Sayang Sekali Jerman Ini, Jerman Lama! Bukan Jerman Dua Tahun Lalu

Oleh Darmanto Simaepa

Sejarah turnamen sepakbola (khususnya piala Eropa dan piala Dunia) memberi alasan bagi saya untuk membenci Jerman. Tidak peduli mereka pernah menghasilkan Beckenbauer, Gerd Mueller atau Sammer. Dengan tim yang komposisinya ditertawakan pelatihnya sendiri (Mexiko 1986) atau ketika pasar taruhan melupakannya (Swiss 2008, Spanyol 1982), dengan libero elegan (1970, 1974) atau gelandang yang hanya berlari sepanjang 14 kilometer untuk mengejar bola (Italia 1990, Inggris 1966), Jerman adalah tim yang paling sukses dalam turnamen.


Lebih buruknya, Jerman selalu mengalahkan tim-tim terbaik di dunia dan pemain-pemain paling kreatif sepanjang sejarah sepakbola. Mereka merontokkan Puskas, Koscic dari Magical Magyar di tahun 1954; Masopustnya Cekoslowakia di tahun 1972; Polandia dengan Lato dan Belanda bersama total football tahun 1974; Prancis dengan Platini dan kuartet gelandangnya di Spanyol 1982 dan Mexico 1986 dibuat pingsan; serta benar-benar membuat patah hati Maradona dan Gazza di Italia 1990; di Wembley 1996 Jerman menjadikan kereta ekspres Poborksy berhenti dan sekali lagi Gazza frustasi; dan terakhir membuat kombinasi pemain bertalenta tinggi dari Portugal kebingungan di piala Eropa 2008.

Kenapa Jerman selalu mencetak hasil bagus dalam turnamen? Dalam sebuah kalimat yang penuh tautologis, Ulrich Hesse menyebutnya: ’karena mereka Jerman’. Tidak cukup dengan itu, ia menambahkan kebencian saya terhadap Jerman dengan mengatakan sebuah penjelasan ala antropolog pendukung esensialis ’Jerman akan berprestasi di Afrika karena memang selalu begitu”.

Kehebatan Jerman sering dihubungkan dengan—sebuah konsep abstrak yang membingungkan—mentalitasnya. (Apakah tim Inggris atau Portugal berpikir akan kalah sebelum pertandingan???). Orang-orang Jerman itu dikenal memiliki mentalitas pemenang. Tidak kenal menyerah. Bermain konsisten. Terus berlari dan selalu berpikir pertandingan benar-benar berhenti ketika lampu stadion telah padam. Sebuah tim yang dapat mengambil analogi dari sebuah peperangan panjang.

Lebih jauh lagi, konsep abstrak tentang mentalitas ini selalu dihubungkan dengan sejarah superioritas orang Jerman atas ras-ras yang lain. Nietzche pernah melontarkan konsep manusia super (Ubber Mannsch) dan Hitler menganggap ras di luar Indo-Arya adalah binatang. Eropa pernah mengimani gagasan yang mengatakan kehebatan orang ditentukan oleh ciri-ciri yang diturunkan DNA dari tampilan fisiknya. Hingga kita tidak heran ketika Ekolog dan ahli Anatomi terkenal dari Jerman, Ernst Haeckel, pernah mengatakan, ”ras-das rendah—Aborijin Srilanka atau Negro Australia—secara fisiologis lebih dekat dengan binatang mamalia, kera, dan anjing dari pada dengan orang-orang Eropa yang beradab”. Gagasan tentang hubungan kehebatan dan ciri fisik ini dianggap melandasi imperialisme yang perih, yang bekas-bekasnya terus mengarus hingga kini.

Jerman memiliki sejarah sosial kejam yang mengalir bersama sejarah genetiknya. Ketika Hitler masih remaja dan belum menulis Mein Kampf, selain industri militer, Eugenetika—cabang genetika yang menginginkan perbaikan kualitas fisik manusia dengan mengubah susunan DNA—adalah bidang yang menjadi isu nasional. Ilmuwan Jerman menganjurkan perkawinan antara orang-orang yang memiliki gen yang dikehendaki dan memaksa orang yang tidak dikehendaki untuk dimusnahkan. Tidak ada sejarah politik yang lebih kelam dari perang dunia ke 2 yang menginginkan adanya suatu ras unggul bernama Arya, yang bermata biru dan berambut pirang. Ideologi ini telah membawa kesengsaraan bagi orang Yahudi dan orang-orang Afrika dan juga bagi orang Jerman sendiri.

Meskipun ideologi Nazi telah runtuh, dan para ahli genetika menemukan bukti yang tak dapat disanggah lagi tentang mustahilnya ide kemurnian ras, orang-orang Jerman tetap mengaggap bahwa mereka diciptakan untuk menang karena alasan Arya-nya itu. Dan lapangan sepakbola adalah medan laga yang paling tepat untuk menunjukkan betapa berbedanya orang Jerman dari ras lainnya. Setelah luluh lantak dan seluruh dunia mengutuk slogan Allemania Ubber Allesch pasca perang dunia ke II , Max Morlock, Helmut Rahn, dan Fritz Walter mengembalikan harga diri Jerman di dunia. Kalah telak di kualifikasi dan tertinggal 2-0 dari Hongaria, kualitas ’mental’ Jerman membalikkan keadaan dan menciptakan istilah ’dua satu dan akhirnya kita menang 3-2” yang legendaris itu. (Bukankan ini sesuatu yang mutlak benar? Portugal tidak bisa melakukan nya terhadap Yunani. Dan Belanda terhadap Argentina!!). Der Kaizer mengatakannya sebagai sebuah kesuksesan paling penting dalam sejarah sepakbola Jerman. Menurut saya lebih dari sekedar sepakbola.

Terkadang, kita terpaksa mempercayai mentalitas Jerman ini. Setiap turnamen Jerman selalu membuktikan melalui turniermannschaft-nya. Kita sering menyebutnya tim nasional Jerman hebat karena mereka orang Jerman. Orang-orang ini memiliki sikap pantang menyerah, detail dan konsisten. Mereka lebih unggul karena fisik yang prima, dagu yang tegap sudut wajah yang dibentuk oleh dasar tengkorak (facial angle) yang mendekati 90o dan tengkorak yang besar untuk menyimpan volume otak. Mereka adalah orang-orang yang mewarisi gen orang-orang Indo-Arya yang mereka khayalkan. Barangkali setengah abad yang lalu, pandangan-pandangan esensialis yang mengatakan Jerman hebat karena faktor keturunan dan DNA yang dibawanya masih bisa diterima. Ketika situasi sosial di Jerman masih kental dengan khayalan manusia supernya dan hasrat mengembalikan harga dirinya masih tinggi, penggemar sepakbola mudah terpengaruh pada pemikiran esensialis ”karena Jermannya”.

Tetapi siapakah para pemain Jerman itu sekarang? Wajah pemalas dan murung Turki dari Ozil yang brilian itu? Kaki tegap dan kulit gelap yang lincah Cacau dari tropis Amazonia? Campuran Hidung Arab dan wajah pipih Mediteranian Khedira ? Kulit tirus dan lembab orang-orang Polish dan Slav milik Klose, Podolski dan Trochowski? Rambut keriting Afrika dan gempalnya bahu Afrika Barat dari Boateng dan Aogo? Atau rambut hitam dan mata coklatnya Spanyol ala Mario Gomez?

Apa yang terjadi dalam komposisi Jerman sekarang ini adalah refleksi dari dunia yang terus senantiasa berubah—bahkan sebelum pra-sejarah. Kata Steve Olson dalam Mapping Human History, sejarah penduduk Eropa terlalu kusut untuk ditelusuri. Apa yang disebut orang Jerman sekarang adalah campuran dari banyak kelompok kuno. Orang-orang Celtic, Frank, dan tidak kurang selusin suku-suku yang saling kawin, bercocok tanam, berkelahi dan bernyanyi selama berabad-abad di Jerman dan Eropa Barat. Gelombang-gelombang migrasi (juga orang Yahudi) itu terus berlangsung sampai jaman modern. Penelusuran DNA melalui proyek genom dunia menyebutkan, Eropa (Jerman ada didalamnnya) adalah benua yang paling rumit susunan genetikanya.

Setelah meledak di abad pertengahan dan sindrom superioritasnya hingga akhir kolonialisme, populasi orang Eropa (Jerman, Prancis, Spanyol, dan pegunungan tengah) mengalami penurunan drastis. Eropa mengalami transisi demografi, dari tingkat kelahiran tinggi menjadi rendah. Modernitas yang memberikan kita penjajahan dan penindasan juga membawa teknologi, gaya hidup, emansipasi bagi perempuan, revolusi industri yang menyebabkan negara-negara Prancis dan Jerman mengalami angka kelahiran yang sangat rendah. Perempuan-perempuan punya banyak kesibukan selain mengurus anak. Perang Dunia yang menewaskan banyak pemuda dan kebangkitan ekonomi pasca perang itu membutuhkan tenaga kerja dari luar. Pada akhirnya, untuk menggerakkan roda ekonomi, mereka menerima tenaga kerja dari Turki, Asia, Afrika, dan Mediterania. Imigrasi ke Eropa mencapi puncaknya pada 1950-1960-an ketika jutaan buruh migran bekerja di sektor industri yang menjamur di Prancis, Jerman dan Inggris.

Saya ingin mengatakan bahwa ide tentang kemurnian ras barangkali diciptakan malaikat paling suci atau iblis yang paling berdosa yang tak ingin dunia adalah tempat pertemuan dan percampuan DNA yang mewujud dalam diri Hitler dan kawan-kawannya. Orang lupa bahwa jantung Eropa adalah tempat migrasi besar-besaran kelompok yang menemukan gagasan bercocok tanam yang mengubah dunia dari Asia. Tentu saja sampai sekarang kelompok kanan yang mengecam Ozil masih ada dan orang-orang ekstrim pimpinan Le Pen dari Prancis hampir memenangkan pemilu dan menggertak Zizou. Setiap konstitusi negara Eropa selalu diwarnai pertentangan parlemen untuk menghentikan laju migrasi dan memulangkan pendatang ilegal.

Tetapi, sejarah kemurnian (dalam agama, negara-bangsa, seni maupun sepakbola) akan selalu kalah. Hidup seperti hutan tropis. Lebat dan beronak. Terusun oleh beragam kehidupan yang sering tidak dikehendaki namun selalu hadir. Para migran yang seringkali ilegal itu terus berdatangan, membawa keluarganya, bekerja dan bersekolah. Seperti Jakarta yang tidak bisa menghentikan penduduk baru sepanjang habis lebaran. Hal ini juga ditopang dari sisi lain dimana penduduk bangsa itu tidak mau memiliki banyak anak. Angka harapan hidup meninggi dan orang tua tak mati-mati. Populasi stagnan dengan angka usia produktif rendah. Dengan kesejahteraannya, mereka enggan hidup menjadi buruh kasar dengan upah rendah. Jerman, Prancis, Spanyol, Belanda, hanya memiliki satu cara untuk mempertahankan jumlah penduduk dan struktur ekonomi mereka: menerima lebih banyak imigran.

Jerman kini menikmati hasilnya dari penerimaan terhadap DNA-DNA yang baru ini. Berkah yang pernah didapatkan Perancis tahun 1998 lalu yang terdiri dari DNA Mediterania, Maghribi, Austronesia, Polinesia, Armenia, Argentina dalam diri Zizou, Thuram, Karembeu, Henry, Trezeguet, Djorkaeff, atau Vieira. Saya tidak yakin jika Hitler menang atau Le Pen mengalahkan Mitterand, sepakbola akan lebih berwarna dan semenarik permainan Perancis era Zidane dan Jerman saat mengalahkan Australia.

*****

Sebelum kick-off Australia dan Jerman kemaren, saya masih menginginkan Jerman kalah. Bahkan jika itu yang bertarung adalah tim yang paling licik seperti Italia atau Uruguay, saya tetap menginginkan Jerman kalah. Saya bertaruh sebotol bir dengan teman yang mendukung Jerman. Setelah dua sentuhan pertama Ozil dan pergerakan Mueller, setengah jam kemudia permutasi pemain-pemain Jerman (kecuali sikap statis Badstuber) tiba-tiba seluruh DNA kebencian saya terhadap Jerman juga mengalami mutasi. Dengan cara yang aneh, saya bisa menikmati tim Jerman seperti menikmati tayangan ulang tim Brasil 1982 atau Argentina 1986.

Itu sebuah pertandingan terbaik dalam empat hari pertama piala dunia kali ini. Sama sekali tidak ada keluhan klasik mengenai Jerman yang membosankan, menunggu pemain lawan kelelahan, dan menciptakan kemenangan yang berasal dari gol kebetulan. Terlepas dari kartu merah Cahill yang tak berdosa dan pemain Australia yang kebanyakan tidak memainkan kompetisi dan tidak punya klub, Jerman yang kemaren bermain lebih artistik dari Argentina atau Inggris yang konon dihuni 6-7 pemain terbaik dunia dua hari sebelumnya.

Anda tahu kan para pemain Jerman itu masih sangat muda? Bahkan Ozil, Muller, Marin, Badstuber, Khedira belum genap berusia 22. Tentu saja opini saya terlalu dangkal dan sederhana. Mereka baru bertanding sekali dan saya, dapat anda katakan, memujanya. Mereka belum bertanding melawan tim-tim tradisional yang menyulitkan dan berpengalaman seperti Italia, Amerika atau Serbia.

Tetapi tetap saja saya memiliki sejumlah alasan untuk memujanya. Melebihi kebencian saya bertahun-tahun terhadapnya. Tentu saja semangat ala Jerman masih tersisa di dalam anak-anak muda itu. Mereka ditinggal Ballack dan Lehmann sebagai figur yang paling berpengalaman. Tetapi, menurut Mathias Sammer, mereka punya mentalitas yang telah ditanamkan sejak mereka remaja. Kerangka tim muda ini memenangkan piala Eropa usia 17 dan 21 dua dan setahun yang lalu. Dan tidak ada rumus fisika yang mengatakan usia berbanding terbalik dengan mentalitas.

Pada akhirnya, saya sendiri meyakini konsep abstrak mentalitas ala Jerman ini. Tetapi mentalitas ini bukan secara sederhana terbentuk oleh DNA-DNA pemain mereka secara terberi. Bukan berarti mentalitas Jerman dibentuk secara otomatis oleh DNA Jerman. Saya mendukung definisi mentalitas ala Jerman tetapi tidak mendukung Hesse yang membuat pernyataan itu disebabkan ”karena mereka Jerman”. Syamsir Alam, Alan Martha atau Rizky Pellu atau Dendy Santoso dapat memiliki mentalitas ala Jerman ini ketika dihadapkan dalam kompetisi yang ketat, fair, dan penuh tekanan. Orang Austronesia seperti kita ini bisa punya mentalitas Jerman seperti yang telah dibuktikan oleh Drogba atau Eto’o di level klub.

Sebagai keturunan manusia modern, kita semua dianugerahi sebuah sifat yang buruk: hasrat ingin menang dan unggul. Sifat ini adalah ciri khas sejarah evolusi manusia modern (Homo sapien). Sifat inilah yang telah membawa banyak bencana tetapi juga segala inovasi dan kreasi. Dengan sifat ini, manusia modern telah menggantikan beberapa keturunan kera yang berjalan tegak dan belasan Homo spp yang pernah menjadi warga dunia. Dengan sifat ingin menang dan unggul inilah, manusia modern menjadi spesies yang paling penting dan merajai dunia. Tubuh dan akal manusia modern mampu beradaptasi dan berevolusi untuk mengalahkan iklim yang keras, lanskap yang mustahil untuk ditaklukkan, binatang-binatang purba yang ganas, dan hidup yang kadang sukar dimengerti.

Hasrat unggul dan menang adalah hasrat terdalam dari sisi gelap manusia modern. Darwin menyebutnya sebagai kemampuan untuk lebih bertahan hidup dan menghasilkan keturunan. Kemampuan bertahan hidup inilah yang meramaikan dunia dengan sebuah pertunjukan yang sangat menakjubkan dari makhluk-makhluk hidup. Berkelahi, makan, kawin, bernyanyi, berpindah tempat mencari tantangan dan kematian. Mentalitas pemenang bukanlah mutlak orang Jerman. Tetapi mungkin hanya orang Jerman yang memiliki bahasanya. Nietzche yang sakit-sakitan dan atlet penunggang kuda yang buruk itu mengatakan der wille zur macht: kehendak untuk berkuasa.

Orang Austronesia, Mongoloid, Polynesia, Semit, Arab, Afrika juga punya mentalitas untuk menang seperti orang Jerman. Mereka tersusun oleh kepingan 23 kromosom yang sama. Di Indonesia, artis-artis ingin menang pemilu. Pengusaha terus menerus menguras sumber daya alamnya. Dan para pengendara sepeda motor menyerobot trotoar bagi pejalan kaki. Di Afrika, orang Hutu ingin memusnahkan orang Tutsi. Tetapi dengan mentalitas itu, manusia modern menciptakan perahu layar, komputer, lukisan monalisa, symphoni 12, Borobudur, dan pesawat luar angkasa. Tanpa mentalitas ini, manusia tidak akan bisa menaklukkan kutub utara, gurun sahara, lingkungan tropis dan mengaruhi lautan dan samudra.

*****

Saya lebih menyukai Jerman ini karena alasan yang rumit karena pemain-pemain terbaik mereka bukanlah orang-orang Jerman yang punya khayalan terhadap ras Arya. Sebelas dari 23 pemain-pemain itu susunan DNA berasal bukan dari ras Jerman yang bermata biru, berkulit terang dan berambut pirang ala Brad Pitt. Kecuali Cacau, mereka adalah pemain-pemain yang dilahirkan dari orang tua yang telah menetap di Jerman sebagai Migran unuk sekurang-kurangnya 2 generasi. Atau memiliki ayah Jerman dan ibu non-Jerman. Mereka tumbuh besar dengan bahasa Jerman dan punya kehidupan ala Jerman (jika itu ada). Sebelum generasi mereka Felix Magath, Kuranyi, Gerald Asamoah, dan beberapa lainnya telah menjadi generasi diaspora yang membawa Jerman

Selain Cacau, pemain Jerman ini bukanlah pemain naturalisasi. Saya tetap tidak suka Liedson, Deco, Amauri atau pemain yang menjadi anggota tim nasional karena paspor ganda mereka dan kalah bersaing dan kesempatan bermain di negeri asalnya sangat kecil. Mungkin saya bisa dianggap Chauvinis. Tetapi ada beda Mario Balotelli dengan Marcio Santos di Tunisia. Ada beda ketika, kamu anak imigran yang telah hidup di Prancis selama 70 tahun (meskipun tanpa KTP) dengan seseorang yang datang sebagai profesional, hebat dan ketika tidak ada penyerang dimana liga anda bermain, anda mengisi pos itu. Saya lebih menyukai anak teman saya yang ibunya Belanda dan ayahnya orang Mentawai dan lahir besar di Mentawai untuk menjadi pemain nasional dibandingkan dengan Beto atau el Loco Gonzales.

Sepakbola menyebar ke seluruh dunia seperti DNA-DNA manusia. Sepak bola telah menyatukan dunia dengan permainan seperti halnya molekul panjang dan kompleks yang meneruskan informasi genetik dalam sejarah manusia dan kehidupan itu. Corak egaliter permainan ini bisa dimainkan orang-orang semak yang lebih pendek atau keturunan kulit merah Indian dan orang-orang sipit dari Asia Timur. Kualitas permainan dalam sebuah pertandingan ditentukan semangat dan mentalitas terhadap permainan ini. Tidak semua orang bisa juara seperti tim Jerman. Disinilah letak perbedaan definisi tentang mentalitas. Barangkali orang Jerman yang terlatih untuk menyerap dan menyuling dasar sifat kemanusiaan kita yang menginginkan keunggulan dan kemenangan

Tim Jerman yang saya tonton melawan Australia telah menggabungkan DNA-DNA manusia di penjuru dunia dan mentalitas hasrat ingin menang manusia modern. Tubuh pemain-pemain Jerman sekarang ini tersimpan sejarah panjang gen manusia yang di bawa oleh seorang ibu di lembah timur Afrika melintasi waktu dan ruang. DNA-DNA tersebut bersatu bersama kehendak untuk terus bertahan dari kerasnya kompetisi dan survival of the fittest dunia yang tak ramah milik Homo sapien di piala dunia. Dengan cara itu, Jerman sekaligus telah berhasil mengubur impian gila dalam riwayat kemanusiaan kita tentang manusia unggul dengan menerima perbedaan-perbedaan genetik dan tampilan fisik dari penjuru dunia melalui tim sepakbolanya. Turniermannschaft mengembalikan DNA-DNA dan mentalitas hakikat manusia modern di tempat nenek moyangnya di Afrika dalam sebuah kejuaraan paling besar dan menyatukan umat manusia.

******

Saya tiba-tiba peduli apakah Jerman juara atau tidak. Saya merasa Jerman harus Juara untuk keadilan permainan ini. saya bahagia piala dunia kali ini telah menyediakan elemen perayaan kemanusiaan kita (sejarah persebaran genetika dan mentalitasnya) melalui tim Jerman di benua asal-usul manusia. selain itu sepakbola dimenangkan dengan cara yang brilian. Alasan-alasan itu telah menyebabkan saya menyangkal kebencian kronis ala-Hitler saya terhadap Jerman dan menikmati bola dari Lahm ke Khedira, Klose bergerak ke arah gawang dan Basti menusuk ke tengah, Khedira lanjut ke Ozil, oper ke Mueller, dan diteruskan Podolski ke gawang Schwarzer.

Related Posts:

Sayap Kanan Belanda

Oleh Darmanto Simaepa

Sembilan puluh hari sebelum pertandingan pertama tim Oranje di piala Eropa, kabinet pemerintahan Belanda yang dipimpin perdana menteri Mark Rutte dari partai Liberal (VVD) diumumkan jatuh di Den Haag. Partij voor de Vrijheid (PVV), partai sayap kanan pimpinan Geerts Wilders menolak paket penghematan anggaran. PVV, partai anti-imigran dan anti-Islam tersebut menggagalkan perundingan cara mengatasi defisit keuangan akibat krisis ekonomi yang melanda Eropa. Mark Rutte, yang marah dengan kompatriotnya, menuduh PVV tidak berkomitmen atas kesepakatan taktik dan strategi memulihkan Belanda dari masalah. Wakil Perdana Menteri Maxime Verhagen dari Partai Kristen Demokrat (CDA) menyebut, partai sayap kanan terlalu mementingkan dirinya sendiri sehingga menyebabkan kerawanan politik Belanda.

Sembilan puluh hari setelah kejatuhan koalisi kabinet dan Ratu Belanda mengumumkan pemilu, tim Oranje yang dipimpin oleh Mark van Bommel tersungkur pada pertandingan pertama melawan Denmark di Kharkiv. Semua pemain Belanda berusaha mencetak gol untuk dirinya sendiri dan tidak mencerminkan tim sepakbola sebagai sebuah unit kolektif. Arjen Robben, yang bermain di sayap kanan, bermain dengan canggung dan tidak tahu kapan membuat keputusan untuk mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri dan mengumpan ke kawan-kawannya. van Marwijk, yang sangat marah, dilaporkan tidak berbicara dengan beberapa pemainnya, sementara, Huntelaar yang dicadangkan, ngambek dan meninggalkan ruang ganti sehingga semakin memperburuk suasana. Sementara Sneijder, yang cukup terpukul dengan kekalahan itu, menyatakan kepada media, ada sebagian pemain Belanda yang memiliki ego sangat besar sehingga menjadikan posisi Belanda rawan tersingkir dari piala Eropa.

*****

PVV mengejutkan politik Belanda tahun 2010 setelah berhasil mengumpulkan 31 kursi. Geert Wilders berhasil membawa partai itu memperoleh dukungan dua kali lipat dari pemilu 2005. Kemenangan partai sayap kanan yang sangat keras terhadap isu imigrasi dan menolak integrasi dengan Uni Eropa ini mengejutkan peta politik Belanda yang selama 4 dekade terakhir dikuasai dan sangat kuat diwarnai politik liberal. PVV bersikeras melanjutkan ekonomi pasar bebas namun dengan proteksi penuh bagi orang-orang ‘Belanda asli’. Mereka menolak pemotongan anggaran pensiun bagi warga negara Belanda, tetapi berusaha untuk mengusir para imigran di 'sektor informal' yang menggerakkan ekonomi selama beberapa dekade terakhir.

Menangnya PVV seakan memutar pendulum sejarah politik Belanda yang dikenal dengan tradisi liberalisme dan keterbukaan. Tradisi liberal yang memuncak pada dekade 1960an hingga 1980an ini dicirkan oleh sikap yang toleran, keterbukaan terhadap seks dan obat-obatan, dan perlindungan terhadap tahanan politik di pengasingan. Politik itu membawa Belanda sebagai negara pertama yang mendukung amnesti internasional, dan hingga sekarang, Den Haag menjadi tempat untuk mengadili penjahat perang dan kemanusiaan. Sebagai tambahan, bersama Jerman dan Prancis, Belanda adalah negara yang membuka pintu masuk aliran imigran dari Maroko, Suriname, Karibia, Turki, hingga Maluku, dan Papua.

Belanda memiliki identitas kultural dan politik istimewa di masa-masa 1970an, hasil dari semangat pemberontakan dan bebas dari aturan dekade sebelumnya. Masa-masa itu menandai era romantis yang diwarnai mekarnya liberalisme yang sangat kuat pasca gejolak anak muda Eropa. Dengan latar identitas tersebut, Belanda dikenal sebagai negara yang simpatik, ramah, dan toleran terhadap masalah negara lain dan warga negara lain—ingat ilustrasi ini, Belanda bahkan membantu rejim Orde Baru lewat IGGI, sementara di waktu yang sama, mereka menampung eksil yang dianiaya oleh rejim yang sama! Dengan skema politik tersebut, Belanda menjadi negara yang cukup makmur dengan pendapat perkapita tertinggi nomer 4 di dunia. Profesor saya di Leiden mengatakan, mereka cukup bangga karena generasi yang tumbuh sejak tahun 1970an hingga 2000an menikmati berkah dan kualitas identitas liberal mereka. ‘Menjadi orang Belanda’ kata teman kuliah saya yang campuran Indonesia-Tionghoa-Belanda, ‘Anda akan dianggap ramah dan toleran’.

Dalam sekejap, tradisi politik Belanda yang liberal tersebut di putar oleh partai Wilders. Kini Belanda bertindak lebih kasar terhadap pengungsi perbatasan, mengancam Yunani dan Spanyol yang terbelit hutang dan bersikap sangat tidak simpatik terhadap imigran non-Eropa Barat—terutama dari Afrika. Di bawah sokongan PVV dan partai Liberal, pemerintah mengeluarkan UU yang akan memenjarakan para perempuan yang mengenakan burqah dan jilbab di ruang publik. Mereka juga memotong anggaran pendidikan dan layanan sosial untuk pekerja yang tidak memiliki paspor Belanda. Lebih dari sekadar politik berwawasan sempitnya, kemenangan PVV mencerminkan sikap politik orang Belanda sesungguhnya—sikap yang selama ini berada di balik permukaan janji-janji manis multikulturalisme Eropa Barat. PVV mewakili apa yang menjadi kekhawatiran sebagian masyarakat ‘asli Belanda’ (dan ‘asli Eropa’) akan dampak multikulturalisme dan liberalisme dimasa krisis ekonomi. Ini sangat jelas terlihat dari fakta bahwa suara PVV terkonsentrasi di kalangan kelas menengah kulit putih yang cemas masa depannya dan keistimewannya terancam tergusur oleh liberalisasi.

*****

Tim Oranje mengejutkan dunia—bahkan juga orang Belanda sendiri—setelah mampu melaju ke final Piala Dunia lagi setelah 32 tahun berselang. Van Marwijk dianggap berhasil membangun sebuah tim kurang berbakat tetapi berhasil menembus babak yang jarang mereka bisa dapatkan. Titik balik perjuangan itu secara simbolik dilakukan ketika mengalahkan Brazil di perempat final meskipun sangat tidak meyakinkan di babak penyisihan. Van Marwijk membawa sebuah nilai dan dimensi baru bagi sepakbola Belanda, dan itu berhasil. Ia membawa kekompakan, kolektivitas, kerja keras, dan keinginan hati kuat dan jiwa besar ke dalam sebuah tim yang secara historis diwarnai oleh percekcokan, masalah bayaran, perdebatan artistik dan taktik, pemain-pemain yang keras kepala, dan masalah soliditas.

Kejutan Belanda di Afrika Selatan seperti memutar sejarah sepakbola Belanda. Belanda dikenal sebagai tim yang berlimpah talenta, dipenuhi ide-ide artistik, dan permutasi yang sangat cair dan liberalisasi posisi antara bek dan penyerang. Juga, negara ini tak pernah kekuarangan talenta, mulai dari Cruijff, Neeskens, Rensenbrink, Basten, Gullit, Koeman, Bergkamp, van der Vart, van Persie yang bisa memainkan segala jenis taktik dan strategi. Cara dan filosofi Belanda memainkan sepakbola membuat Rinus Michels dan Cruijff menemukan Total Football. Bahkan, karena kualitas artistik dan taktik yang mereka banggakan, orang Belanda sepertinya tak terlalu menyesali kekalahan demi kekalahan tragis yang diderita timnya sepanjang pertandingan besar.

Karena kualitas sepakbolanya yang bernilai tinggi itu, Belanda telah mengekspor ribuan pemain terbaiknya ke seluruh liga terbaik Eropa sama seperti halnya mereka mengkspor tulip, susu dan keju dan para etnolognya. Pemain sepakbola adalah duta terbaik dan paling terkenal dari negara kecil yang bermental dagang itu. Misalnya, identitas sepakbola mereka bertransformasi dan tumbuh subur di Catalunia dan mewarnai era emas Arsenal, bahkan sekarang kelihatannya bersemayam dalam tubuh tim lawan tradisionalnya, Jerman. Skema 4-3-3 yang ofensif menjadi panduan bagi tim-tim yang berorientasi menyerang (tetapi sayang sekali, menjadi kerdil dan mati bila ditanam di tanah Yunani dan Indonesia) dan disukai para artis-artis terbaik sepakbola. Tidak mengherankan jika, karena sepakbola, Cruijf, Basten atau van Persie jauh terkenal dari ratu atau perdana menteri....

Namun, suatu Belanda yang lain, Belanda konservatif dan defensif dengan pemain-pemain brutal dan bengis seperti van Bommel telah diciptakan ulang oleh suatu pendekatan pragmatis ala Marwijk. Di Afrika Selatan, tim tersebut bermain tidak bermain dengan cara Belanda. Mereka turun ke lapangan tidak lagi untuk bersenang-senang dengan bola dan mengubah posisi seperti buah catur tetapi berkonsentrasi untuk menggasak Iniesta dan Xavi dan sebisa mungkin melakukan serangan balik melalui Robben sebagai taktik memenangi pertandingan. Para pemuja sepakbola menyerang, akhirnya, menemukan Belanda dipenuhi dengan agresi dan pelanggaran, kartu kuning, serta ‘operasi jantung dengan pul sepatu’ ala de Jong.

Terlepas dari kritik-kritik generasi 70an terhadap pilihan strategi tim ini di Afrika, Belanda versi Marwijk disambut dengan suka cita saat turun dari Bandara dan diarak di kanal-kanal Amsterdam. Koleksi foto dari majalah Voetbal International terhadap sambutan ini sepertinya menggambarkan suasana hati orang Belanda terhadap tim itu. Setiap orang di Amsterdam melongokkan kepala kepala dari jendela ke arah arak-arakan pemain bersama bunga tulip dan krisan berwarna kuning jeruk. Bendera ukuran besar dipasang menutupi tembok batu bata dan kanal-kanal menjadi riuh seperti era keemasan merkantilisme VOC. Sambutan terhadap tim Afrika Selatan ini konon jauh lebih meriah dari kesuksesan piala Eropa 1988 dan runner-up 1974. Gambaran ini menunjukkan betapa terkesimanya orang Belanda sendiri terhadap timnya—meskipun tidak juara.

*****

Sebulan sebelum Belanda mencapai final ketiga piala dunianya di Johanessburg, PVV meraih hasil gemilang pemilu 2010. Dua peristiwa tersebut menggambarkan secara simbolik apa yang terjadi di negeri Belanda waktu itu. PVV memberi panduan baru bagi para pemilih di Belanda bahwa liberalisasi politik akan mengurangi keistimewaan yang telah mereka dapatkan dari status kewarganegaraan atas dasar rasnya karena disaat krisis, mereka harus membaginya dengan imigran. Sementara van Marwijk memberi petunjuk bagaimana menciptakan tim yang lebih dekat dengan trofi dan menjauhi liberalisme, romantisme dan melankoli. Sintetis atmosfer sepakbola dan politik tersebut dengan sangat tepat dijelaskan Auke Kok, salah satu penulis sepakbola Belanda—yang saya kutip dari FourFourTwo edisi Juni (hal. 46). ‘Seolah kami menyesali masa lalu’, kata Kok, ‘bahwa kami terlalu liberal secara politik dan di sepakbola, dan kami tak boleh mengulang kesalahan itu lagi’.

Koinsidensi politik dan sepakbola sepertinya masih akan menjadi drama hari-hari ini Belanda. Ketika Marwijk sangat mengandalkan sayap kanan sebagai senjata mematikan, tim ini seperti kehilangan akal ketika Roben tidak dalam suasana hati terbaiknya. Hal ini diperburuk ketika ketidakseimbangan koalisi antar lini sangat terlihat saat melawan Denmark. Dari barisan gelandang ke depan, tim Oranje memiliki dua atau lebih pemain terbaik dunia di setiap posisinya. Sebuah kemewahan dan juga dilema jika seorang pelatih harus mencadangkan top skorer liga Jerman atau gelandang paling produktif di Liga Inggris. Namun, di barisan belakang, empat bek sejajarnya seperti pensiunan tentara NICA yang harus dipaksa di front belakang untuk menjaga daerah konsesi hasil perundingan ahli-ahli diplomasi berteknik tinggi di front depan. Sementara para barisan depan minum anggur terbaik dan menghasilkan keputusan yang merugikan, barisan pertahanan yang rapuh dipaksa sekokoh dam-dam yang membendung air laut di Zeeland.

Sepertinya, hasil melawan Denmark menggambarkan dilema yang dihadapi Marwijk dalam menciptakan tim Belanda. Setengah hatinya, ia seperti ingin mengembalikan sepakbola Belanda ke dalam bentuk tradisionalnya, dengan mengandalkan fantasi, permutasi, dan imajinasi pemainnya. Ia terlihat memberi kebebasan para pemain bintangnya untuk menembak ke gawang lawan sesuka hati. Ritme permainan juga relatif terbuka dan bola banyak berada di tempurung kaki Robben dan Sneijder dari pada dioper cepat ke arah gelandang bertahannya. Di babak kualifikasi, gaya ini berhasil dan menjadikan mereka tim paling produktif. Dengan cara itu, selama dua tahun, van Marwijk memenangi laga lebih banyak dari pelatih Belanda lainnya. Namun disisi lain ia harus rela kehilangan soliditas permainan dan daya juang untuk menang dari para pemainnya.

Terlihat sekali, meskipun Belanda dihuni pemain berbakat dan berkelas, van Marwijk lebih mengandalkan sayap kanannya. Ketika Affelay di sebelah kiri kebingungan dengan posisinya, ia segera mengirim bola lambung ke arah Robben. Beberapa kali permutasi yang menyegarkan dimulai dari kerjasama satu dua antara Robben dengan van Persie. Namun, bagian selebihnya seperti sedang menjadikan Robben menuju takdir yang telah dipunyai Michael Ballack, bermain bagus dan bisa memenangi pertandingan sendirian, tapi selalu gagal memenangi kejuaraan besar.

Diatas segalanya, Belanda di piala Eropa ini, dibandingkan tim 2010, jauh lebih malas berlari dan bekerja untuk tim. Tidak diragukan lagi, Sneijder dalam kondisi fisik yang buruk walau sentuhannya sesekali masih menghadirkan keajaiban. Sementara de Jong, setelah tersinggung pasca dikambinghitamkan oleh Marwijk akibat permainan kerasnya, terlihat bermain tidak dengan sepenuh hati. Van der Wiel di sayap kanan, jelas lebih menikmati kehidupan malamnya setelah bermain di final dunia pertamanya dari pada naik-turun membantu serangan dan pertahanan. Laporan di media pasca pertandingan melawan Denmark memunculkan kisah lama: perdebatan status antar pemain, pilihan taktik dan egoisme para bintang, serta semangat tim yang hancur lebur. Kedisiplinan, kesatuan, dan kerja sama yang membuat orang Belanda terkesima dua tahun lalu menguap entah ke mana.

Saat bola dari van Bommel dan Sneijder lebih banyak diarahkan ke sayap kanan dimana Robben berada, saya sedang membayangkan bagaimana perundingan antara partai Liberal dan partai Kristen Demokrat menunggu komitmen dari Partai sayap kanan PVV. Saat Robben gagal mengambil keputusan yang tepat—mengumpan atau menembak ke gawang—untuk kemenangan timnya, saya membayangkan kekecewaan Frank Rutte dan Maxime Verhagen setelah gagal membuat kesepakatan dengan partai sayap kanan PVV untuk menyelamatkan kabinetnya. Saya berandai-andai, saat van Marwijk menyusun strategi dan taktik dengan pemainnya untuk mengandalkan sayap kanan, itu sama dengan kecemasan Frank Rutte ketika menyiapkan road map kabinet koalisinya nya yang rapuh, yang mengandalkan partai sayap kanan.

*****

Jadi, seperti yang Anda bisa terka dari kesimpulan tulisan ini, apakah sayap kanan menjadi masalah bagi Belanda? Sangat jelas. Nasib Belanda, sangat tergantung dari cara mereka mengatur taktik dan strategi untuk mengubah sayap kanannya menjadi tidak lagi determinan, baik di dalam lapangan sepakbola dan lapangan politiknya.

Related Posts:

Antara Krisis dan Harapan: Geo-Politik Piala Eropa

Oleh Darmanto Simaepa

Aspek politik piala Eropa kali ini paling baik digambarkan oleh posisi dan kesiapan Jerman dan Yunani. Tentu saja, gambaran itu tidak berhubungan langsung dengan pertandingan di atas lapangan. Kedua negara itu tidak memiliki sejarah rivalitas yang kuat. Pertandingan diantara keduanya nyaris selalu dingin dan sesejuk cuaca kota Wroclaw, kota budaya Polandia yang menjadi pangkalan tim Yunani. Lagi pula, meskipun undian memungkinkan mereka bertemu di perempat final, melihat cara bermain Yunani di babak kualifikasi, keajaiban untuk mereka, meski tetap harus ada, ibarat berharap melihat komet Halley setahun sekali.

Hal yang menghubungkan Jerman dan Yunani adalah bayang-bayang kebangkrutan ekonomi Eropa. Perdebatan panas di gedung parlemen Uni Eropa di Brussel mengenai cara menangani krisis dua bulan terakhir seperti menunjukkan peta kekuatan ekonomi-politik tim peserta turnamen. Jerman, yang kuat dan berpengaruh secara ekonomi, tengah memaksa Yunani yang terancam pailit untuk berhemat. Rapat anggaran di gedung parlemen di Athena dipaksa memangkas anggaran publik, termasuk pendidikan dan layanan kesehatan untuk mencegah krisis lebih dalam. Jika tidak, Jerman mengancam akan menarik investasi, memulangkan imigran dan mencabut bantuan.

Yunani, tanpa bantuan Jerman, diprediksi akan menuju kebangkrutan. Satu dari lima orang Yunani tidak punya pekerjaan dan satu dari dua hidup dibawah garis kemiskinan. Gelombang migrasi ke luar Yunani mencapai rekor terburuk, suatu tanda bagi hilangnya kebanggaan sebagai warga negara. Meskipun pemerintah Yunani marah ketika perdana menteri Jerman Angela Merkel mengatakan orang Yunani malas dan tidak mau mengencangkan ikat pinggang, banyak warganya menyalahkan ekonom dan politisi dalam negeri atas krisis ini.

Secara tepat, gambaran ketimpangan kekuatan geo-politik dan ekonomi Eropa terefleksikan dari daftar unggulan di bandar taruhan piala Eropa dimana Jerman di tempat teratas dan Yunani diurutan paling buncit. Negeri belahan Eropa utara, mulai dari Skandinavia, Jerman, Prancis, Belanda Russia terlihat lebih makmur, sejahtera dan lebih berkuasa. Krisis kapitalisme global jelas mengguncang mereka tetapi tidak sampai melumpuhkan fondasi ekonomi mereka yang lebih kuat. Dengan posisi yang lebih kokoh, mereka memiliki kekuatan ekonomi-politik untuk mendikte negara lain.

Optimisme Jerman akan juara Eropa mencerminkan kekuatan geo-politiknya. Tim Jerman mewakili gambaran belahan Eropa utara yang lebih stabil, tenang dan percaya diri. Nationalmanschaft tidak menemukan masalah cedera, konflik internal, dan pertengkaran dengan asosiasi. Kestabilan tim Jerman adalah hasil dari kekokohan ekonominya.Sepanjang satu dekade, dengan ekonomi cukup, mereka mengucurkan lebih 100 juta dolar untuk merevolusi pembinaan usia dini. Hasilnya, mereka mampu membentuk sebuah tim Jerman yang paling tidak Jerman—setengah pemain terbaiknya adalah anak-anak keturunan non-Jerman.

Kini Jerman bersiap memanen kerja kerasnya. Ketika Jerman klasik identik dengan determinasi, semangat pantang menyerah dan kualitas fisik, Jerman masa kini meleburkan kualitas artistik, kehebatan teknik dan ketepatan taktik. Revolusi yang tersusun rapi itu telah mengubah citra tentang tank dengan mesin disel kaku dan karatan menjadi seniman-seniman multikultur yang melukis di atas lapangan.

Sementara itu, gambaran buruk krisis ekonomi negara-negara Eropa bagian selatan seakan-akan terwakili oleh masalah tim nasionalnya. Gara-gara badai krisis ini, bank-bank ditutup, krisi politik meluas, dan protes-protes warga meletup di negara-negara seperti Italia, Portugal, dan Spanyol. Seakan krisis itu merembes ke lapangan, Spanyol harus kehilangan Puyol dan Villa, dua figur terpenting saat merebut trofi Eropa dan dunia. Del Bosque baru-baru ini mengkhawatirkan ruang ganti yang diisi pemain Madrid dan Barca. Sementara bagi Italia, sekali lagi, mereka dihantui skandal calciopoli dan masalah regenerasi.

Tim Yunani barangkali gambaran sempurna posisi lemahnya geo-politik selatan Eropa. Kali ini mereka tidak datang ke piala Eropa dengan cara elegan dewa Zeus turun ke bumi. Kebangkrutan ekonomi menyebabkan seretnya roda kompetisi sejak 5 tahun terakhir. Tidak seperti pada dekade 90an hingga awal 2000an, ketika mereka menikmati pertumbuhan ekonomi pra dan pasca Olimpiade Athena, para pemain lebih memilih keluar untuk mengais rejeki—meskipun sebagian di liga yang lebih kecil seperti Siprus dan Albania. Investasi pembinaan sangat kecil dan kompetisi profesional tidak berkembang secara mengesankan. Tidak heran jika, pada satu dekade terakhir, mereka kekurangan bakat alami. Ini sangat terlihat ketika para pemain kawakan yang menyongsong senjakala karir seperti Charisteas, Karagounis, dan Theofanis Gekas masih terus dipakai.

Hasilnya, Yunani datang sebagai tim yang mencetak gol paling sedikit dibabak kualifikasi—14 gol dari 10 pertandingan dan delapan diantaranya diperoleh melalui bola mati. Mereka mengandalkan otot alih-alih imajinasi untuk mendobrak pertahanan musuh. Mereka memilih menunggu sebuah tendangan sudut atau tendangan bebas di menit-menit akhir untuk mencuri gol lewat sundulan mematikan. Bisa dikatakan, kualitas permainan Yunani serendah tingkat pendapatan penduduk miskinnya sekarang ini. Cara mereka menghadapi pertandingan dengan bertahan seperti cara politisi mereka menangkis kecaman warganya sendiri.

Namun perlu diingat, diluar paralelitas geo-politik dan pertandingan di lapangan, piala Eropa selalu penuh dengan anomali. Terdapat jarak antara kondisi ekonomi politik dan permainan sepakbola di lapangan—meskipun keduanya bisa saling bertalian erat. Tidak selalu negara yang lebih makmur dan berkuasa secara politik bisa memenangi piala Eropa. Piala Eropa penuh dengan cerita tentang ledakan-ledakan besar dan keajaiban.

Tidak ada orang yang menaruh uangnya di bandar judi sebelum pemain Denmark merebut piala Henry Delaunay tahun 1992. Di edisi 1976, negara komunis Cekoslowakia di pandang sebelah mata sebelum akhirnya menaklukan tim terbaik Jerman yang pernah ada—yang diiringi lahirnya teknik penalti cungkil ala Panenka. Dan jangan lupakan kejutan terbesar Eropa ketika Yunani merengkuh trofi dengan mengandalkan man to man marking yang membosankan dan eksekusi bola-bola mati.

Memanglah, tidak ada penjual mimpi di bawah matahari. Tapi justru karena mimpi seperti udara, maka publik sepakbola boleh mengambilnya secara cuma-cuma. Warga Yunani, yang kini sebagian besar miskin dan papa—setidaknya untuk ukuran Eropa, bisa berharap bahwa satu-satunya yang tersisa dari kebanggaan menjadi bagian dari Eropa adalah Sepakbola.

‘Tim ini,’ ujar seorang reporter majalah SportToday Yunani, ‘adalah salah satu dari sedikit hal yang masih diyakini orang-orang Yunani’. Diantara himpitan ekonomi, sepakbola menjadi tautan mimpi jutaan orang Yunani. Ya, mimpi dan perjuangan bagi Yunani, bukan hanya ada dalam cerita Homeros atau Sophocles dan kisah keajaiban dewa-dewa di bukit Olympus. Di tahun 2004, mereka membuktikan mimpi adalah imajinasi dan kerja keras dengan mata terbuka.

Namun, diluar mimpi Yunani, tim kuat Jerman juga tengah bermimpi membangun sebuah ‘Jerman’ yang lain. Sebuah Jerman yang pemainnya berasal dari Polandia, Turki, Tunisia, Ghana bahkan Brazil. DFB menginginkan Jerman yang lebih segar dan mereka mendapatkan tim yang penuh keragaman, keanggunan dan yang lebih penting, harapan. Menengok sejarah bangsa yang penuh kebencian terhadap ras lain dan sedikit koloni, maka dunia pun terkejut oleh mekarnya talenta anak-anak imigran di sebuah negeri yang pernah memuja ilmu eugenetika.

Namun, tantangan sepakbola Jerman bukan hanya mereka harus memberi piala. Di akhir tahun 2011, Angela Merkel mengatakan bahwa proyek multikultural hampir gagal di Eropa. Kasus penembakan di Norwegia, ribut-ribut jilbab di Swiss, dan kemenangan partai sayap kanan di Eropa daratan membuat masa depan pembauran berada dalam kegentingan. Di dunia olahraga, hal mengejutkan terjadi ketika tersiar berita percekcokan mengenai kuota bagi pemain berkulit hitam di Prancis, negeri yang menjunjung tinggi prinsip egalite. Sepakbola bola Jerman bisa membuktikan Merkel salah dan politisi sayap kanan harusnya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.

Tim nasional Jerman memberi harapan yang lebih panjang tentang hidup bersama ras-ras yang bercampur dalam dunia yang telah melebur. Eropa, memiliki wajah paradoks tentang hubungan antara kebebasan dan antitesisnya. Seperti yang ditulis Jack Goody, antropolog Cambridge dalam bukunya The Stolen History, benua ini sebenernya mencuri, atau dalam pengertian yang lebih sopan meramu ide tentang pencerahan dan kesetaraan manusia dari peradaban sebelumnya, tetapi merekakalah yang menemukan fasisme, nazisme, rasisme dan kolonialisme. Sepakbola yang sepanjang waktu menemukan sisi gelapnya di Eropa, berpotensi untuk menemukan antitesis sisi gelap tersebut. Jika tim multikultural bisa tumbuh subur di tempat yang pernah memiliki Hitler dan Holocaust, saya kira sepakbola tidak bisa meminta lebih dari itu dari tim Jerman.

Diatas segalanya, diantara harapan di kepala penduduk Berlin, Paris, Roma, hingga Stockholm, melintas burung Minerva Hegel dalam sungai waktu Heraklitus. Diantara kaki-kaki pemain yang letih, bunyi peluit wasit, rumput halus Swiss yang bercampur plastik sintetis, dan siaran-siaran berita ke seluruh dunia, terselip kebijakan tua dari filsuf Athena bahwa tidak ada kepastian, selain ketidakpastian itu sendiri dalam (hidup) sepakbola dan juga kerendahhatian pemikir Jerman bahwa semua yang fana akan menguap ke udara.

Related Posts:

Catatan dari Atas Truk: dari Desa Saya Sampai Italia


Oleh Mahfud Ikhwan


Truk dengan Tujuan Masa Lalu

Sejak jauh hari, saya dipesan teman-teman untuk tak cepat-cepat balik ke Jogja. Tahun-tahun belakangan ini, mereka punya kebiasaan baru: nonton pertandingan kandang Persela. Mereka ingin saya ikut serta—sebab mereka tahu, saya belum pernah melihat secara langsung permainan tim kebanggaan mereka itu. Saya menyanggupi—dengan senang hati. Maka, tibalah tanggal 31 Mei. Persela menghadapi Deltras Sidoarjo.

Desa kami mungkin adalah desa di Lamongan yang terjauh jaraknya dari Stadion Surajaya. Karena itu, persiapan keberangkatan itu sudah terlihat bahkan sebelum azan dhuhur mengalun. Beberapa orang dengan atribut Persela sudah tampak bersiap di pertigaan desa saat saya baru beranjak pulang dari warung kopi untuk pulang dan bersiap. Tak punya atribut apapun dengan klub yang pada masa remaja saya sama sekali belum terdengar itu, tak juga memiliki kaos dengan warna abu-abu (warna yang tak pernah saya punyai kecuali di celana SMA), saya menyabet kaos biru yang ada di rumah. Di depan masjid, sebuah truk pasir sudah menunggu; seorang juragan material pencinta Persela menyediakan gratis untuk kami. Benda itulah yang akan mengantar kami menonton salah satu pentandingan di—mengutip presenter ANTV—“liga sepakbola terakbar di Indonesia”.

Menunggu semua penonton yang akan ikut ke Lamongan naik, truk itu tak langsung berangkat. Namun, belum lagi truk itu berangkat, saya merasa telah sampai ke tujuan yang sebelumnya tak saya duga akan sampai ke sana: masa lalu. Ya, naik ke bak truk, menunggu semua yang akan berangkat lengkap, dan seseorang yang jadi ketua rombongan mengutip uang dari setiap penumpang agar nanti lebih mudah dikoordinasi saat sudah sampai di lokasi, benar-benar membawa saya ke masa kecil saya, saat saya akan selalu ikut bapak—dengan antusiasme luar biasa—mengikuti laga-laga tandang tim kesebelasan desa kami ke desa-desa di seputaran Lamongan-Gresik-Tuban.

Saat itu, sepakbola di televisi masih jadi sekadar pesta empat tahunan saja. Galatama masih ada, Perserikatan masih dimainkan, tapi hampir semuanya—kecuali beberapa partai penting—hanya disimak dari radio sebagai siaran pandangan mata. Liga Indonesia edisi pertama bahkan belum terdengar sedang direncanakan. Dengan truk bak terbuka, kami mengantar kesebelasan desa kami, Persatuan Sepakbola Karangtaruna (Perseka) Lembor, ke banyak desa lain. Dengan truk kami menang, kalah, senang, susah. Dengan truk juga, tanpa bermaksud berlebihan, kami bertemu sukacita dan juga bencana. Kami, tim dari sebuah desa tak dikenal, pernah menantang kesebelasan besar dan menang saat tandang. Tapi, kami pernah dipaksa pulang berjalan kaki puluhan kilo meter ketika, tanpa disengaja, truk yang kami tumpangi diamanakan polisi setelah melindas mati seorang pejalan kaki.

Tak diragukan, truk adalah bagian dari sejarah sepakbola di desa kami.



(Liga) Indonesia bagian dari (Sepakbola) Desa Saya 

Tapi, sebenarnya, beberapa hari sebelum keberangkatan ke Lamongan itu, aroma masa lalu itu telah tercium. Dua pekan sebelum pertandingan yang hendak kami tonton itu, tongkrongan dan lingkaran-lingkaran obrolan di bangku-bangku pinggir jalan atau di meja-meja warung kopi, sepakbola Indonesia adalah menu obrolan utama, terutama soal kekalahan yang tragis dan menyesakkan dari PSMS Medan pada 20 Mei 2012. Tentu bukan karena obrolan itu serupa obrolan Abraham Isnan dengan John Halmahera pada ujung siaran pertandingan semifinal Perserikatan antara PSMS Medan vs Perseman Manokwari atau narasi Max Sopacua untuk sebuah review dari partai kompetisi Galatama antara Perkesa Mataram vs BPD Jateng di acara Arena dan Juara. Tapi karena obrolan soal kekalahan Persela itu serupa sekali dengan saat kami dulu mengobrolkan kekalahan kesebelasan desa kami sendiri.

Persela kalah pada sebuah pertandingan yang seru tapi brutal. Sempat dua kali unggul dengan selisih dua gol, Persela akhirnya kalah dari PSMS dengan angka 4-3. Merasa diperlakukan tidak adil oleh wasit Suharto dan terintimidasi oleh penonton di Stadion Teladan, juga pasti karena kecewa terhadap diri sendiri sebab tak sanggup mempertahankan keunggulan, para pemain Persela mengamuk dengan menyerang wasit Suharto.

Teman-teman di warung kopi tak bisa menyembunyikan kegusarannya. Uniknya, cara kegusaran soal kekalahan Persela itulah yang mengingatkan saya pada cara kami merutuki kekalahan kesebelasan desa kami sendiri. Ketika mereka bicara soal Dedi Indra yang diseret keluar oleh Osas Marvelous saat cedera (atau mungkin pura-pura cedera), terasa seakan-akan Dedi Indra adalah teman atau tetangga kami. Cara mereka memaki pemain-pemain PSMS, mencela kepemimpinan wasit, dan mengutuk perlakuan buruk suporter Ayam Kinantan, seakan tim, wasit, dan para suporter ini secara geografis terjangkau oleh kami dan sewaktu-waktu kami bisa menggruduk mereka jika berpapasan di jalanan—seperti yang banyak terjadi di desa-desa di kawasan Pantura Lamongan.

Meski tak memiliki reputasi sebagai biang onar, kami biasa menyebut pertandingan sepakbola sebagai musuhan. Jadi, kami terbiasa menyikapi sebuah pertandingan sepakbola sebagai ajang pertempuran dan sering kali pembalasan dendam. Nada-nada serupa itulah yang mewarnai pembicaraan tentang kekalahan itu. Mereka mengutuk cara pemain Persela diperlakukan oleh suporter PSMS. Tapi, mereka mengutuk diri sendiri karena tak akan bisa melampiaskan dendam pada PSMS dan suporternya secepatnya, karena PSMS sudah lebih dulu tandang ke Persela pada putaran pertama. Oleh sebab itu, mereka tak sabar menunggu musim berikutnya. Tapi, di samping itu, mereka telah mengancam akan diam-diam membawa panah ke stadion jika sewaktu-waktu wasit Suharto bertugas di Stadion Surajaya. (Tentu saja, ucapan itu agak sulit dipercaya kesungguhannya. Kami bukan warga desa yang punya catatan sebagai biang rusuh; beberapa desa tetangga malah mengcap warga desa kami sebagai penonton yang terlalu kalem, meski memiliki kesebelasan yang cukup disegani di kawasan sekitar. Lagi pula, saya tak tahu, bagaimana cara mereka menyembunyikan panah itu dari pihak keamanan. Saya juga tak tahu, siapa di antara mereka yang masih memiliki kepandaian memanah. Apalagi, setelah tahu, kalau jarak antara tribun dan lapangan di Surajaya sangatlah jauh.)

Cara dan ekspresi itu tidak mengejutkan di satu sisi, tapi mengejutkan di sisi lain. Tidak mengejutkan, sebab saya sangat mengenal ekspresi semacam itu; itulah cara purba kami menyikapi sebuah pertandingan sepakbola. Tapi, sekaligus mengejutkan, karena pada dasarnya saya menduga telah banyak hal berubah berkait dengan persepsi kami terhadap sepakbola. Dan, saya ternyata salah.

Desa saya selalu tergila-gila dengan sepakbola, itu tak diragukan. Namun, sepanjang yang bisa saya ingat, dulu, kegilaan itu tak banyak beranjak dari batas-batas desa. Jadi, satu-satunya sepakbola yang benar-benar mampu menyita perhatian mereka adalah kesebelasan desa kami sendiri. Kebanyakan orang tentu menonton pertandingan-pertandingan tim nasional Indonesia yang disiarkan TVRI. Juga siaran Piala Dunia empat tahunan di saluran yang sama. Tapi, hanya di situ saja. Sepakbola level klub, entah itu di liga-liga Eropa yang apalagi klub di Indonesia, tak pernah menjadi perhatian mereka—seperti yang belakangan ini terjadi.

Saya masih ingat dengan jelas, pada akhir ’80-an, orang-orang mengutip kalimat bapak saya, “Hancur Kramayuda!”, dengan nada mengejek. Itu terjadi karena bapak saya, mungkin dengan sedikit naif, bercerita kepada banyak orang tentang kekalahan telak Kramayudha atas Niac Mitra pada sebuah pertandingan Galatama yang biasa disimaknya lewat siaran RRI Surabaya, sementara hampir tak ada orang selain dirinya di seantero desa yang mengenal apa itu Kramayudha dan tak cukup peduli apakah klub itu hancur atau berjaya. Siaran laga-laga Liga Indonesia musim-musim awal biasanya saya tonton sendirian, karena teman-teman seumuran biasanya lebih memilih berangkat ke lapangan untuk main bola. Bahkan, pada 1995, bersama seorang teman, saya musti berjalan malam-malam sejarak sepenanakan nasi melewati batas desa dan hutan bambu agar bisa menonton final Liga Champions antara AC Milan vs Ajax di sebuah pesawat tv hitam-putih di desa sebelah, karena saat itu tak satu pun pemilik pesawat tv di desa saya tertarik menyalakan tv untuk final Liga Champions.

Listrik yang masuk belakangan, dan teknologi elektronik yang semakin terjangkau harganya, juga banjir siaran sepakbola di media siar kita, jelas mempengaruhi cara mereka mencerna dan menikmati sepakbola. Misalnya, final Liga Champions, sekarang selalu ditonton dengan pakai layar besar, bahkan dengan acara-acara setengah pesta—paling tidak, sudah dua tahun berturut-turut ini saya mengalaminya.
Tapi, kemunculan Persela ke pentas sepakbola nasional 10 tahun terakhir, tampaknya membawa dampak sangat besar—terutama pada cara cerna mereka terhadap sepakbola Indonesia. Jika 15 tahun lalu, orang-orang tak memedulikan klub besar macam Kramayudha, kini mereka membicarakan perpindahan seorang striker tak dikenal dari PSAP Sigli ke Persiram Raja Ampat seakan dia adalah Eden Hazard. Di sebuah dinding warung kopi, jadwal laga Persela yang disiarkan ANTV ditempel rapi dan hati-hati seakan itu adalah jadwal imsakiyah bulan Ramadan.

Tapi, untuk banyak hal—seperti yang sebagian telah saya ceritakan—tak banyak yang berubah. Kecuali scraft ala Inggris Raya yang melilit di leher dan topi bertanduk ala penonton Skandinavia, tak cukup terlihat ada gejala “kebarat-baratan” pada para penonton generasi baru. Tubuh dan kepala mereka, gerak-gerik dan pola perilaku menonton sepakbola, tak terlalu berbeda dengan bapak-bapak kami dulu. (Mulut-mulut kotor yang celometan mulai dari atas truk dan kemudian berlanjut di pinggir lapangan tak pernah berubah dari dekade ke dekade, demikian juga perasaan puas saat melihat pemain tim yang didukungnya menggasak pemain tim lawan hingga terkapar, masih seperti yang dulu-dulu.) Mungkin ada tanda-tanda pengglobalan sepakbola tengah terjadi di desa kami, tapi yang jauh lebih kentara adalah pelokalan yang nasional maupun yang global.



Dalam kasus Persela, tampak jelas bahwa sesuatu yang nasional (Liga Indonesia) diringkus dalam cara pandang yang tetap lokal (ala tarkam dan galadesa). Artinya, seiring dengan semakin semaraknya persepakbolaan Indonesia pada level klub, bukan desa kami yang mulai masuk jadi bagian dari sepakbola Indonesia, tapi sepakbola Indonesialah yang justru jadi bagian dari cara pandang sepakbola di desa kami.     


Surajaya: yang Desa, yang Indonesia, yang Italia

Memasuki kawasan Surajaya menjelang pertandingan, memberi kita pemandangan yang umum ditemukan pada stadion-stadion di Indonesia: pasar kaget bertebaran, calo tiket berkeliaran, berkompi-kompi petugas keamanan, dan suporter-suporter berusia tanggung yang berjubelan. Tapi, begitu masuk, saya menemukan hal yang relatif sama dengan apa yang saya temukan terjadi di desa saya: sepakbola Indonesia dan segala anomalinya.

Secara fisik, Surajaya menjelaskan secara hampir sempurna apa yang terjadi dengan sepakbola Indonesia. Lapangan pertandingan, ke arah mana kamera televisi ANTV hari itu akan menyorotkan moncong lensanya, tampak dengan sekuat tenaga dibuat untuk terlihat bagus di layar kaca. Dibanding yang kita lihat di televisi pada awal musim kompetisi, permukaan lapangan jelas tampak jauh lebih baik, meski beberapa cekungan masih bisa dilihat dari kejauhan, sementara garis lapangan, sebaliknya, terlihat agak samar. Kita tahu, semakin dekat ke 2014, lapangan-lapangan yang muncul di layar kaca, tak boleh kalah rapi dengan wajah para calon presiden.

Tribun juga menunjukkan wajah sesuangguhnya sepakbola kita. Jarak yang jauh dari lapangan (mungkin mencapai 10 meter), dengan parit yang lebar dan pagar yang tinggi, menjelaskan bagaimana suporter sepakbola kita dipersepsi—bahkan oleh para stakeholder sepakbolanya sendiri. Jarak lapangan dan tribun yang begitu jauh, juga parit dan pagar, sangat bisa diartikan bahwa dalam sepakbola kita, suporter masih ada dalam posisi dipinggirkan sekaligus juga ditakuti. Kebersihan tribun, yang kontras dengan terawatnya lapangan, juga menegaskan bagaimana suporter diposisikan. Teras terlebar sekaligus terbawah dan terdekat dengan parit di tribun timur, misal, yang tak akan mungkin kita temukan terpampang di layar kaca, seperti jalan setapak kotor tempat comberan yang mulai kering menyatu dengan sampah sobekan karcis yang dipindahkan oleh angin dari pintu masuk, tampaknya tak dibersihkan selama semusim terakhir. Dan, penonton musti membayar 20 ribu untuk tribun semacam itu.

Dalam tribun yang semacam itu, tentu sedikit berlebihan jika diharapkan menjadi tempat yang nyaman bagi keluarga, tempat para ibu muda dan anak-anak manis menikmati manisnya hiburan yang disediakan suami dan ayah budiman mereka. Mungkin akan muncul satu-dua gadis manis di layar kaca dari tempat itu (karena para juru kamera ANTV memang sebisa mungkin mencarinya). Tapi, selebihnya adalah bocah-bocah tanggung dan para lelaki dewasa—sebagaimana yang bisa kita temukan di pinggir-pinggir lapangan desa saat sepakbola sekaligus adu kejantanan dipertontonkan. Maka, adegan yang biasa dijumpai di pinggir lapangan atau jalan desa juga masih bisa ditemukan di sebagian besar sektor di Surajaya. Setiap perempuan yang lewat, apalagi wandu (transgender), akan langsung disambut dengan sorakan dan siulan penuh gairah seakan Gustavo Lopez baru saja mengirim umpan indah.



Mencoba mencari suasana yang berbeda, saya dan beberapa teman memutuskan untuk mencari tempat lain. Saya menuju tribun belakang gawang di sektor utara. Pertama, karena alasan praktis bahwa tribun itu masih kosong-melompong saat kami datang. Kedua, tahu sendirilah... Masih tetap kosong hingga mendekati waktu pertandingan, suasana berbeda itu kemudian muncul. Secara bersamaan, datang ratusan orang dengan kaos hitam—yang jelas tampak berbeda dengan lautan warna abu-abu di sore itu. Terdiri atas lelaki dan perempuan, hampir keseluruhan dari mereka adalah bocah-bocah tanggung—beberapa bahkan mungkin saja masih di tahun awal sekolah menengah pertamanya. Tulisan di kaos yang mereka pakai dan bendera-bendera raksasa yang mereka bawa memberi tahu siapa mereka. Paling tidak, dalam rombongan itu, saya mencatat dua identitas: pertama, Ultras Persela; kedua, Curva Boys. Semboyan-semboyan disablonkan di punggung, dan yel-yel yang mulai mereka teriakkan begitu seluruh anggota rombongan itu telah lengkap menjelaskan dari mana mereka meniru. “Forza Persela Vinci Per Noi” tertulis di punggung kaos hitam dengan sablon warna abu-abu. “Forza Persela! Persela Campeone!” diteriakkan oleh pemandu yang kemudian diikuti oleh semua anggota.

Suasana berbeda itu jelas melebihi ekspektasi. Untuk beberapa saat, saya seperti tidak berada di sektor utara Stadion Surajaya, tapi di curva sud stadion-stadion kecil namun riuh di Italia; mungkin di Via del Mare milik Lecce atau di Armando Picchi-nya Livorno. Atraktif bahkan sejak pertandingan belum dimulai, mereka pastilah idaman produser acara olahraga tv mana pun juga. Membuat lagu-lagu sendiri yang hampir semuanya baru, tak ikut-ikutan menyanyikan “Iwak Peyek” atau lagu-lagu umpatan untuk Bonek, mereka juga akan mudah disukai oleh para penyuka sepakbola terdidik yang ingin melihat sepakbola kita tampak lebih “beradab”. Bahkan, seorang teman yang menonton di tribun lain mengagumi kekompakan mereka ketika serempak mencopot kaos saat hujan menderas. “Seperti semangkuk coklat,” begitu kira-kira komentar teman itu seusai pertandingan. Dan, jika saya menonton di rumah, saya pasti akan menyukai mereka.



Tapi, terus terang, mereka bukan teman menonton di stadion yang menyenangkan—paling tidak untuk saya pribadi. Mereka terus bernyanyi, menari, bertepuk tangan, menabuh drum, berloncatan, meneriakkan yel-yel, membuat gerakan pozhnan ala suporter Man City secara berulang-ulang, tapi saya hampir-hampir tak menemukan mereka menonton sepakbola. Saya bahkan tak melihat ekpresi mereka berubah (apakah menjadi kendor atau malah menggila) saat gol Qischil pada menit ke-40-an (saya tak tahu persisnya) membuat Persela tertinggal dari Deltras. Itu jelas membingungkan.

Karena saya dan beberapa teman berada di tengah-tengah mereka, dan karena itu dengan terpaksa maupun sukarela musti ikut nyanyian, gerakan, dan yel-yel mereka, sepanjang pertandingan babak pertama, saya sangat sulit memfokuskan pandang ke pertandingan yang berlangsung di lapangan. (Jarak tribun yang jauh dan hujan sangat deras menjadi masalah lain juga.) Mungkin ini prasangka, tapi, rasa-rasanya, saya menduga mereka datang ke stadion bukannya untuk melihat suguhan umpan-umpan Gustavo Lopez dan gol-gol Mario Costas (sebagaimana yang mereka nyanyikan), tapi ingin menyuguhkan “permainan” mereka sendiri. Karena itulah, begitu pergantian babak, kami memutuskan untuk menyingkir ke tribun lain.

Masih di lokasi yang sama, namun berbatas sekat, saya akhirnya menemukan tribun yang membuat saya at home (proposisi yang aneh, ‘kan?). Sektor itu didominasi anak-anak dan perempuan. Tapi, justru, tepat di sinilah atmosfir pertandingan paling bagus bisa ditemukan. Setiap kejadian kecil di lapangan memperoleh reaksi yang sesuai. Peluang yang gagal mendapatkan pujian sekaligus umpatan, serangan yang berbahaya mendapatkan sorakan dan tepuk tangan, dan sebuah gol penyama membuat kami semua keranjingan. Seorang perempuan berkerudung yang duduk di teras di belakang saya menegur saya yang berdiri karena merasa terhalang. Sebentar kemudian ia terdengar memaki Rudi Widodo yang salah umpan. Dan lain kali, bersama anaknya yang kira-kira 10 tahunan, juga bersama sebagian besar seluruh  keduanya serempak memaki wasit Thoriq Alkatiri yang tak mengesahkan gol Jimmy Suparno.

Menjelang pertandingan berakhir, terjadi keributan di sektor di samping kami; sektor yang kami tempati pada babak pertama, tempat para Ultras dan Curva Boys berada. Polisi merangsek ke arah mereka setelah mereka menggangu pertandingan dengan bom asap yang kelewat tebal. Beberapa orang jelas terluka.


Dari Truk Kembali ke Truk

Sepanjang pertandingan, cuacanya buruk. Persela juga bermain buruk. Hasil pertandingan mengecewakan. Saya kedinginan karena basah kuyup, sementara pakaian ganti di dalam tas juga ikut basah akibat derasnya hujan. Kami kembali ke truk dan mulai membuat catatan, dalam pikiran.


Lamongan, 1-3 Juni 2012

Related Posts:

PIALA

Oleh Darmanto Simaepa

Sepuluh tahun adalah waktu yang dibutuhkan Roman Abramovic untuk bisa mengangkat piala Champion. Itu adalah waktu yang sangat lama bagi seseorang yang bisa membeli apa saja di dunia semudah memilih buah mangga. Ia telah melakukan segala yang bisa dilakukan oleh seseorang dengan obsesinya: menggelontorkan uang, memberhentikan para direktur, membajak pemain, atau mempekerjakan pelatih terbaik. Selama satu dekade, uang yang dihabiskan Abramovic untuk mewujudkan ambisinya cukup memberi makan seperempat penduduk miskin Afrika. Ketaksabarannya meminta korban delapan pelatih hebat yang telah memberinya gelar ganda. Sementara, satu pemegang piala dunia dan lima lainnya yang menjadi pemenang di klub asalnya, yang tak sempat memberi trofi, dipecat dengan cara yang brutal. Dengan segala apa yang telah dilakukannya, kita bisa menaksir berapa harga senyum malu-malunya saat menerima si kuping lebar itu dari Drogba.

Abramovic bukanlah taipan besar modern pertama yang terobsesi dengan piala itu. Dua puluh lima tahun lalu, Berlusconi mendatangkan trio Belanda, memberi wasit banyak hadiah mewah, dan merekayasa acara televisi hingga konstitusi Italia agar bisa menciuminya. Era sebelumnya, Keluarga Agnelli di Italia ‘menciptakan’ Juve modern, membeli Platini dan menyogok pejabat asosiasi agar bisa menaruh piala itu sebagai benda keramat di museum keluarga. Di Marseille, Bernard Tapie membayari pemain lawan agar pura-pura bermain, mengemplang pajak, memberi Beckenbauer cek kosong dan mengumpulkan seluruh bintang Ligue agar Marseille memberinya koleksi piala Champion.

Obsesi orang-orang kaya terhadap piala ini bukanlah fenomena kemarin pagi. Sepakbola, terutama seusai perang dunia kedua, telah menjadi institusi modern yang peranannya kurang lebih menyerupai agama dan negara di suatu masa. Lapangan sepakbola adalah katedral modern yang sama pentingnya dengan piramida, candi, masjid, kuil atau gereja. Dengan kemampuan mentransformasikan kehidupan global dan menjangkau geografi dari Afrika hingga Antartika, jelaslah, sepakbola memiliki daya undang bagi orang yang punya kekayaan dan kekuasaan besar untuk menunjukkan gairah bersaingnya. Dan ya, tidak perlu jauh-jauh ke Eropa, Indonesia punya dualisme liga dengan dua kelompok kuat yang saling berebut pengaruh sepakbola.

Kompetisi dan piala adalah simbol dari persaingan meraih kejayaan dan keunggulan—yang dulunya disediakan oleh agama, politik atau peperangan. Sepakbola, secara unik menempati ceruk sosial tersendiri dalam kehidupan kontemporer kita. Daya tarik terbesarnya adalah, ketika di zaman modern ini, ilmu pengetahuan telah menghancurkan misteri dan dengan uang semua hampir semua hal bisa terbeli, sepakbola menyediakan suatu ruang dimana rasionalitas bisa kalah dan kekayaan tidak bisa menjamin trofi.

Konon para pemujanya berpendapat, sepakbola memiliki pesona yang jarang dimiliki olahraga modern lain. Ini adalah olahraga yang paling sukar diprediksi, penuh dengan drama, dan keajaiban. Mereka tidak salah kalau kita menengok final Champion di Athena, Istanbul atau Allianz Arena. Pertandingan-pertandingan itu menunjukkan, setiap momen dalam sepakbola modern seolah-olah menciptakan dan diciptakan oleh misteri dan ketakterdugaan. Sepakbola mentransformasikan ketidakmungkinan menjadi kenyataan.

Sepakbola—beserta segenap misterinya—seperti halnya keris, kuda, dan kursi emas raja bagi orang Jawa lama, adalah sebuah kombinasi antara kekuasaan, kekayaan serta intervensi takdir, dan yang sering dilupakan, nasib baik. Piala menggambarkan antara misteri, obsesi dan sekaligus relativitas sebuah usaha dan rencana. Semakin sukar ia diraih, ia semakin menjadi obsesi. Semakin menjadi obsesi, semakin sulit dicapai.

Bagi orang kaya yang telah memiliki segalanya, trofi adalah tantangan menggerakkan nyali. ‘Menyentuhnya,’ ujar Berlusconi ketika Milan mendapat piala Champion pertama kali, ‘memberi perasaan lebih hebat dari upacara pelantikan Perdana Menteri’. Jika mobil mewah, jet dan kursi kekuasaan tidak memberi kepuasan, sepakbola dan piala bisa memberi nilai tambah.

Namun, perlu diingat, sepakbola adalah wakil dari zaman tertentu saja. Ia memang istimewa hari ini, tetapi juga tidak terlalu istimewa bila dibandingkan dengan peristiwa yang dilalui oleh sejarah manusia. Obsesi terhadap ‘piala’ adalah tema yang hampir kita temukan dalam sejarah peradaban. Jika orang kaya jaman Roma terobsesi dengan pedang para Gladiator, bankir abad pertengahan dengan lukisan da Vinci, bangsawan Inggris dengan pacuan kuda, pengusaha Jawa masa akhir kolonial—yang seperti di tulis oleh Mrazek—dengan mobil dan kereta kencana. Sementara jaman sekarang, para miliarder terobsesi dengan klub dan piala sepakbola.

Biasanya, sebuah obsesi bisa menciptakan tragedi. Ia bisa menyebabkan akal sehat lenyap dan naluri pegang kendali. Tuan-tuan tanah Jawa rela membunuh tetangganya sendiri agar mendapat baju dan peci kompeni, Kaisar Maya dan Inca mengubur ribuan jantung manusia yang masih berdetak di Piramidanya, doktor Faust rela menukar jiwanya dengan iblis untuk kehidupan abadi.

*****

Para penganjur demokratisasi dan pejuang sayap kiri akan mengatakan bahwa klub-klub sepakbola harus berada ditangan societe—seperti di Spanyol. Atau paling tidak, seperti aturan di liga Jerman, anggota klub harus menguasai 51% saham. Dengan cara itu, para societe yang sebagian besar adalah buruh-buruh pabrik dan kelas pekerja masih bisa mempengaruhi pemilihan presiden, transfer pemain, harga tiket, dan neraca keuangan klub. Namun, seringkali, gambaran diatas kertas tidak sesuai dalam praktiknya. Seperti yang dibilang FourFourTwo edisi Juli tahun lalu, meskipun kisah Spanyol dan Jerman menggambarkan kemenangan ‘sosialisme demokrat’ sepakbola, pada faktanya tetap saja Perez atau del Nido yang paling berkuasa di bandingkan societe.

Kekhawatiran hilangnya kekuasaan anggota klub dan merajalela para taipan telah lama timbul tenggelam—namun pada akhirnya banyak diabaikan. Saat Berlusconi membeli Milan tahun 1980an banyak orang menuding sepakbola akan menjadi alat investasi belaka. Tentu saja, para penuduh mudah membeberkan buktinya. Berlusconi merebut kursi perdana menteri, meluaskan jaringan televisi dan menggembungkan mesin keuanganya. Saat Glazer membeli MU dengan utang bank dan menghisap penghasilan klub untuk kerajaan asuransinya, kekhawatiran suporter menemukan kenyataan. Klub ini menumpuk hutang dan semakin irit belanja pemain, semetara para fans setia harus menerima kenyataan tiket terusan dinaikkan.

Terkadang, sesekali saya mengimajinasikan bahwa orang-orang kaya menjadikan sepakbola hanya sebagai barang mainan. Seperti anak kecil yang terobsesi dengan kereta api mainan hadiah ulang tahunnya yang ketiga. Terkadang, saya membayangkan mereka adalah orang yang hanya butuh pelarian karena tidak ada cara lain untuk memuaskan nalurinya. Sesekali saya berfantasi syekh Mansur yang bertepuk-tepuk tangan kecil ketika City dekat menuju gelar juara seperti kaisar-kaisar Roma di tempat terbaik di Colloseum yang senang hatinya melihat para gladiatornya mengalahkan singa atau lawan-lawannya. Atau terkadang, saya memikirkan bahwa Torres, Ronaldo dan Messi adalah kuda-kuda pacuan yang mahal harganya, yang dibeli tuan-tuan tanah dan Baron Eropa agar bisa menaikkan dasinya.

Tetapi, sudahlah, tidak ada sejarah sepakbola yang tidak sarat kepentingan ekonomi-politik. Mimpi sepakbola jauh dari politik dan bersih dari bisnis, sepertinya, hanya ada di surga. Orang yang hanya melihat munculnya keserakahan dan akumulasi keuntungan dari keterlibatan para konglomerat ini seperti melihat uang logam hanya dari satu sisi. Dunia sudah berlari begitu jauh, idealisme dan utopianisme hampir ketinggalan jauh di belakang. Sepakbola bukan permainan hiburan warga Cina jelata sebelum masehi. Kompetisi sepakbola tidak lagi sebatas pelarian buruh pabrik setelah sepekan hidup ditengah cerobong asap dan mesin uap. Jaman ini, sepakbola terbaik tidak dimainkan secara paruh waktu di lapangan becek dekat pemintalan kapas.

Realitasnya hari ini, hampir semua klub top dimiliki oligarki dan para tuan kerajaan bisnis. Cepat atau lambat, orang-orang kaya baru akan segera mengikutinya. Seperti halnya tanah, kopi, kelapa sawit atau komputer, sepakbola adalah komoditi yang memberi peluang sistem akumulasi. Jadi, tidak heran jika para oligarki media, pedagang minyak bumi, pengembang perumahan, pemilik pabrik mobil hingga peternak sapi berlomba-lomba untuk meraihnya. Motif ekonomi dan keuntungan simbolik para pemilik jelas menjadi bagian dari aspek pembelian sepakbola.

Inilah paradoks sepakbola yang kita cintai. Ia merupakan cermin paradoks kehidupan ‘modern’ itu sendiri. Sepakbola terus hidup, semakin menarik dan menjadi obsesi milyaran penduduk dunia karena ia menjadi bagian dari siklus produksi dan akumulasi. Ia luas tersebar, dan seperti udara segar, membuat banyak orang tidak bisa hidup tanpanya.

Jadi apakah dengan fakta dan realitas macam ini, semua orang lari dari sepakbola? Rasa-rasanya tidak.

*****

Lantas, apa yang kita dapat dari obsesi para miliarder ini dalam sepakbola? Diluar bahwa kita terseret ke dalam pusaran arus konsumsi barang dan jasa, tenang, kita punya banyak berkah darinya. Abramovic jelas tidak mengharap semua investasinya balik. Para Syekh Qatar di Manchester, Malaga dan Paris sepertinya tidak peduli dengan ketidakseimbangan neraca keuangan. Dari Berlusconi, sepakbola mendapat Corto Stretto. De Laurentis memberi warga Napoli perasaan bahagia yang hilang sejak berakhirnya era Maradona, Syekh Khalefa memberi sedikit harapan bagi pembenci Ferguson dan kegairahan kompetisi. Dari Perez, orang mengenal Galacticos dan sebuah tendangan brilian dari Zidane, yang kalau dilihat dalam tayangan lambat, merupakan sebuah mahakarya.

Saya tidak bisa membayangkan betapa merananya kehidupan jutaan penduduk Indonesia jika orang kaya seperti pemilik Djarum dan konglomerat televisi tidak membeli siaran liga Eropa atau liga Indonesia. Seperti jutaan orang yang tiap akhir pekan kehilangan hiburan, mungkin seseorang akan lebih memukul anak-anak atau membentak istri setiap hari. Juga, tanpa sebuah liga yang berangkat dari patronase orang kaya dari Jakarta, orang-orang Papua dan penduduk kabupaten kecil di luar Jawa yang mengalami banyak marjinalisasi dan eksklusi, akan kehilangan kebanggaan atas identitas dirinya melalui sepakbola. Tanpa sebuah liga yang bersumber dari ‘duit konglomerat’, jelas kita tidak mengenal permainan menggairahkan ala Boaz Solossa dan tim brilian macam Persipura. Dan tanpa mengenal mereka, kepicikan pandangan terhadap orang Papua akan bertahan lama sangat lama.

Memanglah orang-orang kaya dibalik sepakbola jelas serakah, maunya tetap mengakumulasi, atau menghisap kekayaan dari sepakbola. Namun, inilah paradoks sepakbola modern: tanpa obsesi orang-orang kaya seperti Abramovic yang gila akan piala, dunia barangkali hanya punya sepakbola menjemukan ala LPI...

Related Posts: