Boxing Day Ala Mentawai

Oleh Darmanto Simaepa


Di bawah langit Desember ujung yang selalu muram dan murung, pesepakbola amatir di Kepulauan Mentawai akan bertempur memperebutkan bola di lapangan yang becek dan penuh lumpur. Saat badai basah angin selatan membawa air langit menghantam permukaan bumi dan menjadikan lapangan seperti kolam dangkal setinggi mata kaki, setiap pemain tetap bertarung dengan penuh semangat dan melibatkan emosi. Di pinggir lapangan, tim cadangan dan penonton—sayangnya, semuanya laki-laki— untuk menghindari udara dingin, berdiri sambil merapatkan tangan ke dada dan melonjak-lonjak kegirangan.

Di hari-hari biasa, saat hujan deras datang, lapangan tidak akan semeriah ini. Atau paling tidak kalau lapangan mulai menggenang, pertandingan akan dihentikan. Lalu, orang-orang memilih untuk meringkuk di dalam selimut. Atau duduk santai di beranda rumah dengan sagu panggang atau roti kabin yang ditemani teh hangat atau secangkir kopi.

Perkecualian selalu dibutuhkan pada saat-saat tertentu. Di Mentawai, itu akan terjadi di hari-hari menjelang bergantinya tahun. Inilah suasana terbaik di gugusan pulau lepas pantai Sumatra itu. Sebuah pesta natal dan tahun baru yang digabung menjadi satu. Sebuah pesta yang tidak peduli dengan hantaman badai dan langit sendu. Gerimis tipis yang berangsur-angsur turun, bahkan kadang sepanjang hari, tidak akan menghalangi orang merasakan kehangatan nuansa dan kemeriahan pesta.

Sepanjang siang, tetangga akan saling berkunjung, memberi ucapan selamat dan saling memaafkan. Lagu-lagu natal yang syahdu diputar dalam nada riang. Rumah-rumah dihias dengan bunga-bunga sementara tempat ibadah didekor dengan pita, janur kuning, dan dicat ulang. Di petang hari, setiap orang memakai pakaian terbaik untuk pergi ke misa gereja.

Kue-kue disajikan di atas meja di setiap beranda. Bersama sirup dan bagi yang punya banyak uang, bir dingin, kue sampit, semprit, atau bawang menjadi menu wajibnya. Roti bolu panggang empuk dan marie kaleng yang legendaris akan menyempurnakan sentuhan pesta.

Pesta yang berlangsung hampir dua pekan akan semakin lengkap dengan pertandingan-pertandingan olahraga. Tentu saja, yang paling utama adalah kemeriahan sepakbola. Selepas pulang dari misa gereja, orang akan berkumpul bersama keluarga untuk makan siang dengan menu ayam gulai atau daging babi yang dibeli secara patungan. Setelah sebentar berangin-angin di teras rumah, menjelang sore, orang akan berkumpul di lapangan.

Sepakbola dimainkan sepekan secara penuh tanpa jeda. Di beberapa desa terpusat, yang jumlah penduduknya berlimpah, suasana pesta ini diwarnai kompetisi yang diikuti banyak tim yang dibentuk secara dadakan. Tim-tim dibagi menurut kategori spasial (dusun/desa) atau juga kategori umur—misalnya tim bujangan, pemuda berkeluarga, dan veteran yang umurnya lebih dari 40-an. Untuk merampatkan jadwal, kadang pertandingan dimainkan pagi atau siang hari.

Jika rejeki sedang bagus—proyek padat karya pemerintah datang mengalir, harga kopra dan kakao naik, atau ternak tidak diserang hama oiluk—beberapa desa mengundang tetangga dekat untuk datang berkompetisi sambil merayakan pesta natal dan tahun baru secara meriah. Makanan, minuman, akomodasi disedikan untuk tamu secara gratis dan disajikan dengan mewah. Atau ketika pejabat kecamatan atau anggota DPRD bermurah hati menggelontorkan beberapa belas juta rupiah uang pemerintah daerah untuk sebuah pesta natal bersama antar desa, kemeriahan akan terasa jauh menggema hingga ke lembah-lembah.

Sepakbola memainkan peranan yang penting dalam pesta akhir tahun ini. Nyanyian, drama, tari-menari, lelang kue dan pertunjukan lawak hanya bisa dilangsungkan hanya beberapa malam yang khusus. Pesta semalam suntuk, yang terkenal dengan sebutan Malam Gembira, hanya dilakukan 25 Desember dan 1 Januari. Sementara sepakbola dilangsungkan sepanjang siang, sepanjang hari, sepajang pekan.

Sepakbola melengkapi sebuah pesta besar. Tidak peduli usia, orang tua bermain dengan cucunya. Para veteran sama bergayanya dengan menantunya. Dan para lawan politik lokal bisa gencatan senjata saat menendang bola. Hadiah dari pemenangnya tidaklah seberapa dibandingkan dengan hilangnya tenaga. Piala bagi sang juara lazimnya adalah babi kecil seukuran 13 kg—kalau dirupiahkan seharga kurang lebih 200 ribu rupiah. Kadang tin pemenang mendapatkan kue bolu seukuran nampan kecil yang ditaburi lelehan coklat atau kacang diatas mentega. Hadiahnya akan diserahkan di gereja atau gedung pertemuan di saat Malam Gembira dan lekas habis dimakan bersama.

Ketika terlibat dalam suatu pesta, Anda tidak berpikir tentang menang atau kalah. Yang jauh dihargai dalam partisipasi bermain bola adalah setiap laki-laki yang sehat dan mampu berlari dapat terlibat dan terhubung dengan sebuah pesta besar setahun sekali. Badai, hujan deras, dan dingin hanyalah bagian menyenangkan dari kemeriahan ini.

*****

Tidak ada yang tahu pasti kapan sepakbola menjadi bagian penting dari pesta akhir tahun. Sampai akhir periode kolonial dan awal-awal tahun kemerdekaan, tidak ada lapangan sepakbola di Mentawai. Juga saya bayangkan, pesta-pesta natal belum semeriah ini. Gereja pertama dibangun di Pagai Selatan pada tahun 1930-an, tapi si pendeta Jerman hanya punya 2-3 pengikut setia. Para pastor di Siberut baru bisa mendirikannya pada akhir 1950-an. di masa-masa itu, tepung terigu dan cetakan roti belumlah dikenal dan orang masih sulit membedakan soda kue dan pasta gigi.

Munculnya kemeriahan pesta natal dan tahun baru dimulai pada paruh 1960-an ketika secara statistik, orang Mentawai secara perlahan dikonversi menjadi Kristiani—sebagian kecil memilih Islam. Gereja-gereja mulai dibangun secara serentak di dusun-dusun. Anak-anak dari kampung disekolahkan ke kota kecamatan dan sebagian dikirim ke Padang. Mereka tinggal di asrama Katolik, Protestan atau pondok pesantren untuk dididik dan diberi pelajaran.

Bersamaan dengan itu, pada tahun 1970-an, negara setengah memaksa penduduk Mentawai untuk tinggal di kampung buatan yang terpusat. Kampung ini akan dipimpin oleh kepala dusun dan secara administratif menjadi teknologi kepemerintahan. Di desa-desa yang diresmikan, orang Mentawai mudah dikontrol, diatur dan dilayani sebagai bagian dari republik. Penduduk Mentawai diberi rumah secara gratis dan lahan 2 ha. Campuran dari penyebaran agama dan kontrol negara telah menciptakan kampung-kampung, dalam istilah sosiolog Jerman Willfried Wagner, Parish Settlement. Sebuah pemukiman yang diwarnai dengan cita rasa keagamaan dan moralitas kepastoran.

Tapi ini hanyalah sebagain dari cerita yang lebih rumit.

Untuk urusan kemeriahan pesta, gereja hanya mengikuti dan meneruskan tradisi yang sudah menyejarah. Secara tradisi, orang Mentawai mengenal pesta atau Punen sebagai peristiwa sosial yang ditujukan untuk meningkatkan solidaritas dan menyatukan kelompok sosial (Uma) tertentu. Ada beberapa istilah penyebutan pesta di mentawai. Di pulau Siberut pesta disebut Puliajat/Lia. Di lembah Simatalu kadang disebut Muiring. Punen atau Lia ini sangat penting bagi kehidupan orang Mentawai.

Punen adalah suatu momen dimana manusia mengembalikan kondisi kesetimbangan dengan roh-roh yang ada di semesta dan alam raya. Lia adalah suatu momen dimana manusia hidup selaras dengan seisi alam raya dan peristiwa mereka terhubung secara spiritual dengan kekuata adi kodrati. Caranya? Mereka menghentikan kegiatan yang dipandang akan mengganggu kesetimbangan dan fokus pada menjaga harmonisasi dengan roh-roh yang ada di seluruh semesta.

Dengan takaran kasar, pesta ini hampirlah sama dengan selametan dalam tradisi Jawa. Pada saat itu seluruh anggota kelompok berkumpul dan beristirahat dari kerja. Tidak ada aktivitas berladang, merawat kelapa, mencari rotan atau menebang kayu. Dalam pesta ini, hewan-hewan peliharaan (babi, ayam) disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan secara merata (otcai) kepada anggota kelompok. Pantangan dan tabu-tabu yang rumit dan keras diberlakukan sepanjang pesta. Orang tidak boleh minum air mentah, makan ketika kaki masih basah atau sambil berjalan, tidak boleh mengkonsumsi udang atau belut. Hubungan suami istri dilarang keras dan bagi tetua (sikebbukat), mereka dilarang mandi di sungai sambil membasahkan rambutnya—serta berderet pantangan lain.

Di akhir proses pesta, perburuan hewan di hutan (monyet, rusa, babi hutan) atau dilaut (penyu, dugong, keratang) dilakukan untuk menyempurnakannya. Sepanjang tahun, setiap Uma bersaing menyelenggarakan pesta-pesta yang paling meriah. Dari jumlah penyembelihan hewan peliharaan dan daging buruan yang dibagikan, setiap Uma beroleh prestise dan kejayaan.

Pesta-pesta dalam bentuknya yang masih tradisional mungkin telah musnah--setidaknya telah bertransformasi nenyesuaikan dengan perkembangan baru. Kampung yang dibuat pemerintah jauh dari ladang dan kandang babi. Di kampung, beternak babi dilarang sehingga kebiasaan beternak telah mengalami kemerosotan dibanding waktu-waktu lampau. Semakin hari, penduduk Siberut semakin terhubung dengan kekuasaan negara. Jual beli hasil hutan atau tanaman pertanian telah mengintegrasikan—sekaligus mengikat—mereka ke dalam perdagangan global dan membentuk mereka menjadi konsumen produk industri. Corak produksi tradisional telah bercampur dengan pertanian cengkeh, nilam, atau belakangan, tanaman kakao.

Jika ada yang hilang, tentu saja ada yang datang. Surplus dari ekstraksi gaharu atau rotan dan menjual minyak nilam dan cengkeh telah membuat mereka membeli beras, menyekolahkan anak, atau membeli televisi. Kepercayaan animistik digantikan iman terhadap Yesus dan Bunda Maria. Praktik-praktik perdukunan secara lambat mulai digantikan peran dokter lulusan pergeruan tinggi atau para bidan. Praktik-praktik agama lokal telah digantikan misa gereja dan rosario di akhir pekan. Sengketa-sengketa kini diselesaikan oleh kepala dusun atau kepala desa.

Di tengah adonan zaman dan kreatifitas aktornya, Punen dan Lia, secara cerdik dan sengaja ditransformasikan menjadi pesta natal dan tahun baru. Tentu saja, saya tidak mengatakan Punen tradisional telah lenyap. Di beberapa tempat Punen di Uma masih merupakan aspek penting dalam kehidupan sosial di Mentawai. Namun, Punen jauh lebih terasa lebih meriah dan menggema di hari-hari menjelang natal dan tahun baru.

Punen natal dan tahun baru tidak lagi mengintegrasikan satu Uma, tapi seluruh Kepulauan Mentawai. Identitas sebagai pemeluk ajaran Kristiani telah menyatukan orang yang berbeda asal-usul, keturunan, dan kelompok sosial di lembah-lembah yang terpisah menjadi identitas kolektif. Politik identitas semasa orde baru dan desentralisasi semakin mengukuhkan orang Mentawai sebagai komunitas yang dibayangkan tunggal.

Pemukiman yang terpusat bentukan pemerintah juga mampu mengintegrasikan kelompok-kelompok sosial yang berbeda—yang dulunya tinggal terpencar-pencar. Dengan semakin terhubung dalam proses bernegara, orang Mentawai semakin menautkan imajinasinya sebagai bagian dari komunitas yang jauh lebih besar.

Lalu dimana aspek sepakbolanya dalam cerita ini?

*****

Dulu, sarana untuk menunjukkan maskulinitas dan arena menempa diri sebagai laki-laki adalah berburu. Berburu adalah previlege laki-laki. Perburuan adalah aspek yang sangat penting dalam prosesi ritual Punen. Berhasil mendapat hewan buruan adalah sebentuk restu dari kekuatan adikodrati terhadap pesta yang diselenggarakan. Monyet, babi hutan, ular saba, rusa, dugong, penyu adalah hewan peliharaan roh-roh hutan dan laut. Jika orang berhasil berburu, berarti roh-roh didalam hutan, laut atau sungai memberikan hewan peliharaannya untuk manusia. Hasil yang pantas dalam berburu akan menyempurnakan sebuah pesta. Dengan mendapatkannya, pantangan boleh diakhiri dan kehidupan akan berjalan normal kembali.

Kampung buatan yang terpisah dari hutan dan kesibukan berladang tanaman komersial telah mengurangi kebiasaan berburu. Mengurus kelapa atau cengkeh di ladang mengalihkan waktu pergi ke hutan dan memanah hewan sasaran. Punen-punen besar juga semakin jarang diselenggarakan. Namun, mereka mendapat berkah dari pemukiman. Di setiap kampung, proyek pemukiman pemerintah menyediakan lapangan bola.

Lapangan inilah yang menggantikan fungsi hutan atau laut sebagai arena rekreasi bagi laki-laki. Di setiap akhir pekan, lapangan adalah panggung bagi kontes maskulinitas. Sebuah arena eksklusif yang diberikan untuk menunjukkan atribut yang pantas disematkan kepada laki-laki dewasa—kecepatan, kekuatan, ketahanan, kegesitan, kepintaran, kemenangan. Laki-laki yang paling dikagumi dilapangan adalah seseorang yang menendang bola paling keras, paling berani menerjang lawan, paling kuat beradu kaki, atau paling cepat lari.

Aspek-aspek kosmologis Punen mungkin telah bergeser tetapi fungsi sosialnya jelas masih bertahan. Dan tentu saja, prosesi ritualnya juga harus tetap dilanggengkan dalam bentuk yang berbeda seturut pergantian zaman. Transformasi Punen tradisional juga diikuti dengan perubahan dalam aspek penutupannya. Tidak ada yang lebih sempurna jika Punen natal dan tahun baru dengan pertandingan sepakbola sebagai upacara penutupannya--sama halnya ketika Punen tradisional harus diakhir dengan berburu ke hutan.

Lapangan dan Sepakbola memberi subtitusi dari kemeriahan berburu—sebagai arena yang ditujukan untuk menyempurnakan Punen tradisional. Sepakbola jauh lebih disukai—setidaknya jauh lebih sering dilakukan dan jauh lebih banyak orang melakukannya dibandingkan berburu. Lebih dari itu, sepakbola memberi kemungkinan dari transformasi dan pelestarian dari nilai-nilai dan praktek berburu. Orang mustilah menyadari mereka kehilangan keahlian membuat rou-rou (busur), meramu omae (racun), atau lari zig-zag diantara duri rotan, ngarai dan jurang. Tetapi orang mendapatkan kesenangan yang setara dengan memperlihatkan kemampuanya mengolah bola, mengecoh lawan, dan mencetak gol ke gawang.

Lebih dari itu, sepakbola memberikan sifat eksklusifnya bagi seluruh laki-laki yang berpesta. Seperti halnya bahwa pesta tidak lagi diselenggarakan secara eksklusif oleh Uma-Uma tertentu dan berburu hanya secara khusus bagi laki-laki anggota Uma itu, sepakbola bisa dimainkan oleh siapa saja di dusun sebagai cara untuk merayakan pesta dan kemeriahan secara bersama.

*****

Tidak ada sekotak hadiah atau selembar uang dari si kaya kepada si miskin di Mentawai—layaknya di Inggris dimana tradisi boxing day berasal. Bagi orang Mentawai, tidak ada jarak kemiskinan yang lebar antara satu orang dengan orang lainnya. Tidak ada tuan tanah dan para buruh yang bekerja kepada seorang majikan atau juragan. Tidak ada pita dan rasa kasihan. Setiap keluarga pasti memiliki ayam dan tentu saja mampu membeli daging babi dari tetangga. Mereka juga berlomba-lomba membuat agar-agar yang paling kenyal dan membeli roti kalengan—bahkan ketika harus menjual cengkeh atau tanahnya. Disini gengsi sosial untuk tidak mau dikalahkan memainkan peranan penting. Semua orang ingin terlibat dalam pesta dan menunjukkan antusiasme yang tinggi.

Yang lebih penting, boxing day ala Mentawai tidak hanya berlangsung sehari (mungkin untuk hal ini, saya perlu menciptakan istilah tersendiri: pekan gembira?:)). Puncaknya berlangsung lebih dari sepekan. Dari hari menjelang natal hingga usai tahun baru. Sepakbola kadang juga dimainkan setiap hari dalam lebih dari sepekan. Agar lebih semarak pertandingan dilakukan dengan sistem setengah kompetisi atau kalau waktunya cukup, dimainkan dalam format kompetisi penuh—yang terdiri dari 3-4 tim.

Festival ini memiliki kesamaan dengan pesta serupa Boxing Day karena memberi dimensi sekular dari tradisi religius yang utama. Ini adalah bentuk adaptasi masyarakat setempat terhadap pesan-pesan religius yang universal. Pesta akhir tahun ala Mentawai dimulai dari sejarah yang khusus dan dalam konteks yang spesifik. Namun, partikularitas ini membawa semangat universal pesta raya menjelang natal dan tahun baru. Ketegangan dan ekspresi universalitas dan partikularitas ala Mentawai ini mungkin setara dengan Idul Fitri bagi orang Jawa, Thanks Giving bagi orang Amerika atau St. Stephen Day di Irlandia. Tetangga terdekat diundang untuk bertanding menyanyi, bermain sepakbola, atau bermain voli.

Sepakbola mengisi celah aspek sekularitas dalam kemeriahan pesta yang didasari oleh perayaan religius. Aspek sekularitas ini memberi dimensi kesetimbangan bagi aspek spiritualitasnya. Saya tidak bisa membayangkan pesta natal dan tahun baru di Mentawai tanpa sepakbola. Sepakbola ditemukan, diciptakan, dan sekaligus datang sebagai berkah untuk melengkapi kesyahduan misa gereja. Sebuah akhir tahun paripurna yang diliputi suka cita, gembira, dan riang semata meskipun cuaca selalu buruk: hujan sepanjang hari dan badai mengamuk tak terkendali.

*****

Ini adalah natal pertama dalam 6 tahun bagi saya tidak berada di Mentawai. Langit Yogya sama kelabunya dengan langit Mentawai. Di rumah yang sedikit lengang dan berkapur di Sambilegi, ditengah deru hujan dan gelegar petir, bersama hidung gatal, demam dan meriang, saya menyaksikan MU menang 5-0 atas Wigan di pertandingan Boxing Day. Tentu saja saya bungah karena MU menyamai poin City pekan ini.

Namun, terasa ada yang hilang. Saya tidak merasakan kemeriahan pesta itu. Dan yang pasti, saya tidak menendang bola di tengah amukan badai. Atau merasakan aroma laki-laki di diantara lumpur, rumput, dan kubangan. Beberapa pesan dan suara dari teman lama di Siberut menambah tebal kerinduan. Ah, melankoli, kau datang kembali! Yeah, setidaknya belakanggawang sedikit menjadi pelepas lara.

Related Posts:

Bocah Penjual Rokok dan Gelar Pertama Jerman

Oleh Mahfud Ikhwan


Kita pernah mendengar tentang kejayaan tembakau Dusseldorf, namun jelas Jerman lebih identik dengan mobil, pesta bir, dan kaos adidas, dibanding dengan rokok. Tak ada perusahaan rokok Jerman yang masuk jajaran 5 besar dunia. Menurut laporan Daeng dkk. (2011), produksi tembakau Jerman tak masuk hitungan 10 besar negara penghasil tembakau. Angka konsumsi juga: mereka kalah dari negara-negara tetangga Eropa-nya yang lebih kecil macam Belgia, Belanda, Swiss, bahkan Luxemburg. 

Tapi, siapa sangka jika kebesaran Jerman di abad ke-21 ini, terkhusus dalam sepakbola, berhutang budi dengan seorang bocah penjual rokok. Paling tidak, itulah yang diperlihatkan oleh Sonke Wortmann dalam filmnya, The Miracle of Bern (2003).


***

The Miracle of Bern (Keajaiban Bern), atau Das Wunder von Bern dalam bahasa Jerman, adalah sebuah istilah yang mengacu kepada kemenangan ajaib Jerman (Barat) 3-2 atas Hungaria di final Piala Dunia 1954 di Bern Swiss. Dianggap sebagai keajaiban karena publik sepakbola dunia saat itu, termasuk para pendukung Jerman sendiri, sulit membayangkan mereka bisa mengalahkan Hungaria.

Sebagaimana ditulis Owen McBall (2010), tim nasional Hungaria tahun 1950-an adalah sebuah tim yang hampir tak memiliki padanannya hingga hari ini, tidak dengan Brazil tahun 2000-an, tidak juga dengan juara dunia Spanyol sekarang. Dekade 50-an, sepakbola jadi milik Hungaria sepenuhnya. Diperkuat oleh deretan pemain terbaik masa itu seperti Ferenc Puskas, Nandor Hidegkuti, Sandor Kocsis, dan Jozsef Bozsik, tim ini tidak terkalahkan dalam 4 tahun, atau tak kurang dari 32 pertandingan internasional. Dua tahun sebelum Piala Dunia 1954, mereka adalah pemegang medali emas sepakbola Olimpiade Hensinki 1952. Tak berselang lama sebelum ke Swiss, mereka membantai moyangnya sepakbola, Inggris, di kandangnya sendiri, Stadion Wembley, dengan skor mencolok, 3-6. Itulah kenapa mereka disebut sebagai Para Penyihir Magyar. Di lain pihak, Jerman adalah tim yang sakit. Diperkuat oleh banyak veteran yang kalah perang pada Perang Dunia II, Jerman hanya berangkat ke Swiss sebagai tim Eropa kacangan. (Dan tampak semakin kacangan saja ketika di penyisihan, mereka dibantai oleh Hungaria 8-3.) Karena itu, ketiga Jerman bisa mencapai final, banyak kalangan—termasuk para wartawan dan pendukung Jerman sendiri—yang menganggap hal itu sebagai keberuntungan saja. Namun, Jerman kemudian membalik semua teori dan prediksi. Mereka memukul Hungaria 2-3 dan merengkuh gelar Piala Dunia untuk pertama kalinya.

Meski begitu, istilah “keajaiban” itu tak hanya mengacu kepada kemenangan di Bern pada 4 Juli 1954 tersebut, melainkan hal-hal yang terjadi setelah kemenangan tersebut. The Miracle of Bern dianggap sebagai titik balik kebangkitan sepakbola Jerman. Sepakbola di Jerman, yang sebelumnya berada di bawah bayang-bayang olahraga gimnastik, seperti digambarkan oleh penulis Roman Horak (2006), tiba-tiba menjadi olahraga nasional dan jadi kebanggaan Jerman, yang ditegaskan dengan dimulainya Bundesliga Jerman tahun 1963. Namun yang lebih hebat dari itu, The Miracle of Bern dianggap sebagai penanda pulihnya kebanggaan bangsa Jerman usai dihajar Perang Dunia II. Hal itu digambarkan secara indah oleh film Wortmann.

***

Matthias Lubanski (dimainkan secara sangat mengesankan oleh Louis Klamroth) adalah bocah 10 tahun yang tinggal di Essen, kota kecil-kusam di Jerman pasca-perang. Setiap harinya ia membongkar puntung-puntung rokok, melintingnya kembali, dan menjualnya kepada para pengunjung warung minuman yang dijalankan ibunya, Christa (Johanna Gastdorf). Christa harus menghidupi ketiga anaknya sendirian, sebab Richard (Peter Lohmeyer) belum kembali dari kamp tahanan Rusia. Jika tak sedang membantu ibunya, Matthias menghabiskan waktunya dengan bermain bola dan menjadi asisten (bag boy) bagi seorang pemain sepakbola lokal bernama Helmut Rahn (Sascha Gopel). Hubungan Matthias dan Rahan sungguh istimewa. Sebagai penggemar klub lokal Rot-Weis Essen, ia sangat memuja strikernya, Rahn. Karena itu, Matthias dengan senang hati jadi asistennya, membangunkannya, dan membawakan tasnya menuju tempat latihan atau ke pertandingan. Di sisi lain, Rahn sangat tergantung dengan Matthias. Bukan saja karena sangat terbantu dengan asistensinya, tapi juga karena ia percaya kalau Matthias adalah azimat keberuntungannya. Dan benar, di ujung cerita, hubungan aneh anatanya Matthias dan Rahn inilah yang jadi penentu gol kemenangan Jerman di Bern—tentu versi Wortmann.

The Miracle of Bern memang film tentang keajaiban. Namun yang lebih penting dari itu, ini kisah tentang bangkit dari kehancuran: kebangkitan tim nasional Jerman dari kekalahan 8-3 oleh Hungaria di babak penyisihan; kebangkitan keluarga Lubanski yang 12 tahun terpisah; kebangkitan rakyat Jerman dari kehancuran pasca-perang.

Di Bern, beberapa jam sebelum kick-off Final Piala Dunia 1954, di depan para pemainnya, pelatih Jerman Barat Sepp Herberger mengungkit kekalahan 8-3 atas Hungaria di babak penyisihan. Sang pelatih berharap, kekalahan itu cukup menyakitkan bagi para pemainnya, sehingga mereka tak hendak mengulanginya lagi. Skor 8-3 memang menunjukkan betapa perkasanya Para Penyihir Magyar. Namun, di sisi lain, kebobolan 3 gol menandakan bahwa mereka bisa juga ditembus. “Kita sudah tahu betapa kuatnya mereka, tapi mereka tak tahu apa-apa sampai di mana kekuatan kita,” katanya.

Di Essen, sebuah kota dengan tembok-tembok rumah kusam dan tanah becek yang hitam kelam (seakan asap mesiu sisa perang masih menempel di mana-mana), tepatnya dalam rumah keluarga Lubanski, Richard Lubanski, yang kembali pulang setelah 12 tahun dalam sekapan kamp tahanan Rusia, harus menyembuhkan dirinya dari trauma Siberia. Ia mesti kembali menjadi bapak yang semestinya bagi ketiga anaknya, terutama untuk si bungsu Matthias, yang sebelumnya tak pernah dilihatnya. Beberapa kesalahan fatal yang dilakukannya, yang membuat Matthias mencoba kabur, dan membuat anak sulungnya Bruno, seorang simpatisan Partai Komunis, memilih minggat ke Jerman Timur, coba ditebusnya. Salah satu caranya adalah dengan membawa Matthias ke tempat yang sangat diinginkannya, di sebuah peristiwa yang membuatnya merasa penting.

Di seluruh Jerman, tepat di saat final, jalan-jalan, rumah, biara-biara, terlihat lengang. Di tengah pesimisme dan ketidakpercayaan diri yang parah—“ah, pasti Jerman kalah 12-0” kata seorang pengunjung di warung keluar Lubanski—hampir seluruh rakyat Jerman (termasuk di dalamnya orang-orang yang sebelumnya tak suka sepakbola) harap-harap cemas di depan radio dan televisi. Meski tak terkatakan, wajah-wajah mereka menunjukkan, nasib bangsa Jerman ke depan ditentukan oleh skor akhir pertandingan di Bern itu.

***

Bocah penjual rokok itu sepertinya hanya sebuah dongeng yang dicangkokkan oleh sutradara Sonke Wortmann ke momen historis final Piala Dunia 1954. Pada riwayat hidup Helmut Rahn, kepada siapa film ini dipersembahkan, tak terkonfirmasi adanya seorang bocah dengan ciri-ciri mendekati karakter Matthias Lubanski. Matthias Lubanskii tamapknya serupa sosok Arya Kamandanu, yang disuntikkan S. Tijab pada sejarah berdirinya Majapahit dalam Tutur Tinular.

Tapi, bisa jadi saya salah. Matthias mungkin saja pernah menjadi bagian dari riwayat hidup Helmut Rahn. Dan mari beranda-andai—dengan sedikit tawa tentu saja—bahwa pada tahun 1993, 10 tahun sebelum Wortmann membuat filmnya, seorang petinggi sepakbola Indonesia mendengar kisah tentang bocah penjual rokok itu entah dari mana. Sembari mengingat banyaknya pabrik dan merek rokok di Indonesia, dari Jeruk sampai Bentoel, dari Lodji sampai Gudang Garam, dari Seng sampai Djarum, tebersitlah di pikirannya: jika Jerman hanya membutuhkan seorang bocah penjual rokok untuk jadi juara dunia, maka apa jadinya sepakbola Indonesia jika menggandeng para juragan rokok. Lalu, dengan rasa bahagia sebagaimana saat Archimides meneriakkan “eureka! eureka!” setelah menemukan teori fisikanya, sang petinggi berlari ke rumah Azwar Anas, ketua PSSI saat itu.

Satu tahun kemudian muncullah Liga Dunhill.

Related Posts:

Bola Bersandi Syara' di Imam Bonjol

Oleh Darmanto Simaepa


Sepakbola dan agama bisa sangat dekat di Sumatra Barat. Dalam kompetisi kelompok umur di lapangan Imam Bonjol, kota Padang, wasit akan meniup peluit ketika terdengar suara adzan dari masjid yang jauh. Bahkan ketika suara derum dan klakson mobil di seberang jalan lebih keras atau petikan gitar dan nyanyian anak-anak muda di tribun yang lebih mengganggu kenikmatan menyaksikan pertandingan anak-anak usia belasan itu, wasit masih bisa mengenali suara berbahasa Arab dari pengeras suara itu. Disini, suara adzan menyerupai time-out dalam basket. Selama muadzin menyerukan panggilan, para pemain menepi, meneguk air mineral atau mendengar pelatihnya memberi instruksi. Bagi yang bermain buruk, paling tidak sedikit caci maki. Memanglah ini Padang bukanlah kasus yang khusus sepakbola berhenti karena suara Adzan. Tetapi di tempat lain, biasanya pertandingan akan berhenti bila sholat Maghrib tiba.

Di hari Minggu, ketika saya bisa menonton pertandingan dari awal, anak-anak usia 10-17 tahun yang akan bermain terlihat seperti sebuah kelompok mengaji. Setelah memakai kostum dan dek pelindung tulang kering, mereka menuju pelatihnya yang ada di sudut tribun penonton. Anak-anak itu berbaris rapi, berjalan pelan dan bergantian memberikan salam kepada pelatihnya. Salam yang mengingatkan seorang bocah di teras rumah yang akan berangkat mengaji: bagian luar telapak tangan pelatih ditempelkan ke dahi. Pertandingan akan di mulai setengah jam lagi. Waktu yang cukup kita gunakan membaca 2 cerita pendek di koran minggu akan dibuka dengan ucapan salam dari pelatih. Setelah memberi arahan teknis, menyeleksi cadangan, dan memotivasi pemain, dia akan menuntun doa bersama. Setelah itu giliran pengurus klub yang memberi petuahnya. Sekali saya mencuri dengar, pengurus itu berkata, ’main elok-elok yo, samo awak ka pai ka surau’ (main sebagus mungkin, ibarat kita pergi ke surau).

Sebelum seorang pemain menendang bola pertama kali, dia harus berdoa setidaknya 3 kali. Saya cukup penasaran hingga harus bertanya kepada seorang perwira Militer yang menjadi ketua panitia kejuaraan itu. ’Selain prestasi, kompetisi ini,’ sang Kolonel menjelaskan, ’untuk mendidik anak-anak menjadi saleh’. Alasan itulah yang menyebabkan, setiap pertandingan menghindari hari Jumat. Selain itu jadwal kompetisi—yang menggelar 2 pertandingan sehari—dimulai pukul 14.00.-17.30. Ini dilakukan dengan tujuan, menghindari anak-anak itu meninggalkan ibadah sholat.

Keterangan itu membuat saya berharap kompetisi ini bergairah, kompetitif, sekaligus santun dan sangat fair. Saya menonton kompetisi ini setiap Minggu, Selasa dan Kamis. Di dua pertandingan kelompok umur 15 yang saya tonton, seorang pelatih dari pinggiran kota mengeluh, lawannya mencuri umur. Dalam sebuah pertandingan yang tidak seimbang itu, tim Sungai Buluh yang dilatihnya terlihat jauh lebih muda dari lawannya. ’bahkan, tim sebelah, sudah mulai berkumis semua’, gerutunya. Dia membawa tim paling tua umur 14. Bahkan sayap kirinya yang lincah dan berteknik tinggi masih berumur 10 tahun. Dalam dua sentuhan pertama, si bocah itu membuat kontrol bola sempurna, menekuk si kulit bundar dengan bagian dalam kaki, menggeser pinggulnya dan dengan sentuhan pelan mengelabui lawannya. Tetapi beberapa saat kemudian ketika harus melakukan sprint panjang, sebelum setengah perjalanan, dia harus memegang erat-erat pinggangnya.

Di pertandingan kelompok umur 17, saya menyaksikan sebuah tim yang mengurung lawannya sepertiga lapangan sepanjang 90 menit. Bukan karena tim ini bermain possesion ala Barcelona. Hal ini terjadi karena lawan tidak bisa menendang bola melewati garis tengah dari zona bebas kiper. Sepanjang pertandingan itu, striker tim itu bahkan capek karena menganggur dan berdiri menunggu bola dari gelandangnya.

Saya kira, kompetisi itu diatur dengan sangat bagus. Wasit, panpel, tenaga medis, dan aturan-aturan bola standar diterapkan. Bahkan disini, ada wasit cadangan dengan pakaian ala wasit Liga Indonesia dan sepatu seri Adicare yang asli. Aturan-aturan sepakbolanyapun dijalankan sangat ketat. Para pemain tidak boleh minum di luar lapangan. Berkali-kali panitia mengingatkan pelatih untuk tidak kelewat batas untuk beralih dari areanya untuk memberi instruksi. Dalam sebuah adu penalti, tidak ada penonton yang tertarik bergerak masuk ke lapangan.

Namun, dalam banyak segi turnamen ini belum melindungi pemain. Disparitas satu tim dengan tim yang lain begitu terlihat. Dalam kelompok umur 17, salah satu tim berusia 17 tahun semua (bahkan saya menduga, beberapa orang sudah melewatinya), sementara tim yang lain dikelompok umur yang sama ada yang berumur rata-rata 14-15. perbedaan mencolok terlihat di kelompok umur 15. Ada satu tim yang, dengan spekulasi kasar melalui pengamatan postur tubuh, rata-rata lebih dari 15 (beberapa mengaku sudah SMU), sementara tim yang dilawannya, sebagian besar anak kelas 5 SD.

Maka tidak mengherankan, dalam dua pertandingan minggu ini, 2 orang anak bertubuh mungil dari klub Taruna Mandiri terkapar pingsan karena bertubrukan dengan pemain yang lebih besar. Saya tidak tahu persis, mekanisme panitia dalam menyeleksi tim-tim yang bertanding dan menghindari ketimpangan struktur umur dan postur pemain. Ketika saya tanyakan pada seorang pengurus klub di dekat saya, panitia tidak rinci dalam menyeleksi umur pemain. Keputusan untuk menyeleksi pemain diserahkan klubnya masing-masing.

Celah ini dimanfaatkan oleh klub-klub yang memiliki skuad besar dan berjenjang dari kelompok umur 13, 15, dan 17. Mereka dapat menampilkan tim dengan usia dan postur tubuh serta kemampuan teknik bola yang merata. Sementara tim-tim dari pinggiran kota Padang terpaksa menurunkan pemain-pemain berusia 10 tahun untuk melawan tim-tim yang berusia 15 tahun. Tentu saja ini panitia tidak bisa disalahkan dalam hal ini. Akan tetapi sangat perlu untuk melindungi anak-anak yang memiliki hasrat bermain bola tinggi tetapi secara fisik mereka belum bertanding dalam atmosfer yang belum mereka mainkan.


Seseorang mungkin akan berpendapat lain, kompetisi seperti ini dapat memberi kompetisi sesungguhnya sejak dini. Bukankah di sepakbola profesional, Syamsul Muarif dari Lamongan harus berani berduel dengan Abanda Herman? Atau Keith Kayamba yang umurnya hampir 2 kali lipat Stevie Bonsapia bisa bertarung bersama? Saya tetap berpendapat pemain diusia belasan itu harus bertanding sesuai levelnya, baik umur maupun fisik! Jelas, sangat sedih melihat anak-anak yang lebih kecil lebih sering menahan naik betis (kram) di kakinya sebelum pertandingan berakhir.

Dalam sebuah pertandingan yang lain, saya terkejut menyaksikan sebuah tim yang terus berbicara kepada wasit. Remaja-remaja ini berteriak keras ketika terjatuh atau berbenturan dengan lawan. Mereka terus menaikkan tangannya dan berteriak ’wasit, baa ko!’. Sepanjang 90 menit, mereka melontarkan keluhan dan meminta tendangan bebas atau penalti. Di hari yang lain, saya menyaksikan banyak insiden terjadi. Dalam interval 3 menit selalu ada pemain yang memegangi lututnya, atau berguling-guling lima meter jauhnya dari tempat ia terjatuh. Dapat dikatakan, tidak ada pertandingan yang mudah bagi anak-anak itu. Seringkali kekerasan yang terjadi di Liga Indonesia terulang dilapangan yang saya tonton. Untunglah, wasitnya cukup tahu trik-trik murahan ini. Berpura-pura, diving, dan mengulur waktu seperti pemain Intermilan bukanlah pelajaran yang baik untuk anak-anak itu.

Saya tidak yakin mereka sering mononton liga Italia (tidak ada stasiun TV kita yang menyiarkannya). Di tahun 2000-an, remaja-remaja ini masih balita sehingga saya tidak yakin mereka mengenali bibir Inzaghi yang mencibir atau kibasan tangan Totti kepada wasit. Sama tidak yakinnya, mereka mendapat pemahaman ini dari pelatih-pelatih yang tangannya mereka cium setiap hari. Sikap ’oportunis’ tersebut jelas memperlihatkan sesuatu yang lebih luas, anak-anak itu sudah masuk ke dalam perangkap memenangkan pertandingan dengan cara yang kita semua tidak inginkan.

Diluar masalah-masalah kecil, saya menikmati kompetisi ini. Secara teratur, saya datang ke lapangan Imam Bonjol dan melihat anak-anak itu membuat tendangan chip melambung melewati kiper, bertengkar dan lalu menangis, bicara ’pantek’ atau 'godok ang' dan sesekali 'anjiang ang' kepada wasit ketika si pengadil tidak memperhatikan, mencoba trik peladada ala Ronaldo dan kemudian kehilangan keseimbangan dan terpeleset, kapten-kapten kecil memberi instruksi, seorang bocah membuang peluang yang langka dan diseberang lapangan, teman-temanya serentak spontan mengatakan ’ondehhhh’, seorang anak yang sangat pede, menyalami penjaga gawang lawan sebelum menendang penalti, dan ketika gagal, setelah peluit panjang berbunyi, langsung ngacir naik angkotan sendiri meninggalkan teman-temannya.

Saya menikmati setiap pertandingan kompetisi itu dan terus memikirkan, mengurusi sepakbola bisa jadi lebih rumit dari urusan agama. Seorang dai bisa saja berumur 10 tahun (yang kita sebut dengan dai cilik), atau seorang imam Sholat bisa bertahan dari umur 20 tahun sampai mati. Tetapi jelas sebuah tindakan yang tidak bijaksana mempertandingkan pemain umur 11 tahun dengan remaja 17 tahun. Saya mengerti, di sebuah kota yang memiliki semboyan ’adat bersandi syara’, syara’ bersandi kitabullah’, sepakbola harus mencirikan sikap religius. Tetapi, dengan melihat bagaimana sebuah pertandingan berlangsung di Imam Bonjol, ada jarak yang tak terpamanai untuk dimengerti bagaimana kaitan antara menendang bola dengan kata ’adat’ dan ’kitabullah’.

Dan akhirnya, saya punya kesimpulan sederhana. Sebuah tim sepakbola ternyata sangat berbeda dari sebuah kelompok mengaji. Seorang bocah bersujud syukur sehabis mencetak gol. Pemain lain bergaya seperti Kaka terhadap Jesus. Tetapi sepakbola tidak melulu persoalan doa dan syukur. Saya lebih menyukai istilah ini: anda dibawa atmosfer, yang barangkali mirip ekstase para Darwis di Asia Kecil. Dalam sebuah pertandingan, sedikit dari bocah itu mungkin akan terus bermain sportif, bersemangat dan menghormati lawan, seperti yang diinginkan panitia dan orang tua mereka. Tetapi sekelompok yang lain mungkin akan mengabaikan salam, doa-doa yang mereka panjatkan, lantas menjadi orang yang sama sekali berbeda ketika di lapangan. Sebagian lain mungkin sudah menyiapkan trik, diving, permainan kotor, atau sikuan terhadap rivalnya di sekolah lain sebelum mereka khusuk berdoa tiga kali.

Di luar Sumatra Barat, sepakbola bisa menjadi lebih akrab dengan agama. Tetapi yang jelas itu bukan karena salam cium tangan dan doa-doa di awal pertandingan yang bocah-bocah itu panjatkan. Bukan juga ketika, wasit menghentikan pertandingan agar pemain (dan penonton) takzim mendengarkan suara Adzan!

Related Posts:

Sepakbola Indonesia, Distopia

Oleh Mahfud Ikhwan


Saat menonton secara langsung semifinal Piala AFF 2010, melihat antrian memilukan di depan loket penonton di Senayan, menemukan spanduk-spanduk brengsek dengan pilihan kata yang payah—yang rasa-rasanya tak akan dibikin oleh seorang suporter paling goblok sekalipun—di setiap stand, dan keesokan harinya mendapati wajah Nurdin Halid berbinar-binar penuh kemenangan di TVOne seakan-akan ia (sendiri) mencetak hat-trick ke gawang Filipina, di kepala saya tebersit sebuah ide cerita. Judulnya, “Seputar Matinya Ketua PSSI”.


Jelas ini sebuah triller pembunuhan. Benang-merah ceritanya, kisah cinta yang tak terterima. Sedikit diilhami oleh tindakan John Hickley, Jr. yang mau membunuh Presiden Ronald Reagan untuk menunjukkan cintanya pada Jodie Foster, ringkasannya kira-kira begini: seorang pencinta yang ditolak ingin membuktikan cintanya kepada perempuan yang dicintainya. Caranya, dengan membunuh sosok yang paling dibenci di Indonesia, yaitu ketua PSSI. Singkat cerita, nasib tokoh kita tragis, demikian juga ketua PSSI-nya. Namun, 10 tahun setelah itu, Indonesia juara Piala Asia. Bekas Ketua PSSI yang dibunuh dipatungkan, karena dianggap jadi martir sepakbola Indonesia. Bersamaan dengan itu, si perempuan baru sadar betapa besar cinta si tokoh utama. Dan semua akhirnya bahagia.

Ide itu tak pernah saya kerjakan, hingga Nurdin Halid digulingkan. Anggap saja momentum telah lewat, dan kemalasan saya jadi beralasan.

Lalu, setelah setahun lewat, kini saya terpikir membuat kisah yang lain.

Itu setelah melihat kekalahan demi kekalahan timnas Indonesia di kualifikasi Piala Dunia 2014. Juga tak lama setelah untuk kesekian kalinya Indonesia gagal di cabang sepakbola di Sea Games. Juga saat melihat di layar televisi Johar Arifin shalat dengan khusyu’ pada satu hari dan pada hari lain berkata dengan pernyataan (sok) keras yang tak cukup diyakininya sendiri—dan jelas tak disusunnya sendiri. Juga saat melihat wajah Bernhard Limbong yang menyebalkan muncul makin sering saja di di televisi.

Lebih dari itu, saya memikirkan kisah itu setelah menyaksikan kompetisi sepakbola Indonesia diobrak-abrik oleh para bajingan; setelah menyaksikan sepakbola Indonesia terpental ke belakang, jauh ke abad pertengahan; setelah melihat separoh lebih tim yang berlaga di dua kompetisi memakai kostum yang tampaknya dibeli secara kiloan; setelah melihat Habel Satiya masuk ke lapangan dengan kaos putih-hitam yang sama sekali polos, tanpa sponsor dada, tanpa logo PSSI, bahkan tanpa emblem Persidafon; setelah melihat Gunawan Dwi Cahyo bertanding—di sebuah kompetisi yang diklaim resmi dan profesional, untuk sebuah klub yang fenomenal!—dengan memakai kaos yang nama punggungnya bertulis Legimin Raharjo.

Terbersit di kepala saya sebuah kisah tentang kehancuran, sebuah cerita bergenre distopia. Berbalut fiksi ilmiah, tapi kali ini tanpa bumbu cinta. Begini kira-kira ringkasannya:

Alkisah, seorang sarjana biokimia penggila bola, neurotis, dan putus asa, bertekad melenyapkan sepakbola dari Indonesia, sebersih-bersihnya, untuk selama-lamanya. Setelah siang-malam berkutat di labnya yang terasing, kumuh, dan rahasia, ia berhasil mencipta virus jenis baru yang akan membunuh siapa pun yang berbicara, membaca, atau yang bahkan sekadar terbersit di pikiraannya kata “sepakbola”. Bagaimana cara penyebaran dan kerja virusnya, belum kepikiran. Tapi, yang jelas, dalam 10 tahun setelah disebarnya virus itu, sepakbola benar-benar kalis dari Indonesia. Tidak ada yang mencintainya, tidak ada yang membencinya, tidak ada yang memainkannya, tidak ada yang mempedulikannya.

***

Dari wajahnya kita mungkin akan cenderung menyimpulkan kalau Johar Arifin adalah orang baik. Air mukanya kalem, bahkan teduh—bisa jadi karena air wudlu. Saya bisa perkirakan, ia secara teratur shalat lima waktu ditambah salat sunat rawatib dan dhuha di setiap pagi, plus puasa senin-kamis. Jika bicara tak pernah meletup-letup, bahkan saat mengeluarkan pernyataan yang keras sekalipun. Tapi kamera televisi paling manipulatif sekalipun tak bisa menyembunyikan dari kita kalau orang ini pribadi yang lemah. Johar Arifin, meminjam frasa dari kitab suci, “hanya seorang hamba”. Tidak lebih.

“Saya masih memberi kesempatan kepada klub-klub untuk kembali ke kompetisi yang resmi. Paling tidak sampai Senin ini. Ya, paling lambat Senin malamlah,” katanya suatu kali.

Apa yang bisa kita tafsir dari kalimat macam itu? Ketidaktegasan, barangkali. Keraguan, mungkin. Tapi yang paling jelas, ketiadaan akan kuasa. Yup, jelas, ia bukan pusat dari sebuah orde. Ia cuma tenaga pelaksana. (Dalam kamus TKI, Johar Arifin hanya "orang gaji").

Saya bayangkan, SMS-nya kepada Rahmad Darmawan saat mengizinkan sang pelatih memilih pemain yang dikehendakinya untuk melawan LA Galaxy ditulis setelah ia mendapat SMS dari orang lain. Demikian juga saat dengan tiba-tiba ia menyatakan bahwa pemain yang bermain di ISL tak bisa memperkuat timnas. Tidak bisa tidak, saya berprasangka, kalau pernyataan itu dikeluarkannya setelah ia mendapat telepon dari seseorang, atau setelah ia pulang dari sebuah rapat kecil di salah satu ruangan di sebuah rumah di Jalan Jenggala dan orang yang duduk di kursi utama bukan dirinya.

Johar Arifin, saya masih yakin, adalah orang baik. Namun dalam hal kepemimpinan, kebecusan mengelola sepakbola, dan keefektifannya menjalankan organisasi, saya merasa, Nurdin Halid 10 kali lebih baik.

Saya mungkin akan punya banyak musuh karena menulis kesimpulan macam itu. Tapi, coba kita cermati.

Kita sudah cukup punya alasan untuk membenci Nurdin Halid hanya dengan memandang mukanya—semua karakter buruk dengan mudah bisa kita lekatkan pada warna pupil matanya, kerut keningnya, caranya mengangkat alis, hingga caranya tersenyum. Kita akan merasa berhak meludahinya jika dia sudah mulai bicara. Dan saat ia memekikkan sumpah atas nama Tuhan ketika membela diri, ah... entah apa lagi yang akan kita lakukan. Tapi, tahu kenapa kita begitu membencinya? Jawabannya kira-kira sama dengan pertanyaan, “kok bisa dia mengendalikan PSSI dari balik penjara”: karena ia begitu berkuasa atas organisasi yang dipimpinnya.

Kita biasa menghubungkan Nurdin dengan Aburizal Bakrie—sebagaimana sekarang kita menghubungkan Johar dengan Arifin Panigoro. Klub-klub keluarga Bakrie, baik yang didanai secara langsung atau lewat tangan-tangan para anak buahnya, biasanya mendapat perlakuan yang lumayan istimewa dalam kompetisi Indonesia. Dalam satu kesempatan Nurdin pernah mengatakan kalau ia kader Golkar dan taat kepada Ketua Umum Golkar. Pengakuan itu dikuatkan saat ia memboyong seluruh anggota dan offisial timnas Indonesia ke rumah Ical, dua hari menjelang final AFF Cup 2010. Namun, di atas segalanya, dalam kaitannya dengan PSSI, Nurdin Halid terlihat tidak bekerja untuk orang lain. Ia bekerja untuk dirinya sendiri. Atau, lebih tepatnya, sepakbola Indonesia (dan segenap aparatus yang dibangunnya selama ia berkuasa) bekerja untuk dirinya. Keluarga Bakrie boleh jadi mendapat keuntungan besar (secara politik, ekonomi, dan sosial) dari sepakbola Indonesia selama Nurdin berkuasa. Namun, cukup mudah untuk mengatakan kalau, selama kepemimpinannya, manfaat sepakbola Indonesia adalah sebesar-besarnya untuk kepentingan Nurdin sendiri.

Orang seperti Nurdin Halid jelas harus dienyahkan dari sepakbola, tidak hanya di Indonesia tapi di bumi belahan mana saja. Namun, yang tampak lebih baik adalah ia punya kuasa atas organisasi yang dipimpinnya, sesuatu yang jelas tidak kita temukan pada diri Johar Arifin. Dalam pandangan saya, itu tampak jauh lebih berbahaya.

Mencoba merintis sebuah optimisme pasca-penggulingan Nurdin, dan kemudian menaruh sedikit harapan akan munculnya sebuah kepemimpinan dan sebuah masa yang lebih baik bagi sepakbola Indonesia, tampaknya hanya akan jadi penyesalan yang sakit lagi memutusasakan. Itu tak ubahnya kita memaki Kangen Band, lalu televisi memberikan kita SM#SH. Apa mau dikata?

Ya, apa mau dikata, tanpa pernah mencapai kejayaannya, sepakbola Indonesia tampak menuju tahap distopia. Itulah nampaknya takdir kita. Dan, semua usaha untuk mencegahnya, justru terlihat sebagai cara mempercepatnya.

***

Kembali ke cerita distopia, sepertinya saya akan sulit untuk menuliskannya. Bukan karena menulis genre macam itu punya kerumitan tinggi, namun karena saya sudah bisa membayangkan—dengan sangat jelas—bagaimana cerita harus diakhiri.

Bukankah itu justru membuatnya tampak lebih mudah? Dalam kasus cerita ini, tidak.

Oke, harus dikatakan, saya sebenarnya punya dua versi ending.

Versi pertama: setelah semua orang yang dalam pikirannya terbersit kata "sepabola" mati, si sarjana biokimia yang telah menyiapkan penangkal untuk dirinya sendiri tetap hidup. Ia lalu memikirkan permainan apa yang hanya dilakukan di Indonesia. Ditemukannyalah permainan di masa kecilnya: benthik. Lalu, seperti James Naismith menciptakan aturan-aturan bolabasket, ia memformulasikan aturan baku untuk benthik versinya. Setelah dianggap sempurna, ia kemudian mengajarkannya kepada kerumunan anak-anak pertama yang ditemuinya.

Itu adalah ending yang sangat saya inginkan. Namun, jalan dan logika cerita jelas tak memungkinkannya. Sehingga mau tidak mau saya mesti memilih ending versi kedua.

Versi kedua: semua orang yang dalam pikirannya terbersit kata "sepabola" mati. Si sarjana biokimia juga. Sebab, penangkal yang disiapkan untuk dirinya sendiri ternyata tak sanggup menandingi kuatnya kata “sepakbola” dalam pikirannya. Yang mengejutkan, para pengurus PSSI yang sekarang, juga beberapa bos klub sepakbola Indonesia, ternyata masih tetap hidup. Itu karena, ternyata, dalam kepala mereka tak sedikit pun terbersit kata “sepakbola”.

Bahkan untuk sebuah cerita bergenre distopia, bukankah itu akhir yang terlalu memilukan? Saya tak begitu suka akhir yang bahagia, tapi rasa-rasanya saya tak bisa menulis kisah dengan akhir sesedih itu.


21-12-11

Related Posts:

Yang Direnggut Dari Sepakbola Kita

Oleh Darmanto Simaepa


Apa yang terasa busuk dan buruk dari sepakbola Indonesia hari-hari ini adalahnya direnggutnya harapan jutaan orang atas permainan ini. Sepakbola memberi apa yang tidak diberikan pemimpin republik atau para politisi. Yakni, suatu visi sosial tertentu yang membuat orang merasa terhubung sebagai warga negeri. Melebihi segalanya, bahkan pesta demokrasi sekalipun, dalam sejarah kontemporer Indonesia, sepakbola adalah suatu peristiwa dimana kegembiraan dan kesedihan bisa dirasakan rakyat secara bersama—tanpa membedakan Anda Batak atau Papua, Islam atau tak percaya agama, nelayan melarat atau pengusaha kaya, remaja atau orang tua.

Para bajingan dan pemburu rente telah membajak kompetisi sepakbola untuk melampiaskan eros paling purba dalam sejarah kemanusiaan: hasrat berkuasa. Lebih dari sekadar gunjingan penggerutu yang mengatakan sepakbola telah digunakan sebagai mesin politik, pertarungan antar Liga, sekarang ini, telah berubah menjadi perang panjang tanpa aturan dan kendali. Motif-motif yang menggerakan para cartolas ini bukan lagi konspirasi partai atau akumulasi pundi-pundi.

Kompetisi digunakan sebagai alat untuk menunjukkan apakah buaya atau harimau yang paling berkuasa dalam rimba raya sepakbola. Pilihan Liga yang tersedia tidak lagi ditujukan untuk menjajakan layanan pertandingan yang bisa dipilih publik dengan akal sehat secara dewasa. Jika saya boleh menyebut nama, rejim PSSI lama dan baru (a.k.a Bakrie vs Panigoro) terjebak dalam sebuah pertempuran penghabisan ala Hemingway—mungkin sebuah puputan. Mereka tidak peduli berapa uang yang akan dihabiskan, kekokohan argumentasi yang dijadikan pedoman, kaidah-kaidah dan aturan, serta persetan dengan pertaruhan kehormatan.

Sementara itu para manajer klub, malu-malu namun sangat licin dan rakus, menunggu waktu kapan donatur yang paling banyak menawarkan uang. Ibarat anjing kelaparan yang loyal kepada pemberi makan, klub-klub bergerak dari balik pintu majikan satu ke majikan yang lain, mengais-ngais recehan. Kisah Persib yang memutar arah tujuan berkompetesi selepas partai pembuka vs Semen Padang dan akhirnya bersedia menerima hukuman menunjukkan dengan jelas sikap yang menunggu kesempatan menangguk keuntungan.

Kenapa, diantara harapan yang semakin mengabut dan ‘tragedi’ PSSI, saya masih perlu menulis sepakbola? Apa pentingnya, toh ada tidak ada sepakbola, matahari tetap bersinar esok hari? Juga, setiap orang akan bekerja dan beraktifitas seperti biasa ada atau tanpa kompetisi?

*****

Sepakbola tidak menyelesaikan apa-apa dalam hidup ini. Anda tidak bisa berharap perubahan sosial atau perbaikan keadilan dari olahraga ini. Prestasi sepakbola juga tidak akan secara langsung berkorelasi dengan meningkatnya jaminan kesehatan, perbaikan layanan pendidikan, atau susutnya angka kemiskinan. Saya bisa mengerti jika novelis dan esais Italia, Umberto Eco, menyodorkan pertanyaan politik paling masygul dalam sepakbola, 'apa mungkin revolusi terjadi di hari Minggu ketika ada pertandingan bola?' Seseorang akan kecewa jika berharap demonstrasi dan protes bisa dimulai dari stadion—bahkan jika itu bernama Gelora Bung Karno.

Saya tidak akan keberatan jika ada orang sinis mengatakan, sepakbola bisa jadi alat meneguhkan ketidakadilan. Sangat sulit untuk tidak menyukai operan-operan pendek dan ketajaman Persipura dari televisi, meskipun hal itu hanya mungkin karena Freeport McMoran memberi kucuran kecil hasil keuntungan. Sembari tetap percaya selalu ada kekerasan, kebohongan dan ketidakadilan di bukit-bukit Grasberg milik orang Amungwe, saya tetap menonton Boaz dan Zah Rahan asyik mengecoh lawan atau cara Geral Pangkali bertahan. Saya juga bisa memuji konsistensi Pelita Jaya membina pemain muda dihadapan teman saya yang memperjuangkan hak-hak korban bencana lumpur Lapindo yang dilucuti keluarga Bakrie.

Nyaris seperti agama atau politik, sepakbola di zaman industri ini penuh paradoks dan ambivalensi. Hubungan yang aneh sepakbola, dengan katakanlah ide besar seperti nasionalisme atau kapitalisme, tidak bisa diringkus dalam sebaris kata atau sederet slogan—apalagi oleh sejumput justifikasi moral. Selain pornografi, sepakbola adalah berkah terbaik dan (mungkin) kutukan terburuk dari kapitalisme. Di satu waktu, para penonton dan publik sepakbola adalah sekawanan domba yang menjadi calon korban calo tiket atau ahli pemasaran. Namun dikali lain, gerombolan itu bisa menjadi kekuatan yang membangkitkan kembali jasad besar bernama bangsa/nasionalisme yang hampir mati.

Setidaknya, sepakbola menjadi berkah, kata seorang teman, karena menjadi penawar yang tepat bagi lagu Gloomy Sunday dan perasaan-perasaan depresi.

Sepakbola, kata penulis olah raga Irlandia Vincent Hogan, tidak menyelesaikan hal-hal penting dalam kehidupan. ‘Tapi, olahraga ini’, Hogan mempercayai, ‘dapat memancarkan seberkas sinar ke tempat yang lebih baik’. Saya akan menyebut secercah sinar itu sebagai kelegaan perasaan. Para psikolog mungkin mendefinisikannya sebagai katarsis. Setiap minggu, setiap penggemar bola punya alasan untuk murung, gembira dan memacu adrenalinnya. Saya misalnya, punya sesuatu gejala aneh setiap Barca atau Milan menghadapi pertandingan penting diakhir pekan. Sebuah perasaan tersembunyi dalam tubuh yang menggelitik, semacam rasa tak sabar menanti bagaimana pertandingan akan berlangsung dan apa hasilnya. Perasaan itu memercik dan akan menjadikan wajah berseri-seri jika tim dukungan menang.

*********

Tidak semua orang beruntung lahir, tumbuh dan hidup dengan bahagia. Tidak setiap waktu, madu dunia bisa dicecap orang kebanyakan. Tapi semua tahu, penderitaan selalu sulit ditanggung sendirian.

Hari-hari ini di sebuah negeri, kita melihat pemimpin tidak lagi memberi visi dan inspirasi bagi rakyatnya untuk mewujudkan cita-cita negara-bangsa. Para tentara dan polisi dengan beringas membunuh para petani Mesuji namun tiba-tiba seperti kucing kudisan yang lapar-kehujanan ketika bertikai dengan negeri tetangga soal teritori. Bank-bank, institusi bisnis dan lembaga keuangan adalah semacam kasino raksasa, dimana para pejabat tinggi dan pengusaha adalah para bandar dan pemainnya. Partai politik dan Gedung Perwakilan Rakyat seperti pasar gelap dimana hukum dan UU adalah barang dagangan yang paling diminati. Sementara para birokrat dari kelas teri hingga eselon tinggi adalah pemburu rente yang mengeruk pajak rakyat untuk akumulasi harta keluarga sendiri.

Laporan koran dan kisah-kisah di media massa hanyalah sekadar kelebat rekaman peristiwa yang jauh lebih rumit dan palsu dari versi ratap tangis yang sesungguhnya. Berita-berita hanya semakin menambah rasa kehilangan dari apa-apa yang telah diambil dari kita dalam kehidupan nyata. Diskusi-diskusi, yang katanya kritis, hanyalah tempat menenangkan diri, berbagi penderitaan, dan bertukar informasi tanpa kedalaman pengetahuan dan ketajaman argumentasi. Negeri ini jatuh di dalam perut tersembunyi, dimana kemarahan dan depresi tak dapat dikenali, kebaikan dan tanggung jawab ditelan kegelapan, dan tempat hantu-hantu sejarah kegagalan datang silih berganti.

Saya masih percaya, sepakbola bisa menjadi suaka untuk melarikan diri dari momen-momen penderitaan. Stadion dan siaran televisi adalah sanktuari untuk mendapatkan sedikit hiburan dan kelegaan diantara nasib pahit dan getir kehidupan. Menang-kalah sangatlah penting, tapi itu bukan segalanya. Kita sudah berulang kali menjadi saksi: ketika timnas melangkah ke final dan akhirnya kalah, jutaan rakyat bisa menerima dengan besar hati—tanpa rusuh dan anarki. Bahkan arus yang menggetarkan itu mampu membuat orang tua dua penonton yang mati di stadion GBK rela anaknya menjadi martir atas bangkitnya sebuah harapan yang diberikan sepakbola.

Dengan segala antusiasme dan harapan, penerimaan atas kegagalan tim SEA Games dan AFF 2010 bukan hanya sekadar perayaan atas sepakbola—kemenangan hati atas hasrat dan ambisi meraih piala. Di momen itu, rakyat Indonesia merasa dan bersyukur bahwa setidaknya masih memiliki sebuah tim yang bermain dengan kesungguhan, kerja keras, pengorbanan dan hati besar. Permohonan maaf pelatih Rahmad Darmawan dan sikap para pemain memperlihatkan tim itu sangat peduli dengan harapan dan impian jutaan orang. Sepakbola, pada momen tertentu, menjadi tempat pelestarian dari sedikit hal-hal kebaikan—semangat, antusiasme, rela berkorban—yang telah punah dari negeri ini.

Mungkin ada penjelasan mengenai ini. Meskipun telah berganti rupa di era industri, sepakbola—dan mungkin dibanyak olahraga lainnya—memberikan Anda sebuah pelajaran tentang sebuah karakter. Sepakbola juga dapat menjadi tempat untuk mengukur seberapa besar hati dan kebesaran jiwa anda. Permainan ini berlimpah dengan nilai-nilai dan merupakan jendela kecil untuk melihat kompleksitas kehidupan. Kerja sama tim, etos kerja keras, peduli terhadap teman, persaingan sekaligus respek pada lawan, fair play, kejujuran sekaligus kecerdikan dan kelicikan, serta ambisi adalah bagian yang tak terpisahkan. Sepakbola juga menjajakan banyak kemungkinan dari perasaan dingin hati, pragmatisme, ketekunan, kejeniusan, persiapan yang matang seperti dalam taktik Mourinho dan juga menjadi cermin dari kebuasan dan kebrutalan yang bisa dicontohkan oleh permainan ala Paolo Montero.

Ironisnya, publik Indonesia mendapatkan sampah paling busuk dari wajah sepakbola. Kompetisi tidak ditujukan untuk menjalankan mandat kekuasaan tetapi digunakan menunjukkan kekuasaan secara telanjang. Bukan pemain yang bertanding dan bersaing untuk meraih piala, tetapi para begundal yang menggerakkan kompetisi demi kekuasaan. Perang kata-kata yang sangat tidak dewasa di media antara La Nyala, Johar Arifin, dan Saleh Mukaddar adalah bagian kecil dari gejala-gejala polusi ini.

Apa yang terjadi dalam kecamuk penyelenggaraan sepakbola Indonesia adalah kekerdilan hati dan rusaknya jiwa-jiwa olahraga. Kita tidak melihat elegansi, respek, atau permainan yang mengakui kehebatan lawan. Tulisan ‘my game is fair play’ di bendera kuning yang dibawa anak-anak kecil ke tengah lapangan menjelang pertandingan—baik di IPL dan ISL—tidak hanya sebuah ironi, tetapi juga sebentuk pelecehan akal sehat terhadap prinsip-prinsip yang digemakan dalam kampanye sepakbola.

Sangat mudah untuk ditebak dan diraba, persaingan kompetisi IPL vs ISL digunakan sebagai medan pertarungan: bukan persaingan. Mmmmmh, mungkin juga terjadi persaingan disana, tapi sebuah persaingan yang meletakkan menang-kalah sebagai kebajikan utama. Tepat disini, jangankan sepakbola dan harapan yang dimenangkan, saya yakin, dengan mengambil puputan, para begundal itu pun akan tersungkur semuanya. Pertarungan yang disetir dari balik bilik hotel atau beranda keluarga para pengusaha yang melumuri roda kompetisi hanya akan melahirkan kepecundangan yang harus ditanggung para pemain berbakat dan penonton setia dan rakyat negeri ini.

Saya tidak sedang membela ISL dan mengecilkan peran IPL—atau sebaliknya. Namun, sebagai penonton yang waras, jelas ISL jauh lebih siap. Sebagian besar pemain terbaik Indonesia berada di liga ini. Secara manajemen, satu liga jauh lebih siap menangani detail-detail pertandingan dan yang lain hanya besar kata-kata di media dan tidak bergigi saat hari H tiba. Sebagaimana ditunjukkan oleh puluhan ribu yang datang ke stadion, salah satu liga jauh memberikan hiburan. Namun, sebagus apapun kompetisi, apa artinya jika tidak ada peluang harapan untuk pergi ke level yang lebih tinggi di Asia? Dengan kaburnya sistem penjenjangan dan degradasi, bagaimana mungkin ada mentalitas kompetitif?

Lalu para pemain-pemain dilarang untuk bermain tim nasionalnya jika bermain di liga yang tidak dikehendaki. Dengan melarang pemain di liga tertentu menggunakan kostum garuda, harapan untuk melihat timnas diisi pemain terbaik di negeri ini seperti kandas dikarang-karang pemikiran yang sangat dangkal. Lebih dari 80% pemain yang pernah berkaus merah putih ada di liga tak resmi. Ancaman dan hukuman bagi pemain diluar liga yang direstui menunjukkan sepakbola bukan lagi bahasa olahraga tetapi bahasa kekuasaan.

******

Bertahun-tahun yang lalu, Rezim Nurdin memiliki visi sepakbola Indonesia akan berlaga di piala dunia. Beberapa bulan yang lalu rejim Djohar Arifin juga mengeluarkan visi akan membawa Indonesia bermain dan berfilosofi seperti Belanda—dan pada gilirannya akan berbicara di level dunia. Namun yang kita dapatkan adalah segumpal sampah yang terpaksa kita mencium semua bau busuknya.

Kita belum tahu siapa yang menang, tapi jelas yang hilang dari sepakbola Indonesia hari-hari ini adalah harapan. Gestur tubuh dan sikap Rahmad Darmawan telah mengatakan segalanya. ‘Para pemain,’ kata Rahmad, ‘akan menjadi korban dari dualisme ini’. Saya sepakat dengan pilihannya mundur dan tidak terlibat dengan PSSI. Sikap ini adalah hal yang terbaik yang bisa dilakukan oleh orang yang punya hati untuk sepakbola.

Namun lebih dari apa yang dikatakan coach Rahmad, bukan hanya pemain yang akan menjadi korban dari kekisruhan liga ini. Harapan jutaan orang untuk menikmati sedikit kebahagiaan dari republik ini—yang hanya bisa dipenuhi oleh momen-momen sepakbola—telah dipadamkan dan terkunci dibalik permusuhan kekanak-kanakan, kabur tujuan, dan hanya mengejar fatamorgana kekuasaan.

Related Posts:

Por Qué Mou?

Oleh Darmanto Simaepa

Mou di Barnebeu

Minggu dini hari itu, saya menyaksikan seorang laki-laki yang sangat percaya diri—dia menyebut dirinya sendiri sebagai yang istimewa—mendadak putus harapan dan hilang asa. Dalam setengah jam terakhir, pria jenius dan angkuh itu hanya berdiri memaku di garis tepi, menelan ludah berulang kali dan menggigit bibirnya sendiri. Matanya memicing dan langkahnya tidak setegap biasanya. Bahkan, ia tak sanggup mengangkat jari untuk memberi instruksi.

Itu bukan Mou yang saya kenal, kagumi—dan juga saya benci. Pria itu bukan orang yang berlari ke arah penonton di tengah Nou Camp, berkacak pinggang dan mengacungkan telunjuk ke arah tribun. Bukan orang yang berani memaki Direktur Tekniknya sendiri. Bukan pula orang yang meloncat-loncat girang dan sambil berlutut, menggoyangkan tangannya di pinggir rumput Stamford Bridge. Ia bukanlah orang yang berapi-api di konferensi pers dan bertanya-tanya secara retorik por quĂ© (kenapa)? por quĂ© (kenapa)? Sambil menyebut UNICEF dan UEFA, serta sederatan nama wasit, dari Stark, Ovrebo, Busacca, De Bleeckere, sampai Frisk...

Itu bukanlah Mou yang sebenarnya (atau malah sebenar-benar dia?). Saya tidak tahu pasti. Ia mungkin pria berwajah Janus. Konon, dibawah Sir Boby dan van Gaal, dia adalah pria hangat yang sangat dekat dengan para pemain. Pada periode itu sopan, patuh, rendah hati dan sangat cerdas—tentu saja ia begitu—adalah citranya yang melekat. Namun, di sisi lain, dia adalah pencoleng yang hanya berani mencolok mata pria lain dari belakang. Seorang sarkas dan sinis serta selalu ingin menang dengan pelatih lawan, tidak hanya dilapangan, namun sekaligus di hadapan wartawan. Ia pria yang menangani remaja seperti Canales dan Pedro Leon dengan cara yang buruk. Tidak hanya hebat dalam menggunakan pikiran cerdas dan kata-kata, ia juga menyuruh para pemainnya berpura-pura untuk mendapat kartu kuning dengan sengaja.

Namun, tidak seperti classico edisi musim lalu, atmosfer menjelang tengah malam di Barnabeu tampak lebih dingin. Tidak ada perang kata-kata di media. Tidak ada jual beli ucapan sebelum pertandingan. Mou bersikap kalem, sedikit acuh dan menyerahkan mikropon kepada Karanka. Itu Mou jenis yang lain, berbeda dengan orang yang 4 bulan lalu menolak meminta maaf atas kepengecutannya secara terbuka.

Saya berprasangka ini bagian dari taktik. Bagian dari kisah lain Mou yang cerdik.

*****

Mou telah memenangkan sebuah pertempuran yang keras dengan Valdano, berhasil memutar moralitas dan nilai-nilai Madrid, merebut kendali Valdebabas, dan merevolusi struktur kekuasaan Madrid. Ia telah memberi suatu visi Madrid yang lain—Madrid yang hebat namun terobsesi dengan apa yang diraih Barca. Dan ia berhasil membawa publik Madrid menuju arah yang ia tunjuk. Dengan cara apapun. Dengan resiko apapun. Bahkan jika gaya itu mengkhianati prinsip klub itu sendiri. Tanpa pesaing dari dalam dan dengan pelukan hangat dan dukungan penuh dari el-presidente, jalan menuju Madrid versi Mou terbentang lapang.

Tidak ada jalan balik untuk kembali. Obsesi mengalahkan Barca dan merebut La Decima telah menentukan takdir Madrid bertemu dengan ambisi pria Portugal itu. Mourinho bergabung dengan Madrid untuk sebuah rahasia yang semua orang tahu: Madrid menginginkan Mou, dan begitu pula sebaliknya. Mou ingin menjadi orang pertama yang mencium telinga lebar untuk kali ketiga, sementara Madrid berhasrat menggenapi rekor juara untuk kesepuluh kali. Tanpa trofi utama, empat tahun terakhir adalah periode gelap penuh derita bagi Madridista yang harus menyaksikan Barca mampu menciptakan mesin permainan yang akan dikenang sebagai salah satu terbaik dalam sejarah. Perez melihat dalam diri Mourinho, satu-satunya harapan yang mampu menghentikan dominansi lagu-lagu kemenangan dari Catalunia, seorang istimewa yang akan memutar roda sejarah sepakbola dari tepian barat Mediterania.

Dan ia mulai membuktikan janjinya. Ia membuat kakek-kakek di Madrid bernostalgia dengan kegemilangan kembali el Grande Madrid masa Paco Gento, Puskas dan di Stefano. Dengan menang 15 kali tanpa putus, 10 diantaranya di La Liga, dengan selisih gol 57-9, Ia tidak perlu membuktikan apapun lagi. Ia tidak perlu pena wartawan untuk menyambungkan gagasannya ke pada publik. Dia sudah membuat Madrid berada di level yang dipunya Barca. Zizou bahkan memuji, Mou telah melampaui Barca.

Sikap kalemnya bisa bermakna ganda. Sikap itu boleh jadi sebagai cangkang untuk melindungi dari kritik. Dia memilih untuk tidak menyulut api, agar tidak terbakar. Anda tahu maksud saya bukan: dia memilih untuk tidak kontroversial agar tidak menjadi pusat perhatian. Kalau kalah, dia terhindar dari kritikan dan sasaran tembak. Ia tidak berusaha membawa euforia ke dalam classico, karena jika jika kalah, akan berbalik arah dan membunuh reputasinya.

Sebaliknya, sikap kalem akan memberikan keuntungan kuadrat jika Madrid memenangkannya. Kalau menang, sikap diamnya adalah bentuk jumawa bahkan sebelum memulainya. Setara dengan ‘peribahasa pukul utara kena selatan’, dengan diam ia hendak mengatakan, ‘saya tidak perlu berkoar-koar untuk menang’. Kalem dan tenang, yang cerdik dipilih oleh orang jenius yang ekstrovert, adalah senjata yang bisa membungkam kritik jika menang, dan menyelamatkan diri jika kalah.

Namun, ternyata, tidak sesederhana yang saya kira.

Mou di Madrid

The Guardian menulis kisah Mou dari versi yang lain. Di akhir September, setelah hanya bermain seri di Santander, dia marah besar diruang ganti. Alih-alih mendapatkan rasa takut dan mampu menekan, dia mendapatkan perlawanan cukup kuat dari anak buahnya. Beberapa pemain pulang tanpa menyapanya. Beberapa membocorkan ke media massa. Pemberontakan kecil pasukan loyalnya, yang tak terdengar pernah dialaminya, telah melukainya.

Seringkali ia dimitoskan sangat melindungi para pemainnya, mengambil alih tekanan beban ke pundaknya, bersiap menghadapi cercaan, namun ternyata publik dan pemain Madrid tahu sebuah kenyataan: terkadang ia bisa menyalahkan para pemainnya dan tidak memaafkannya. Gejala ini terlihat dari hilangnya suasana hangat yang menjadi ciri dari gaya kepelatihannya sepanjang Oktober—setidaknya yang terlihat di siaran televisi. Setiap kali mengganti pemain, dia jarang mendapat tatapan mata bersahabat dan jabat tangan erat. Dia lebih banyak duduk manis disamping Karanka, dibalik atap bangku cadangan, dengan tempiasan lampu stadion yang menyinari separuh wajahnya.

Tentu saja, tekanan dari publik Madrid dan media turut menentukan langkah selanjutnya. Setelah kecamuk di kantor klub, colekan ke mata Vilanova, dan strategi brutal untuk menghentikan laju Messi atau Iniesta, kritik bermain seperti ‘kucing’ dari Di Stefano dan kenyamanan kekuasaaan telah membuat Mou memilih bersikap untuk tidak arogan.

Mourinho mengenali masalah dan beraksi. Lalu, terjadilah penyesuaian-demi penyesuaian. Jamuan makan malam bersama dengan daging bakar direncanakan, diatur dengan teliti, dan disiarkan media massa, sebagai cara untuk mencitrakan tim masih sebagai sebuah kesatuan. Kendati sikutan dan terjangan untuk pemain-pemain Barca masih direstui, cara Mourinho menghadapi tekanan tidak seperti menangani perang—baik secara publik maupun personal. Para pemain diberi lebih banyak kesempatan bersuara. Mereka diberi ijin mengeluarkan komentar terbuka setelah latihan atau pertandingan.

Selepas final Super Copa, Mourinho, tampak telah berubah. Dia tidak lagi memainkan strategi provokasi. Mungkin hasil-hasil yang memuaskan—serentetan kemenangan, marjin gol yang menakjubkan, dan rekor-rekor yang terpecahkan—telah menjadikannya menjadi sosok yang bisa menerima keadaan. Mourinho tampak lebih santai. Seorang pemain Madrid mengakui adanya perubahan. ‘Iklim tampak lebih sejuk dan tenang, ‘ kata Ramos, ‘Ini akan sangat membantu meningkatkan keyakinan’.

Suasana sejuk dan adem di ruang ganti ternyata jauh lebih menjanjikan kemenangan dari pada motivasi yang berapi-api atau caci maki tak terkendali. Madrid, sepertinya tampak lebih matang dan bijak. Tapi mungkin ini evolusi yang alamiah. Dari Rob Hughes hingga Valdano, dari Roberto Carlos sampai Ronaldo Nazario, melihat gejala pendewasaan para bintang egois ditangan pria dari Setubal itu. Madrid dianggap tim yang mulai terbentuk, mapan dan lebih baik. Semuanya tampak terpadu dan tidak ada lagi pertempuran di luar lapangan diantara mereka sendiri. Lini belakang lebih stabil. Ramos mampu menambal lubang yang ditinggal Carvalho yang cedera. Ruang tengah cukup nyaman dengan kombinasi Alonso dan Diara atau Khedira, dan mereka mulai fokus untuk rencana-rencana penyerangan, taktik-taktik yang lebih variatif, dan pola-pola yang kreatif.

Setelah kekalahan dari Levante, mantra ajaib Mou menemukan berkahnya: musim kedua lebih baik, dan pendukung boleh berharap dia akan memberikan piala. Ini belum menjelaskan dimana letak perbedaan posisinya sebab Capello dan Schuster pernah lebih baik melakukannya di musim pertamanya. Yang istimewa, Mou mendapatkan kesempatan yang jauh lebih lama—tidak ada pelatih yang mendapat musim kedua di masa Perez. Lebih dari itu, Mou mendapatkan otoritas yang jauh lebih besar—sesuatu yang memang diincarnya. Dia, bahkan, seperti burung merak, dipersilahkan memamerkan bulu-bulu indahnya di istana sepakbola. Tidak ada pelatih yang namanya dinyanyikan di Barnebeu seperti dia—bahkan tidak juga del Bosque.

Seluruh kritik terhadapnya sepertinya salah, dan dia menawarkan kebenaran yang mudah untuk dipercaya. Seluruh dunia yakin dan sependapat, di tahun keduanya, Mou akan melukai Barcelona. Tidak dengan kata-kata. Tidak dengan strategi menjijikkan. Tidak dengan permainan bertahan. Tapi dengan permainan menyerang yang mengesankan. Setidaknya itulah yang diharapkan dua tetangga kamar saya.

Tapi itu semua tidak cukup. Sekali lagi, harapan yang membumbung tinggi itu, patah dan jatuh berkeping-keping ke bumi. Sehingganya saya segera mengingat Mou dan lagu Hetty Koes Endang sekaligus: janji tinggal janji.

Mou Sebagai Pelatih

Dalam classico ke 7 di musim kedua bersama Mou, Madrid bermain terbuka, menekan, dan berusaha menguasai bola. Pertama kalinya sejak dikalahkan secara memalukan dengan angka lima, Mou hanya menggunakan 2 gelandang bertahan dan tiga lainnya berorientasi menyerang. De Maria bermain menjanjikan dengan berani menusuk ke rusuk sebelah kiri. Unggul cepat 1-0 membuat mereka semakin percaya diri.

Namun, sepertinya, gol hadiah dari Valdes itu justru titik baliknya. Unggul cepat belum ada dalam imajinasi pemain Madrid. Gol datang jauh lebih cepat dari rencana-rencana yang telah disusun rapi. Mungkin karena ditempa oleh sedertan kekalahan memalukan, para pemain Madrid justru terlihat kebingungan, justru pada saat meraih rejeki tiban. Sejak menit kedua, tim itu bukanlah Madrid-nya Mou. Tidak ada pressing ketat, disiplin, determinasi, dan permainan physical yang dinamai oleh pelatih Sporting Gijon, Manuel Preciado sebagai ‘bestiality’—alias kebinatangan. Para pemain Madrid lebih santai dan lebih banyak menciptakan ruang, dan disanalah bunuh diri telah dimulai.

Tepat disinilah saya akan menunjukkan dan menemukan alasan untuk tidak menyukai Mourinho (kecuali mungkin jika visinya mampu menginsiprasi pelatih Indonesia mendapatkan gelar juara). Saya berani bertengkar dengan siapa saja untuk mengatakan, tanpa mengurangi rasa hormat atas segala kepintaran dan kecerdikannya, Mourinho bukanlah pelatih terbaik didunia—bahkan di masa kontemporer.

Saya pikir, dia tidak memiliki gagasan yang brilian terhadap permainan indah ini selain memburu piala dan kemenangan. Dia tidak menawarkan apa-apa terhadap sepakbola dan tidak memberi nilai tambah dari sisi evolusi taktik dan gaya sepakbola. Etos dan eros terbesar Mou adalah pragmatisme. Tidak lebih, tidak kurang. Apapun akan ia lakukan untuk menang.

Pendekatan taktik Mourinho tidak pernah baru, begitu dibilang Andy Roxburgh, dan saya setuju. Ia tidak pernah merevolusi—atau katakanlah menciptakan suatu tradisi—untuk permainan ini. Ciri terbaik yang bisa dirujuk dari gaya kepelatihanya adalah kedalaman informasi dan persiapan yang rinci. Latihan-latihan yang ia berikan adalah pengulangan tanpa henti pola-pola tertentu sehingga memaksa pemainnya akan bekerja seperti mesin pencetak biskuit: presisi, otomatis, akurat, tanpa kesalahan. Sesi-sesi latihan taktiknya pendek, intens dan terdiri dari gerakan-gerakan yang mengandaikan para pemain kehilangan bola.

Sewaktu kursus di Glasgow dimasa mudanya, dia dikenal sebagai orang yang terobsesi dengan transisi dan keseimbangan. Untuk mengatasi obsesinya ini, ia melihat sepakbola sebagai hitungan matematis. Langkah pemain diukur, umpan dikalkulasi, pergerakan tanpa bola disistematisasi, dan setiap menit pertandingan adalah hitung-hitungan untung rugi.

Jika Mourinho melihat sepakbola sebagai sains, maka Maestro sepakbola melihat sepakbola sebagai puisi. Ia tidak berada di level yang sama dengan Rinus Michels, Cruijff, Sacchi, Tele Santana, Heleno Herrera, Wenger dan Guardiola (untuk menyebut beberapa nama) yang yakin dengan imajinasi dan fantasi terhadap sepakbola. Mou tidak pernah memiliki gagasan tertentu terhadap pola menyerang atau bertahan dalam permainan ini dan berusaha mewujudkannya. Ia tidak punya banyak imajinasi bagaimana memainkan bola sama indahnya dengan Picasso menggunakan kuasnya. Ia bukanlah maestro.

Itu menjelaskan kenapa ia jauh lebih cocok dan sukses di Porto, Chelsea atau Intermilan. Ia lebih brilian membangun pertahanan dan cerdas menangkal serangan lawan dari pada menciptakan tim yang merancang pola serangan. Sisi terbaiknya jauh lebih mudah dikenali dari caranya mengantisipasi strategi lawan. Etos kerjanya adalah respon defensif terhadap inisiatif lawan. Seperti pendekar yang terobsesi membunuh lawan dengan mengurai kelemahan, Ia tidak pernah memulai serangan.

Tentu saja dia sangat brilian. Ia mampu mendefinisikan ulang etos kerja kepelatihan dalam sepakbola kontemporer. Saya sepakat dengan Ronaldo yang mengatakan bahwa Mou adalah yang terbaik dalam menganalisa kelemahan dan kelebihan lawan. Laporannya, kata van Gaal, selalu kelas satu. Ia bekerja sangat keras dan rinci. Pekerjaannya selalu menuntut kesempurnaan setiap hari.

Yang jauh lebih penting: dia adalah boss yang hebat. Ia mampu menciptakan tim yang bekerja untuknya. Yang penting baginya adalah keabadian dan kejayaan dirinya. Dia tidak perduli dengan permainan indah, penguasaan bola, permainan menyerang, atau gol-gol brilian. Saya tidak pernah mendengar atau melihat dia memberi selamat buat apa yang diciptakan Messi. Baginya gol adalah gol. Menang adalah menang. Satu gol sama nilainya dengan 5 atau 6 gol dalam pertandingan.

Kemampuan terbaiknya adalah mengorganisasikan sekelompok orang untuk meraih apa yang ia inginkan. Menggiring, mengumpan, mencetak gol, adalah alat untuk meraihnya. Jika ada cara lain, misalnya, dengan memperalat media massa, memprovokasi wasit, atau mengintimidasi mental pemain lawan, dia akan menggunakannya. Ia bisa memotivasi para pemainnya untuk siap mati di lapangan untuk tujuan yang telah ia tetapkan. Ia mampu memaksa Etoo bermain menjadi bek kiri, atau Pandev menjadi gelandang bertahan.

Dengan memuja kemenangan, ia agak kurang perduli dengan aspek permainan itu sendiri.‘Sejarah kemenangan sepakbola’, ujarnya sewaktu di Chelsea, ‘adalah akumulasi kesalahan demi kesalahan’. Dia bisa memaklumi peluang yang gagal, tetapi tidak bisa berdamai dengan dengan salah umpan atau posisi yang keliru. Untuk meminimalkan kesalahan, dia memerintahkan riset, membuat catatan, dan penggunaan statistik.

Bagi saya, untuk memburu kemenangan, dia melupakan aspek dasar sepakbola: permainan. Istilah permainan berada dekat dengan filosofi bermain-main. Sementara Mou tidak mau ada perasaan kekanak-kanakan dalam sepakbola. Ia terlalu serius dan sungguh-sungguh terhadap permainan ini. Tim-tim yang dilatihnya memiliki determinasi yang tinggi. Mereka sangat jarang tersenyum—kecuali setelah menang atau mencetak gol. Saya teringat makiannya kepada Lucio yang, sebagai orang Brazil, sesekali juga ingin naik ke depan, meninggalkan pertahanan dan menguji imajinasinya untuk menciptakan peluang.

Dia menggunakan akal sehat dan kalkulus, tapi agaknya, tidak menggunakan imajinasi. Saya berani mengatakan begini karena dia tidak pernah bisa menangani pemain-pemain bertalenta tinggi. Balotelli, Santon, Canales adalah jenis-jenis pemain yang hidup dengan imajinasi. Selain masalah cedera, skema Mou tidak pernah berhasil menyediakan panggung bagi Kaka untuk bermain sebagai fantasista. Ozil terlihat lebih kreatif, anehnya lebih menjadi seniman, ditangan Loew dan tim Jerman. Mungkin, dia hanya berhasil memberi skema bagi Sneijder untuk menjadi jantungnya Inter. Tapi dalam karirnya yang berkilauan, dia lebih cocok bekerja dengan pemain-pemain seperti Lampard, Maniche, atau Carlos Alberto atau Cambiasso.

Seperti yang diutarakannya sendiri, ia lebih menyukai pemain matang yang tidak lagi bertanya soal taktik dan strategi. Ia tidak punya waktu untuk mendampingi anak-anak muda yang membutuhkan panutan. Pilihan ini cocok dengan cita rasanya untuk memburu kesuksesan di waktu yang pendek. Saya tidak yakin ia bisa bertahan di sebuah tim dalam waktu yang lama, membentuk suatu gaya permainan tersendiri, dan tumbuh bersama pemain muda yang penuh ambisi. Ia membutuhkan pemain matang yang bisa ia kendalikan untuk mencapai ambisinya sebagai pemenang.

Pernyataan saya tentu saja mudah untuk dibantah pengagumnya. Justru karena bekerja dengan pemain-pemain yang tanpa imajinasi dan biasa-biasa saja, terlihat disitulah kehebatannya. Setelah meninggalkan kota Milan, terlihat bahwa dialah yang spesial di bagi Inter dan terutama Moratti. Dia mampu membentuk tim yang terdiri dari pemain-pemain medioker—Darlei, Alanitchev, Pandev, Milito, Carlos Alberto—untuk bersinar dan mencium piala Champion. Pelatih-pelatih lain tidak mampu melakukan hal yang sama terhadap pemain-pemain semenjana itu. Dia mampu menggali hasrat kompetitif dari setiap pemainnya. Dia bisa membentuk tim yang berasal dari pemain semenjana.Hanya Mou dan hanya Mou yang mampu melakukannya.

Konon, didunia ini ada dua tipe pelatih: kuat dan lemah. Dalam sejarah sepakbola kontemporer, Mourinho memberi definisi tentang bagaimana seorang pelatih kuat. Jorge Valdano mengakuinya. Maniche, dengan nyaris memujanya, menyebut Mou sebagai ‘penjaga, tukang kebun, dan nakhoda’ sekaligus—betapa tiga kombinasi karakter yang menggambarkan kekuasaan dan keberanian, jiwa perawat, dan visioner

Mourinho selalu memulai dengan menyalakan api. Pendekatannya terhadap pertandingan seperti memimpin satu barekade pasukan menuju medan peperangan. Setiap konverensi pers adalah penjelasan strategi dan taktiknya. Pada saat orang bertanya, dimana nilai-nilai señorĂ­o—sikap jantan, jentelmen—menguap setelah Mourinho datang? ‘Siapa peduli,’ ‘Mourinho menjawabnya, ‘kami ingin menang’.

Dari sikap Maverick-nya, Mou mendapatkan respek dan rasa hormat. Respek bisa berasal dari dua hal: rasa takut dan persehabatan. Mou mendapatkannya, hampir dari semua bekas pemainnya. Materazzi menangis untuknya secara terbuka. Lampard dan Terry masih menelponnya secara teratur. De Boer menyebut Mou bisa hangat terhadap seluruh pemain-pemain Barca di masanya. Namun orang yang sama bisa menyebut Balotelli sebagai pemalas dan berjanji tidak akan memasangnya selama dia di Inter. Ia juga bisa membunuh harapan dan karir Pedro Leon secara terbuka.

Respek biasa didapatkan dari kombinasi tangan besi dan kehangatan persahabatan. Ia adalah—seperti yang secara sinis dikatakan Rob Hughes—pemburu kemenangan demi glorifikasi dirinya sendiri. Para pemain sangat penting sejauh memberi kemenangan untuk dirinya. Ia mewakili gejolak hati para penonton. Sebagai simbol dari sikap yang menempatkan kemenangan sebagai satu-satunya kebajikan. Pendapatnya saat menyelamati Levante sangat menggambarkan imannya pada sepakbola. Dia mengatakan, ‘Levante tahu cara terbaik mendapatkan kemenangan. Mereka berpura-pura, memprovokasi wasit, dan memerintah anak gawang melemparkan bola ke dalam lapangan untuk mengulur waktu. Jika saya, pelatihnya, saya juga akan melakukan hal yang sama’.

Dari sini kita tahu, kenapa ia dicintai oleh banyak orang: dia adalah simbol dari hasrat untuk menang. Dia tidak peduli main indah atau bermain cantik. ‘Biarkan Barca mendapat dan menguasai bola,’ sinismenya yang terkenal, ‘saya memilih menguasai piala. Ukuran dan standarnya sebagai pelatih adalah Piala. Seperti Napolean yang menaklukan Eropa, ia menang di Portugal, Inggris, Italia, dan berusaha menancapkan benderanya di Andalusia.

Mou dilahirkan sebagai seorang juara. Tapi bukan pembaharu sepakbola.

Mou di Konferensi Pers (Setelah Classico)

Jika anda membaca tulisan-tulisan sebelumnya, saya telah mengatakan Mou tidak cocok untuk melatih tim-tim seperti Milan, Madrid, atau Barcelona. Juga Arsenal pasca paruh 1990an. Rumahnya bukan di katedral-katedral seni sepakbola. Seperti Dunga dengan Brazil, filosofinya tentang sepakbola sangat berbeda dengan timnya. Madrid terlalu besar untuk taktik pragmatismenya. Mou tidak cocok dengan identitas dan filosofi convencer y convencer. Dan Madrid tidak cocok dengan filosofi pragmatisme ala Mourinho.

Mungkin ada semacam harapan, Madrid akan mengubah perilakunya, atau juga sebaliknya, Mou yang akan mendefinisikan ulang bagaimana Madrid memandang sepakbola. Schuster juara pada musim pertamanya. Begitu pula Capello, pria terakhir yang mampu mengalahkan Barca di classico. Mou mendapat gelar Copa dengan permainan yang hanya pantas dilakukan oleh Stoke City atau Levante. Dan lihatlah yang terjadi: Madrid memilih menjadi simbol klub.

Banyak orang berharap, dan yakin, di tangan Mou, Madrid akan mengatasi sikap rendah dirinya dihadapan Barca. Sampai kemudian, 90 menit kemarin mengatakan sebaliknya. Inferioritas itu menggejala dimana-mana: kaki-kaki Ronaldo yang gemetar, otak kreatif Ozil yang tidak berfungsi, dan gugupnya Marcelo setiap menghadapi Messi. Barca bermain dengan keberanian dan meyakini sepakbola yang mereka inginkan. Sementara respon Madrid selalu defensif. Itu menggambarkan mentalitas Madrid versi Mourinho.

Menjelang hingga usai classico Minggu itu, saya tidak melihat Mou yang biasa (dan mungkin sebenarnya). Namun, setelah kalah, karakter aslinya muncul di media. Tidak ada kartu merah. Tidak ada penalti kontroversial. Tidak ada pertikaian soal keputusan wasit di media massa. Tidak ada tayangan ulang untuk melihat sejumlah kesalahan yang merugikan timnya. Di saat ia kehilangan sejumlah alasan yang sering dipakai, dilebih-lebihkannya untuk melindungi dari rasa sakit akibat kekalahan, ia masih menolak untuk mengakui kehebatan lawannya.

Ia lebih menyalahkan keberuntungan. Seperti seorang religius yang mengaku eksistensialis, jika semua tidak bisa disalahkan, apalagi yang bisa digugat kalau bukan nasib dan Tuhan? Saya sendiri tidak mengerti kenapa dia tidak pernah memberi respek kepada Barca, yang bertarung dengan gagah berani, mampu mengatasi rasa takut di Barnebeu, dan cepat pulih setelah blunder yang fatal itu. Sebaliknya, ia menipu dirinya sendiri dengan mengatakan timnya tidak merasa inferior dalam pertandingan itu. Dia bahkan sangat percaya diri dan berani melawan ratusan juta mata orang pemirsa dengan mengatakan, melihat tidak ada tim yang lebih baik dalam pertandingan itu.

Itu adalah sikap-sikap yang sangat Mou. Ia mencari alasan-alasan diluar pertandingan. Mengalihkan kenyataan dengan mencuatkan isu-isu yang tidak relevan—komentar ambigu tentang Messi yang harus terkena kartu merah. Baginya tidak ada alasan Madrid untuk kalah, selain keberuntungan. Mungkin sikap seperti inilah yang dibutuhkan publik Madrid untuk mengalihkan rasa sakit setelah melihat Barca terus berevolusi menjadi salah satu yang terbaik dalam sejarah.

Sikapnya yang berganti-ganti sebelum dan sesudan classico menunjukkan adanya sedikit kegelisahan dari seseoarang yang datang ke Madrid dengan kepercayaan diri. Setelah melihatnya linglung di lapangan dan bagaimana bereaksi di hadapan wartawan, saya lantas berpikir, pertanyaan tentang kenapa dan kenapa yang sering ia berikan secara berulang, lebih pantas ditujukan untuk dirinya sendiri. Por qué Mou? por qué Mou?

Related Posts:

Peringatan Saya: (Iklan) Rokok Bisa Menimbulkan Masyarakat yang Sehat, Bahagia, dan Penuh Harapan!



Oleh Mahfud Ikhwan


Kegagapan Ophan Lamara

Ophan Lamara tergagap saat mengawali siaran langsung Indonesia Super League (ISL) musim ini. “Mitra olahraga ANTV, kita berjumpa lagi dalam siaran langsung Dja... Indonesia Super League musim 2011-2012....” Presenter sepakbola senior ANTV itu jelas tak terbiasa dengan hilangnya kata “Djarum” di depan frasa “Indonesia Super League” yang bertahun-tahun diucapkannya. Namun, lebih dari itu, ketergagapan itu jelas menegaskan sebuah rasa kehilangan.

Tak berbeda dengan saya. (Kenapa? Nanti kita akan tahu alasannya.)

Iklan rokok, sejauh perhatian saya, sebenarnya sudah tak menampakkan diri di sepakbola Indonesia saat ISL musim 2010-2011 masuk sepertiga akhir. Bertepatan dengan bergulirnya Liga Prima Indonesia (LPI), dan menguatnya tuntutan mundur kepada Nurdin Halid, slot iklan utama siaran langsung ISL di ANTV yang biasanya diiisi Djarum diambil alih Dua Kelinci.

Saya tak tahu betul alasannya—sejauh ini saya tak menemukan informasi yang cukup jelas soal itu. Tapi patut diduga, Djarum hendak menjaga jarak dengan rejim sepakbola Indonesia yang tinggal tunggu waktu saja jatuhnya. Jelas, itu langkah yang bisa dimaklumi. Lagi pula, seperti yang pernah saya baca, kubu baru yang tampak akan menguasai sepakbola Indonesia, jelas-jelas mengatakan kalau mereka akan membuat kompetisi sepakbola yang bebas iklan rokok. Karena itu, saya tak akan heran jika Djarum menghilang dari kompetisi musim berikutnya.

Melihat gelagat yang muncul, yaitu dengan menggandeng Real Madrid dan mendatangkan Luis Figo, juga dengan muncul di slot iklan utama pada pengujung ISL musim lalu, kuat dugaan saya kalau Dua Kelinci yang akan menjadi penyangga utama kompetisi musim berikutnya. Tapi saya salah besar. Sebab yang muncul justru adalah dua bajingan.

Ya, dua bajingan. Dan bukannya menyangga kompetisi, mereka malah merobohkannya.

Saya dan Iklan Rokok

Saya tidak merokok. Saya bahkan membenci perokok. Masa kecil dan remaja saya banyak diwarnai pengalaman-pengalaman tak enak dengan perokok. Ibu yang mengomel karena anggaran belanja rokok Bapak yang tak pernah susut, orang-orang dewasa yang semena-mena menyuruh membelikan rokok, juga kelabilan (yang menyebalkan) teman-teman seusia yang ikut menyedot tembakau cuma karena orang dewasa melakukannya, adalah beberapa contoh saja. Lebih jauh lagi, saya bahkan sepakat dengan seorang teman yang mengatakan kalau perokok biasanya jorok: mereka akan menaruh abu rokok di semua tempat yang tampak menganga, kecuali mulut mereka sendiri.

Tapi, ketidaksukaan itu tak berlaku untuk iklan rokok. Saya malah punya banyak kenangan bagus tentangnya.

Misalnya, saat PLN belum masuk ke desa saya, televisi masih hitam-putih, dan televisi swasta baru dikenal, kami semua berdebat soal iklan Mustang. Iklan itu, kalau tak salah ingat, menggambarkan kuda berlari dan seorang pria macho yang memacu motor besarnya. Di sebuah tubir jurang, keduanya berhenti. Si kuda menegar dan meringkik, sementar si pria turun dari motor dan melepas helmnya. Lalu, gambar fade-out dan ditutup dengan tulisan “MUSTANG”. Karena iklan ini tak jelas apa tawarannya (tak seperti iklan sabun atau permen), juga karena warna televisi yang hitam-putih, kami semua hanya bisa menerka-nerka produk apa yang ditawarkannya. Ada yang bilang ini iklan kuda. Ada juga yang kukuh kalau Mustang adalah merk helm. Tapi pendapat terbesar, saya termasuk di dalamnya, ini adalah iklan motor. (Jadi, jangan heran jika sampai saat ini masih ada orang di tempat saya yang memetonimikan sepeda motor besar dengan motor mustang.) Setelah jadi masalah yang berlarut-larut, dan sempat diwarnai dengan beberapa percekcokan antara kubu kuda, sepada motor, atau helm, ketegangan baru mereda ketika pada suatu hari seorang sales rokok masuk ke desa dan memperkenalkan sebuah rokok baru bermerek Mustang.

Itu berkait dengan kenangan. Berkait dengan cita rasa tontonan, saya banyak punya pembelaan terhadap iklan rokok. Saya merasa tak punya kapasitas untuk menjelaskannya, namun secara singkat bisa saya katakan, dalam riwayat perjumpaan saya dengan televisi, beberapa iklan rokok adalah perjumpaan yang mengesankan. Kreativitas, kecerdasan, humor, dan pelajaran sangat awal tentang semiotika, adalah beberapa alasan saja. Kecemerlangan serial iklan “How Low Can You Go”-nya A Mild, kemegahan iklan Bentoel Biru seri “I love blue from Indonesia”, kelucuan tak terlupakan iklan-iklan Long Beach, dan belakangan seri jin jawa-nya Djarum 76, adalah sedikit contohnya.

Tapi berkait dengan sepakbola, saya bahkan berani berkelahi dengan siapa pun soal iklan rokok. (Dengan teman sealiran yang sepakat dengan Majelis Tarjih atau Masyarakat Anti-Tembakau Indonesia, ayo. Dengan teman beda aliran yang memuja rokok dan membenci sepakbola, boleh juga.) Saya akan mengeluarkan segala daya-upaya untuk membelanya. Demi iklan rokok, saya siap bertukar argumen dengan para pembenci rokok, pembenci perokok (yang lain), pembenci iklan rokok, dan terutama pembenci iklan rokok sekaligus sepakbola.

Iklan Rokok, Sepakbola, dan Masyarakat yang Sehat, Bahagia, dan Penuh Harapan

Oke.., saya bercanda soal berkelahi itu. Tapi saya serius soal bertukar argumen.

Jika pihak-pihak yang berpikiran sederhana (ciri-cirinya: lurus ke depan, positivistik, merasa harus menyelamatkan manusia dari kepunahan tapi sekaligus juga khawatir dengan meledaknya populasi bumi) berpendapat bahwa iklan rokok bisa meningkatkan jumlah perokok dan dengan begitu meningkatkan risiko terjadinya “kanker, serangan jantung, gangguan kehamilan dan janin”, seperti yang tertera pada basa-basi pemerintah di setiap bungkus rokok, maka dengan pikiran sederhana pula saya bisa mengemukakan hal sebaliknya. Menurut saya, berkait dengan sepakbola, iklan rokok—baik langsung maupun tak langsung—justru bisa meningkatkan kesehatan masyarakat, timbulnya kegembiraan dan kebahagiaan, dan naiknya harapan hidup.

Begini penjelasannya.

/1/ Dalam waktu puluhan tahun, iklan rokok sangat identik dengan sepakbola, baik bagi berputarnya kompetisi di tanah air maupun siaran langsung di televisi. Dana perusahaan rokok memutar roda kompetisi dan memungkinkan televisi menayangkannya siaran sepakbola dunia di televisi yang harganya ratusan milyar. Orang yang sinis dengan sepakbola sekaligus pembenci rokok tentu akan dengan gampang menunjuk bahwa ujung dari semua itu adalah meningkatnya anarkisme massa, tawuran antarsuporter, munculnya jutaan penggemar sepakbola yang begadang di akhir pekan yang kebanyakan merokok dan—biasanya—nganggur di Senin pagi. Itu fakta yang harus diakui. Namun, mari kita lihat ke sisi lain, saat pagi dan sore, jutaan bocah Indonesia, dari SSB paling mewah hingga mereka yang main di lapangan setengah sawah, yang bergegas mengayun langkah, dengan bola di ujung kakinya, dengan bayangan wajah Messi, Rooney, Ronaldo, atau Okto Maniani dan Andik Vermansyah di pikirannya. Coba terka, apakah mereka melakukan itu karena anjuran Menkes, IDI, atau YLKI? Tidak. Mereka melakukan itu karena mereka menonton Okto dan Andik di stadion dan melihat Messi, Rooney atau Ronaldo di televisi. Dan, itu semua karena iklan rokok. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, bocah-bocah itu pasti lebih sehat dari para penganjur larangan merokok paling gigih sekalipun. Koreksi jika saya salah.

/2/ Seorang teman yang tak suka sepakbola mengatakan kalau sepakbola adalah bentuk manipulasi kapitalisme atas massa. Euforia, rasa gembira, dan bahagia yang diciptakan sepakbola membuat massa lupa bahwa mereka tertindas dan hak mereka dirampas, begitu kira-kira penjelasan lebih lanjutnya. Saya tak membantahnya. Jika pun perkataannya benar, saya pun tak keberatan. Kita hidup dalam kepungan manipulasi bukan? Jadi, kalau itu ditambah satu, apa bedanya? Menurut saya, manipulasi kapitalisme berupa sepakbola—jika dibandingkan jenis-jenis manipulasi kapitalisme dalam bentuk lain macam demokrasi, penegakan HAM, kebebasan pers, isu kesehatan, dan terutama agama—adalah manipulasi terbaik yang terjadi di Indonesia. Tak seperti manupulasi-manipulasi lain yang saya sebut tadi, rasa senang dan bahagia yang ditimbulkan oleh sepakbola tidak didirikan di atas sejenis moralitas, tidak dibangun dengan mengatasnamakan kebenaran. Itulah kenapa sepakbola jadi terasa lebih menyenangkan dan membahagiakan. Dan harus ditegaskan, kesenangan dan kebahagiaan yang sering gagal dipenuhi oleh dogma-dogma agama itu dipersembahkan oleh iklan rokok.

/3/ Bagi saya pribadi—bisa jadi juga bagi jutaan penggemar sepakbola di Indonesia lainnya—iklan rokok menandai masih adanya secercah harapan. Selama masih melihat kelebatan iklan Super Soccer (milik Djarum) atau Intersport (Gudang Garam) di televisi, itu artinya puluhan juta rakyat Indonesia masih bisa berharap bahwa di akhir pekan nanti akan ada siaran langsung sepakbola liga-liga Eropa. Dan selama di akhir pekan masih ada sepakbola, saya tak punya cukup alasan untuk bunuh diri—meskipun sepanjang pagi saya menyimak Gloomy Sunday-nya Rezso Seress ratusan kali. Tanpa mengesampingkan pemain yang meninggal di lapangan, suporter yang tewas saat tawuran, atau penonton sepakbola yang jantungan karena Indonesia kalah sama Malaysia, bandingkan dengan apa yang bisa dilakukan oleh Pidato Tahunan Presiden, laporan kenaikan pertumbuhan ekonomi Menko Perekonomian, produk undang-undang bikinan DPR, atau hasil kerja KPK.

Liga Majelis Tarjih

Saya tak merokok. Saya bahkan membenci perokok. Tapi, saya peduli dengan keberlangsungan munculnya iklan rokok, sebab itu—sejauh ini—hampir pasti berkaitan dengan keberlangsungan sepakbola di Indonesia.

Jika Pemerintah, IDI, YLKI, WHO, atau siapa pun yang ingin mencegah meningkatkan angka perokok, saya sarankan mereka menghubungi Majelis Tarjih Muhammadiyah saja. Itu pasti lebih ampuh. Minta pihak yang mengeluarkan fatwa haram rokok itu untuk memfatwakan dogma anti-taqlid (ikut tanpa tahu alasannya) pada tingkat paling praktis. Menurut pengalaman saya, seorang remaja yang mulai merokok bukan karena ia tergoda oleh iklan rokok, tapi karena dia meniru (taqlid) orang-orang dewasa yang merokok. Jadi, selain kaum muslimin yang dianggap ikut-ikutan amalan para ulama kuno, para remaja yang ikut-ikutan merokok orang dewasa tanpa tahu tahu apa alasannya, seharusnya juga jadi lahan garap Muhammadiyah.

Atau, begini saja. Biar orang macam saya tak lagi cerewet soal iklan rokok, bagaimana kalau WHO atau Majelis Tarjih menjadi sponsor sepakbola? Tampaknya akan terdengar keren seandainya mendengar Ophan Lamara menyapa, “Mitra olahraga ANTV, kita berjumpa lagi dengan siaran langsung Liga Majelis Tarjih musim 2013-2014. Bravo sepakbola!”

Related Posts:

Seandainya Saya Fans City (2)

Oleh Mahfud Ikhwan


City, pasca-kucuran dana pangeran Arab itu, seperti bocah imbisil yang secara misterius mendapatkan kekuatan super. Ia yang sebelumnya berdiri saja hoyong tiba-tiba bisa terbang dan merobohkan lawan hanya dengan kibasan tangan. Karena itu, City menyita perhatian tapi sekaligus juga mengundang rasa curiga.

Itu prasangka awal saya.

Tapi, setelah kegagalannya menembus babak grup Liga Champions, rasanya metafor itu tak benar-benar mewakili. Saya kini membayangkan, City tak ubahnya anak baru di sebuah blok baru. Karena bapaknya terlalu kaya, ia tak segera memperoleh teman. Ia kesepian. Anak-anak miskin memandangnya iri, sementara anak-anak kaya melirik curiga. Berusaha keras jadi bagian lingkungan barunya, bocah kaya malang itu memaksakan diri ikut ajang permainan gundu dengan membawa seember penuh gundu yang dibelikan bapaknya. Seperti yang diduga, itu tak mengubah apa-apa. Apa pun hasil yang dicapainya di akhir permainan, bocah itu tetap akan tampak buruk di mata lawan-lawannya. Kalau kalah, ia akan dianggap goblog—“wong modal banyak kok keok!”. Kalaupun menang, ia juga tak akan menuai pujian, bahkan sinisme—“nggak menang gimana, modalnya seember gitu?” Alhasil, ia akan tetap jadi bocah kesepian. Dan, lebih parah, dibenci.

Tulisan-tulisan Rob Hughes di New York Times tentang (atau berkait, langsung atau tidak, dengan) City rasanya mewakili kebanyakan pendapat yang beredar di rubrik-rubrik sepakbola dunia. Pengagum Messi dan pemuja Fergie ini sudah “mengata-ngatai” City sebagai pembeli tropi, meski City baru saja menyelesaikan pertandingan Liga Champions pertamanya—itu pun kalah. Menurut Hughes (seperti yang sudah pernah saya kutip), tempat terhormat yang diperoleh dengan usaha puluhan tahun oleh Milan, Inter, Munchen, United, Barca, dan Madrid hendak coba ditukar City dengan berkarung-karung dinar dalam semalam. Ketika usai matchday ke-5, dan Apoel Nicosia (tim Siprus yang namanya tak pernah terdengar sebelumnya, yang anggaran permusimnya mungkin cuma cukup untuk membayar transfer pemain cadangan City macam Stefan Savic) telah memastikan lolos, Hughes memberi pujian sekaligus membandingkannya dengan klub-klub dengan anggaran besar yang masih berjuang.

Ia memang menyebut “Chelsea, Manchester United, Manchester City, dan klub-klub Eropa Utara dengan anggaran belanja besar yang masih berjuang lolos.” Tapi, kita tentu tahu, ke mana telunjuk Hughes diarahkan lebih lurus.

***

Kira-kira 20 tahun lalu, di persepakbolaan Eropa, tersebutlah sebuah klub yang bisa dikatakan—dalam arti yang paling mendekati—mencoba membeli tropi Liga Champions. Itu adalah Marseille-nya Bernard Tapie.

Sebelum Tapie masuk, Marseille sebenarnya bukan tim sembarangan di Prancis. Mereka adalah penguasa Liga di samping St. Etienne. Namun, setelah sang pengacara jadi presiden klub, Marseille melakukan hal yang sebelumnya tak pernah bisa dilakukan klub Prancis manapun. Mereka merebut gelar liga empat musim berturut-turut (1988-1991), menjadi finalis Liga Champions pada musim ke-5 (1991), dan memenanginya pada dua musim berikutnya (1993).

Seperti yang dilakukan Abramovic untuk Chelsea dan Sheikh Manshour untuk City saat ini, Tapie menyesaki ruang ganti Stade Velodrome dengan pemain-pemain mahal dan ternama di zamannya, baik dari dalam negeri maupun dari penjuru dunia. Tercatat nama macam Papin, Deschamps, Desailly, dan Cantona (Prancis), Waddle (Inggris), Allofs dan Voeller (Jerman), Abedi Pele (Ghana), hingga Francescoli (Uruguay) pernah memperkuat Marseille dalam kurun itu. Tapie bahkan berani menggaji salah satu nama yang paling besar dalam sejarah sepakbola, Franz Beckenbeuer, untuk menjadi pelatih di klubnya. Namun yang paling fenomenal tentu saja adalah saat ia—tentu dengan diam-diam—membayar pemain dari klub lain agar Marseille menjadi juara Prancis sekaligus juara Eropa.

Alkisah, pada musim kompetisi 1992-1993, tiga orang pemain Valenciennes (Jacques Glassmann, Jorge Burruchaga, dan Christophe Robert) dikontak oleh pemain Marseille bernama Jean-Jacques Eydelie. Para pemain Valenciennes itu, oleh Eydelie, diminta mengalah kepada timnya dan, terutama, diharap untuk tak mencederai para pemain Marseille agar tampil segar saat melawan Milan di final Liga Champions. Ujung dari “kontak” itu adalah kepastian lebih awal gelar juara Liga Prancis 1993 dan pemain-pemain yang bugar saat melawan jagoan Eropa yang sudah ditinggal trio Belanda-nya.

Hasil dari “pembelian gelar” itu adalah tropi Liga Champions pertama dan satu-satunya untuk Marseille—juga pertama dan satu-satunya untuk klub Prancis. Dan borgol dan bui untuk Tapie. Juga satu dekade penuh kegelapan bagi klub itu.

***

Jika orang kurang ajar macam Tapie saja mau menunggu hingga tahun ketujuh—sebelum kemudian nekad menempuh segala cara untuk mendapatkan tropi idaman—maka Sheikh Manshour dan City-nya memang sebaiknya lebih bersabar dan, lebih penting lagi, tahu diri. Apalagi mengingat City-nya Seikh Manshour tidak mendekati keadaan Marseille-nya Tapie, lebih-lebih Milan-nya Berlusconi, yang bisa dibilang sebagai raksasa tidur yang coba dibangunkan lagi oleh seorang kaya gila bola.

City bahkan tidak cukup punya bekal sebagaimana Chelsea-nya Abramovic—klub yang bisa dianggap paling “mendekati” City saat ini. Kalau pemilik Chelsea sebelumnya, lewat sentuhan tangan Gullit, Vialli, dan terutama ketekunan Rannieri, meninggalkan bagi Roman dan Mou, di lemari Stanford Bridge, paling tidak, sebuah tropi Piala Winners yang masih baru, beberapa gelar minor lokal, dan terutama pengalaman terbiasa dengan sepakbola Eropa, Sheikh Manshour hanya mendapati dua cawan tua dan kegagalan besar tinggalan Thaksin Sinawatra di City of Manchester.

Jadi, seperti bocah kesepian dengan seember gundunya, alih-alih keranjingan oleh hasrat memenangkan permainan, City sebaiknya lebih memikirkan bagaimana bisa terlibat lebih sering dalam permainan, membuat lawan-lawan menyadari keberadaannya, memaksa mereka terbiasa dengan kehadirannya, sebelum kemudian, di waktu yang tepat, memunguti gundu-gundu kemenangan satu demi satu.

City sepertinya tak akan mengalami nasib macam Parma ’90-an atau Leeds United 2000-an, para pencetak one hits wonder yang kemudian tepar. Tapi, sangat mungkin mereka “cuma” akan jadi Chelsea berikutnya, atau lebih buruk lagi. Meski punya banyak kesamaan dengan Chelsea, tim London itu bukan contoh baik untuk ditiru agar City menjadi bagian inti komunitas sepakbola Eropa. Bukan saja karena karakter tidak sabarannya, tapi juga menguatnya tanda-tanda bahwa mereka akan lebih lama lagi membiasakan diri dengan kegagalan-kegagalannya. Juga jangan seperti Arsenal, yang hanya kerasan untuk ambil bagian tapi tak pernah cukup keras berusaha untuk memenanginya.

United adalah contoh terbaik—tentu dengan sedikit mengesampingkan sebuah tropi Eropa lama dan beberapa gelar lokal yang mereka dapatkan sebelum kebangkitannya di tahun 1992.

Ya, tetangga yang kini tampak lebih pendiam itu, adalah role model paling tepat untuk diikuti jejaknya di kancah sepakbola Eropa. Memulainya dari Piala Winners (sebuah tropi Eropa kelas tiga) pada 1991, lalu memesan tempat tetap di Liga Champions, sebelum memenanginya (kembali) di pengujung dekade.

***

Ya, bahkan jika saya fans City, saya tak akan sungkan untuk menyerukan kepada Sheikh Manshour agar meniru kesabaran para pemilik United saat menunggu Fergie memberikan piala pertamanya. Oke, dengan gelontoran dinar yang begitu banyak, mungkin City tampak berhak mendapatkan “gundu-gundu kemenangannya” lebih cepat—Mancini toh telah memberikan sebuah Piala FA setelah satu setengah tahun bekerja. Tapi, pada intinya adalah kesabaran—dan, lebih utama lagi, kesadaran—untuk menunggu.

Karena itu, seandainya saya fans City, maka saya akan bergembira dengan kegagalan menembus babak knock-out Liga Champions 2011 tempo hari. (Lagi pula, bukankah Napoli terlihat jauh lebih keren dari Basel? Jadi, apa yang perlu disesali?) Meski dengan sedikit kecut, saya akan memilih mengikuti saran sinis Rob Hughes agar City “coba lagi musim depan”.

Berharap memenangi Liga Champions pada musim pertama berpartisipasi sama saja dengan merampas semua gundu lawan pada kali pertama ikut permainan: pertama, itu jelas tidak sopan; kedua, itu terlihat mustahil. Barcelona masih sulit dikalahkan, Madrid sangat menakutkan, sementara Milan dan Munchen jelas harus kembali dimasukkan hitungan. Jadi, daripada akhirnya rontok juga, dan kelelahan di pengujung Liga, jauh lebih afdal jika musim ini City memperbaiki catatan di ajang Europa Cup (akan sempurna jika memenanginya), dan memasang kewaspadaan tinggi atas kebangkitan United di liga lokal.

United memang masih terguncang setelah dilibas City 1-6 (bukan 6-1, sebagaimana tertulis di salah satu judul tulisan di blog ini). Sejak Darren Fletcher mencetak sebuah gol “bunuh diri” di September Kelabu itu, United jelas tampak kesulitan mencetak lebih dari sebiji gol di setiap pertandingan yang dilaluinya, dan itulah yang membuat mereka tak bisa melewati Basel. Tapi United tetaplah United. Mereka bisa sangat mengejutkan disaat sedang diremehkan. (Ingat, mereka pernah menyalip Newcastle dan Arsenal setelah sempat tertinggal dua digit poin.)

***

Seandainya saya fans City, saya tak ingin City membusuk seperti Marseille-nya Tapie atau jadi putus asa macam Chelsea-nya Abramovic. Meski agak sengak untuk didengar fans City lainnya, seandainya saya fans City, saya ingin City mengikuti jejak United-nya Fergie. Dan, coba tebak, untuk bisa seperti United-nya Fergi, pertama-tama bukanlah dengan menjadi juara Liga Champions dengan segera, tapi menghentikan hegemoni Liverpool.

Jadi, jelas, langkah pertama yang mesti dilakukan City untuk mengikuti jejak United adalah dengan mencegah United terus menjadi United. Seperti United lakukan atas Liverpool, City harus mencegah United mendapatkan gelar Liga Inggris ke-20-nya, selama mungkin. Dengan kata lain, agar City bisa mengikuti jejak United, United harus “di-Liverpool-kan”.

Dan itu tempatnya bukan di Liga Champions, tapi di Liga Inggris.


11-12-11

Related Posts: