Kisah Tiga Pelanggaran dan Bermulanya Narasi Kekalahan

Oleh Mahfud Ikhwan


Bahu saya dicengkam oleh Pak Amrozi, orang yang paling dihindari dan paling ditakuti di seantero pondok. Tanpa bicara sepatah pun, ia menyeret saya keluar dari ruang tengah rumah Bu Anshor, tempat kami menonton, menyeberang perempatan, melewati jalanan beraspal pukul tujuh malam yang sedang ramai orang lalu-lalang. Di gerbang pondok, Pak Yai Muchlis (Allahuyarham) telah menunggu dengan muka merah padam. Sajadah di tangannya yang tergulung menjadi lebih kecil teracung tinggi, seakan sebatang cambuk api.

Selama tiga tahun nyantri, tak pernah saya melihat beliau marah melebihi malam itu. Dan kemarahan itu ditujukan kepada saya. Meski demikian, yang mengganggu di kepala saya justru adalah pertanyaan: berapa skor akhir Indonesia-Vietnam?

***

Saya dan Timnas Indonesia dihubungkan oleh serangkaian narasi kekalahan—frasa yang saya pakai untuk judul sebuah tulisan yang menggambarkan kekalahan Indonesia dari Malaysia di Sea Games 2011. Lebih banyak buruk dan sedihnya dibanding bahagianya. Karena itu, sebagian besar berusaha saya lupakan, dan pada akhirnya memang terlupakan. Meski demikian, ada beberapa penggal kenangan yang tak mungkin bisa tanggal, yang akan melekat terus-menerus di kepala, yang jika saya mati boleh jadi akan lebih saya ingat dibanding rangkaian talqin Pak Modin.

Sepakbola dikenalkan kepada saya lewat suara buruk siaran pandangan mata di radio dan sebuah poster di dinding rumah. Niyat Mitra (demikian saya menghafal nama Niac Mitra) dan Persibaya (seharusnya Persebaya) adalah hal-hal berkait sepakbola yang pertama saya dengar, sementara Maradona dan Buruchaga dan tentu saja Argentina adalah nama-nama yang mungkin untuk pertama kalinya saya eja.

Dengan timnas Indonesia secara khusus, saya tak tahu mulainya kapan. Nama-nama yang lekat asosiasinya dengan timnas di kepala sejak sangat awal adalah kiper Hermasyah, Marzuki Nyak Mat (yang dulu kami sebut sebagai Marzuki Nikmat), dan tentu saja Ricky Yacob—terutama karena komentator TVRI, entah siapa saya lupa namanya, selalu meneriakkan “Ayo Ricky!” setiap ia melakukan syuting ke gawang lawan. Tapi, jauh sebelum itu, rasa-rasanya saya juga familiar dengan nama Kadir, Yacob Sihasale, Nasir Salasa, hingga Djoko Malis, walaupun deretan nama-nama ini tentu saja bercampur asosiasinya dengan sepakbola Surabaya, pusat peradaban yang terdekat dengan kami.

Langkanya televisi di desa kami tampaknya membuat saya—tidak seperti teman-teman sebaya yang ada di kota atau yang agak kekota-kotaan—mengasosiasikan diri dengan timnas Indonesia agak telat. Lagi pula, di saat itu, nasionalisme di olahraga yang belakangan paling kelihatan di sepakbola tampaknya terbagi agak rata dengan bulu tangkis dan tinju, dengan nama Ellyas Pical ada di puncak piramida. Meski begitu, ada setidaknya dua pertandingan lama timnas yang sayup-sayup tersimpan di ingatan.

Pertandingan pertama adalah pertandingan persahabatan melawan PSV Eindhoven. Karena nama PSV, saya bisa dengan gampang menandai pertandingan ini sebagai tur pramusim PSV usai mereka menjadi juara Piala Champion 1988. Saya tak ingat skor akhirnya, tapi pertandingan ini mudah diingat karena nama Gullit (yang waktu itu terdengar dan disebut dalam percakapan sehari-hari sebagai Rut Kulit), yang ikut ke Jakarta, dan tampaknya jadi penanda kepindahannya yang kolosal ke AC Milan di musim berikutnya.

Yang sedikit aneh adalah pertandingan kedua. Meneliti beberapa detil yang masih saya ingat, pertandingan ini tampaknya lebih dulu dibanding pertandingan pertama. Tapi, secara keseluruhan, ingatan atas pertandingan ini banyak yang jelas-jelas sumir dan salahnya dibanding benarnya. Bayangkan, saya selalu mengingat pertandingan itu sebagai pertandingan timnas Indonesia vs Romania. Aneh? Bukan cuma aneh, pertandingan Indonesia vs Romania tampaknya memang tak pernah ada—tak ada sekelumitkan catatan atasnya. Tapi saya ingat betul pertandingan itu, beberapa detil, dan terutama skornya. Dalam pertandingan yang diwarnai kerusuhan antarpemain dan penonton, dan diakhiri pemogokan oleh tim lawan, Indonesia dinyatakan menang telak 5-0.

Apakah ingatan saya telah menukar Romania dengan Oman (mengingat bahwa para pemain lawan saat itu banyak yang bercambang lebat seperti orang Arab), saya tidak yakin juga. Yang benar-benar membekas, sehingga saya bersikukuh bahwa saya benar-benar menonton pertandingan ini dan bukan mengimpikannya, adalah dua nama Lubis di tim Indonesia, yaitu Hamdani dan Zulkarnain. Keduanya, atau setidaknya salah satunya, bertubuh gempal dan berambut gondrong, raut mukanya terlihat tak enak untuk seorang kanak-kanak, dan terutama larinya yang seperti setan.

Selain dua ingatan yang tak begitu jelas itu, saya tak banyak mengingat pertandingan timnas tanpa membaurnya dengan final sepakbola Pon atau pertandingan-pertandingan penting liga Indonesia, terutama setelah penyatuan perserikatan dan galatama. Melewatkan satu-satunya gelar juara timnas Indonesia di masa saya tumbuh, yaitu medali emas Sea Games 1991, (mungkin karena saat itu mentor dan pembimbing pengetahuan sepakbola saya, Bapak, sedang tidak di rumah), ingatan sepakbola di masa-masa awal remaja saya hanya dipenuhi oleh pengguntingan yang serampangan gambar-gambar pemain sepakbola lokal, hampir siapa pun, dari koran-koran bekas yang bisa didapat. Beralih kesukaan dari Persebaya ke Mitra Surabaya (klub jelmaan bekas Niac Mitra), dinding almari buku saya dipenuhi oleh gambar guntingan Marzuki Badriawan dan Hadi Surento, dua pemain hebat yang malangnya tak banyak mengecap kap di timnas Indonesia, selain Da Costa dan Gomez de Olivera. Maka, jika ada pengalaman pahit berkait sepakbola Indonesia di tahun-tahun itu tentu adalah gagalnya Mitra menembus 8 besar Liga Indonesia ’94-’95, kandasnya Barito Putra (tim semua penonton netral) di semifinal, dan kalahnya Petrokimia Putra (tim terbaik di kompetisi) oleh Persib Bandung (tim favoritnya PSSI) di final.

Timnas mulai mengharu biru ketika kehebatan PSSI Primavera dari Italia mulai digemborkan. Melihat cara Kurniawan, Kurnia Sandi, Bima Sakti, dan Aples Tecuari bermain dalam pertandingan-pertandingan ujicoba dan pada Praolimpiade 1996, terutama saat mereka begitu percaya diri melawan Korea Selatan (meskipun akhirnya kalah), denyar dan harapan yang saat itu mungkin sama dengan saat kita untuk pertamakalinya melihat Evan Dimas dkk dari timnas U-19 bermain. Maka, diantarai oleh penampilan mengejutkan timnas Indonesia di Piala Asia 1996, dengan puncaknya pada gol salto Widodo C. Putra, tak mengherankan jika harapan itu benar-benar ada di ubun-ubun semua pendukung timnas, termasuk saya, saat Sea Games 1997.

Nahasnya, dari situlah rupanya, narasi kekalahan antara saya dan timnas Indonesia dimulai.

***

Kurniawan Dwi Yulianto sudah menjadi pembicaraan di koran-koran dan tabloid-tabloid sejak ia dikabarkan direkrut oleh Sampdoria. Bahwa kemudian ia berlabuh di FC Luzern, tim Swiss yang tak begitu dikenal publik Indonesia, dan kemudian tak sukses, sama sekali tak mengurangi antusiasme saya untuk menontonnya bermain bersama timnas Indonesia. Tak bergabung dengan timnya Danurwindo di Piala Asia 1996, Sea Games 1997 pasti akan jadi panggung besarnya.

Masalahnya, saya ada di sebuah pesantren yang tak mengizinkan dinikmatinya tontonan dan hiburan elektronik. Saya memang masih bisa nonton di tv milik Bu Ansor, warung tempat kami makan. Tapi, seperti yang saya alami dengan pertandingan-pertandingan Seria A di tiap akhir pekan, kami (anak-anak pondok) biasanya harus rela untuk tak menonton sampai selesai, karena terpotong jam malam. Saya sudah mencermati jadwal pertandingan timnas Indonesia di Sea Games, dan saya tahu cepat atau lambat akan ada masalah.
Dan masalah itu rupanya datang lebih cepat.

Pertandingan kedua Indonesia di fase grup melawan Vietnam, setelah sebelumnya menang lawan Laos 5-2, dilangsungkan di jam tanggung: ia memakan waktu Magrib sekaligus Isya. Sudah begitu, tepat di waktu yang sama, pesantren sedang mengadakan pemilihan pengurus organisasi siswa yang mewajibkan seluruh santri untuk turut serta. Kalau di hari biasa kami bisa setidaknya menonton separo akhir pertandingan, karena jadwal mengaji akan kelar usai shalat Isya berjamaah, acara begituan jelas tak akan selesai setidaknya sebelum jam sembilan. Sementara, saya ingin menonton pertandingan lawan Vietnam secara utuh, tak mau hanya mendapat ujungnya saja, apalagi cuma ceritanya. Saya sejak awal enggan untuk terlibat memberikan legitimasi anak-anak pencari muka Pak Yai itu memimpin kami, tapi yang benar-benar saya pikirkan adalah bagaimana cara saya agar tak melewatkan Indonesia vs Vietnam.

Biasanya, kalau saya sangat ingin menonton sepakbola yang tak memungkinkan ditonton karena berbenturan dengan peraturan pondok, opsi pertamanya adalah berkunjung ke rumah teman. (Rumah Darmanto, teman yang kampungnya sekecamatan dengan SMA kami, biasanya jadi sasaran.) Atau, opsi kedua, yang lebih ekstrem lagi: sekalian pulang kampung. Tapi dua opsi itu sama-sama tak bisa diambil: sudah ditegaskan bahwa izin meninggalkan pondok tak akan dikeluarkan untuk hari itu, kecuali untuk hal yang sangat urgen. Maka, berhari-hari sebelum pertandingan, saya sudah melakukan hasutan kecil-kecilan dengan beberapa teman yang biasa menonton sepakbola dengan saya agar memilih sepakbola dibanding acara seremoni tak berguna itu. Tapi, hingga jelang waktu pertandingan, saya tak menemukan teman untuk berkomplot. Mungkin karena mereka takut dengan risiko yang bisa ditanggung, tapi boleh jadi juga karena timnas Indonesia di kepala saya berbeda dengan timnas di kepala mereka. Akhirnya, saya memutuskan melakukannya sendiri.

Hari itu, usai makan sore, saya meneguhkan diri untuk tak kembali ke pondok. Saya minta ijin kepada Bu Anshor, pemilik warung, untuk menunaikan shalat Magrib di rumahnya sembari mengutarakan maksud untuk ikut nonton sepakbola. Pak Anshor memperingatkan soal kemarahan pengurus pondok, tapi saya menegaskan bahwa saya yang akan menanggung risikonya.

Tak memperoleh teman berkomplot, saya rupanya dapat “pengikut”. Ada setidaknya empat atau lima orang lain (saya lupa persisnya) yang jelas sangat ingin menonton tapi takut memutuskan. Mereka adalah bocah-bocah usia SMP dan dua orang santri baru usia SMA yang kebetulan mengenal saya karena desa kami bertetangga. Ada seorang anak pondok tahun terakhir di antara mereka tampaknya membuat keberanian mereka timbul. Jadinya, kami berlima (atau berenam) nekat menonton.

Tak menunggu lama, risiko itu sudah mengendus-enduskan hidungnya. Pengurus pondok bukannya tak tahu jadwal pertandingan Indonesia-Vietnam, jadi mereka memang telah pasang mata dan telinga. Usai jamaah shalat Magrib, mereka tentu segera tahu berapa orang dan siapa saja yang tak muncul di barisan. Maka, jelang babak pertama berakhir, Samuri, lurah pondok kami, sudah muncul di pintu rumah Bu Anshor. Ia tak berselisih jauh umurnya dengan saya, Samuri ditakuti karena sangat keras menegakkan peraturan—untuk beberapa kasus bahkan terlalu keras. Tapi ia baik dengan saya. Kecuali malam itu, saya tak punya catatan buruk di bukunya. Oleh karenanya, ia membujuk dengan baik-baik agar kami, terutama saya, balik ke pondok.

“Tanggung, Ri,” itu jawab saya. Samuri tak memaksa. Ia balik kucing, dan saya memilih bertahan untuk menunggu pertandingan selesai. Tekanan dari Bu Anshor agar kami kembali ke pondok kembali menguat, tapi kami bergeming. Seingat saya, hanya seorang bocah SMP yang akhirnya muntir. Sampai kemudian, berselisih sekitar 15-20 menitan, Pak Amrozi datang.

Lalu terjadilah adegan yang saya ceritakan di bagian awal tulisan.

***

Dari gerbang hingga kantor pondok, saya digebuki oleh Pak Yai Muchlis dengan sajadahnya—hal yang seingat saya tidak pernah saya lihat sebelumnya dan tak dilakukannya lagi sesudahnya. Sembari menyeru kalimat-kalimat tayibat untuk mengendalikan amarahnya sekaligus mengekspresikan penyesalannya, beliau menghardik saya sebagai santri senior yang tak tahu diri. “Tuwo-tuwo kloyongan!” Kalimat itu akan saya ingat sampai kapan pun.

Begitu didudukkan di meja kantor pondok, kami langsung disidang.

“Bagaimana ini? Pilih langsung dikeluarkan atau dipanggilkan orangtua?” Pertanyaan Pak Amrozi itu jelas untuk menggertak, tapi tentu saja itu tetap mengejutkan saya. Dua bocah SMP dan dua anak angkatan baru mengkeret, mata mereka memelas, memandang ke arah saya.

“Kamu yang paling tua, Fud. Bicaralah,” mohon Nasrul, salah satu anak baru. Saya tahu, dalam hirarki pelanggaran pondok, hanya minum-minuman keras dan mencuri, atau kemaksiatan berat lainnya, dan bukannya menonton sepakbola, yang bisa membuat kami terusir dari pondok. Lagi pula, seingat saya, saya tak punya simpanan kesalahan. Meski demikian, opsi pemanggilan orangtua saja sudah cukup untuk membuat saya ketar-ketir. Bukan apa-apa, itu tahun 1997, ekonomi memburuk, ongkos angkutan gila-gilaan naiknya. Pasti emak saya akan repot jika harus dipanggil ke pondok.

“Saya tak pernah melakukan pelanggaran sebelumnya, Pak. Dan anak-anak ini,” saya menunjuk rekan-rekan pesakitan saya, “juga bukan anak-anak nakal. Kenapa kami diancam hukuman yang begitu berat?” tanya saya, memberanikan diri menawar.

“Sebab kalian telah melakukan tiga pelanggaran!” Pak Amrozi menegaskan.

Saya bingung. Bocah-bocah itu mungkin sudah tak melihat ada peluang lolos.

“Pertama, kalian keluar pondok tanpa izin. Kedua, kalian bolos dari shalat berjamaah dan kegiatan wajib pondok. Ketiga, ini yang paling berat, kalian menonton tontonan dan/atau hiburan. Dan jadi lebih berat lagi karena kalian melakukan ketiganya secara sekaligus.”

Saya nyaris tertawa mendengarnya, tapi tentu saja itu tak mungkin. Sebab muka Pak Amrozi serius, dan muka anak-anak selain saya tertekuk nyaris menempel meja. Tapi karena sudah kadung dianggap yang paling tua oleh Pak Yai, dan dituakan oleh bocah-bocah itu, juga keinginan untuk menolong diri sendiri, saya terus menawar hukuman itu.

Pak Amrozi melunakkan ancaman dengan mendenda kami masing-masing satu sak semen—yang lazimnya didendakan untuk kesalahan tingkat ketiga. Tapi itu jelas tak lebih baik. Harga satu sak semen lebih mahal dibanding ongkos transportasi yang dibutuhkan emak saya jika harus datang pondok. Bisa terancam SPP sekolah saya. Maka saya terus menawar, lebih tepatnya menghiba, agar kami hanya dijatuhi denda untuk kesalahan tingkat kedua.

Entah karena diplomasi saya canggih, atau karena wajah bocah-bocah itu begitu mengibakan, tawaran penurunan denda itu akhirnya dikabulkan. Kami masing-masing didenda uang Rp5000. Ya sudah, saya harus merelakan uang makan seminggu saya. Sialnya, salah satu bocah itu, kalau tak salah Nasrul, yang kini kabarnya sudah menjelma jadi petani melon yang sukses, sedang kehabisan uang. Maka, saya pun harus menalanginya. Saya tak ingat apa ia mengembalikannya atau tidak, tapi yang saya tahu saya baru saja kehilangan uang saku setengah bulan.

Jelas, itu kesalahan terbesar (yang ketahuan) yang pernah saya lakukan saat di pesantren. Tapi, selain kemarahan Pak Yai Muchlis, saya tak pernah menyesali peristiwa itu. Indonesia ternyata tertahan 2-2 oleh Vietnam, sebelum dua hari kemudian menggilas Malaysia dengan empat gol, dan Kurniawan, pemain yang paling ingin dilihat oleh orang Indonesia, mencetak gol di setiap pertandingan penyisihan. Sampai tulisan ini dikerjakan, insiden tiga pelanggaran itu biasanya selalu saya kenang dengan senyum, dan menjadi salah satu episode indah dari tiga tahun saya yang datar di pesantren.

Mungkin karena itu, saya selalu silap mengingat bahwa insiden “indah” itu punya kaitan dengan peristiwa buruk yang ingin saya lupakan tapi selalu gagal; peristiwa buruk yang jadi rangkain awal pengalaman-pengalaman buruk yang terus berulang dan berulang selama bertahun-tahun kemudian. Saya selalu berpikir bahwa dua pengalaman berkebalikan ini terjadi di tahun yang berbeda, padahal nyatanya kejadiannya hanya berselisih hari saja.

***

Saya memutuskan pulang kampung beberapa hari setelah insiden itu. Tentu saja alasan utamanya adalah agar saya bisa menonton dengan bebas pertandingan final cabang sepakbola Sea Games 1997, selain karena uang saku saya habis lebih cepat akibat kena denda. Menonton di televisi milik bude saya, hanya berdua dengan seorang sepupu, kami menikmati pertandingan dengan bebas merdeka—tak ada Samuri, tak ada Pak Amrozi. Tapi siapa sangka, ujungnya justru adalah pengalaman buruk yang memenjara—apakah ini berkait dengan motif batu-bata di kostum (keluaran Unisport?) yang dipakai timnas saat itu, saya tidak tahu. Indonesia kalah melalui adu penalti, setelah sebelumnya berhasil menyamakan kedudukan di babak kedua lewat gol yang sangat khas Kurniawan. Ronny Wabia dan Uston Nawawi gagal menunaikan tugas penaltinya, dan Thailand (memang siapa lagi?) pun juara.

Saya menyalahkan kaos biru yang kebetulan saya pakai ketika menonton, membantingnya ke lantai, menginjak-injaknya, dan hanya mencangkingnya ketika pulang ke rumah. Berjalan dengan bertelanjang dada saat hari jelang jam 11 malam tentu saja dingin, tapi itu tak ada apa-apanya dibanding panas di dada dan mata saya.   



Blandongan, di antara hujan badai dan mati lampu jelang final AFF 2016 

Related Posts:

Jangan Bebani Timnas dengan Beban Hidupmu

Oleh Mahfud Ikhwan

Saat menonton semifinal leg kedua Vietnam-Indonesia, teman yang menonton di samping saya mendukung Vietnam. Ia mungkin kekiri-kirian, tapi dukungannya untuk Vietnam bukan karena mereka tim dari negara komunis. Kurang patriotik, tidak juga. Ia hanya seseorang yang sedang sangat skeptis. “Aku hanya tak mau keberhasilan timnas diklaim penguasa,” begitu ia memberi alasan.

Ia memang bukan penggemar sepakbola, dan kebetulan bukan pendukung pemerintah. Jadi, maklum saja kalau yang mengemuka adalah alasan-alasan yang jauh dari sepakbola. Meski begitu, saya yang menonton untuk mendukung timnas senang-senang saja. Saya jadi ada rival di depan televisi. Acara menonton jadi seru, tidak sepihak. Ekspresi perayaan kemenangan saya, ketika wasit Fu Ming menyudahi 15 menit kedua babak tambahan waktu, jadi punya sasarannya.

Tapi jika pun teman saya itu seorang penggemar sepakbola, sikap tersebut juga akan saya maklumi. Sebab penggemar sepakbola, lebih-lebih sepakbola Indonesia, tahu benar bahwa sepakbola memang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun. Siapa pun! Mulai dari kepala negara, ketua partai oposisi, ketua partai bukan oposisi, kepala departemen yang kurang menonjol, kepala daerah yang kurang berprestasi, kepala keluarga yang sedang pusing soal ekonomi, hingga kepala bujangan yang pening karena harus mikir pindah kontrakan.

Gampangnya, banyak sekali kepala yang disandarkan di pundak sepakbola kita.

Tapi itu bukan hal yang terlalu istimewa. Setidaknya, di mana-mana memang seperti itu.

Sepakbola menanggung beban yang jauh lebih berat di tempat-tempat kurang beruntung atau di antara orang-orang melarat. Di tempat-tempat macam itu, sepakbola jadi bukan sekadar permainan, dan olahraga hanya jadi bagian kecilnya saja. Ia harus jadi obat untuk orang-orang sakit; jadi roti untuk orang-orang lapar; jadi bola lampu untuk orang-orang dalam gelap; jadi penghiburan untuk orang-orang susah. Dalam banyak kasus, sepakbola bahkan jadi agama untuk orang-orang yang tersesat.

Itulah kenapa Maracanazo, kekalahan Brazil di final Piala Dunia ’50, jadi tragedi nasional yang melegenda, melebihi kisah kekalahan di mana pun. Itu juga yang membuat perang konyol yang disebut Football War antara Honduras dan El Salvador pada 1969 bisa terjadi dan masuk akal. Itulah sedikit alasan kenapa hooliganisme merebak di era Theacher, masa ketika Inggris secara ekonomi sedang murung dan mundur setelah ngos-ngosan membiayai Perang Malvinas. Dan itulah kenapa, pemujaan bak dewa yang didapat Maradona di Naples yang miskin tak akan didapat Maldini di Milan atau Del Piero di Turin yang lebih makmur, meskipun dua nama terakhir mendapat lebih banyak gelar dibanding yang pertama.

Dan, itulah kenapa kita tak membutuhkan penjelasan yang terlalu njelimet untuk tahu kenapa persoalan sepakbola di negeri ini jadi jauh lebih runyam dari seharusnya.

***

Saya ada di antara 80-an ribu suporter Indonesia di Gelora Bung Karno yang dibuat kesurupan oleh gol indah Cristian Gonzales ke gawang Filipina, yang mengantar kita ke final AFF 2010. Tapi, pada saat yang sama, dengan mata-kepala sendiri, saya menyaksikan di seantero stadion terpasang spanduk-spanduk konyol berisi puja-puji kepada ketua PSSI, yang saat itu tengah banyak digoyang. Dan hanya beberapa jam kemudian, seluruh Indonesia menyaksikan tim calon juara itu digiring seperti ternak ke “acara keagamaan” seorang ketua partai. (Mana bisa kita lupa dengan wajah cemberut dan mengantuk Irfan Bachdim di antara kerumunan dan cubitan ibu-ibu pengajian malam itu.)

Dengan salah satu tim terbaik yang pernah kita punya, Indonesia gagal secara memalukan di final, ditaklukkan Malaysia, tim yang mereka gasak 5-1 di babak grup. Orang Indonesia murka. Oligarki partai yang menguasai sepakbola kita selama berdekade-dekade digugat. Dan sekelompok orang, entah siapa dan dari mana, tiba-tiba merasa punya hak untuk “menyelamatkan” sepakbola Indonesia. PSSI belah dua. Klub-klub terlibat perkubuan. Ada kompetisi kembar. Timnas jadi kacau. Lalu, penguasa saat itu, yang tengah sangat tidak populer, dengan sok bijak dan sok pahlawan berlagak menjadi hakimnya. Ujungnya, tak ada. Kita tak tahu lagi, mana hakim, mana jaksa, mana penjahatnya. Semuanya sama.

Di tubir titik nadirnya, tiba-tiba sepakbola kita menemukan tim U-19. Seperti mendapati sumur jatuh dari langit, orang-orang berkerumun, berebut airnya, berebut berkahnya. Nama Evan Dimas, Maldini Pali, Paulo Sitanggang, secara instan jadi lebih dikenal dibanding artis manapun di Indonesia. Wajah mereka beredar di acara-acara gosip, di iklan-iklan, di program-progam penguras air mata. Maka, kisah-kisah ditulis, wawancara-wawancara dibuat, mitos-mitos muncul.

Mereka main dua hari sekali--untuk pertandingan-pertandingan konyol yang sama sekali tak bermanfaat untuk mereka--seakan mereka sebuah boyband remaja yang sedang laris-larisnya. Terpukau dengan skil Evan Dimas, gocekan Ilhamuddin, lari Maldini, dan metode kepelatihan Indra Sjafri, orang Indonesia bukan hanya yakin mereka akan juara Piala Dunia U-21 tapi juga percaya bahwa 8 atau 10 tahun ke depan Indonesia mungkin saja juara Piala Dunia. Ketika mereka gagal melewati fase grup di Myanmar, semua orang segera menyadari bahwa raja dengan pakaian gemerlap yang tengah mereka puja-puja itu tak lebih dari bayi telanjang. Bayi yang masih butuh dipopoki, yang masih harus dibedaki. Faktanya, mereka memang masih sekumpulan bocah.

Seperti semua pencinta sepakbola di Indonesia, saya mendukung mereka. Tapi, kegagalan mereka yang terlalu awal, tangis mereka yang tersedu-sedu, justru melegakan saya. Mereka akhirnya terbebas dari beban yang belum waktunya, dan tak semestinya, mereka tanggung.

Saya waktu itu tak mendukung Vietnam seperti teman saya yang kekiri-kirian itu, tak juga mendukung tim lainnya. Tapi saya tahu, semakin jauh mereka melaju, akan semakin banyak pihak yang mengincar keuntungan atas mereka. Urat leher mereka yang muda, darah mereka yang segar, dan kegilaan yang tengah menyelubungi mereka, pasti tak akan dilepaskan begitu saja oleh stasiun-stasiun tv yang butuh iklan atau pejabat-pejabat gagal yang ingin nampang.

***

Ini Indonesia 2016. Masih banyak orang yang kecewa calon presidennya tak jadi. Tak sedikit orang uring-uringan karena presiden pujaannya dihina. Berbondong orang murka karena merasa agamanya dilecehkan. Tak terhitung buruh di-PHK, orang-orang miskin digusur rumah dan mata pencahariannya, petani diusir dari tanahnya, nelayan dihalau, laut diurug, sawah dibeton. Ini tahun yang berat. Ini Indonesia yang sedang kurang menyenangkan. Jutaan orang, ratusan juta orang, membutuhkan penebusan.

Karena itu, alangkah jahatnya melarang orang-orang malang itu menumpukan harapan pada timnas sepakbolanya. Tapi, berlebihan memberikan dukungan, berlebihan menitipkan harapan, berlebihan membuat ekspektasi—setelah hal-hal buruk yang telah mencengkam dan belum benar-benar pergi dari sepakbola kita—adalah tindakan tak tahu diri. Mendukung dan berharaplah dengan sewajarnya, sepantasnya.

Kepada Pak Presiden, silakan datang ke stadion, berilah dukungan kepada timnas kita, sebagaimana Anda memberikan dukungan kepada rakyat Anda yang sedang memperjuangkan hidup dan cita-citanya, di manapun, di bidang apapun. Tapi cukuplah begitu saja, tak perlu lebih dari itu. Sebab, sejujurnya, saya tak ingin kekuatiran teman saya itu jadi kenyataan. Saya ingin teman saya yang mendukung Vietnam kembali menjadi orang Indonesia selazimnya, yang mendukung timnasnya.

Pak Menteri, Pak ketua partai, dukungan Anda sekalian juga dibutuhkan, sebagaimana dukungan seluruh rakyat Indonesia. Tapi tetaplah jadi pendukung (seperti kami-kami ini), dan bukannya pelatih, apalagi pemain, apalagi jadi semuanya sekaligus. Jika Anda ingin memberi yang terbaik bagi sepakbola Indonesia, ambil kebijakan yang baik dan langkah-langkah yang konkret, dan bukannya mengambil mik dan jadi pusat sorotan kamera, dan mengesankan seakan Anda yang paling punya jasa.

Kepada ketua dan pengurus PSSI, siapa pun kalian, fokus untuk mengurus tiket pertandingan timnas dengan baik, memperlakukan suporter Indonesia dengan sepantasnya, akan jadi bentuk dukungan yang sangat bermanfaat dan dihargai. Membuat kompetisi yang baik dan rapi ke depannya, yang diorientasikan sepenuhnya untuk kepentingan timnas, akan lebih baik. Tapi jika kalian tak melakukan apa pun, itu tampaknya jauh lebih baik lagi.

Kepada teman-teman, para suporter biasa seperti saya, menjadi suporter bijak itu sulit. (Kkalau bijak, cerdas pula, kita tak akan jadi suporter tapi jadi pelatih, ya toh?) Tapi, kita bisa berusaha menjadi suporter yang baik, yang... ehmm... yang tak menumpahkan beban hidupnya kepada 11 pemain yang beban hidupnya tak lebih ringan dibanding kita.

Katakanlah, tak ada di antara mereka yang calon presiden pilihannya nggak jadi, yang presiden yang didukungnya terus-menerus dimaki, yang calon gubernurnya dikriminalkan, yang agamanya dilecehkan, yang rumah atau tanah keluarganya digusur, atau yang desanya diincar pengembang—seperti kita. Tapi, yang pasti, belum lama ini mereka adalah bagian kecil dari sekelompok orang Indonesia yang terancam mata pencahariannya.


Noyokerten, 13 Desember 2016

Related Posts:

Kembali (Mencoba) Berharap

Oleh Mahfud Ikhwan


Raut haru itu—apakah Anda menyaksikannya? Alfred Riedl, orang Austria itu, kakek berwajah dingin itu, seperti menahan isaknya di ruang jumpa pers usai mengantar Indonesia lolos ke semifinal AFF 2016. Wajah bulenya memerah, kalimat-kalimatnya (tentu masih tetap dalam bahasa Inggris beraksen Jerman) nyaris terbata. Ia memuji timnya yang masih sangat muda, tak berpengalaman, dan penuh kecingkrangan akibat berbagai batasan dan keterbatasan. Berkali-kali kata “manis” keluar dari bibirnya, tapi matanya menatap kamera dengan berkaca-kaca.

Riedl pernah diberitakan menangis. Itu saat ia bertemu dengan pendonor ginjalnya—seorang warga Vietnam. Tapi menangis untuk timnas Indonesia? Itu… itu membuat saya, seorang warga Indonesia, pendukung timnas bahkan sebelum benar-benar mengerti sepakbola, sangat tidak nyaman. Itu menggelisahkan.

Beberapa jam sebelumnya, dengan wajah berbinar, bapak saya langsung nyerocos soal betapa indahnya gol penyama milik Andik begitu saya pulang dari warung kopi. (Ia belum tahu saya tak menonton pertandingan itu, bahkan sama sekali tidak ingat.) Itu binar yang sama saat ia bercerita bagaimana Ronny Pasla, dengan tangan-tanganya yang panjang, menyelamatkan gawang Indonesia, saat saya masih bocah. Itu semangat yang sama ketika ia menggambarkan gol sundulan Syamsul Arifin si Kepala Emas kepada anaknya yang masih TK, di sela siaran pandangan mata pertandingan-pertandingan Persebaya dari radio.

“Menang, Pak?” saya bertanya dengan sedikit rasa bersalah. “Menang 2-1, dan lolos!” jawabnya semringah.

Sehari setelahnya, dalam sebuah obrolan ringan soal agama, seorang kerabat yang sehari-harinya dikenal sebagai imam masjid yang saleh, jenis orang yang tak mungkin saya sangka punya antusiasme dengan sepakbola, tiba-tiba dengan menggebu memuji permainan timnas saat mengalahkan Singapura. “Luar biasa. Yang mencetak gol kedua itu... siapa namanya?” Diam sebentar, seakan berpikir tapi sebenarnya agak malu, saya menjawab: “Stefano Lilipaly.”

***

Lilipaly, seperti halnya Riedl, tak pernah terlihat memberikan wawancara dalam bahasa Indonesia, dan tampaknya tak cukup berusaha. Ia, sebagaimana juga nyaris seluruh pemain yang dipanggil Riedl, dan Riedl sendiri, adalah hal-hal yang membuat saya tak berharap di AFF tahun ini. Sebagaimana AFF di beberapa edisi terakhir.

Ya, mohon maaf, saya memang sedang tak punya harapan dengan timnas, sebagaimana dengan sepakbola Indonesia. Mengingat apa yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini, dan apa yang masih terjadi saat ini, bagi saya, memiliki harapan untuk sepakbola kita terdengar imoral. Lagi pula, setelah berkali-kali dibuat hilang harapan dengan cara yang sangat buruk, dan sebagian besarnya sama sekali tak ada hubungannya dengan sepakbola, pendukung biasa seperti saya merasa layak untuk tidak berharap.

Lenyapnya timnas dari peredaran dan menghilangnya sepakbola lokal dari televisi kita adalah bencana. Namun bikin kompetisi yang artifisial jelas bukan usaha rekonstruksi yang dibenarkan. Mendongkel oligarki partai dari PSSI itu penting, tapi mengundang kembali serdadu ke sepakbola adalah langkah mundur. Keluar dari mulut harimau masuk mulut buaya, itu kata teman saya Darmanto Simaepa tentang sepakbola Indonesia. Belakangan, kita tak berdaya melihat sepakbola kita jadi rebutan para lipan dan lengkibang.

Riedl berangkat ke Manila dengan skuad sangat terbatas akibat hanya bisa bawa dua pemain dari setiap klub. “Biar timnas dan kompetisi sama-sama bisa tetap jalan,” begitu kata yang sok bijak. Tunggu..., sejak kapan timnas dan kompetisi bisa “sama-sama tetap jalan”? Jelas ada yang tak beres jika jadwal bertanding timnas Indonesia bersamaan jamnya dengan laga big match liga. Mendapati lini tengah Indonesia diobrak-abrik Filipina (bangsa yang lebih suka main bola dengan tangan), sementara pada saat yang sama di tv sebelah misalnya kita menyaksikan Slamet Nurcahyo sedang bagus-bagusnya bersama Madura United, apa kepala tidak pening?

Jelas, itu bukan win-win solution timnas dan klub. Jika bukan kompromi dua kelompok oligarki yang masih terus saling berebut sepakbola Indonesia, itu pasti kesepakatan dua televisi untuk tak saling mengganggu acara unggulan masing-masing.

Untuk kondisi macam itulah saya lebih memilih untuk tak berharap. Dan dengan tak berharaplah saya menonton Indonesia dilantakkan Thailand dan kemudian didominasi Filipina. Karena tak berharap, saya merasa lebih baik. Karena tak berharap pula, saya lupa jadwal pertandingan menentukan Indonesia vs Singapura, dan saya tak apa-apa.

Sampai kemudian saya melihat haru di wajah Riedl.

***

Akhir pekan lalu, di semifinal leg pertama, Indonesia 2-1 atas Vietnam. Indonesia bermain bagus setidaknya di paroh pertama babak kedua. Lewat akselerasinya yang menghasilkan penalti, tapi terutama karena peran pentingnya di sepanjang pertandingan, Lilipaly menjelaskan kepada kita kenapa ia jadi satu-satunya pemain naturalisasi yang dipanggil Riedl. Andik ngos-ngosan selewat menit 70-an, tapi kompetisi yang teratur di Malaysia membuatnya terlihat lebih bijak dalam berlari dan pegang bola, dan karena itu ia jauh lebih berbahaya. Tapi hal terbaik adalah melihat para pemain Indonesia tetap tenang usai menerima beberapa keputusan tak menyenangkan dari wasit.

Tapi saya tahu, bukan hal-hal itu yang membuat harapan itu menyelusup kembali, mendesak-desak lagi. Kita toh pernah mengalami yang lebih: AFF 2010, Sea Games 2011, dan tentu masih banyak lagi. Lagi pula, untuk pertandingan format tandang-kandang, menang tipis di kandang dengan lawan mampu mencetak gol tandang adalah bekal yang rentan. Tidak, bukan itu.

Adalah kekaca di mata kakek bule itu yang memicunya. Juga binar wajah bapak saya, yang tak pernah berubah dari masa ke masa berkait timnas Indonesia. Juga pertanyaan seorang kerabat tentang pemain dengan wajah dan nama yang terlalu asing untuk dihapalnya. Semua itu yang menyadarkan bahwa saya sebenarnya hanya seorang penggemar yang sedang ngambek saja, yang membenci karena terlalu mencintai. Yang mendendam karena rindu. Yang jauh di dalam sana, masih saja bandel memendam harapan, meskipun berkali-kali dikecewakan.


Apa daya, saya hanya seorang penggemar biasa. Anda juga, ‘kan?

Related Posts: