Oleh Mahfud Ikhwan
Pertandingan di Stadion Luzhniki itu tak menyenangkan secara visual. Permukaan lapangan yang beku dan suhu yang minus 5 derajat meruapkan kabut ke udara, menciptakan sebuah lanskap yang pucat-kusam di layar kaca. Itu mengingatkan saya dengan scene-scene pembuka di film-film Tim Burton. Juga panel-panel halaman pertama di komik-komik DC. Pemain-pemain Madrid, dengan asap yang keluar dari hidung dan mulutnya, masuk ke lapangan, mulai berlari, dan mengumpan dengan rasa enggan—seperti seorang pegawai rendahan yang berangkat ke kantor saat hari hujan.
Di sisi lain, para pemain CSKA, tak terlihat lebih baik. Mungkin tak ada masalah dengan Ignashevich dan pemain-pemain lokal lainnya, juga dengan Wernbloom yang orang Scandinavia, atau Tosic yang Balkan. Tapi bagaimana dengan duo Afrika yang ada di depan, Ahmed Musa dan Seydou Doumbia? Meski berharap mereka sukses dan bahagia dengan karir mereka di Rusia, menonton pemain Afrika bermain di sebuah negeri dengan suhu minus selalu membawa saya mengingat kisah sedih Edward Ayamkyegh, pemain Nigeria yang bermain untuk Lviv di Liga Ukraina dalam tulisan Franklin Foer. Bagaimanapun, melihat orang bermain bola di suhu seperti itu, sama mirisnya dengan melihat buruh yang bekerja di sebuah pabrik yang tak menyediakan kipas angin—sebesar apapun gaji mereka.
Tapi, lebih dari semua itu, pertandingan yang berkesudahan 1-1 itu tak menyenangkan secara emosional.
Selama puluhan tahun, bagi saya, pertandingan-pertandingan di babak knock-out Liga Champions selalu jadi hal-hal yang sulit dilewatkan, apalagi jika itu melibatkan klub hebat macam Madrid. Namun, sejak sore, saya lebih meniatkan tidur siang dan secangkir kopi Blandongan saya untuk pertandingan Napoli vs Chelsea. CSKA vs Madrid akan saya tonton jika itu bisa bikin mata tetap terjaga. Jika tidak, saya mungkin lebih memilih menyicil file film koleksi saya saja. Meski jadi penonton sepakbola yang netral adalah hal yang tak menyenangkan, itulah yang telah saya tentukan sebelum pertandingan CSKA vs Madrid dimulai.
Tapi, benarkah saya penonton yang netral? Sepertinya tidak. Saya berdebar senang saat tendangan Dzagoev tampak membahayakan gawang Casillas. Saya menarik nafas lega saat tendangan Benzema melenceng, meski saya bersimpati dengan cedera ototnya. Saya memaki ketika Ronaldo mencetak gol first time dari kesalahan pemain belakang CSKA. Puncaknya, saya bahkan bertepuk tangan—walau pelan dan hampir diam-diam—saat Wernbloom mencetak gol balasan pada menit ke-92.
Sebagai seorang pemuja antihero yang kadang berlebihan, tepuk tangan untuk CSKA semestinya tindakan yang biasa. Ya, itu tentu akan jadi tepuk tangan biasa, seandainya saya bukan seorang penggemar Madrid.
***
Saat kelas dua SMA, seisi kelas kami bersepakat pakai kaos olahraga putih polos. Kaos olahraga dengan nama sekolah tertera di dada tidak keren, begitu teman-teman berpendapat. Saya bisa terima pendapat itu, tapi kaos putih polos itu tetap saja kaos olahraga terburuk saya sepanjang sejarah. Meski begitu, otak penggemar sepakbola miskin saya segera bekerja. Saya melihat, di balik kepolosan kaos putih itu tersembunyi seragam sepakbola terkeren di dunia. Dengan spidol marker hitam pinjaman, saya menggambari bagian dada kaos itu dengan tulisan Teko (Ind: datang), yang fontnya saya tiru persis dari kata Teka, produk yang jadi sponsor dada kostum Real Madrid saat itu. Tak cukup dengan bagian dada, di sekujur pundak hingga sepanjang lengan kaos itu juga saya coret-coret. Bukannya merepro gambar telapak anjing-nya Kelme (apparealnya Madrid saat itu), saya malah menjajar dari pundak ke lengan gambar dua orang telanjang yang saling memunggungi ala Kappa, yang saya contek dari kostum Barcelona. Dengan semangat yang sama, dengan saat menggambar Teko di dada, kata-kata Kappa di sekujur pundak dan lengan saya selewengkan jadi Kappo’ (baca, kapok).
Jelas, apa yang saya lakukan saat itu bukan karena ingin coba mendamaikan permusuhan politis-ideologis antara Castilla dan Catalonia. Saya cuma seorang remaja yang terlalu rakus dengan segala hal yang berkait sepakbola, sehingga kadang abai dengan fanatisme di tingkat tim (klub atau negera). Semua yang bisa saya jangkau saya ambil, simpan, dan tampilkan. Meski saat itu saya penggemar berat Fiorentina, poster Batistuta tak sendirian di ruang tamu. Ia berjajar rukun dengan poster tim Arsenal era pelatih Bruce Rioch, Jari Litmanen (Ajax), Marco Simone (Milan), bahkan Del Piero (Juventus—klub yang paling saya benci saat itu). Di balik pintu lemari pakaian, gambar Filippo Inzagi dengan kostum Atalanta berdesak-desakan dengan gambar George Weah (Milan), Salvatore Fressi (Inter), Enrico Chiesa (Parma), John Barnes (Liverpool), Gazza (Inggris), dan lain-lain. Meski jelas-jelas memusuhi Jerman, sampul kebanyakan buku tulis saya malah bertempel gambar Andres Kopke, Matthias Sammer, Steffan Effenberg, selain Robert Jarni (Kroasia), Zinedine Zidane (Prancis), Karim Bagheri (Iran), dll.
Lihat ‘kan, betapa rakusnya saya? Meski begitu, saya tentu saja tak sepolos kaos olahraga itu. Sudah ada beberapa warna panji di hati dan kepala saya.
Untuk Liga Italia, yang saat itu memang sedang top-topnya, saya telah menentukan pilihan: Milan, Fiorentina, semua klub yang diperkuat Baggio (kecuali Inter), dan semua tim yang sedang melawan Juve. Untuk Liga Inggris, meski kadang sedikit cair, saya pegang Liverpool dan Newcastle United. Tapi hal yang sama agak sulit dilakukan untuk Liga Spanyol.
Saat itu, Liga Spanyol disiarkan secara minimalis oleh ANTV. Jam tayangnya yang selalu dini hari membuat saya yang ada di pesantren tak mungkin menontonnya. Beberapa partai La Liga hanya mungkin tertonton kalau libur tiba. Tapi, itu pun belum tentu bisa. Sebab, saya tak memiliki televisi dan saat itu cuma orang aneh yang menonton sepakbola non-Piala Dunia pada jam 3 pagi. Jadi, sebagian besar pengetahuan dan antusiasme saya terhadap Liga Spanyol dan klub-klubnya saya dapatkan dari tabloid olahraga dan acara Praktek Trang Kaisar Victorio di Radio Suzana Surabaya. Itulah yang membuat, untuk masa-masa itu, Atletico Madrid, Real Madrid, Real Betis, dan Barcelona, cenderung mendapat tempat yang sama.
Madrid jadi sedikit lebih istimewa dibanding lainnya saat Fabio Cappello, mantan pelatih AC Milan, memegang tim itu pada 1996. Itu ditambah dengan mulainya saya mengidolakan Davor Suker, yang bergabung ke Real pada 1996. Tapi, saat menyaksikan gol Pedja ke gawang Peruzzi di Amsterdam pada final Liga Champion 1997-1998, saya yakin saya sudah jadi penggemar tim putih-putih ini.
Saya jadi madridistas yang menggebu-gebu saat Madrid dipegang Del Bosque. Dua gelar Liga Spanyol (2001 dan 2003) dan dua gelar Liga Champions (2000 dan 2002) tentu saja jadi alasan utamanya. Tapi, alasan lain yang tak kalah penting adalah elegansi yang selalu jadi bagian integral dari tim ini. Sebuah tim yang di dalamnya terdapat wibawa Hierro, kecepatan Carlos, keteguhan Makelele, keanggunan Redondo, keajaban Zizou, keindahan Macca, totalitas Guti, dan keganasan Raul dan Moro, tak pernah akan saya tukar dengan tim manapun—termasuk dengan Barcelona yang ada Xavi-Iniesta-Messi-nya. Inilah tim yang akan selalu dikenang oleh para pendukung Madrid bukan saja karena kehebatannya melebihi nama galacticos yang dikenakan atasnya, bukan semata karena dua tropi Eropa-nya, tapi karena begitulah semestinya tim bernama Real Madrid. Tim inilah yang membuat saya selalu punya kekuatan untuk mengesampingkan pesona Barcelona-nya Guardiola, menganggap tiki-taka mereka tak ubahnya permainan pinball belaka.
Hingga kemudian Florentino Perez menjadi gila, yang membuatnya rela menukar semua kebesaran itu dengan selembar kaos bernomor 23 milik David Beckham. Ia memecat Del Bosque hanya beberapa jam saja setelah merebut gelar liga dari genggaman Valencia, menggantinya dengan seorang bos berkelas asisten bernama Carlos Queroz. Ia menolak menaikkan gaji Makelele yang memang kecil dan memilih melepasnya, bersamaan dengan Hierro, Macca, dan juga Moro.
Disneyfikasi Madrid, meminjam istilah McManaman, itu berujung amburadul. Empat musim tanpa gelar, permainan mengerikan, pelatih yang datang dan pergi, pemain-pemain baru yang gagal, dipadu dengan merajalelanya Ronaldinho bersama Barcelona, bagi saya adalah aib terburuk sepakbola di awal milenium ketiga—selain kegagalan Argentina di Piala Dunia 2002. Saya membenci masa-masa itu. Tapi, hingga saat itu, saya tak pernah punya alasan untuk meninggalkan Madrid.
Lalu rasa iri para pengurus klub dengan rival Catalan-nya makin menjadi-jadi. Cristiano Ronaldo didatangkan di awal musim 2009 dengan harga yang tingginya bisa kita jadikan acuan serendah apa tingkat kewarasan para direksi El Real. Saat perihnya dengki tak tertahankan lagi, setahun kemudian, mereka mendatangkan Mourinho—orang yang lama melewatkan awal karir kepelatihannya di pusat latihan Barcelona.
Kita akan tahu nanti, bagaimana perasaan saya berkait dengan “tragedi” beruntun ini. Tapi, dalam kalimat yang lebih pendek, boleh dikatakan kalau itu rasanya seperti di dalam rumah Anda sedang bersembunyi dua penjahat kejam; Anda ingin dua penjahat itu dihancurkan berkeping-keping, tapi Anda tak mau ada seinci pun dinding rumah Anda rusak.
***
Tahun 2004 adalah masa yang ganjil bagi sepakbola. Milan, juara bertahan Liga Champions, dihancurkan di perempat final oleh empat gol Valeron dkk. di Riazor. Madrid gagal lagi, kali ini oleh gol anak kesayangan Bernabeau yang disia-siakan Perez, Fernando Morientes. Porto juara dengan mudahnya. Yunani menjuarai Piala Eropa dengan rekor gol memasukkan paling sedikit sepanjang masa. Rehhagel, orang Jerman yang terbuang, jadi dewa di Athena. Dan orang yang menyebut dirinya The Special One mulai dielu-elukan.
Oke, pada awalnya, saya tak ada masalah dengan orang yang disebut terakhir itu. Porto jelas berhak juara—karena, bagi saya, siapa yang bisa menyingkirkan MU, ia layak juara. Mourinho, orang itu, jelas pelatih hebat. Dalam sepakbola, ia memberi gambaran paling komplit tentang sosok yang dideskripsikan oleh band Superman Is Dead sebagai “muda, beda, dan berbahaya”.
Meskipun geram dengan cara Abramovich mendepak Ranieri untuk diganti dengan Mou, jujur, saya punya ‘harapan’ saat dia datang ke Chelsea. Dia bisa mengandaskan MU di Liga Champions musim sebelumnya, maka sangat mungkin dia bisa melakukannya di pertandingan-pertandingan Liga Inggris. Dan siapa pun yang bisa mengalahkan MU layak untuk disambut. Jadi, “kita lihat saja,” begitu pikir saya. Perkiraan saya (dan kebanyakan khalayak sepakbola) jadi nyata. Mou langsung mempersembahkan gelar liga untuk Chelsea setelah 50 tahun. Bahkan mengulangi pada musim berikutnya.
Sampai di sini, tentunya tak ada alasan untuk membenci Mou. Ia bahkan layak dicintai, jika mengingat saya pernah menaruh hati dengan Chelsea, paling tidak sejak kedatangan para veteran Liga Italia di pengujung ‘90-an. Ya, semestinya begitu, karena Mou mampu melakukan apa yang tak sanggup dilakukan Gullit, Vialli, dan Ranieri—sekalipun, dalam hal ini, celengan Abramovich jadi faktor pembedanya. Tapi, nyatanya, benih-benih permusuhan itu dimulai justru tepat di situ.
Itu karena, di tahun itu juga, Mou mulai memapankan dirinya jadi musuh penggemar Liverpool. Pas di situlah masalahnya.
Liverpool adalah nama klub Inggris yang saya tahu paling awal. Itu membuat saya lebih mudah untuk menyukai klub tersebut dibanding klub Inggris lain—meski saya justru mulai intens mengikuti Liga Inggris sejak musim 1995, saat Blackburn Rovers jadi juara. Apalagi, saya menemukan sosok idola pada diri Steve ‘Macca’ McManaman. Jadi, untuk Liga Inggris, saya rasa, saya seorang Liverpudlian. Hampir putus asa menunggu hasil dari tim penuh bakat asuhan Roy Evans (yang di dalamnya ada Macca, Jamie Redknapp, Phill Babb, Robbie Fowler, serta dua remaja ajaib bernama Michael Owen dan Steven Gerrard), Houllier memberi rasa percaya diri yang besar saat memberikan treble di tahun 2001. Namun, apa yang diberikan Rafa Benitez pada musim panas 2005 pastilah mengatasi semua itu.
Menjadi penggila bola pastilah tak jauh beda dengan menonton film laga; kita harus memilih mana pahlawan, mana penjahatnya. Meski memperoleh gelar dengan merebutnya dari AC Milan dan Anchelotti (pahlawan saya yang lain), Rafa dengan segera jadi pahlawan baru saya. Karena, “pahlawan tak akan berarti tanpa seorang penjahat”, seperti yang dikatakan Joker di The Dark Night, Rafa mesti memiliki musuh yang harus dihancurkan. Dan, saya jelas tak kesulitan untuk menentukan kemana telunjuk diarahkan. Tahu sendiri ‘kan?
Saya bisa saja mengajukan tindakan-tindakan, gestur di pinggir lapangan, dan berbagai-bagai komentarnya yang muncul di media sebagai acuan untuk membenci Mou. Tapi, saya lebih percaya kalau faktor terbesarnya adalah ia terlalu banyak “terlibat masalah” dengan Liverpool (dan terutama dengan Rafa) pada musim pertamanya di Chelsea. Jari telunjuk di mulut pada final Piala Liga 2005, komentarnya yang terlalu banyak soal gol tunggal Luis Garcia di semi final Liga Champions 2005, dan ya... tentu saja dua gelar Liga Inggris-nya.
Dan, setelah itu, semuanya hanya tinggal jadi pelengkap saja: anekdot karangannya tentang pertemuan pada jeda pertandingan di Camp Nou 2006, yang membuat wasit Andres Frisk pensiun dini; kepindahannya ke Inter; kegaduhan yang dibikinnya di setiap akhir pekan di Italia; juga, dan terutama, cara timnya bermain saat menyingkirkan Barca di Liga Champions 2010.
Mou pelatih hebat. Bahkan, sangat mungkin akan jadi yang terhebat pada beberapa tahun mendatang. Tapi, jelas, dia bukan orang yang saya inginkan untuk memberi gelar pada tim-tim kesayangan saya. Dia bukan tamu yang saya kehendaki datang ke rumah saya. Dan alangkah mengerikannya saat dia masuk dan bahkan menjadi koki di situ. Maka, sejak kedatangan pertamanya ke Bernabeau, sejak itu pula saya ingin dia cepat-cepat pergi. Lebih-lebih setelah melihat ketakberdayaannya yang berkelanjutan menghadapi Barcelona-nya Pep.
***
Nama Pontus Wernbloom mengingatkan saya kepada Pontius, si gubernur Palestina. Ketika bertepuk tangan untuknya saat mencetak gol ke gawang Casillas di menit ‘92, sepintas saya memikirkan Yudas yang bertepuk tangan saat Pontius menangkap Yesus. Ya, saya merasa, sedang melakukan pengkhianatan. Tapi, apa boleh buat. Kegagalan Madrid, yang itu berarti kegagalan Mourinho, tampaknya hanya satu-satunya cara membuatnya keluar dari Bernabeau—secepatnya.
Tapi sepertinya tak bisa semudah itu.
Melihat Milan bisa meladeni Barcelona di dua pertemuan babak penyisihan Liga Champion musim ini, tentu saja sebuah kebahagiaan bagi saya. Tapi, di sisi lain, itu menyemburatkan setumpuk kekhawatiran. Gol Pato di menit pertama dan Gol Silva di menit terakhir, memperlihatkan Barca tak sekuat—atau, paling tidak, tak selapar—tahun-tahun sebelumnya. Dan, Anda tahu sendiri, lemahnya Barca hampir sama artinya dengan kuatnya Madrid, dan itu berarti kesempatan besar bagi Mou. Tidak hanya di La Liga, tapi juga di kancah Eropa. Jika ‘cuma’ dengan tropi Piala Raja, Mou bisa begitu meyakinkan Perez, apa jadinya jika orang itu memberikan gelar Liga.
Sebagai seorang pendukung Madrid, saya semestinya gembira melihat betapa mungkinnya gelar Liga yang telah empat musim lepas bisa diraih lagi. Juga, tentu saja, gelar kesepuluh di Eropa. Tapi, di sisi lain, saya tak mau Mou yang memberikannya. Saya tak ingin menikmati pesta yang diciptakannya, sebab pesta Mou tak akan pernah jadi pesta saya. Dan, yang jelas, saya tak ingin melihat Mou mendekam lebih lama di rumah yang saya sayangi. Saya tak bisa menerima itu lebih lama!
Saya tak akan mungkin pindah rumah. Tapi, akan sulit pulang ke rumah yang dihuni oleh musuh. Dan karena saya amat rindu untuk pulang, semua usaha yang bisa dipakai untuk mengusir musuh itu jadi tampak baik di mata saya. Itulah kenapa saya bertepuk tangan untuk gol Pontus Wernbloom.
Meski tepuk tangan itu mungkin akan sulit terjadi di Bernabeau, 14 Maret nanti, saya tak akan keberatan melakukannya lagi. Pasti seru membayangkan sebuah gol penyama kedudukan 2-2 dari Ahmed Musa pada menit 93.
Tapi, masa sih CSKA bisa menyingkirkan Madrid...?
0 Response to "Dilema Seorang Madridistas yang Anti-Mou"
Posting Komentar