BEK: Sebuah Novel (Bag. 7)

Oleh Mahfud Ikhwan

4/

Pada waktu-waktu sebelumnya, hanya bocah yang telah masuk usia 14, atau bahkan lebih tua dari itu, yang merasa pantas untuk ikut berlatih di lapangan. Namun belakangan, setelah beberapa perubahan dan perkembangan yang terjadi di desa itu, mereka yang muncul di lapangan jadi jauh lebih muda.

Malaysia. Sepertinya, dari sanalah asal mulanya.
Sejak akhir 80-an, Lerok yang terpencil, tertinggal, dan kering itu disapu oleh sebuah semangat baru: merantau. Ada yang ke Jakarta, Kalimantan, Batam, Saudi Arabia, dan ke Malaysia. Lalu waktu kemudian menguji, tempat yang disebut terakhir itu yang paling menjanjikan. Tidak saja mampu memberi harapan, tapi juga sejumput kemakmuran. Setelah gelombang pertama yang dianggap sangat sukses, menyusullah perantau gelombang kedua yang luar biasa banyaknya. Meski setelah sekian waktu kemudian menjadi jelas bahwa tak semua yang berangkat ke Malaysia menuai keberhasilan, gelombang itu tak terbendung lagi. Karena itu, gelombang berikutnya pun menyusul lagi. Dan berikutnya, dan berikutnya lagi. Hingga, masuk paruh pertama 1990-an, hampir sulit ditemukan ada keluarga di Lerok yang tak memiliki anggota keluarga yang bekerja di Malaysia. Sebutlah nama, maka akan segera ditemukan anggota keluarganya yang di Malaysia. Isnan, misalnya, ditinggal bapaknya. Salim ditinggal kakaknya. Kacung bahkan ditinggal bapak dan emaknya. Agung malah menjadi yatim untuk selama-lamanya setelah bapaknya meninggal di sana.
Tapi, bukan hanya para bocah itu yang ditinggal, kakak, orangtua, atau sanak-familinya. Lapangan—ulangi, lapangan sepakbola itu—juga mengalami nasib yang kurang-lebih sama. Ia ditinggal banyak pemain yang biasa bermain di sana.
Pada gelombang pertama, Nasikul si striker dan Masrokan sang kiper telah ikut berangkat.
“Untuk masa depan yang lebih baik,” begitu mereka pamit. Mengingat pentingnya peran mereka dalam skuad Perserok, tentu banyak yang menyesali kepergian mereka.
“Sepakbola Lerok akan kehilangan kalian,” demikian kalimat pengantar dari ketua Karang Taruna pada acara selamatan sebelum keberangkatan.
Sebagai sedikit penghiburan kepada yang ditinggal, kedua orang itu menjanjikan untuk tetap berandil dalam persepakbolaan desa itu. Kalau tidak main secara langsung, begitu mereka menjelaskan, mereka akan membantu dari jarak jauh dan dengan cara yang berbeda. “Kalau ada kelebihan rejeki, aku akan mengirim pulang bola-bola yang bagus. Biar teman-teman yang latihan tidak antri pakai bolanya,” demikian Nasikul berjanji. Masrokan tak mau kalah. “Kita tak pernah punya kostum yang bagus. Jadi, doakan saya agar bisa menyediakan kaos yang bagus untuk Perserok,” begitu ikrar Masrokan.
Kehilangan Nasikul dan Masrokan, Perserok jadi sedikit pincang. Itu tampak dari berbagai pertandingan persahabatan yang dilakoni tim ini. Tak adanya striker andalan dan kiper kepercayaan, Perserok jadi lebih susah bikin gol sekaligus gampang kemasukan. Pengampu sepakbola di desa sudah berusaha mencari gantinya, namun sejauh itu belum menunjukkan hasil.
Meski demikian, paling tidak, persepakbolaan Lerok masih terus bernafas. Lebih-lebih, ketika kedua orang itu berhasil menunaikan janjinya pada tahun kedua perantauannya, nafas sepakbola desa itu lebih menderu. Punya bola lebih dari tiga dan sebuah kostum yang tidak memalukan adalah hal langka dan belum tentu terjadi sekali dalam satu dasawarsa. Apalagi ketika perantau Malaysia yang lain ikut-ikutan urunan untuk membeli jaring gawang dan cat bermutu untuk tiang gawang dan garis lapangan. Sepanjang orang bisa mengingat, baru kali itulah gawang di lapangan Lerok bercat dan memiliki jaring. Dengan bola lebih dari tiga, kaos tim, jaring gawang, dan lapangan bergaris cat (bukan oleh adonan gamping), latihan dan pertandingan persahabatan menjadi lebih semangat dan lebih kerap—meskipun, dengan tak kunjung ditemukannya pengganti Nasikul dan Masrokan, Perserok masih saja lebih gampang kalah.
Tetap bernafas namun masih belum pulih benar, sepakbola Lerok kemudian mendapatkan pukulan yang lebih telak. Dua tahun setelah keberangkatan Nasikul dan Masrokan, lima orang pemain pilar Perserok menghilang dari peredaran lapangan Lerok. Mu’ad menikah dengan orang luar desa dan tak pernah balik lagi ke Lerok. Empat lainnya, kemana lagi kalau tak ke Malaysia. Kebutuhan hidup adalah alasan yang tak terelakkan dan tak perlu dikatakan. Namun kepada rekan-rekan sepakbolanya, mereka mengatakan kalau kepergian mereka ke Malaysia akan menjadi langkah maju bagi persepakbolaan Lerok. “Kami punya rencana, di sana nanti, para mantan pemain Perserok akan membentuk arisan. Hasilnya nanti akan kami sumbangkan sebesar-besarnya kepada perkembangan sepakbola Lerok. Misalnya, untuk membeli pemotong rumput atau bahkan menggaji seorang pelatih,” kata Karpandi, salah seorang dari mereka saat pamit.
Satu tahun sesudah kepergian Karpandi dan rekan-rekannya, Perserok yang sebelumnya megap-megap akhirnya benar-benar habis. Tim itu sudah dua kali 17-an tak lagi ikut kompetisi sekecamatan. Menyusul mundurnya beberapa orang lagi karena alasan umur, dari 11 pemain yang dulu mampu mengalahkan Tambakrejo Putra, tinggal hanya Jabal, si pemain belakang, yang masih bertahan. Sementara, generasi di bawahnya, tanpa di sadari seorang pun, ternyata lebih banyak lagi yang berangkat ke Malaysia.
Persis pada saat keadaan seperti inilah Isnan, Kacung, Salim, Muslim, Wakid, Agung, Umar, Edi, dan bocah-bocah seumur mereka memulai masa-masa bermain di lapangan.
*

Selalu menyenangkan melakukan langkah maju dalam hidup. Demikian juga yang dialami bocah-bocah itu. Berpindah main bola dari halaman ke lapangan pada usia yang belum genap sebelas sama rasanya dengan masuk sekolah SMP tanpa perlu melewati Ebtanas. Sedikit mengejutkan, namun terasa mudah. Ya, begitulah. Karena mereka masuk di saat lapangan itu hampir-hampir kosong, mereka tak harus menjadi cadangan lebih dulu. Mereka tak perlu menghadapi teror-teror pemain tua, seperti yang dulu-dulu sering dialami oleh setiap pemain baru di Perserok. Mereka, di usia SD mereka, hampir-hampir jadi penguasa lapangan sepenuhnya. Namun, seperti biasa, jenjang SMP bagi bocah yang seharusnya masih di SD tentu saja tak semenyenangkan itu.
Mari kita mulai dari lapangan itu. Jika dijajar dalam rata-rata lapangan sepakbola, tak diragukan kalau lapangan sepakbola Lerok adalah lapangan terkecil di dunia. (Orang-orang Lerok pasti tak akan lupa, enam tahun sebelumnya, saat perwakilan pemain Tambakrejo Putra berkata dengan nada setengah bercanda dan tigaperempat menghina, “waduh, kalau saja tadi diberi tahu lapangan Lerok seperti itu, kami pasti akan gulung lapangan kami dan kami bawa ke sini.”). Maka, jika benar-benar diukur, lapangan itu pasti hanya sepertiga dari ukuran lapangan sepakbola yang seharusnya. Sudah begitu, sedikit miring pula permukaannya. Tapi, apapun kenyataan yang bisa dipakai untuk menghinanya, lapangan itu tetaplah terlalu dini bagi bocah-bocah 10 tahunan itu.
Bocah-bocah itu sudah pernah merasakan lapangan ini, dulu saat melakukan pertandingan gila 6 lawan 6 pada tengah hari itu. Dan mereka merasa begitu menderita—sebuah penderitaan yang masih akan terus dikenang. Kini, dalam sebuah permainan yang jauh lebih normal, dengan 15 lawan 15, pada cuaca sore yang normal, dengan bola besar yang lebih bersahabat, mereka menyangka keadaan akan lebih baik. Tapi ternyata tidak. Mereka baru sadar, bahkan dengan 20 lawan 20 pun, lapangan ini tetap saja masih terlalu besar untuk mereka. Terbiasa dengan halaman 6x12 meter, lapangan yang luasnya paling tidak masih mencapai 25x55 meter itu terasa jadi terlalu luas. Di mata mereka, para pemain yang berdiri di posisi masing-masing terlihat tampak berjauhan dan sendirian. Di lapangan itu, tidak terlihat ada dua tim yang saling berhadapan, namun 30 orang yang satu sama lain saling bermusuhan.
Para pemain yang tampak berjauhan itu barang kali tidak jadi masalah jika yang mereka mainkan adalah bola tenis hijau yang ringan dan lenting itu (umpan tentu akan sedikit sulit diterima, tapi pasti sampai). Tapi, persoalannya, sejak di lapangan ini, mereka mesti memakai bola biasa. Ya, bola biasa, begitulah orang dewasa menyebut bola yang menimbulkan nyeri di kaki kalau ditendang dan membuat pusing di kepala kalau disundul. Bola milik SD Negeri bercap ‘Departemen P & K’, yang mereka mainkan dua tahun lalu di lapangan ini, memang mengerikan kerasnya, sementara bola yang mereka pakai sekarang ini adalah bola-bola kiriman para mantan pemain yang ada di Malaysia—bola terbaik bermerek terkenal yang dijual di toko-toko olahraga di Kuala Lumpur dan George Town. Namun, bahkan masa dua tahun dan bola yang lebih empuk dan lebih ringan, tetap tak membuat kaki-kaki bocah itu jadi jauh lebih enteng tugasnya. Untuk menendang bola-bola made in Malaysia itu tetap membutuhkan tiga hingga lima kali tenaga dibanding dengan saat menendang bola tenis yang hijau dan lenting itu. Dan, tentu saja, juga tiga hingga lima kali risiko keseleo.
Tapi apapun itu, beralih dari halaman ke lapangan tetaplah sesuatu yang mesti dirayakan.





Related Posts:

0 Response to "BEK: Sebuah Novel (Bag. 7)"

Posting Komentar