Roberto Mancini: Aku Senang jadi Manajer, Aku Senang Marah-marah Setiap Hari*


Oleh Daniel Taylor (The Guardian)

Roberto Mancini sedang kembali ke masa kanak-kanaknya dan mencoba mengingat-ingat kapan saat ia tak terlalu terobsesi dengan kemenangan. Akhirnya, disimpulkannya, ia tak menemukannya. Sepupunya harus melewati pengalaman buruk saat Mancini, si bocah sembilan tahun, pada suatu hari, kalah main pingpong. "Ia mengalahkanku," ingat manajer Manchester City itu. “Maka aku lempar batku ke arahnya dan tepat kena kepalanya."

Il Bimbo, begitu mereka biasa memanggilnya di Casteldebole, akademi pemain muda Bologna. Para fotografer masa itu memperlihatkan Mancini dengan rambot coklat yang dibob dan deretan kumis tipis pertamanya. "Si Bocah" itu berumur 13, paling muda di akademi tersebut. “Itu 35 tahun lalu, tapi aku masih mengingatnya dengan baik," katanya. "Saat kau meninggalkan keluaganya di usia semuda itu, itu membuatmu jadi kuat dengan cepat. Aku punya masalah besar di tahun pertama. Aku rindu keluargaku. Aku tak bahagia. Itu sulit. Aku ingat pada hari pertamaku di sekolah baru. Aku lihat, kuputuskan tidak menyukainya, lalu aku ngeloyor pergi. Mereka membuatku kembali keesokan harinya dan aku mendapati diriku tak bisa lari lagi. Untuk satu tahun itu sangat sulit. Bayangkan, 13 tahun, meninggalkan rumah. Tapi aku tetap di situ."

Itu adalah jenis cerita yang mungkin menolong untuk menjelaskan betapa kerasnya ia terhadap para pemainnya saat ia menyangka mereka tak memperlakukan karirnya dengan cukup serius. Ia telah, bagaimanapun, mengorbankan dirinya. Ia juga, sebagaimana diakuinya, seorang yang sulit dihibur jika sudah kalah. "Aku selalu sama. Aku punya mentalitas yang sama bahkan sejak aku masih main bola dengan teman-temanku di SD. Aku ingin menang. Aku cuma mau menang. Aku tak suka ambil bagian pada apapun dan tidak jadi juara."

Kami ngobrol di gerai Etihad di Bandara Manchester, saat Mancini membayangkan City berangkat pada pertandingan hari Minggu melawan Chelsea dengan 15 poin di belakang Manchester United dan dengan cepat tak lagi kelihatan di kaca spion mereka. Ada frustrasi, bantahan, juga sedikit amarah. Mancini, yang segera tampak, jadi mudah tersinggung dengan perdebatan soal posisinya manajerialnya yang berkepanjangan. Dia bicara tentang pemain-pemain yang "berpikir cukup dengan bermain 50%". Juga kritikan paling segar terhadap Samir Nasri dan, yang kurang merebak, Joe Hart.

Belum lagi kalimatnya yang lebih tajam yang ditujukan secara tidak langsung kepada sasaran lamanya, Brian Marwood, yang hingga Oktober lalu bertanggungjawab atas urusan transfer City. "Penting kiranya untuk tahu kalau kami melakukan beberapa kesalahan. Aku melakukan beberapa kesalahan, demikian juga pemain. Namun, alasan utama adalah sebab kami tak melakukan apa yang harus dilakukan pada pasar transfer musim panas—kami bekerja sangat buruk di pasaran."

Musim panas depan, dengan Ferran Soriano dan Txiki Beguiristain sebagai pengontrol rekrutmen, Mancini berharap dan membayangkan akan berbeda—namun di situ juga terungkap cara pandang seorang Mancini sebagai politisi, orang yang di akhir wawancara berkata bahwa suatu hari dia berencana untuk jadi seorang direktur klub sepakbola. Sebuah kerjapan jengkel pada dua jam bersamanya muncul saat aku bertanya bagaimana cara dia bekerja sama dengan dua orang di atasnya itu. "Txiki dan Ferran? Mereka tidak di atasku," sergahnya. "Yang di atasku cuma Khaldoon (Al Mubarak) dan Sheikh Mansour."

Yang patut digarisbawahi adalah ucapan Mancini tentang chief executive dan direktur sepakbola City yang baru, yang sangat berbeda dibanding para pendahulunya. "Ferran datang dari Barcelona dan mengerti apa yang dibutuhkan untuk jadi klub top. Txiki main bola dan tahu sepakbola. Mereka orang baik. Untuk alasan ini, aku optimistis dengan masa depan kami. Kami sekarang punya orang-orang yang tahu sepakbola. Kami butuh beberapa pemain dan mereka sedang mengusahakannya. Pada saat ini, adalah lebih baik fokus kami pada tiga bulan terakhir, tapi klub tahu (soal) itu dan aku tahu itu."

Edinson Cavani adalah pilihan pertamanya. "Aku menyukainya, tapi seluruh dunia juga menginginkannya. Ada beberapa pemain bagus. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. (Luis) Suarez bermain untuk klub top macam Liverpool. Cavani bermain untuk Napoli. Ada (Radamel) Falcao, tapi, sekali lagi, seluruh manajer juga menyukainya. Neymar juga pemain bagus, masih muda, dan aku tak tahu apakah dia siap untuk bermain di Inggris, mengingat di sini sepakbolanya sama sekali berbeda. Aku kira dia akan ke Barcelona atau Madrid, yang sepakbolanya lebih taktis. Tapi Cavani dan Falcao akan bagus di Inggris. Mereka punya pengalaman. Keduanya berumur 26, 27. Mereka akan cukup bagus untuk bermain di Inggris."

Ia curiga bahwa beberapa pemain yang memenangkan gelar liga musim lalu sudah dimabuk rasa puas. Nasri adalah contoh untuk ini. "Aku pikir Samir punya kualitas fantastis. Dengan kualitas yang dimilikinya, dia seharusnya selalu bermain bagus. Setiap game dia harus menyajikan hal berbeda. Pemain dengan kualitas macam itu seharusnya jadi salah satu pemain terbaik di Eropa. Tapi itu tak terjadi.

"Kadang seorang pemain berpikir sudah merasa cukup dengan apa yang mereka lakukan pada musim sebelumnya dan tidak paham bahwa setiap hari dia harus berkembang. Jika kau pemain top kau tahu kau bisa berkembang sampai hari terakhir karirmu, tapi kadang kau dapat pemain yang berpikir kalau kerja itu tidak penting dan inilah kesalahan terburuk mereka. Samir bisa melakukan lebih baik dibanding tahun ini. Dia pemain top, tapi dia tak bermain di levelnya."

Dia menunjuk Pablo Zabaleta bisa jadi adalah pemain City dengan penampilan terbaik—"Dia bermain sangat sangat baik"—namun Pablo terlalu sedikit memiliki pesain.  Menyangkut Hart, ia langsung mengacu pada rekam jejak. "Dengar, aku mempercayai Joe saat tak seorang pun mempercayainya. Aku taruh ia di gawang saat semua orang berpikir bahwa mustahil ia bisa bersaing dengan Shay Given, yang pada saat itu merupakan salah satu penjaga gawang terbaik di Eropa. Aku suka Joe. Jika tidak, aku tak akan memasukkanya ke tim dua tahun lalu.

"Tapi sederhana saja. Jika Joe terus-terusan melakukan kesalahan, dia akan terdampar di bangku cadangan. Aku melakukan itu terhadap Samir, (David) Silva, dan (Carlos) Tevez musim ini dan itu bisa saja terjadi pada Joe. Masalahnya, jika penjaga gawang melakukan kesalahan, kami akan kalah. Joe memiliki kualitas untuk jadi penjaga gawang terbaik. Dia penjaga gawang terbaik di Inggris. Namun, untuk situasi Manchester City, jika kau ingin tetap berada di puncak, kau butuh kerja keras dan hanya memikirkan sepakbola. Dia musti hanya memikirkan pekerjaannya dan jadi penjaga gawang."

Adalah tak lazim mendengar seorang manajer yang dengan sadar mempertanyakan kemampuan pemainnya ke khalayak. Itu berbeda, sebut saja, dengan manajer macam Arsene Wenger, yang akan selalu mencoba melindungi pemainnya pada saat-saat sulit. "Tapi aku bukan Arsene Wenger. Kami berbeda. Aku ingin menang. Aku rasa setiap pemain harus cukup kuat untuk ambil tanggung jawab dan, dengan cara ini, kau bisa berkembang. Kau tak bisa berkembang jika kau punya manajer yang bilang, ‘ah, tak usah kuatir, kau lakukan kesalahan dan itu tak masalah.’”

Pembicaraan kemudian beralih soal posisinya sebagai manajer City. Tidakkah dia terganggu karena berita (soal penggantiannya) itu terus saja muncul? "Aku tidak paham. Serius, alasannya apa? Sejak kami mulai, pada Mei 2011, Manchester City adalah tim terbaik di Inggris, ya nggak? Kami memenangi tiga tropi, MU dua, Chelsea dua, Liverpool satu. Tak ada tim yang pialanya melebihi kami.

"Sekarang kami ada di posisi dua dan masih melaju di Piala FA. Kami berharap kami bisa memenangkan liga dan tak pernah berkata tidak bisa. Tapi, jika kami finis kedua, oke, kami melakukan beberapa kesalahan tapi kami tetap saja telah melakukan kerja bagus jika dalam tiga tahun kami finis nomor dua, satu, lalu dua. Makanya, aku tetap tak mengerti. Aku baru mengerti jika kami tak memenangkan apapun dalam tiga tahun. Itu akan sulit bagiku untuk tetap tinggal, sebab aku tak bisa berada di dalam sebuah tim yang aku tak bisa bekerja dengan baik. Namun aku telah melakukan kerja bagus di sini."

Dalam jumpa persnya pada hari Jumat, Mancini ditanya tentang laporan yang menghubung-hubungkan City dengan manajer Malaga, Manuel Pellegrini. "Persetan," katanya. "Aku tak bisa jawab pertanyaan soal itu."  
Chelsea, katanya, menunjukkan bahwa gonta-ganti manajer tak selalu ada gunanya. "Bagiku, Carlo (Ancelotti) adalah kasus yang aneh. Carlo adalah salah satu manajer terbaik di dunia, itu pendapatku. Ia memenangi liga dan Piala FA dan kemudian mereka memecatnya. Sulit bagi klub yang berganti manajer setiap tahun, setiap dua tahun. Keadaan (Sir Alex) Ferguson benar-benar berbeda, sebab ia mulai bekerja untuk United di zaman yang berbeda. Kini ia seperti kursi di stadion, seperti rumput di lapangan. Dia adalah bagian dari United.

“Aku ingin meneruskan pekerjaanku. Aku selalu ingin bekerja di Inggris. Oke, Manchester memang bukan Roma, tempat di mana matahari terus bersinar. Keduanya kota yang berbeda. Hujan memang jadi masalah, tapi apakah aku menyukai Manchester? Ya. Aku kerasan di sini. Boleh jadi tak ada 100 restoran di sini, tapi itu bukan soal. Aku suka putar-putar dengan sepedaku. Saat itulah aku lakukan apa yang aku pikirkan. Dua atau tiga jam di jalanan. Itu saat kau memperoleh waktu luang dan kau bisa berpikir tanpa ada gangguan. Aku tahu Alderley Edge, Wilmslow, Hale. Asyik. Istriku juga suka. Sesekali kami pergi ke London untuk lihat-lihat. Aku suka dengan masyarakat di sini sebab mereka membiarkanmu lewat. Kadangkala mereka minta tandatangan, tapi mereka menghormatimu.

"Di Italia, persnya beda. Di sana, semua jurnalis berpikir seakan mereka semua adalah manajer. Bukan cuma jurnalis, sebenarnya. Kami punya 55 juta manajer sepakbola di Italia. Di Inggris beda. Bolehjadi pers Inggris suka ingin tahu lebih soal kehidupan pribadi pelaku sepakbola, tapi itu tak masalah buatku. Inggris adalah tempat yang diinginkan setiap manajer, di depan 40 atau 50 ribu orang di setiap pekan. Itu indah."

Ngomong soal pers membawa kami kepada soal Mario Balotelli. "Mario sudah tak di sini lagi, itu pasti jadi masalah besar buat paparazzi dan The Sun," kata Mancini, menyeringai. "Aku bahagia untuknya atas gol-gol yang dicetaknya buat Milan sekarang. Aku yakin dia akan mencetak lebih banyak gol, sebab di Italia kompetisinya tak sesulit di Inggris. Dalam 10 tahun terakhir, sepakbola Italia begitu-begitu saja. Untuknya, itu lebih mudah. Ia lahir di sana. Ia tahu sepakbola Italia.

"Aku cuma berpikir Mario tidak mengerti bahwa, untuknya, Manchester City adalah kesempatan yang sangat, sangat besar. Ia tak berpikir soal itu, ia tak berpikir soal masa depannya. Ia anak baik. Ia tidak lagi 16, tapi 22 tahun tetap saja masih muda. Dan kalau kau masih muda, kau melakukan kesalahan.

"Mario punya masa-masa susah saat dia kecil. Itu alasan penting kenapa dia seperti itu. Dia beruntung karena menemukan sebuah keluarga yang baik, tapi pada umur 22 kau tak akan punya pengalaman hidup layaknya seseorang yang berumur 35. Aku mencoba memberikannya segala yang aku bisa. Ia seperti anakku sendiri. Aku mohon maaf sebab kupikir Mario bisa memberikan lebih bagi Manchester City. Tapi kami telah memenangkan liga dan Piala FA bersamanya dan itu penting."

Mencari pengganti Balotelli akan menjadi prioritas di musim panas nanti. "Kami bertarung melawan tim macam United yang terbiasa juara setiap tahunnya. Kami tak memiliki pengalaman mereka. Kami butuh kerja keras, tiap hari, tiap minggu, sebab kami butuh berkembang. Tapi di pasar transfer kami sejajar. Kami bekerja dengan buruk (musim panas lalu) dan aku tak tahu kenapa, sebab saat kau memenangi liga itulah saat untuk membawa dua atau tiga pemain top untuk meningkatkan mentalitas tim.

"Pemain baru ingin menunjukkan bahwa mereka lebih baik dibanding pemain lama, dan itu artinya pemain lama harus bermain lebih baik dibanding tahun lalu. Tapi kami tak melakukan itu. Sepakbola penuh dengan sejarah macam begini. Kau memenangkan gelar, kemudian kau pikir sudah cukup bermain 50%. Dan, kau tak memperoleh apa-apa di musim berikutnya. Selalu lebih sulit mempertahankan gelar dibanding merebutnya. Kami mencapai puncak. Persoalannya adalah bagaimana tetap di situ dalam waktu lama. Kau bisa melakukannya hanya jika secara mental kau cukup kuat."

Kalah berebut Robin van Persie dengan MU ternyata menyisakan luka. "Inilah bedanya. Hanya ini. Kami kehilangan 10-15 gol. Dan gol segitu itu bernilai delapan atau sembilan poin. Dan Van Persie adalah pemain United."

Di Southampton, baru-baru ini, Mancini  begitu jijik dengan penampilan timnya, sampai-sampai ia tidak masuk ke ruang ganti pemain seusai pertandingan. Bagaimana ia menghadapi kekalahan buruk macam itu? "Orang Inggris dan orang Italia benar-benar berbeda. Bagi beberapa manajer Inggris, menang atau kalah, begitu pertandingan selesai, ya selesai. Aku tidak begitu. Jika kami kalah, dalam 24 jam, maka di kepalaku hanya ada pikiran: 'Apa salahku? Apa yang kulakukan berbeda? Kenapa kami kalah?' Dalam 24 jam pikiran itu yang berputar-putar di kepalaku. Aku bisa tidur beberapa jam tapi tak bisa lebih lelap. Aku hidup untuk sepakbola. Mustahil untukku menerima kekalahan. Dalam 24 jam itu aku harus paham apa yang sebenarnya terjadi."

Usianya 48. Garis kekuatiran pertama itu muncul di wajahnya yang kecoklatan. Berapa lama ia akan bertahan di manajemen? "Tergantung pikiranku. Ada beberapa posisi yang berbeda di klub sepakbola dan aku bisa melakukan pekerjaan lain. Untuk saat ini, aku senang jadi seorang manajer. Aku senang marah-marah setiap hari. Aku senang melakukan pekerjaan ini mungkin sampai usia 60. Lalu, mungkin kerja dengan seorang ketua klub mana gitu."

Sebelum itu, dia tergelitik dengan kemungkinan untuk memanajeri Inggris pada suatu masa. "Itu bisa terjadi jika mereka ingin menang. Itu menarik. Dan jika aku memanajeri Inggris dan memenangkan Piala Dunia atau Piala Eropa, aku mau dianugerahi gelar ksatria. Tak usah patung, gelar ksatria saja sudah cukup."


*terj. Mahfud Ikhwan

Related Posts:

Si Tonggos Itu Tak Tampak Lagi Giginya

Oleh Darmanto Simaepa

Begitu nama Ronaldinho muncul dalam daftar line-up yang berjalan di Sky TV—lebih tepatnya streamline Sky TV—saya berani mengambil resiko kehilangan dua jam lembur menulis outline disertasi, atau lebih buruk dari itu, berani membayangkan akan bertemu muka masam supervisor esok hari. Tentu saja, berita Scolari memanggil kembali Dinho telah datang beberapa waktu sebelumnya. Namun, melihat kepastian ia dimainkan dari menit pertama—apalagi di tengah genting tenggat waktu menulis sebagai sebuah kewajiban—adalah sensasi yang sangat menyenangkan.

Saya segera menutup semua halaman microsoft word dan mulai berharap akan tergelak-gelak sendiri—suatu pengalaman menonton sepakbola yang tidak didapatkan sejak si tonggos itu kehilangan kontrol atas selera makan, sering menenggak alkohol dan keluar malam, serta kemudian dipaksa keluar dari Nou Camp.

Menunggu seremoni sebelum pertandingan seakan lebih jemu dari mengantri tiket kereta api, dan menonton jabat tangan Boby Charlton kepada para pemain kedua kesebelasan serasa menyaksikan basa-basi elit partai atau birokrasi sebelum memberi bantuan seekor anak sapi. Bahkan, karena takut kehilangan sentuhan pertama si tonggos, saya rela menahan sakitnya kantung kemih dan menutup siaran Argentina lawan Swedia dan Belanda versus Italia.

Saya tak punya kesabaran terkait dengan Ronaldinho. Ia adalah pemain yang bakat sepakbolanya, jika diberi kesempatan memilih di kehidupan lainnya, ingin saya miliki. Ia membuat sepakbola tampak sebagai sebuah permainan jenaka, sekaligus teka-teki yang sangat cerdas dan teliti. Pemain yang ketika berlari bersama bola, berpindah antar lini, membuat sepakbola dimainkan dengan cara yang kata Galeano, mirip permainan misteri tanpa tujuan, selain menikmati dan menunaikan permainan itu sendiri. Hal itu mudah kita kenali dari caranya mengeluarkan gigi.

*****

Satu pernyataan yang mewakili permainan Ronaldinho adalah: Ia bisa mengelabui lawan, mencetak gol tanpa melihat ke arah bola atau sambil tersenyum, tetapi si lawan, alih-alih tersinggung atau marah, malahan akan ikut tertawa dan mengaguminya—juga seluruh dunia yang menyaksikannya.

Jika ada pemain yang disebut dari planet lain—saya akan menyebutnya kali pertama. Zidane dengan keanggunan balerinanya membuat lawan hormat, tapi jelas Materazzi tidak pernah secara terbuka mengatakan hal-hal baik terhadapnya, atau paling tidak Frank Lebouf. Maradona dengan kejeniusan dan gambeta-nya menjadikan lawan berhenti bernapas, tapi itu tidak menjadikan Vierchowood terus meludahinya. Messi dengan kerendahhatian dan insting predatornya dipilih para kapten seluruh dunia empat kali menjadi yang terbaik yang pernah dihadapi, namun Pepe, Ramos atau Diego Godin tanpa sungkan menginjak tangan atau berhenti menyikutnya. Pele? ah, orang Brazil bahkan menyebut dia sebagai versi tiruan Zico yang datang pada masa sebelum versi aslinya diciptakan.

Saya teringat ketawa Gattuso yang gagal menekelnya dalam sebuah pertandingan perempat final liga Championn 2006. Setelah terjengkang karena beradu kuda-kuda dan beberapa kali dilewati, Gattuso menghampiri Dinho saat jeda babak pertama. Lalu si badak dari Salernitana itu mengacak-acak rambut kriwilnya dan mengatakan, kalau dalam bahasa Jenderal Nagabonar: 'bajingan kecil kau', sambil terkekeh-kekeh.

Anda pernah mendengar kisah 'Maradona singgah di Barnebeu'? Saya menikmati keberuntungan menonton momen langka itu, ketika pendukung Madrid memberi tepuk tangan sambil berdiri dan lambaian sapu tangan putih kepada pemain Barcelona—selama 10 menit.

Maradona adalah orang pertama yang melakukannya di tahun 1982. Ia melewati 3 bek, kiper, dan meletakkan bola tepat di garis terakhir lapangan seperti meletakkan telur di tempat ayam mengeram.

Musim semi 2007, Ronaldinho mengulanginya dengan lebih ajaib: dua gol, dua solo run, dua senyuman, dan dua kali tepuk tangan. Senyuman yang membuat lubang kosong di jantung para pemain Madrid dalam catatan karirnya.

Salgado menulis di FourFourTwo 5 tahun kemudian dengan mengatakan: mendengar Madridista menyanyikan lagu dan nama untuk Ronaldinho dan tim Barca malam itu, ia merasa Brutus menikamkan belati ke ulu hatinya. Namun, lanjut Salgado, menyaksikan kelebat senyum Dinho saat melewatinya adalah sebuah berkah sejarah. Alih-alih sebal dengan si tonggos, ia lebih memilih menghukum dirinya jika tidak pernah dikelabui olehnya.

Yang hidup dalam ingatan saya dari cara bermainnya: semuanya adalah tentang kegembiraan. Apakah dengan mengolongkan si kulit bundar ke sela-sela kaki lawan, mengumpan dengan punggung, mencetak gol siluman ke gawang Chelsea, mengontrol bola dengan sisi dalam kedua paha, melesakkan bola ke jala dengan tendangan gunting, mengilik dengan ujung sepatu, atau umpan tanpa-tengoknya: sepakbola pantas dinikmati karena ia dimainkan dengan cara riang dan bahagia.

Dinho memainkan jenis sepakbola seperti ia berebut bola dengan anjing kecil yang keranjingan di pasir tropis Sao Paulo. Menyaksikannya bermain, saya seperti sedang menunggu anak kecil yang sedang belajar berlari dan berusaha menendang bola plastik di dekatnya. Meskipun si anak itu mungkin akan terjatuh dan menangis, kilatan mata dan senyuman memberi petunjuk bahwa: menyepak bola adalah gabungan antusiasme, rasa penasaran, dan luapan kegembiraan.

Garrincha adalah pemain yang dianggap mewariskan cara bermain—boleh saya sebut?—sepakbola jenaka itu. Saya tidak pernah menyaksikan Garrincha, kecuali video pendek hitam putih di Youtube. Kakinya yang panjang sebelah itu berlari ke sana kemari mengitari sisi kanan lapangan dengan bola yang seolah seperti terikat tali sepatunya--seperti menonton Charlie Chaplin dengan topi dan kumisnya dalam Modern Time.

Seperti halnya semua orang Brazil meyakini esensi sepakbola samba ada pada Garrincha, hanya ada satu pemain yang tinggal dihati orang Brazil selain dirinya, yakni si tonggos. Seperti halnya nasib yang telah diramalkan kepada si kaki pincang, nubuat nasional ditetapkan bahwa kisah akhir Ronaldinho menempuh rute serupa: hancur sebelum masanya tiba akibat asupan nutrisi tidak sehat, atau karena perempuan dan minuman, lalu hidup dalam kemiskinan dan terlunta-lunta.

Selain Garrincha, gagasan dan praktik tentang jogo bonito konon diwujudkan oleh Tostao, Junior, Sokrates dan kawan-kawan. Ya benar, Brazil 82' adalah orgasme sepakbola. Tele Santana menciptakan sepakbola kreatif dan penuh gaya. Mereka membuat padang rumput bergaris tepi laksana kanvas bagi jiwa-jiwa liar dan bebas merdeka. Tapi, tim Brazil terbaik yang pernah ada itu masih kurang satu hal: hebat dalam ukuran seni namun selera humor kurang tinggi.

Mungkin karena siaran televisi memberi lebih banyak tayangan mingguan, Ronaldinholah yang menautkan imajinasi saya tentang sepakbola impian.

*****

Awal-awal siaran mengarahkan kamera secara dekat dan dengan waktu yang lama ke arahnya. Saya berbinar kerena dari layar 24 inci di jarak kurang dari 1 meter, nampak bahunya sedikit kerempeng dan perutnya lebih rata, dibandingkan saat di Milan. Secara umum ia lebih atletis dan kaus yang tidak ia masukkan ke celana, bukan satu cara untuk mengurangi lembek ototnya.

Sedikit aneh memang, karena sejak pergi dari Flamengo, ia tidak bermain secara reguler. Mungkin ia lebih sering berlari di pantai Copacabana dengan anjingnya atau latihan fisik di gym dari pada pulang dini hari dan menikmati olahraga dengan para perempuan ‘bayaran’.

Perlu empat menit bagi desir hati untuk menantikan sentuhan pertamanya. Satu umpan pendek dengan Neymar. Dan perlu beberapa waktu menunggu lagi ia menyisir sisi kiri dan berupaya juga mengubah arah permainan dengan sebuah umpan tak terduga. Beberapa kali ia berusaha terlibat dalam aliran serangan, tapi ia hanya bergerak terlalu sedikit, sehingga hanya menyentuh bola terlalu sedikit. Kakinya belum seyakin dan sepercaya diri sebelumnya.

Ia hanya sedikit berlari dan selama sepuluh menit, ia tidak pernah memilin bola ke udara. Ia bahkan dua-tiga kali salah operan. Tak ada umpan terobosan melintasi kepala para bek. Tidak ada bola menyusur diatas rumput, membelah anatomi pertahanan lawan, kecuali umpan tanggung ke kotak penalti yang menemui nasib sial tangan Wilshere. Saya mulai berharap: apakah pertunjukan baru akan dimulai?

Ahhhh, penalti yang buruk dan gerak reflek yang sudah sedemikan melemah. Kekalahan duel dengan Joe Hart tidak hanya menggambarkan apa yang hilang darinya. Justru sebaliknya, itu menunjukkan kualitas apa yang kini dipunyainya. Cara ia berdiri tegak, membusungkan dada dan mengetuk tanah dengan ujung sepatunya masih sama. Namun yang pasti, sentuhan magis atas bola telah pergi bersama dengan kamera paparazzi yang dulu menyertai kemana ia lari.

Meskipun sudah menyiapkan diri untuk tidak berharap banyak, melihat setengah babak Ronaldinho seperti melihat seorang pelukis ekspresionis yang mendadak buta warna. Ia ibarat seorang kutu buku tentang hutan yang mendapati hutan belantara, tempat tautan imajinasinya, berubah menjadi ilalang atau kawasan perkebunan. Ia hanya sedikit berlari, sebentar mengolah bola, dan umpan magisnya lenyap bersama munculnya rasa kecewa.

Luis Fabiano yang dimainkan sebagai tandemnya ikut memperburuk situasi. Para pria lewat 30an yang telah meredup sinarnya, ketika dimainkan bersama, membuat pelita yang diharapkan menyala terang dari Neymar dan Paulinho, menjadi padam. Kecuali Oscar yang lebih aktif bergerak dan bermain lebih matang dari usianya, Brazil adalah sekumpulan pemain sebuah grup orkestra yang dipaksa ber-akapela.

Sepanjang satu babak, saya tidak sekalipun melihat Ronaldinho tersenyum. Tidak ada gelengan kepala, atau seringai hidung, ketika bola tidak mematuhi perintahnya. Pun juga telunjuknya saat meminta tandemnya bergerak di belakang bek lawan. Tidak ada gestur tubuh yang membuat sepakbola memberi kegembiraan sejenak, suatu cara paling indah untuk melarikan diri delapan bab transisi agraria.

*****

Sepakbola jenaka itu tidak akan pernah kembali. Kembalinya Dinho, hanya upaya Brazil (atau tepatnya Scolari?) menenangkan diri dari kegugupan menjelang piala dunia. Ditanah tempat pemain sepakbola merdeka dan bahagia—juga jenaka—lahir dan diciptakan, tekanan sedang meninggi. Cara terbaik untuk menguranginya, sekaligus berusaha memberi hiburan bagi penggemar yang menuntut, adalah memberikan peran bagi aktor yang paling dicintai.

Si tonggos itu telah kehilangan senyumnya. Senyuman yang membuat gigi, sekaligus permainannya keluar. Senyuman yang membuat sepakbola mendekati definisi sebagai sebuah permainan—dan bukan pertandingan. Scolari mungkin sedang berusaha menghadirkan Dinho untuk memberi inspirasi bagi Neymar, Lucas atau Oscar. Hanya saja, senyum itu tidak akan pernah bisa dipanggil lagi.

Yang mengeluarkan gigi tonggos dari bibir Ronaldinho adalah senyuman dari otot, pikiran, nadi, pembuluh darahnya. Pendek kata: Ronaldinho telah melewati momentum dan kemampuan tubuhnya sendiri. Sangat jelas pesan malam di Wembley itu: seluruh badannya tidak lagi bisa menopang kegembiraan dan kejenakaannya saat bertemu dan menyihir bola.

Dan penonton yang berharap gigi tonggos Ronaldinho keluar kembali, harus rela menerima kenyataan bahwa, bukan senyumnya yang akan kita saksikan, tapi justru senyum kecut sendirilah yang akan didapatkan.

Related Posts: