Oleh Mahfud Ikhwan
2/
Namun, mereka tak harus mengalami hal memalukan itu pada masa-masa berikutnya. Tidak di koridor, tidak pula di halaman. Saat bocah-bocah itu memasuki kelas tiga, mereka telah menjadi penguasa setiap gim yang dilangsungkan di halaman.
Selalu sulit bersaing dengan anak-anak yang lebih besar. Namun, kelihatannya, mereka hanya menunggu waktu untuk menjadi penguasa sepenuhnya halaman sekolah itu. Dan rasanya itu tak akan lama. Sekolah kecil itu tak memiliki banyak murid, dan lebih sedikit lagi memiliki murid laki-laki. Dalam setiap kelas, paling banyak diisi oleh enam murid laki-laki. Dari enam murid, bersama berjalannya waktu, biasanya menyisakan separonya saja yang suka sepakbola—dengan satu hingga dua dari mereka berkemampuan cukup baik. Hal ini menjadi berkah bagi Isnan dan teman-teman. Ketika keenam murid laki-laki kelas tiga bisa bermain sepakbola semua, maka segera saja mereka menjadi tampak menonjol di antara kelas-kelas lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan antarkelas tidak resmi, selain selalu menang melawan adik-adik kelasnya, Isnan dan kawan-kawannya tak jarang membabat tim kelas 5 atau bahkan kelas 6. Dominasi mereka semakin kentara saat pada sebuah pertandingan sepakbola antarmadrasah, dalam sebuah pekan pramuka sekecamatan, bocah-bocah kelas tiga itu berjasa besar membawa sekolah mereka melaju hingga final. Isnan dkk. gagal menjadi juara setelah kalah dari tim Madrasah Ibtidaiyah Jatianyar—sebuah tim yang terdiri dari bocah-bocah yang para kakak dan bapaknya berpuluh-puluh kali merajai kompetisi sepakbola antardesa di kecamatan ini.
“Kita harus mulai main di lapangan,” dengus Kacung, pada sebuah petang, seusai menyelesaikan permianan yang tidak begitu menyenangkan. “Bosan aku main di sini melulu.”
“Maksudmu, main di belakang gawang?” sahut Agung. “Bukannya di situ biasa dipakai anak-anak sekitar sana?”
“Buat apa di belakang gawang?” sambar Kacung. Sembari menyelonjorkan kaki, seakan menunjukkan kalau kakinya sudah cukup kuat untuk sebuah permaianan sepakbola yang sesungguhnya, ia berkoar, “Kita ikut main di lapangan besar.”
“Aku ikut!” Wakid mengacungkan tangan.
“Apa bisa?” sergah Isnan. “Aku dengar, Kamdun saja tidak hanya jadi serep. Masuk kalau sudah pada loyo. Padahal dia sudah Tsanawiyah.”
“Itu karena dia goblok.” Agung menyampur. “Aku pernah main sama dia di kebun bapaknya. Dia tak pernah becus kirim umpan. Bisanya cuma merepotkan teman.”
“Apa kau yakin sudah cukup kuat? Kau tahu sendiri, itu lapangan lebarnya enam kali lipat halaman sekolah ini.” Agung bertanya.
0 Response to "BEK: Sebuah Novel (Bag. 4)"
Posting Komentar