Salju. Casillas. Teka-teki.

Oleh Darmanto Simaepa

Di Vorschoten, salju turun pelan di luar jendela. Kristal air itu melayang-layang dibuai angin ujung Maret di antara ranting poplar yang rindang dan kaku. Sesekali ia menabrak dinding bata atau menelusup di sela-sela daun geranium di balkon berkaca. Lalu terbang lagi entah kemana. Cerah sinar matahari terbias di sudut partikel serbuk-beku itu dengan latar biru. Sepanjang cakrawala, langit terlihat jernih dihujani kapas putih yang terserap musnah ketika jatuh ke tanah. Waktu terperangkap dalam udara dingin, seperti arus di kanal-kanal Rhine yang membatu.

Ah, hawa dan suasana! Selalu ada masa di mana lanskap musim dingin diluar jendela justru membuat ingatan mengalir seperti arus sungai Danube pada musim semi di Praha. Radio Carolina dan lagu-lagu Kla. Pangeran Kecil dan Rubahnya. Keramahan-kerumitan Pedalaman Siberut dan kehangatan Yogyakarta. Amis-bacin pasar ikan Babat dan manis-asin acar Kerala. Keranjang dagang ibu dan selembar foto berdebu. Naifnya Aureliano Buendia dan gigihnya Santiago. Bau ammonia laboratorium ekologi dan ruap pesing kamar mandi B-21. Bau keringat Aman Gozi, asap rokok Aman Letang dan aroma humus tipis-tropis terasa dekat sekali.

Tentu saja ada sepatu dan kostum sepakbola. Namun, Casillas datang tiba-tiba.

****

Kiper, seperti yang dialami dan ditulis Camus, adalah seseorang yang soliter. Seseorang yang berada di jauh garis riuh permainan ketika gol kemenangan dicetak ke gawang lawan. Tetapi, seseorang yang sangat dekat dengan ancaman, ketika kesalahan dan ketidaktepatan mengantisipasi tembakan musuh mengantarkan caci-maki kekalahan. Dalam sepakbola modern, kata Galeano, satu-satunya yang ia bisa lakukan untuk menghibur diri adalah memakai kostum warna-warni.

Casillas paling tepat mewakili gambaran kesunyian mistar gawang dan kostum warna-warni. Ia bukan sejenis pria Denmark di Manchester yang membuka lebar mulutnya sesering merentangkan tangan laba-labanya. Ia tidak memasang wajah beringas dan otot trisep yang kekar ala Kahn dan Schumacer—sehingga lawan enggan mendekatinya. Ia bukan seperti Buffon yang berteriak lantang dan mengguncang kepala wajah kaptennya. Tapi kadang ia mengenakan kaos merah jambu atau oranye.

Ciri khas yang mudah dikenali hanyalah saat ia mengetuk mistar dengan pul sepatu dengan sepakan kuda. Atau meloncat, menyentuh mistar sebelum peluit pertama dibunyikan. Selebihnya, sarung tangan dan ketenanganlah yang menunjukkan segala tentang siapa dirinya.

****

Musim dingin ini adalah periode yang paling sulit dalam karirnya. Ia memang pernah kalah bersaing setengah musim dengan Cesar Sanchez sehingga tidak main di final Champion 2002. Sepuluh tahun tak pernah absen, sekaligus menjadi kapten. Tiba-tiba, di akhir Desember ia kehilangan status kepemimpinan. Lantas menjadi cadangan. Lalu cedera.

Saya tidak tahu persis siapa Casillas—saya bukan penggemarnya. Yang saya ingat persis, adalah wajahnya yang tertunduk gelisah melihat orang lain berada di bawah mistar timnya—untuk pertama kalinya. Kaus kaki oranye dan handuk cerahnya tak bisa mengalihkan wajahnya yang muram dalam remang bangku cadangan.

Saya tidak begitu ingat kapan ia pernah histeris. Koleksi wawancara Fourfourtwo dan Champions tidak pernah memberikan wawancara eksklusif tentang perasaannya sebagai pemenang. Ia seperti tetap berdiri sedikit menjauh, ke tempat di mana ‘rumput tak pernah bisa tumbuh’. Bagaimana ia membagi kebahagiaan saat memenangi piala? Saat sunyi-sendiri? Atau saat ia dibangku cadangkan?

Saya berusaha mengingatnya. Tiba-tiba, memori saya kembali di ruangan pers Soccer City. Malam 11 Juli di Johannesburg usai Spanyol memenangi piala dunia. Napas, pandangan mata, dan tubuh Casillas mengatakan segalanya. Sebuah wawancara terbaik yang pernah di dapat oleh pemain sepakbola.

Malam itu, seorang kiper, seorang yang soliter, membagi kesunyian. Dan kebahagiaan.

****

Saya tak pernah sekalipun berimajinasi berdiri mematung di bawah mistar dan menghayati kesendirian. Namun, di balik jendela kamar 138 ini, waktu dan cuaca tiba-tiba membawa tubuh jauh ke garis batas pertahanan—tempat dimana kiper nyaris menghabiskan waktunya, dan senantiasa terjaga sendirian, menguji harga dirinya.

Di hari-hari biasa, ditengah antusiasme, keyakinan, pertemanan dan rencana-rencana, kamu mungkin berpikir menjadi seorang juara. Dan mungkin demikian, karena kamu dengan sungguh-sungguh berlatih dan kerja keras mewujudkannya. Merasakan hujan salju Eropa untuk seseorang yang dibentuk dan dihidupi imajinasi anak kecil pedesaan Jawa di paruh 1980an mungkin sepadan dengan fantasi mengangkat piala dunia bagi seorang bocah kecil di Madrid.

Sambil mengingat suara teman, sebenarnya saya tak berhak mengeluhkan sesuatu yang telah melampaui harapan. Tidak ada lagi yang perlu dipertaruhkan. Hampir semua mimpi remaja telah ditunaikan. ‘Casillas’ dalam bentuknya yang lain telah mendapatkan siklus kemenangan.

****

Namun, ada dimana suatu periode, ketika suasana hati menjadi seburuk periode musim yang sedang berganti dan mengambil alih kendali. Suatu periode dimana kesunyian menemukan cara untuk dibagi. Suatu periode tempat bertemunya pelbagai arus yang sudah datang (keyakinan, kepercayaan diri), arus yang akan datang (kekhawatiran, harapan, imajinasi) bertemu dengan udara tipis dan cahaya lembut matahari.

Membayangkan Casillas seperti berbicara terhadap diri sendiri. Casillas tak perlu lagi membuktikan diri. Namun di awal 30an, ia tengah mengalami ujian masa kematangan. Cedera dan bangku cadangan barangkali adalah berkah terbaik untuk melihat masa lalu dan masa depan dalam satu waktu.

Lantas kenapa Casillas si kiper tiba-tiba muncul ditengah sejumlah rangkaian peristiwa—diruang dan waktu tempat memori, ingatan, harapan dan kenyataan berusaha disatukan ini? Kadang sebuah teka-teki—seperti cara menyelamatkan gawang—lebih butuh untuk dinikmati dari pada diberikan penjelasan.

Related Posts:

Remontada, Semoga!

Oleh Darmanto Simaepa

Satu yang hilang dari generasi kami adalah sejarah remontada
—Xavi Hernandes—

Untuk mengerti apa arti dan makna remontada bagi orang catalan, anda hanya perlu menyaksikan dua menit terakhir video pertandingan semifinal piala Champion edisi 1986 antara Barca dengan IFK Gothenburg di Youtube. Jika cukup jeli, anda bisa menyaksikan Guardiola—saat itu menjadi ballboy—dan kawan-kawannya berlari mengerubungi Urrutia si kiper, setelah menyelamatkan tendangan penalti ke empat, dan kemudian secara histeris berhamburan menelanjangi Victor Munoz yang sukses sebagai penendang terakhir.

Saya berusaha mencari padanannya yang tepat dalam bahasa Indonesia. Melalui rute kamus Inggris-Spanyol, sulit mengartikan kata kerja transitif seperti to ‘recover’, to ‘get over’ atau to ‘comeback’ atau kata benda yang bercorak feminine ‘recovery’ ke dalam konteks tulisan ini. Akhirnya, remontada saya terjemahkan sebagai ‘pembalasan’, meski kata ini lebih punya konotasi dengan sikap agresif dan berasosiasi dengan perasaan marah atau kurang puas (seperti tercantum dalam frase ‘balas dendam’).

Istilah remontada populer di Spanyol setelah kompetisi Eropa memainkan pertandingan dua kali, tandang-kandang. Tim yang dipertandingan pertama kalah, biasanya dengan selisih gol mencolok atau melalui pertandingan dramatis, dan kemudian menang di pertandingan kedua, dikatakan melakukan remontada. Namun, istilah ini tidak selalu harus dikaitkan dengan pertandingan tandang-kandang. Istilah ini lebih cocok untuk menggambarkan situasi dimana sebuah tim memutar atau membalikkan keadaan yang tidak mungkin pasca-kekalahan dalam satu pertandingan atau dalam sejumlah pertandingan, menjadi sebuah kemenangan dramatis.

MU, Juventus, dan yang paling kerap disebut-sebut, Real Madrid adalah tim yang lekat dengan tradisi ini remontada. Tim-tim yang dianggap memiliki semangat remontada memiliki kualitas anti-menyerah dan tradisi heroik. Madrid menang 5-1 setelah kalah 1-4 dari Derby County dan Steua Bucharest pada tahun 1976 dan 1983 digunakan sebagai contoh tentang Remontada. Juga, apa yang dilakukan MU di Nou Camp 1999 atau Liverpool di Istanbul 2005 adalah manifestasi terbaik dari istilah ini.

Barca hanya sedikit memiliki sejarah remontada--salah satunya ya, itu tadi, membalas kekalahan 0-3 di Gotheburg dan kemudian menang adu pinalti. Tim ini, seperti yang Franklin Foer tulis dengan bagus, meskipun di suatu masa memiliki pemain yang brilian dan etos perjuangan, tetapi mereka lebih mewakili tradisi romantik daripada heroik. Sepanjang sejarahnya, Barca lebih lekat dengan melankolia kekalahan dari pada histeria kemenangan.

Jikapun mereka menciptakan dua generasi tim yang menciptakan sepakbola ‘terbaik’ dalam seperempat abad terakhir—melalui Cruijf dan Guardiola—kemenangan mereka diciptakan lebih banyak melalui kerja-kerja artis tingkat tinggi yang mengandalkan umpan presisi dan akurasi dan bukan didasarkan etos perjuangan dan petarungan, yang dalam bahasanya Bill Shankly, ‘melampui urusan hidup dan mati’.

Tentu saja kesuksesan Pep, Rijkaard dan lainnya sangat ditentukan kerja keras melebihi tim lain. Tetapi kerja keras dalam definisi ini berbeda dengan kerja keras yang diciptakan oleh Lobanovsky di Kiev, Fergie di MU atau Capello di Milan. Hal ini tercermin dari jenis taktik yang dianut dan gaya main diatas lapangan. Barca terobsesi mengalirkan bola selembut mungkin, bahkan kalau perlu tanpa harus berkeringat.

Konon, obsesi menerjemahkan sejenis lukisan Picasso di atas lapangan rumput inilah yang menyebabkan Barca bukanlah tim dengan tradisi yang optimis setelah kekalahan yang menyakitkan. Sangat gampang menemukan wajah murung Iniesta atau Xavi di lapangan setelah rentetan kekalahan dalam pekan-pekan belakangan ini. Kekalahan dari Chelsea tahun lalu adalah gejala yang masih mudah kita ingat. Keruntuhan the Dream Team saat dipecundangi Milan dalam ‘musim semi Athena’ 1994 adalah salah satu contoh terbaiknya.

Pernyataan Xavi diatas, dari wawancaranya di ruangan pers pasca kekalahan dari Milan, menunjukkan bahwa timnya sedang mengubah arus sejarah. Di wawancara lain Roura dan Rossel berusaha optimis untuk menciptakanversi terbaru dari remontada. Namun, berkali-kali saya menyaksikan videonya, ungkapan-ungkapan mereka untuk bangkit terasa tidak meyakinkan. Diatas lapangan, lebih terasa lagi. Barca, tidak hanya kehilangan 9 poin dalam satu pekan, tetapi juga mulai kehilangan keyakinan dengan gaya permainan.

Setelah kalah dari Madrid di Nou Camp tahun lalu, saya berspekulasi, siklus Barca akan berakhir. Sebuah tim besar sulit mempertahankan permainan terbaik dalam jangka waktu lebih 4-5 tahun. Botafogo di tahun 1960an, Ajax dan Muenchen 1970an, Flamengo, Milan dan Barca satu dekade kemudian hanya bertahan dalam siklus 3-5 tahun.

Kalaupun Villanova mampu membawa rekor demi rekor untuk Barca musim ini, itu lebih karena Mou dan orang-orang Madrid tidak becus memanfaatkan momentum kemerosotan Barca untuk membentangkan layarnya, menyambut nasib baik di ufuk cakrawala yang menunggu mereka. Mereka sibuk cekcok di lembaran koran Marca atau As, dan mengorbankan seorang Aidan untuk membuktikan siapa yang paling berkuasa di kamar ganti.

Sementara Alegri sudah menemukan vaksin anti tiki-taka, inovasi taktik Barca telah mencapai titik jenuhnya. Seiring dengan menurunnya fisik Puyol, merosotnya daya imajinasi Xavi, dan ketimpangan kualitas penyerang di sekeliling Messi, semua pemain asal Spanyol dalam generasi ini kehilangan rasa lapar akan gelar—mereka tidak perlu menambah apapun dalam daftar medali dilemari.

*****

Meskipun saya tidak begitu yakin dengan apa yang dikatakan Xavi, saya melihat ada celah bagi barca untuk mengubah cuaca muram di Catalan. Ya, benar sekali: satu hal yang akan menyempurnakan satu siklus tim terbaik dalam sejarah sepakbola, itu tidak lain adalah remontada. Barca, saya rasa tidak membutuhkan trofi Champion lagi untuk membuktikan kebesarannya. Apa yang telah dicapainya, telah melewati ekspektasi dan imajinasi mereka sendiri.

Sebagai penggemar, siklus Barca akan jauh lebih berarti jika mereka mampu menunjukkan dalam satu waktu, sikap untuk mengambil resiko untuk memutar haluan kapal yang memang akan karam. Suatu sikap pertempuran penghabisan dan sejenis gairah untuk melakukan bunuh diri yang terhormat. Pendek kata, sejenis sikap untuk mengambil resiko puputan. Jika mereka berpikir tentang Remontada, saya bayangkan mereka juga berani mengambil resiko untuk kekalahan yang mengerikan. Yang hilang dari permainan sepakbola gaya Catalan adalah sentuhan mengambil resiko menghadapi kekalahan besar.

Kisah Cinderella lima tahun terakhir Barca adalah kisah tentang kalkulasi yang jitu, presisi yang nyaris sempurna, dan kemenangan yang telah bisa diprediksi. Drama tentang sepakbola Catalan terlalu klinis untuk dinikmati. Saya kira saatnya ucapan Xavi menemukan wujudnya di lapangan. Milan hanyalah pemanasan. Pembalasan atas Milan akan menjadi rute yang manis untuk mencari penebusan dari kekalahan beruntun dalam el-clasico. Milan hanyalah target sasaran. Kisah ini akan menjadi lebih lengkap jika mereka punya obsesi untuk melakukan remontada terhadap wajah Janusnya: Real Madrid, di perempat final atau di semifinal.

Yang ada di benak saya begini: Jika Barca berhasil menaklukan Milan, mereka tidak akan lagi gemetar menghadapi psywar Mourinho dan beringasnya Pepe. Mereka akan menang melawan Madrid tanpa ada yang kena kartu merah. Setelahnya, meskipun mereka akan kalah dari Dortmund atau Muencen, atau Juventus di final, Barca telah melengkapi puzzle yang hilang dari sebuah generasi emas pesepakbola yang pernah ada.

Selain itu, semangat remontada ini juga akan membuka kemungkinan ada anak-anak yang, seperti Guardiola kecil 30 tahun yang lalu, untuk terlibat dalam arus sejarah sepakbola yang indah

Related Posts: