Cesc Fabregas II: Ketika aku pulang dari rantau, aku baru menyadari identitas Barca. Barca adalah sebuah model.

Oleh Sid Lowe

Kamu bicara dengan antusias tentang masa-masa di Inggris dan di musim panas ini, ada kesempatan untuk kembali ke sana. Apakah kamu tergoda untuk pergi ke Manchester United atau balik ke Arsenal?

Aku tidak tahu. Yang pasti, aku tidak pernah berencana kembali ke Inggris musim panas kemarin. Itu tidak pernah terlitas di kepalaku. Sangat jelas di pikiranku bahwa aku ingin sukses di Barcelona dan aku telah memberikan segalanya agar dapat juara bersama mereka. Secara terbuka aku katakan: Aku tidak pernah berpikir untuk pergi, Aku tidak akan ke mana-mana. Aku mendengar rumor itu ketika di Ibiza bersama teman-temanku. Seorang di antara mereka membeli surat kabar dan memberitahuku, lalu aku membaca berita itu.


Apakah kamu menghubungi klub dan mengatakan: ‘Hey, apa yang terjadi?”

Tidak. Tidak. Tidak. Ketika mendengar berita itu, Aku langsung menghubungi Darren (agenku) dan dia mengatakan kabar itu keluar secara resmi. Dia mengatakan, ‘Ya, itu benar. Lalu bagamana menurutmu?’ Aku tidak tahu-menahu mengenai hal berita kepindahan itu—hingga saat itu. Jika sebuah klub meminatimu dan kamu mengatakan kepada klub bahwa kamu ingin pergi, kamu bisa pergi. Aku sudah bicara dengan Josep Mari Bartomeu, wakil presiden Barca, dan dia mengatakan: “Kamu tidak akan pergi ke mana-mana; kami sangat percaya kamu”. Kemudian aku bicara dengan Presiden. Aku sangat lega dengan pesan yang mereka berikan. Benar bahwa mereka menerima tawaran dan mereka jujur mengatakannya padaku, namun satu-satunya yang ada di kepalaku adalah bertahan.

Bagaimana penjelasan kenapa Manchester United terkesan sangat menginginkanmu. Hasrat itu pasti ada alasannya.

Aku tidak pernah membuat pernyataan ingin pergi dan aku tidak berniat mengubah niat itu. Aku sangat terkejut. Aku tidak pernah memberi lampu hijau.

Apakah keputusan untuk bertahan ini benar-benar telah kamu pikirkan? Hanya Gerard Piqué yang bermain lebih banyak di La Liga darimu dan kamu punya sebuah awal musim yang impresif, yang barangkali permainan terbaikmu sejak kembali di tahun 2011...

Aku memulai musim ini dengan bagus. Pelatih [Tata Martino] memainkanku dengan cara yang sesuai dengan kualitasku dan aku sangat menikmatinya. Aku sangat bahagia. Aku merasa lebih baik sepanjang waktu, merasa semakin penting. Pelatih memberiku kesempatan, peran lebih banyak, dan tanggung jawab kepemimpinan. Di hari pertama—mmmh, bukan hari pertama, tapi mungkin tiga empat hari kemudian, dia memanggilku dan mengatakan: ‘Aku ingin kamu menjadi pemain seperti saat kamu di Arsenal. Dan Aku berpikir ‘Wow!”, karena aku merasa sangat hebat di Arsenal, jadi hal ini sangat penting. Aku bukan pemain nomor10 sejati karena di Barca posisi tidak definisikan secara jelas karena Pep dan Tito sangat fokus dan terobsesi pada penentuan posisi. Ketika kami menyerang, Tata menyukai sesuatu yang sedikit lebih anarkis—hanya sedikit—yang berarti saat membawa bola, kamu dapat bergerak lebih bebas dari posisi yang telah ditentukan tanpa masalah.

Apakah kamu merasa lebih bebas?

Karena aku tidak ingin mengganggu sistem di musim sebelumnya, Aku kadang-kadang berpikir: "Hostia [gilaaaa], Jika aku bergerak dari sini, lalu kami kehilangan bola dan aku akan membuat lawan bebas. Aku akan mendapat masalah. Sekarang aku mendapat jaminan bahwa pelatih mengingikan aku bisa membuat teman-temanku berlari. Ini juga akan menjadi masalah, namun ini juga akan terus berlanjut.

Orang Inggris berpikir kamu pasti akan kembali karena tidak bermain secara rutin, meskipun kamu memainkan lebih banyak pertandingan liga dari siapapun musim terakhir. Kamu berganti posisi terlalu banyak dan ketika pertandingan besar datang, kamu tidak dimainkan...

Kamu akan senang bermain di satu pertandingan dan bermain terus-menerus dalam pertandingan berikut. Tapi ketika datang pertandingan di kandang Bayern Munich dan timmu kalah 4-0 sementara kamu hanya duduk di bangku cadangan dan tidak berdaya, hal itu mempengaruhimu. Kamu akan berpikir: Sialan, Aku bahkan tidak melakukan pemanasan dan mereka menghantam kami. Itu berdampak besar. Itu mengejutkanmu. Itu menghantuimu secara mental karena kamu merasa sangat bagus dan tiba-tiba: banggg! Jika kamu menang, memberi umpan, bermain bagus, dan mencetak gol, segala berjalan normal. Jika kamu merasa sangat penting dan kamu melewatkan pertandingan biasa dan kamu dirotasi, kamu dapat menerimanya. Namun untuk pertandingan besar, jauh lebih sulit. Ini adalah masalah mental. Sebuah pertandingan penting adalah hal besar bagi pemain.

Apakah kamu merasa membutuhkan dukungan, lebih banyak kepercayaan?

Aku tahu apa yang bisa aku lakukan, namun ini membutuhkan orang lain. Kamu berpikir: Pelatih mempercayaiku, dia mengandalkanku, Aku bermain dan aku penting. Itu menjadikan perbedaan besar. Lebih-lebih itu di sini karena kamu tahu Xavi sangat penting dan Iniesta, dan Messi tentu saja. Kamu dapat berpikir: Mungkin aku tidak berada di level itu. Namun Aku tidak dapat menghabiskan seluruh hidupku dengan mengatakan ‘Okelah, Ini tentang Xavi dan Iniesta; tidak masalah’. Itu akan menjadi alasan untuk tidak menjadi ambisius. Namun sesekali hal itu terjadi. Aku ingin menunjukkan bahwa aku bisa berada di level itu. Perbedaan tahun ini yang aku rasakan adalah aku bisa semakin yakin dapat mencapati kualitas seperti mereka. Jika segalanya berlanjut seperti ini hingga akhir musim musim dan berlanjut di musim berikutnya, Aku akan merasa lebih penting.

Masalah dasarnya tetap sama bukan? Orang-orang yang harus kamu saingi untuk tiga posisi alamimu adalah Xavi, Iniesta, dan Messi. Ini adalah sesuatu kompetisi tersendiri.

Ya, kompetisi semacam ini adalah situasi yang terjadi terus menerus di Barca. Situasi yang yang membantu terbentuknya Xavi seperti sekarang dan bagaimana Iniesta bermain; Ketidakpastian membuat mereka menjadi sangat hebat. Hal yang sama terjadi untuk Messi. Aku terkadang merasa menjadi bayang-bayang mereka bertiga. Namun apa yang aku suka dari Tata adalah bahwa pemain dalam bentuk terbaiklah yang bermain. Aku berusaha mencapai kondisi terbaikku sehingga aku bisa bermain. Ini adalah kompetisi yang kami semua inginkan dan aku mampu menunjukannya. Ini adalah apa yang pelatih inginkan: ketika dia melihat seorang pemain yang letih, dia tidak peduli [siapapun dia, dia akan menaruhnya dibangku cadangan]

Kamu masih berkembang terlalu sedikit. Apakah kamu memiliki patokan tersendiri kapan kamu akan mendapat posisi yang lebih permanen atau posisi dimana kamu bahagia untuk bermain?

Saat ini ya perkembangan berjalan pelan-pelan. Target jangka pendek, Aku ingin bermain. Namun untuk jangka panjang setiap pemain menginginkan posisi tetap dan mampu mengatakan: ‘Ini adalah posisiku."

Lalu apa posisi tersebut?

Aku menikmati tiga posisi di mana ini sangat menguntungkan. Bayangkan, sebagai contoh, jika aku hanya bisa bermain di sisi kiri dari tiga penyerang, Aku akan mendapat masalah karena [Neymar]... woowww! Aku mulai bermain sebagai gelandang bertahan dalam sebuah posisi 3-4-3 dengan Pique dan Messi diusia 13 tahun, skema dasar gelandang berlian—posisi Guardiola—dan aku beranjak maju sedikit demi sedikit seiring dengan waktu.

Yang kamu maksud posisi Sergio Busquets?

Ya, tepat sekali, Busi. Di Arsenal, aku bermain di depan bek tengah, lalu sekali-kali Wenger memainkanku lebih melebar di kanan karena di sana tekanan lebih sedikit, sehingga aku bisa lebih bebas. Lalu di tiga atau dua tahun terakhir di Arsenal, aku menjadi media punta di belakang penyerang. Sekarang, aku kadang bermain sebagai penyerang atau di rusuk kiri. Aku ingin kembali menjadi no.4 namun Aku berpikir secara fisik aku masih punya beberapa tahun yang bagus untuk bermain lebih ke depan hahahaha..... Tapi, ya, kenapa tidak? Banyak pemain kreatif kembali ke belakang di masa-masa akhir karirnya.

Di Arsenal kamu mengambil peran yang menuntut tanggung jawab besar di usia yang sangat muda: Mereka membuatmu menjadi kapten dan memberi nomor Patrick Vieira dan kamu tumbuh dengan hal itu. Kapan hal itu akan terjadi di Barcelona?

Sebagai kapten Arsenal dan menduduki posisi itu untuk waktu yang lama, aku harus memotivasi rekan-rekan dan mengarahkan tim. Aku punya tanggungjawab itu. Namun aku di Barca baru dua tahun dan aku merasa masih kurang penting, sedikit berbeda dari masa di Arsenal karena di sini ada beberapa pemain yang memainkan peranan itu. Aku tidak ragu jika aku harus berjuang agar kehadiranku terasa dan penting. Itu adalah karakterku. Namun aku benar-benar merasakan sebuah perbedaan dari masa di Arsenal di mana aku semua orang mengandalkanku. Kamu mengambil langkah maju dan tim akan melangkah maju. Aku menikmati tanggungjawab itu namun di Barcelona, hal itu belum terjadi. Ini bukanlah sesuatu yang kamu cari. Tugas itu akan menemukanmu. Ini akan datang secara alami seperti yang terjadi di Arsenal. Tiba-tiba kamu menemukan dirimu dalam sebuah situasi di mana kamu merasakan tanggung jawab itu. Kamu akan menyadarinya. Di Barca, ada Xavi dan Valdes, Puyol dan Messi yang memiliki peran itu. Sisanya mendukung dari belakang.

Kepulangan ke Barcelona tidaklah mudah. Ini adalah sebuah lingkungan yang berbeda..

Ini sangat sulit untuk dijelaskan. Di sebuah klub seperti Barcelona atau Real Madrid, terdapat banyak tekanan yang tidak selalu baik bagi perkembangan pemain muda. Jika segalanya berjalan bagus, Madrid dan Barca adalah klub terbaik di dunia. Namun jika kamu bermain buruk atau kalah, kamu akan sulit ke luar rumah. Di London, jika kamu kalah para pendukung masih menyanyikan namamu. Di sana kamu mendapatkan dukungan mental ekstra. Jika kamu salah memberi sebuah umpan, suporter tetap akan mendukungmu. Mereka selalu di sisimu. Sorotan media juga lebih besar di Spanyol, ada banyak tekanan. Berkembang sebagai seorang pemain muda di Arsenal sangat bagus untukku.

Dan kamu sekarang berada di sini, di Nou Camp?

Kasusku berbeda karena suporter Barca melihatku sebagai seorang anak selama di sini. Seorang yang pergi dan membuat klub membayar mahal untuk memulangkannya. Tanpa itu, Aku akan dilihat secara berbeda. Aku punya tanggung jawab dan tuntutan yang besar, juga momen-momen yang sulit. Namun di atas segalanya, musim ini orang-orang di Barcelona sangat brilian.

Apakah Bercelona memang begitu berbeda?

Ketika aku pulang dari rantau, aku baru menyadari identitas Barca. Ini bukan perkara memenangkan trofi. Barca adalah sebuah model. Beberapa waktu lalu kami bermain melawan Rayo Vallecano. Kami menang 4-0 dan orang-orang tidak senang karena Rayo menguasai bola sedikit lebih banyak dari kami. Dan, tiba-tiba, sebuah debat muncul dari antah berantah. Berita yang muncul sangat mencengangkan: satu pertandingan dalam 5 tahun di mana untuk pertama kalinya kami menguasai bola di bawah 50%! Catat, protes ini bukan karena kami menang 1-0. Tuntutan seperti inilah yang membuat klub ini sangat spesial. Tidak ada klub yang bermain seperti Barca. Di Inggris permainan tidak terkontrol tetapi orang-orang tidak menginginkan cara lain. Kamu menonton sebuah pertandingan di mana bola diumpan seperti bola pingpong—pam, pam, pum—dan kamu berpikir: “Gilaaa, mereka bermain sangat hebat, lalu tiba-tiba kerumunan penonton menginginkan hal lain.” Seorang pemain mengoper bola ke belakang dan penonton menyoraki agar bola di tendang ke depan: pemain harus maju menyerang, menyerang, menyerang. Kadang muncul teriakan sebaliknya, kamu merangsek maju dan penontong berseru agar berhati-hati. Lalu, tempo permainan turun dan pemain mengumpan pendek-pendek untuk beberapa menit dan penonton bertepuk tangan. Mereka menginginkan hal-hal semacam itu.

Barcelona memenangi trofi La Liga 2012-2013 tapi musim itu dikenang dengan nada kecewa. Kekalahan agregat 7-0 melawan Bayern Munich menjadi beban berat, termasuk perasaan sedih karena penyakit yang diderita Tito Vilanova, pelatih yang kamu kenal sejak kamu berusia 12 atau 13...

Sangat penting memenangkan liga dan mempersembahkan untuk Tito dan Abidal. Apa yang ingin aku katakan [atas kritik-kritik yang datang] adalah jika kamu mendapatkan musim seperti yang kami dapatkan di klub lain, maka juara La Liga akan menjadi sebuah musim yang hebat. Kamu juara liga dengan 100 poin, 15 poin bersih di atas Real Madrid. Sebuah rekor. Kamu kalah di Copa del Rey melawan Madrid, sesuatu yang dapat terjadi kapan saja! Kamu mencapai semifinal Liga Champion dengan Xavi tidak bugar, Messi cedera, dan Tito kembali setelah meninggalkan Barca 3-4 bulan dan bergulat dengan urusan hidup-mati. Kami tidak dalam kondisi bugar. Dan kamu kalah. Itu masih sebuah musim yang hebat. Di klub lain, ini akan menjadi sebuah musim yang sangat bagus, khususnya terkait yang dialami Tito.

Itu pasti berdampak besar terhadap tim...

Sebuah pukulan hebat. Kamu datang di tempat latihan suatu pagi dan mereka mengatakan padamu bahwa pelatih harus menjalani perawatan di Amerika. Selama berhari-hari hanya hal itu yang kamu dapat pikirikan. Kamu bertanya: Mengapa? Mengapa selalu terjadi di sini? Ini sangat mengerikan. Sangat-sangat berat. Namun sebagai tim kami mampu mengatasi...kami menang, dan menang ...kami dapat melaju setelah melawan Milan dan PSG dan kemudian Bayern datang seperti sepeda motor, dan mereka adalah sebuah tim yang sangat, sangat prima. Musim kemaren adalah waktu mereka untuk memenangkan turnamen. Mereka mencapai tiga semifinal dan kalah di dua final. Mereka pantas mendapatkan kemenangan itu. Kamu tidak dapat terus menerus menang tetapi tuntutan yang tinggi itu menunjukkan siapa Barcelona.

Apakah pendukung Barca melupakan elemen manusia?

Beberapa orang memiliki akal sehat untuk memahami dan menghargai bahwa Bayern adalah tim yang sangat hebat, bahwa kami meraih 100 poin, bahwa kamu tidak selamanya bisa menang. Yang lain lebih fanatiik dan hanya mengeluh, terus menerus mengeluh, seperti saat-saat masa suram Barcelona. Dan di sini banyak orang-orang seperti itu. Namun, kami membutuhkan harapan tinggi untuk menjamin klub tetap berkembang. Aku senang kami punya hal itu. Itu bukanlah kritik asal kritik....

Bicara tentang Bayern, Apakah mereka menjadi favorit lagi?

Aku menonton mereka melawan City dan itu adalah pertandingan terbaik yang mereka mainkan. Kami penasaran melihat bagaimana Bayern akan bermain di bawah asuhan Pep. Di awal-awal, mereka tidak banyak berubah. Perubahan yang diinginkan Pep tidak berjalan baik di final Super Cup melawan Dortmund. Pep bermain dengan penyerang tengah tunggal seperti taktik Juup Heynckes. Namun saat melawan City Aku melihat perubahan dengan formasi no. 9 palsu, menekan lawan sejak di pertahanan mereka sendiri, [Philipp] dengan Lahm di tengah…

Apakah ini menjadi sebuah timnya Pep?

Melawan City, ya! Lihatlah si, si, si, si. Pergerakan yang mereka buat persis dengan apa yang pernah ia minta kepada kami. Menekan lawan secara cepat. Itu adalah pertandingan hebat untuk dinikmati oleh seorang penonton.

Minggu ini akan ada clásico. Gareth Bale bisa apa di Spanyol ? akankah kurangnya ruang yang kamu katakan akan menjadi masalah untuknya?

Itu adalah satu pertanyaan yang akan sering ia dapatkan. Sebagian besar jawaban tergantung bagaimana Madrid ingin bermain. Jika Madrid menginginkan penguasaan bola, dia akan menghadapi banyak kesulitan karena dia tidak akan mendapat ruang. Lawan akan sangat rapat dalam bertahan dan menunggu di daerah pertahanan. Jika mereka tidak bermain dengan penguasaan bola dan memilih serangan balik, seperti saat dilatih Mourinho, itu akan cocok dengan Bale. Dalam beberapa tahun terakhir lawan Madrid berpikir: "Kami dapat menguasai bola,". Hal ini membuat Madrid semakin percaya diri, mudah bertukar posisi, dan bang, sebuah serangan balik dan sebuah gol. Bale akan menikmati itu.

Itu mengandaikan bahwa secara stilistik, lawan terbaik untuk Madrid adalah … Barcelona. Kalian membuat sepakbola tampak lebih mudah untuk mereka.

Ya. Belakangan, Madrid tidak menyenangi lawan yang memberi mereka kontrol bola dan memilih menunggu. Cristiano [Ronaldo] mencari posisi dengan ruang kosong selebar dua garis di depannya: Bale juga akan senang hati mendapat taktik ini. Strategi mereka meninggalkan [Karim] Benzema sendirian. Apa yang mereka inginkan adalah tim seperti Rayo; lawan datang menyerbu maju dengan bola lalu mereka mencurinya. Dengan dua umpan vertikal, penyerang Madrid sudah ada di jantung pertahanan lawan. Mereka punya pemain-pemain yang sangat cepat berlari. Di beberapa classico terakhir, mereka melakukan pekerjaan itu dengan sangat hebat. Sebuah kredit untuk mereka. Mereka memenangkan perebutan bola, agresif dan menyusahkan kami, terutama melalui serangan balik.

Ide dasarnya adalah bahwa kamu ingin menang sehingga ada sebuah konklusi sederhana. Barcelona harus mengubah gaya, paling tidak saat melawan Madrid.

Itu bisa jadi menjadi sebuah pilihan. Tetapi Barça akan bermain seperti cara Barça. Jika kami kalah, kami harus kalah dengan cara Barca dan jika kami menang kami menang dengan cara Barca. Itu adalah sesuatu yang aku pelajari sejak kembali ke sini. Di Barca, tidak ada orang yang suka kalah. Jika kamu bermain bagus dan kalah atau kamu bermain buruk dan kalah, itu adalah dua cara kamu dapat kalah. Namun di sini orang-orang menghargai apa yang kami lakukan dengan cara khusus, cara Barça. Sekarang kami memiliki pelatih dari tradisi sepakbola yang lain dan dia memiliki ide yang berbeda. Namun, secara teoritis, kami akan tetap menjadi Barça seperti yang dilakukan oleh pemain sebelum kami di sini.

Related Posts:

Kesan Tentang Thomas Muller

Oleh Nurcholis Kartiman


Ketika berjanji membuat tulisan hadiah pernikahan darmanto, saya memikirkan dua tema. Pertama soal pertemanan. Bisa saja saya menulis dengan latar bulaksumur B-21: bagaimana dia merebut koran pagi yang sedang saya baca. Atau dengan seting perpustakan UPT, perjumpaan tak sengaja saat jeda dari Siberut, atau kemampuan menyepak bola lebih banyak saya ketahui hanya dari cerita. Tetapi, ingatan saya harus bekerja keras untuk mengingat semua dengan rinci. Saya bahkan lupa nasib Bayern Munchen di final Champion  1999 yang kami tonton bersama. Tulisan jenis begitu mudah jatuh pada puja-puji masa lalu—Darmanto mungkin menyukainya. Namun, Milan Kundera pernah bilang, memberikan apa yang disukai penerima hadiah, bukanlah hal baik. Sebaliknya, memberikan sesuatu yang kita sukai sebagai hadiah berarti memberi sebagian dari diri kita—meski sesuatu itu belum tentu disukai si penerima.
Saya mengambil pilihan kedua.

Tema kedua tentang sepakbola. Saya dan Darmanto penggemar sepakbola, tetapi punya kesalehan berbeda menghayatinya. Kami menempati sisi stadion yang berbeda. Darmanto mendukung Argentina, Manchester Unitedsaya bersumpah menyebutnya sekali di tulisan inidan Barcelona. Saya pendukung Jerman dan klub-klubnya, terutama Bayern Muenchen, Darmanto mbotohi tim-tim yang sesuai selera mayoritas, sementara saya pengemar tim yang  diledek karena gaya pragmatis. Ya, orang cenderung mendukung Pandawa dan tim-tim yang baik. Ada semacam ketakutan untuk mengakui bahwa trah Kurawa memainkan peranan lebih penting agar epos Mahabharata terus dibicarakan.

*****

Piala dunia 1954, Jerman datang ke Bern sebagai negara yang porak-poranda. Di pertandingan pembuka, Jerman dihajar Hungaria. Di final, keduanya bertemu lagi. Selain orang Jerman, tidak ada yang menginginkan mereka menang. Hungaria dengan Ferenc Puskas dan Kocsis sedang meraja dan dunia menginginkan mereka mengangkat piala. Namun, ketika peluit terakhir ditiup, Jerman bersorak. Begitu pula di tahun 1974. Kali ini Jerman datang dengan Beckenbauer, seorang Karna dalam sepakbola. Jerman yang dipimpinnya kalah mentereng dari Belanda. Publik berharap total-football juara, tapi Jerman mencurinya. Backenbauer jugalah yang memimpin Jerman paling tidak menarik sepanjang sejarah, juara dunia di tanah Italia. Maradona yang dicintai semua orang—kecuali Peter Shilton—dibuatnya banjir air mata.

Maradona menunggu dua puluh tahun untuk balas dendam. Kali ini, ia sebagai pelatih. Sebelum putaran final, Argentina bertandang ke Munich untuk sebuah laga persahabatan.  Argentina datang dengan nama-nama besar, kecuali kipernya. Sementara, publik akan sulit mengeja anak-anak muda Jerman. Pertandingan berjalan seimbang. Dari sebuah serangan balik, Di Maria mengirim umpan lambung ke kotak penalti. Higuain yang sudah menunggu, memutar arah larinya dan beradu dengan Rene Adler. Higuain lebih cepat dan seluruh stadion menyaksikan bola bergulir pelan ke garis gawang. Dendam dilampiaskan di tanah Jerman!
Kemenangan dan balas dendam barangkali melingkupi perasaan Maradona. Saya membayangkan, dia akan menggunakan jumpa pers pasca pertandingan untuk melampiaskan amarahnya. Namun, pernyataan paling penting justru muncul di jumpa pers pra pertandingan. Melihat wakil Jerman, Maradona meradang. Alih-alih menemui pelatih atau pesepakbola kondang, Maradona malah melihat bocah kurus anak gawang. Maradona meninggalkan ruang pers. Ia mengancam tak balik sebelum anak gawang  pergi. Si Bocah mengalah.

Kisah si anak gawang tak berhenti di sana. Ia memperkenalkan ulang dirinya di Afrika Selatan—dengan cara yang luar biasa. Babak perempat final piala Dunia selalu menghadirkan partai klasik. Bocah kurus itu menunjukkan kepada si Tangan Tuhan, ia bukanlah sekadar pengambil bola. Dan ia tak menunggu lama. Menit ketiga, Arismendi melanggar Podolski di sisi kiri Argentina. Schweni mengambil tendangan bebas. Bola melintir ke depan gawang. Si Bocah mengambil momentum, meloncat sepersekian detik lebih dulu dari lawannya. Sedikit sentuhan kepala dari bola yang deras berpilin membuat tangan Romero terayun sia-sia. Ia berlari ke arah Schweni. Ia mengangkat kedua tangannya dengan kaku dan histeris—cara yang mengesankan bahwa dia bahkan belum bisa merayakan gol!

Si anak gawang itu bernama Thomas muller. Tusukan pertama Jerman dari empat yang membunuh karir kepelatihan Maradona.  ‘Sekarang ia (Maradona) akan tahu, saya bukan anak gawang’ ujarnya di jumpa pers. Saya tidak menambah tanda seru, karena pernyataan itu diucapkan sembari bercanda. Namun, Muller punya bekal membusungkan dada. Ia membawa tim Bavaria meraih gelar ganda, dan menembus final Champion sebelum Afrika. Dua gol dan satu umpan memulangkan Inggris. Namun, ia terlalu sederhana untuk pongah. Mengingat peristiwa jumpa pers, hati saya terlalu kotor untuk memikirkan bahwa Maradona menganggap Muller benar-benar anak gawang. Lebih dari itu, ejekan Maradona adalah tindakan seseorang yang merasa berhak atas pengakuan. Maradona tidak bisa balik nmerumput dan bertarung melawan Muller. Senjata satu-satunya untuk mendapat pengakuan adalah klaim sejarahnya. Saat Maradona bicara kemegahan status masa lalunya, Muller sedang menikmati kebahagiaannya.

*****

Saya melihat Muller dalam sosok Darmanto. Momen itu ada di dalam diskusi bukunya di Syarikat  awal tahun ini. Di ‘jumpa pers’ buku pertamanya itu juga ada ‘Maradona’, yang menyosok dalam orang-orang yang merasa senior, lebih canggih, lebih revolusioner, dan lebih mempunyai gagasan tentang apa bentuk dan formula gerakan sosial. Mereka menempatkan Darmanto sebagai pemula dan menuntutnya untuk menulis sebuah buku panduan gerakan sosial untuk Siberut. Pembelaan Laksmi Savitri dengan mengatakan sebuah buku yang baik adalah buku yang mampu mengajak pembaca terlibat dan menyediakan cara pandang lebih baik atas realitas tidak mempan menangkis serangan Maradona. Para aktivis senior itu, dengan klaim historisnya merasa apa yang ditulis oleh Darmanto bisa mengguncang keyakinan atas realitas: bahwa masyarakat sudah berubah, maka cara pandangnya juga berubah. Bagi saya, Darmanto sedang menghamparkan kesaksian dan kekinian Siberutnya, sementara para aktivis senior hidup dengan kisah masa lalunya dengan Siberut.

Setelah diskusi, saya membonceng Darmanto. Di atas Vespakendaraan terhebat di duniaDarmanto mengungkapkan kejengkelannya. Menurut dia, kritik yang dinyatakan dalam diskusijustru itu meleset dari apa yang ia harapkan. Ia sadar butuh kritik dan meminta kawan-kawannya menulis ulasan sebagai bahan diskusi. Namun, yang ia dapatkan kritik lisan, verbal, dan argumen yang memaksa harus mengambil posisi mutlak sehingga mengaburkan debat buku. Para aktivis senior itu adalah Maradona yang mengenakan tuksedo dan mengenakan rosario, tetapi tidak tahu perkembangan taktik sepakoba. Para pemuja gerakan sosial, yang kagum akan sejarah para ‘Maradona’, akan mudah percaya pada kemahiran mereka dan mendoakan citra moralitas itu akan menolong masyarakat. Orang terlanjur teryakinkan bahwa nama besar dan masa lalu Maradona sepadan dengan kemampuan menganalisa realitas sepakbola kontemorer. Thomas Muller membuktikanbetapa dua hal itu tak hanya tak sama, tetapi juga tak ada hubungannya.

*****

Dalam dunia yang menjalin antara menulis (memproduksi pengetahuan) dengan aktivisme (melancarkan tindakan), sebuah pertanyaan akan sebuah daya guna kerja analisis pasti akan muncul. Ungkapan ‘setelah ini apa? Dari almarhum teman saya terngiang di kepala dalam diskus itu. Meskipun konteks ungkapan itu terkait hidup setelah lulus kuliah namun saya melihat ada relevansinya disini. Apakah setelah diskusi buku, debat teoritik, menyelesaikan skripsi, atau kerja produksi pengetahuan dapat ditemukan sesuatu yang berguna? Pertanyaan untuk tergesa menjawab pertanyaan ini menggambarkan kerisauan, Bagi mahasiswa, mungkin ini karena dia tidak yakin mendapat kerja atau menganggap kuliah soal tanda tangan, lulus, dapat kerja, pensiun—sebuah sikap formalitas. Sikap yang oleh Daoed Joesoef dikatakan sikap profesional. Profesional, karena si mahasiswa hanya mengerjakan sesuatu sejauh menjadi persyaratan kelulusan. Setelah lulus, ia menjadi pekerja belaka.

Padahal yang diharapkan dari penulisan buku adalah sebuah kemampuan analaitik dalam melihat bagaimana dunia berjalan. Kerja-kerja akademik adalah ruang untuk menjadi man of analysis. Bagi Daoed Joesoef, mahasiswa seharusnya mendalami pengetahuan, bukan aktifitas politik. Kerja produksi pengetahuan dituntut menggunakan rasionalitasnya untuk memahami dan memecahkan persoalan. Jika ingin melakukan perubahan nyata, kerja politik atau aktivisme, ia harus melepaskan keistimewaan sebagai intelektual. Mahasiswa, akamdemisi, menulis buku dihargai karena kemampuan intelektualnya, bukan karena status aktivismenya. Pengkritik pun akan dinilai dari bobot kritiknya, bukan dari statusnya sebagai aktivis senior atau aktivis angkatan sebelumnya.

Pembedaan ala Joesoef sebenarnya tidak relevan lagi. Sejatinya, pembedaan harus berpangkal dari tanggung jawab. Partisi aktivis, penulis, akademisi, politisi tidak merujuk apa-apa kecuali ketika menghasilkan karya atau tindakan. Ketika berada di ranah wacana, maka seseoranng harus mempertanggungjawabkan rasionalitas analisisnya. Namun, bila di ranah gerakan, seseorang harus mempertanggungjawabkan tindakannya sebagai aktivis.

*****

Permainan sepakbola terus berubah, dan setiap perubahan membutuhkan jenis pemain yang berbeda. Potongan Muller tidak akan dapat bertarung dalam kompetisi sebelum 1980an. Pelatih seperti Helenio Herera akan menyarankan orang tuanya memilihkan karir lain, bahkan  sebelum latihan pertama, jika melihat cara berlarinya  Ia kurus dan tidak memiliki teknik yang hebat. Sulit membayangkannya mengecoh dua-tiga pemain lawan. Dalam pertandingan Bayern, orang terpaku pada liukan Ribery atau giringan Robben. Jika Muenchen menang, meskipun sama-sama mencetak gol, Robben-lah yang memenangkan dan menyenangkan hati penonton. Yang diabaikan adalah  bagaimana Muller berlari ke semua sudut lapangan, dan ialah orang pertama yang merebut bola dari bek lawan.  Dibutuhkan pengamatan jeli untuk melihat Muller sebagai pemain terbaik.

Kenyataan bahwa Muller tidak bagus secara teknis mungkin menjadi alasan mengapa ia bekerja keras untuk tim. Dalam beragam pertandingan, Muller tidak berada di daftar teratas statistik Opta. Ia tidak melanggar atau dilanggar, dan hanya memiliki sedikit operan. Namun, secara nyata ada dimana-mana. Jerman dan Muenchen menjadi tim yang sangat berbeda bila Muller absen. Ia pas-pasan, tapi dominan. Tidak menekel, tapi menang rebutan bola. Pencetak gol tetapi bukan striker. Bukan pelari cepat, tetapi selalu dalam posisi yang tepat. Kurus tapi menang duel udara. Muller adalah semacam jendela untuk melakukan interpretasi permainan sepakbola masa kini.

Pendobrak selalu sulit diukur dari ukuran-ukuran yang berlaku surut ke belakang. Ia selalu dibicarakan karena menjadi pemula bagi terbukanya rute baru. Muller dan Darmanto bukan orang yang sama—dan Darmanto pasti tidak suka cara bermain Muller. Tapi barangkali keduanya sama-sama menempuh rute yang sama di arena yang berbeda. Diskusi buku Berebut Hutan Siberut di Syarikat tidak terlalu memuaskan. Namun, adalah melegakan mendengar bukunya mendapatkan sambutan hangat di banyak tempat. Konon, buku itu diniatkan menjadi buku pegangan jurusan antropologi atau mata kuliah politik ekologi di beberapa universitas. Menekuni antropologi dengan latar belakang biologibukanlah sesuatu yang lazim, meskipun tidak berarti tidak ada pendahulunya. Memilih rute itu seperti melalui jalur intelektual yang tidak biasa. Apalagi di rezim akreditasi sekarang, sulit membayangkan seseorang berani menempuh jalan seaneh itu. Menyimak karya-karya yang dihasilkannya, menekuni antropologi mungkin pilihan tepat. Hanya, Darmanto harus terus menerus membuktikan ketepatan pilihan itu. Seperti halnya Muller yang berusaha konsisten  membuktikan pilihan gaya bermainnya.


Selamat membuktikan ketepatan pilihan, juga selamat untuk niat dalam terus menerus membuktikan ketepatan untuk menikah.

Related Posts:

Satu Angka: Bukan Sebuah Ulasan Sepakbola

Oleh Mahfud Ikhwan

Hidup kita tak ditentukan oleh hal-hal besar yang pernah kita alami. Belokan kecil yang sengaja atau bahkan tak sengaja kita ambil, itulah yang akan menentukan di ujung jalan mana nanti kita akan sampai. Itu yang saya yakini.

Dan, itulah yang saya yakini terjadi pada teman saya, Darmanto.


***

Kami bertemu di sebuah ruang kelas yang riuh pada awal tahun ajaran 1995, kelas I-1 SMU Negeri Babat, Lamongan. Meski sebutannya tampak utama dan pertama, tapi kelas itu justru saya kenang sebagai kelas paling marjinal. Paling jauh dari gerbang masuk dan paling dekat dengan rawa, kami biasa memancing ikan sepat dengan biji stapler jika kelas sedang kosong. Dalam waktu tak seberapa lama, kelas itu dari sisi disiplin segera dikuasai oleh para bocah nakal dan dari sisi akademik didominasi para siswa (yang paling tidak pada awalnya dianggap) bodoh.

Begitu mengenal seorang bocah yang mulutnya tak pernah berhenti mendendangkan lagu-lagu KLa Project itu, kami segera menjadi akrab. Rasa-rasanya kami memiliki banyak sekali persamaan. Namun, tanpa harus menyebutkan yang banyak itu—yang mungkin akan membuat tulisan ini akan bertele-tele jika disebutkan satu-satu—sepakbola jelas telah mengatasi semua perbedaan. Saat upacara bendera hari Senin, kami bersama beberapa siswa lain membuat komplotan kecil di barisan belakang agar bisa membicarakan hasil-hasil pertandingan pada malam sebelumnya. Jika ada yang membawa tabloid olahraga baru atau bekas ke ruang kelas, kerumunan lain akan tercipta, dan saya dan dia pasti ada di antaranya. Dan jika ada sekelompok siswa yang main bola di halaman sekolah saat jam istirahat, kami berdua pasti juga jadi bagiannya.

Tapi, tentu saja, kami tetap dua orang yang punya beda. Ia dengan sangat percaya diri selalu mendendangkan lagu KLa Project kesukaannya keras-keras di kelas, sementara saya dengan malu-malu hanya menggumam-gumam saja jika ingin mendendangkan lagu-lagu Kumar Sanu. Ia ikut membentuk band dengan bermain bass, sementara saya (yang menimang gitar saja kikuk) cuma bisa menonton. Di lapangan bola, kami juga agak berbeda nasib. Dribelnya yang bagus membuatnya jadi pemain penting di latihan Ekskul Sepakbola, sementara saya yang pelari cepat dengan nafas terbatas biasanya terdampar menjadi seorang bek kiri cadangan.

Karena nilai rapor yang sama-sama lumayan, kami dipertemukan kembali di kelas yang sama pada tahun berikutnya. Kali ini di kelas unggulan. Dekat dengan gerbang dan jauh dari rawa. Di kelas yang dipenuhi oleh anak-anak yang dipersiapkan untuk kuliah di fakultas teknik dan kedokteran itu, kami berdua justru menonjol di dua pelajaran yang tak dianggap penting: Olahraga dan Sejarah. Namun, yang jauh lebih dikenal luas adalah minat terhadap sepakbola kami berdua semakin menggila.

Bosan dengan teka-teki silang (TTS) sepakbola di tabloid Bola, Go, maupun (almarhum) Kompetisi, juga karena telah terlalu menganggap enteng TTS harga 1000-an yang dipenuhi oleh pertanyaan tentang “moa”, “ebi”, “istal”, “nuh”, “isa”, kami berdua bersepakat membuat sendiri TTS sepakbola versi kami. Caranya, saya akan membuat TTS untuk dijawabnya dan dia akan membuat TTS untuk saya jawab. Barangsiapa yang TTS buatannya lebih banyak kosong, dialah yang unggul. Maka, untuk membuat lawan plonga-plongo, kami tak hanya memelototi klasemen liga-liga di dunia, daftar pencetak gol, atau profil-profil klub dan pemain yang biasa muncul di halaman belakang koran, tapi juga menghafal nama-nama pemain cadangan, nama-nama klub level bawah, nama-nama stadion kecil, yang tertulis kecil di halaman-halaman statistik sepakbola. Di situlah terletak senjata rahasia untuk mengalahkan lawan.

Pada tahun ketiga, kami berpisah kelas. Sebuah perpisahan yang, kalau saya urut-urutkan, menentukan hidup kami berdua hari ini. Dan tahukah apa yang menyebabkan kami berpisah? Nilai Biologi saya satu angka lebih tinggi darinya.

***

(Jika bukan karena nilai Biologi, maka nilai rata-rata eksakta kami akan sama dan kami akan tetap satu kelas. Darmanto mungkin tak mengingat, tapi saya—karena sulit menerima kenyataan—sungguh pernah benar-benar menghitungnya.)

Selisih satu nilai Biologi (kesamaan lain kami yang agak terabaikan) itu jelas berbuntut panjang. Paling tidak, itu yang saya rasakan. Darmanto, seperti yang telah diduga, berjaya di kelasnya. Sementara saya, sembari menatap iri teman dekat di kelas sebelah, justru tengah dibikin frustasi oleh integral, rantai karbon, dan genetika. Kami masih bertemu di upacara bendera hari Senin, juga di pertandingan-pertandingan antarkelas (meski kini berhadapan sebagai lawan), tapi saya jelas kehilangan partner in crime soal sepakbola di dalam kelas. Dan masa kejayaan TTS sepakbola itu berakhir sudah!

Saya, tanpa tahu benar sebabnya, menjadi lebih soliter dalam mengekspresikan kegilaan terhadap sepakbola. Gambar sampul buku-buku teks pelajaran eksakta yang membosankan saya timpa dengan gambar-gambar pemain sepakbola. Itu di bagian depan. Di dalam buku, pada setiap ruang kosong saya isi dengan coretan-coretan pemain sepakbola dalam berbagai posisi dan kondisi. Coretan-coretan itu, meski tak pernah benar-benar bisa sebagus yang saya inginkan, memberi saya keyakinan muluk dan konyol bahwa saya bisa jadi pelukis.

Ketika di akhir tahun ajaran terdengar kabar bahwa Darmanto diterima dalam PBUD di Jurusan Biologi UGM, saya justru sedang dirundung keraguan apakah saya bisa lulus atau tidak. Ketika kemudian lulus (dengan angka yang sangat biasa), saya mencoba mengejar Darmanto ke Biologi UGM. Barangkali untuk mengingatkannya bahwa, setahun sebelumnya, Biologi saya lebih baik darinya. Tapi Tuhan Yang Maha Eksak (yang mungkin mempertimbangkan IPA Dasar saya yang buruk) memilihkan Sastra untuk saya.

***

Jika jalan hidup manusia ditentukan hal-hal besar—sebagaimana diyakini banyak orang—saya yakin Darmanto sudah jadi seorang redaktur pelaksana di Harian Republika (sebagaimana yang ia tulis di kolom cita-cita dalam Buku Angkatan), atau pemain sepakbola profesional paling tidak di tingkat Divisi Utama, atau seorang bassis sebuah band pop dari Surabaya. Tapi satu angka itu muncul dan membelokkan semuanya.

Satu angka itu, tentu saja dalam pandangan saya, memisahkan kami dan kemudian membawa Darmanto ke Jurusan Biologi UGM. Dan, jelas, satu angka itulah yang membuatnya terhanyut ke Siberut. Lalu Siberut membawanya ke Leiden sekaligus membuatnya berkawan dengan orang-orang di SAINS, dua tempat yang memungkinkannya bertemu dengan Nadya. Dan, kawinlah mereka!

(Alamak... itu tho ujungnya.)

Satu angka itu akan membawa Darmanto (dengan Nadya di sampingnya) lebih jauh lagi—saya yakin begitu. Tapi, seperti yang sejak dulu saya sangka, satu angka itu jelas-jelas tak membuatnya jadi seorang sarjana Biologi yang berbakat.

Dan, itulah kenapa dia mencoba-coba untuk menjadi Antroplog.

Related Posts:

Cesc Fabregas: Sepakbola Inggris lebih gila, lepas kendali, semua pemain menyerang, mereka terus merangsek maju

Oleh Sid Lowe

Permisi, dapatkah kamu tunjukkan di mana stasiun Cesc Fábregas?

Haha! Stasiun yang mana? Crouch Hill? Tidak begitu jauh dari tempat tempat tinggalku, lalu, Hampstead dan sebelumnya Barnet dan Enfield. Aku pernah lihat peta pemain sepakbola di internet. Yang tidak aku mengerti pertama kali adalah apa alasan orang-orang itu melakukannya. Jika dipikir-pikir, sangat menyenangkan namaku bisa menjadi sebuah petunjuk arah. Aku selalu merasa diterima; ada banyak rasa sayang terutama dari fans Arsenal. Aku rasa mereka sangat mencintaiku meskipun aku meninggalkan Arsenal. Tidak ada sakit hati, tidak pula kegetiran. Mereka tahu bahwa aku memberi segalanya selama delapan tahun, lalu datang sebuah masa di mana aku merasa tidak bisa memberi lebih, dan aku pergi untuk alasan yang sangat personal; pulang ke rumah, bermain untuk klub kesayangan, tempat di mana aku melewatkan masa kecil. Sangat penting bagiku pergi di waktu dan dengan cara yang tepat.

Pulang adalah sebuah pilihan yang bisa ditebak, pilihan yang mudah... Minggu ini adalah sepuluh tahun dari debutmu di Arsenal; Kamu masih berumur 16 tahun waktu itu. Itu pasti jauh lebih berat.

Sejujurnya, jauh lebih sulit saat balik lagi ke Barcelona di usia 24 tahun dari pada pergi ke London saat 16 tahun. Jauh lebih berat. Orang-orang mengatakan aku mengambil pilihan gampang: "Ah, dia akan bermain dengan Messi, dia pasti akan menang." Namun aku mengambil pilihan menantang: Aku harus dua kali bekerja lebih keras untuk merebut satu tempat. Aku sangat mandiri, tak gentar oleh tantangan, dan aku merasa tak akan kehilangan apapun ketika pergi ke London untuk pertama kali. Aku bermain di sistem pembinaan pemain muda, di tim Juvenil B, dan meskipun Barca menghargaiku, Gerard [Piqué] dan Leo [Messi] sudah dipromosikan ke Juvenil A sementara aku tetap di Juvenil B. Arsenal menawarkanku sebuah peluang untuk berlatih dengan tim tama, belajar Bahasa Inggris dan pengalaman dengan budaya yang berbeda, sepakbola yang berbeda. Dan aku pergi atas kemauanku sendiri untuk menikmati suasana baru dan belajar. Itu sebuah tantangan dari pada sebuah rasa takut. Arsenal adalah klub yang hebat. Mereka memberimu segalanya. Arsenal adalah sebuah keluarga, benar-benar sebuah keluarga. Fans akan ada di belakangmu, apapun yang terjadi. Aku tidak bisa pergi ke tempat yang lebih baik dari itu.

Apakah kamu akan kembali ke Arsenal?

Arsenal ada di dalam hatiku dan selamanya akan ada di sana. Aku tidak tahu apakah aku punya kesempatan untuk kembali dan bermain di sana suatu hari nanti, atau mungkin setelah gantung sepatu. Ini adalah sebuah klub yang selalu ada dalam hatiku dan selalu membuka pintunya untukku. Klub ini seperti sebuah keluarga bahkan seandainya tanpa pelatih. Aku yakin mereka akan memberiku sebuah peran. Sol Campbell sekarang ada di sana. Klub ini memberi peluang melalui staf kepelatihan. [Dennis] Bergkamp pernah kembali ke sana dua atau tiga kali dalam seminggu saat mengambil kursus kepelatihan. Oleh karena itu, Arsenal adalah sebuah klub yang menyenangkan dan selalu ada peluang untuk melakukan sesuatu dengan mereka.

Sebagai seorang pemain Arsenal, apakah kamu belajar sesuatu yang tidak mungkin didapatkan di Barcelona?

Aku tidak terlalu yakin akan hal itu tetapi, katakanlah begini, yang aku tahu saat di usia 16 aku berlatih dengan Thierry Henry, Bergkamp, [Robert] Pires dan [Patrick] Vieira. Aku memainkan 50 pertandingan saat umur 17; setahun kemudian, aku bermain di final Liga Champion; Dua tahun setelahnya, final piala Dunia. Ini mempercepat segalanya. Jika aku bertahan di Barcelona, segalanya akan lebih lambat. Arsenal membuatku menjadi pemain yang lengkap dalam pengertian apapun. Memberiku debut ketika aku masih berusia 16 tahun. Ketika aku berumur 18, mereka menjual Vieira sehingga mereka bisa menempatkanku di posisinya. Mereka mengatakan secara langsung untuk memberiku tanggungjawab. Mereka menjadikanku kapten ketika aku berumur 21 tahun… terlalu banyak hal yang membuatku sangat istimewa di tim itu.

Sebuah tim dengan gaya yang cocok untukmu?

Dalam urusan gaya bermain, Arsenal barangkali adalah tim yang sangat dekat dengan Barcelona: umpan satu dua dan banyak sentuhan. Barca sangat unik dan aku belajar lagi beberapa konsep ketika kembali, tetapi belakangan ini, Arsenal memainkan sepakbola yang paling menarik di Inggris, menghibur penonton. Orang suka menonton Arsenal dan aku bangga atas itu. Orang akan bilang: “OK, mereka belum memenangkan apapun. Tetapi, wow, aku akan mengeluarkan uang untuk melihat anak-anak itu bermain.” Sementara ada tim lain yang memenangi lebih banyak medali—aku tidak akan menyebut namanya—tetapi ketika mereka bermain orang akan bilang: ‘‘Mereka menang tetapi hanya itu saja’." Aku akan selalu merasakan kegetiran dalam diriku, kesedihan itu. Aku berharap pergi dari Arsenal dengan sebuah gelar.

Mengapa Arsenal Tidak Juara?

Ini sangat sulit, ...sangat sulit, ......sangat sulit, … [sebuah jeda panjang]. Aku tidak tahu. Ada banyak hal; selalu ada sesuatu. Aku ingat, misalnya, musim di mana Eduardo patah kaki. Itu memberi dampak kepada semua orang dan sejak itu kami mulai menurun. Kami sedang bersaing dengan Manchester United tetapi kami tidak bisa mempertahankannya. Kami selalu mendapat hal itu atau ada saja sesuatu yang membuat kami tergelincir. Kamu bertarung, lalu seseorang mendapat cedera. Hal-hal buruk terjadi, atau seseorang ingin pergi. Aku tidak tahu...

Apakah ada semacam masalah mental?

Pada akhirnya, ini adalah sebuah masalah mental, ya. Eduardo patah kaki dan kamu kalah di final piala Carling dari Birmingham, tim yang kemudian turun ke divisi satu. Kamu kalah dengan cara kamu harus kalah. ..Bayangkanlah itu! Sangat sulit untuk menang lagi, khususnya jika kamu masih sangat muda. Manajer memberi banyak kebebasan bagi pemain muda yang membuat mereka sangat bagus. Mereka sangat hebat karena manajer tidak memberi banyak tekanan. Akan tetapi jika hal buruk terjadi, hal itu sangat menyulitkan.

Apakah semestinya Wenger menuntut lebih banyak tanggung jawab? Haruskan dia lebih banyak memberi intervensi?

Bukan, bukan begitu. Ketika setiap orang masih sangat muda, sangat sulit menemukan seseorang yang berdiri dan mengatakan: Ayo, jangan berhenti! Karena kami adalah sebuah tim yang sangat muda, ada semacam sebuah perasaan ‘ah, lain kali’, kesempatan yang lain akan datang. Fans terus menyanyi dan mendukung juga. Itu sesuatu yang sangat hebat. Tetapi jika aku bermain buruk, aku menginginkan kritik. Tidak ada orang yang akan disiuli namun aku menginginkan tekanan, sebuah tuntutan. Kami sering mengadakan pertemuan dan mereka sangat membantu. Kami membuat segala sesuatunya masuk akal namun pengalaman adalah sesuatu yang tidak kami miliki. Kami menderita karena hal itu. Sekarang aku berpikir mereka menemukan sebuah keseimbangan. Mereka punya pemain-pemain yang memiliki banyak pengalaman seperti [Per] Mertesacker, Mikel [Arteta] dan [Lukas] Podolski.

Apakah Kesempatan Arsenal akan datang, pada akhirnya?

Aku sangat berharap begitu. Mereka memulai kompetisi dengan bagus. Mereka terlihat sangat kuat; mari kita lihat bagaimana akhirnya. Di Liga Primer kamu dapat bermain bagus lalu kalah dalam dua pertandingan dan kamu tergelincir secara cepat. Itu bisa terjadi tiba-tiba. Banyak hal ditentukan setelah Natal: tim yang bertahan sejak itu, yang dapat bangkit dari saat-saat menentukan di pergantian tahun akan meraih trofi.

Dapatkan Mathieu Flamini membuat sebuah perbedaan signifikan?

Ya, aku kira begitu, aku percaya itu. Dia pemain yang bagus, yang punya pergerakan brilian, yang memainkan sepakobola yang berbeda untuk Milan dan Mathieu mampu beradaptasi dengan bagus. Dia memahami peran gelandang tengah dan dia berlari sepanjang 13 km dalam setiap pertandingan, sebuah jumlah yang luar biasa. Aku gembira dia kembali.

Apa pendapatmu tentang perekrutan Mesut Özil?

Luar biasa. Jika kamu mendapat peluang untuk mendapatkan Özil, kamu tidak akan membiarkan lewat begitu saja. Dia sempurna dan cocok untuk Arsenal. Tidak masalah jika kamu sudah punya 7 atau 9 pemain dengan gaya yang sama karena mereka saling memahami satu sama lain. [Jack] Wilshere memiliki cara bermain yang sama, [Aaron] Ramsey, [Santi] Cazorla, [Tomas] Rosicky … Satu-satunya pemain yang berbeda barangkali [Theo]Walcott, tapi kamu membutuhkan pemain dengan tipe begitu karena, di akhir sebuah pergerakan, setelah umpan, umpan, dan umpan, kamu membutuhkan seorang Pedro: seorang yang akan muncul di antara ruang dan lawan, yang memberi kedalaman, memberi pilihan serangan dan mampu mencari ruang kosong. Kamu butuh seorang Walcott atau [Robin] Van Persie, yang pergerakannya luar biasa.

Apakah menyakitkan melihat Van Persie di United?

Aku tidak akan mengatakan "menyakitkan" ...

Tetapi kamu mengatakan: "Arsenal sangat bagus"?

Dia selalu mendapat nasib buruk dengan cedera. Aku tidak pernah menikmati sebuah musim tanpa gangguan cedera bersamanya. Ketika aku pergi, dia mendapat musim yang luar biasa, mencetak 30, 35 gol. Seandainya punya musim dengan Van Persie dalam kondisi terbaik kami akan sangat terbantu.

Apakah Özil dapat memberi gol?

Aku rasa dia akan sangat menikmati liga Inggris. Dia adalah pemain yang dapat memberi perbedaan di sepertiga lapangan. Umpan terakhirnya brilian. Dia akan lebih banyak punya ruang dan dengan ruang dia dapat membunuh lawan. Dia juga akan mencetak gol lebih banyak karena ada banyak peluang. Tidak ada pemain lain sehebat Ozil dalam memainkan peran mediapunta. Di Inggris, lawan akan terus menguntitmu, namun jika seorang pemain lawan menempel ketat, lebih mudah bagimu untuk bermain satu-dua sentuhan secara cepat dan melewatinya untuk mencari ruang kosong. Dalam urusan taktik-bertahan, lebih banyak perhitungan di Spanyol; lebih sulit mencetak gol di La Liga dari pada di Inggris.

Tetapi ada asumsi bahwa Liga Inggris lebih berat dari La Liga ...

Tidak mudah dijelaskan karena Liga Inggris lebih sukar untuk dimenangi namun di tingkat individu lebih gampang, sangat gampang untuk bersinar. Aku selalu berpikir Liga Inggris adalah kompetisi yang paling enak ditonton karena lebih banyak gol, lebih banyak peluang, lebih banyak kejutan. Namun sekarang Aku mengerti mengapa lebih banyak gol dan peluang: sepakbola Inggris lebih gila, lepas kendali, semua pemain menyerang, mereka terus merangsek maju.

Kenapa?

Keriuhan penonton menjadi bagian penting. Suporter bersorak dan bek sayap merangsek ke depan, lalu bek sayap lainnya berlari kencang ke depan dan teriakan suporter semakin riuh dan riuh. Sesekali ada perasaan kamu tidak punya waktu untuk berpikir, namun ini lebih merupakan sebuah pertanyaan mentalitas: ini perkara intuisi agresif, yang diciptakan oleh suasana pertandingan. Ini akan memotivasi namun juga berarti kamu bisa kehilangan kontrol. Di Spanyol, kerja sama tim lebih terbentuk; lebih banyak perhitungan taktik, lebih banyak kalkulasi posisi. Saat menonton sebuah pertandingan di Inggris—Aku tidak melewatkan setiap pertandingan Arsenal—aku sangat menikmatinya. Bagi seorang penonton, liga Inggris tidak ada bandingannya. Sepakbola Inggris memiliki keistimewaan ini, selain banyak hal hebat lainnya.

Apakah menurutmu itu mudah?

Aku tidak akan mengatakan lebih mudah. Namun jika kita bicara mengenai pemain seperti Özil, pertanyaaanya adalah soal ruang. Pemain sepakbola dengan gaya Spanyol, seperti [David] Silva atau Özil, jika punya waktu dua detik untuk berpikir, mereka akan memberi umpan karena ada ruang kosong. Lihatlah pemain seperti Silva di Inggris dan kamu akan berpikir: "keparat, dia hebat sekali!". Dalam hitungan detik ada ruang dan ada umpan. Di Spanyol, kamu melawan seorang Mario Suarez atau Gabi [keduanya bermain untuk Atlético Madrid] dan betapa hebatnya mereka! Di Spanyol, menutup ruang sangat ditekankan. Sementara di Inggris, permainan sangat cepat sehingga kamu dengan mudah mencari ruang jika kamu pemain bagus.

Xabi Alonso bilang pada Guardian bahwa mentekel bukanlah sebuah kualitas yang dikagumi di Spanyol. Jack Wilshere mengatakan bahwa tekel adalah sebuah hidangan utama di sepakbola Inggris yang tidak boleh hilang. Apakah dua posisi tersebut—sebuah manifesto—merangkum perbedaan sepakbola Inggris dan Spanyol?

Aku dapat memahami kedua pernyataan itu. Aku pikir saat mengatakan hal itu Xabi tidak sedang mengabaikan tekel namun merujuknya sebagai usaha terakhir. Itu terlihat bagaimana kami bermain di Spanyol: pemain belakang tidak menyapu bola secepat yang ia bisa. Di Inggris penyerang menyerbu maju, ping! Dan pemain belakang menyergap cepat, terbang, wheeee! Di Spanyol pemain belakang tidak terlalu cepat melakukan tekel. Bagi Jack, menurutku dia sedang bicara tentang bagaimana orang Inggris senang melihat para pemain belakang yang menerjang dengan tekel. Mereka menyukai itu. Kamu mentekel dan para superter akan bersorak untukmu dan itu akan membuat gentar lawan. Di Inggris, penonton menghargai pemain yang dapat menghentikan permainan. Namun ada seorang pemain yang bermain di kedua liga dan melakukan seni bertahan lebih baik dari semua pemain belakang: [Javier] Mascherano. Masche selalu menjatuhkan diri untuk mentekel dan dia juga selalu bisa mencuri bola dari lawan. Dia suka mentekel tetapi bukan sebagai usaha terakhir, tetapi lebih sebagai suatu keahlian khusus. Bagi dia, tekel adalah sebuah recurso [sesuatu yang harus anda lakukan] dan juga sebuah cualidad [sebuah kualitas, sesuatu yang anda kagumi]. Masche sangat luar biasa, sangat cerdas: dia tahu kapan mentekel, kapan tetap berdiri. Dia adalah pemain yang mengerti bagaimana memainkan sepakbola.

Bagaimana dengan Ramsey dan Wilshere?

Sebagus yang mereka inginkan. Mereka memiliki kualitas saat membawa bola dan mereka juga memiliki kemampuan fisik yang kuat. Stamina Ramsey spektakuler. Dia dan Flamini berada dalam kondisi paling bugar yang pernah aku lihat, mereka mampu menjelajahi lapangan. Wilshere sedikit berbeda dengan tipikal pemain Inggris lainnya. Dia bukan [Steven] Gerrard atau [Frank] Lampard, dia lebih sebagai pengumpan jarak pendek, seoarang "tocador"; pemain yang menggerakkan tim. Ramsey adalah seorang yang kamu tonton dan pikir, “Dia tidak memiliki kualitas spesifik namun dia melakukan segalanya, segalanya, dengan baik.” Sentuhannya sangat bagus, pergerakannya sangat bagus, dan sekarang dia mencetak gol sekaligus memberi umpan. Dia adalah seorang anak yang dalam sebuah tim, mengambil peranan sebagai pemain yang sangat berbahaya. Lebih dari itu, dia sekarang memiliki kepercayaan diri dan tanggung jawab.

Apakah kamu melihat sedikit dari dirimu dalam diri mereka?

Terkadang aku melihat sebaliknya. Saat aku berpikir menjadi kapten, tanggung jawab yang aku pikul, dan aku terkejut: bagaimana seorang seperti Ramsey melihat diriku? Aku menonton bagaimana Ramsey bermain sekarang, bagaimana dia terlihat bermain sangat lepas dan aku berpikir mungkin aku menutup jalannya. Aku bisa jadi menjadi sebuah halangan bagi perkembangannya. Terkadang seseorang harus pergi untuk memberi jalan agar yang lain berkembang dan mengatakan: “Aku di sini”. Saat Aku bicara tentang Ramsey, ini hanyalah sebuah contoh, anak itu mendapat cedera juga—aku dapat mengatakan hal yang sama untuk Jack. Yang sedang aku katakan adalah sebuah konsep, sebuah ide untuk tumbuh bagi seorang pemain. Tidak adanya halangan mental itu sangat penting. Keduanya memiliki masa depan yang cerah.

Dengan Manchester United yang sedang kesulitan, apakah ini kesempatan langka bagi Arsenal untuk memenangi liga?

Haha! Orang selalu punya opini United mengalami kemunduran.... sebuah penurunan, penurunan dan masa kejayaannya akan berakhir, akan berlalu...Tetapi mereka selalu berada di atas. Kamu jangan percaya mereka. Sepuluh tahun lalu aku tiba di Inggris dan sepanjang itu aku terkejut, selama 10 tahun orang mengatakan: “Lihatlah, tahun ini Manchester akan hancur”. Namun hal itu tak pernah terjadi. Ini adalah salah satu pertempuran yang aku menyerah beberapa waktu lalu. Kapanpun orang bilang kepadaku: "Manchester tidak akan sama tahun ini," Aku bilang: "Tidak, tidak, tidak, Manchester pasti akan berada di atas."

Related Posts:

Sepakbola dan Agama di Stadion Imam Bonjol

Oleh Darmanto Simaepa

Sepakbola dan agama bisa sangat dekat di Sumatra Barat. Dalam kompetisi kelompok umur di lapangan Imam Bonjol, Padang, wasit akan meniup peluit ketika terdengar suara adzan dari masjid yang jauh. Bahkan ketika suara derum dan klakson mobil di seberang jalan lebih keras atau petikan gitar dan nyanyian anak-anak muda di tribun yang lebih mengganggu kenikmatan menyaksikan pertandingan anak-anak usia belasan itu, wasit masih bisa mengenali suara berbahasa Arab dari pengeras suara itu. Disini, suara adzan menyerupai time-out dalam basket. Selama Muadzin menyerukan panggilan, para pemain menepi, menengguk air mineral atau mendengar pelatihnya memberi instruksi. Bagi yang bermain buruk, paling tidak sedikit caci maki. Memanglah ini Padang bukanlah kasus yang khusus sepakbola berhenti karena suara Adzan. Tetapi ditempat lain, biasanya pertandingan akan berhenti bila sholat Maghrib tiba.

Di hari Minggu, ketika saya bisa menonton pertandingan dari awal, anak-anak usia 10-17 tahun yang akan bermain terlihat seperti sebuah kelompok mengaji. Setelah memakai kostum dan dek pelindung tulang kering, mereka menuju pelatihnya yang ada di sudut tribun penonton. Anak-anak itu berbaris rapi, berjalan pelan dan bergantian memberikan salam kepada pelatihnya. Salam yang mengingatkan seorang bocah di teras rumah yang akan berangkat mengaji: bagian luar telapak tangan pelatih ditempelkan ke dahi. Pertandingan akan di mulai setengah jam lagi. Waktu yang cukup kita gunakan membaca 2 cerita pendek di koran minggu akan dibuka dengan ucapan salam dari pelatih. Setelah memberi arahan teknis, menyeleksi cadangan, dan memotivasi pemain, dia akan menuntun doa bersama. Setelah itu giliran pengurus klub yang memberi petuahnya. Sekali saya mencuri dengar, pengurus itu berkata, ’main elok-elok yo, samo awak ka pai ka surau’ (main sebagus mungkin, ibarat kita pergi ke surau).

Sebelum seorang pemain menendang bola pertama kali, dia harus berdoa setidaknya 3 kali. Saya cukup penasaran hingga harus bertanya kepada seorang perwira Militer yang menjadi ketua panitia kejuaraan itu. ’Selain prestasi, kompetisi ini,’ sang Kolonel menjelaskan, ’untuk mendidik anak-anak menjadi saleh’. Alasan itulah yang menyebabkan, setiap pertandingan menghindari hari Jumat. Selain itu jadwal kompetisi—yang menggelar 2 pertandingan sehari—dimulai pukul 14.00.-17.30. Ini dilakukan dengan tujuan, menghindari anak-anak itu meninggalkan ibadah sholat.

Keterangan itu membuat saya berharap kompetisi ini bergairah, kompetitif, sekaligus santun dan sangat fair. Saya menonton kompetisi ini setiap Minggu, Selasa dan Kamis. Di dua pertandingan kelompok umur 15 yang saya tonton, seorang pelatih dari pinggiran kota mengeluh, lawannya mencuri umur. Dalam sebuah pertandingan yang tidak seimbang itu, tim Sungai Buluh yang dilatihnya terlihat jauh lebih muda dari lawannya. ’bahkan, tim sebelah, sudah mulai berkumis semua’, gerutunya. Dia membawa tim paling tua umur 14. Bahkan sayap kirinya yang lincah dan berteknik tinggi masih berumur 10 tahun. Dalam dua sentuhan pertama, si bocah itu membuat kontrol bola sempurna, menekuk si kulit bundar dengan bagian dalam kaki, menggeser pinggulnya dan dengan sentuhan pelan mengelabui lawannya. Tetapi beberapa saat kemudian ketika harus melakukan sprint panjang, sebelum setengah perjalanan, dia harus memegang erat-erat pinggangnya.

Di pertandingan kelompok umur 17, saya menyaksikan sebuah tim yang mengurung lawannya sepertiga lapangan sepanjang 90 menit. Bukan karena tim ini bermain possesion ala Barcelona. Hal ini terjadi karena lawan tidak bisa menendang bola melewati garis tengah dari zona bebas kiper. Sepanjang pertandingan itu, striker tim itu bahkan capek karena menganggur dan berdiri menunggu bola dari gelandangnya.

Saya kira, kompetisi itu diatur dengan sangat bagus. Wasit, panpel, tenaga medis, dan aturan-aturan bola standar diterapkan. Bahkan disini, ada wasit cadangan dengan pakaian ala wasit Liga Indonesia dan sepatu seri Adicare yang asli. Aturan-aturan sepakbolanyapun dijalankan sangat ketat. Para pemain tidak boleh minum di luar lapangan. Berkali-kali panitia mengingatkan pelatih untuk tidak kelewat batas untuk beralih dari areanya untuk memberi instruksi. Dalam sebuah adu penalti, tidak ada penonton yang tertarik bergerak masuk ke lapangan.

Namun, dalam banyak segi turnamen ini belum melindungi pemain. Disparitas satu tim dengan tim yang lain begitu terlihat. Dalam kelompok umur 17, salah satu tim berusia 17 tahun semua (bahkan saya menduga, beberapa orang sudah melewatinya), sementara tim yang lain dikelompok umur yang sama ada yang berumur rata-rata 14-15. perbedaan mencolok terlihat di kelompok umur 15. Ada satu tim yang, dengan spekulasi kasar melalui pengamatan postur tubuh, rata-rata lebih dari 15 (beberapa mengaku sudah SMU), sementara tim yang dilawannya, sebagian besar anak kelas 5 SD.

Maka tidak mengherankan, dalam dua pertandingan minggu ini, 2 orang anak bertubuh mungil dari klub Taruna Mandiri terkapar pingsan karena bertubrukan dengan pemain yang lebih besar. Saya tidak tahu persis, mekanisme panitia dalam menyeleksi tim-tim yang bertanding dan menghindari ketimpangan struktur umur dan postur pemain. Ketika saya tanyakan pada seorang pengurus klub di dekat saya, panitia tidak rinci dalam menyeleksi umur pemain. Keputusan untuk menyeleksi pemain diserahkan klubnya masing-masing.

Celah ini dimanfaatkan oleh klub-klub yang memiliki skuad besar dan berjenjang dari kelompok umur 13, 15, dan 17. Mereka dapat menampilkan tim dengan usia dan postur tubuh serta kemampuan teknik bola yang merata. Sementara tim-tim dari pinggiran kota Padang terpaksa menurunkan pemain-pemain berusia 10 tahun untuk melawan tim-tim yang berusia 15 tahun. Tentu saja ini panitia tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Akan tetapi sangat perlu untuk melindungi anak-anak yang memiliki hasrat bermain bola tinggi tetapi secara fisik mereka belum bertanding dalam atmosfer yang belum mereka mainkan. Seseorang mungkin akan berpendapat lain, kompetisi seperti ini dapat memberi kompetisi sesungguhnya sejak dini. Bukankah di sepakbola profesional, Syamsul Muarif dari Lamongan harus berani berduel dengan Abanda Herman? Atau Keith Kayamba yang umurnya hampir 2 kali lipat Stevie Bonsapia bisa bertarung bersama? Saya tetap berpendapat pemain diusia belasan itu harus bertanding sesuai levelnya, baik umur maupun fisik! Jelas, sangat sedih melihat anak-anak yang lebih kecil lebih sering menahan naik betis (kram) di kakinya sebelum pertandingan berakhir.

Dalam sebuah pertandingan yang lain, saya terkejut menyaksikan sebuah tim yang terus berbicara kepada wasit. Remaja-remaja ini berteriak keras ketika terjatuh atau berbenturan dengan lawan. Mereka terus menaikkan tangannya dan berteriak ’wasit, baa ko!’. Sepanjang 90 menit, mereka melontarkan keluhan dan meminta tendangan bebas atau penalti. Di hari yang lain, saya menyaksikan banyak insiden terjadi. Dalam interval 3 menit selalu ada pemain yang memegangi lututnya, atau berguling-guling lima meter jauhnya dari tempat ia terjatuh. Dapat dikatakan, tidak ada pertandingan yang mudah bagi anak-anak itu. Seringkali kekerasan yang terjadi di Liga Indonesia terulang dilapangan yang saya tonton. Untunglah, wasitnya cukup tahu trik-trik murahan ini. Berpura-pura, diving, dan mengulur waktu seperti pemain Intermilan bukanlah pelajaran yang baik untuk anak-anak itu.

Saya tidak yakin mereka sering mononton liga Italia (tidak ada stasiun TV kita yang menyiarkannya). Di tahun 2000-an, remaja-remaja ini masih balita sehingga saya tidak yakin mereka mengenali bibir Inzaghi yang mencibir atau kibasan tangan Totti kepada wasit. Sama tidak yakinnya, mereka mendapat pemahaman ini dari pelatih-pelatih yang tangannya mereka cium setiap hari. Sikap ’oportunis’ tersebut jelas memperlihatkan sesuatu yang lebih luas, anak-anak itu sudah masuk ke dalam perangkap memenangkan pertandingan dengan cara yang kita semua tidak inginkan.

Diluar masalah-masalah kecil, saya menikmati kompetisi ini. Secara teratur, saya datang ke lapangan Imam Bonjol dan melihat anak-anak itu membuat tendangan chip melambung melewati kiper, bertengkar dan lalu menangis, bicara ’pantek’ kepada wasit ketika si pengadil tidak memperhatikan, mencoba trik peladada ala Ronaldo dan kemudian kehilangan keseimbangan dan terpeleset, kapten-kapten kecil memberi instruksi, seorang bocah membuang peluang yang langka dan diseberang lapangan, teman-temanya serentak spontan mengatakan ’ondehhhh’, seorang anak yang sangat pede, menyalami penjaga gawang lawan sebelum menendang penalti, dan ketika gagal, setelah peluit panjang berbunyi, langsung ngacir naik angkotan sendiri meninggalkan teman-temannya.

Saya menikmati setiap pertandingan kompetisi itu dan terus memikirkan, mengurusi sepakbola bisa jadi lebih rumit dari urusan agama. Seorang dai bisa saja berumur 10 tahun (yang kita sebut dengan dai cilik), atau seorang imam Sholat bisa bertahan dari umur 20 tahun sampai mati. Tetapi jelas sebuah tindakan yang tidak bijaksana mempertandingkan pemain umur 11 tahun dengan remaja 17 tahun. Saya mengerti, di sebuah kota yang memiliki semboyan ’adat bersandi syara’, syara’ bersandi kitabullah’, sepakbola harus mencirikan sikap religius. Tetapi, dengan melihat bagaimana sebuah pertandingan berlangsung di Imam Bonjol, ada jarak yang tak terpamanai untuk dimengerti bagaimana kaitan antara menendang bola dengan kata ’adat’ dan ’kitabullah’.

Dan akhirnya, saya punya kesimpulan sederhana. Sebuah tim sepakbola ternyata sangat berbeda dari sebuah kelompok mengaji. Seorang bocah bersujud syukur sehabis mencetak gol. Pemain lain bergaya seperti Kaka terhadap Jesus. Tetapi sepakbola tidak melulu persoalan doa dan syukur. Saya lebih menyukai istilah ini: anda dibawa atmosfer, yang barangkali mirip ekstase para Darwis di Asia Kecil. Dalam sebuah pertandingan, sedikit dari bocah itu mungkin akan terus bermain sportif, bersemangat dan menghormati lawan, seperti yang diinginkan panitia dan orang tua mereka. Tetapi sekelompok yang lain mungkin akan mengabaikan salam, doa-doa yang mereka panjatkan, lantas menjadi orang yang sama sekali berbeda ketika di lapangan. Sebagian lain mungkin sudah menyiapkan trik, diving, permainan kotor, atau sikuan terhadap rivalnya di sekolah lain sebelum mereka khusuk berdoa tiga kali.

Di luar Sumatra Barat, sepakbola bisa menjadi lebih akrab dengan agama. Tetapi yang jelas itu bukan karena salam cium tangan dan doa-doa di awal pertandingan yang bocah-bocah itu panjatkan. Bukan juga ketika, wasit menghentikan pertandingan agar pemain (dan penonton) takzim mendengarkan suara Adzan!

Related Posts:

Salju. Casillas. Teka-teki.

Oleh Darmanto Simaepa

Di Vorschoten, salju turun pelan di luar jendela. Kristal air itu melayang-layang dibuai angin ujung Maret di antara ranting poplar yang rindang dan kaku. Sesekali ia menabrak dinding bata atau menelusup di sela-sela daun geranium di balkon berkaca. Lalu terbang lagi entah kemana. Cerah sinar matahari terbias di sudut partikel serbuk-beku itu dengan latar biru. Sepanjang cakrawala, langit terlihat jernih dihujani kapas putih yang terserap musnah ketika jatuh ke tanah. Waktu terperangkap dalam udara dingin, seperti arus di kanal-kanal Rhine yang membatu.

Ah, hawa dan suasana! Selalu ada masa di mana lanskap musim dingin diluar jendela justru membuat ingatan mengalir seperti arus sungai Danube pada musim semi di Praha. Radio Carolina dan lagu-lagu Kla. Pangeran Kecil dan Rubahnya. Keramahan-kerumitan Pedalaman Siberut dan kehangatan Yogyakarta. Amis-bacin pasar ikan Babat dan manis-asin acar Kerala. Keranjang dagang ibu dan selembar foto berdebu. Naifnya Aureliano Buendia dan gigihnya Santiago. Bau ammonia laboratorium ekologi dan ruap pesing kamar mandi B-21. Bau keringat Aman Gozi, asap rokok Aman Letang dan aroma humus tipis-tropis terasa dekat sekali.

Tentu saja ada sepatu dan kostum sepakbola. Namun, Casillas datang tiba-tiba.

****

Kiper, seperti yang dialami dan ditulis Camus, adalah seseorang yang soliter. Seseorang yang berada di jauh garis riuh permainan ketika gol kemenangan dicetak ke gawang lawan. Tetapi, seseorang yang sangat dekat dengan ancaman, ketika kesalahan dan ketidaktepatan mengantisipasi tembakan musuh mengantarkan caci-maki kekalahan. Dalam sepakbola modern, kata Galeano, satu-satunya yang ia bisa lakukan untuk menghibur diri adalah memakai kostum warna-warni.

Casillas paling tepat mewakili gambaran kesunyian mistar gawang dan kostum warna-warni. Ia bukan sejenis pria Denmark di Manchester yang membuka lebar mulutnya sesering merentangkan tangan laba-labanya. Ia tidak memasang wajah beringas dan otot trisep yang kekar ala Kahn dan Schumacer—sehingga lawan enggan mendekatinya. Ia bukan seperti Buffon yang berteriak lantang dan mengguncang kepala wajah kaptennya. Tapi kadang ia mengenakan kaos merah jambu atau oranye.

Ciri khas yang mudah dikenali hanyalah saat ia mengetuk mistar dengan pul sepatu dengan sepakan kuda. Atau meloncat, menyentuh mistar sebelum peluit pertama dibunyikan. Selebihnya, sarung tangan dan ketenanganlah yang menunjukkan segala tentang siapa dirinya.

****

Musim dingin ini adalah periode yang paling sulit dalam karirnya. Ia memang pernah kalah bersaing setengah musim dengan Cesar Sanchez sehingga tidak main di final Champion 2002. Sepuluh tahun tak pernah absen, sekaligus menjadi kapten. Tiba-tiba, di akhir Desember ia kehilangan status kepemimpinan. Lantas menjadi cadangan. Lalu cedera.

Saya tidak tahu persis siapa Casillas—saya bukan penggemarnya. Yang saya ingat persis, adalah wajahnya yang tertunduk gelisah melihat orang lain berada di bawah mistar timnya—untuk pertama kalinya. Kaus kaki oranye dan handuk cerahnya tak bisa mengalihkan wajahnya yang muram dalam remang bangku cadangan.

Saya tidak begitu ingat kapan ia pernah histeris. Koleksi wawancara Fourfourtwo dan Champions tidak pernah memberikan wawancara eksklusif tentang perasaannya sebagai pemenang. Ia seperti tetap berdiri sedikit menjauh, ke tempat di mana ‘rumput tak pernah bisa tumbuh’. Bagaimana ia membagi kebahagiaan saat memenangi piala? Saat sunyi-sendiri? Atau saat ia dibangku cadangkan?

Saya berusaha mengingatnya. Tiba-tiba, memori saya kembali di ruangan pers Soccer City. Malam 11 Juli di Johannesburg usai Spanyol memenangi piala dunia. Napas, pandangan mata, dan tubuh Casillas mengatakan segalanya. Sebuah wawancara terbaik yang pernah di dapat oleh pemain sepakbola.

Malam itu, seorang kiper, seorang yang soliter, membagi kesunyian. Dan kebahagiaan.

****

Saya tak pernah sekalipun berimajinasi berdiri mematung di bawah mistar dan menghayati kesendirian. Namun, di balik jendela kamar 138 ini, waktu dan cuaca tiba-tiba membawa tubuh jauh ke garis batas pertahanan—tempat dimana kiper nyaris menghabiskan waktunya, dan senantiasa terjaga sendirian, menguji harga dirinya.

Di hari-hari biasa, ditengah antusiasme, keyakinan, pertemanan dan rencana-rencana, kamu mungkin berpikir menjadi seorang juara. Dan mungkin demikian, karena kamu dengan sungguh-sungguh berlatih dan kerja keras mewujudkannya. Merasakan hujan salju Eropa untuk seseorang yang dibentuk dan dihidupi imajinasi anak kecil pedesaan Jawa di paruh 1980an mungkin sepadan dengan fantasi mengangkat piala dunia bagi seorang bocah kecil di Madrid.

Sambil mengingat suara teman, sebenarnya saya tak berhak mengeluhkan sesuatu yang telah melampaui harapan. Tidak ada lagi yang perlu dipertaruhkan. Hampir semua mimpi remaja telah ditunaikan. ‘Casillas’ dalam bentuknya yang lain telah mendapatkan siklus kemenangan.

****

Namun, ada dimana suatu periode, ketika suasana hati menjadi seburuk periode musim yang sedang berganti dan mengambil alih kendali. Suatu periode dimana kesunyian menemukan cara untuk dibagi. Suatu periode tempat bertemunya pelbagai arus yang sudah datang (keyakinan, kepercayaan diri), arus yang akan datang (kekhawatiran, harapan, imajinasi) bertemu dengan udara tipis dan cahaya lembut matahari.

Membayangkan Casillas seperti berbicara terhadap diri sendiri. Casillas tak perlu lagi membuktikan diri. Namun di awal 30an, ia tengah mengalami ujian masa kematangan. Cedera dan bangku cadangan barangkali adalah berkah terbaik untuk melihat masa lalu dan masa depan dalam satu waktu.

Lantas kenapa Casillas si kiper tiba-tiba muncul ditengah sejumlah rangkaian peristiwa—diruang dan waktu tempat memori, ingatan, harapan dan kenyataan berusaha disatukan ini? Kadang sebuah teka-teki—seperti cara menyelamatkan gawang—lebih butuh untuk dinikmati dari pada diberikan penjelasan.

Related Posts:

Remontada, Semoga!

Oleh Darmanto Simaepa

Satu yang hilang dari generasi kami adalah sejarah remontada
—Xavi Hernandes—

Untuk mengerti apa arti dan makna remontada bagi orang catalan, anda hanya perlu menyaksikan dua menit terakhir video pertandingan semifinal piala Champion edisi 1986 antara Barca dengan IFK Gothenburg di Youtube. Jika cukup jeli, anda bisa menyaksikan Guardiola—saat itu menjadi ballboy—dan kawan-kawannya berlari mengerubungi Urrutia si kiper, setelah menyelamatkan tendangan penalti ke empat, dan kemudian secara histeris berhamburan menelanjangi Victor Munoz yang sukses sebagai penendang terakhir.

Saya berusaha mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Melalui rute kamus Inggris-Spanyol, sulit mengartikan kata kerja transitif seperti to ‘recover’, to ‘get over’ atau to ‘comeback’ atau kata benda yang bercorak feminine ‘recovery’ ke dalam konteks tulisan ini. Akhirnya, remontada saya terjemahkan sebagai ‘pembalasan’, meski kata ini lebih punya konotasi dengan sikap agresif dan berasosiasi dengan perasaan marah atau kurang puas (seperti tercantum dalam frase ‘balas dendam’).

Istilah remontada populer di Spanyol setelah kompetisi Eropa memainkan pertandingan dua kali, tandang-kandang. Tim yang dipertandingan pertama kalah, biasanya dengan selisih gol mencolok atau melalui pertandingan dramatis, dan kemudian menang di pertandingan kedua, dikatakan melakukan remontada. Namun, istilah ini tidak selalu harus dikaitkan dengan pertandingan tandang-kandang. Istilah ini lebih cocok untuk menggambarkan situasi dimana sebuah tim memutar atau membalikkan keadaan yang tidak mungkin pasca-kekalahan dalam satu pertandingan atau dalam sejumlah pertandingan, menjadi sebuah kemenangan dramatis.

MU, Juventus, dan yang paling kerap disebut-sebut, Real Madrid adalah tim yang lekat dengan tradisi ini remontada. Tim-tim yang dianggap memiliki semangat remontada memiliki kualitas anti-menyerah dan tradisi heroik. Madrid menang 5-1 setelah kalah 1-4 dari Derby County dan Steua Bucharest pada tahun 1976 dan 1983 digunakan sebagai contoh tentang Remontada. Juga, apa yang dilakukan MU di Nou Camp 1999 atau Liverpool di Istanbul 2005 adalah manifestasi terbaik dari istilah ini.

Barca hanya sedikit memiliki sejarah remontada--salah satunya ya, itu tadi, membalas kekalahan 0-3 di Gotheburg dan kemudian menang adu pinalti. Tim ini, seperti yang Franklin Foer tulis dengan bagus, meskipun di suatu masa memiliki pemain yang brilian dan etos perjuangan, tetapi mereka lebih mewakili tradisi romantik daripada heroik. Sepanjang sejarahnya, Barca lebih lekat dengan melankolia kekalahan dari pada histeria kemenangan.

Jikapun mereka menciptakan dua generasi tim yang menciptakan sepakbola ‘terbaik’ dalam seperempat abad terakhir—melalui Cruijf dan Guardiola—kemenangan mereka diciptakan lebih banyak melalui kerja-kerja artis tingkat tinggi yang mengandalkan umpan presisi dan akurasi dan bukan didasarkan etos perjuangan dan petarungan, yang dalam bahasanya Bill Shankly, ‘melampui urusan hidup dan mati’.

Tentu saja kesuksesan Pep, Rijkaard dan lainnya sangat ditentukan kerja keras melebihi tim lain. Tetapi kerja keras dalam definisi ini berbeda dengan kerja keras yang diciptakan oleh Lobanovsky di Kiev, Fergie di MU atau Capello di Milan. Hal ini tercermin dari jenis taktik yang dianut dan gaya main diatas lapangan. Barca terobsesi mengalirkan bola selembut mungkin, bahkan kalau perlu tanpa harus berkeringat.

Konon, obsesi menerjemahkan sejenis lukisan Picasso di atas lapangan rumput inilah yang menyebabkan Barca bukanlah tim dengan tradisi yang optimis setelah kekalahan yang menyakitkan. Sangat gampang menemukan wajah murung Iniesta atau Xavi di lapangan setelah rentetan kekalahan dalam pekan-pekan belakangan ini. Kekalahan dari Chelsea tahun lalu adalah gejala yang masih mudah kita ingat. Keruntuhan the Dream Team saat dipecundangi Milan dalam ‘musim semi Athena’ 1994 adalah salah satu contoh terbaiknya.

Pernyataan Xavi diatas, dari wawancaranya di ruangan pers pasca kekalahan dari Milan, menunjukkan bahwa timnya sedang mengubah arus sejarah. Di wawancara lain Roura dan Rossel berusaha optimis untuk menciptakanversi terbaru dari remontada. Namun, berkali-kali saya menyaksikan videonya, ungkapan-ungkapan mereka untuk bangkit terasa tidak meyakinkan. Diatas lapangan, lebih terasa lagi. Barca, tidak hanya kehilangan 9 poin dalam satu pekan, tetapi juga mulai kehilangan keyakinan dengan gaya permainan.

Setelah kalah dari Madrid di Nou Camp tahun lalu, saya berspekulasi, siklus Barca akan berakhir. Sebuah tim besar sulit mempertahankan permainan terbaik dalam jangka waktu lebih 4-5 tahun. Botafogo di tahun 1960an, Ajax dan Muenchen 1970an, Flamengo, Milan dan Barca satu dekade kemudian hanya bertahan dalam siklus 3-5 tahun.

Kalaupun Villanova mampu membawa rekor demi rekor untuk Barca musim ini, itu lebih karena Mou dan orang-orang Madrid tidak becus memanfaatkan momentum kemerosotan Barca untuk membentangkan layarnya, menyambut nasib baik di ufuk cakrawala yang menunggu mereka. Mereka sibuk cekcok di lembaran koran Marca atau As, dan mengorbankan seorang Aidan untuk membuktikan siapa yang paling berkuasa di kamar ganti.

Sementara Alegri sudah menemukan vaksin anti tiki-taka, inovasi taktik Barca telah mencapai titik jenuhnya. Seiring dengan menurunnya fisik Puyol, merosotnya daya imajinasi Xavi, dan ketimpangan kualitas penyerang di sekeliling Messi, semua pemain asal Spanyol dalam generasi ini kehilangan rasa lapar akan gelar—mereka tidak perlu menambah apapun dalam daftar medali dilemari.

*****

Meskipun saya tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan Xavi, saya melihat ada celah bagi barca untuk mengubah cuaca muram di Catalan. Ya, benar sekali: satu hal yang akan menyempurnakan satu siklus tim terbaik dalam sejarah sepakbola, itu tidak lain adalah remontada. Barca, saya rasa tidak membutuhkan trofi Champion lagi untuk membuktikan kebesarannya. Apa yang telah dicapainya, telah melewati ekspektasi dan imajinasi mereka sendiri.

Sebagai penggemar, siklus Barca akan jauh lebih berarti jika mereka mampu menunjukkan dalam satu waktu, sikap untuk mengambil resiko untuk memutar haluan kapal yang memang akan karam. Suatu sikap pertempuran penghabisan dan sejenis gairah untuk melakukan bunuh diri yang terhormat. Pendek kata, sejenis sikap untuk mengambil resiko puputan. Jika mereka berpikir tentang Remontada, saya bayangkan mereka juga berani mengambil resiko untuk kekalahan yang mengerikan. Yang hilang dari permainan sepakbola gaya Catalan adalah sentuhan mengambil resiko menghadapi kekalahan besar.

Kisah Cinderella lima tahun terakhir Barca adalah kisah tentang kalkulasi yang jitu, presisi yang nyaris sempurna, dan kemenangan yang telah bisa diprediksi. Drama tentang sepakbola Catalan terlalu klinis untuk dinikmati. Saya kira saatnya ucapan Xavi menemukan wujudnya di lapangan. Milan hanyalah pemanasan. Pembalasan atas Milan akan menjadi rute yang manis untuk mencari penebusan dari kekalahan beruntun dalam el-clasico. Milan hanyalah target sasaran. Kisah ini akan menjadi lebih lengkap jika mereka punya obsesi untuk melakukan remontada terhadap wajah Janusnya: Real Madrid, di perempat final atau di semifinal.

Yang ada di benak saya begini: Jika Barca berhasil menaklukan Milan, mereka tidak akan lagi gemetar menghadapi psywar Mourinho dan beringasnya Pepe. Mereka akan menang melawan Madrid tanpa ada yang kena kartu merah. Setelahnya, meskipun mereka akan kalah dari Dortmund atau Muencen, atau Juventus di final, Barca telah melengkapi puzzle yang hilang dari sebuah generasi emas pesepakbola yang pernah ada.

Selain itu, semangat remontada ini juga akan membuka kemungkinan ada anak-anak yang, seperti Guardiola kecil 30 tahun yang lalu, untuk terlibat dalam arus sejarah sepakbola yang indah

Related Posts:

Roberto Mancini: Aku Senang jadi Manajer, Aku Senang Marah-marah Setiap Hari*


Oleh Daniel Taylor (The Guardian)

Roberto Mancini sedang kembali ke masa kanak-kanaknya dan mencoba mengingat-ingat kapan saat ia tak terlalu terobsesi dengan kemenangan. Akhirnya, disimpulkannya, ia tak menemukannya. Sepupunya harus melewati pengalaman buruk saat Mancini, si bocah sembilan tahun, pada suatu hari, kalah main pingpong. "Ia mengalahkanku," ingat manajer Manchester City itu. “Maka aku lempar batku ke arahnya dan tepat kena kepalanya."

Il Bimbo, begitu mereka biasa memanggilnya di Casteldebole, akademi pemain muda Bologna. Para fotografer masa itu memperlihatkan Mancini dengan rambot coklat yang dibob dan deretan kumis tipis pertamanya. "Si Bocah" itu berumur 13, paling muda di akademi tersebut. “Itu 35 tahun lalu, tapi aku masih mengingatnya dengan baik," katanya. "Saat kau meninggalkan keluaganya di usia semuda itu, itu membuatmu jadi kuat dengan cepat. Aku punya masalah besar di tahun pertama. Aku rindu keluargaku. Aku tak bahagia. Itu sulit. Aku ingat pada hari pertamaku di sekolah baru. Aku lihat, kuputuskan tidak menyukainya, lalu aku ngeloyor pergi. Mereka membuatku kembali keesokan harinya dan aku mendapati diriku tak bisa lari lagi. Untuk satu tahun itu sangat sulit. Bayangkan, 13 tahun, meninggalkan rumah. Tapi aku tetap di situ."

Itu adalah jenis cerita yang mungkin menolong untuk menjelaskan betapa kerasnya ia terhadap para pemainnya saat ia menyangka mereka tak memperlakukan karirnya dengan cukup serius. Ia telah, bagaimanapun, mengorbankan dirinya. Ia juga, sebagaimana diakuinya, seorang yang sulit dihibur jika sudah kalah. "Aku selalu sama. Aku punya mentalitas yang sama bahkan sejak aku masih main bola dengan teman-temanku di SD. Aku ingin menang. Aku cuma mau menang. Aku tak suka ambil bagian pada apapun dan tidak jadi juara."

Kami ngobrol di gerai Etihad di Bandara Manchester, saat Mancini membayangkan City berangkat pada pertandingan hari Minggu melawan Chelsea dengan 15 poin di belakang Manchester United dan dengan cepat tak lagi kelihatan di kaca spion mereka. Ada frustrasi, bantahan, juga sedikit amarah. Mancini, yang segera tampak, jadi mudah tersinggung dengan perdebatan soal posisinya manajerialnya yang berkepanjangan. Dia bicara tentang pemain-pemain yang "berpikir cukup dengan bermain 50%". Juga kritikan paling segar terhadap Samir Nasri dan, yang kurang merebak, Joe Hart.

Belum lagi kalimatnya yang lebih tajam yang ditujukan secara tidak langsung kepada sasaran lamanya, Brian Marwood, yang hingga Oktober lalu bertanggungjawab atas urusan transfer City. "Penting kiranya untuk tahu kalau kami melakukan beberapa kesalahan. Aku melakukan beberapa kesalahan, demikian juga pemain. Namun, alasan utama adalah sebab kami tak melakukan apa yang harus dilakukan pada pasar transfer musim panas—kami bekerja sangat buruk di pasaran."

Musim panas depan, dengan Ferran Soriano dan Txiki Beguiristain sebagai pengontrol rekrutmen, Mancini berharap dan membayangkan akan berbeda—namun di situ juga terungkap cara pandang seorang Mancini sebagai politisi, orang yang di akhir wawancara berkata bahwa suatu hari dia berencana untuk jadi seorang direktur klub sepakbola. Sebuah kerjapan jengkel pada dua jam bersamanya muncul saat aku bertanya bagaimana cara dia bekerja sama dengan dua orang di atasnya itu. "Txiki dan Ferran? Mereka tidak di atasku," sergahnya. "Yang di atasku cuma Khaldoon (Al Mubarak) dan Sheikh Mansour."

Yang patut digarisbawahi adalah ucapan Mancini tentang chief executive dan direktur sepakbola City yang baru, yang sangat berbeda dibanding para pendahulunya. "Ferran datang dari Barcelona dan mengerti apa yang dibutuhkan untuk jadi klub top. Txiki main bola dan tahu sepakbola. Mereka orang baik. Untuk alasan ini, aku optimistis dengan masa depan kami. Kami sekarang punya orang-orang yang tahu sepakbola. Kami butuh beberapa pemain dan mereka sedang mengusahakannya. Pada saat ini, adalah lebih baik fokus kami pada tiga bulan terakhir, tapi klub tahu (soal) itu dan aku tahu itu."

Edinson Cavani adalah pilihan pertamanya. "Aku menyukainya, tapi seluruh dunia juga menginginkannya. Ada beberapa pemain bagus. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. (Luis) Suarez bermain untuk klub top macam Liverpool. Cavani bermain untuk Napoli. Ada (Radamel) Falcao, tapi, sekali lagi, seluruh manajer juga menyukainya. Neymar juga pemain bagus, masih muda, dan aku tak tahu apakah dia siap untuk bermain di Inggris, mengingat di sini sepakbolanya sama sekali berbeda. Aku kira dia akan ke Barcelona atau Madrid, yang sepakbolanya lebih taktis. Tapi Cavani dan Falcao akan bagus di Inggris. Mereka punya pengalaman. Keduanya berumur 26, 27. Mereka akan cukup bagus untuk bermain di Inggris."

Ia curiga bahwa beberapa pemain yang memenangkan gelar liga musim lalu sudah dimabuk rasa puas. Nasri adalah contoh untuk ini. "Aku pikir Samir punya kualitas fantastis. Dengan kualitas yang dimilikinya, dia seharusnya selalu bermain bagus. Setiap game dia harus menyajikan hal berbeda. Pemain dengan kualitas macam itu seharusnya jadi salah satu pemain terbaik di Eropa. Tapi itu tak terjadi.

"Kadang seorang pemain berpikir sudah merasa cukup dengan apa yang mereka lakukan pada musim sebelumnya dan tidak paham bahwa setiap hari dia harus berkembang. Jika kau pemain top kau tahu kau bisa berkembang sampai hari terakhir karirmu, tapi kadang kau dapat pemain yang berpikir kalau kerja itu tidak penting dan inilah kesalahan terburuk mereka. Samir bisa melakukan lebih baik dibanding tahun ini. Dia pemain top, tapi dia tak bermain di levelnya."

Dia menunjuk Pablo Zabaleta bisa jadi adalah pemain City dengan penampilan terbaik—"Dia bermain sangat sangat baik"—namun Pablo terlalu sedikit memiliki pesain.  Menyangkut Hart, ia langsung mengacu pada rekam jejak. "Dengar, aku mempercayai Joe saat tak seorang pun mempercayainya. Aku taruh ia di gawang saat semua orang berpikir bahwa mustahil ia bisa bersaing dengan Shay Given, yang pada saat itu merupakan salah satu penjaga gawang terbaik di Eropa. Aku suka Joe. Jika tidak, aku tak akan memasukkanya ke tim dua tahun lalu.

"Tapi sederhana saja. Jika Joe terus-terusan melakukan kesalahan, dia akan terdampar di bangku cadangan. Aku melakukan itu terhadap Samir, (David) Silva, dan (Carlos) Tevez musim ini dan itu bisa saja terjadi pada Joe. Masalahnya, jika penjaga gawang melakukan kesalahan, kami akan kalah. Joe memiliki kualitas untuk jadi penjaga gawang terbaik. Dia penjaga gawang terbaik di Inggris. Namun, untuk situasi Manchester City, jika kau ingin tetap berada di puncak, kau butuh kerja keras dan hanya memikirkan sepakbola. Dia musti hanya memikirkan pekerjaannya dan jadi penjaga gawang."

Adalah tak lazim mendengar seorang manajer yang dengan sadar mempertanyakan kemampuan pemainnya ke khalayak. Itu berbeda, sebut saja, dengan manajer macam Arsene Wenger, yang akan selalu mencoba melindungi pemainnya pada saat-saat sulit. "Tapi aku bukan Arsene Wenger. Kami berbeda. Aku ingin menang. Aku rasa setiap pemain harus cukup kuat untuk ambil tanggung jawab dan, dengan cara ini, kau bisa berkembang. Kau tak bisa berkembang jika kau punya manajer yang bilang, ‘ah, tak usah kuatir, kau lakukan kesalahan dan itu tak masalah.’”

Pembicaraan kemudian beralih soal posisinya sebagai manajer City. Tidakkah dia terganggu karena berita (soal penggantiannya) itu terus saja muncul? "Aku tidak paham. Serius, alasannya apa? Sejak kami mulai, pada Mei 2011, Manchester City adalah tim terbaik di Inggris, ya nggak? Kami memenangi tiga tropi, MU dua, Chelsea dua, Liverpool satu. Tak ada tim yang pialanya melebihi kami.

"Sekarang kami ada di posisi dua dan masih melaju di Piala FA. Kami berharap kami bisa memenangkan liga dan tak pernah berkata tidak bisa. Tapi, jika kami finis kedua, oke, kami melakukan beberapa kesalahan tapi kami tetap saja telah melakukan kerja bagus jika dalam tiga tahun kami finis nomor dua, satu, lalu dua. Makanya, aku tetap tak mengerti. Aku baru mengerti jika kami tak memenangkan apapun dalam tiga tahun. Itu akan sulit bagiku untuk tetap tinggal, sebab aku tak bisa berada di dalam sebuah tim yang aku tak bisa bekerja dengan baik. Namun aku telah melakukan kerja bagus di sini."

Dalam jumpa persnya pada hari Jumat, Mancini ditanya tentang laporan yang menghubung-hubungkan City dengan manajer Malaga, Manuel Pellegrini. "Persetan," katanya. "Aku tak bisa jawab pertanyaan soal itu."  
Chelsea, katanya, menunjukkan bahwa gonta-ganti manajer tak selalu ada gunanya. "Bagiku, Carlo (Ancelotti) adalah kasus yang aneh. Carlo adalah salah satu manajer terbaik di dunia, itu pendapatku. Ia memenangi liga dan Piala FA dan kemudian mereka memecatnya. Sulit bagi klub yang berganti manajer setiap tahun, setiap dua tahun. Keadaan (Sir Alex) Ferguson benar-benar berbeda, sebab ia mulai bekerja untuk United di zaman yang berbeda. Kini ia seperti kursi di stadion, seperti rumput di lapangan. Dia adalah bagian dari United.

“Aku ingin meneruskan pekerjaanku. Aku selalu ingin bekerja di Inggris. Oke, Manchester memang bukan Roma, tempat di mana matahari terus bersinar. Keduanya kota yang berbeda. Hujan memang jadi masalah, tapi apakah aku menyukai Manchester? Ya. Aku kerasan di sini. Boleh jadi tak ada 100 restoran di sini, tapi itu bukan soal. Aku suka putar-putar dengan sepedaku. Saat itulah aku lakukan apa yang aku pikirkan. Dua atau tiga jam di jalanan. Itu saat kau memperoleh waktu luang dan kau bisa berpikir tanpa ada gangguan. Aku tahu Alderley Edge, Wilmslow, Hale. Asyik. Istriku juga suka. Sesekali kami pergi ke London untuk lihat-lihat. Aku suka dengan masyarakat di sini sebab mereka membiarkanmu lewat. Kadangkala mereka minta tandatangan, tapi mereka menghormatimu.

"Di Italia, persnya beda. Di sana, semua jurnalis berpikir seakan mereka semua adalah manajer. Bukan cuma jurnalis, sebenarnya. Kami punya 55 juta manajer sepakbola di Italia. Di Inggris beda. Bolehjadi pers Inggris suka ingin tahu lebih soal kehidupan pribadi pelaku sepakbola, tapi itu tak masalah buatku. Inggris adalah tempat yang diinginkan setiap manajer, di depan 40 atau 50 ribu orang di setiap pekan. Itu indah."

Ngomong soal pers membawa kami kepada soal Mario Balotelli. "Mario sudah tak di sini lagi, itu pasti jadi masalah besar buat paparazzi dan The Sun," kata Mancini, menyeringai. "Aku bahagia untuknya atas gol-gol yang dicetaknya buat Milan sekarang. Aku yakin dia akan mencetak lebih banyak gol, sebab di Italia kompetisinya tak sesulit di Inggris. Dalam 10 tahun terakhir, sepakbola Italia begitu-begitu saja. Untuknya, itu lebih mudah. Ia lahir di sana. Ia tahu sepakbola Italia.

"Aku cuma berpikir Mario tidak mengerti bahwa, untuknya, Manchester City adalah kesempatan yang sangat, sangat besar. Ia tak berpikir soal itu, ia tak berpikir soal masa depannya. Ia anak baik. Ia tidak lagi 16, tapi 22 tahun tetap saja masih muda. Dan kalau kau masih muda, kau melakukan kesalahan.

"Mario punya masa-masa susah saat dia kecil. Itu alasan penting kenapa dia seperti itu. Dia beruntung karena menemukan sebuah keluarga yang baik, tapi pada umur 22 kau tak akan punya pengalaman hidup layaknya seseorang yang berumur 35. Aku mencoba memberikannya segala yang aku bisa. Ia seperti anakku sendiri. Aku mohon maaf sebab kupikir Mario bisa memberikan lebih bagi Manchester City. Tapi kami telah memenangkan liga dan Piala FA bersamanya dan itu penting."

Mencari pengganti Balotelli akan menjadi prioritas di musim panas nanti. "Kami bertarung melawan tim macam United yang terbiasa juara setiap tahunnya. Kami tak memiliki pengalaman mereka. Kami butuh kerja keras, tiap hari, tiap minggu, sebab kami butuh berkembang. Tapi di pasar transfer kami sejajar. Kami bekerja dengan buruk (musim panas lalu) dan aku tak tahu kenapa, sebab saat kau memenangi liga itulah saat untuk membawa dua atau tiga pemain top untuk meningkatkan mentalitas tim.

"Pemain baru ingin menunjukkan bahwa mereka lebih baik dibanding pemain lama, dan itu artinya pemain lama harus bermain lebih baik dibanding tahun lalu. Tapi kami tak melakukan itu. Sepakbola penuh dengan sejarah macam begini. Kau memenangkan gelar, kemudian kau pikir sudah cukup bermain 50%. Dan, kau tak memperoleh apa-apa di musim berikutnya. Selalu lebih sulit mempertahankan gelar dibanding merebutnya. Kami mencapai puncak. Persoalannya adalah bagaimana tetap di situ dalam waktu lama. Kau bisa melakukannya hanya jika secara mental kau cukup kuat."

Kalah berebut Robin van Persie dengan MU ternyata menyisakan luka. "Inilah bedanya. Hanya ini. Kami kehilangan 10-15 gol. Dan gol segitu itu bernilai delapan atau sembilan poin. Dan Van Persie adalah pemain United."

Di Southampton, baru-baru ini, Mancini  begitu jijik dengan penampilan timnya, sampai-sampai ia tidak masuk ke ruang ganti pemain seusai pertandingan. Bagaimana ia menghadapi kekalahan buruk macam itu? "Orang Inggris dan orang Italia benar-benar berbeda. Bagi beberapa manajer Inggris, menang atau kalah, begitu pertandingan selesai, ya selesai. Aku tidak begitu. Jika kami kalah, dalam 24 jam, maka di kepalaku hanya ada pikiran: 'Apa salahku? Apa yang kulakukan berbeda? Kenapa kami kalah?' Dalam 24 jam pikiran itu yang berputar-putar di kepalaku. Aku bisa tidur beberapa jam tapi tak bisa lebih lelap. Aku hidup untuk sepakbola. Mustahil untukku menerima kekalahan. Dalam 24 jam itu aku harus paham apa yang sebenarnya terjadi."

Usianya 48. Garis kekuatiran pertama itu muncul di wajahnya yang kecoklatan. Berapa lama ia akan bertahan di manajemen? "Tergantung pikiranku. Ada beberapa posisi yang berbeda di klub sepakbola dan aku bisa melakukan pekerjaan lain. Untuk saat ini, aku senang jadi seorang manajer. Aku senang marah-marah setiap hari. Aku senang melakukan pekerjaan ini mungkin sampai usia 60. Lalu, mungkin kerja dengan seorang ketua klub mana gitu."

Sebelum itu, dia tergelitik dengan kemungkinan untuk memanajeri Inggris pada suatu masa. "Itu bisa terjadi jika mereka ingin menang. Itu menarik. Dan jika aku memanajeri Inggris dan memenangkan Piala Dunia atau Piala Eropa, aku mau dianugerahi gelar ksatria. Tak usah patung, gelar ksatria saja sudah cukup."


*terj. Mahfud Ikhwan

Related Posts: