keadaan tertekan atau main buruk. Suara Towel tetap datar, bahkan pada saat pertandingan mengalami masa paling depresif sekalipun. Ketika kita melihat Boaz yang bingung justru memberikan bola kepada pemain Qatar—yang kemudian berujung gol pertama untuk Qatar—Towel dengan kalem mengomentari kalau kehilangan bola di daerah pertahanan sendiri membuat para pemain Indonesia kesulitan melakukan transformasi cepat dari posisi menyerang ke posisi bertahan.

Nada yang tak terlalu berbeda juga kita dengar di sepanjang tiga perempat akhir babak kedua, saat Wim melakukan serangkaian pergantian pemain yang membingungkan (atau menggeramkan—jika merujuk pendapat teman-teman ngopi saya pada pagi berikutnya). Saat Firman digantikan M. Ilham pada menit ke-72, yang sangat mungkin disambut oleh caci-maki seluruh pencinta sepakbola Indonesia, Towel memilih untuk “mengimbau” pemirsa untuk menunggu perubahan macam apa yang hendak dilakukan Wim atas timnya.

Memang, ada nada gugatan saat Towel mengungkit keberadaan dan fungsi Purwaka Yudi yang masih tetap dipertahankan Wim meski Ibrahim Kalfan—yang merupakan target operasi Purwaka, sudah ditarik keluar oleh Lazaroni. Tapi, itu gugatan yang hampir tanpa emosi. Gugatan itu tak sampai menjadi saran, sebagaimana yang dengan jelas bisa kita simpulkan pada pernyataan soal Boaz yang saya kutip di atas.

***

Ah, mungkin kata “dingin” tak tepat benar. Lebih pas jika dikatakan Towel tak melihat ada faedahnya untuk menjadi lebih emosional. Ia menahan analisisnya berujung jadi rekomendasi, bukan saja karena itu memang tak mengubah apa-apa (sebagaimana lazimnya komentar) tapi juga karena komentar itu dirasanya bahkan tak cukup untuk menghibur dirinya sendiri bahwa ia, sebagai komentator sekaligus fans, telah melakukan sesuatu untuk tim yang dicintainya. Bahkan, pada level yang paling ektrem, saya menyangka, Towel tak ingin rekomendasi-rekomendasinya dari studio Kebon Jeruk didengar Wim di bangku cadangan stadion al-Sadd.

Ya, seperti Wim yang tampak putus-asa dengan timnya, Towel jelas terdengar sudah putus ada dengan Wim.

Seperti saya. Seperti kita semua.

Ketika di layar tampak Lazaroni masih begitu menggebu di area teknis, dengan suara serak dan tangan yang sibuk (meski timnya telah unggul tiga gol), sementara Wim—sebaliknya—menyandarkan punggungnya ke kursi dengan mata yang enggan memandang ke lapangan, Towel mengeluarkan komentar terbaiknya; komentar yang memberi energi luar biasa bagi saya sehingga mau memaksa diri untuk membuat tulisan ini. “Saya kira,” kata Towel, “di antara pelatih-pelatih di Grup E, Wim-lah yang paling tidak ekspresif. Lazaroni begitu Ekspresif. Juga Peter Taylor. Bahkan, Carlos Queroz yang kalem pun tampak lebih ekspresif.” Di kuping saya, kalimat hambar dan hampir melantur itu, terdengar seperti sebuah semburan makian tepat di wajah Wim: “Apa kerja lo, Wim..?!!!”

***

Persis seperti yang saya kuatirkan, empat gol bodoh dari Qatar itu telah merusak kebahagiaan yang saya dapatkan sejak siang. Tapi, komentar-komentar Towel, terutama yang saya kutip terakhir itu, membuat saya merasa lebih tenang.

Bosnia-Herzegovina vs Portugal pun terlewat. Untung 0-0.



Lembor, 13-11-11—dengan diiringi lagu kasidah “Pengantin Baru” dari tempat hajatan tetangga.

Related Posts:

Wim dan Kaca Matanya


Oleh Darmanto Simaepa

Wim mungkin tak sedingin Erikson. Swedia jelas lebih dekat ke kutub utara dan Belanda lebih hangat cuacanya. Erikson tidak pernah terlihat membawa pena. Apalagi catatan. Pria Belanda itu sesekali mengibaskan tangan ke udara, berdiri, mencopot jaket atau mengacungkan pena. Ia rajin membawa buku kecil. Sepanjang waktu ia terlihat, setelah mendelikkan mata ke arah lapangan, menulis entah apa dicatatannya. Ia bahkan terlihat lebih serius dari van Gaal.

Kaca mata Erikson bulat dengan gagang perak. Ia lebih mirip saintis yang bekerja di lab kimia. Wim agak sedikit bergaya dengan kaca mata oval dengan bingkai hitam yang cocok untuk orang tua. Sementara Sven pelit bicara, Wim lebih suka omong dengan media.

Kesamaan keduanya adalah tidak pernah terlihat gugup ketika timnya dipecundangi. Keduanya tidak terlihat panik saat timnya ketinggalan dan posisinya berada dalam tekanan. Kegalauan hatinya tersimpan dibalik kacamata. Namun Erikson lebih flamboyan. Ketenangan Sven menjelaskan sesering apa ia ditolak dan atau menaklukan perempuan. Saat Inggris tersingkir dari Portugal di Jerman, ia tetap menatap lurus dan berjalan tegak dengan setelannya armani yang rapi.

Sebaliknya, sikap tenang Wim mengabarkan bahwa ia jenis pelatih yang jarang menang dan lebih mudah bersikap pasrah. Kita disuguhi pandangan yang sama setiap Indonesia kalah. Seorang kakek tegap dan sehat bermuka pucat yang nyaris tanpa harapan. Wajah terlihat linglung dikursi tim cadangan. Kaki selonjoran. Bahunya direndahkan, seperti sedang rebahan. Sesekali, ia terlihat menarik napas panjang dan mengangkat bahu. Sesekali, matanya menatap ke arah langit.

Kita tidak pernah tahu matanya minus berapa. Tidak ada satu laporan memuat seberapa banyak penurunan daya lihatnya. Yang jelas, Ia bukan lagi Wim yang hebat dari tahun 70-an. Dalam foto klasik tim Oranje dan total football-nya, ia cocok jadi vokalis van Hallen atau setidaknya berpeluang menjadi saingan Ozzy Osborne. Rambut blonde-keritingnya lebih dekat dengan gaya Puyol sekarang—dengan seringai lebih menakutkan. Atau paling tidak, ia pantas menjadi cover majalah Times bila ia menjadi pentolan mahasiswa bohemian yang demonstrasi di kota-kota Eropa tahun 1960-an.

Pada masanya, dia adalah pemain belakang yang terpercaya. Ia jenis pemain yang membuat Rinus Michel nyaman mengutak-atik taktik penyerangan tanpa takut kebobolan. Statistik golnya menjelaskan ia bukanlah bek yang suka maju ke depan atau menipu penjaga gawang lawan. Nalurinya bertahannya sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan sebuah tim yang dianggap pernah mempraktekkan secara sempurna cara menyerang.

Badannya gempal dan tidak terlalu tinggi—untuk ukuran Eropa. Ia dilahirkan untuk menjadi bek tengah yang memenangi duel dan menyapu bola-bola mendatar. Di masa jayanya, ia berhasil membawa Feyenoord mematahkan dominasi Ajax di liga dan membawanya kampiun UEFA. Ia bermain di dua piala dunia dan nyaris membawa Belanda juara.

Apa yang didapatkan Indonesia dari Wim jelaslah hanya nama besar dan sisa masa lalunya. Wim yang kita kenal sekarang ini adalah pria tua dengan kacamata yang sama sekali tidak menggambarkan karir kepelatihannya. Ia mungkin pelatih tekun dan rajin. Namun, dengan rajin menulis dan membawa catatan, bukan otomatis seseorang menjadi pelatih brilian.

Karirnya kepelatihannya dihabiskan di klub-klub semenjana. Pernah menangani tim junior Ajax, ia kemudian berkelana di Volendam, NAC Breda, Universidad de Catolica. Ia singgah di Mexico sebentar dengan menjadi asisten di tim yang agak lumayan terkenal, Club America. Lalu bertualang ke timur tengah dan memberikan jasanya untuk klub bernama aneh Al Ittifaq. Karirnya paling tinggi adalah menjadi pelatih Trinidad dan Tobago selama 6 bulan sebelum dipecat. Portofolio menjadi asisten tidak membantunya mengembalikan reputasi Trinidad dan Tobago setelah ditinggal Benhakker ke Polandia.

Dengan kacamata dan pena, ia nampak seperti seorang Calvinis taat yang dikirim pemerintah kolonial ke Hindia Belanda abad 19. Wawancaranya dengan majalah Voklsrant mirip pandangan seorang pendeta yang menganggap penduduk pribumi tidak bisa mengurusi imannya. Secara eksplisit ia mengatakan Indonesia adalah mimpi buruk. 'Susah sekali berurusan dengan [hal] yang baik dan benar disini’ ujarnya. Cara pandang esensialis-nya nampak begitu nyata saat menyebut kesulitan budaya yang dihadapinya: pemain tidak disiplin, malas, suka kabur dan sejumlah alasan, ‘yang khas Indonesia’.

Ketika ditanya apa solusinya? Ia menjawab dengan mengangkat bahu. Jika para pendeta rajin belajar sejarah dan situasi sosial negara jajahannya, Wim tidak mengenali dinamika sepakbola Indonesia. Ia mengaku tidak tahu, tiba-tiba menggantikan Riedle. Ia agak bingung dengan campur aduknya sepakbola dengan politik. Ia merasa berada dalam kepungan kepentingan. Sambil mengatakan hanya mau melatih sepakbola dan bukan berpolitik, ia mengeluhkan sikap pendukung timnas yang meneriakkan nama Riedle di stadion GBK.

Kacamata tidak membuat Wim mengenali posisinya dalam kontestasi politik kekuasaan di PSSI. Bahkan ia mengesankan berada diluar semuanya. Agaknya, dari sikapnya, dia cocok dengan gambaran pendeta naif dalam kartun-kartun Albert Haan di majalah De Notenkraker awal abad 20. Seorang pendeta alim yang hanya mau tahu cara membaptis para pribumi primitif. Seorang yang tidak peduli dengan siapa yang membayari dan dari mana uangnya--mirip para pendeta profesional yang cuci tangan atas ketidakadilan politik kolonial. Andai saja wajah pucatnya dilengkapi dengan tongkat, topi panjang dan jas, mungkin Wim akan selegendaris calvinis teguh yang diparodikan ala De Vlam.

Saya bukan pemuja Riedle. Orang Swiss itu tidak memberikan gelar apa-apa. Namun setidaknya, ia memberi nilai tambah bagi sepakbola Indonesia. Ia memberi sebuah dimensi baru bagi sikap dan mentalitas timnas. Determinasi, keras kepala, dan selera disiplinnya mengajarkan bahwa tim adalah segalanya. Ia tidak mau berkompromi dengan sikap manja dan besar kepala. Sehebat apapun Boaz, jika tidak berkomitmen, lebih ia menonton timnas dirumah saja. Ia menyediakan elemen yang tidak pernah ada dalam sepakbola Indonesia (konon pernah ada dijaman Coerver atau Polosin): kerja keras, disiplin dan rasa adil.

Riedle membuka jalan evolusi permainan 4-4-2 ala Indonesia. Ia menemukan Bustomi seperti Pirlo ditempatkan Ancelotti. Ia bisa memaksa Firman untuk lebih bertahan—meskipun dengan cara itu ia lebih sering melepas umpan panjang. Ia berani membangkucadangkan BP—kapten, pemain paling senior, dan pemegang rekor. Yang lebih penting, ia bisa meminta para pemainnya berlari sepanjang pertandingan. Anda tahu dalam pertandingan final melawan Malaysia, bahkan ketika nyaris mustahil menyusul hasil agregat, wajah-wajah para pemain Indonesia dipenuhi hasrat dan semangat. Riedle bisa membawa atmosfer bagi pemain bahwa itu pertaruhannya bukanlah medali dan piala, itu adalah suatu pertandingan menebus harga diri dan memenangkan hati jutaan rakyat Indonesia!

Kacamata, buku catatan dan ketekunan Wim, sekali lagi, tidak berguna. Pernah ia menjanjikan, timnas akan bermain 4-3-3 ala Belanda dan Barcelona. Tapi yang terjadi hanyalah kebingungan menyusun formasi. Ia menyia-nyiakan momentum Made Wirawan yang bermain gemilang dan voila! memanggil kembali pemain veteran yang sudah melewati masa kejayaan; menarik BP ke posisi lebih dalam dan membuatnya seperti pesepakbola yang main tenis lapangan beneran (seperti di iklan!); dengan menempatkan disayap murni, ia menghilangkan kesenangan Boaz membuat kejutan dan umpan terobosan, memaksanya berpacu lari dari sayap kiri; sebuah gejala aneh ketika ia terus memainkan Firman saat bermain buruk (kandang lawan Qatar) dan menggantinya tatkala bermain bagus kemaren.

Yang lebih buruk, ia membuat sepakbola Indonesia kehilangan sentuhan dengan cara meletakkan Bustomi dibangku cadangan. Purwaka Yudhi bukanlah pemain buruk. Mirip Cannavaro yang suka menyergap, ia bukan tipe pemain yang bisa mengatur tempo dan ritme permainan. Jelas, bakat terbaiknya bukanlah menguasai bola dan mengubah arah permainan. Di klub, ia tidak pernah dimainkan sebagai gelandang bertahan. Ia bukan pemain yang dibutuhkan dalam mengawali serangan.

Tanpa jangkar dipusat kedalaman, jarak pemain timnas berjauhan. Penguasaan bola berkurang dan daerah pertahanan gampang ditekan. Para pemain tidak nyaman bermain pelan-pelan dengan operan satu dua sentuhan dari belakang menuju garis depan. Sayap tidak berfungsi karena bola tidak mengalir dari kiri ke kanan. Umpan-umpan panjang lebih dominan yang mengurangi akurasi dan meningkatkan rasio kesalahan. Saat di Senayan, kemenangan Qatar diawali dari salah umpan Firman, maka saat main tandang, Boaz membuat sebuah kekeliruan yang hampir tidak pernah kita saksikan.

Saat timnas ketinggalan dan lawan mengendurkan serangan, Wim lebih memilih tenggelam dibalik kacamata ovalnya. Reaksi yang terlihat di televisi hanya mengangkat bahu dan mendelik ke arah Listiadi. Saya menghitung dalam 5 menit, Bung Towel sampai 7 kali mengeluhkan hal sama tanpa henti: mengapa Wim tidak memainkan Bustomi. Ketika si protagonista Ibrahim Khalfan keluar dan tidak ada yang perlu dijaga karena Lazaroni tampaknya sudah cukup puas dengan hasil 3-0, kenapa Purwaka masih dimainkan dan malah mengganti Firman? Tanpa pemain kreatif ditengah, ia menempatkan Ridwan bersama BP sebagai otak serangan. Jika itu adalah sebuah taktik yang ia warisi dari skema permutasi pemain Belanda 70-an, jelas Wim salah perhitungan.

Empat pertandingan kualifikasi: Nol poin, 2 gol memasukkan, 12 gol kemasukan. Kekalahan menjadi akrab kembali. Antusiasme surut dan sikap rendah diri seperti jerawat yang datang lagi. Sepakbola Indonesia semakin suram dilihat dari kacamata Wim. Dalam sebuah wawancara ia pernah mengatakan tidak terlalu optimis dengan prestasi Indonesia. Tentu saja saya juga sama pesimisnya dengan dia: tapi paling tidak ia cukup mahal dibayar untuk mengubah rasa muram menjadi harapan.

Tentang masa depan sepakbola Indonesia, ia mengatakan pada Voklsrant, "masih akan makan waktu bertahun-tahun untuk terjadi perubahan, kalau memang ada." Pandangan Wim ini mengingatkan cara insinyur perkebunan kolonialnya Multatuli atau tuan tanah-nya Jan Breman tentang mentalitas para kuli dan harapannya untuk merdeka.

Jelas kita tidak bisa melihat masa depan yang cerah dari kacamatanya. Ini saatnya meletakkan kacamata Wim, mengambil jeda, dan membuat kalkulasi terperinci untuk menggantinya dengan lensa yang lebih membuat sepakbola menjadi lebih menjanjikan di depan.

Related Posts: