Oleh Darmanto Simaepa
Saya punya dua pesan dari redaktur senior belakanggawang, Mahfud Ikhwan (a.k.a Owen McBall), sebelum berangkat ke Leiden. Pesan pertama, agak sedikit kampungan dan mencerminkan bagaimana dia mencintai Lerok-nya, adalah 'titip salam untuk Wesley Sneijder'.
Kalau dipikir-pikir, ini agak sedikit membingungkan saya setidaknya karena tiga hal. Sneijder adalah pemain dari rival klub favoritnya dari masa remaja dan pasti hingga tua; Sneijder adalah pemain kesayangan pelatih yang dibencinya, Mourinho; Sneijder, di pasar pemain, sering diisukan paling diincar dan disukai oleh Fergie, pelatih yang akan ditertawakannya kalau runtuh kedigdayaannya.
Pesan ini sulit diwujudkan bukan karena kemustahilannya atau kelogisan proposisinya. Pesan yang ia sampaikan saat mengantar saya di muka pintu rumah di Sambilegi menyerupai cara orang Lerok mengiringi kepergian Ulid—anda harus baca novel si redaktur, Ulid Tak Ingin ke Malaysia, untuk mengerti konteks kalimat ini.
Ungkapan itu setara dengan kalimat, ‘Sampaikan salam untuk penyanyi Isabela atau Mahatir Muhammad,’ bagi perantau yang baru pertama kali mau pergi ke negeri Jiran. Nilai pentingnya bukan perkara pesan itu bisa disampaikan atau tidak, tetapi lebih menyerupai kalimat ibu saya yang menyertai ke manapun saya pergi 'hati-hati ya, jangan lupa berdoa...'
Pesan kedua, yang lebih mirip sebagai harapan, adalah dia meminta saya, jika ada kesempatan, untuk menulis sepakbola amatir atau liga-liga kasta rendahan di Belanda. Pesan ini jauh lebih mungkin untuk dipenuhi. Setidaknya, pesan ini seperti tagihan hutang. Sudah sebulan ini, janji untuk menulis setiap pekan bagi belakanggawang saya ingkari sendiri.
Jadi, pesan si redaktur jadi batu gerinda yang bisa memaksa saya untuk mengingat ucapan saya untuk tubuh saya sendiri. Alhamdamdulilah, pesan ini sudah menemukan celahnya, bahkan, pada setengah hari pertama saya di Leiden. Ini berawal dari pesan singkat di YM dari teman saya. Petang hari, siripok saya dari Mentawai yang sudah lama tinggal di Leiden ingin menyambut saya dengan secangkir kapucino hangat di dekat Station Centraal di pusat kota.
Pilihan sulit, sebenarnya. Cuaca di luar sedang buruk. Salju turun mencapai puncaknya pekan ini. Turun dari pesawat di Schippol, Amsterdam, suhu berada 8 derajat dibawah nol. Menjelang malam, angka itu akan menukik hingga –22 derajat. Malasnya lagi, lima menit barusan, sampai dirumah setelah mengigil lebih dari 10 menit setelah pulang belanja dari Jumbo, supermarket yang jaraknya sekitar 10 menit jalan kaki.
Bagi orang tropis yang terbiasa dengan sinar matahari dan angin muson, berjalan 5 menit di tengah cuaca semacam ini untuk pertama kali adalah neraka. Hidung tiba-tiba penuh dengan cairan. Muka kering dan kaku terpapar angin laut yang beku. Bibir pecah-pecah dan meradang. Dingin menusuk hingga ke tulang. Sweater dan jaket membantu anda menahan gigil hawa, tapi saya tetap tidak bisa tidur nyenyak meski lelah dan letih dari perjalanan panjang begitu mendera. Kaus kaki rangkap tiga tidak mampu menghilangkan keriput ujung jari.
Tetapi, seperti dalam tradisi Mentawai, undangan makan atau minum pantang untuk ditolak. Apalagi dari sahabat lama. Lagi pula, saya tidak punya cara membunuh waktu di senja mematikan ini. Televisi di kamar kost tidak menyiarkan laga MU vs Chelsea sehingga, untuk menutupi rasa kecewa, percakapan hangat dan mengumpat dalam bahasa Mentawai mungkin akan meredakannya.
*****
Perjumpaan terakhir dengan Tuli (nama lengkapnya Juniator Tulius) sudah lebih dari 6 tahun lalu. Kali ini, Tuli hanya punya waktu 45 menit. Selain harus menyelesaikan disertasi, dia harus bekerja untuk mendapatkan uang untuk hidup di Belanda. Beasiswa habis sejak 3-4 tahun yang lalu dan dia punya ‘istri’. Pekan ini dia harus ke San Fransisco untuk sebuah presentasi dalam simposium mengenai Material Culture and Primitive Art. Ia menampilkan makalah yang berangkat dari perdebatan lama mengenai keasilan (authencity) dan kepalsuan dalam seni Mentawai.
Tidak ada pilihan lain selain menembus salju dan angin musim dingin untuk menerima undangannya.
Dia memilih Kaffe Haat, restoran kecil diatas Oude Rijn, sebuah kanal yang paling tua dari sungai Rheine. Kafe itu mengingatkan rumah karavan dari film My Life Without Me. Bedanya restoran ini lebih terawat, dengan batu bata merah yang menyiratkan keanggunan, jendela-jendela besar yang bening dan kursi rapi dari serat pohon ek tua. Dia mentraktir segelas besar kapucino late, dengan taburan coklat Belgia diatasnya.
Seperti biasa, kabar terbaru dari Siberut mengawali percakapan. Si Hakim sudah meninggal, si Potan baru punya anak perempuan minggu lalu, Si Anu membangun rumah besar—mungkin dari hasil korupsi proyek, Si Gaek tidak berlayar lagi, harga coklat turun di Utara dan cengkeh mulai berbunga di Saibi. Si Yudas jadi bupati, dan proyek UNESCO masih jalan dengan tertatih-tatih. Dan detil-detil kecil lainnya.....
Selanjutnya adalah obrolan hangat yang ditemui dimana saja orang Siberut berada: masalah tanah, kepemilikan, asal-usul dan migrasi serta konflik-konflik yang dulu pernah ada, muncul kembali atau bertransformasi. Tuli sedang menyelesaikan studi tentang sejarah lisan orang Mentawai sementara saya sangat antusias terhadapa masalah hubungan kepemilikan dan penguasaan tanah dan ekonomi-politik cerita-cerita lisan yang terkait dengannya. Bobot akademik percakapan ini adalah mencari teka-teki tentang asal-usul orang Mentawai, migrasi, dan klaim kepemilikan tanah.
Bagi belakanggawang, tentu saja bukan diskusi akademik yang menjadi pokok masalahnya. Bagian yang paling menarik, terkait dengan pesan si redaktur adalah, soal sepakbolanya. Bagi laki-laki di Siberut, sepakbola adalah ekspresi simbolik dari maskulinitas. Itu bagian yang melekat dalam setiap percakapan antar laki-laki Siberut kontemporer seperti halnya berburu bagi laki-laki Mentawai di masa yang lalu—dan masih bagi sebagian kecil di masa kini. Tidak di Leiden, tidak di Padang, tidak di Jawa, laki-laki Mentawai berkumpul, sepakbola adalah menu obrolannya.
Dia masing mengingat kemampuan terbaik sepakbola saya. Seperti dua veteran tua, kami membicarakan gol pertama saya di Siberut. Gol itu saya cetak berkat sepatu Adidas seri Predator 2002 pinjaman Tuli. Gol itu tercipta dalam kejuaraan resmi antar kampung di lapangan Muntei, 3 Agustus 2004. Sebuah slalom dari tengah lapangan yang banyak orang masih mengenang hingga sekarang. Dia memuji gol saya, dan saya menambahkan peran sepatu dalam pujian itu.
Sepatu itulah yang membuat saya dibicarakan di kampung-kampung sehingga memudahkan orang mengenal saya. Dari momen itu, orang mengenal saya sebagai Sasareu yang suka bermain bola. Sepatu dengan pul 8 yang pipih yang tidak lazim satu dekade lalu, yang diciptakan untuk membuat tendangan Gerard muda menemukan sasarannya. Meski agak berat untuk lari, sepatu itu membuat bola lebih mudah digiring melalui kaki bagian dalam.
Setelah kapucino surut setengah gelas, momen ‘sungai menemukan arusnya’ muncul ketika Tuli bertanya apakah saya masih bermain sepakbola. Tentu saja saya mengatakan iya, meski saya merahasiakan cedera engkel yang parah. Lalu dia bercerita, secara rutin, dia masih bermain di akhir pekan di lapangan kampus Universitas Leiden—kadang-kadang main di taman-taman. Di musim panas, dia sesekali bermain di liga non-profesional di sela-sela liburan panjang.
‘Saat salju menghilang dan musim semi datang’, Tuli menawarkan, ‘aku akan menelponmu dan kita akan bermain bola’. Kejutan besarnya, dia sudah membelikan sepatu bekas untukku. Ia masih menyimpan Predator itu. Namun karena berlalunya waktu, sepatu itu jauh kian longgar bila saya pakai. Selain bahwa ukuran kakinya lebih besar—dulu saya pakai karena terpaksa dan ingin mencoba—seiring dengan hukum pemuaian fisika, kulit sepatu itu sudah melebar ke mana-mana.
‘Aku akan senang sekali kalau kamu mengajakku,’ jawab saya, ‘meski aku melihatnya dari pinggir lapangan’. Saat waktunya kebenaran diungkap, saya mengatakan bahwa sebuah tekel yang buruk dari kiper yang marah karena kalah telah membuat engkel kaki kanan saya retak. Peristiwa itu terjadi sekitar 6 bulan yang lalu di lapangan Seminari Prayoga Padang.
Hingga sekarang, engkel itu belum pulih dan memaksaku untuk mengadu geraham jika tawaran bermain futsal atau sepakbola datang.
‘Aku punya blog sepakbola yang sedikit berbeda, dan akan menarik jika aku bisa menulis sepakbola amatir di Belanda’, saya berujar padanya. ‘Beberapa ada tulisan sepakbola di Siberut’ Saya mencoba mencuri sisi melankolik dan psikologisnya, ‘dan jika ada laporan dari Leiden, itu akan lebih lengkap’. Dia menjawab pendek, saya harus menunggu hingga Mei. ‘Dan saya tidak bisa duduk lebih lama lagi,’ ujarnya sambil menutup obrolan. Masalahnya: Mei aku harus pulang.
Setelah percakapan yang luar biasa hangat di cuaca yang begitu dingin, kami mengucap salam perpisahan di depan Kaffe Haat.
*****
Mungkin saya tidak bisa bermain sepakbola di Belanda, tetapi saya punya kesempatan besar untuk mewujudkan pesan redaktur saya. Ini juga bisa jadi momentum untuk memecahkan kebekuan belakanggawang.
Januari adalah bulan terburuk bagi belakanggawang. Jumlah tulisan yang di posting, paling sedikit. Saya hanya berhasil merilis satu tulisan di awal pekan. Persiapan dokumen dan prosedur administrasi ke Belanda, tragedi Pulogadung, dan masalah-masalah domestik lainnya membuat saya mengingkari janji terhadap diri sendiri untuk menulis secara rutin setiap pekan. Ide-ide tiba-tiba seperti udara segar, menguap tanpa bentuk setelah hembusan pertama.
Dari kesan pertama hidup dilingkungan kota kecil dengan nuansa akademik yang kuat di Leiden, paling tidak, saya bisa berharap untuk menulis dengan tenang. Kota ini cukup sunyi dan tenang. Setiap orang sangat nyaman berjalan kaki atau bersepeda. Museum Natural Science sangat besar dan lengkap dan perpustakaan KITLV berada di Leiden. Kanal-kanal dan rumah-rumah sisa abad 17-18 dengan batu bata merah dan cerobong asap seperti dalam gambar-gambar kartu pos Hindia Belanda akhir masa kolonial.
Dan saya mendapat kamar yang saya imajinasikan sejak semester 2 di UGM. Imajinasi itu mulai tumbuh saat pertama kali melihat kamar-kamar yang luas di asrama mahasiswa di Baciro. Saya selalu berharap suatu saat itu akan nyata: sebuah ruangan yang nyaman dengan meja dekat jendela yang besar.
Terletak di lantai tiga, kamar saya berukuran sekitar 4 x 5 meter dengan jendela kaca yang lebar menghadap ke jalan. Di balkon kecil dekat jendela, astaga! saya bisa menemukan bunga geranium yang diinginkan oleh Pangeran Kecil dalam definisinya tentang rumah. Kadang-kadang burung gereja hinggap sebentar di dekatnya. Desain interiornya dan fasilitasnya jauh lebih baik dari kamar hotel bintang dua di Padang—bahkan di Yogya.
Dari tempat menulis ini, Saya bisa melihat mahasiswa dari seluruh dunia lalu lalang di MarienPoel Straat. Salju turun pelan seperti hujan bulu angsa di luar jendela. Di Seberang nampak gadis (atau ibu-ibu??) yang sedang menjemur pakaian atau menghisap rokok di balkonnya.
Kamar ini juga dilengkapi dengan dapur dan air mandi hangat. Menurut ukuran setempat, harga 500 euro/bulan memang sedikit mahal. Tapi, sepertinya ini adalah harga yang pantas. Satu meja belajar yang terawat, lemari pakaian yang besar, satu sofa dan kursi malas dan tempat tidur yang nyaman—dan mesin pemanas yang lumayan. Jelas fasilitas ini tidak bisa dibandingkan dengan kamar busuk Sambilegi, tempat belakanggawang mulai mendapatkan bentuk nyatanya.
Tidak jauh dari kost ini, ada toko buku dan majalah yang cukup lengkap. Sepulang dari Kaffe Haat saya mampir sejenak. Di rak majalah, saya mencari Voetbal International, dan puji tuhan, saya menemukannya. Keparatnya, saya hanya bisa menikmati fotonya, karena majalah sepakbola yang terkenal ini hanya terbit dalam bahasa Belanda. Tapi tidak mengapa, saya bisa mencari Fourfourtwo atau Champions besok lusa dan ini memberi sedikit semangat untuk belakanggawang.
Setidaknya, setelah berjalan menembus 11 derajat di bawah nol selama seperempat jam sepanjang Leiden Naar, sudah ada dua ide hinggap dikepala. Saya pikir, ini akan bagus buat redaktur saya yang mulai tidak nyaman karena belakanggawang, untuk 5 edisi terakhir hanya berisi petikan novelnya. Kalaupun ke dua pesan yang disampaikan kepada saya sebelum berangkat tidak bisa saya tunaikan, paling tidak saya bisa menebusnya dengan kembali menulis rutin untuk melarikan diri dari hawa dingin dengan segala previlege yang saya punyai saat ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "KABAR DARI LEIDEN"
Posting Komentar