BEK: Sebuah Novel (Bag. 4)

Oleh Mahfud Ikhwan

2/ 
Namun, mereka tak harus mengalami hal memalukan itu pada masa-masa berikutnya. Tidak di koridor, tidak pula di halaman. Saat bocah-bocah itu memasuki kelas tiga, mereka telah menjadi penguasa setiap gim yang dilangsungkan di halaman.
Selalu sulit bersaing dengan anak-anak yang lebih besar. Namun, kelihatannya, mereka hanya menunggu waktu untuk menjadi penguasa sepenuhnya halaman sekolah itu. Dan rasanya itu tak akan lama. Sekolah kecil itu tak memiliki banyak murid, dan lebih sedikit lagi memiliki murid laki-laki. Dalam setiap kelas, paling banyak diisi oleh enam murid laki-laki. Dari enam murid, bersama berjalannya waktu, biasanya menyisakan separonya saja yang suka sepakbola—dengan satu hingga dua dari mereka berkemampuan cukup baik. Hal ini menjadi berkah bagi Isnan dan teman-teman. Ketika keenam murid laki-laki kelas tiga bisa bermain sepakbola semua, maka segera saja mereka menjadi tampak menonjol di antara kelas-kelas lainnya. Dalam pertandingan-pertandingan antarkelas tidak resmi, selain selalu menang melawan adik-adik kelasnya, Isnan dan kawan-kawannya tak jarang membabat tim kelas 5 atau bahkan kelas 6. Dominasi mereka semakin kentara saat pada sebuah pertandingan sepakbola antarmadrasah, dalam sebuah pekan pramuka sekecamatan, bocah-bocah kelas tiga itu berjasa besar membawa sekolah mereka melaju hingga final. Isnan dkk. gagal menjadi juara setelah kalah dari tim Madrasah Ibtidaiyah Jatianyar—sebuah tim yang terdiri dari bocah-bocah yang para kakak dan bapaknya berpuluh-puluh kali merajai kompetisi sepakbola antardesa di kecamatan ini. 
“Kita harus mulai main di lapangan,” dengus Kacung, pada sebuah petang, seusai menyelesaikan permianan yang tidak begitu menyenangkan. “Bosan aku main di sini melulu.”
“Maksudmu, main di belakang gawang?” sahut Agung. “Bukannya di situ biasa dipakai anak-anak sekitar sana?”
“Buat apa di belakang gawang?” sambar Kacung. Sembari menyelonjorkan kaki, seakan menunjukkan kalau kakinya sudah cukup kuat untuk sebuah permaianan sepakbola yang sesungguhnya, ia berkoar, “Kita ikut main di lapangan besar.”
“Aku ikut!” Wakid mengacungkan tangan.
“Apa bisa?” sergah Isnan. “Aku dengar, Kamdun saja tidak hanya jadi serep. Masuk kalau sudah pada loyo. Padahal dia sudah Tsanawiyah.”
“Itu karena dia goblok.” Agung menyampur. “Aku pernah main sama dia di kebun bapaknya. Dia tak pernah becus kirim umpan. Bisanya cuma merepotkan teman.”
“Apa kau yakin sudah cukup kuat? Kau tahu sendiri, itu lapangan lebarnya enam kali lipat halaman sekolah ini.” Agung bertanya.

Related Posts:

BEK: Sebuah Novel (Bag. 3)

Oleh Mahfud Ikhwan


Sejak melihat pertandingan sore itu, tak sabar rasanya ia menunggu kapan masanya tiba ketika ia cukup besar untuk menjadi bagian dari tim, menjadi penguasa lapangan, menang, dielu-elukan. Masa itu pasti masih lama, namun ia tak mau menunggu terlalu lama. Jalan menuju ke lapangan itu ingin secepatnya ia retas.

Maka, sejak sangat mula, ia telah mengawalinya.


Memulai langsung dari lapangan adalah hampir tidak mungkin. Lapangan itu jauh di pinggir desa. Berbatasan dengan sawah-sawah di baratnya, hutan jati di selatannya, dan kuburan desa di utaranya (keduanya hanya dipisahkan jalan). Rumah yang terdekat, yang ada di sebelah timurnya, terpisah oleh beberapa petak tegalan. Jadi, jika rumahmu tidak berada agak dekat dengannya, atau kau tidak cukup gila untuk dianggap sebagai bocah konyol sok pemberani, lapangan adalah tempat yang harus menunggu giliran amat belakangan sebagai tempatmu bermain bola. Karena itu, sebelum menginjak lapangan sebagai pemain, bocah-bocah Lerok musti bersabar diri untuk berdebu-debu di halaman-halaman depan rumah tetangga yang cukup lega, atau pelataran-pelataran masjid dan langgar yang cukup longgar, atau kebun-kebun kosong bertanah rata di bawah tebing yang lebih dekat dengan rumah.

Namun bicara soal halaman-halaman yang cukup lega, atau pelataran-pelataran masjid dan langgar yang sedikit longgar, atau kebun-kebun kosong bertanah rata di Lerok, sama saja dengan membicarakan berapa kali tim nasional Indonesia menjadi juara. Ya, itu amat langka.

Desa itu, Lerok namanya, adalah sebuah desa yang menggelendot di bawah sebaris tebing yang ditaburi bukit-bukit. Pemukiman terletak di area dengan kemiringan lebih dari 30 derajat. Itulah yang membuat lapangan terletak jauh di barat, di mana permukaan tanah sudah mulai melandai. Desa ini menyediakan banyak tempat yang nyaman untuk menaikkan layang-layang, tapi tidak untuk bermain sepakbola. Di sebuah tempat yang lebih cocok untuk menjadi arena balap sepeda nomor downhill, mencari pelataran yang cukup pantas untuk jadi tempat bermain bola sungguhlah tak mudah. Karena itu, di tengah pemukiman, hanya ada beberapa tempat saja yang bisa dijadikan para bocah sebagai tempat berkumpul, dan kemudian mulai mengejar-ngejar sampah plastik yang dipadatkan jadi bulat. Salah satunya adalah halaman di depan gedung sekolah itu. Sebuah gedung kecil dan terjepit masjid dan rumah-rumah warga yang menampung enam kelas Ibtida’iyah dan dua kelas Taman Kanak-kanak.

Halaman madrasah itu adalah halaman paling luas di seantero desa yang bisa dipakai main bola, walau sangat jauh dari rata. (Mana mungkin bisa rata, jika halaman ini pada lima tahun sebelumnya adalah bangunan pemandian umum yang jebol dan karena itu harus dirubuhkan.) Sudah begitu, di tempat itu tak mungkin bisa dilangsungkan sebuah pertandingan antara dua tim yang masing-masing terdiri lebih dari 5 bocah. Artinya, setiap pertandingan yang digelar di halaman itu, hanya bisa menampung tak lebih dari 10 bocah. Dan, begitulah, hukum alam pun bekerja. Jika pada suatu sore ada 20 bocah yang berkumpul, maka tentu saja yang separoh harus minggir. Dan, mudah ditebak, yang tersingkir adalah mereka yang paling goblok atau paling lemah, termasuk di dalamnya adalah mereka yang masih dianggap terlalu kecil untuk beradu tulang kering di tengah pelataran berbatu itu.

Beberapa dari yang goblok dan lemah itu ada yang cukup bersabar dengan menunggu takdir memberi mereka giliran. Siapa tahu, sebelum azan maghrib berkumandang, salah seorang dari yang 10 itu ada yang terkilir kelingkingnya, atau robek telapak kakinya, atau bonyok dengkulnya. Beberapa yang lain bahkan sudah langsung pasrah menerima bahwa mereka tak cukup pantas untuk ikut bermain dan mulai memupuk keyakinan kalau mereka memang ditakdirkan untuk jadi penonton saja. Tapi, beberapa lain, yang lebih sedikit, menolak untuk melakukan keduanya. Mereka tak mau menunggu. Juga tak hendak menyerah.

Mereka yang terakhir inilah yang kemudian memilih untuk memanfaatkan beranda sempit memanjang yang membatasi halaman dan pintu madrasah. Dan di situlah, pada sebuah koridor gedung madrasah itu, tokoh kita mulai merintis langkah pertamanya menuju lapangan yang diidamkannya.


*


Jika bukan oleh mata bocah-bocah Lerok, rasa-rasanya tak ada yang bisa melihat kalau pada beranda yang memanjang itu tersembunyi sebuah lapangan bola. Meski panjangnya sama dengan halaman di depannya, lebarnya cuma sedepa orang dewasa. Namun, tanpa diajari oleh para penganjur sepakbola, tak perlu mendengar cerita tentang Pele dan Maradona, bocah-bocah yang belum lagi lulus taman kanak-kanak itu tahu belaka kalau tak ada keadaan macam mana pun yang bisa menghalangi sepakbola dimainkan. Lebih-lebih lapangan dengan ukuran aneh itu punya keunggulan yang tidak dimiliki oleh halaman di sampingnya. Jika halaman itu tak rata, berdebu, dan penuh batu, maka lapangan yang sedang kita bicarakan ini mulus seperti bola yang baru dibeli dari toko olahraga. Lantainya bertegel hitam tanpa benjolan. Lagi pula, di lapangan itu mereka tak harus susah-susah membuat gawang—tak seperti kakak-kakak mereka di halaman, yang harus menumpuk sandal sebanyak-banyaknya guna membuat tiang gawang sederhana. Ruang antara tiang penyangga di si sisi luar beranda dan tembok depan bangunan sudah dari sananya membentuk gawang yang sempurna. Jadi, jika mereka telah menemukan sesuatu yang bisa disepak, maka permainan sudah bisa dimulai.

Ya, jika hidup harus terus dilanjutkan, maka sepakbola harus dimainkan!

Di lapangan yang ganjil itulah Isnan membangun tim pertamanya. Selain dirinya, di tim itu ada Salim, Muslim, Agung, Kacung, dan Wakid. Mereka adalah murid-murid TK yang tak sabar menunggu masa-masa SD-nya. Mereka memulai tim itu dengan menendang apa saja yang bisa bergerak jika ditendang. Menganggap bahwa meminta dibelikan bola plastik kepada ibu sebagai sesuatu yang hampir mustahil sementara tangan mereka masih terlalu kecil untuk membentuk buntalan tas kresek menjadi bola yang bulat, padat, lagi pejal, mereka kemudian menjatuhkan pilihan pada sandal jepit saja. Lantai koridor yang bertegel mulus membuat sandal sepak itu tak kesulitan untuk bergerak. Tapi jelas, ia tak bergulir seperti lazimnya bola. Maka, untuk tak terlalu lama tampak konyol, sebagai sebuah langkah maju mereka kemudian memanfaatkan bola plastik pecah sisa kakak-kakak mereka yang bermain di halaman.

Ketika bola plastik pecah itu sudah benar-benar berantakan, sementara bola pecah berikutnya tak kunjung ada, mereka mencopot kepala boneka tangan berwajah Si Unyil, yang terbuat dari kayu, dari lemari guru TK mereka. Itu tak hanya terdengar kejam, tapi juga mendekati ritual penyiksaan diri. Betapa pun empuknya jenis kayu yang dipakai untuk kepala Si Unyil itu, benda itu tetaplah terbuat dari kayu. Dan kaki-kaki mungil-telanjang mereka begitu saja menyepakinya. Tapi, apa peduli mereka? Bagi mereka, kekejaman dan penyiksaan diri sesungguhnya adalah saat tak ada apa pun yang bisa mereka sepak. Lagi pula, kekejaman itu rupanya berujung bahagia. Tak ingin kepala Pak Ogah atau Pak Raden menjadi korban berikutnya dari anak-anak brutal itu, kepala sekolah TK akhirnya memutuskan untuk menyediakan beberapa buah bola plastik berukuran sekepal.

Pucuk dicinta ulam tiba....

Dengan bola yang lebih mendekati bentuk sebenarnya, Isnan dan kawan-kawan justru menggila. Mereka main bola kapan pun mereka sempat. Tak hanya pada sore hari bersama mereka yang bermain di halaman, Isnan dan komplotannya juga melakukan pada saat menjelang masuk sekolah, saat istirahat, atau sesaat setelah bubaran, atau bahkan pada jam pelajaran—jika ibu guru sedang lengah atau tidak di tempat. Tak puas bermain di antara mereka sendiri, mereka memaksa adik-adik kelas mereka, yang berumur antara 3 hingga 5, untuk menjadi lawan tanding mereka. Tentu saja tim itu tak berlawan. Tidak saja karena di TK itu mereka adalah murid-murid laki-laki paling besar dan kemampuan menyepak bola yang lebih baik, tapi juga merekalah pemegang peraturan pertandingan.

Maka, setelah melewati sebuah rapat (yang sejauh itu merupakan rapat terpenting dalam hidup dan karir mereka), mereka memutuskan untuk mencari lawan tanding yang lebih kuat. Yang ada dalam pikiran mereka adalah menantang murid-murid TK Negeri di seberang jalan—sebuah sekolah kanak-kanak yang lebih baik, yang beranda dan halamannya dipenuhi oleh lebih banyak wahana permainan, dan karena itu tak memberi ruang terlalu banyak untuk murid-muridnya bermain sepakbola. Pada jam istirahat bocah-bocah nekat itu menyeberang jalan dan mengoarkan tantangannya. Namun, hingga waktu yang telah mereka tentukan, perwakilan dari sekolah seberang tak muncul meladeni tantangan itu. Tentu saja mereka marah. Namun, niscaya rasa banggalah yang paling besar mereka rasakan. Tanpa berpikir bahwa bisa jadi tantangan itu tak benar-benar jelas untuk si lawan, keenam bocah itu menafsir bahwa ketidakdatangan sang tertantang menandakan bahwa si penantang bukan saja tim yang tak terkalahkan tapi juga tim yang menakutkan. Karena itu, tanpa mernimbang lebih panjang, pada sebuah sore yang agak rusuh, mereka menantang murid madrasah kelas satu—bekas kakak kelas mereka di TK.

Pada mulanya, tantangan nekat itu belum berani mereka pilih. Bocah-bocah kelas 1 Ibtidaiyah, bagaimanapun, jelas lebih besar dari mereka. Juga lebih berpengalaman tentu saja. Beberapa dari mereka sudah mendapat tempat untuk bermain secara teratur di halaman sekolah. Namun, tampaknya keadaan telah membuat mereka mengikis pertimbangan-pertimbangan dan segala keseganan itu. Pada sore yang ramai, halaman itu dihadiri terlalu banyak bocah. Itu membuat bocah-bocah kelas satu yang biasanya dapat tempat-tempat sisa, entah sebagai kiper, atau sekadar sebagai pemain pelengkap jumlah, sore itu tersingkir ke pinggir. Tak mau jadi penonton, mereka mengincar koridor sekolah, di mana sekarang Isnan dan kawan-kawannya tengah menggembleng diri. Karena tak membawa bola, mereka juga mengincar bola sekepal milik bekas adik-adik kelasnya itu. Tapi, yang terjadi berikutnya tentu tak semudah itu. Tim yang hendak mereka gusur dan mereka rebut bolanya adalah sebuah tim juara (paling tidak, menurut anggapan tim itu sendiri). Setelah sebuah adu mulut yang tak begitu berimbang, para agresor itu kemudian menyepakati sebuah tantangan: dua tim bertanding untuk memperebutkan koridor itu; siapa yang kalah harus cari tempat lain atau jadi penonton. Sebuah tantangan yang, menurut para agresor, hanya dilakukan oleh mereka yang telah terdesak, yang tak lebih dari cara konyol untuk menyerah secara terhormat.

Yang terjadi beberapa puluh menit kemudian bukanlah penyerahan secara terhormat, melainkan kehancuran yang memalukan. Namun, kehancuran memalukan itu untuk pihak penyerang. Bukan hasil yang mengejutkan, bukan? Jika ada pengamat sepakbola yang melakukan analisis atas pertandingan itu, akan gampang menyimpulkan bahwa Isnan dkk. mungkin tidak unggul di teknik dan kekuatan, tapi mereka memiliki semangat dan kerjasama tim yang jauh lebih baik dari lawannya. Meski mulai mencicipi level sepakbola yang lebih tinggi, tim kelas 1 terlalu sering menjadi cadangan, dan itu berpengaruh kurang baik bagi mental mereka, juga kerja sama mereka sebagai tim. Sebaliknya, tim TK justru tengah kompak-kompaknya, serta berada pada puncak kepercayaan diri, setelah lawan yang mereka tantang sebelumnya tidak berani datang.

Status tak terkalahkan membuat mereka mulai menjadi angkuh. Tim itu mulai mereka padan-padankan dengan tim sepakbola terbaik di dunia dan menyama-nyamakan diri mereka sendiri dengan para pemain pujaan. Mengingat mereka adalah anak-anak yang besar di Lerok, yang belum berlistrik dan langka pesawat televisi, dan dengan demikian membuat mereka memperoleh terlalu sedikit berita dan cerita tentang sepakbola dunia, tim-tim dan nama-nama yang mereka catut terdengar agak aneh dan tidak lazim di kuping penggemar sepakbola. Maka, bukannya Argentina, bukan pula Belanda, atau Jerman, atau Brazil, mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Perserok versi kecil. Dan catat, mereka tak mengubah nama-nama mereka menjadi Maradona, atau Haesler, atau Klinsman, atau Gullit, atau van Basten, atau bahkan Ricky Yacob atau Hermansyah. Mereka tanpa sungkan memakai nama Mu’ad, Nasikul, Jabal, atau Masrokan untuk diri mereka. “Ayo, tendang Bal, Jabal!” begitu jika sang penyerang memanggil Isnan, si bek. “Ah, Nasikul payah. Tinggal cocor saja tak masuk,” demikian serapah untuk Kacung, sang penyerang, jika gagal memanfaatkan peluang. “Oper, Ad!” itu biasanya teriakan untuk Salim, yang biasa bermain di tengah. Sementara “Tangkap, Kan!” biasa diteriakkan kepada Wakid, si kiper. Agung, yang cara bermainnya agak aneh, bermain di belakang namun terlalu sering maju ke depan, yang menolak memakai nama pemain-pemain Perserok atau nama siapa pun, karena merasa ia merasa tak satu pun pemain di dunia ini yang cara bermainnya seperti dia. Sementara Muslim, yang mengikuti perkembangan sepakbola di luar sana lebih baik dari teman-temannya (ia memiliki televisi dan rajin mendengar siaran pandangan mata di radio), dengan bangga menyebut dirinya Subangkit, sama dengan sang poroshalang Persebaya.

Namun, puncak keangkuhan itu terjadi saat bocah-bocah yang masih beberapa bulan lagi menginjak usia SD itu dengan semena-mena menantang anak-anak Ibtidaiyah kelas 2. Tantangan itu berisi: 1) main 6 lawan 6; 2) tempat di halaman sekolah; 3) waktu, antara jam pulang TK (10 pagi) hingga jam masuk Ibtidaiyah (13 siang).

Keajaiban tak selalu datang. Tim yang penuh kesombongan, yang lupa mengukur diri itu, yang bahkan tak merasa perlu untuk mengganti seragam putih-biru mereka dengan baju bermain, akhirnya dibantai oleh kakak-kakak kelas jauh mereka. Jangan tanya skor. Dilihat dari betapa tak seorang pun dari mereka yang bisa mengingat jumlahnya, sudah cukup menjelaskan banyaknya gol yang mereka derita.

Tambahan pula, mereka tak hanya kena batunya, tapi juga kena bencana. Bola plastik sekepal yang biasa mereka pakai bermain, yang sebenarnya properti sekolah itu, pecah berantakan setelah diinjak dengan sengaja oleh sang pemenang. “Kalian biasa main dengan bola pecah, bukan?” demikian kata sang pemenang sambil menyeringai pergi. Mereka mungkin tak memikirkan akan mengganti bola sekolah itu, namun jelas mereka akan pusing untuk mencari bola yang bisa mereka pakai pada hari-hari yang akan datang. Tak hanya sampai itu, tim itu pun babak belur dalam arti yang sebenar-benarnya. Salim harus pulang dengan pincang, karena tulang keringnya bengkak kena gasak. Kacung harus dipapah karena telapak kakinya melepuh. Isnan lebih parah, bahkan dalam kesulitan besar. Pada sebuah usaha sleding yang sia-sia, celana sekolah yang dipakainya ambrol jahitan selangkangannya, hingga berubah menjadi rok dan tak lagi bisa dipakai untuk selama-lamanya. Jelas itu sebuah bencana. Sebab, dalam keluarga Tarmidi—nanti kita akan segera tahu—ambrolnya selangkangan celana sekolah (seperti halnya sandal jepit putus, atau buku tulis sobek, atau uang saku hilang) bukanlah perkara sepele.

(Bersambung...)

Related Posts:

BEK: Sebuah Novel (Bag, 2)

Oleh Mahfud Ikhwan


1/

Perserok, Persatuan Sepakbola Lerok, kesebelasan yang tak pernah lolos dari babak penyisihan kompetisi kecamatan, sore itu, hanya akan jadi bulan-bulanan saja bagi lawan yang kini dihadapinya. Begitulah orang-orang berpikir. Tambakrejo Putra, yang dihadapinya, adalah tim yang belum lama ini berhasil menggondol Piala Bupati Gresik. Dalam pikiran mereka, tim yang sedang berhadap-hadapan di lapangan ini tak ubahnya tim nasional Indonesia yang baru digasak 7-0 oleh Thailand di Sea Games terakhir berhadapan dengan Jerman yang baru saja menjuarai Piala Dunia 1990. (Jika Jerman punya Thomas Hasler, Tambakrejo Putra punya Ismail, seorang pemain tengah elegan yang dikabarkan akan direkrut oleh kesebelasan beken Petrokimia Putra untuk menjadi tandem Ferryl Raymond Hattu di lini tengah tim itu.) Makanya, sebelum pertandingan, orang-orang tak begitu tertarik membincangkan siapa akan mengalahkan siapa. Lerok akan kalah berapa, itulah hal yang laku diajukan sebagai bahan taruhan kecil-kecil. Dan, ratusan orang Lerok, tua-muda, lelaki-wanita, simbah-simbah maupun bocah, juga beberapa puluh penggemar sepakbola dari desa sebelah, yang membeludaki setiap inci pinggir lapangan datang karena lebih terdorong untuk menonton sesedikit apa gol-gol Tambakrejo Putra dapat diredam oleh para pemain Perserok.

Ketika melihat bagaimana jalannya pertandingan sejauh itu, tampaknya perkiraan tersebut tinggal menunggu pembuktiannya saja. Sepanjang pertandingan, para pemain Lerok tak pernah bisa melewati garis tengah lapangan. Bahkan, sang striker, Nasikul, yang kata orang-orang setempat disebut-sebut punya lari secepat striker Persebaya, Mustakim, hanya bisa berdesak-desakan bersama teman-teman setimnya di kotak penaltinya sendiri. Yang berdiri di lingkaran tengah lapangan, yang dibikin dari adonan gamping itu, justru para bek Tambakrejo Putra. Angkuh dan terlihat begitu perkasa. Mata-mata mereka selalu siap mengincar kesempatan, dan kaki-kaki mereka selalu siap memangsa bola yang memantul dari pertahanan lawan. Jika pertahanan lawan terlihat terlalu rapat, maka bola-bola akan dilambungkan ke tiang jauh atau ke tengah kerumunan di depan gawang. Namun jika celah itu ada, mereka tak segan-segan mengirimkan tendangan-tendangan jarak jauh mereka langsung ke mulut gawang yang dijaga Masrokan, kiper Lerok.

Namun, tampaknya, pembuktian itu membutuhkan waktu lebih lama—lebih lama dari yang banyak diperkirakan. Ketika warna jingga di langit barat sudah semakin memekat (satu-satunya pertanda yang bisa dipakai penonton untuk memperkirakan bahwa pertandingan tak lama lagi akan segera berakhir), gawang Masrokan rupanya belum bobol juga. Sejauh itu, tembakan-tembakan yang mengarah ke gawang Masrokan hanya mental kembali ke lapangan tengah untuk menjadi tembakan berikutnya. Atau, yang lebih banyak, menjadi sepakpojok; penonton sudah tak bisa menghitung lagi, berapa sepakpojok yang didapat Tambakrejo Putra. Tak ayal, orang-orang pun mulai bingung.

Sungguh aneh tak melihat sebiji gol pun bersarang di gawang Masrokan sejauh itu. Apalagi mereka juga tak mendengar kalau sebelum pertandingan, ada orang pintar yang memberi jampi-jampi di gawang tuan rumah. Mereka merasa ditipu, paling tidak oleh perkiraan mereka sendiri. Di mana ketajaman para penyerang Tambakrejo? Ismail yang mengerikan itu, apa kerjanya? Dan apa gunanya mereka datang ke lapangan jika tim yang seharusnya membuat banyak gol tak mampu membikin sebiji gol pun? Ini lebih aneh daripada mendengar Indonesia menahan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne.

Manakala suara bacaan ayat suci al-Qur’an dari masjid yang punya pengeras suara paling tinggi terdengar, yang menandai bahwa hanya beberapa menit lagi azan magrib akan tiba, dua tim yang bermain hanya sedikit saja terlihat lebih jelas dari kelebat bayangan. Dan gol yang diperkirakan akan datang itu belum juga tercipta. Sejauh itu, hanya gelagat akan terjadinya gol saja yang mereka lihat di lapangan. Para penonton, diam-diam tapi hampir serempak, sudah membuat kesimpulan baru: bukan para penyerang Tambakrejo yang buruk, namun para pemain belakang Lerok-lah yang bermain luar biasa. Pikiran itu membuat mereka gembira, dan menganggap hasil imbang ini memang benar-benar berhak mereka dapatkan dan rayakan.

Maka, kini yang mereka tunggu bukan lagi gol Tambakrejo, melainkan bunyi panjang peluit Mukandar, wasit sore itu. Satu-dua hujatan sudah dialamatkan kepadanya. Dia orang Lerok, kenapa tak punya sedikit saja rasa murah hati untuk mengakhiri pertandingan lebih cepat? “Peluit, Cuk!” maki banyak orang. “Jebol saja pematangnya, biar mati sekalian padinya!” sambar yang lain. “Kalau sampai ada gol, coret kartu KK-nya!” teriak penonton yang lain lagi. “Bakar KTP-nya!” timpal yang lain.

Lalu orang-orang terkesiap. Di lapangan, dalam keremangan petang yang hampir gelap, sebuah adegan yang mengingatkan mereka pada proses bakal terjadinya sebuah gol tengah berlangsung. Tidak. Tentu tidak di depan gawang Masrokan. (Mereka tak akan tertarik dengan jenis adegan yang terjadi berulang-ulang di sepanjang pertandingan.) Adegan itu berada di belahan lapangan di mana gawang Tambakrejo berada. Awalnya adalah duel udara sengit yang terjadi di depan gawang Lerok yang melibatkan Ismail, playmaker Tambakrejo, dengan Jabal, bek Lerok. Jabal, yang biasa dipanggil Jagal itu, memenangkan duel itu. Mungkin hanya karena kehendak Tuhan, bola liar yang biasanya dengan mudah jatuh ke kaki pemain Tambakrejo kini jatuh ke kaki Mu’ad, playmaker Lerok. Dengan kelenturan yang rasa-rasanya tak bisa diulang lagi pada saat-saat lainnya, Mu’ad lolos dari kepungan dua orang musuh hingga berhadapan dengan dua bek terakhir Tambakrejo yang berada di lingkaran tengah. Merasa tak mungkin memenangi duel dua lawan satu, tanpa melihat, ia melepas bola ke sisi kanan lapangan yang kosong tak terjaga. Saat bola itu dilepas, belum terlihat pemain Lerok lain yang ikut maju. Namun, hanya dalam hitungan sepersekian detik, Nasikul telah melesat memburu bola itu dan menguasainya. Lapangan itu hanya setengah panjangnya, atau bahkan kurang, dari ukuran lapangan sepakbola yang seharusnya. Maka, hanya dengan sekali dorong-dan-kejar saja, Nasikul beserta bola di kakinya kini telah berhadap-hadapan dengan kiper Tambakrejo.

Dalam sekian detik, ratusan penonton yang memagari tiap inci tepi lapangan itu menahan nafas. Pasti karena mereka tak ingin suara tarikan nafas mereka akan membuat mereka melewatkan peristiwa ajaib itu—atau lebih parah lagi, menghentikan adegan ajaib yang sedang mereka saksikan. Hanya orang gila saja yang bisa membayangkan adegan yang sedang mereka tonton, di mana striker Lerok dengan bola di kakinya tinggal berhadap-hadapan dengan kiper Tambakrejo yang tak berdaya, akan terjadi sore ini. Mereka sudah terkejut dengan tak bobolnya gawang Masrokan sejauh itu. Dan, dalam kesederhanaan keinginan mereka, tak terbayangkan kejutan yang melebihi itu. Tidak mungkin sebuah tim yang jadi pupuk bawang di tingkat kecamatan, yang jadi bagian dari daerah tingkat dua yang tidak memiliki tradisi sepakbola, memenangkan pertandingan melawan juara kabupaten Gresik, wilayah yang punya dua tim sepakbola ternama, Persegres dan Petrokimia Putra. Tak masuk akal rasanya sebuah kesebelasan yang biasa bertanding di lapangan sempit ukuran 35x60 m. menang melawan tim yang belum lama ini mendapatkan juara di Stadion Tridarma.

Bukan, pasti bukan ini tujuan Khozin membawa kesebelasan hebat itu ke desa terpencil ini. “Biar Perserok mendapatkan pengalaman dan pelajaran yang berharga,” itulah kata Khozin, orang Tambakrejo yang menikah dengan orang Lerok, pada sebuah rapat Karang Taruna yang membahas perkembangan Perserok. Bahkan, kebanyakan orang Lerok percaya kalau tujuan lain Khozin membawa kesebelasan desanya ke desa istrinya ini tak lain untuk sedikit menyombongkan diri.

Tapi, apa yang kini tersaji di lapangan justru tengah berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan semua perkiraan dan segala ketidakmungkinan. Dalam detik-detik ke depan, para penonton mulai yakin, bukan Perserok yang akan mendapatkan pengalaman berharga, tapi justru Tambakrejo Putra. Lihatlah! Tukir, penjaga gawang Tambakrejo yang sepanjang pertandingan nyaris tak bekerja, dengan muka terkejut menyambut Nasikul yang berlari dengan bola menempel di kakinya. Ia coba beringsut ke depan, mempersempit ruang tembak penyerang mungil Perserok itu. Tangan si kiper direntangkan, seakan-akan ingin mencoba menutup seluruh muka gawang yang ada di belakangnya. Dalam petang yang hampir gelap, Tukir juga terlihat berusaha mengangkerkan wajah dan sosoknya. Badannya yang kerempeng dan mukanya yang kisut seperti pelawak Doyok coba digembungkan seakan ia adalah Benny van Breukelen dari Arseto Solo. Tentu saja, usahanya itu sia-sia belaka. Rentangan tangannya memang hampir berhasil membuat muka gawangnya mustahil ditembus, tapi ia justru lupa celah di antara dua kakinya. Tanpa membuang waktu, Nasikul mengirim sontekan mematikannya ke celah yang telah diincarnya. Tidak deras, tapi cukup membuat Tukir terkesiap dan buru-buru merapatkan dua betisnya. Tapi, ia amat terlambat. Bola sontekan Nasikul membentur mata kaki kirinya, kemudian bergulir ke mulut gawang. Cukup pelan, namun terlalu kencang untuk usaha terakhir penuh keputusasaan yang dilakukan Tukir.

Tanpa menunggu bunyi peluit tanda gol dari Mukandar, semua penonton yang bertumpuk-tumpuk di pinggir lapangan, di sisi barat, sisi timur, belakang gawang utara, belakang gawang selatan, juga yang nangkring di pagar hidup dan pohon-pohon sekitar lapangan, melompat berhamburan ke dalam lapangan—seakan-akan pantat setiap orang diledakkan oleh petasan. Dan hanya berbilang detik, lapangan yang sebelumnya hanya berisi 22 pemain dan 1 wasit itu kini sudah seperti kerumunan penonton layar tancap yang baru saja bubar. Orang-orang sudah tak memikirkan kalau pertandingan masih akan berlangsung beberapa menit lagi. Kesadaran mereka akan waktu dan peraturan tiba-tiba saja menghilang. Ya, bisa saja mereka masih mengingatnya, namun dengan sengaja tak memedulikannya. Nasikul, si pencetak gol, mereka bopong beramai-ramai seperti seorang kepala desa yang baru saja terpilih. Yang tidak lagi mendapat bagian menggotong Nasikul kemudian mengejar-ngejar Mu’ad. Pada akhirnya, semua pemain Lerok mendapatkan penggotongnya sendiri-sendiri. Bahkan, beberapa penonton yang terlalu terlambat menghambur ke lapangan sehingga tak lagi menemukan pemain Perserok yang bisa digotong, memutuskan untuk menggotong Mukandar sang wasit.

Azan maghrib akhirnya mengalun. Gelap sudah berar-benar turun. Penonton tak mungkin lagi dibujuk untuk menepi dan kembali rapi. (Mereka bahkan tak bisa diminta untuk menurunkan pemain yang sedang mereka bopong.) Maka, wasit Mukandar, atas pengaruh panitia, juga karena dikerubuti begitu banyak orang, dengan sedikit memaksa meminta para pemain Tambakrejo Putra untuk sepakat mengakhiri pertandingan lebih cepat. Ketika peluit panjang, yang ditiup hampir secara sepihak oleh Mukandar berbunyi, resmilah sejarah sepakbola desa itu mencatat: Perserok 1 (Nasikul, 87’) - 0 Tambakrejo Putra.

Di pinggir lapangan, seorang bocah yang belum lagi masuk usia kelimanya, yang terlihat sedikit kalut karena hampir terinjak orang dan tengah dilupakan bapaknya yang ikut keranjingan, juga tengah membuat catatannya sendiri. Tentu dengan kepalanya yang kecil dan ingatannya yang masih lamat. Ingatan atas pertandingan itu, meski dengan renik-renik yang semakin lama semakin kabur, selalu menjadi mula dari setiap kenangan bocah itu atas lapangan tersebut.
*

(Bersambung...)

Related Posts:

Dari Gaud Sampai Ayat Suci, Dari Celana Dalam Hingga Tulang Babi

Oleh Darmanto Simaepa


Takhayul, dukun, jampi-jampi, dan ritus aneh telah menjadi bagian dari sepakbola. Di Malawi, Yaman, Haiti, atau Eropa, praktik-praktik meraih kemenangan tidak selalu bersandar pada taktik dan kualitas permainan. Di Indonesia, terutama di pertandingan antar kampung (tarkam), darah ayam, minyak kambing, tulang babi, petir dan hujan adalah elemen-elemen penting yang selalu mempengaruhi hasil pertandingan. Saat fourfourtwo menulis panduan takhayul sepakbola yang aneh untuk edisi November 2011, saya tergerak untuk menggali kembali pengalaman sepakbola dan segala ritus-ritus ajaibnya yang pernah saya temui di Indonesia.


Tulang Babi si Kepala Desa

Tulang babi pastilah barang haram bagi seorang muslim. Namun bagi kepala desa Kwarakan, sebuah desa pedalaman di Temanggung, apa yang najis bisa jadi halal demi sepakbola dan politik. Si tokoh utama kita ini, puji tuhan, adalah seorang santri yang saleh meski tak cukup cakap mengurus desa. Ia baru saja keluar dari pesantren di Kediri, ketika pilihan kepala desa tiba masanya dan memanggilnya pulang. Tak lama diangkat, tuntutan pencopotan jabatan dari warga segera terdengar setelah desas-desus Si kepala desa memakan uang bantuan pembangunan.

Ia berusaha meraih kembali simpati warganya dengan mendukung tim sepakbola yang selama ini tidak pernah diurusnya. Kemenangan timnya akan mengalihkan sedikit tekanan. Bisa jadi, dengan membawa tim desanya menjadi juara, sepakbola jadi alat yang efisien untuk menentukan nasib karir politiknya. Maka, bukan perkara besar jika ia harus membeli kostum baru, menyewa 3 truk untuk suporter dan timnya berangkat ke turnamen kecamatan di kota Kaloran, dan membekali manajer dengan setengah karung jeruk manis, berbotol-botol air mineral dan tiga nampan agar-agar buatan istrinya.

Tidak cukup dengan buah-buahan, Ia pergi ke penasehat spiritualnya. Mungkin karena tidak banyak Kyai yang suka bermain sepakbola atau terlalu repot untuk memerintahkan jin peliharaannya mengurus dua puluh dua orang yang berebut satu bola, akhirnya ia menerima saran dari seorang dukun, yang baginya sendiri, agak kurang masuk di akal dan akidahnya.

Malam sebelum pertandingan, si dukun memberi kepala desa dua gulungan kertas. Kertas itu ditulisi rajah dan jampi-jampi dan didalamnya ada beberapa kerat tulang babi. Si Kepala desa memerintahkan kurir kepercayaan untuk menanam tulang di lapangan dini hari, dan tentu saja tak boleh ada orang yang tahu. Tulang itu harus ditanam di bawah tiang gawang sebelah utara, yang akan menjadi tempat lawan desanya.

Setelah hasil yang memalukan—timnya kalah 4-1 dari tim Kecamatan—ia segera menyerang wasit yang dianggapnya salah mengundi tempat. Ia juga menyalahkan kurirnya yang keliru mengubur tulang babi dibawah tiang gawang tim sepakbolanya sendiri. Tentu saja ia tidak terlalu berani mengecam si dukun, meskipun lantas berusaha meminta penjelasan darinya. ‘Tim lawan’ si Dukun mengatakan kepada si kepala desa, ‘juga mengubur tulang macan di gawang’. ‘Atau, kalau tidak, seseorang telah mengencinginya’ tambah si Dukun.

Barangkali alasan yang pertama lebih masuk akal karena, siapapun tidak boleh melanggar aturan dalam siklus rantai makanan. Seharusnya, si kepala desa mencari dukun yang memakai tulang manusia. Yeah, manusia kan lebih ganas dari harimau....

Telur Setengah Matang untuk Para Penendang Penalti

‘Ayo kalian, makan telur-telur setengah matang ini’, seru dukun sebuah tim desa di Babat, Lamongan di paruh 1990an kepada anak-anak muda yang akan berlaga. Telur-itu bukanlah telur sembarangan. Telur bebek setengah mentah itu tidak hanya berisi protein, vitamin dan asam amino yang bagus bagi pembentukan sel-sel otot, tetapi juga sudah dicampur dengan jampi-jampi dan air ludah si dukun. Setidaknya, cara ini telah berhasil membawa tim ini menorehkan sejarah dengan berhasil melewati babak ke dua sepanjang keikursertaan desa itu dalam turnamen Kecamatan.

Hanya saja, yang tidak diketahui si dukun, para pemain tidak begitu menyukai karena bau amisnya. Telur itu membuat perut para pemain mual dan mulut getir. Anak-anak muda yang terlalu sopan untuk menolak perintah sang dukun, diam-diam membuang telur itu di bawah kolong mobil pick-up terbuka yang akan mengangkut mereka ke lapangan kecamatan.

Selama 90 menit dan perpanjangan waktu 2 x 10 menit, khasiat telur-telur itu bekerja dengan baik. Tim desa itu mampu menahan serangan tim lawan yang lebih difavoritkan—meskipun tim itu didera keletihan luar biasa. Menjelang adu penalti, si dukun dipanggil kembali untuk memulihkan kebugaran para pemain yang terkuras dalam pertempuran penghabisan. Mungkin karena hanya menguasai satu-satunya cara (atau juga paling ampuh?), si dukun kembali mengeluarkan telur-telur amis itu dari keranjangnya.

Dalam kondisi letih dan lelah, melihat telur bebek saja bisa membuat mual—apalagi memakannya. Dua pemain yang berusaha menelan telur itu memuntahkan kembali isi perutnya. Para calon penendang lain, secara terbuka menolak untuk memakan telur bebek itu. Tersinggung dan merasa tidak dihargai, Si dukun sangat marah dan membanting telur-telur di depan tim itu. Ia juga mengumpat dan bersumpah tim desa itu tidak akan menang sepanjang sejarahnya.

Si Dukun akhirnya benar! Tim desa itu kalah. Tiga penendang, dengan kaki goyah dan lunglai, gagal menyarangkan bola. Karena patah arang, sejak saat itu sang dukun menolak untuk dimintai bantuan untuk tim sepakbola desanya, hingga sekarang. Desa itu hingga kini tidak pernah menang dalam turnamen apapun.

Perang Ayat Suci Antar Kelompok Suporter

Tidak jelas mengapa dua kelompok suporter fanatik Semen Padang bisa bertanding melafalkan ayat suci Al-Quran. Jika The Kmer yang berada di tribun Selatan mengumandangkan surah Al Fathihah, maka Spartac di Curva Sud utara akan membaca Ayat Kursi. Sebelum pertandingan, stadion Imam Bonjol seperti pawai agama dimana ribuan remaja berpakaian merah-merah dengan sebuah komando mengaji ramai-ramai.

Kekuatan pesan adat basyandi syara’, syara’ basandi kitabullah membentuk sikap suporter sepakbola di ranah Minangkabau agar mengingat ajaran agama. Jika pesan kelompok suporter ini adalah berlomba-lomba untuk mendukung kebaikan dengan doa, tentu saja Semen Padang boleh berbangga. Tidak banyak tim sepakbola yang dibacakan surat atau ayat yang dipercayai memiliki kekuatan yang luar biasa mewujudkan cita-cita menjadi harapan.

Mungkin dengan doa dari ayat suci akan membuat Semen Padang menang. Seperti dalam syair mars Spartac yang dipersembahkan buat tim Kabau Sirah, doa adalah bagian dari cara untuk memenangkan pertandingan.

Perlombaan kebaikan ini tidak menjadi masalah berarti jika Semen Padang menang—atau setidaknya tidak kalah. Pada saat tertekan atau ketinggalan, banyak suporter yang lupa arti dan makna ayat-ayat suci dan mulai agresif dengan makian, umpatan dan cacian. Penikmat sepakbola di Stadion Agus Salim akan segera akrab dengan kata-kata ‘wasit Anjiang’, ‘Kambiang’, ‘Pantek‘, ‘Godok’ dan juga kata-kata rasisme seperti ‘Papua itam keritiang, ‘Baruak Jawa’ kepada pemain-pemain lawan.

Hanya saja, praktik melafalkan ayat suci tidak setimpal dengan suasana pertandingan ketika Semen Padang kalah atau pertandingan tidak berjalan dengan semestinya. Pun begitu dengan segenap perayaaan kemenangan. Kedua suporter fanatik ini selalu terlibat persaingan, tidak hanya dalam melafalkan Al-Quran, tetapi dalam segenap ihwal sepakbola di Padang.

Perang ayat suci di lapangan biasanya beralih menjadi perang martil dan pisau belati dijalanan. Sehari setelah kekalahan di Pekanbaru dan juga setelah pertandingan melawan Sriwijaya di bulan Mei 2011 lalu, kedua suporter ini bertikai sehingga mereka kehilangan kantor dan terpaksa menandatangani pakta damai dengan polisi.

Jadi, apa pelajaran pentingnya? Dalam sepakbola, ayat suci kadang lebih menyerupai mantra untuk merangsang perkelahian dibandingkan ritus untuk mendoakan tim pujaan.

‘Hei Kawan, Jimatku Bukan Celana Dalam’

Ada sebuah ritus kecil yang dipercayai seorang pemain berbakat untuk menghadirkan kemenangan bagi timnya. Di masa remaja dulu, partner duet saya bernama Sukiman yakin akan mencetak gol jika tidak mengenakan celana dalam. Ritus ini membawanya menjadi pencetak gol yang produktif dari satu turnamen sekolah ke turnamen lainnya.

Bakat dan ketenangannya membobol gawang lawan membawanya pada sebuah panggilan prestisius: seleksi ke klub junior Petrokimia. Sekadar info, di paruh 90-an, dengan Jacksen. de Mello dan Widodo, Petrokimia adalah tim favorit dan bergengsi di Jawa timur.

Seperti ritual yang biasa dijalaninya, sedari dari rumah ia tidak membawa celana dalam. Jimatnya ia tinggal bersama Bontex putih kesukaannya dilemari kamarnya. Tapi justru tepat disinilah momen ketidakberuntungannya dimulai. Dalam sebuah pertandingan yang digunakan sebagai seleksi dan pemantauan, klub kaya di medio 90-an itu mewajibkan para pemainnya untuk mengenakan seragam resmi.

Kaget karena pemberitahuan tiba-tiba, dia harus mengganti celananya dengan kostum yang diberikan oleh klub. Masalahnya, untuk menghemat waktu, pergantian baju itu biasanya dilakukan di lapangan. Mancung, nama panggilan lapangannya, cukup malu untuk telanjang bulat ditengah lapangan—meskipun penonton perempuan hanya tiga orang. Sementara, di kamar ganti, semua pemain akan mencopot seluruh celana pendeknya secara bersamaan. Jadi, tidak ada pilihan lain untuk menghindari rendah diri kecuali memakai celana secara rangkap.

Bertahun-tahun kemudian, ia mengenang, permainan dengan celana rangkap hari itu sangat buruk. Untuk menghindari kejadian serupa, akhirnya ia terpaksa memakai celana dalam setiap berangkat ke stadion Tri Dharma. Lalu, Ia gagal mencetak gol di tiga pertandingan seleksi berikutnya. Ia tetap terpilih tapi harus memulai pertandingan dari bangku cadangan.

Sejak saat itu, ia hanya bertahan di pertandingan antar kampung dan gagal menjadi pesepakbola profesional. Kini, ia hanya sesekali menjadi pemain bayaran di pertandingan antar buruh pabrik Yamaha di Tangerang. ‘Ya, saya masih sering mencetak gol,” ujarnya sambil tersenyum kepada saya, “ketika tidak pakai celana dalam’.

Mungkin, saatnya memberi tahu pemain belakang lawan yang bisa memelorotkan celananya di Tangerang....

Gelegar Petir dan Kekuatan Gaud Mentawai

Hampir semua orang di Siberut mempercayai gaud, mistisisme Mentawai, tapi, manajer tim Kompas, sebutlah namanya Tango, meyakininya dengan obsesif. Pemain-pemainnya disuruh melangkah ke lapangan dengan kaki kanan terlebih dahulu. Mereka harus masuk dengan tertib dan teratur secara berurutan dari yang paling tua ke yang paling muda. ‘Cara ini’, ia mengaku ‘untuk menangkal gaud tim Muntei,’.

Kepercayaannya tidak jatuh dari langit begitu saja. Selama 3 edisi turnamen antar desa setiap Agustus, ia telah mempelajari satu hal secara detil: tim Muntei selalu menang jika beberapa saat sebelum kick-off, terdengar suara gelegar petir dari cakrawala. Kilat yang menyambar dari langit Tenggara, dalam kesimpulannya, adalah kiriman dukun Muntei kepada Taikamanua, roh-roh yang menguasai langit. Anehnya, kilat berwarna kemerahan yang membelah langit itu, biasanya tidak disertai awan dan hujan.

‘Jika hujan turun’, serunya pada anak buahnya, ‘kita akan menang’. Kuatnya keyakinan atas ramalan hari, cuaca dan kekuatan menangkal gaud tim lawan dipercaya sebagai faktor penting yang membuat Kompas membuat kejutan dengan menjadi juara tahun sebelumnya.

Sebelum pertandingan ia berkomat-kamit mengumpulkan tenaga reiki yang dipelajarinya dari orang Flores di Padang. Ia akan berjalan paling belakang dan mengambil segenggam tanah untuk ditaburkan di lapangan.

Saat semifinal melawan Muntei tahun 2008, langit kelabu bergetar oleh riuh badai dan petir. Hujan turun dengan derasnya. Matanya berbinar-binar karena terpikir olehnya kekuatan gaud dukun Muntei telah hilang bersama air yang tumpah dari langit. Namun, dalam sebuah pertempuran yang seimbang, timnya kalah.

Setelah pertandingan, untuk beberapa lama, ia tetap berada di lapangan dan memandang ke arah langit—seakan-akan ia tidak percaya atas apa yang terjadi.

Ia mungkin lupa, sepanjang Agustus, angin basah dari Selatan akan selalu membawa petir dan hujan bagi pulau-pulau kecil sepanjang barat Sumatra—dari Enggano hingga Simaleue. Jadi, Si Tango perlu lebih teliti dan menghubungi jawatan Metereologi sebelum memanfaatkan tenaga Reikinya.

Related Posts:

BEK: Sebuah Novel (Bag. 1)

Oleh Mahfud Ikhwan



I. Lapangan


Ia sudah menyangka kalau tempat itu akan tampak menyedihkan. Mudah membayangkan kemungkinan tersebut, semudah ia mendapatkan cerita menyedihkan itu dari tetangga atau teman-temannya, semenjak ia di rumah. Meski demikian, apa yang dilihatnya sore itu ternyata jauh lebih menyedihkan dari yang bisa dipikirkannya.

Sore itu, jelas ia tak menemukan sebuah lapangan. Bahkan, sebuah lapangan paling buruk sekalipun. Tak disangsikan, panorama sekitar, bentang tanah yang kini dipijaknya, hanya pantas jika disebut “bekas lapangan”. Itu persis dengan kita menyebut setumpuk puing sebagai bekas rumah. Atau, segerumbul semak yang terpiak sebagai bekas jalan. Atau, sekeping papan sebagai bekas meja. Di sisi utara, bagian yang dekat dengan jalan raya, terpacak dua tonggak kayu yang satu dengan lainnya berjarak sekira tiga meter yang doyong ke arah berlawanan. Apakah itu gawang? Ya, itu gawang. Atau, lebih tepatnya, bekas gawang. Meski demikian, satu-satunya bukti yang bisa ia pegang untuk meyakini bahwa dua tunggak yang tak berhubungan (bahkan terlihat saling menolak itu) itu adalah ingatannya semata. Lain tidak. Tak ada bukti tersisa yang cukup kuat untuk mendukung kalau dua tonggak yang saling menolak itu adalah gawang pada masa-masa sebelumnya. Sebab, dua tonggak itu tak dihubungkan oleh sepotong mistar, sebagaimana lazimnya gawang sepakbola. Tak juga ada bekas-bekas repihan kain jaring di sana. Bahkan, pada salah satu tonggak, terikat seekor sapi jantan besar yang tengah memamah biak—tentu dengan ceceran kotoran di sekitarnya.

Membelah (bekas) lapangan, menerobos rumput liar setulang kering, ia mengayunkan kakinya dengan berat dari arah utara menuju ke sisi selatan. Sepatu bola berpul enam, yang baru pertama kalinya dipakai meski sudah dibelinya sejak setahun lalu, tampak goyah dan menderita ketika menyentuh permukaan tanah yang jauh dari rata. Terseret dan terseok. Lebih berat lagi karena sepasang kaki yang dikayuhnya itu telah terlalu lama tak melakukan hal serupa. “Mungkin tiga tahun,” demikian dengusnya pada diri sendiri. Itu jumlah tahun yang telah dilaluinya di pabrik; pabrik yang setiap ia pulang kerja tak pernah lupa membekalinya kelelahan; kelelahan yang selalu memberinya alasan tak melakukan hampir apa pun selain mengaso sembari menunggu hari kerja berikutnya—dan dengan demikian mengesampingkan sepakbola yang dicintainya. Tak heran, ia menyeret betisnya seperti pesakitan menyeret bola besi. Jika saja ia bisa melihat dirinya sendiri dan menyaksikan bagaimana cara berlari yang sedang dilakukannya, menemukan betapa kacaunya koordinasi antara gerakan tungkai kaki, ayunan bahu, dan sudut kecondongan tubuhnya, alangkah malunya dia. Dan, hai, ia mendengar suarau “pluk-pluk-pluk-pluk” yang seirama langkah kakinya. Serupa suara “koq-koq-koq-koq” yang mengikuti lari kuda penarik delman, dengan intonasi dan vokal yang sedikit beda. Tak asing lagi, itu pasti suara lemak di dada, perut, dan pinggang yang selama tahun-tahun terakhir ini ditabungnya.

Memasuki lapangan paroh selatan, rumput liar digantikan oleh ilalang, yang semakin ke selatan semakin tinggi. Lalu, tepat pada sebuah titik, ia berhenti. Kepalanya celingak-celinguk, seperti seorang manca yang memasuki wilayah yang sama sekali tak dikenalnya. Jelas, kini ia tak tahu berada di bagian mana. Lapangan, atau bekas lapangan, itu semakin tak dikenalinya. Ia tak tahu lagi, sampai di mana. Apakah aku masih di lapangan? Atau sudah melewatinya, dan telah masuk hutan? Ia bertanya-tanya. Tak ada yang bisa diacunya sebagai petunjuk. Di sekitar ia berdiri, tak ada secuil pun bukti, jejak, artefak, atau apa pun, yang bisa membantunya menentukan di mana garis gawang bagian selatan. Gerumbulan ilalang hampir setinggi paha itu, tempat ia sekarang berhenti dan termangu berdiri, bersambung langsung dengan rimbun hutan jati milik Perhutani (pagar hidup yang dulu jadi pembatasnya sudah tak ada lagi). Sementara gawang, atau bekas gawang, atau tanda-tanda bahwa di tempat itu pada suatu masa pernah ada gawang, sama sekali tak dapat ditemukan. Lebih parah dibanding yang di belahan utara, tak ada sekeping pun bekas tiang gawang yang tersisa. Tak juga ditemukan remukan mistar yang, misalnya, keropos termakan rayap dan masa. Gawang itu hilang, membawa serta garis lapangan bagian selatan.

Tak menemukan gawang di selatan, ia memutar badan menghadap utara. Memandang ke seantero lapangan dari tempat di mana sekarang ia berdiri, dicobanya mengukur apakah benar ilalang yang dipijaknya adalah tempat di mana dulu ia sering berdiri, sebagai seorang bek kiri dalam formasi bermain 3-5-2, mengamati permainan, dan bersiap menghalau setiap serangan. Setelah beberapa saat mencoba-coba, mematut-matut, membuat ukuran-ukuran maya, pada akhirnya ia hanya bisa memperkirakan saja. “Aku yakin di sini ini,” gumamnya, dengan nada jauh dari mantap. “Atau, paling tidak, pasti di sini,” katanya lagi, sembari menggeser berdirinya sedikit ke depan.

Ia mendapatkan sedikit penguatan ketika memandang ke sudut kiri lapangan selatan, tempat gerumbul ilalang tumbuh paling tinggi. “Ya, ya, ya,” ia manggut-manggut. Sudut kiri selatan sejak dulu telah ditumbuhi ilalang. Jadi, ia menyimpulkan, di situlah pasti sudutnya. “Kalau pakai bek sayap, Agung akan sering beroperasi di situ,” katanya, menyebutkan nama salah seorang temannya, tidak kepada siapa-siapa—sebab di lapangan itu memang hanya ada ia sendiri. Ia tertegun-tegun saat membayangkan betapa menderitanya Agung, bek sayap kiri tercepat yang pernah ada dalam sejarah sepakbola Lerok, saat lari dan membawa bola di antara ilalang setinggi itu. Namun ketika wajah Agung digantinya dengan wajah Roberto Carlos, ia tertawa-tawa sendiri. Gareth Bale? Ia boleh saja merajalela di White Hart Lane. Tapi di sini, ah, alang-alang tinggi ini pasti akan terlalu tangguh bagi solo run-nya.

Membayangkan ke arah mana dulu ia bergerak saat timnya memulai serangan, ia berlari kecil secara diagonal ke area sayap kiri, menyeret kakinya menyibak alang-alang. Tepat saat itulah ia baru menyadari kalau lebar (tanah yang dulu pernah menjadi) lapangan ini jauh berkurang. Segera menjadi jelas, pagar hidup di sebelah barat, yang berbatasan langsung dengan sawah milik Tarsam, telah terdesak jauh ke timur. Tarsam, orang brengsek itu. Orang yang dimusuhi para pencinta sepakbola Lerok sejak pertama kali lapangan itu ada karena kebiasaannya menggeser pagar sawahnya ke tanah desa. Dan kini, setelah lapangan ini hampir tak terpakai lagi, rupanya hampir seperempat lebar lapangan ini telah berpindah tempat tanpa sertifikat. Angka seperempat itu didapatnya tidak asal gasak saja. Jangankan dirinya yang begitu menghapal tempat ini, siapa pun akan tahu dengan segera, dengan melihat ke arah gerbang barat kuburan yang terletak di seberang jalan. Dulu, gerbang kuburan itu sejajar dengan garis barat lapangan. Kini, jarak antara keduanya hampir cukup untuk sebuah gawang.

Tak dapat dielakkan. Garis sejarah telah menentukan. Lapangan sepakbola Desa Lerok kini adalah sepetak tanah kosong yang hanya layak disebut sebagai bekas lapangan!

Nokia 1112 di sakunya bergetar.

“Halo!” sapanya, yang tak lama kemudian dipungkasi dengan makian, “Dancuk!”

Muslim, dengan siapa siang tadi ia membuat kesepakatan untuk ke lapangan, rupanya ingkar janji. Cecunguk itu tak jadi datang, rutuknya. Dengan demikian, sore ini, tak ada teman di lapangan ini untuknya. Dan tentu saja tak ada bola. Ah, come back penting bagi sejarah sepakbola desa ini takkan terlaksana hari ini, sesalnya. Sembari bersungut-sungut, ia memutuskan akan mengitari setengah lapangan bagian utara sebanyak lima kali, lalu pulang. Dan Muslim yang ingkar janji itu harus dilabrak, nanti di warung kopi.

Pada putaran keempat, dua orang bocah, kira-kira awal belasan, masuk ke (bekas) lapangan itu. Beberapa saat kemudian, tiga anak lainya menyusul. Salah seorang dari mereka datang dengan bola lusuh di kakinya. Tak satu pun dari anak itu yang dikenalnya. Dan, sepertinya, mereka juga tak mengenalinya. Ketika bocah-bocah itu mulai memain-mainkan bola dalam sebuah lingkaran kecil tanpa menaruh perhatian berlebih kepadanya, salah satu bek terbaik yang pernah dilahirkan desa ini, tentu saja ia bisa memakluminya. Terpaksa memakluminya. Pikirnya, pengabaian itu pasti juga akan dialami oleh Kacung si striker tersubur, atau Salim sang pengatut permainan terhebat, atau Wakid si danyang gawang tak terpatahkan, atau Agung si tercepat.

Seperti Kacung, Salim, Wakid, dan Agung, ia adalah salah satu dari ratusan perantau yang memutuskan untuk meninggalkan desa dan, pada akhirnya, juga sepakbola. Yang sedikit beda, mereka semua ke Malaysia, sementara ia ke Jogja. Jadi, jangan salahkan anak-anak itu, jika mereka tak begitu mengenal sejarah sepakbola desa ini yang pernah cemerlang, tak tahu nama para legenda, sebagaimana mereka sangat mungkin tak tahu kalau lapangan tempat mereka bermain ini pernah sangat ramai penuh sorak-sorai. Saat kecemerlangan dan keramaian itu terjadi, bisa jadi bocah-bocah itu masih bermain dengan bola-bolaan di kereta bayi mereka.

Saat ia menepi setelah menyelesaikan putara kelimanya dan bersiap untuk pulang, salah seorang anak mendekatinya. “Ikut main bola, Cak. Pemainnya kurang satu.”

Tawaran itu terdengar aneh di kupingnya. Tapi, jelas ia sumringah. Namun, ia tak mau terkesan murah. “Main di mana? Gawangnya tidak ada begitu, kok?” tawarnya, berlagak enggan.

“Pakai gawang kecil,” kata si bocah, sembari menunjukkan sepasang ranting yang dipegangnya, juga ke arah sisi utara, di samping tonggak bekas gawang yang tak dipakai mencencang sapi, di mana seorang bocah lain tengah menancapkan sepasang ranting yang dipasang sejajar dengan jarak masing-masing kira-kira empat tapak kaki.

Tanpa mengangguk sebagai tanda sepakat, ia menyabet ranting dari tangan si bocah yang mengajaknya. “Sini, aku yang pasang.”

“Kalian maju! Aku bek!” serunya, setelah gawang kecilnya telah berdiri. Agar diketahui, untuk gawang kecil, orang terakhir di depan gawang adalah bek.

Karena menjadi satu-satunya orang dewasa di (bekas) lapangan sore itu, ia berada di tim yang dua pemain lainnya adalah bocah-bocah paling kecil di antara kelima dari mereka. Maka, bisa diduga, lapangan tengah segera dikuasai lawan, dan gawang yang dikawalnya segera mendapatkan gempuran. Sembari bertarung melawan berat badan dan otot yang hampir karatan, ia berusaha mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam bertahan. Dan, sejauh itu, hasilnya lumayan.

“Aku Isnan. Aku bek. Dan aku mau jadi seorang bek,” itu kata yang diucapkannya pada kelas 3 Ibtida’iyah saat diminta menyebutkan cita-citanya di depan kelas. Dan sore ini, di depan sebuah gawang selebar empat tapak kaki, pada usia 27 namun dengan kondisi badan serasa umur 53, kembali ia menandaskan kalau ia tetaplah seorang bek.

“Aku Isnan. Aku bek. Dan aku tetap seorang bek!”


Lalu, sebuah sontekan pendek yang memungkasi sebuah umpan tarik dari kanan gagal diantisipasinya. Bola membentur betis bagian dalamnya dan bergulir pelan ke dalam gawang kecil yang dijaganya.

(Bersambung...)

Related Posts: