Membayangkan Leicester City Juara Liga Champions

Oleh Mahfud Ikhwan

Bola yang membentur pundak Robert Huth itu bergulir pelan saja di antara kaki dua bek Juventus yang terkejut. Dan Gigi Buffon yang ingin pensiun dengan gelar Liga Champion hanya bisa memukuli permukaan lapangan, menyesali diri sendiri, karena ada di posisi yang salah. Ia meraung, tapi segera meraih bola dari sudut jaring gawangnya, menepuk keras punggung beberapa beknya yang masih tercengang, dan meminta Paulo Dybala untuk segera membawa bola ke lingkaran tengah. Pertandingan sudah ada di menit 117 perpanjangan waktu babak kedua, setelah 90 menit pertandingan normal gagal menghasilkan gol.

Diawali dari lemparan ke dalam jauh dari Christian Fuch, yang kemudian disambut sundulan ke belakang oleh Jamie Vardy, Huth, seperti biasanya, ada di tempat yang tepat. Di antara kerumunan, dan dengan sedikit kekagetan, ia menyambut bola liar dari Vardy dengan kepalanya yang memanjang. Bukannya kepala, bola itu justru melintir ke pundak. Itu jelas bukan cara terbaik sebuah sundulan dilakukan, lebih-lebih di pertandingan final Liga Champions. Tapi siapa peduli? Itu gol. Itu GOL!

Beberapa ribu pendukung Juventus melongo, membekap kepala—mereka mengutuki diri, kenapa hal ini terjadi lagi, dan lagi, kepada mereka. Namun, seisi Stadion Millenium Cardiff sisanya meledak oleh rasa terkejut yang indah. Dan tiga menit setelahnya adalah sejarah.

***

Tentu saja, tiga paragraf pembuka di atas cuma karangan saya. Sebab, hanya orang ngarangyang akan menebak Leicester City mencapai final Liga Champions, apalagi sampai memenanginya. Tak perlu bertanya kepada mesin pencari untuk tahu ada di posisi mana dan perbandingan berapa Leicester diunggulkan di rumah-rumah judi di Eropa. Di antara raksasa macam Real Madrid, Barcelona, Bayern Munchen, dan Juventus, atau bahkan klub dengan klub macam Atletico dan Monaco, Leicester jelas bukan apa-apa, bukan siapa-siapa.

Tapi, kalau kita belum lupa, siapakah Leicester City sebelum mereka menjadi juara Liga Inggris sepuluh bulan lalu? Mereka adalah tim yoyo, yang dikenal karena hanya sesekali nongol di liga level atas. Enam musim sebelum bermain di Liga Champions untuk pertama kalinya, mereka masih terjerembab di liga kasta tiga. Naik ke Liga Ingris pada musim 2014-15, mereka lolos dari degradasi dan bisa bertahan di Liga Premier karena tujuh kemenangan ajaib di akhir kompetisi.

Itulah kenapa, pada awal musim berikutnya rumah judi Ladbrokes dan William Hill memasang mereka dalam angka taruhan 5000/1. Leigh Herbert, seorang tukang kayu dari Leicester, dan 12 orang lainnya, dianggap fans putus asa ketika mereka tetap bersikeras menaruhi tim pujaannya. Sementara itu Gary Lineker (striker legendaris Inggris, seorang penyiar sepakbola ternama, dan fans Leicester) mungkin hanya berniat bercanda ketika mengatakan akan siaran dengan cuma pakai cawat jika si Rubah juara liga.

Pada awal Mei 2016, Herbert pun jadi orang kaya baru. Lineker akhirnya benar-benar muncul di televisi cuma dengan cawatnya. Dan kita kemudian menyaksikan, di Liga Champions, Leicester menjuarai babak penyisihan grup, sebelum menyingkirkan tim dengan tradisi hebat di turnamen, Sevilla, di 16 besar.

Kejutan tak sering terjadi di sepakbola, sebagaimana juga dalam kehidupan. Karena itu, kita semua menyukai kejutan.

***

Meski begitu, kejutan adalah nama tengah sepakbola.

Orang selama ini menyangka, keindahan sepakbola semata ada pada cara ia dimainkan. Itu kenapa belakangan orang berbondong-bondong memuja Barcelona. Barcelona memang memberikan kegembiraan dengan tiki-takanya, dengan Messi-nya. Dan memberi kegembiraan adalah sifat hakiki sepakbola. Tapi bukan hanya itu.

Eduardo Galeano menyebut, keindahan sepakbola juga terletak pada kemampuannya untuk mengelak dikira, menolak disangka. Sepakbola menyajikan apa yang tidak kita bayangkan.

Yang tak terbayangkan itu tak sering terjadi. Karena itu ia istimewa. Ia dikenang dalam rentang waktu panjang, bahkan mungkin abadi. Makanya, Pele, Cruyff, Maradona, dan Messi ada di tempat yang berbeda dalam statistik dan sejarah sepakbola. Brazil sudah memenangi lima Piala Dunia, tapi mereka tak akan bisa melupakan Maracanazo. Sebelum timnas Jerman terbiasa dengan piala, mereka mengawalinya dengan mengejutkan dunia: menghajar Hungaria di final Piala Dunia 1958. Benarkah final Piala Dunia 1974 dikenang karena keindahan Total Football Belanda? Boleh jadi, tapi mungkin juga karena orang-orang tak menyangka Der Panzer yang inferior bisa bangkit dengan dua golnya. Dan gelar Denmark pada Piala Eropa 1992 masih tetap mengundang senyum dan geleng kepala, sebagaimana gelar Yunani pada 2004.

Contoh teranyar ditunjukkan Barcelona, saat menang 6-1 atas PSG untuk lolos ke 8 besar. Culesyang terlalu fanatik mungkin akan tetap yakin bahwa keberhasilan itu karena tiki-taka yang selama ini menjadi ciri Barcelona. Tidak. Di pertandingan itu tiki-taka tak berjalan, bahkan tak dipakai. Pertahanan kedodoran. Umpan-umpan kunci terbaik diciptakan Verrati, bukannya Messi. (Sebelum tendangan bebas Neymar yang kemudian dibuat jadi gol ke-6 oleh Sergi Roberto, nyaris tak ada umpan hebat yang masuk kotak penalti PSG.) Gol terbaik di pertandingan itu pun tak dicetak pemain Barcelona, tapi oleh Cavani.

Tapi itu tetap saja pertandingan sepakbola yang indah. Hal terindah yang membuat saya berdiri dan bertepuk tangan di akhir pertandingan adalah karena kita semua, termasuk di dalamya para pendukung Barca, tak menyangka ujung pertandingan akan sebegitu rupa. Dan, tentu saja, itu tak kalah indahnya dengan permainan indah manapun yang pernah disajikan Barca.

***

Sejak Red Star Belgrade jadi juara pada 1991, gelar antarklub Eropa hanya mondar-mandir di antara klub-klub besar, dari kompetisi-kompetisi yang bergelimang uang. Mungkin yang bisa sedikit kita golongkan sebagai “mendingan” adalah ketika Monaco dan Porto ada di partai final Liga Champions 2004. Selebihnya, masa-masa ketika klub semenjana macam Steau Bucuresti, Aston Villa, Nottingham Forest, hingga Hamburg bisa menjadi juara tampaknya sudah lama berlalu.

Industrialisasi membuat sepakbola makin minim kejutan. Tak seperti penonton, para pemilik modal menginginkan kepastian. Sepakbola jadi kian rutin. Atau, kalau bisa, memang harus dirutinkan. Klub-klub kaya mendominasi, dan semakin mendominasi.

Saya adalah pendukung salah satu tim besar itu. Dan saya ingin tim pujaan saya jadi juara Liga Champions setiap tahunnya. Tapi, terkadang, saya ingin tahu bagaimana rasanya dikejutkan. Dortmund, atau Atletico, atau Monaco mungkin akan lebih mudah dibayangkan menjadi ganjalan bagi raksasa macam Munchen, Madrid, Barcelona, atau Juve. Tapi kenapa tidak sekalian Leicester?

Pendukung tim-tim besar, mungkin termasuk saya, boleh jadi akan kecewa. Orang-orang yang memuja sepakbola indah akan menyesalinya. Bagaimana bisa tim dengan materi buruk, bermain sangat sederhana, dan sedang berjuang dari degradasi di liga domestiknya, bisa juara? Mungkin begitu pertanyaannya. Tapi, jika klub macam Leicester bisa juara, ia akan memberi pelajaran lain tentang sepakbola—sebagaimana sebelumnya Eropa pernah mendapatkannya dari Denmark dan Yunani. Ia akan menunjukkan keindahan sepakbola dari sisi yang berbeda.


Bahwa: sepakbola adalah permainan yang mengelak dikira, menolak disangka. Ia menyajikan apa yang tidak kita bayangkan.  


*Dimuat di Jawa Pos, Selasa 11 April 2017

Related Posts:

Brazil Sedang Menemukan Dirinya Kembali*

Oleh   Darmanto Simaepa

“Sepakbola membantu Brazil menemukan dirinya sendiri dan membuat dunia menemukannya,” Nelson Rodrigues, penulis naskah lakon kenamaan Brazil era 1950-an, pernah bilang.

Itu bermula setengah abad yang lewat. Di Piala Dunia 1950, Brazil muda ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah negara yang modern, penuh ambisi dan percaya diri. Empat tahun sebelumnya, mereka melahirkan konstitusi demokratik untuk mengakhiri kediktaturan selama masa perang dunia ke dua.

Optimisme dan kebaruan membutuhkan simbol. Ukuran sangat penting mengingat Brazil adalah negara besar dengan pantai lebar, sungai besar, hutan hujan tropis raksasa. Mereka sudah punya patung Yesus paling besar. Namun mereka membutuhkan simbol baru. Untuk itulah mereka membangun stadion terbesar di dunia: Maracana.

Maracana menyembul ke udara, berdiri gagah di antara pemukiman kumuh. Ia mewakili patriotisme baru Brazil. Ia tidak hanya menunjukkan ambisi Brazil, tetapi juga meletakkan Brazil di tengah percaturan dunia. Sepuluh ribu lebih pekerja memburuh siang malam untuk menyelesaikan stadion dalam waktu dua tahun.

Hasil-hasil di babak pendahuluan memberi keyakinan bahwa tidak mungkin Brazil tidak juara. Bahkan, sebelum pertandingan mulai, Walikota Rio de Janairo mendeklarasikan bahwa medali telah dihitung dan Piala Dunia hanya tinggal diserahkan kepada Augusto, kapten Brazil.

Namun, gol Alcides Ghiggia menyadarkan mereka adalah negara yang muda, rentan, dan gampang putus asa.  Kekalahan yang dikenang sebagai tragedi Maracana (Maracanazo) itu luka sejarah Brazil yang tak tersembuhkan.  

Sepakbola memberi mereka sebuah kutukan. Maracanazo adalah aib kolektif sehingga tak ada satupun orang Brazil yang terbebas dari kutukannya. ‘Seperti bom atom Hiroshima,’ kata Rodriguez, ‘setiap orang mengingatnya, setiap hati terluka.’

Namun sepakbola juga memberi penebusan. Lewat kemenangan di Piala Dunia 1958, 1962, dan 1970, Brazil menemukan dirinya kembali. Tak hanya sepakbola menghasilkan pemain-pemain dan tim terbaik, ia juga mendefinisikan Brazil sebagai sebuah bangsa.

Tak ada satupun negara di dunia yang diidentikan dengan satu cabang olahraga kecuali Brazil dengan sepakbola. Begitu pentingnya sepakbola bagi Brazil, ia tak pernah sekadar sebagai olah raga. Sepakbola adalah gambaran dari cara orang Brazil menjalani hidupnya.

Pemain lahir dan melatih ketrampilan di jalanan sempit favela. Mereka berlari kencang ke seluruh penjuru dunia untuk meninggalkan kemiskinan yang mendera. Gocekan ritmik dan trik cerdik mengelabui lawan didapat dari musik samba dan seni bela diri capoeira, keahlian yang harus mereka pelajari dan kuasai untuk bisa berkelit dan bertahan dari hidup yang brutal.

Sepakbola memberi jalan keluar, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi sisi hitam kehidupan. Para cartolas menguasai klub dan federasi, memeras tenaga pemain seperti pemilik perkebunan tebu memeras buruhnya. Kompetisi dijalankan seperti bisnis gelap di mana para mafia tengik mendapatkan kekayaan dan kekuasaan. Sepakbola adalah sarana untuk membangun karir sebagai politisi, sarang praktik-praktik korupsi, namun juga medium untuk menampilkan diri sebagai orang suci.

Orang Brazil menyebutnya futebol-arte. Sepakbola sebagai seni. Dunia pun mengenal jogo bonito. Secara metaforis sepakbola cerminan dari seni kehidupan—dengan sisi terang dan sisi gelapnya. Bukan kebetulan jika sejarah sepakbola Brazil berkait berkelindan dengan lika-liku sejarah kolektif mereka sebagai bangsa.  

*****

Sepakbola kontemporer Brazil dipaksa menemukan diri mereka sendiri kembali. Ini setelah mereka mengalami Mineirazo, Hiroshima sepakbola kedua Brazil, yang daya rusaknya tak kalah dibanding Maracanazo.

Seperti tahun 1950, Piala Dunia 2014 adalah wajah Brazil yang percaya diri dan optimis. Kekuasaan Partai Buruh di bawah Lula da Silva meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Gerakan rakyat menguat. Industri menggeliat. Ekspor komoditi meningkat. Bersama Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, Brazil menjadi kekuatan baru dunia.

Dillma Rousseff mencapai puncak popularitasnya (dan sedikit protes) menjelang Piala Dunia dan terpilih kembali setelahnya. Gencarnya investasi, tingginya kunjungan wisatawan, meningkatnya transaksi pemain, dan bergairahnya industri sepakbola domestik mengikuti keajaiban ekonomi Brazil.

Optimisme Brazil sebagai negara besar, modern, dan kuat menggema kembali. Tujuh stadion baru dibangun megah, sementara yang lama direnovasi dan diberi warna berani—kuning, hijau, biru—warna-warna yang mewakili bangsa Brazil. Bahkan, mereka percaya diri bahwa dunia akan pergi ke stadion megah di belantara hutan Amazon.

Namun, Piala Dunia kembali menjadi alegori bagi tragedi politik. Kemegahan stadion dan optimisme penyambutannya mengaburkan kerentanan ekonomi yang bersandar pada ekspor komoditi mentah dan upah kerja rendah. Kegagahan stadion-stadion baru seakan-akan menutupi budaya korupsi. Kemakmuran yang digambarkan mengalihkan kesenjangan dan kerentanan.

Kekalahan 1-7 dari Jerman di Estadio Mineiras, Belo Horizonte memberi mereka bom atom sepakbola ke dua. Brazil, sekali lagi, menemukan mereka sebagai bangsa pecundang, rapuh dan rentan. Tim yang konon punya skuad pertahanan terbaik dunia—David Luiz, Thiago Silva, Dani Alves, Marcelo/Felipe Luiz, Julio Cezar (semuanya finalis Liga Champions dan juara di liga domestik Eropa)—luluh lantak.

Banyak pakar meramalkan Mineirazo akan menggoncang sendi-sendi sepakbola Brazil dan akan butuh waktu lama bagi pemain Brazil untuk pulih dari derita. Kegagalan Selecao di Copa America Centenary Amerika menunjukkan kekalahan di Mineiras itu telah menghancurkan sepakbola Brazil. Paling tidak satu piala Dunia atau satu generasi timnas dibutuhkan untuk lepas dari Mineirazo.

Tragedi Mineirazoparalel dengan gempa politik Brazil. Ketika bangsa Brazil murung tak berkesudahan, popularitas rezim Dilma Roussef mulai dipertanyakan. Retorika kekuatan ekonomi baru dunia dibangun di atas praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan. Sebulan setelah Dunga diturunkan dari kursi kepelatihan setelah gagal di Amerika, Dilma dimakzulkan dari kursi kepresidenan.

Namun, seperti gerakan tak terduga Garrincha atau Ronaldinho, Brazil selalu menghadiahi kita kejutan.

Kejutan itu bernama Tite. Tidak seperti prediksi para ahli, Ia hanya butuh 9 bulan untuk membuat sepakbola dan rakyat Brazil seperti terlahir kembali. Delapan kemenangan beruntun di kualifikasi piala dunia yang dicapai dengan permainan menghibur, menyerang dan produktif seperti telah berhasil menghalau hantu Mineirazo.

Di tangan Tite, Brazil seperti tak mengalami trauma besar. Justru, mereka menunjukkan 
bahwa Brazil masih menjadi pemilik futebol-arte. Selecao bermain lepas, mengalir seperti irama samba, dan tidak gentar menghadapi tantangan, bahkan saat menghadapi tim-tim keras dan menekan, seperti Uruguay dan Paraguay. Ia berhasil meracik kedisiplinan pemain belakang, ketenangan gelandang dan kegesitan pemain depan.

Lewat kemenangan 4-1 lawan Uruguay, kita menyaksikan Brazil yang menemukan dirinya kembali. Pemain Brazil menemukan bahwa mereka adalah tim yang menari di atas lapangan. Dan duniapun menemukan imaji tentang Brazil kembali. Brazil yang cantik, riang dan menang.

Metamorfosis Brazil dapat direfleksikan dari transformasi Neymar. Ia seperti keluar dari kepompong yang selama ini membebatnya. Seperti kupu-kupu, ia bermain lepas, tampak dewasa dan mewarnai lapangan. Tak ada umpan yang meluncur sia-sia. Tak ada aksi pura-pura. Ia juga bermain tanpa rasa takut, selalu menciptakan ruang, dan sangat berbahaya.

Tentu saja, masih awal untuk menyimpulkan bahwa Tite telah membantu Brazil menemukan identitas sepak bolanya kembali. Perjalanan masih panjang. Namun, sejauh dia meyakinkan bahwa setiap pemain Brazil bergerak seperti penari samba sambil terus menghasilkan kemenangan, Brazil boleh optimis tak perlu waktu lama menemukan dirinya kembali sebagai bangsa yang melahirkan futebol-arte.

Kini, kaki mereka sudah berada di Rusia. Untuk menemukan kembali diri mereka sepenuhnya dan membantu dunia menemukannya, Tite dan timnya harus membuktikan bahwa, tak seperti tim-tim Brazil sebelumnya yang hebat di babak kaulifikasi tapi gagal bersinar di babak final, Brazil siap menebus duka-nestapa Mineirazo dengan membawa pulang Hexa Campeon!

* Dimuat di Jawa Pos, Selasa 4 Maret 2017, dengan modifikasi seperlunya. 


Related Posts: