Kisah Tiga Pelanggaran dan Bermulanya Narasi Kekalahan

Oleh Mahfud Ikhwan


Bahu saya dicengkam oleh Pak Amrozi, orang yang paling dihindari dan paling ditakuti di seantero pondok. Tanpa bicara sepatah pun, ia menyeret saya keluar dari ruang tengah rumah Bu Anshor, tempat kami menonton, menyeberang perempatan, melewati jalanan beraspal pukul tujuh malam yang sedang ramai orang lalu-lalang. Di gerbang pondok, Pak Yai Muchlis (Allahuyarham) telah menunggu dengan muka merah padam. Sajadah di tangannya yang tergulung menjadi lebih kecil teracung tinggi, seakan sebatang cambuk api.

Selama tiga tahun nyantri, tak pernah saya melihat beliau marah melebihi malam itu. Dan kemarahan itu ditujukan kepada saya. Meski demikian, yang mengganggu di kepala saya justru adalah pertanyaan: berapa skor akhir Indonesia-Vietnam?

***

Saya dan Timnas Indonesia dihubungkan oleh serangkaian narasi kekalahan—frasa yang saya pakai untuk judul sebuah tulisan yang menggambarkan kekalahan Indonesia dari Malaysia di Sea Games 2011. Lebih banyak buruk dan sedihnya dibanding bahagianya. Karena itu, sebagian besar berusaha saya lupakan, dan pada akhirnya memang terlupakan. Meski demikian, ada beberapa penggal kenangan yang tak mungkin bisa tanggal, yang akan melekat terus-menerus di kepala, yang jika saya mati boleh jadi akan lebih saya ingat dibanding rangkaian talqin Pak Modin.

Sepakbola dikenalkan kepada saya lewat suara buruk siaran pandangan mata di radio dan sebuah poster di dinding rumah. Niyat Mitra (demikian saya menghafal nama Niac Mitra) dan Persibaya (seharusnya Persebaya) adalah hal-hal berkait sepakbola yang pertama saya dengar, sementara Maradona dan Buruchaga dan tentu saja Argentina adalah nama-nama yang mungkin untuk pertama kalinya saya eja.

Dengan timnas Indonesia secara khusus, saya tak tahu mulainya kapan. Nama-nama yang lekat asosiasinya dengan timnas di kepala sejak sangat awal adalah kiper Hermasyah, Marzuki Nyak Mat (yang dulu kami sebut sebagai Marzuki Nikmat), dan tentu saja Ricky Yacob—terutama karena komentator TVRI, entah siapa saya lupa namanya, selalu meneriakkan “Ayo Ricky!” setiap ia melakukan syuting ke gawang lawan. Tapi, jauh sebelum itu, rasa-rasanya saya juga familiar dengan nama Kadir, Yacob Sihasale, Nasir Salasa, hingga Djoko Malis, walaupun deretan nama-nama ini tentu saja bercampur asosiasinya dengan sepakbola Surabaya, pusat peradaban yang terdekat dengan kami.

Langkanya televisi di desa kami tampaknya membuat saya—tidak seperti teman-teman sebaya yang ada di kota atau yang agak kekota-kotaan—mengasosiasikan diri dengan timnas Indonesia agak telat. Lagi pula, di saat itu, nasionalisme di olahraga yang belakangan paling kelihatan di sepakbola tampaknya terbagi agak rata dengan bulu tangkis dan tinju, dengan nama Ellyas Pical ada di puncak piramida. Meski begitu, ada setidaknya dua pertandingan lama timnas yang sayup-sayup tersimpan di ingatan.

Pertandingan pertama adalah pertandingan persahabatan melawan PSV Eindhoven. Karena nama PSV, saya bisa dengan gampang menandai pertandingan ini sebagai tur pramusim PSV usai mereka menjadi juara Piala Champion 1988. Saya tak ingat skor akhirnya, tapi pertandingan ini mudah diingat karena nama Gullit (yang waktu itu terdengar dan disebut dalam percakapan sehari-hari sebagai Rut Kulit), yang ikut ke Jakarta, dan tampaknya jadi penanda kepindahannya yang kolosal ke AC Milan di musim berikutnya.

Yang sedikit aneh adalah pertandingan kedua. Meneliti beberapa detil yang masih saya ingat, pertandingan ini tampaknya lebih dulu dibanding pertandingan pertama. Tapi, secara keseluruhan, ingatan atas pertandingan ini banyak yang jelas-jelas sumir dan salahnya dibanding benarnya. Bayangkan, saya selalu mengingat pertandingan itu sebagai pertandingan timnas Indonesia vs Romania. Aneh? Bukan cuma aneh, pertandingan Indonesia vs Romania tampaknya memang tak pernah ada—tak ada sekelumitkan catatan atasnya. Tapi saya ingat betul pertandingan itu, beberapa detil, dan terutama skornya. Dalam pertandingan yang diwarnai kerusuhan antarpemain dan penonton, dan diakhiri pemogokan oleh tim lawan, Indonesia dinyatakan menang telak 5-0.

Apakah ingatan saya telah menukar Romania dengan Oman (mengingat bahwa para pemain lawan saat itu banyak yang bercambang lebat seperti orang Arab), saya tidak yakin juga. Yang benar-benar membekas, sehingga saya bersikukuh bahwa saya benar-benar menonton pertandingan ini dan bukan mengimpikannya, adalah dua nama Lubis di tim Indonesia, yaitu Hamdani dan Zulkarnain. Keduanya, atau setidaknya salah satunya, bertubuh gempal dan berambut gondrong, raut mukanya terlihat tak enak untuk seorang kanak-kanak, dan terutama larinya yang seperti setan.

Selain dua ingatan yang tak begitu jelas itu, saya tak banyak mengingat pertandingan timnas tanpa membaurnya dengan final sepakbola Pon atau pertandingan-pertandingan penting liga Indonesia, terutama setelah penyatuan perserikatan dan galatama. Melewatkan satu-satunya gelar juara timnas Indonesia di masa saya tumbuh, yaitu medali emas Sea Games 1991, (mungkin karena saat itu mentor dan pembimbing pengetahuan sepakbola saya, Bapak, sedang tidak di rumah), ingatan sepakbola di masa-masa awal remaja saya hanya dipenuhi oleh pengguntingan yang serampangan gambar-gambar pemain sepakbola lokal, hampir siapa pun, dari koran-koran bekas yang bisa didapat. Beralih kesukaan dari Persebaya ke Mitra Surabaya (klub jelmaan bekas Niac Mitra), dinding almari buku saya dipenuhi oleh gambar guntingan Marzuki Badriawan dan Hadi Surento, dua pemain hebat yang malangnya tak banyak mengecap kap di timnas Indonesia, selain Da Costa dan Gomez de Olivera. Maka, jika ada pengalaman pahit berkait sepakbola Indonesia di tahun-tahun itu tentu adalah gagalnya Mitra menembus 8 besar Liga Indonesia ’94-’95, kandasnya Barito Putra (tim semua penonton netral) di semifinal, dan kalahnya Petrokimia Putra (tim terbaik di kompetisi) oleh Persib Bandung (tim favoritnya PSSI) di final.

Timnas mulai mengharu biru ketika kehebatan PSSI Primavera dari Italia mulai digemborkan. Melihat cara Kurniawan, Kurnia Sandi, Bima Sakti, dan Aples Tecuari bermain dalam pertandingan-pertandingan ujicoba dan pada Praolimpiade 1996, terutama saat mereka begitu percaya diri melawan Korea Selatan (meskipun akhirnya kalah), denyar dan harapan yang saat itu mungkin sama dengan saat kita untuk pertamakalinya melihat Evan Dimas dkk dari timnas U-19 bermain. Maka, diantarai oleh penampilan mengejutkan timnas Indonesia di Piala Asia 1996, dengan puncaknya pada gol salto Widodo C. Putra, tak mengherankan jika harapan itu benar-benar ada di ubun-ubun semua pendukung timnas, termasuk saya, saat Sea Games 1997.

Nahasnya, dari situlah rupanya, narasi kekalahan antara saya dan timnas Indonesia dimulai.

***

Kurniawan Dwi Yulianto sudah menjadi pembicaraan di koran-koran dan tabloid-tabloid sejak ia dikabarkan direkrut oleh Sampdoria. Bahwa kemudian ia berlabuh di FC Luzern, tim Swiss yang tak begitu dikenal publik Indonesia, dan kemudian tak sukses, sama sekali tak mengurangi antusiasme saya untuk menontonnya bermain bersama timnas Indonesia. Tak bergabung dengan timnya Danurwindo di Piala Asia 1996, Sea Games 1997 pasti akan jadi panggung besarnya.

Masalahnya, saya ada di sebuah pesantren yang tak mengizinkan dinikmatinya tontonan dan hiburan elektronik. Saya memang masih bisa nonton di tv milik Bu Ansor, warung tempat kami makan. Tapi, seperti yang saya alami dengan pertandingan-pertandingan Seria A di tiap akhir pekan, kami (anak-anak pondok) biasanya harus rela untuk tak menonton sampai selesai, karena terpotong jam malam. Saya sudah mencermati jadwal pertandingan timnas Indonesia di Sea Games, dan saya tahu cepat atau lambat akan ada masalah.
Dan masalah itu rupanya datang lebih cepat.

Pertandingan kedua Indonesia di fase grup melawan Vietnam, setelah sebelumnya menang lawan Laos 5-2, dilangsungkan di jam tanggung: ia memakan waktu Magrib sekaligus Isya. Sudah begitu, tepat di waktu yang sama, pesantren sedang mengadakan pemilihan pengurus organisasi siswa yang mewajibkan seluruh santri untuk turut serta. Kalau di hari biasa kami bisa setidaknya menonton separo akhir pertandingan, karena jadwal mengaji akan kelar usai shalat Isya berjamaah, acara begituan jelas tak akan selesai setidaknya sebelum jam sembilan. Sementara, saya ingin menonton pertandingan lawan Vietnam secara utuh, tak mau hanya mendapat ujungnya saja, apalagi cuma ceritanya. Saya sejak awal enggan untuk terlibat memberikan legitimasi anak-anak pencari muka Pak Yai itu memimpin kami, tapi yang benar-benar saya pikirkan adalah bagaimana cara saya agar tak melewatkan Indonesia vs Vietnam.

Biasanya, kalau saya sangat ingin menonton sepakbola yang tak memungkinkan ditonton karena berbenturan dengan peraturan pondok, opsi pertamanya adalah berkunjung ke rumah teman. (Rumah Darmanto, teman yang kampungnya sekecamatan dengan SMA kami, biasanya jadi sasaran.) Atau, opsi kedua, yang lebih ekstrem lagi: sekalian pulang kampung. Tapi dua opsi itu sama-sama tak bisa diambil: sudah ditegaskan bahwa izin meninggalkan pondok tak akan dikeluarkan untuk hari itu, kecuali untuk hal yang sangat urgen. Maka, berhari-hari sebelum pertandingan, saya sudah melakukan hasutan kecil-kecilan dengan beberapa teman yang biasa menonton sepakbola dengan saya agar memilih sepakbola dibanding acara seremoni tak berguna itu. Tapi, hingga jelang waktu pertandingan, saya tak menemukan teman untuk berkomplot. Mungkin karena mereka takut dengan risiko yang bisa ditanggung, tapi boleh jadi juga karena timnas Indonesia di kepala saya berbeda dengan timnas di kepala mereka. Akhirnya, saya memutuskan melakukannya sendiri.

Hari itu, usai makan sore, saya meneguhkan diri untuk tak kembali ke pondok. Saya minta ijin kepada Bu Anshor, pemilik warung, untuk menunaikan shalat Magrib di rumahnya sembari mengutarakan maksud untuk ikut nonton sepakbola. Pak Anshor memperingatkan soal kemarahan pengurus pondok, tapi saya menegaskan bahwa saya yang akan menanggung risikonya.

Tak memperoleh teman berkomplot, saya rupanya dapat “pengikut”. Ada setidaknya empat atau lima orang lain (saya lupa persisnya) yang jelas sangat ingin menonton tapi takut memutuskan. Mereka adalah bocah-bocah usia SMP dan dua orang santri baru usia SMA yang kebetulan mengenal saya karena desa kami bertetangga. Ada seorang anak pondok tahun terakhir di antara mereka tampaknya membuat keberanian mereka timbul. Jadinya, kami berlima (atau berenam) nekat menonton.

Tak menunggu lama, risiko itu sudah mengendus-enduskan hidungnya. Pengurus pondok bukannya tak tahu jadwal pertandingan Indonesia-Vietnam, jadi mereka memang telah pasang mata dan telinga. Usai jamaah shalat Magrib, mereka tentu segera tahu berapa orang dan siapa saja yang tak muncul di barisan. Maka, jelang babak pertama berakhir, Samuri, lurah pondok kami, sudah muncul di pintu rumah Bu Anshor. Ia tak berselisih jauh umurnya dengan saya, Samuri ditakuti karena sangat keras menegakkan peraturan—untuk beberapa kasus bahkan terlalu keras. Tapi ia baik dengan saya. Kecuali malam itu, saya tak punya catatan buruk di bukunya. Oleh karenanya, ia membujuk dengan baik-baik agar kami, terutama saya, balik ke pondok.

“Tanggung, Ri,” itu jawab saya. Samuri tak memaksa. Ia balik kucing, dan saya memilih bertahan untuk menunggu pertandingan selesai. Tekanan dari Bu Anshor agar kami kembali ke pondok kembali menguat, tapi kami bergeming. Seingat saya, hanya seorang bocah SMP yang akhirnya muntir. Sampai kemudian, berselisih sekitar 15-20 menitan, Pak Amrozi datang.

Lalu terjadilah adegan yang saya ceritakan di bagian awal tulisan.

***

Dari gerbang hingga kantor pondok, saya digebuki oleh Pak Yai Muchlis dengan sajadahnya—hal yang seingat saya tidak pernah saya lihat sebelumnya dan tak dilakukannya lagi sesudahnya. Sembari menyeru kalimat-kalimat tayibat untuk mengendalikan amarahnya sekaligus mengekspresikan penyesalannya, beliau menghardik saya sebagai santri senior yang tak tahu diri. “Tuwo-tuwo kloyongan!” Kalimat itu akan saya ingat sampai kapan pun.

Begitu didudukkan di meja kantor pondok, kami langsung disidang.

“Bagaimana ini? Pilih langsung dikeluarkan atau dipanggilkan orangtua?” Pertanyaan Pak Amrozi itu jelas untuk menggertak, tapi tentu saja itu tetap mengejutkan saya. Dua bocah SMP dan dua anak angkatan baru mengkeret, mata mereka memelas, memandang ke arah saya.

“Kamu yang paling tua, Fud. Bicaralah,” mohon Nasrul, salah satu anak baru. Saya tahu, dalam hirarki pelanggaran pondok, hanya minum-minuman keras dan mencuri, atau kemaksiatan berat lainnya, dan bukannya menonton sepakbola, yang bisa membuat kami terusir dari pondok. Lagi pula, seingat saya, saya tak punya simpanan kesalahan. Meski demikian, opsi pemanggilan orangtua saja sudah cukup untuk membuat saya ketar-ketir. Bukan apa-apa, itu tahun 1997, ekonomi memburuk, ongkos angkutan gila-gilaan naiknya. Pasti emak saya akan repot jika harus dipanggil ke pondok.

“Saya tak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, Pak. Dan anak-anak ini,” saya menunjuk rekan-rekan pesakitan saya, “juga bukan anak-anak nakal. Kenapa kami diancam hukuman yang begitu berat?” tanya saya, memberanikan diri menawar.

“Sebab kalian telah melakukan tiga pelanggaran!” Pak Amrozi menegaskan.

Saya bingung. Bocah-bocah itu mungkin sudah tak melihat ada peluang lolos.

“Pertama, kalian keluar pondok tanpa izin. Kedua, kalian bolos dari shalat berjamaah dan kegiatan wajib pondok. Ketiga, ini yang paling berat, kalian menonton tontonan dan/atau hiburan. Dan jadi lebih berat lagi karena kalian melakukan ketiganya secara sekaligus.”

Saya nyaris tertawa mendengarnya, tapi tentu saja itu tak mungkin. Sebab muka Pak Amrozi serius, dan muka anak-anak selain saya tertekuk nyaris menempel meja. Tapi karena sudah kadung dianggap yang paling tua oleh Pak Yai, dan dituakan oleh bocah-bocah itu, juga keinginan untuk menolong diri sendiri, saya terus menawar hukuman itu.

Pak Amrozi melunakkan ancaman dengan mendenda kami masing-masing satu sak semen—yang lazimnya didendakan untuk kesalahan tingkat ketiga. Tapi itu jelas tak lebih baik. Harga satu sak semen lebih mahal dibanding ongkos transportasi yang dibutuhkan emak saya jika harus datang pondok. Bisa terancam SPP sekolah saya. Maka saya terus menawar, lebih tepatnya menghiba, agar kami hanya dijatuhi denda untuk kesalahan tingkat kedua.

Entah karena diplomasi saya canggih, atau karena wajah bocah-bocah itu begitu mengibakan, tawaran penurunan denda itu akhirnya dikabulkan. Kami masing-masing didenda uang Rp5000. Ya sudah, saya harus merelakan uang makan seminggu saya. Sialnya, salah satu bocah itu, kalau tak salah Nasrul, yang kini kabarnya sudah menjelma jadi petani melon yang sukses, sedang kehabisan uang. Maka, saya pun harus menalanginya. Saya tak ingat apa ia mengembalikannya atau tidak, tapi yang saya tahu saya baru saja kehilangan uang saku setengah bulan.

Jelas, itu kesalahan terbesar (yang ketahuan) yang pernah saya lakukan saat di pesantren. Tapi, selain kemarahan Pak Yai Muchlis, saya tak pernah menyesali peristiwa itu. Indonesia ternyata tertahan 2-2 oleh Vietnam, sebelum dua hari kemudian menggilas Malaysia dengan empat gol, dan Kurniawan, pemain yang paling ingin dilihat oleh orang Indonesia, mencetak gol di setiap pertandingan penyisihan. Sampai tulisan ini dikerjakan, insiden tiga pelanggaran itu biasanya selalu saya kenang dengan senyum, dan menjadi salah satu episode indah dari tiga tahun saya yang datar di pesantren.

Mungkin karena itu, saya selalu silap mengingat bahwa insiden “indah” itu punya kaitan dengan peristiwa buruk yang ingin saya lupakan tapi selalu gagal; peristiwa buruk yang jadi rangkain awal pengalaman-pengalaman buruk yang terus berulang dan berulang selama bertahun-tahun kemudian. Saya selalu berpikir bahwa dua pengalaman berkebalikan ini terjadi di tahun yang berbeda, padahal nyatanya kejadiannya hanya berselisih hari saja.

***

Saya memutuskan pulang kampung beberapa hari setelah insiden itu. Tentu saja alasan utamanya adalah agar saya bisa menonton dengan bebas pertandingan final cabang sepakbola Sea Games 1997, selain karena uang saku saya habis lebih cepat akibat kena denda. Menonton di televisi milik bude saya, hanya berdua dengan seorang sepupu, kami menikmati pertandingan dengan bebas merdeka—tak ada Samuri, tak ada Pak Amrozi. Tapi siapa sangka, ujungnya justru adalah pengalaman buruk yang memenjara—apakah ini berkait dengan motif batu-bata di kostum (keluaran Unisport?) yang dipakai timnas saat itu, saya tidak tahu. Indonesia kalah melalui adu penalti, setelah sebelumnya berhasil menyamakan kedudukan di babak kedua lewat gol yang sangat khas Kurniawan. Ronny Wabia dan Uston Nawawi gagal menunaikan tugas penaltinya, dan Thailand (memang siapa lagi?) pun juara.

Saya menyalahkan kaos biru yang kebetulan saya pakai ketika menonton, membantingnya ke lantai, menginjak-injaknya, dan hanya mencangkingnya ketika pulang ke rumah. Berjalan dengan bertelanjang dada saat hari jelang jam 11 malam tentu saja dingin, tapi itu tak ada apa-apanya dibanding panas di dada dan mata saya.   



Blandongan, di antara hujan badai dan mati lampu jelang final AFF 2016 

Related Posts:

Jangan Bebani Timnas dengan Beban Hidupmu

Oleh Mahfud Ikhwan

Saat menonton semifinal leg kedua Vietnam-Indonesia, teman yang menonton di samping saya mendukung Vietnam. Ia mungkin kekiri-kirian, tapi dukungannya untuk Vietnam bukan karena mereka tim dari negara komunis. Kurang patriotik, tidak juga. Ia hanya seseorang yang sedang sangat skeptis. “Aku hanya tak mau keberhasilan timnas diklaim penguasa,” begitu ia memberi alasan.

Ia memang bukan penggemar sepakbola, dan kebetulan bukan pendukung pemerintah. Jadi, maklum saja kalau yang mengemuka adalah alasan-alasan yang jauh dari sepakbola. Meski begitu, saya yang menonton untuk mendukung timnas senang-senang saja. Saya jadi ada rival di depan televisi. Acara menonton jadi seru, tidak sepihak. Ekspresi perayaan kemenangan saya, ketika wasit Fu Ming menyudahi 15 menit kedua babak tambahan waktu, jadi punya sasarannya.

Tapi jika pun teman saya itu seorang penggemar sepakbola, sikap tersebut juga akan saya maklumi. Sebab penggemar sepakbola, lebih-lebih sepakbola Indonesia, tahu benar bahwa sepakbola memang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun. Siapa pun! Mulai dari kepala negara, ketua partai oposisi, ketua partai bukan oposisi, kepala departemen yang kurang menonjol, kepala daerah yang kurang berprestasi, kepala keluarga yang sedang pusing soal ekonomi, hingga kepala bujangan yang pening karena harus mikir pindah kontrakan.

Gampangnya, banyak sekali kepala yang disandarkan di pundak sepakbola kita.

Tapi itu bukan hal yang terlalu istimewa. Setidaknya, di mana-mana memang seperti itu.

Sepakbola menanggung beban yang jauh lebih berat di tempat-tempat kurang beruntung atau di antara orang-orang melarat. Di tempat-tempat macam itu, sepakbola jadi bukan sekadar permainan, dan olahraga hanya jadi bagian kecilnya saja. Ia harus jadi obat untuk orang-orang sakit; jadi roti untuk orang-orang lapar; jadi bola lampu untuk orang-orang dalam gelap; jadi penghiburan untuk orang-orang susah. Dalam banyak kasus, sepakbola bahkan jadi agama untuk orang-orang yang tersesat.

Itulah kenapa Maracanazo, kekalahan Brazil di final Piala Dunia ’50, jadi tragedi nasional yang melegenda, melebihi kisah kekalahan di mana pun. Itu juga yang membuat perang konyol yang disebut Football War antara Honduras dan El Salvador pada 1969 bisa terjadi dan masuk akal. Itulah sedikit alasan kenapa hooliganisme merebak di era Theacher, masa ketika Inggris secara ekonomi sedang murung dan mundur setelah ngos-ngosan membiayai Perang Malvinas. Dan itulah kenapa, pemujaan bak dewa yang didapat Maradona di Naples yang miskin tak akan didapat Maldini di Milan atau Del Piero di Turin yang lebih makmur, meskipun dua nama terakhir mendapat lebih banyak gelar dibanding yang pertama.

Dan, itulah kenapa kita tak membutuhkan penjelasan yang terlalu njelimet untuk tahu kenapa persoalan sepakbola di negeri ini jadi jauh lebih runyam dari seharusnya.

***

Saya ada di antara 80-an ribu suporter Indonesia di Gelora Bung Karno yang dibuat kesurupan oleh gol indah Cristian Gonzales ke gawang Filipina, yang mengantar kita ke final AFF 2010. Tapi, pada saat yang sama, dengan mata-kepala sendiri, saya menyaksikan di seantero stadion terpasang spanduk-spanduk konyol berisi puja-puji kepada ketua PSSI, yang saat itu tengah banyak digoyang. Dan hanya beberapa jam kemudian, seluruh Indonesia menyaksikan tim calon juara itu digiring seperti ternak ke “acara keagamaan” seorang ketua partai. (Mana bisa kita lupa dengan wajah cemberut dan mengantuk Irfan Bachdim di antara kerumunan dan cubitan ibu-ibu pengajian malam itu.)

Dengan salah satu tim terbaik yang pernah kita punya, Indonesia gagal secara memalukan di final, ditaklukkan Malaysia, tim yang mereka gasak 5-1 di babak grup. Orang Indonesia murka. Oligarki partai yang menguasai sepakbola kita selama berdekade-dekade digugat. Dan sekelompok orang, entah siapa dan dari mana, tiba-tiba merasa punya hak untuk “menyelamatkan” sepakbola Indonesia. PSSI belah dua. Klub-klub terlibat perkubuan. Ada kompetisi kembar. Timnas jadi kacau. Lalu, penguasa saat itu, yang tengah sangat tidak populer, dengan sok bijak dan sok pahlawan berlagak menjadi hakimnya. Ujungnya, tak ada. Kita tak tahu lagi, mana hakim, mana jaksa, mana penjahatnya. Semuanya sama.

Di tubir titik nadirnya, tiba-tiba sepakbola kita menemukan tim U-19. Seperti mendapati sumur jatuh dari langit, orang-orang berkerumun, berebut airnya, berebut berkahnya. Nama Evan Dimas, Maldini Pali, Paulo Sitanggang, secara instan jadi lebih dikenal dibanding artis manapun di Indonesia. Wajah mereka beredar di acara-acara gosip, di iklan-iklan, di program-progam penguras air mata. Maka, kisah-kisah ditulis, wawancara-wawancara dibuat, mitos-mitos muncul.

Mereka main dua hari sekali--untuk pertandingan-pertandingan konyol yang sama sekali tak bermanfaat untuk mereka--seakan mereka sebuah boyband remaja yang sedang laris-larisnya. Terpukau dengan skil Evan Dimas, gocekan Ilhamuddin, lari Maldini, dan metode kepelatihan Indra Sjafri, orang Indonesia bukan hanya yakin mereka akan juara Piala Dunia U-21 tapi juga percaya bahwa 8 atau 10 tahun ke depan Indonesia mungkin saja juara Piala Dunia. Ketika mereka gagal melewati fase grup di Myanmar, semua orang segera menyadari bahwa raja dengan pakaian gemerlap yang tengah mereka puja-puja itu tak lebih dari bayi telanjang. Bayi yang masih butuh dipopoki, yang masih harus dibedaki. Faktanya, mereka memang masih sekumpulan bocah.

Seperti semua pencinta sepakbola di Indonesia, saya mendukung mereka. Tapi, kegagalan mereka yang terlalu awal, tangis mereka yang tersedu-sedu, justru melegakan saya. Mereka akhirnya terbebas dari beban yang belum waktunya, dan tak semestinya, mereka tanggung.

Saya waktu itu tak mendukung Vietnam seperti teman saya yang kekiri-kirian itu, tak juga mendukung tim lainnya. Tapi saya tahu, semakin jauh mereka melaju, akan semakin banyak pihak yang mengincar keuntungan atas mereka. Urat leher mereka yang muda, darah mereka yang segar, dan kegilaan yang tengah menyelubungi mereka, pasti tak akan dilepaskan begitu saja oleh stasiun-stasiun tv yang butuh iklan atau pejabat-pejabat gagal yang ingin nampang.

***

Ini Indonesia 2016. Masih banyak orang yang kecewa calon presidennya tak jadi. Tak sedikit orang uring-uringan karena presiden pujaannya dihina. Berbondong orang murka karena merasa agamanya dilecehkan. Tak terhitung buruh di-PHK, orang-orang miskin digusur rumah dan mata pencahariannya, petani diusir dari tanahnya, nelayan dihalau, laut diurug, sawah dibeton. Ini tahun yang berat. Ini Indonesia yang sedang kurang menyenangkan. Jutaan orang, ratusan juta orang, membutuhkan penebusan.

Karena itu, alangkah jahatnya melarang orang-orang malang itu menumpukan harapan pada timnas sepakbolanya. Tapi, berlebihan memberikan dukungan, berlebihan menitipkan harapan, berlebihan membuat ekspektasi—setelah hal-hal buruk yang telah mencengkam dan belum benar-benar pergi dari sepakbola kita—adalah tindakan tak tahu diri. Mendukung dan berharaplah dengan sewajarnya, sepantasnya.

Kepada Pak Presiden, silakan datang ke stadion, berilah dukungan kepada timnas kita, sebagaimana Anda memberikan dukungan kepada rakyat Anda yang sedang memperjuangkan hidup dan cita-citanya, di manapun, di bidang apapun. Tapi cukuplah begitu saja, tak perlu lebih dari itu. Sebab, sejujurnya, saya tak ingin kekuatiran teman saya itu jadi kenyataan. Saya ingin teman saya yang mendukung Vietnam kembali menjadi orang Indonesia selazimnya, yang mendukung timnasnya.

Pak Menteri, Pak ketua partai, dukungan Anda sekalian juga dibutuhkan, sebagaimana dukungan seluruh rakyat Indonesia. Tapi tetaplah jadi pendukung (seperti kami-kami ini), dan bukannya pelatih, apalagi pemain, apalagi jadi semuanya sekaligus. Jika Anda ingin memberi yang terbaik bagi sepakbola Indonesia, ambil kebijakan yang baik dan langkah-langkah yang konkret, dan bukannya mengambil mik dan jadi pusat sorotan kamera, dan mengesankan seakan Anda yang paling punya jasa.

Kepada ketua dan pengurus PSSI, siapa pun kalian, fokus untuk mengurus tiket pertandingan timnas dengan baik, memperlakukan suporter Indonesia dengan sepantasnya, akan jadi bentuk dukungan yang sangat bermanfaat dan dihargai. Membuat kompetisi yang baik dan rapi ke depannya, yang diorientasikan sepenuhnya untuk kepentingan timnas, akan lebih baik. Tapi jika kalian tak melakukan apa pun, itu tampaknya jauh lebih baik lagi.

Kepada teman-teman, para suporter biasa seperti saya, menjadi suporter bijak itu sulit. (Kkalau bijak, cerdas pula, kita tak akan jadi suporter tapi jadi pelatih, ya toh?) Tapi, kita bisa berusaha menjadi suporter yang baik, yang... ehmm... yang tak menumpahkan beban hidupnya kepada 11 pemain yang beban hidupnya tak lebih ringan dibanding kita.

Katakanlah, tak ada di antara mereka yang calon presiden pilihannya nggak jadi, yang presiden yang didukungnya terus-menerus dimaki, yang calon gubernurnya dikriminalkan, yang agamanya dilecehkan, yang rumah atau tanah keluarganya digusur, atau yang desanya diincar pengembang—seperti kita. Tapi, yang pasti, belum lama ini mereka adalah bagian kecil dari sekelompok orang Indonesia yang terancam mata pencahariannya.


Noyokerten, 13 Desember 2016

Related Posts:

Kembali (Mencoba) Berharap

Oleh Mahfud Ikhwan


Raut haru itu—apakah Anda menyaksikannya? Alfred Riedl, orang Austria itu, kakek berwajah dingin itu, seperti menahan isaknya di ruang jumpa pers usai mengantar Indonesia lolos ke semifinal AFF 2016. Wajah bulenya memerah, kalimat-kalimatnya (tentu masih tetap dalam bahasa Inggris beraksen Jerman) nyaris terbata. Ia memuji timnya yang masih sangat muda, tak berpengalaman, dan penuh kecingkrangan akibat berbagai batasan dan keterbatasan. Berkali-kali kata “manis” keluar dari bibirnya, tapi matanya menatap kamera dengan berkaca-kaca.

Riedl pernah diberitakan menangis. Itu saat ia bertemu dengan pendonor ginjalnya—seorang warga Vietnam. Tapi menangis untuk timnas Indonesia? Itu… itu membuat saya, seorang warga Indonesia, pendukung timnas bahkan sebelum benar-benar mengerti sepakbola, sangat tidak nyaman. Itu menggelisahkan.

Beberapa jam sebelumnya, dengan wajah berbinar, bapak saya langsung nyerocos soal betapa indahnya gol penyama milik Andik begitu saya pulang dari warung kopi. (Ia belum tahu saya tak menonton pertandingan itu, bahkan sama sekali tidak ingat.) Itu binar yang sama saat ia bercerita bagaimana Ronny Pasla, dengan tangan-tanganya yang panjang, menyelamatkan gawang Indonesia, saat saya masih bocah. Itu semangat yang sama ketika ia menggambarkan gol sundulan Syamsul Arifin si Kepala Emas kepada anaknya yang masih TK, di sela siaran pandangan mata pertandingan-pertandingan Persebaya dari radio.

“Menang, Pak?” saya bertanya dengan sedikit rasa bersalah. “Menang 2-1, dan lolos!” jawabnya semringah.

Sehari setelahnya, dalam sebuah obrolan ringan soal agama, seorang kerabat yang sehari-harinya dikenal sebagai imam masjid yang saleh, jenis orang yang tak mungkin saya sangka punya antusiasme dengan sepakbola, tiba-tiba dengan menggebu memuji permainan timnas saat mengalahkan Singapura. “Luar biasa. Yang mencetak gol kedua itu... siapa namanya?” Diam sebentar, seakan berpikir tapi sebenarnya agak malu, saya menjawab: “Stefano Lilipaly.”

***

Lilipaly, seperti halnya Riedl, tak pernah terlihat memberikan wawancara dalam bahasa Indonesia, dan tampaknya tak cukup berusaha. Ia, sebagaimana juga nyaris seluruh pemain yang dipanggil Riedl, dan Riedl sendiri, adalah hal-hal yang membuat saya tak berharap di AFF tahun ini. Sebagaimana AFF di beberapa edisi terakhir.

Ya, mohon maaf, saya memang sedang tak punya harapan dengan timnas, sebagaimana dengan sepakbola Indonesia. Mengingat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini, dan apa yang masih terjadi saat ini, bagi saya, memiliki harapan untuk sepakbola kita terdengar imoral. Lagi pula, setelah berkali-kali dibuat hilang harapan dengan cara yang sangat buruk, dan sebagian besarnya sama sekali tak ada hubungannya dengan sepakbola, pendukung biasa seperti saya merasa layak untuk tidak berharap.

Lenyapnya timnas dari peredaran dan menghilangnya sepakbola lokal dari televisi kita adalah bencana. Namun bikin kompetisi yang artifisial jelas bukan usaha rekonstruksi yang dibenarkan. Mendongkel oligarki partai dari PSSI itu penting, tapi mengundang kembali serdadu ke sepakbola adalah langkah mundur. Keluar dari mulut harimau masuk mulut buaya, itu kata teman saya Darmanto Simaepa tentang sepakbola Indonesia. Belakangan, kita tak berdaya melihat sepakbola kita jadi rebutan para lipan dan lengkibang.

Riedl berangkat ke Manila dengan skuad sangat terbatas akibat hanya bisa bawa dua pemain dari setiap klub. “Biar timnas dan kompetisi sama-sama bisa tetap jalan,” begitu kata yang sok bijak. Tunggu..., sejak kapan timnas dan kompetisi bisa “sama-sama tetap jalan”? Jelas ada yang tak beres jika jadwal bertanding timnas Indonesia bersamaan jamnya dengan laga big match liga. Mendapati lini tengah Indonesia diobrak-abrik Filipina (bangsa yang lebih suka main bola dengan tangan), sementara pada saat yang sama di tv sebelah misalnya kita menyaksikan Slamet Nurcahyo sedang bagus-bagusnya bersama Madura United, apa kepala tidak pening?

Jelas, itu bukan win-win solution timnas dan klub. Jika bukan kompromi dua kelompok oligarki yang masih terus saling berebut sepakbola Indonesia, itu pasti kesepakatan dua televisi untuk tak saling mengganggu acara unggulan masing-masing.

Untuk kondisi macam itulah saya lebih memilih untuk tak berharap. Dan dengan tak berharaplah saya menonton Indonesia dilantakkan Thailand dan kemudian didominasi Filipina. Karena tak berharap, saya merasa lebih baik. Karena tak berharap pula, saya lupa jadwal pertandingan menentukan Indonesia vs Singapura, dan saya tak apa-apa.

Sampai kemudian saya melihat haru di wajah Riedl.

***

Akhir pekan lalu, di semifinal leg pertama, Indonesia 2-1 atas Vietnam. Indonesia bermain bagus setidaknya di paroh pertama babak kedua. Lewat akselerasinya yang menghasilkan penalti, tapi terutama karena peran pentingnya di sepanjang pertandingan, Lilipaly menjelaskan kepada kita kenapa ia jadi satu-satunya pemain naturalisasi yang dipanggil Riedl. Andik ngos-ngosan selewat menit 70-an, tapi kompetisi yang teratur di Malaysia membuatnya terlihat lebih bijak dalam berlari dan pegang bola, dan karena itu ia jauh lebih berbahaya. Tapi hal terbaik adalah melihat para pemain Indonesia tetap tenang usai menerima beberapa keputusan tak menyenangkan dari wasit.

Tapi saya tahu, bukan hal-hal itu yang membuat harapan itu menyelusup kembali, mendesak-desak lagi. Kita toh pernah mengalami yang lebih: AFF 2010, Sea Games 2011, dan tentu masih banyak lagi. Lagi pula, untuk pertandingan format tandang-kandang, menang tipis di kandang dengan lawan mampu mencetak gol tandang adalah bekal yang rentan. Tidak, bukan itu.

Adalah kekaca di mata kakek bule itu yang memicunya. Juga binar wajah bapak saya, yang tak pernah berubah dari masa ke masa berkait timnas Indonesia. Juga pertanyaan seorang kerabat tentang pemain dengan wajah dan nama yang terlalu asing untuk dihapalnya. Semua itu yang menyadarkan bahwa saya sebenarnya hanya seorang penggemar yang sedang ngambek saja, yang membenci karena terlalu mencintai. Yang mendendam karena rindu. Yang jauh di dalam sana, masih saja bandel memendam harapan, meskipun berkali-kali dikecewakan.


Apa daya, saya hanya seorang penggemar biasa. Anda juga, ‘kan?

Related Posts:

Big Sam dan Wajah Sepakbola Industri

Oleh Darmanto Simaepa

Asosiasi sepakbola Inggris  (FA) memecat Sam Allardyce (Big Sam), terutama karena ia menerima tawaran untuk mendapat penghasilan tambahan dengan menjadi konsultan sepakbola di Asia. Lewat teknik menjebak wartawan The Daily Telegraph, ia juga kepergok bicara tentang cara mengakali aturan yang melarang kepemilikan pemain oleh pihak ketiga.

Bagi FA dan publik Inggris, ucapan dan komentar Big Sam melampaui batas. Ia dianggap serakah dan menyalahi moralitas sebagai pelatih tim nasional, yang merupakan jabatan publik. Dengan kontrak sekitar 130-an miliar selama 2 tahun (2016-2018), ia masih ingin menambah penghasilan tanpa sepengetahuan pihak yang resmi mempekerjakanya.

Ia juga dianggap menampar muka FA karena komentarnya yang secara tidak langsung mendukung aturan kepemilikan pemain oleh perusahaan/investor, suatu praktik perbudakan terselubung dalam sepakbola. Aturan ini resmi di larang di Inggris sejak tahun 2007, terutama setelah melibatkan transfer mencolok Carlos Tevez dan Javier Mascherano dari Corinthians ke West Ham dengan perantara Kia Joorabchian, investor yang memiliki hak registrasi dan 30% kepemilikan kedua pemain tersebut.

(Publik Inggris sendiri telah lama memendam prasangka bahwa Big Sam juga bermain dengan aturan ini ketika ia membeli tiga pemain dengan pihak ketiga lewat perantara agen yang tak lain adalah anaknya sendiri)

Meskipun pemecatan ini menggambarkan komitmen organisasi sepakbola terhadap keserakahan, suap, atau perdagangan manusia, sepakbola tidak serta merta menjadi bersih dan suci. Seperti halnya bank, universitas, dan institusi global lain yang tumbuh lewat jual-beli barang dan jasa, ketamakan dan korupsi adalah bagian yang tak terpisahkan dari industri sepakbola. Dan industri seperti ini, hidup dan berkembang, tiada lain, lewat eksploitasi tenaga manusia.

***

Mari kita meninggalkan romantisme bahwa sepakbola modern adalah olahraga rakyat terindah yang dimainkan dengan suka cita dan tanpa dosa. Dari kelahirannya, industri sepakbola melibatkan praktik perdagangan manusia. Meskipun pada awalnya dimainkan para buruh Inggris di waktu senggang sehabis revolusi industri, tangan-tangan tak terlihat kelas berkuasa segera memperdagangkannya, anak-anak kolonial menyebarluaskannya, dan para politisi memanfaatkannya.

Kini sepakbola telah menjadi industri global yang melibatkan jutaan tenaga kerja, jual-beli angka statistik, atau penyediaan jasa potong rumput, konsultan nutrisi hingga ahli psikologi. Uang yang berputar di dalamnya luar biasa besarnya, hampir setara dengan perdagangan senjata dan jauh meninggalkan peredaran uang narkoba.

Memang ada era di mana sepakbola bisa membangkitkan nasionalisme, menghentikan sesaat konflik berdarah, dan menjadi rute bagi penduduk terjajah dan kaum pinggiran untuk melawan. Namun, hal itu mungkin sudah berlalu.

Industri sepakbola modern mencerminkan kehidupan dunia. Struktur industri ini terdiri dari 99% orang biasa (yang hampir semuanya konsumen) dan 1% superkaya yang menentukan hitam-putihnya bagaimana sepakbola dimainkan. 99% orang ini jatuh cinta dan bersedia melakukan apa saja, dan menyerahkan hidupnya untuk bisa memainkan atau menikmati permainan indah ini. 

Sementara 1% ini (pemilik klub, penjual sepatu, kaos dan bola, pemilik bandar judi, penjual minuman kalengan, atau pemilik media yang menguasai hak siar televisi) tidak pernah benar-benar jatuh cinta dengan sepakbola tapi bisa melanggengkan kuasa dan modalnya dari sepakbola. Dunia antara 99% dan 1% ini ditempati birokrat sepakbola, akuntan, dan manajer yang dibayari oleh si minoritas.

Struktur ini paralel dengan tatanan ekonomi (keuangan) dunia. Sebagian besar uang di bank dan penabung adalah rakyat kebanyakan (97.8% untuk kasus di Indonesia). Uang itu, oleh segelintir orang superkaya (0,7%) pemilik bank, perusahaan yang mengajukan kredit dan hutang, dan para investor, digunakan untuk melipatgandakan kekayaan dan, ironisnya, lewat penghisapan keringat jutaan orang lain yang menjadi pekerja.

Dengan struktur tersebut industri sepakbola mencerminkan dunia kita: segala sesuatunya dilakukan untuk melipatgandakan laba dengan cara mengekploitasi para pekerja yang terlibat dalam hubungan langsung dan tak langsung dengan industri sepakbola.

***

Tanpa tenaga jutaan tenaga rakyat jelata, industri sepakbola tidak akan berjalan. Lihatlah! Hampir semua pemain hebat yang membentuk olahraga ini berasal dari keluarga-keluarga kalangan bawah. Orang tua Maradona, Garincha, Messi, Zidane, Widodo Cahyo, Evan Dimas adalah buruh pabrik, petani miskin, imigran gelap, satpam, kuli bangunan, atau pekerja rel kereta api. Pemain-pemain besar sepakbola tidak pernah lahir di rumah mewah dan berlatih di taman-taman istana megah.

Dari mimpi jutaan anak-anak orang miskin menjadi pesepakbola bayaran dan mengubah nasib keluarganya, industri sepakbola terus berkembang. Dari jutaan orang yang percaya klub dan stadion sepakbola adalah ruang publik untuk menautkan kebersamaanlah industri ini terus bernapas.

Di dasar struktur ekonomi sepakbola global yang kokoh adalah milyaran fan sepakbola biasa yang tiap hari menghisap rokok ketengan, minum kopi sachetan, langganan pulsa eceran, menenggak bir murahan atau minuman kalengan, beli hp yang bisa memperlihatkan hasil pertandingan atau ikut judi online kecil-kecilan. Mereka adalah kalangan pekerja dan petani yang butuh hiburan agar tidak semakin terasing dengan pekerjaan.

Tanpa keterpakasaan pekerja migran yang menyabung nyawa memasang besi dan paralon di stadion-stadion megah, pemotong rumput yang bangun pagi-pagi di musim dingin untuk meratakan lapangan, atau tukang cuci sepatu dan pakaian pemain, kita sulit membayangkan sepakbola modern bisa dimainkan dengan hebat di layart televisi. Bahkan tanpa pemain miskin yang gagal bersinar dan berharap menjadi manajer sukses, sepakbola tidak akan menjadi industri yang merangsang kreativitas dan inovasi.

Dan di sinilah ironi terbesar sepakbola. Meskipun sangat tergantung dari orang-orang biasa, industri sepakbola memperlakukan tenaga mereka dengan buruk. Meskipun badan sepakbola berusaha memerangi perbudakan dan jenis praktik lain yang menempatkan para pemain serupa daging kiloan yang dimiliki oleh majikan dan diperjual-belikan secara bebas dan menjadikan pemain bintang setenar bintang Bollywood dan sekaya bintang Hollywood, industri ini memeras tenaga pemain dengan brutal.

Sama seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan industri ekstraktif yang memerlukan pekerjaan fisik, sepakbola membutuhkan tubuh pemain. Namun, di banding industri ekstraktif yang membutuhkan pegawai hingga nyaris usia pensiun, industri sepakbola butuh fisik pemain rata-rata paling lama 10-15 tahun.

Meskipun memberi bayaran sangat besar, industri sepakbola memberi waktu pendek bagi pemain untuk mengeksploitasi bakat dan fisiknya. Dengan masa karir pendek dan persaingan keras, setiap pemain harus mengoptimalkan nilai yang melekat di tubuhnya. Jika tidak bisa optimal dan beradaptasi dengan kerasnya persaingan, pemain ditawarkan kanan-kiri sebagai barang pinjaman. Ketika kaki mulai renta, rentan cedera dan otot mengendor, mereka mudah menjadi barang rongsokan yang dijual rombengan.

Tak perlu heran jika kita semakin sering melihat pemain pindah klub tiap tahun demi bayaran lebih tinggi. Loyalitas adalah barang mewah. Mereka harus pintar mengumpulkan kekayaan dalam waktu singkat. Mereka juga butuh banyak uang  untuk menghidupi anak-cucu setelah gantung sepatu.

Industri ini juga memaksa anak-anak berlatih diluar kemampuan ototnya dan perkembangan usianya. Pemain-pemain berbakat juga harus rela meninggalkan orang tuanya sedini mungkin, menjauhi kesenangan, dan hidup seperti rahib di biara untuk sukses. Persaingan yang keras tidak memberi ruang bagi sedikit sikap santai dan berpuas diri. Dari usia muda, mereka telah dibebani dengan tekanan dan tuntutan.

Lantas apa kaitannya dengan Big Sam dan keserakahan?

***

Bagi pelatih, posisi mereka di industri sepakbola lebih buruk lagi dari pemain. Karir mereka jauh lebih pendek dan bayaran mereka jauh lebih sedikit dari pemain. Mereka hidup dalam bisnis yang mendewakan hasil dan menuntut hasil cepat. Seringkali, mereka dituntut untuk memberi prestasi dalam waktu yang singkat dan dalam tekanan luar biasa. Ibaratnya, mereka dipaksa membuat sop enak dengan bahan-bahan yang hanya cukup untuk membuat mi rebus instan. Tiap hasil buruk datang, kepala merekalah yang dicemplungkan ke dalam kuali. Sebagai kambing hitam.

Oleh karena itu pelatih harus pintar mengeksploitasi apa yang mereka punyai. Dalam waktu singkat, mereka harus mengoptimalkan banyak pihak yang berpotensi memberi ekstra pendapatan. Kalau tidak, mereka bisa saja menghabiskan masa tua dengan teman alkohol dan depresi. Jaminan hidup diperlukan. Agen, perusahaan, bandar judi adalah orang-orang yang sangat menentukan kehidupan. Kerja administrasi mereka dalam urusan transfer pemain atau kesepakatan kontrak iklan memberi ruang yang besar untuk mengakali aturan resmi yang dikeluarkan badan sepakbola.

Di tengah kompetisi yang berat dan resiko pekerjaan tinggi, mereka menemukan siasat untuk mengamankan pekerjaan dan kehidupan. Banyak cerita pelatih mendapat komisi tambahan dengan mengakali aturan transfer pemain. Banyak cerita mereka mendapat uang terima kasih dari agen pemain.

Tidak heran jika mereka tidak sepenuhnya mendukung larangan kepemilikan pemain oleh pihak ketiga. (Praktik ini dilarang karena membuat si pemain seperti budak belian—misalnya, ada pemain yang punya kontrak bahwa kakinya dimiliki oleh si investor A, sementara lengan punya perusahaan B). Pelatih bisa kongkalikong dengan investor atau pemilik sebagian hak kepemilikan pemain untuk mendapat uang ekstra. Terlebih lagi jika sanak saudara dan teman dekat terlibat dala bisnis ini. Semua aturan bisa diakali.

Tidak terbatas pada transfer pemain, ekspansi industri sepakbola adalah lahan subur yang memberi peluang menambah  penghasilan. Setiap hari, klub-klub baru dibentuk. Akademi terus didirikan. Situs-situs perjudian tumbuh semarak. Buku-buku biografi kontroversial ditunggu-tunggu.

Seperti halnya industri bala bantuan atau ekstraktif, industri sepakbola butuh tenaga kerja yang lebih fleksibel untuk berkembang pesat. Konsultan, penasihat, atau motivator paruh waktu selalu dibutuhkan. Dan pelatih, terutama pelatih nasional, bisa mengisi celah ini. 

Kita tidak pernah tahu tiba-tiba kita punya Wim Rijsbergen sebagai pelatih nasional setelah kunjungan singkatnya sebagai wisatawan. Berapa kali perseteruan siapa pelatih PSSI adalah asap dari api industri sepakbola yang tidak pernah kita tahu secara pasti.

Pasar baru di negara-negara berkembang membutuhkan mereka. Di Indonesia, PSSI dan sponsor tiap tahun mengundang pemain-pemain pensiunan dan pelatih luar negeri untuk memberi ceramah dan latihan. Tim-tim legenda juga diundang untuk pertunjukan eksebisi. Pemain-pemain punya nama di media di datangkan untuk menghangatkan kompetisi. Mereka dibutuhkan oleh sepakbola industri seperti industri minyak atau bala bantuan membutuhkan jasa konsultan.

Big Sam adalah wajah dari industri sepakbola modern yang semakin eksploitatif, baik terhadap pekerja di dalamnya maupun konsumennya. Tanpa terasa, sepakbola dalam takaran tertentu telah menjadi candu bagi massa. Stadion disterilisasi. Tayangan televisi disterilisasi. Pemain yang mengekspresikan pandangan politik dilarang. Klub yang membiarkan pendukungnya yang mengibarkan bendera Palestina didenda. Ia telah digunakan untuk menjinakkan pemain dan penonton.

Di tengah situasi ini, apakah pantas Big Sam kehilangan pekerjaan dan dinistakan? Ya, tidak diragukan lagi. Ia bergaji 60 miliar rupiah lebih per tahun. Ketika ia masih menginginkan uang tambahan secara rahasia, FA punya alasan untuk memecatnya. Publik yang membayar pajak untuk gajinya juga pantas mengutuknya. 

Namun, sekali lagi, ini tidak lantas menjadikan sepakbola lebih bersih.

Industri dan pasar telah mencemari olah raga yang kita cintai ini, membuatnya sangat eksploitatif dan korup. Ia membuat Big sam dan banyak orang yang terlibat di dalamnya berlumur kotoran. Ia membuat kita, penonton eceran di belakang gawang dan sofa butut di depan televisi, hanya menjadi atom-atom tak bernama yang siap dieksploitasi, bahkan ketika kita sedang mentertawai nasib Big Sam yang berusaha menambah penghasilan. 


Related Posts:

Mou dan Dilema Pendukung MU

Oleh   Darmanto Simaepa


Seperti sikap kebanyakan pendukung MU, saya pun mendua terhadap Jose Mourinho. Namun, ini bukan perkara ia tidak punya reputasi mengorbitkan pemain akademi. Bukan karena ia mencolok mata pelatih lain. Bukan pula karena manajemen yang aberasif dan gaya sepakbolanya yang reaktif.

Benar bahwa segala hal yang saya benci dari sepakbola modern mewujud dalam diri Mou. (Anda hanya perlu memeriksa tulisan lain di blog ini untuk menemukannya). Namun, segala sumpah serapah terhadapnya harus diletakkan dalam ruang dan waktu ketika ia menjadi pelatih Madrid dan saya memuja Barca. Sepakbola yang ia mainkan pantas untuk dicaci maki, namun untuk semua hal yang ia telah berikan terhadap sepakbola, kita pun perlu angkat topi.

Semakin banyak membaca dan membaca (lagi) apa saja yang sudah dituliskan tentang MoU, saya semakin yakin bahwa narasi sejarah sepakbola membutuhkannya dan menempatkannya menjadi setan pesakitan agar industri sepakbola modern memiliki alasan untuk berkembang menjadi institusi religius yang lebih populer dan menarik jemaat di banding agama-agama besar dunia di zaman kita.

Narasi dominan tentang Mou sebagai iblis yang terusir dari surga Catalan terbangun menutupi kebenaran bahwa fondasi sepakbola modern dibangun di atas prinsip menang adalah segalanya. Seperti keterusiran iblis, narasi tentang Mou menutupi dalil dasar kehidupan bahwa moralitas kebaikan juga punya obsesi kemenangan dan terus berusaha mengalahkan moralitas keburukan, meskipun keduanya tidak pernah bisa hidup tanpa yang lain.

Contoh saja soal anak muda dan sepakbola negatif. Dianggap tidak suka anak muda, ia memberi debut bagi banyak pemain muda lebih banyak dibanding dengan pelatih yang memulai karir sezaman. Tudingan bahwa sepakbolanya negatif lebih sering keluar dari fan atau jurnalis yang mendukung tim-tim favorit yang dikalahkannya. Di tangannya, Madrid dan Chelsea juara liga dengan jumlah poin dan gol terbanyak.

Lagipula apa daya kita, sebagai penonton rombengan, menyangkal atau membela keputusan para direksi untuk merekrutnya. Keluarga Glazer tak akan menghitung keluhan kita. Yang bisa kita terima sebagai penggemar pinggiran adalah akhir pekan bahagia. 

Tentu saja, melihat tim bermain menyerang dan bermain bagus adalah kepuasan besar. Apalagi jika tim utamanya dipenuhi pemain lokal, pelatihnya adalah orang dalam dan gaya sepakbolanya merefleksikan kontinyuitas tradisi dan identitas klub yang kita bela.

Namun, berapa dari kita sih yang punya kesempatan untuk mendapatkan klub semacam ini? Berapa klub yang sering diperbincangkan di televisi berhasil melakukan itu semua? Sepakbola zaman kini lebih banyak menghasilkan klub-klub yang pintar menjual masa lalunya sembari memeras tenaga dan laba dari pemainnya serta mengincar uang-uang belanja harian penggemar yang seharusnya menjadi hak keluarga mereka tanpa begitu peduli dengan sepakbola.

Saya ingin MU menang karena itu memberi udara segar di akhir pekan setelah hari-hari yang berat. Jadi, saya tidak keberatan tim saya bermain buruk. Tak peduli jika dilatih oleh orang yang gampang menyulut pertikaian atau orang yang bermulut manis di depan wartawan. Tak peduli jika hampir semua pemainnya adalah hasil transferan. Tak peduli dengan cemoohan pendukung yang memuja-muja kebesaran masa lalu dan memaklumi kesemenjanaan masa kini klubnya.

Well, seseorang akan berpendapat, sepakbola global telah membawa klub-klub Eropa di televisi menjadi lebih nyata dibanding klub-klub kota tempat kita tinggal. Dunia sepakbola telah menjadi simulakra. Meskipun tidak menolak pandangan ini, bagi saya hampir-hampir sulit dibayangkan bagaimana seorang suporter Liverpool atau AS Roma nun jauh di Indonesia menjalani hidupnya dengan gembira pekan ini, dan berantakan di pekan kemudian, selama bertahun-tahun.

Butuh keajaiban untuk menjadi orang yang tidak lahir, bukan warga kota, dan jauh dari sejarah konkrit kota London atau Milan untuk menanggung penderitaan jika klub-klub yang ada dikota tersebut sering memberi nestapa dari pada perasaan bahagia. Sangat tidak enak menjadi pecundang tiap satu minggu, apalagi setelah harus begadang dan meriang. Tapi apa boleh dikata, dunia memang selalu membutuhkan masokis.

Peduli setan! Asal MU menang, hidup terasa lapang. 

*****

Setelah tiga musim yang membuat pening dan kulit kepala gatal, semua pendukung MU merindukan hari-hari yang gembira. Nah, kedatangan Jose memberi harapan baru, meskipun juga menyisakan kecemasan baru. Di sinilah letak dilema.

Sikap mendua terhadap Jose lebih karena, pertama, direksi MU membutuhkannya bukan untuk sebuah proyek jangka panjang sepakbola. Jika MU punya rencana matang meneruskan tradisi sepakbola klub, memberi kesempatan Van Gaal menyelesaikan kontrak sekaligus menjadi mentor Ryan Giggs (seperti yang telah ia lakukan dengan Koeman, Mou, Philip Cocu, Luis Enrique untuk sedikit nama) adalah pilihan yang masuk akal. 


Atau sabar menunggu beberapa tahun untuk melihat perkembangan situasi pelatih muda potensial macam Tomas Tuchel atau Mauricio Pocchetino sebelum mengambilnya di saat yang tepat.


Alasan MU merekrutnya mirip ketika Madrid meminta jasanya. Ia satu-satunya orang yang bisa mencegah MU jatuh menjadi klub kelas dua. Para direksi tahu, gelombang pasang sedang melanda kota Manchester. City sedang berselancar di atas ombak yang menjauhkan MU dari prestasi. Dan ini tidak bagus untuk bisnis. 


Ia bagus untuk bisnis sepakbola MU, namun barangkali tidak bagi tradisi sepakbolanya. Namun, jika Mou bisa menyeimbangkan keduanya dan memenuhi janjinya untuk membangkitkan sepakbola MU sebagai tontonan menarik, tidak sulit bagi penggemar cerewet seperti saya ini untuk mengubah kebencian menjadi pujian.

Mou diambil bukan untuk sebuah proyek meneruskan sepakbola yang disenangi publik Old Trafford. Ia direkrut mengimbangi gravitasi sepakbola di kota Manchester setelah Joseph Guardiola memilih City.

Semua tahu visi sepakbola Jose agak sulit dikawinkan dengan tradisi MU. Meskipun berulang kali ia ingin merevitalisasi tradisi sepakbola menyerang merek MU, agak sulit mengharapkan pelatih yang punya mantra ‘kontrol dan keseimbangan’ dapat menyegarkan kembali sepakbola penuh petualangan dan kekacauan (yang brilian) di era Matt Busby dan paruh pertama periode Fergie.

Namun, MU tidak punya pilihan lain untuk membiarkan pendulum pusat semesta sepakbola bergeser ke halaman rumah tetangga. Ia satu-satunya orang yang bisa meyakinkan pemain sebesar Zlatan untuk bermain di Liga Europa di senja kala karirnya. Ia bisa meyakinkan Pogba untuk mengabaikan tawaran Madrid. Ia masih jadi bintang di ruang konferensi pers. Namanya menahan harga saham, menarik pengiklan, dan menjangkau pasar global.

Jadi, alih-alih untuk menata rencana jangka panjang sepakbola pasca Ferguson, kehadiran Jose, pertama-tama, untuk menahan MU sebagai institusi industri tidak mengalami tragedi kejatuhan yang dialami oleh Liverpool. 

Keluarga Glazer merekrutnya untuk menjamin MU sebagai institusi industri menghasilkan laba. 


*****

Hal kedua yang membuat saya mendua adalah teka-teki waktu. Jose jelas pelatih istimewa. Ia adalah sedikit pelatih yang cocok dengan profil klub dengan skala MU. Ini bukan perkara koleksi piala. Kepribadian, kejeniusan dan ego besarnya sepadan dengan kebesaran MU.

Masalahnya: apakah perkawinan ini tepat waktu? Perkawinan yang baik, konon katanya, tidak dimulai dari cinta yang meluap-luap atau kecocokan rasi bintang. Ia dimulai dari pertemuan dua orang yang berbeda di waktu dan ruang yang tepat. Apakah Mou dan MU bertemu di waktu yang tepat?

Saya khawatir jawabannya tidak. Jawaban ini berkait dengan siklus kesuksesan pelatih hebat. Terdapat pola umum bahwa pelatih besar punya periode spesialnya sekali saja. Dan masa puncak ini tidak berlangsung lama.

Lazimnya, periode ini ditandai oleh keberhasilan si pelatih meracik taktik baru atau membentuk tim yang memainkan sepakbola dengan cara yang berbeda dari tim semasanya. Periode keemasan ini bermula ketika mereka membuat gebrakan di klub semenjana.  Berlanjut kemudian di periode awal ketika mereka bekerja di klub-klub besar dan mapan di mana mereka memantapkan temuan taktiknya.

Kisah Arrigo Sacchi, Arsene Wenger, dan Fergie, dan Jose sendiri cocok dengan narasi ini. Sacchi dan Wenger bereksperimen di Parma dan Monaco sementara Fergie dan Jose sukses di Aberdeen dan Uniao de Leiria sebelum menciptakan mesin pemenang di Milan, Arsenal, MU dan Porto.

Hampir semua pelatih spesial ini memulainya di usia 30an. Di masa ini, mereka belajar dan mencuri ide atau bagian eksperimen darin para pelatih inovatif sebelumnya. Lalu mereka berpetualang dan mencari klub di mana ia bisa mengembangkan dan menyempurnakan metode yang telah dipelajari.

Setelah sukses selama beberapa tahun, mereka menarik minat klub-klub besar yang lebih mapan. Periode di klub kecil dan awal-awal klub besar adalah periode puncaknya. Seiring kemapanan pekerjaan di klub-klub besar dan kaya, gairah eksperimentasi meredup. Inovasi menjadi stagnan. Setelah melewati usia setengah abad, mereka mengalami penurunan. Setelahnya, tim-tim yang mereka hasilkan membosankan atau tak lagi juara.

Lihatlah riwayat Van Gaal dan Wenger. Setelah mencapai puncak di akhir 40-an, mereka kehilangan daya magis. Mereka menjadi mandek, sementara ide-ide mereka dicuri dan disempurnakan oleh generasi baru.

Ferguson adalah perkecualian. Ia satu-satunya pelatih juara yang punya rentang karir panjang. Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi adalah kualitas Fergie yang disebut-sebut sebagai rahasia kesuksesannya—bukan keahlian merumuskan taktik atau menemukan kebaruan gaya dalam sepakbola.

Keberhasilan juara di empat negara menunjukkan bahwa Jose juga fleksibel dan pragmatis. Seperti Fergie, ia juga jago membangkitkan potensi pemain semenjana. Sukses besarnya adalah ketika membesut klub besar yang sedang krisis atau tim kuda hitam. Chelsea dan Inter Milan adalah contoh yang bagus.

Dilihat dari perspektif ini, Jose dan MU bisa jadi perkawinan yang bagus. MU bukan klub yang obsesif dengan inovasi taktik atau estetisasi permainan. Pendukung dan pemilik cenderung reseptif, asalkan timnya menang. Orang tidak banyak mengeluhkan permainan membosankan MU di paruh kedua masa Fergie karena ia, dengan satu dan lain cara, menjanjikan piala. Lagi pula, MU kini juga bukan lagi kekuatan dominan.

Masalahnya, pemecatan di Chelsea seperti memberi jalan bagi pembacaan kapan Mou mulai menuruni puncak karirnya dan menemukan krisis paruh baya. Diukur dari piala, penurunan karirnya sangat jelas. Jika dari 2002-2010 ia memberi 7 gelar liga, 2 Piala Champions, 1 Piala UEFA, dan selusin gelar minornya lain, maka dari 2010-2016, ia hanya punya 2 gelar liga dan satu gelar minor lainnya.

Jika diukur dari kemampuannya membentuk tim, juga ada tanda-tanda bahwa ia tidak lagi figur yang tanpa cela di mata pemainnya. Jika pemain Porto dan Inter memujanya sebagai Napoleon, maka friksi dengan Casillas di Madrid dan serta timnya, terutama Hazard dan dokternya, di Chelsea menandakan bahwa ia malih rupa menjadi Julius Caesar dengan Brutus-Brutus yang siap menikamnya di belakang.

Kritiknya terhadap pemain MU, belakangan ini, sering dirujuk sebagai kegagalannya untuk menyerap tekanan industri sepakbola dan menjadikan dirinya sebagai ‘kijang bidikan’ bagi masalah yang menimpa timnya, suatu keunggulan yang pernah menjadikan dirinya sebagai pujaan para pemainnya.

Sejarah sepakbola belum pernah mengenal pelatih spesial dua kali. Ia sedang berada di sebuah persimpangan jalan. Apakah ia sedang menuruni puncak karir setelah usia 50-an, seperti pelatih besar lain? Apakah ini badai dalam cawan yang justru menjadi awal bagi periode istimewa di klub baru? Ia berada di tubir waktu yang bisa membawanya melampui para legenda namun sekaligus bisa menyeretnya ke jalan yang telah dilalui oleh Wenger dan Van Gaal.

Sebagai penggemar, saya ingin MU menang dan diam-diam berharap ia bisa mengulang kejeniusannya. Mungkin ia telah menyiapkan rencana cadangan agar tidak menjadi Wenger atau Benitez. 

Namun, di sisi lain, hanya ada satu jalan keluar bagi pelatih yang tengah menuruni senja kala karirnya, pergi ke tim besar yang porak-poranda atau tim kecil dan membuat kehebohan semusim saja. Van Gaal melakukannya dengan AZ Alkmar, Capello melakukannya dengan AS Roma. Kadang terpikir Mou sebaiknya pergi ke Hamburg atau Valencia....

Dia sedang melakukan perjudian besar dengan menangani MU. Ia bisa membalik karirnya atau semakin memperdalam krisis yang sedang melanda klub ini dan menambah arang hitam di mukanya. 

Namun, tiga bulan adalah masa yang terlalu pendek untuk bisa menerka ke mana arah perkawinan Mou dan MU. Ada waktu di mana ia berusaha merestorasi permainan penuh resiko MU (ketika memasukkan 4 penyerang dalam derbi). Namun ada juga waktu di mana ia membawa ingatan sepakbola membosankan a la Van Gaal. Ada masa ia bersikap positif terhadap pemainnya. Ada kalanya bayang-bayang krisis Chelsea menggantung di udara.

Hari-hari ini, Mou membuat pendukung MU berada dalam dilema dan bersikap mendua.   

Related Posts: