Pesepakbola dan Penulis


Oleh Darmanto Simaepa

♯Pesepakbola 

Tidak ada orang  yang mengawali kerja (“karir”) menendang bola di usia kepala tiga. Ini berlaku untuk pemain bayaran di liga yang disiarkan televisi maupun pemain amatir di turnamen tujuh belasan.  Justru, umur tiga puluhan adalah lonceng kematian bagi pesepakbola. Coba hitung tetangga Anda yang masih mau ikut bermain di alun-alun kecamatan untuk mempertaruhkan kebanggaan desa.  Kalau tidak terserang encok dan linu, pemain senior paling antusias di desa pun di dera rasa malu bila harus berada di satu lapangan dengan anak laki-laki dan/atau disoraki anak gadisnya.

Di level yang paling tinggi, tidak banyak pemain yang masih cemerlang mengolah si kulit bundar melewati tiga dekade. Hanya pemain-pemain yang punya gen berkualitas dan hidup bagai rahib sajalah yang mampu menyeimbangkan gairah bermain, disiplin makanan dan tindakan luar lapangan, serta keterampilan menjaga badan. Seberapa banyak pemain seperti Maldini, Giggsy, atau Rogerio Ceni?

Oke, Roger Milla pertama kali menendang si kulit bundar di Indonesia ketika usianya 42. Tapi, saya ragu apakah dia sedang benar-benar bermain bola saat itu, kecuali, sedang dibayar menjadi aktor pembantu—spesialis goyang pinggul—dalam lakon setengah babak untuk menarik penonton datang ke pertunjukan di stadion yang lengang.

♯Penulis

Saya punya postulat bahwa penulis novel yang bertahan lama di Indonesia tidak akan memulai  “karir” sebelum usia 30-an. Dengan kalimat ini saya tidak sedang mengatakan bahwa semua novelis baru menulis atau menghasilkan karya pertama di usia tersebut. Sebagian besar penulis brilian menoreh kalimat pertama sejak mengenal abjad dan telah menerbitkan sejumlah buku di usia belasan.

Yang saya maksud dengan memulai “karir” di sini adalah periode memantapkan diri sebagai seorang penulis. Postulat tersebut berangkat dari gagasan bahwa setiap penulis memiliki satu periode di mana ia berada pada dilema untuk gigih menjadi penulis atau menyerah dengan keadaan.

Saya tidak sedang bilang bahwa selalu ada kegelisahan dan periode transisi dalam rite de passage seorang novelis.  Banyak penulis yang langsung yakin bahwa dia akan berhasil menjadi pengarang novel. Ada juga dari mereka yang menghasilkan novel bagus dan menjual banyak eksemplar lewat karya pertama. Paling tidak seorang yang sebelumnya kurang dikenal seperti Andre Hirata dapat keduanya.

Menulis novel boleh jadi menjanjikan kekayaan dan kemasyhuran tanpa harus melewati periode transisi. Hanya saja, seperti lagunya Hetty Koes Endang, janji itu kerap hanya menjadi janji. Sulit dibantah kalau dibanding profesi lain, ‘struktur’ dunia kepenulisan di Indonesia relatif kurang membuka ruang bagi banyak ‘agensi’ untuk berhasil menjadi penulis yang berhasil dan menjual karya bagus.

Hampir semua penulis novel harus bersiasat untuk menopang kehidupan. Dan  mereka lazim punya periode transisi sebelum akan meneruskan profesi kepenulisan sebagai sandaran hidup. Periode transisi ini setara dengan masa ketika anak-anak akademi sepakbola masuk jenjang profesional. Banyak pemain bagus saat di akademi, diklat, atau event olahraga amatir (PON, Porda), namun persentase yang lolos menjadi pemain profesional di waktu yang lama sangatlah terbatas.

Paling tidak digenerasi saya (2000-an), banyak penulis muda memulai ‘latihan’ menata paragraf, memilin cerita dan mengolah kalimat lewat tulisan 1000 kata di lembar ‘budaya’ koran minggu atau sayembara ini-itu. Sebagian di antara mereka berkibar di surat kabar sebelum masuk duapuluh.  Namun, dari semua penulis produktif itu, tidak banyak yang berhasil memantapkan diri sebagai penulis yang punya kekhasan tersendiri—secara komersial dan artistik.

Tentu saja tiap orang punya masalah dan pilihan pribadi yang tidak diketahui orang luar. Mereka juga mungkin tidak melihat profesi ini sebagai cara untuk punya karya besar, laris manis atau membuat terkenal. Banyak teman memberakan praktik menulisnya untuk kegiatan yang dipandang lebih relevan, misalnya berdemonstrasi atau aktif menggalang massa melawan ketidakadilan.

Justru karena tiap penulis punya alasan untuk tidak meneruskan ‘karir’ dan sementara semua yang ingin hendak jadi penulis tidak semua berhasil mengatasi masa ‘transisi’ membuktikan bahwa ‘agensi’ penulis tidak selalu bisa memilih sejarahnya sendiri di hadapan ‘struktur’ dunia kepenulisan.

Penulis yang bersemangat di awal masa remaja mentransformasikan semangat itu ke profesi lain ketika mulai membayangkan bagaimana membayar katering pernikahan atau tagihan listrik. Tentu saja keadaan sesungguhnya tidak sedramatik itu, tapi kita langsung ke poinnya: kegigihan menulis ditentukan justru oleh ketidakmenentuan apa yang akan diberikannya.

Bahkan penulis yang sudah menerbitkan beberapa karya sering tidak merasa yakin bahwa ia akan bertahan. Seorang Gabriel Garcia Marquez pun merasa belum yakin akan jadi penulis meskipun ia sudah menerbitkan kumpulan cerpen pertama.      

*****

♯Pesepakbola

Ada sebagian pesepakbola, yang setelah pensiun, beralih profesi menjadi penulis. Penggemar Albert Camus bisa memasukkan namanya ke daftar ini. Sebelumnya, Neil Peterson memperoleh hadiah sastra bergengsi Atlantic Award setelah pensiun menjadi kapten Dundee United atas cerita pendeknya. Pepe Mel menulis novel detektif yang mendapat sambutan hangat. Terry Venables bahkan menulis naskah televisi di antara jeda latihan bola semasa masih aktif bermain. Nama David Beckham muncul di sampul buku cerita horor dan Theo Walcott menulis cerita berseri untuk anak-anak.

Ada juga bekas pemain bola atau pelatih yang menjadikan menulis sebagai seni. Bila membaca kolom-kolom Luis Menotti atau Jorve Valdano, Anda akan mendapat sensasi sastra. Esai-esai Beckenbauer menarik tapi citarasa Jerman terasa begitu teknis dan ‘arsitektonik’. Namun, rata-rata bekas pesepakbola yang menulis cenderung menghasilkan otobiografi. Atau paling banter mereka akan menulis kolom ulasan taktik, atau prediksi pertandingan.

Berharap pemain bola menulis cerita silat adalah tuntutan yang tidak bertanggung jawab, dan saya tidak sedang melakukannya.

♯Penulis

Saya punya teman dari masa remaja yang punya punya hasrat bermain bola, namun sama sekali tidak berbakat. Saat SMA, ia memilih posisi bek kiri bukan karena kidal atau pengen meniru salah satu legenda Milan, klub kesayangannya. Kaki kirinya mirip kayu getas, tak lentur mengarahkan umpan. Ia bisa menerjang dan larinya cukup kencang tapi napasnya pendek, seperti ukuran tubuhnya. Sederhana saja: tidak banyak saingan cadangan di posisi itu.

Pada masa itu, kemampuan mengolah kata dan menenun bahasa mirip bakat sepakbolanya. Angka di rapornya untuk Bahasa Indonesia barangkali delapan, tapi itu tidak menunjukkan bahwa ia akan lebih piawai menggiring cerita dan bercita-cita menjadi penulis novel.

Ketika ia memilih jurusan Sastra Indonesia di universitas, itu bukan diawali oleh kesadaran akan peluang pekerjaan yang akan diraih setelah menjadi sarjana atau membantunya memenangkan sayembara sastra. Seperti kebanyakan siswa kampung yang keder melihat persaingan masuk perguruan tinggi, Ia memilih Sastra Indonesia di nomor ketiga.

Sebagai penulis dari keluarga sederhana yang tidak memiliki riwayat sebagai penulis, ia memulai menulis cerita sebagai cara untuk membeli buku, makan bareng teman, atau menambahi kiriman orang tua yang tidak seberapa. Ia punya sedikit keahlian beternak ayam, tapi tempat tinggalnya di Yogya bukanlah pulau Buru tempat Pram bisa menukar telur dengan kertas.

Ia terus menulis, barangkali, karena tidak melihat ada kemungkinan menyambung hidup di luarnya. Sudah lama pertanian bengkoang di kampungnya susut, sementara membuat jubung telah ditinggalkan laki-laki di sekelilingnya. Lebih buruk lagi, sikap skeptis dan introvetnya jelas tidak cukup meyakinkan untuk dijadikan bekal melamar pekerjaan ‘membantu’ masyarakat.

Beberapa bulan di Jakarta untuk pekerjaan lain membuatnya seperti ikan asap. Lalu pekerjaan lumayan sebagai penyunting buku pelajaran membuatnya bisa bayar kost dan sedikit mengumpulkan tabungan pernikahan, sebelum hari pemecatan diumumkan. Di antara waktu-waktu itu, ia berusaha keras menulis cerita tentang desanya, kerabatnya, dan ‘dirinya’ dalam sebuah novel.

Setelah satu dekade lebih bergulat dengan tokoh, plot dan narasi tentang desanya, ia syah menjadi novelis. Namun, hari di mana novelnya keluar dari percetakan itu bukanlah menjadi hari pertamanya menjadi seorang ibu yang melahirkan anak yang dikandung selama sepuluh tahun. Itu nyaris menjadi hari terakhir menjadi orang tua.

Kenyataan bahwa novelnya tidak beredar luas di pasaran komersial, artistik, dan akademik membuatnya mengalami ‘krisis 30an’.  Ia menghadapi ada jarak antara impian masa mahasiswa dan kenyataan dunia setelahnya. Di satu sisi, sangat sulit membayangkan hidup di luar menulis tetapi di sisi lain,  sulit membayangkan hidup hanya dengan menulis.

Seperti pemain bola di Indonesia, ia harus melewati masa transisinya dengan bermain tarkam. Ia mengerjakan apa saja untuk menyambung hidup. Krisis inilah yang membuatnya betah membujang. Ia mungkin tidak ingin membagi periode transisinya bersama orang lain.

♯ Bekas Pemain dan Penulis

Setiap profesi punya titik balik.

Titik balik pemain sepakbola adalah paruh 30an. Xavi pindah dari Barca, Gerard pergi ke Amerika, Kurniawan DJ undur diri. Mereka tidak bisa berkompromi dengan waktu. Ketika badan sudah mulai melawan perintah otak, saatnya pemain sepakbola menepi ke level kompetisi yang lebih rendah atau gantung sepatu dan menyiapkan karir kepelatihan.

Para penulis yang akan bertahan panjang, sebaliknya, memulai titik baliknya di usia 30an. Apalagi penulis yang dulunya kurang becus mengolah bola. Saya tidak sedang bicara tentang Galeano. Teman remaja saya itu kini telah melahirkan novel ketiga dan telah bermetamorfosa menjadi seorang penulis yang kuat dan, saya percaya akan bertahan lama.

Baginya, novel pertama barangkali yang paling penting—tiap pengarang hanya sekali menulis kisah atau tempat di satu novel, dan biasanya itu ada di karya yang pertama. Novel kedua penting karena memberi kemungkinan untuk bertahan hidup. Namun bagi saya, novel ketiga adalah yang paling krusial: ia menandai keberhasilan periode transisi.

Saya akan kembali ke postulat di atas: berkebalikan dengan pemain bola, penulis novel hebat dan novel yang bagus memulai siklus karirnya setelah usia tigapuluhan. Saya percaya teman yang tengah menikmati penerbitan dan promosi novel ketiga di usianya yang ke tiga puluh lima itu telah melewati ‘akademi’ dan bersiap-siap memainkan ‘kompetisi’ di level yang paling tinggi.

Novel ketiga bekas pemain bola kacangan itu judulnya Kambing dan Hujan.

Related Posts:

FINAL SEPULUH MENIT

Oleh Darmanto Simaepa

Bagi saya, pertandingan final liga champion edisi 2015 baru dimulai pada menit ke lima puluh lima. Meskipun kaki Mascherano gemetar dan aliran darah Busquet berdesir sedikit lebih kencang sehingga pada satu-dua sentuhan pertama Barca terlihat gugup dan tegang, saya yakin bahwa pertandingan di Berlin itu adalah sebuah peragaan, bukan pertandingan ‘sesungguhnya’. Saya bilang ke teman kost yang seorang Juventini—ia menyimpan foto bareng Alex Del Piero—bahwa Si Kuping Lebar telah diantar ke Nou Camp sehari setelah pertandingan semifinal kedua. Saat itu saya tidak berkelakar atau ingin ditertawakan, apalagi menyepelekan Juventus. Saya hanya sedang berusaha tidak terlalu gembira. Juve adalah tim yang sangat bagus, tapi dengan mengingat sejarah, DNA Madrid jelas lebih terbiasa dengan Liga Champions, sementara rivalitas sosio-politik sepakbola Castilia-Catalunya bisa mengubah Madrid jadi monster yang berbahaya.

Sore menjelang kick-off, kaki saya tidak terasa dingin. Perut baik-baik saja. Tidak mulas dan serasa mau muntah seperti yang biasa saya derita ketika tim kesayangan berlaga di partai-partai besar atau final. Tidurpun sangat pulas, sampai-sampai teman yang mengajak nonton bareng—anak muda penyorak tim dari Manchester, tapi bukan United—harus menelepon berkali-kali, memastikan saya bangun dan siap dijemput. Ini berbeda dengan, misalnya, setahun yang lalu ketika saya tak bisa tidur menjelang final Piala Dunia dan mengeluarkan sebaskom isi lambung sepanjang malam. Bahkan semalam terlintas di pikiran untuk mengajak Gerei, anak laki-laki saya yang berusia 5 bulan, menembus dingin dini hari jalanan Australia dan menikmati kemenangan indah Barca.

Saya tidak gelisah bukan karena barisan penyerang Barca saling mengisi, produktif dan bermain penuh pesona. Sid Lowe atau Daniel Taylor dari the Guardian atau Rob Hughes punya banyak kalimat bagus untuk mendeskripkan ketajaman dan pergerakan itu Barca punya trisula. Tim ini menenangkan hati bukan karena secara statistik lini belakangnya lebih solid, jarang kebobolan dari bola mati dan mengelak dari derita serangan balik. Anda hanya perlu singgah di laman ‘copy-paste’ala pandit detiksport untuk tahu. Lagipula, untuk apa bersaing dengan analisa taktik Jonathan Wilson di majalah Champions tentang bagaimana Enrique menata skema pertahanan Barca dan mengarahkan umpan diagonal. Bahkan, tanpa membaca artikel dunia mayapun—yang sebagian bertele-tele dan sebagian lain menyegarkan—Anda sudah tahu bahwa tim ini lebih lengkap, adaptif dan dinamis, meskipun elegansi dan aura ‘aristokrat’ yang dipunyai era Guardiola sedikit menguap entah ke mana.

Yang membuat saya lega adalah: ini bukanlah tim sepakbola impian Catalunya yang congkak dan kelewat percaya diri, seperti yang pernah membuat banyak orang patah hati seperempat abad silam. Barca yang ini sedikit rendah hati. Dari penggalan tayangan pemanasan yang saya peroleh via streaming Sky Sport, tampak jelas kegugupan di wajah Messi. Ia sering menelan ludah sehabis melakukan lari jarak pendek. Sesekali matanya nanar, menatap langit-langit stadion. Tindak-tanduknya menunjukkan bahwa kegagalan final Piala Dunia telah merasuk ke sumsum dan menjadikannya sebagai manusia biasa. Di sudut yang lain, Pique meremas-remas genggaman tangan lalu menciumnya sesaat sebelum masuk arena. Hanya Alves dan Neymar yang bisa menyembunyikan tekanan dibalik senyum ceria Brazilia.

Kecuali untuk Rakitic, Suarez, Alba, Neymar, dan Stegen, semua pemain inti Barca telah mencecap final Champions yang kedua, ketiga, atau bahkan yang ke empat kali. Namun tetap saja mereka gelisah dan jantungan. Jelaslah para pengamat berlebihan dengan menganggap Messi berasal dari planet antah berantah di luar galaksi Bima Sakti atau Xavi adalah ilmuwan paling rasional dan dingin dalam permainan ini.

Yang jelas: mereka lebih pintar menggulirkan si kulit bundar—baik sebagai tim maupun individu. Ini bukan berarti Juventus tidak terampil atau bermain dengan naif. Bukan. Juve sangat cerdas secara taktik dan siap secara fisik. Alegri membuat Conte tampak seperti pelatih semenjana, dan membikin orang tidak lagi bicara tentangnya. Di tangan Alegri, Juve jauh lebih matang. Dari beberapa kali operan satu dua yang cepat, terlihat ia berhasil menanamkan sikap percaya diri sekaligus perhatian detil pada akurasi. Misalnya, bek dan gelandang Juventus secepat kilat mengumpan bola panjang ke rusuk kiri yang ditinggal pergi Jordi Alba. Di sana, Morata sudah menunggu bola dan langsung berhadapan satu-lawan satu dengan Mascherano. Remaja itu lebih ligat dan beberapa kali berhasil memperdaya Masche, membuat kita menggerutu mengapa Madrid menyia-nyiakan bakatnya. Di sebelah kiri, jangkauan kaki dan kelenturan bagian tubuh atas Pogba sesekali memancar dan mengindikasikan bakat besar. Kemampuan fisik serta ketrampilannya memindah arah serangan membuat Dani Alves bimbang mengambil keputusan menunggu momentum atau merangsek maju.

Hanya saja, sungguhlah sulit melawan sistem penguasaan klasik Barca. Kombinasi satu-dua sentuhan Busy, kehalusan dan kecerdikan Iniesta mengatur arah bola, serta kecerdasan Rakitic mencari ruang kosong membuat Pirlo, Vidal dan Marchisio seperti menjala angin yang melesat. Keunggulan satu gol tidak menggambarkan kualitas pertandingan. Itu hanya menunjukkan kebenaran komentator David Pleat yang dengan kering menyebut Gigi Buffon sebagai 'evergreen goalkeeper’. Terutama saat syaraf refleknya meminta tubuh rebah ke arah kanan, sementara otak kanannya secepat kilat memerintah tangan kirinya bergerak ke arah sebaliknya, menghalau sepakan jarak dekat Alves. Atau momen ketika ia dengan sigap membaca arah tendangan punggung kaki Suarez dari jarak kurang sepuluh langkah ke arah tiang dekat.

*****

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menonton tim dukungan berlaga di final dengan nyaman. Namun, tiba-tiba saja datang momen itu. Jordi Alba keliru membuat perhitungan, dan sentuhan tumit Marchisio (satu-satunya yang bisa kita ingat darinya malam itu) mengubah arah lari Leichsteiner. Tepat saat orang Swiss itu menekuk bola dengan bagian dalam kaki kanannya, Tevez membalik badan dan menyambar bola menyusur tanah dengan kaki kiri tepat ketika bahu kirinya mengerahkan daya tolak. Stegen berhasil memblok bola yang dipotong dan digunting dari arah di mana ia datang. Apa daya, taktik sepakbola Italia dengan menempatkan seorang penyerang di garis ofset untuk menerima pantulan masih berguna! Morata menunjukkan pilihannya bermain di Italia tidak keliru. Ia punya insting pemburu yang bertahun-tahun tinggal dalam kepala Inzaghi. Ia juga punya kemampuan meraba arah bola dan arah nasib.

Pertandingan final mulai. Keringatan hangat mulai mengalir, tapi ini bukan karena semangkup sup, saksang dan sambal pedas kemiri campur andaliman yang saya tuntaskan di tengah jeda. Tentu saja tubuh saya menghangat karena makanan Batak itu dimasak penuh perasaan dan sepenuh hati dengan takaran bumbu yang pas oleh kawan Reinhard Sirait. Hanya saja, tubuh tiba-tiba lembab karena game plan Italia racikan Alegri yang diam-diam saya reka-reka sendiri dan takuti bekerja dengan baik.

Sulit menterjemahkan frasa dalam bahasa Inggris Italian Job ke dalam bahasa Indonesia, tapi Anda pasti tahu maksud saya. Dan ini bukann kali pertama. Kedewasaan Juventus bermain sudah terasa selama dua pertandingan semifinal. Meskipun tertinggal dan dalam posisi tidak menguntungkan, mereka bermain penuh percaya diri, tidak panik, dan sedikit membikin kesalahan, Tevez turun ke dalam, sementara Morata selalu berhasil memenangi duel dan memberi bola pantulan. Vidal seperti seorang perwira perang yang langsung turun bertempur di medan perang, berlari ke sana kemari penuh tenaga dan tipu daya. Plot permainan dirancang lewat skenarion yang matang. Mungkin mereka tidak yakin akan mencetak gol atau menang, tapi mereka tahu cara mengolah tempo pertandingan.

Saya melihat secercah kedewasaan itu selepas kedudukan imbang. Mereka tidak buru-buru. Dengan telaten, mereka menunggu Barca melakukan kesalahan, mengubah arah bola dan membuat serangan kejutan. Mereka teguh dengan prinsip menekan setinggi mungkin, tetapi jarang melepas umpan panjang. Berapa kali Anda melihat Buffon melepas tendangan gawang langsung ke pemain depan? Meskipun Vidal terlalu berangasan, Bonucci dan Barzagli hampir tidak terlihat membuat kecerobohan. Jarak antar pemain rapat, sementara duet pemain depan selalu berusaha mengoyak dan merentangkan ruang.Tatkala Pirlo mulai mengambil momentum, pemain Barca bingung mencari bola dan terlihat linglung. Periode ini adalah yang periode yang membuat saya menderita.

Coba bayangkan pemain Barca bergerak tanpa menguasai bola! 

Imajinasi saya seketika melayang duapuluh satu silam ketika Guardiola dan kawan-kawan berlari pontang-panting ke semua sudut lapangan untuk mendapati bola sudah dioper Maldini ke Desailly dilanjutkan ke Boban lalu menuju Savicevic dan berakhir di jala Zubizareta setelah digulirkan oleh Massaro. Semakin keras pemain lini tengah Barca merebut bola, semakin sering mereka menemukan pemain Milan telah jauh meninggalkannya. Imajinasi itu bertaut dengan masa-masa ketika Messi mulai menunduk dan Suarez berlari menuju ruang hampa. Selama beberapa menit, bola menjadi liar di kaki Busy dan Iniesta, dan itu menghasilkan umpan-umpan yang kerap salah sasaran. Bahkan, untuk sekian waktu, Messi tidak menyentuh si kulit bundar sementara kuartet Juve mulai mengatur suhu permainan.

Bagi penggemar Barca yang sedikit-banyak membaca sejarah klub ini, Anda akan memahami trauma sejarah sepakbola  Dalam kalimat Franklin Foer atau Sid Lowe, sejarah Barca adalah sebuah perulangan atas “melankolia kegagalan dan romantisme destruktif”. Hal buruk yang pernah dialami Barca akan kembali berulang dengan jauh lebih buruk—saya menulis versi pendeknya dengan judul “Madre Mia!” di blog ini. Kalah tipis (adu penalti) di final Piala Champions 1961 diulangi dengan kegagalan final 1986—dengan seluruh penendang penalti gagal menceploskan bola. Untunglah saya tahu periode itu dari tulisan orang sehingga tidak memiliki ikatan kuat dengan tahun-tahun Barca sebelum saya lahir dan disunat. 

Namun untuk memori kelam Barca yang lain, saya ingat sampai ke rinciannya. Ijinkan saya sebentar untuk bernostalgia.

*****

Seminggu sebelum final Milan-Barca di Athena 1994, saya selalu bangun pagi-pagi. Bukan untuk lari pagi yang disarankan emak saya, pergi ke masjid yang selalu diminta bapak saya atau membeli lontong sayur di dekat rumah seperti yang saya inginkan sendiri. Selama seminggu berturut-turut, sebelum matahari naik saya langsung menuju puskesmas untuk meminjam lembar Olahraga harian Jawa Pos. Perawat desa yang tugas di puskesmas itu memiliki suami (Pak Katno namanya) yang penggemar berat kisah-kisah Bondet, Susan, dan Cipluk di kolom Opo Maneh Jawa Pos. Keluarga perawat itu menganggap saya bagian dari keluarganya. Kalau bosan mengaji, saya pasti ke rumah mereka yang menyatu dengan bangunan puskesmas untuk membaca majalah Bobo milik anak bungsu, majalah Aneka atau Gadis milik dua anak gadis remajanya, atau terkadang hanya untuk makan malam bersama mereka.

Tukang koran datang duluan dari jam bangun bapak itu. Saya menyisihkan halaman pertama hingga dua belas untuknya. Lantas, saya menaruh bagian olahraga di dalam tas sekolah di antara buku catatan pelajaran. Dua kali jeda istirahat cukup untuk membaca habis seluruh ulasan olahraga.

Saat itu Jawa Pos adalah yang terbaik. Mereka juga sangat dermawan dengan membuat 12 halaman olahraga (8 halaman khusus untuk sepakbola). Saya menemukan idola masa remaja Rayana Djakasurya atau sesekali mencari laporan balapan yang dimenangi Aryton Senna dari Ramadhan Pohan. Pekan itu, Rayana menulis laporan pandangan mata langsung dari Yunani. Ia menulis banyak pernak-pernik terkait final akbar tersebut, mulai dari penyambutan fans di Bandara, hotel tempat menginap ke dua tim, profil Capello dan Cruijf, perkiraan susunan pemain, stadion dan rumput lapangan. Ada juga kutipan pendapat pemain-pemain timnas, anggota Primavera dan klub-klub liga Dunhil tentang duel ini. Saya ingat, Bima Sakti menjagokan Milan sementara Fachri Husaini membela Barca.

Kebetulan, Milan dan Barca adalah dua kekasih saya sejak masa kanak, pada masa puber, dan tentu saja hingga sekarang—selain Manchester United. (Saya akan menuliskan kisah tim-tim hebat ini dan kenikmatan serta pahala si “pemburu kemenangan” lain waktu saja). Jika pernah mendengar istilah the Dream Team untuk klub sepakbola mereka adalah keduanya.

Barca dan Milan disebut sebagai dua tim impian—juga impian remaja manapun yang menyukai sepakbola indah. Meneruskan kerja Sacchi, tangan dan wajah dingin Capello menjadikan Milan sebagai mesin kemenangan. Dengan uang hasil kejayaan televisi, Berlusconi menambahkan pemain terbaik Eropa—sedikit di antaranya adalah Boban, Savicevic, Papin, Desailly—ke dalam skuat yang sudah punya Maldini, Baresi, Custacurta, Donadoni, Albertini. Tim ini empat kali Scudetto berturut-turut dan tiga kali mencapai final champions di awal 90an.

Sementara itu pantai barat Mediterania, Cruijjf menyulap tim 'destruktif' menjadi Total Voetbal versi Spanyol. Ia merestukturisasi akademi dan mengambil Ajax 70an sebagai model. Namun, ia juga menambahkan kombinasi 'susu basi' dan 'roti selai' dalam diri Stoichkov dan Romario untuk mengekskusi pergerakan cepat bola yang diatur oleh anak-anak akademi La Masia—Guardiola, Bakero, Sergi, Abelardo, Ferrer. Mereka 4 kali juara La Ligaberturut-turut (1991-1995) dan berhasil melampaui kutukan final Champions dua tahun sebelumnya di Wembley.

Saat itu posisi saya lebih condong ke Barca. Saya membaca artikel saduran tentang Michael Laudrup dan gaya bermain Barca yang ditulis oleh wartawan Inggris—saya tidak ingat persis, tapi mungkin saja itu Simon Kuper—dan merasa jatuh hati dengan orang Denmark itu. Suara Rayana berusaha membela Milan, barangkali karena tugasnya sebagai pegawai konsulat Indonesia di Roma sedikit memberinya perasaan memiliki tim Italia. Lebih dari itu, satu kaki Milan teramputasi. Baresi dan Costacurta tidak bisa bermain di final karena akumulasi kartu. Setelah bertahun-tahun melihat sosok Baresi yang dengan jenius menggalang pertahanan dan memulai penyerangan akan absen, bisa dimengerti bahwa keyakinan saya terhadap klub ini sedikit goyah. Capello berinovasi dengan memindahkan Desailly dari gelandang bertahan ke bek tengah, mendampingkannya dengan Maldini. 

Satu laporan Rayana di Jawa Pos di edisi Minggu, tiga hari sebelum duel, masih tertanam di kepala. Dengan hidup dan penuh nuansa, Rayana membuat deskripsi latihan Barca. Ia menggambarkan situasi yang sangat rileks, tanpa tekanan, dan terkesan meremehkan. Ia menyitir ucapan Cruijf yang dengan jumawa mengatakan bahwa anak didiknya tak perlu latihan untuk merebut piala. Alih-alih mengatur taktik dan menyiapkan kondisi fisik, ia justru mengajak para pemain taruhan. Dua hari menjelang final, Ia menyuruh pemainnya menaruh bola di titik penalti. Bukan, ia tidak sedang menyiapkan skenario adu tos-tosan. Ia justru menantang duel setiap pemain untuk mengincar mistar dan tiang gawang. Siapa yang berhasil melakukanny akan mendapat seratus peso. Tidak ada yang berhasil kecuali dua kali tendangan Stoichkov dan Felix yang mengenai mistar.

Artikel-artikel Jawa Pos membangun drama dan menyiapkan suasana sebelum saya menonton siaran langsung yang saya nikmati lewat televisi berwarna Panasonic--yang baru saja dibeli dari hasil patungan uang dua kakak saya yang memburuh di Malaysia dan menjual es lilin di Maluku Utara. Saat itu saya terlalu kecil untuk jeli memperhatikan gestur para pelatih dan pemain sebelum pertandingan. TVRI punya dana dan jam tayang terbatas, sehingga tidak ada kemewahan satu jam preview pertandingan dan tetek bengek ritual televisi yang kini nyaris lebih heboh dari pertandingan itu sendiri. Saya juga sudah lupa apa yang dikatakan oleh Edy Sofyan dan Max Sopacua tentang pertandingan itu—Sofyan jelas membela Milan karena van Basten, pemain kesayangannya, bermain untuk klub itu.

Saya menonton sendirian, diam-diam. Bapak saya akan memukul kaki saya dengan sapu lidi atau menyiram dengan air tajin jika saya akan melewatkan shalat subuh karena kurang tidur sehabis begadang. Emak saya yang pengertian terbangun duluan untuk menyiapkan dagangan dan menyuruh saya untuk mengecilkan suara. Dalam kesunyian itu, saya mengigil dan terisak selama hampir 90 menit. Anda sudah tahu semua: Barca nyaris tidak pernah mampu mendekati kotak penalti atau mengarahkan tendangan ke gawang Sebastiano Rossi. Bahkan mereka jadi iwak-iwakanSavicevic dan Boban. Maldini memerankan kepemimpinan tiada duanya dan Milan memainkan salah satu sepakbola terbaik yang secara langsung pernah saya saksikan.

Saya hanya mengingat tatapan kosong Cruijf dan orang di sampingya (kemudian saya tahu itu Carles Rexarch) yang terus mengusap-usap kepala setiap Milan mencetak gol. Barca tak berdaya dan kalah segalanya. Kelak, lewat Sid Lowe dan Graham Hunter, kita tahu bahwa kesombongan Cruijf menelan semuanya. Apa yang terjadi sebelum dan sesudah final membuat Cruijf dan proyek tim impian Barca kehilangan segalanya. Zubizaretta pergi dan Guardiola menangis meratapi kepergiannya. Laudrup—yang tidak dimainkan di final karena aturan 3 pemain asing—menyeberang ke Madrid, Cruijf dipecat dengan cara yang brutal dan tim impian itu terbangun dari mimpi yang paling buruk.

******

Meskipun gol cepat Rakitic semakin meyakinkan saya bahwa momentum pertandingan menguntungkan Barca, gol balasan Juve membawa saya pada keyakinan Paolo Bandini akan keuntungan atas absennya Chiellini. Tiba-tiba semua harapan Bandini seolah menjelma nyata. Bonucci dan Barzagli benar-benar lebih 'teknikal’ dan efektif dari pada tenaga besar Chiellini. Pogba lebih percaya diri dan Marchisio-Pirlo lebih jitu dalam memainkan tempo lambat. Barca kehilangan momentum untuk melakukan serangan balik. Evra pelan-pelan mengunci Messi dalam sudut sempit di sayap kanan, sementara Lichsteiner lebih sering naik tanpa cemas Neymar akan mendapat banyak ruang. 

Lebih dalam dari itu, hati kecil saya segera menautkan paralelitas antara absennya Baresi dan Chielini dan cara bermain Juve dan Milan 1994 dalam menghadapi Barca. Horor kepergian Zubizaretta dari Nou Camp terulang musim ini. Selama sepuluh menit, kaki saya mendingin tapi tubuh saya terserang demam. Rasa lada Tapanuli yang tersisa di lidah semakin terasa mengigit. Kawan sepertontonan Jemi Irwansyah, mahasiswa ‘Marxis’ yang percaya bahwa Messi bukanlah manusia melainkan Jin Iprit dari kawasan Pampa Santa Fe Argentina, mulai mendesah dan dengan jitu mengamati bahwa Barca terbawa arus permainan Juve. Sementara anak muda penggemar tim Manchester bukan United yang menjemput saya ikut-ikutan bersorak-sorai. Josh nama anak muda itu berkali-kali mengumpat dan berteriak sampai-sampai membangunkan teman kostnya yang sedang bermimpi Persib memenangi Piala Champions Asia dan Umuh Muchtar kawin lagi.

Sepanjang sepuluh menit itulah adrenalin saya mengalir deras. Perut mual, dan lambung ikut-ikutan berontak. Kaki semakin dingin tapi badan semakin panas. Ada sedikit rasa cemas bahwa Juve akan mengontrol bola sampai menit-menit akhir dan menuntaskan pertandingan seperti seharusnya tim Italia. Di sisi lain, saya mengalami sensasi bahwa saya sedang menonton final liga Champions, sebuah peristiwa tahunan yang memilin drama, sejarah, kerja keras, rivalitas, dalam keindahan permainan sepakbola. Semua atribut dan adjektif yang bisa dilekatkan ke dalam sepakbola—paling tidak di level klub—dapat Anda temukan dalam final ini.

Seiring detak urat nadi mengeras, gemuruh suara Juventini juga mulai membahana. Televisi dengan pintar memainkan perasaan. Kamera mulai sering menyorot laki-laki brewok dan gadis-gadis sintal berkaus Del Piero atau mengibarkan bendera Italia. Gerak lambat Buffon yang berlari dengan tangan terkepal mengingatkan Berlin 2006. Berkelebat bayangan final Athena.....

Untunglah, final itu hanya berlangsung sampai menit 68! Inisiatif dan pergerakan Messi mencari ruang yang ditinggalkan Barzagli diakhiri dengan kecermatan membaca bola pantul oleh Suarez. Gol itu meredakan kecemasan dan mengubah arah serta tegangan pertandingan. Secara drastis, mood permainan kembali normal, begitu juga aliran bola. Suarez mencetak gol untuk kota yang membawa Sofia dan menuntaskan dongeng pemuda Uruguay tonggos dan miskin yang memperjuangkan cinta lewat sepakbola dengan sebuah pergerakan magis.

Kamera kembali mengayun emosi. Enrique berlari girang dan membetulkan ikat pinggang. Asistennya memanggil pemain cadangan dan Xavi segera berdiri siap mengotrol irama permainan. Tiap selesai ditekel, wajah Suarez yang meringis antara menahan rasa sakit dan mengulur waktu muncul dalam jarak dekat. Gambar pendukung Juve memegang kepala dan menggigit kuku berseliweran. Bendera-bendera bergaris merah-kuning berkibaran.

Bagi penonton "netral", bandar judi, dan pemasang iklan, drama 90 atau 120 menit adalah final ideal. Namun, saya yakin bahwa fans jujur tidak akan ada yang mau menderita jantungan sepanjang pertandingan. Mereka pasti tidak menikmati masa-masa ketika timnya berada sejengkal dari resiko kekalahan. Apalagi bagi pendukung Barcelona yang punya momok sejarah kelam. Jelas saya tidak ingin menangis sendirian seperti duapuluh satu silam. Cukup pendukung Atletico Madrid atau Bayer Munich yang dihantui oleh sejarah. \

Sepuluh menit adalah waktu yang cukup buat Juventus untuk menunjukkan bahwa mereka datang ke Berlin dengan mental yang matang dan keyakinan yang kuat—bukan sebagai tim yang turun ke pertahanan dan menunggu serangan balik versi Inter Milan. Sepuluh menit itu adalah obat duka lara bagi para penggemarnya—hati kecil mereka bicara bahwa ini adalah tahunnya Barca. Meskipun begitu, mereka juga tahu bahwa ada menit-menit yang pantas dirayakan. Saya menikmati sepuluh menit itu, sepuluh menit yang pantas dirasakan, suatu waktu yang menempatkan masa silam dan kekinian; waktu sekarang yang menarik lapisan-lapisan sejarah dan pengalaman sepakbola.

Itu adalah sepulu menit masa final sesungguhnya: suatu periode yang menghadirkan ambang batas antara kalah dan menang. 

Related Posts:

Manakala Milanisti Menciptakan Juventini

Oleh Mahfud Ikhwan


Saya pertama-tama jatuh cinta dengan sepakbola. Setelah itu, baru ke Milan.
Kenapa Milan? Saya tidak tahu persisnya; dan jika pun dijelaskan, tak akan cukup memuaskan.

Milan jelas bukan klub pertama yang saya dengar, yang saya kenal. Dibanding Milan, sepertinya saya lebih dulu mendengar nama Everton, Liverpool atau Manchester United. Klub-klub sepakbola lokal malah jelas jauh lebih awal, bahkan yang namanya kini telah menjadi asing macam Warna Agung, PS Gajah Mungkur, BPD Jateng, Perseman Manokwari, Persis Sorong, Pusri Palembanng, dan tentu saja Niac Mitra (yang dulu selalu saya ucapkan Niat Mitra).

Sama-sama sulit diucapkan, ketika saya pertama kali menemukan nama Ruud Gullit dan Van Basten di sesobek koran bekas tentang Piala Eropa 1992, saya sudah mahir menghafal nama Benny van Breukelen, kiper Arseto Solo, juga nama-nama rumit lain macam Yonas Sawor, Frans Sinatra Huwae, atau Edward Mangilomi. Jika ada klub Italia yang secara sangat samar saya dengar jauh lebih awal, itu adalah Napoli. Saat itu saya sudah mengenal nama Maradona dan Argentina. Saat pertama kali masuk sekolah SD, buku seorang teman bergambar foto-foto tim dengan nama-nama yang sangat aneh (yang jauh belakangan kemudian saya ketahui sebagai nama klub Italia). Di situ saya mendapati nama Maradona dijajar dengan “nama” yang lain yang bukan Argentina.

Maklum, saya memulai dari radio. Bapak saya yang memperkenalkannya. Dan karena yang diputar Bapak selain RRI Jakarta dan RRI Surabaya adalah Radio BBC London, maka Liga Inggris adalah liga Eropa pertama yang saya ikuti, selain Liga Jerman yang disiarkan TVRI. Milan, Fiorentina, Genoa, Padova, Bologna, Parma, juga Juve, menjadi jauh lebih terang bagi saya begitu Piala Dunia 1994 berlangsung. Nama-nama klub itu mulai menyita perhatian karena dikaitkan dengan pemain macam Thomas Brolin, Kennet Anderson, Florin Raduciou, Alexi Lalas, Nestor Sensini, dan tentu saja pemain-pemain Italia yang maju sampai final.

Lalu dari sekian banyak itu, kenapa Milan? Saya tak bisa meyakini satu jawaban pun selain mengira-ngira. Mmm... bolehjadi itu terjadi di saat menjelang sampai usainya final Liga Champion 1995. Dan saat itu Milan kalah. Apakah masuk akal jatuh cinta dengan tim yang kalah? Saya tidak tahu, tapi begitulah.

Yang saya tahu benar asal usulnya malah lahirnya seorang Juventini. Saya tahu karena sayalah sebab-musababnya. Sial!

***

Saya menyukai sepakbola sejak masih TK. Tapi di SMA saya gila. Saya membaca, menghafal, dan kemudian menggunting nyaris apapun yang berkait sepakbola.

Tabloid sepakbola pertama saya adalah Kompetisi, milik Group Jawapos. Karena tabloid inilah, saya yang awalnya berangkat ke Babat ingin mondok tiba-tiba memutuskan untuk ngekos di rumah seorang tukang wingko di dekat Pasar Babat, setelah saya melihat setumpuk Tabloid Kompetisi bekas di ruang tamu si tukang wingko. (Tabloid bekas untuk pembungkus wingko itu sebagian kemudian diam-diam saya colong dan guntingi.)

Bergaul dengan anak-anak kota (kecil), saya segera mengenal Bola. Tapi, cinta sejati saya adalah GO, pimpinan Hardimen Kotto. Di antara Kompetisi yang terlalu kecil dan Bola terlalu mahal, GOmenawarkan harga yang lebih murah dengan ukuran yang lebih besar, tulisan bola yang lebih banyak, dan—yang terpenting—poster pemain. Hal terakhir inilah yang membuat saya memilih menahan diri untuk membeli GO edisi baru, agar bisa membeli GO bekas secara kiloan, dan mendapatkan poster pemain lebih banyak.

Poster-poster itu terdistribusi ke mana-mana. Sebagian saya tempel berjejal-jejal di lemari pondokan yang saya yang kecil dan reot (ya, saya akhirnya tetap mondok—mau jadi apa kalau tidak mondok?). Yang terbanyak saya tempel di buku-buku sekolah saya, terutama di sampul-sampul buku pelajaran IPA yang sampulnya membosankan itu. Yang terbaik saya bawa pulang, saya kasih alas kardus, saya beri pigura, dan saya pajang di ruang tamu rumah. Meskipun telah menjadi fans Milan yang bangga, saya tetap dengan mudah menyukai pemain dari klub mana pun. Karena itu, poster pemain yang saya pajang di dinding rumah berasal dari bermacam klub. Saya sudah lupa poster siapa saja yang saya pajang, tapi saya ingat bahwa Milan hanya diwakili oleh Marco Simone, striker yang saat itu pun sudah pindah ke PSG. Tapi poster kesayangan saya adalah duel langka antara Batistuta (dengan kaos ungu Fiorentina bersponsor dada Gelati Sammontana) melawan Del Piero (dalam kaos lorek bertajuk Danone). Kenapa itu poster langka? Karena tangan sayalah, dibantu gunting dan lem, yang membikinnya.

Mungkin saat ini Anda, bahkan saya sendiri, akan menertawakan poster rekayasa itu. Tapi tidak untuk seseorang.

Poster-poster pemain itu sebenarnya tak bertahan lama di tempatnya. Saya jatuh cinta dengan kanvas dan cat minyak, terutama di kelas tiga SMA. Dan sori saja... untuk saat itu, kegilaan pada sepakbola tak berdaya mengalahkan gejolak jiwa seni yang tengah menggelegak. Poster-poster itu saya campakkan. Tapi seseorang, dengan mata dan kepalanya yang masih kecil, justru menyimpannya dengan baik—dan kemudian selektif. Dan “makhluk yang tak dikehendaki itu” kemudian lahir dari situ.

***

Saya suka pamer kegilaan saya dengan sepakbola, tapi saya tak suka mempengaruhi orang lain, termasuk dengan keluarga atau teman dekat. Makanya, saya tidak ingat pernah memaksa-maksa orang lain, termasuk adik saya, menonton atau menikmati sepakbola (kecuali jika itu membuat saya bisa menonton sepakbola: pemilik tv atau lurah pondok, misalnya). Meski demikian, saya tidak heran ketika, pada satu kesempatan balik dari Jogja, saya dipersalahkan oleh guru madrasah setempat soal adik saya. Pasalnya, saat Ujian Akhir tingkat SD, dia selalu menyelesaikan soal dengan terburu-buru, dan sudah keluar dari ruang ujian saat waktu masih tersisa puluhan menit. Kenapa saya dipersalahkan? Karena bocah itu buru-buru menyelesaikan soal ujiannya cuma agar bisa menyaksikan pertandingan Copa Amerika.

“Ah, dasar anak bapaknya dan adik kakaknya,” begitu cibir orang-orang. Dan, dengan tersenyum-senyum, saya menyepakatinya.

Saya juga tidak heran ketika sangat belakangan saya tahu kalau ia menjadi pendukung Juventus. Pasti karena ia mulai menyukai sepakbola bersamaan dengan masa-masa hebat Juventus di pertengahan hingga akhir ‘90-an, saat Juve menguasai sendirian Serie A dan jadi langganan final Liga Champions.

“Ah, paling karena menangan,” begitu tebak saya, sambil mengejek. Adik saya menggeleng.

“Lha, terus?”

Ia tersenyum dengan sungkan: “Karena poster Del Piero-mu di rumah dulu.”

Lihat, Juve bahkan melakukan kecurangan di rumah saya!

***

Saya tidak punya persoalan dengan Juventus. Sungguh! Wani kithing! Tidak cuma punya adik yang Juventini, saya juga punya banyak teman dekat yang Juventini. Jadi, tentu saja saya berharap yang terbaik untuk mereka.

Misalnya, dengan mengukuhkan predikatnya sebagai runner-up terbanyak Liga Champions. Itu jelas hebat. Dan itu sebuah rekor!

Jangan salah paham. Seperti yang dilakukan semua fans atas klubnya, yang saya harapkan adalah yang terbaik untuk klub saya, AC Milan—di tengah keterpurukannya. Karena Milan tidak sedang dalam kondisi bisa diharapkan mempertahankan kebesarannya, maka yang bisa saya dilakukan adalah berharap kebesaran itu tak terkurangi. Mengharapkan Barca dan Juve sama-sama gagal jelas tak mungkin, maka yang paling mungkin adalah mengharapkan Juve gagal.

Milan 7 gelar juara, Juve 6 gelar runner-up. Itu akan bagus untuk Italia, ya to?

Related Posts:

Sepakbola Indonesia, Akhirnya…

Oleh Mahfud Ikhwan


Ayo, ayo, ayo Jokowi...
Persis Solo ndang diragati.
Ayo, ayo, ayo Jokowi...
Persis Solo ndang diragati.

Pasoepati, 2010.


1/
Sepakbola Indonesia akhirnya mati (suri?). FIFA, penguasa sepakbola, entah dengan cara bagaimana, mengucilkan Indonesia dari organisasi paling besar dan paling perkasa di dunia itu.

Secara pribadi, saya senang dengan pelarangan itu. Senang? Ya, karena itu persis seperti yang saya perkirakan. Masa-masa begini, mendapati perkiraan jadi kenyataan itu menyenangkan lho. Yakin. Kalau tak percaya, tanyakan pada yang setahun lalu nyoblos. Lagi pula, pelarangan itu--jika berlangsung lebih lama--mungkin akan bisa memutus rantai makanan para predator di siklus makan-dan-dimakan di sepakbola Indonesia. Dan, menurut saya, itu baik.

Lantas apakah itu membuat saya menyambut dengan antusias “Revolusi Mental Sepakbola Indonesia” ala Menteri Pemuda dan Olahraga? Jangankan menterinya, kepada presidennya saja saya tak percaya.


2/
Sekitar lima tahun lalu, dalam sebuah pertandingan final Divisi Utama di Stadion Manahan Solo, yang mempertemukan dua klub yang bukan klub Solo, kelompok suporter Pasoepati di sepanjang pertandingan menyanyikan ejekannya kepada walikotanya yang mereka anggap menelantarkan Persis Solo (lihat--dan nyanyikan dalam nada iklan rokok Long Beach--lagu yang saya kutip di bagian awal). Persis bukan saja klub lokal yang paling identik dengan kota Solo, tapi juga salah satu klub penting dalam sejarah sepakbola Indonesia. 

Saya cenderung tidak menyukai campur-tangan birokrat ke klub sepakbola atau kegiatan olahraga lainnya. Tapi, setelah era gemebyar PON semakin memudar bersamaan dengan rubuhnya Orde Baru, mencampuri urusan sepakbola lokal adalah nyaris satu-satunya cara dan ukuran “bentuk kepedulian” seorang pejabat daerah kepada olahraga, khususnya sepakbola. Begitulah Bonek mengenang Cak Narto, LA Mania memuliakan Masfuk, Jakmania memuja Bang Yos, Suporter Sriwijaya FC memandang Alex Nordin, dan beberapa nama lain lain. Kita bisa saja mencaci mereka sebagai petualang-petualang yang memolitisasi sepakbola, tapi kita tak bisa meragukan hubungan mereka dengan sepakbola, dengan hidup-mati dan kegairahan klub-klub lokal di wilayah yang mereka pimpin, dengan euforia kelompok suporter yang dalam 10 tahun belakangan semakin ramai. Jokowi, Walikota Solo waktu itu, tidak ada di jajaran itu. Kita tak punya alat untuk melacak jejaknya di sepakbola.

Ketika ia kampanye Pilpres di Papua dan berkata hendak menjadikan Papua sebagai pusat sepakbola Indonesia, saya tahu bahwa orang itu nyerocos tentang hal yang sama sekali tak dipahaminya. Itu seperti seorang tukang kayu yang tengah menggampangkan pekerjaan petani—ia berpikir meterannya bisa dia pakai untuk mengukur cuaca dan ketamnya bisa membersihkan padi dari wereng.

Dan Imam Nahrowi; untuk sebuah rumah besar yang roboh bernama sepakbola Indonesia, apakah ia cukup layak dianggap sebagai sepotong paku? Sebelum jadi menteri, adakah yang bisa menunjukkan kepada saya sepotong-dua potong berita yang bisa membuat kita setidaknya menghubungkan orang ini dengan sepakbola? Atau dengan olahraga lainnya--misalnya saja panco atau sepatu roda? Ya, bisa saja orang berpikir bahwa orang tidak tahu tapi tulus jauh lebih baik dibanding orang tahu tapi korup. Tentu saja. Cara berpikir itulah yang membuat seseorang jadi presiden beberapa bulan lalu.

Lalu lihatlah Tim Transisi. Melihat foto mereka dan menemukan orang seperti Zuhairi Misrawi ada di antaranya adalah seperti mendapati kambing di minimarket—oke, kalau itu dianggap ofensif, saya ganti: seperti melihat Cinta Laura ikut ngasak padi. Terlalu aneh untuk tak menimbulkan pertanyaan. Terlalu banyak hal yang harus dijelaskan. Silakan Anda berharap. Tapi, kalau saya, terimakasih saja.


3/
Ada sebagian pihak yang menyayangkan skorsing FIFA dengan berargumen bahwa hal itu akan mengancam periuk nasi dan nasib pemain sepakbola yang tak bersalah. Saya bisa memahami argumen itu, tapi saya tak sepenuhnya setuju.

Secara profesional atau amatiran, skorsing FIFA sebenarnya tak berhubungan secara langsung dengan nasib pemain. FIFA hanya melarang Indonesia ikut kegiatan sepakbola yang diselenggarakan mereka, bukan melarang kita berhenti menggelar kompetisi apalagi bermain bola. Jadi, dengan atau tanpa izin FIFA, kompetisi sepakbola di Indonesia tetap bisa berjalan. Dengan penduduk di atas 250 juta dan kompetisi yang melibatkan bentangan wilayah yang setara dengan wilayah yang membentang antara kandang UD Las Palmas di Kepulauan Kanari, Spanyol, hingga FC Terek Grozny di Checnya, tanpa jadi gedibal Blatter pun sepakbola Indonesia tetap akan jadi bisnis yang bagus dan pasar yang luas—tentu jika digarap dengan baik. Dan itu artinya tak ada alasan untuk para buruh persepakbolaan tak ada pekerjaan.

Yang saya sepenuhnya tak setuju adalah anggapan bahwa pemain sepakbola sebagai pihak yang tidak berdosa atas apa yang saat ini terjadi di persepakbolaan Indonesia. Ya, mungkin mereka tak seberdosa Nurdin Halid atau Noegraha Besoes, tapi sama sekali tidak fair kalau mereka cuci tangan dan sepenuhnya memosisikan diri sebagai korban. Mereka adalah pelaku—dan tersangka!—saat dua tim dengan sejarah besar dan suporter hebat seperti PSIS dan PSS menjadikan semifinal Divisi Utama sebagai lelucon. Mereka bersalah ketika tak pernah benar-benar belajar soal aturan permainan dan lebih suka menyerang lawan atau menggebrak wasit untuk menuntut keadilan. Mereka bersalah jika dikontrak dengan klausul tidak jelas dan cuma diam. Mereka bersalah jika menyebut diri profesional tapi tak punya NPWP, tak membayar pajak, dan hanya melulu memikirkan bagaimana memberangkatkan orangtua naik haji. Mereka jahat jika mendapati suap dan tutup mulut atau malah menerimanya. Jika akan terlalu keras menyebut para pemain itu sebagai bagian dari persoalan, sebagai onderdil dari sebuah mesin yang korup, setidaknya mereka tidak melakukan banyak hal yang seharusnya dilakukan pemain profesional.

Dalam sebuah sepakbola yang terindustrialisasi, pemain seharusnya mengorganisir diri untuk menaikkan posisi tawarnya di hadapan industri. Dan, dari banyak kasus soal kesejahteraan pemain, soal kontrak, juga dari penuturan beberapa pemain, salah satunya yang baru-baru ini dari Kurniawan Dwi Yulianto, hal itu masih jauh dari terealisasi, apalagi berfungsi.           


4/
“Lalu apa solusinya?” Itu mungkin pertanyaan satu-dua pembaca yang akan ditujukan kepada tulisan ini dan penulisnya.

Saya tidak punya solusi, dan tulisan ini tidak bertujuan untuk memberi solusi. Dan siapakah saya sehingga memberi solusi bagi sepakbola Indonesia? (Kalau saya bisa memberi solusi bagi sepakbola Indonesia, Jokowi dan Prabowo harus siap-siap menghadapi saya di Pilpres 2019.) Dan, siapakah yang terlalu serius dan sok bijak dengan bertanya soal solusi?

Dalam hal sepakbola sebagai permainan, kesukaan saya dengan sepakbola tak ada hubungannya dengan beku dan cairnya PSSI, apalagi dengan perintah atau larangan FIFA. Saya akan memainkannya selama masih ada teman yang mengajak saya main bola dan tubuh saya masih sanggup, tak ada satu institusi pun yang bisa merampas sepakbola dari saya. Dari kita.

Sebagai industri dan tontonan, saya adalah konsumen sepakbola. Dan bawaan lahir konsumen adalah menuntut pelayanan sebaik-baiknya dan tidak bisa sebaliknya. Apa masuk akal seorang pembeli baju diminta ikut memikirkan perkembangan industri garmen?

Tapi, omong-omong, cobalah mulai serius memikirkan alternatif lain. Benthik, misalnya.


Related Posts: