BEK: Sebuah Novel (Bag. 6)


Oleh Mahfud Ikhwan

3/

Ada baiknya bocah-bocah itu menunda keinginannya untuk bermain di lapangan dengan bola kulit besar dan mesti bersaing dengan orang-orang dewasa. Toh, mereka memiliki tempat lain yang sangat nyaman untuk bermain bola. Tak kalah luas dengan halaman, mulus seperti koridor sekolahan, dan tak harus kepanasan meski main pada pertengahan siang. Dan yang lebih penting, hanya bocah-bocah seperti mereka yang bisa bermain di sana. Sedikit catatan, tempat itu hanya bisa dimanfaatkan setahun sekali. Namun, demi sebuah sepakbola yang paling menyenangkan, rasa-rasanya sekali dalam setahun itu memang layak ditunggu.

Setiap datang bulan Ramadan, Masjid al-Khair yang kecil itu selalu kuwalahan menampung jamaahnya. Lebih-lebih saat pelaksanaan salat tarawih. Untuk mengurangi beban masjid, pengurus memutuskan memisahkan jamaah anak-anak dari orang dewasa. “Biar menambah khusyuk amalan-amalan puasa orangtuanya,” itu salah satu alasannya. Alasan lainnya, “biar anak-anak mendapatkan ceramah yang lebih sesuai dengan masa pertumbuhannya.” Pada awalnya, jamaah bocah itu dipindahkan ke sebuah musala yang masih sepaham agama dengan masjid itu. Namun, hal itu hanya bertahan satu puasa saja. Musala itu letaknya terlalu jauh. Itu bikin anak-anak malas berangkat dan memilih ikut orangtuanya saja ke masjid. Namun, setelah munculnya keputusan pemisahan itu, tarawih di masjid jadi momok untuk anak-anak. Hanya terdiri atas jamaah dewasa, imam tarawih tanpa beban memilih ayat-ayat al-Quran yang panjang-panjang pada setiap rakaatnya. Lama ceramahnya juga hampir terasa sewenang-wenang. Tak jarang bisa sampai satu jam. Malas ke musala dan takut ke masjid, anak-anak akhirnya memilih diam di rumah saja. Ujungnya, para orangtua yang kemudian protes. Misi mereka untuk menjadikan bulan Puasa sebagai ajang penggemblengan agama untuk anak-anak bisa-bisa gagal total.
Lalu apa hubungan kisruh soal tarawih ini dengan tempat bermain sepakbola yang istimewa itu? Mari kita perjelas pelan-pelan.
Terjepit di antara kemalasan anak-anak dan protes para orangtua, pada puasa berikutnya para pengurus masjid memutuskan untuk memindahkan tarawih para bocah ke tempat yang lebih dekat dengan masjid. Tempat yang dekat dengan masjid satu-satunya yang mereka punya adalah gedung madrasah itu. Tentu keputusan itu bertepatan dengan kebijaksanaan sekolah yang libur penuh sepanjang bulan Puasa. Jadi, sepanjang bulan, tempat itu tak terpakai. Kebetulan yang lain, bangunan sekolah itu—tak selazimnya gedung sekolah yang baik—pada dasarnya tak lebih dari sebuah hanggar sederhana. Mungkin karena dibangun pada saat yang penuh keprihatinan (sebagaimana yang sering diceritakan orang-orang), bangunan itu sama sekali tak bersekat-sekat di bagian dalamnya. Los begitu saja. Sebagai pemisah antarkelas dan ruangan-ruangan khusus, hanya dipakai sekat-sekat papan pendek yang bisa digeser-geser kapan saja. Satu-satunya sekat yang agak permanen, yang terdiri atas dinding papan yang menempel di dua sisi dinding dan langit-langit, adalah sekat yang memisahkan kantor guru dan kelas-kelas lainnya. Karena bagian dalam yang seperti itu, maka hanya dengan memindahkan semua meja, kursi, menggeser papan-papan penyekat ke luar kelas, menyimpan untuk sementara gambar-gambar Pahlawan Revolusi yang ada di dinding kelas, mengepel lantainya dua kali pengepelan lantai, dan kemudian membuat papan pengumuman “Lantai Suci” di depan pintu, ruangan dalam madrasah itu pun telah berubah wujud jadi musala. Musala terbesar di desa itu, tepatnya.
(Yap, kita akhirnya telah sampai pada hal-ihwal lapangan istimewa itu.)
Bagaimanapun, ruangan dalam madrasah itu hanya jadi musala hampir pada saat salat tarawih saja. Selebihnya, musala paro waktu itu hanya jadi ruang kosong yang nyaman untuk sekumpulan bocah bermalas-malasan menunggu waktu berbuka tiba. Dan, hanya dibutuhkan seekor setan amatiran, yang iseng membuat bola-bolaan dari bundelan sarung, sudah cukup untuk membuat bocah-bocah yang kebosanan itu menjadi keranjingan. Selanjutnya, bisa ditebak apa jadinya: ruang berukuran 5 x 12-an meter itu, yang pada malam hari menjadi musala itu, segera malih rupa menjadi lapangan sepakbola dalam ruangan yang amat nyaman.
Tak seperti di halaman, tak ada batu di permukaan lapangan itu. Soal luasnya, rasa-rasanya tak kalah dengan lapangan tenis di sekolah-sekolah mewah di kota-kota. Bermain di situ, bocah-bocah itu juga tak perlu khawatir kalau bola sarung mereka akan tercemplung ke got, sebagaimana yang sering terjadi dengan bola mereka jika sedang bermain di halaman. Lagi pula, dengan menjadikan empat sisi tembok sebagai garis luar lapangan, mereka juga tak pusing-pusing soal lemparan ke dalam. Alangkah menyenangkannya sebuah permainan sepakbola yang tak perlu dihentikan karena bola keluar arena!
*

“Tak takutkah batal puasa?”
Anak-anak itu pasti tertawa jika ada yang bertanya seperti itu. Pertanyaan macam itu hanya cocok diajukan kepada bocah-bocah kota, yang baru memulai latihan puasanya pada usia belasan. Untuk bocah-bocah Lerok, yang telah mampu berpuasa penuh pada usia ke-5, jelas itu pertanyaan yang aneh. Jangan coba meragukan keandalan mereka dalam berpuasa. Bagi mereka, sepakbola di musala musiman itu tak hanya berguna untuk membunuh kebosanan mereka, tapi juga membantu mereka untuk menjadi lelah sehingga memudahkan mereka tidur siang dan bisa terbangun kala hari sudah menjelang senja.
Satu-satunya persoalan bagi mereka saat itu adalah memperoleh bola yang enak dimainkan namun tidak terdengar terlalu ribut.
Bagaimanapun, bermain bola dengan sarung yang digulung bulat-bulat bukanlah sepakbola yang sebenar-benarnya. Hanya serasa seperti sepakbola. Maka, bocah-bocah pembosan itu segera berpikir untuk mengganti bola sarung mereka. Untuk mendapatkan rasa sepakbola yang sebenarnya, mereka sempat nekat memakai bola plastik yang biasa mereka pakai di halaman. Namun, bola plastik ternyata berisik sekali saat dihajar kaki atau ketika dihantamkan ke tembok. Lebih berisik lagi karena suara berisik itu terjadi di ruang tertutup. Suara berisik itu tentu tidak baik bagi kelangsungan sepakbola dalam ruang mereka. Bisa saja seorang dewasa yang ada di sekitar mendengar suara ribut itu, mengadukannya kepada pengurus masjid atau ke guru madrasah mereka. Dan, habislah mereka. Dari pengetahuan agama mereka yang masih di tingkat dasar, mereka yakin, sepakbola di musala tak membatalkan puasa, juga bukan termasuk perbuatan dosa (Isnan bilang kepada teman-temannya, ia pernah menemukan cerita kalau para sahabat Nabi menggunakan masjid untuk berbagai macam kegiatan, termasuk berlatih ketangkasan untuk persiapan perang). Tapi, mereka juga tahu, para guru dan orang tua mereka pasti tak suka jika menemukan mereka memainkan bola di tempat yang mereka pakai untuk salat. (Kira-kira, seperti saat ibu melihat anaknya memasukkan celana pendek di kepala.)
Lalu, penemuan paling cemerlang dalam sejarah sepakbola Lerok itu pun terjadi.
Pada suatu siang yang membosankan, yang hampir terlewatkan tanpa ada sepakbola yang dimainkan, Umar datang dengan seri di wajahnya. Anak SD Negeri yang sejak pertandingan di lapangan yang konyol itu mulai akrab dengan Isnan, datang ke musala sekolah itu dengan membawa sebuah benda ajaib. Sebuah bola berukuran sekepal, berwarna hijau, begitu kenyal, namun ringan dan lenting. Bola itu bisa melesat hebat hanya dengan sedikit sentuhan saja. Yang terpenting, dan ini yang mereka cari, saat menghantam tembok suara bola itu hanya sekeras sarung yang dikebutkan. Meski belum tahu benar bola macam apa yang ada di hadapan mereka itu, bocah-bocah itu menyambutnya seakan itu suara takbir tanda lebaran. Mereka senang sekali. Tapi, Kacung adalah yang paling dirundung senang. Dalam perkiraannya, dengan bola selenting itu, tak akan ada kiper yang bisa menghadang tembakannya.
“Aku meminjamnya dari gudang SD,” kata Umar.
Saat mengatakan kata ‘meminjamnya’, mata Umar agak dipicingkan. Teman-temannya pasti tahu apa maksud picingan itu. Jika saja apa yang ‘dipinjam’ Umar itu benda lain dan bukan bola ajaib itu, pasti ada di antara bocah-bocah itu yang akan menghardik kalau ia sudah mencuri dan dengan demikian puasanya batal. Tapi, hari itu, tak seorang pun bicara soal puasa yang batal.
“Ini pasti bola kasti terbaik,” sahut Kacung dengan penuh semangat. Selama ini ia mengira, satu-satunya bola kasti adalah yang warna merah, keras dan berat, dengan isi jerami di dalamnya. Namun ia kini melihat yang warna hijau, ringan, dan lenting.
“Aku rasa itu bola tenis,” Isnan coba meluruskan. Ia pernah melihat bola semacam itu di acara Dari Gelanggang ke Gelanggang di TVRI, tapi dari nada suaranya ia terdengar tak begitu yakin.
“Aih!” Wakid menukas, “Bola tenis itu kecil dan warnanya putih.” Bocah ini tentu tak tahu menahu beda antara tenis dan tenis meja.
“Ah, aku tak peduli bola apa ini,” potong Salim sembari memain-mainkan bola di kakinya. “Ayo main!”
Tanpa perlu komando yang kedua kalinya, delapan bocah yang saat itu ada di tempat itu segera membagi diri menjadi dua tim. Kopiah-kopiah segera dikumpulkan untuk jadi tiang gawang. Dua pintu yang menghubungkan ruangan itu dengan dunia luar ditutup rapat dan dikunci. Tiga jendela berkaca nako yang ada di dinding depan juga ditutup dan dikelambu dengan sarung. Dan permainan dimulai.
Sebuah sepakbola paling menyenangkan yang pernah mereka mainkan. (Jika ada yang berpikir kalau di surga nanti sepakbola dimainkan juga, pasti rasanya akan mirip-mirip seperti itu.) Seru, tempo tinggi, saling menyerang, dan banyak sekali gol. Jika ada televisi yang menayangkannya, para penggemar sepakbola rasanya akan lebih memilih pertandingan ini dibanding Piala Dunia 1990 yang kasar, membosankan, dan miskin gol itu. Kacung, seperti yang diperkirakannya, mencetak gol banyak sekali—ada dua atau tiga gol yang dicetaknya menyerupai gol Basten ke gawang Uni Soviet di Piala Eropa 1988. Isnan yang jarang bikin gol karena selalu memilih bermain di belakang juga mencetak gol yang lumayan. Bahkan, Wakid si kiper juga bisa mencetak gol dari tendangan gawang.
*

Memporak-porandakan dua keping kaca nako, menyebabkan munculnya sebuah lubang menganga di langit-langit sekolah, dan menyebabkan jatuhnya korban luka (karena salah seorang bocah rontoknya gigi akibat tersungkur ke lantai tegel dengan mulut mendarat lebih dulu), sepakbola gerilya yang mereka lakukan akhirnya terbongkar juga. Bocah-bocah ngawur itu pun kini ada dalam pengawasan. Tindakan bocah-bocah itu kemudian dianggap patut dicegah dan diwaspadai oleh para pengurus masjid dan orang-orang tua murid. Meski demikian, di antara bocah-bocah itu, ada kesepakatan tak terucap kalau mereka, bila ada kesempatan, akan melakukannya lagi pada bulan Puasa tahun depan. Dan benar, mereka melakukannya lagi—dengan risiko lebih tinggi.
Tapi tidak pada puasa tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya.
Bukan karena para pengurus masjid, guru-guru madrasah, dan orang-orang tua murid sama sekali melarangnya. Namun, karena bangunan yang kecil dan terjepit namun menyenangkan itu terkena proyek pembongkaran—bersama masjid dan kamar mandi umum yang berada di sampingnya.
Gelontoran duit ringgit dari para perantau Lerok di Malaysia, memberi kepercayaan diri pada pengurus masjid dan pengelola madrasah untuk membangun sebuah pusat kegiatan keagamaan dan pengajaran terbaik yang bisa mereka bayangkan. Yang dimaksud dengan itu tentu saja sebuah masjid yang lebih luas, berberanda di tiga sisinya, berlantai keramik, kalau perlu punya lantai lebih dari satu, lengkap dengan menara dan kubahnya. Sebagai pelengkap, namun yang tak kalah penting, adalah sebuah kompleks pendidikan yang terdiri atas dua gedung. Yang pertama untuk taman kanak-kanak, sementara gedung kedua untuk madrasah ibtidaiyah.
“Ini adalah upaya kami untuk melahirkan manusia-manusia Islam Indonesia sepenuhnya. Manusia Indonesia yang tak hanya berbekal iman dan taqwa saja, namun juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Imtaq haruslah dilengkapi dengan Iptek. Imtaq yang tanpa Iptek adalah kejumudan, seperti juga Iptek yang tanpa Imtaq adalah kesesatan. Karena itu, jika yang kita miliki cuma masjid yang indah saja, tanpa dilengkapi lembaga pendidikan yang memadai, niscaya itu sama sama saja dengan membiarkan anak-anak kita menjadi generasi yang lemah. Dan Allah memurkai umat-Nya yang meninggalkan generasi penerus yang lemah!” begitu kata khatib jumat, tepat pada hari dimulainya pembangunan masjid dan sekolah itu.
Bagi para pemuja kemajuan, yang menyambut Era Tinggal-Landas dengan penuh percaya diri, pembangunan itu tentu sebuah gebrakan yang membanggakan. Gedung TK itu, tak seperti yang lama yang ala kadarnya, disiapkan sebagai sebuah sekolah kanak-kanak yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan. Untuk itu, berbagai jenis wahana permainan mesti disediakan. Demikian juga untuk sekolah madrasah. Tak ada lagi pembatas antarkelas yang bisa digeser-geser. Sebab, setiap kelas adalah ruangan-ruangan tersendiri.
Bagaimana dengan bocah-bocah itu? Tentu saja tak ada alasan mereka untuk tidak berbahagia. Seperti para orang dewasa, mereka juga amat bersemangat dengan pemugaran sekolah mereka itu. Sebab, tak seperti selama ini terjadi, pada tahun-tahun itulah dan kemudian untuk seterusnya, sekolah madrasah mereka tampak jauh lebih bagus dibanding SD Negeri—yang pada waktu hampir bersamaan justru rubuh, tak diperbaiki lagi, dan akhirnya ditutup. Apalagi ketika alat-alat olahraga, tidak hanya bola sepak, tapi juga takraw, kasti, atletik, dan bulutangkis (yang pada waktu-waktu lalu tak pernah mereka punya) kini tersedia hampir-hampir lengkap di rak kantor sekolah.
Satu-satunya yang sedikit mereka sesali adalah hilangnya musala paro waktu itu (setelah masjid diluaskan dan sekolah gedung madrasah mereka dibagi menjadi beberapa ruang kelas yang lebih sempit). Itu berarti, tak ada lagi sepakbola dalam ruangan dengan bola hijau lenting—yang baru belakangan mereka yakini sebagai bola tenis itu. Juga koridor panjang di depan sekolah, yang kini diubah menjadi deretan taman, dengan pagar dan bunga-bunga yang sejuk dipandang. Juga halaman yang akibat perluasan masjid dan sekolah kini hanya tinggal hampir separonya saja. Lebih sempit lagi karena sebuah tiang bendera lengkap dengan landasan upacara menyusul dibuat juga.
Tapi, tak ada yang perlu disesali. Sebab, dengan hilangnya koridor, halaman, dan musala paro waktu itu, tak ada lagi yang bisa menunda bocah-bocah itu untuk ikut bermain di lapangan.

(Bersambung...)

Related Posts:

0 Response to "BEK: Sebuah Novel (Bag. 6)"

Posting Komentar