Siklus

Oleh Darmanto Simaepa

Musim semi di Eropa ditandai berakhirnya kompetisi, yang hasil-hasilnya, sepertinya, akan mengubah konstelasi rezim sepakbola dalam beberapa tahun ke depan. Seiring munculnya hangat matahari Mei, beberapa kekuatan tradisional keluar dari tahun-tahun penuh frustasi. Di Plaza Cebeles, Madridista tak hanya merayakan juara la Liga tetapi juga perasaan lega keluar dari himpitan dan bayang-bayang kejayaan Barca. Di Turin, para abdi keluarga aristrokrat Agnelli—terutama Luciano Moggi—minum anggur terbaik untuk merayakan kembalinya Lo Spirito si nyonya tua. Rasa lapar akan gelar membawa mereka tak terkalahkan dan menikung Milan di pekan menentukan. Para pemujanya di belahan dunia akhirnya bisa menyumpahi Moratti. Di Inggris, para pembenci MU merasa lega, karena pada akhirnya, menemukan tautan dan pelampiasan rasa frustasi selama bertahun-tahun melalui City. Terlebih lagi ketika Mancini, dengan aksen Italiannya, meluapkan kegembiraannya dalam kalimat, ‘we deserve it, we deserve it...’, di depan kamera Sky TV.

Siklus perubahan juga datang dari Amsterdam hingga Glasgow, dari Prancis hingga Istanbul. Di Skotlandia, Celtic berjaya diatas kebangkrutan finansial Rangers. Montpellier, dengan pasukan muda yang bersemangat akhirnya membuktikan bahwa Leonardo bertindak sangat ceroboh ketika mengganti Kambuore di tengah musim. Kegagalan PSG sedikit melegakan karena melanjutkan kebenaran lama: kadang, uang tidak banyak bicara dalam perebutan piala. Kota kecil Montpieller bisa saja bersaing dengan kota-kota kaya yang mendominasi seperti Lyon dan Marseille, dan Paris. Di jazirah Anatolia, rejim lama Fenerbache dan Galatasary kembali bersaing sengit pasca skandal korupsi. Di Belanda, sepanjang Leiden-Amsterdam, pendukung Ajax dengan wajah bungah bernyanyi dan berpesta hingga pagi.

Di tempat lain, musim ini ditandai kekecewaan. Setelah empat tahun bergelimang medali, Barca paling mungkin hanya mendapat satu trofi. Manchu-nian hilang harga diri karena mereka harus rela mendapatkan tahun tanpa medali. Dihantui teka-teki masa depan pasca Fergie, rezim ini dipandang sedang dalam bahaya keruntuhan. Sementara itu, dari Bavaria, kisah tragis menghantui Robben, Ribbery, Hoenes dan juga Backenbauer. Lebih sedih dari tahun 2010, peluang meraih trebel menguap di udara dengan cara yang sangat drama Yunani.

Pertanyaan mengambang di udara: bagaimana sepakbola pasca dominasi Barca?

*****

FourFourTwo edisi Februari telah memprediksi bahwa Madrid akan menggantikannya. Los Blancos mengukuhkan ramalan itu dengan kemenangan vital el-Classico ke dua. Mou berhasil menyelesaikan misi sempurna secara simbolik: mengakhiri dominasi Barca di rumahnya. Madrid barangkali sedang menjemput takdirnya sebagai tim pemburu kemenangan di tahun-tahun mendatang. Sebuah anomali yang luar biasa dalam sejarah kepelatihan di Barnebeu, Mou adalah orang pertama dalam dua puluh terakhir yang bisa mencapai tahun ketiga di Valdebabes dan barangkali orang pertama yang menggenggam kekuasaan paling besar di kursi kepelatihan Madrid.

Bagi penggemar Madrid, tampaknya mereka sedang menanti ufuk cerah. Mou akan dikontrak hingga empat tahun lagi dan diharapkan membawa kestabilan dan karakter baru. Ia sepertinya menikmati tantangan ini dan semakin membuatnya tampak lebih dewasa sebagai manusia. Setengah tahun terakhir, saya tidak pernah lagi mendengar perang media, kontroversi jumpa pers, pertikaian kamar ganti dan juga serangan pribadi kepada direksi. Namun, sebagai orang yang tidak menyukai gaya bermainnya, saya masih agak ragu Mou berhasil membangun tim penuh gaya yang diinginkan Madridista ala era Di Stefano atau Los Galacticos awal abad ini.

Bukan berarti Mou tak hebat. Ia sangat brilian, berevolusi dan mampu beradaptasi dengan tuntutan. Ia telah menciptakan Madrid sebagai mesin kemenangan. Ia membuat Ronaldo tampak lebih bersinar musim ini dan Pepe (ah, sebenernya merasa gatal menyebut nama ini) bermain konsisten sepanjang musim dan bisa menghadapi tekanan—meskipun sangat tidak mudah untuk mendengarkan teriakan ‘binatang’ atau pembunuh dari 90,000 orang. Rekor gol dan kemenangan Madrid serta piala bicara dengan sendirinya.

Namun, untuk menciptakan tim seperti el-Grande Madrid, Barca dibawah Cruijff dan Pep, Ajax 70-an, atau Milan versi Arrigo Sacchi, Mou sepertinya bukan orang yang tepat. Tim yang lebih dekat evolusinya dengan Barca malahan berasal dari Manchester (sedih sekali tim itu bukanlah tim saya!!). Harus saya akui, elegansi Nasri, eksplosifitas Aguero, kecerdikan Silva, dan atletisme Kompany dan Joe Hart membuat City berkembang menjadi dewasa secara teknik dan matang secara taktik. Gelar juara liga yang mereka raih akan menjadi capaian penting dalam kampanye menaklukan Eropa dan mengakhiri dominasi MU. Di ujung cakrawala lain, di bawah si gila Marcelo Bielsa, Athletic Bilbao memainkan sepakbola paling liar dan bersemangat sejak surutnya era Liverpool 1980an. Seperti spirit pemberontak ETA, pasukan muda Basque terus berlari, mengumpan dan bergerak tanpa rasa takut. Melihat tubuh tertelungkup Muniain bergetar hebat karena tangis kekecewaan saat gol Diego membuat final Europa ‘selesai’, saya terdiam beberapa saat untuk memahami kira-kira apa-apa yang ada dalam hatinya dan seberapa besar ia menginginkan gelar itu.

Diluar itu semua, siklus sepakbola seperti sedang menuju situasi yang pernah saya saksikan ketika remaja. Paruh 90an adalah suatu transisi surutnya pamor dua tim yang dominan di era akhir 80an dan awal 90. Paruh 90an adalah persimpangan dari berakhirnya era sepakbola indah ala Milan dan Barcelona dan munculnya Juventus dan Madrid yang menjadi perbincangan di Eropa. Era Milan menyurut ketika Berlusconi lebih banyak kampanye kursi perdana Menteri dan pemain kunci mulai menua dan sering cedera. Sementara itu ‘tragedi Athena’ secara tragis mengakhiri keemasan era era Cruijff. Di saat yang sama, Madrid muncul dengan generasinya Raul, sementara Juventus menemukan Del Piero. Dua klub itu di akhir 90an dan awal 2000an, secara total bermain dalam 8 final piala Champion. Sementara di Jerman, Hitzfield berhasil membangun sebuah tim yang berisi sisa diesel Jerman—Moeller, Sammer, Koehler—dan mencangkoknya ke dalam panser muda seperti Heinrich dan Lars Ricken.

Dua musim ini, Dortmund secara mental dan permainan berhasil menggeser dominasi Muenchen. Dengan sejumlah pasukan muda, Juergen Klopp, tidak seperti cambang tak teraturnya yang tak pernah dicukur rapi, mampu menciptakan tim pemenang dari pemain medioker yang kurang pengalaman dan kurang diperhitungkan. Di bawah Conte, Juventus sedang berusaha mengejar catatan 58 kali tak terkalahkan milik Milan dalam buku sejarah sepakbola Italia. Conte menemukan dirinya dalam diri Vidal, Angelo di Livio dalam diri Marchisio, dan Buffon yang melebihi kepemimpinan Peruzzi. Di Madrid, meskipun hanya menyisakan pemain binaan seperti Granero, Arbeola dan Callejon dalam skuadnya (dan tentu saja pengecualian untuk Casillas), sedang bergerak ke arah menggapai la decima-nya. Ajax, meski tak sekokoh class of 1995, dan tak ada tangan besi van Gaal di sana, mulai berusaha mengembalikan kejayaan imperiumnya lagi.

Para pembaca belakanggawang yang senang dengan mulut pahit pendukung MU musim ini, sepertinya harus berdoa, berharap siklus MU akhir 1990an tak berulang. Ya, ini memang sebuah anomali. Setelah hanya menjadi pupuk bawang di awal 1990an, MU berhasi mengatasi kesemenjanaannya di Eropa melalui sekumpulan bocah ingusan—ingat, tanpa Keane dan Scholes di final Nou Campnya. Namun gejala MU menuju klimaks yang terasa saat saya SMA itu itu tidak memberi tanda-tanda akan datang kembali. Gejala vitalitas dan hasrat untuk menang tentu saja masih ada dalam darah Fergie, tetapi yang hilang dari tim ini adalah kreatifitas lapangan tengah dan kepemimpinan yang kuat di kamar ganti. Jika Eden Hazard lebih memilih tetangga yang sedang bahagia—ya, sangat bahagia malah, seperti perasaan seseorang yang 40 tahun tidak pernah bercinta (ah, maaf, juara)—untuk berlabuh, barangkali Ken Loach sepertinya harus bersiap-siap membuat film yang lebih segar dan optimis lebih banyak lagi untuk pendukung MU di masa-masa mendatang.

Di belahan dunia lain, industri sepakbola Brazil sedang menggeliat. Para pemain berbakat seperti Neymar dan Ganso mendapat bayaran setara di Eropa. Pemain veteran pulang kampung menikmati atmosfernya dan bintang seperti Vagner Lopez atau Denilson meramaikan liga. Setelah sedikit bebas dari para Cartolas, Brazil, memulai industrinya. Momen piala dunia membawa siklus baru sistem kompetisi dan strategi pemasaran sepakbola domestik yang menggairahkan.

*****

Yang indah dari sepakbola adalah siklus ketegangan antara perubahan dan status quo. Dalam waktu lama, klub-klub yang secara tradisional mapan secara ekonomi dan politik akan mempertahankan dominasi. Tetapi, para kapitalis baru dari Timur Tengah sedang menyiapkan rencana untuk mengubah konstelasi dan konfigurasi rezim sepakbola Eropa. Terbetik berita juga dari Indonesia, ditengah masalah kelangkaan kerja, eksploitasi sumber daya, dan kelesuan ekonomi yang kian nyata, beberapa pengusaha sedang menyiapkan kemungkinan rencana sedikit gila untuk ‘menyelamatkan’ Glasgow Rangers dari kebangkrutan finansial.

‘Yang terbaik dari sepakbola,’ seperti dibilang Mou, ‘siklus perubahan selalu terjadi.’ Yeah, tentu saja katredal sepakbola modern—Barnebeu, San Siro, Old Trafford, Nou Camp—kecil kemungkinannya runtuh dan digantikan oleh, Anzhi atau Apoel misalnya. Bahkan kelompok-kelompok elit ini, dengan peluang siklus akumulasi yang difasilitasi pemasaran dan televisi, akan terus memperbesar imperiumnya. Meskipun demikian, selama sepakbola masih sebagai permainan manusia, dan karena itu bersifat fana, ia akan terus seperti awan dalam pengertian Geertz-ian, ‘sekali terhimpun, sekali membuyar’.

Lalu bagaimana dengan siklus di Indonesia? Sementara dunia begitu dinamis, liga Indonesia terus berkutat dengan isu primitifnya. Dualisme kompetisi, rivalitas pendeking, dan terbatasnya kekuatan suporter dan penonton membawa perubahan membuat sepakbola berjalan di tempat. Saat menyaksikan pertandingan timnas PSSI yang berlaga di turnamen antah berantah di Palestina, rasa geli dan gatal tiba-tiba muncul di kepala. Saya pernah mengkritik betapa buruknya Firman Utina dan cerobohnya Purwaka. Tetapi, saat melihat para pemain semenjana lebih banyak salah umpan dari jumlah kedipan mata, terbayang sebuah skenario sepakbola sebuah negara terbesar ke empat di dunia yang gila permainan ini, akan berakhir dalam sebuah rekor yang dimiliki oleh Haiti atau Fiji.

Barangkali, siklus sepakbola Indonesia seperti musim tropisnya: saat musim hujan dibanjiri konflik kepentingan, sementara di musim kemarau, kekeringan prestasi.

Related Posts:

Seandainya Saya Fans United


Oleh Mahfud Ikhwan


1/

Teman serumah saya, penulis di blog ini, adalah seorang Mancunian yang gigih. Oleh karena itu, tak seperti saya dan seorang lain pecinta Munchen (dan itu artinya pembenci United), ia tak terlalu antusias menunggu Hari Perhitungan itu: Sunderland vs MU; City vs QPR. Meskipun termasuk fans yang terlalu fanatik untuk ukuran seorang pembaca The Guardian, ia tampaknya masih cukup jernih untuk membuat penilaian. MU bukan tim yang paling pantas untuk mendapatkan gelar liga ke-20-nya. Karena itu, ia terlambat menonton saat kick-off dimulai.

Tak ada yang berubah dari mimiknya saat ia dikabari bahwa MU telah unggul atas Sunderland di Stadium of Light, sementara City masih belum mencetak gol. Namun, ia juga tak memberi reaksi apa-apa saat Zabaletta membuat gol pertama untuk City pada pengujung babak pertama di Etihad. Ia balik lagi ke kamarnya untuk memenuhi panggilan akademiknya—mungkin, lebih tepatnya, menyembunyikan diri dari kenyataan.

Dan ia tak kembali ke depan layar televisi saat kick-off babak kedua; saya pun terlambat mengembalikan saluran, sehingga melewatkan gol Cisse—gol yang memberi harapan kepada jutaan penggemar United di seluruh dunia sekaligus membuat kecut para pembencinya. Usai Mackie membuat gol mengejutkan, yang membuat QPR akan mendapatkan tiga poin pertamanya (dan terakhir) di kandang lawan musim ini dan, sebaliknya, City kehilangan poin tiga di kandang untuk pertama kalinya sekaligus sangat mungkin gelar juaranya, sang Mancunian yang sudah berhenti berharap itu kembali ke depan televisi. “Ada SMS, katanya 1-1,” katanya dengan menyeringai. Dan ia melonjak ketika melihat grafik skor di pojok kanan atas malah sudah menunjukkan angka 1-2. Keajaiban di menit-menit terakhir yang pernah direngkuh MU di Camp Nou tahun 1999 tampaknya membayang di pelupuknya. Bayangan yang sama pula menghantui saya dan—terutama—penggemar Munchen di sebelah saya. Joleon Lescott akan memukul-mukul lapangan dengan wajah banjir tangisan, sebagaimana 13 tahun lalu Samuel Kuffour melakukannya. Si Munchen itu bahkan agak terlalu jauh dengan mengatakan, kini tugas Mancini bukan hanya memenangkan gelar liga Inggris petamanya, tapi juga menyelamatkan nyawa Lescott.

10 menit terakhir Liga Inggris musim ini adalah neraka bagi para pembenci United, apalagi jika di depan Anda ada yang siap-siap merayakan pesta. Sembari tertawa mengejek untuk setiap peluang City yang gagal, juga tepisan Paddy Kenny yang malam itu tiba-tiba tampak seperti Gianluigi Buffon, Si Mancunian itu sudah mulai mengoceh tentang tulisan yang akan dibikinnya jika United juara.

Tapi, tentu saja, sebagai seorang “pengamat sepakbola yang tinggal di Leiden”—begitu label yang didapatnya belakangan ini—ia tak kehilangan kejujurannya bahwa City adalah tim yang paling layak juara, lebih dari tim mana pun di Liga Inggris. Jika City gagal jadi juara, maka “ketidakadilan sepakbola” yang kedua setelah gagalnya Barca ke final Liga Champions akan terulang kembali. Karena itu, sembari menertawakan sepakan-sepakan ke arah gawang pemain tengah City yang mulai ngawur, ia mempertanyakan tak adanya Kolarov di sisi kiri City. Juga terlambatnya Mancini memasukkan Dzeko dan Balotelli. Ketika Dzeko membuat gol penyama kedudukan pada menit ke-91, ia memujinya sebagai buah kerja keras. Tapi, sekali lagi, ia mengkritik Mancini yang terlambat ambil keputusan, terutama untuk mamasukkan Balotelli.

Tak peduli dengan pendukung MU yang mulai kuatir itu (kecuali bahwa ia akan membanting benda di depannya jika gol ketiga City terjadi), saya dan si pendukung Munchen kembali bersemangat. Seakan para pemain City ikut duduk bersama kami di depan tv, kami ingatkan kepada mereka bahwa gelar terhebat United didapatkan lewat dua gol telat. Jadi, itu mungkin juga satu-satunya cara untuk memberi “kekalahan paling telak dalam dekade ini” bagi United. Ketika dua menit kemudian sodoran Balotelli sembari menjatuhkan diri mencapai kaki Aguero, lalu dengan dua sentuhan nama terakhir itu menghantamkan bola ke arah tiang dekat QPR, dan gol, saya meledak, meneriakkan salah satu teriakan “gol!!!” paling keras yang pernah saya lakukan—yang jelas lebih keras dibanding saat merayakan gol hebat Cristian Gonzales ke gawang Filipina langsung di Senayan.
   
Sang Mancunian terdiam sebentar, untuk kemudian manggut-manggut dan memberi tepuk tangan kecil bagi gelar Liga City yang ketiga. “Bagus, bagus,” katanya.


2/

Seandainya saya fans United, tepuk tangan kecil pasti akan saya berikan di akhir pertandingan itu. Untuk gelar City yang ketiga, dan tentu untuk tim saya, United, yang kehilangan gelar hanya oleh selisih gol. Tapi, terutama, untuk “hal-hal baik” (dalam bahasa agamanya biasa disebut hikmah) yang mungkin akan muncul usai musim tanpa gelar ini.

Kalau saya fans United, saya paling tidak memiliki tiga hal yang patut disyukuri atas gagalnya gelar Liga ke-20 United ini.

a. United terhindar dari gelar yang tak seharusnya diraih

Menang meski bermain buruk atau mendapatkan gelar walau dengan performa amburadul biasanya menjadi ciri tim-tim dengan tradiri juara. Mental kuat, arogansi, dan kepercayaan diri seringkali mengalahkan teknik dan taktik—itu sulit dibantah. Brazil 1994, Jerman 1996, dan Italia 2006 adalah contohnya. Juga, emm... United 2010-11. Tapi, jika saya fans United, saya tak akan mengijinkan itu terjadi lebih banyak, apalagi lebih sering, terjadi pada klub saya. Saya tak akan terlalu senang jika klub yang saya dukung memperoleh gelar lebih karena lawan kehabisan bensin, dilanda cedera pemain, apalagi sial. Ya, memang itu masih menjadi bagian dari sepakbola—jika mengutip Mou. Tapi, United bukanlah sekadar bagian dari sepakbola, tetapi bagian yang sangat istimewa dari sepakbola. Dan, Anda boleh katakan, hal istimewa tak boleh terlalu banyak dicampuri hal-hal biasa.

Kejar-kejaran angka dalam kompetisi tentu saja biasa dalam sepakbola. Kita menyaksikannya sepanjang tahun. Namun, menyalip rival dari ketinggalan lima angka untuk kemudian memimpin delapan lalu tersalip lagi bukanlah tabiat United. Jalan mereka untuk menjadi salah satu, kalau bukan yang nomor satu, klub Inggris Raya terbesar sepanjang masa bukan seperti itu. MU menjadi yang terhebat selama 20 tahun Liga Inggris terutama karena cara mereka merengkuh juara. Mengejar 12 angka dari Newcastle pada musim 1995-96 atau 8 angka dari Arsenal pada musim 2002-03 kemudian mengunci gelar, itulah trade mark United.

United adalah tempat keajaiban diciptakan, dan bukannya ditunggu. Karena itu, jika saya fans United, saya akan sedih ketika mendengar Sir Alex, dengan sedikit melankolis (dan melupakan bahwa belum lama ini ada pertengkaran di antara mereka), mengharapkan Mark “Sparky” Hughes, bekas kaptennya yang kini menukangi QPR, membuat keajaiban di Etihad. Ya, ia dulu membuat keajaiban bersama Aberdeen saat mengalahkan Real Madrid di final UEFA Cup 1986. Tapi, sekali lagi, keajaiban itu dibuatnya sendiri, bukan diberikan oleh orang atau tim lain. Setan (Merah) tak perlu mengharapkan nasib baik dari Tuhan, bukan?

Juga, kebesaran, gelar-gelar, kekaguman yang didulang United, paling tidak sejak pertama mereka mendapatkan piala bersama Fergie, selalu ditumpukan di atas pundak kokoh pemain-pemain dengan karakter hebat seperti Bryan Robson, Eric Cantona, atau Roy Keane, dan Vidic untuk yang terakhir. Karena itu, sedikit sulit membayangkan jika titel juara United akan ditentukan oleh seorang pemain sayap yang larinya sempoyongan macam Ashley Young—dengan memberi delapan gol United dari titik penalti, lebih dari pemain pemain mana pun di Liga Inggris. Ya, jika gol Mackie di Etihad tak berbalas dua, mungkin gelar akan digengam United. Tapi, di akhir musim, atas komentar pembelaannya terhadap Young, para kritikus MU mungkin akan mencari-cari hubungan—meski dengan ngawur—antara Fergie dan Moggi. 

Kekalahan dua kali dari rival sekota, salah satunya dengan angka yang tak terbayangkan sebelumnya, boleh saja dianggap tak ada. Juga gol Wigan yang tak disahkan, penalti Fulham yang tak diberikan, penalti-penalti aneh yang diganjarkan pada QPR dan Villa (yang hampir saja mendepak keduanya dari EPL), ada baiknya lupakan saja. Tapi, disamai Everton 4-4 setelah memimpin dua gol, di Old Trafford lagi, menunjukkan hampir semuanya: tahun ini bukan waktunya United.

b. Sir Alex akan bertahan lebih lama

Sebuah tulisan di Guardian menyatakan bahwa kehancuran United akan menjelang segera. Sir Alex tak akan selamanya di bangku cadangan United, karena ia sudah begitu lama melakukannya. Dan, semua penggantinya, siapa pun dia, akan dihantui oleh sejarah kebesaran Sir Alex yang tampaknya hampir mustahil diulangi.

Oke, mari terus berhitung siapakah yang dalam lima tahun ke depan akan meneruskan tampuk kepemimpinan Fergie di Old Trafford. Apakah David Moyes (yang memiliki banyak kesamaan dengan Fergie) atau Ryan Giggs (yang jadi pemain yang paling lama bersama Fergie di United) atau Gery Neville (yang sedang mulai merintis karir kepelatihannya) atau nama-nama dengan sejarah besar juga macam Mourinho atau Guardiola. Tapi, jika saya fans United, saya akan bersyukur karena pergantian itu tampaknya tak akan terjadi pada musim depan—mungkin malah tidak terjadi 3-4 musim ke depan. Kekalahan dari City pada musim ini adalah salah satu faktornya. Jelas tak seperti Guardiola, Fergie tak akan mundur saat ia menderita kekalahan. (Karena itu, United diberikannya 12 gelar Liga, 5 Piala FA, 4 Piala Liga, 4 gelar Eropa, dan 2 juara dunia.) Sesumbarnya bahwa United tak akan belanja gila-gilaan sebagaimana City dan tetap mengedepankan pemain muda adalah psywar paling awal Fergie untuk musim depan. Dan, itu artinya, ia tak akan ke mana-mana. Ia menerima tantangan Mancini, yang disemprotnya awal bulan ini, agar tak buru-buru meninggalkan Premier League. Kita masih akan melihatnya mengunyah permen karet di pinggir lapangan, hingga bertahun-tahun ke depan.

Dan, sejauh ini, bertaruh atas United dengan Fergie berada di dalamnya tetaplah pertaruhan yang paling aman. Sebab, seperti yang sudah-sudah, itu berarti, masih akan ada gelar Liga yang sangat mungkin diberikannya kepada fans United.

c. Saat yang tepat bagi datangnya gelandang elegan atau pemain berpengaruh

Pada awal musim 1995-96, komentator sepakbola Alan Hansen, mencemooh skuad remaja United yang baru saja menjual para bintang berumurnya seperti Paul Ince, Andrei Kanchelskis, dan Mark Hughes. “Anda tak akan memenangi apa pun dengan sekawanan bocah,” begitu kata Hansen. Dan Fergie, dengan pemain macam Giggs, Beckham, Butt, Scholes, Neville bersaudara, menjawabnya dengan gelar juara, juara, dan gelar juara. Dan, sejak saat itu, United, bersama Ajax dan Barca, dianggap sebagai klub-klub teladan yang membangun tulang punggung timnya dari pemain binaan sendiri.

Tapi, yang mungkin banyak dilupakan oleh fans United, termasuk mungkin oleh Fergie sendiri, apa yang dikatakan Hansen ada benarnya. Selama berada di bawah asuhan Fergie, para bocah produk dari akademi di Carrington itu mungkin memenangkan gelar lebih banyak dibanding pemain-pemain akademi sepakbola manapun di dunia. Tapi, selama itu pula, di antara kerumunan kawanan bocah itu, Fergie, sengaja atau tidak, selalu menempatkan beberapa “pria matang” dengan karakter yang amat menonjol—dan yang pasti bukan produk Carrington.

Hal inilah yang tampaknya lalai dibenahi oleh Fergie musim ini. Dan jika saya fans United, kegagalan pada musim ini saya harap jadi pelecut bagi Fergie untuk mencari “pria matang” yang hilang itu.

Sembari sedikit mengesampingkan banyak gol para striker yang biasanya dibeli jadi oleh Fergie macam Andy Cole, Dwight York, Teddy Sheringham, Ole Sokjeaer, Van Nistelroy, hingga yang terakhir Rooney dan Berba, paling tidak kita bisa tunjuk dua nama: Eric Cantona untuk dekade pertama, kemudian Roy Keane di 10 tahun berikutnya. Pada King Eric, seorang lelaki berwajah pantai Mediteran namun memiliki mata ala istana Versailles, bocah-bocah binaan Fergie itu mendapatkan panutan dan juga pengatur serangan. Pada Keano, bekas petinju dari Cork itu, Beckham dan teman-teman memperoleh rasa aman, baik dalam arti sepakbola maupun dalam arti sesungguhnya.

Oke, Evra adalah bek sayap bagus dengan umpan- silang mematikan. Tapi, cara dia menangani masalahnya sendiri dengan Suarez menunjukkan cara yang sangat berbeda dengan, misalnya, cara Keane menangani masalah antara Scholes dan Vieira. Itu jelas menunjukkan level seorang kapten yang berbeda--sebeda Vieira dan Gallas. Rooney, seorang bocah didikan Everton yang hampir jadi petinju, sebenarnya pemain yang bahkan bisa menggabungkan antara skil Cantona dan kerja keras Keane, meski kematangannya masih harus terus dibentuk dan dipupuk. Tapi, menempatkannya lebih di belakang, untuk memberikan umpan-umpan bagi Wellbeck, akan memberinya tanggung jawab terlalu besar. Lagi pula, hal terbaik yang bisa diberikan Rooney bagi United adalah gol.

Jadi, United semestinya memberikan Rooney seorang pengumpan atau gelandang yang membuatnya tak harus terlalu jauh turun ke belakang. Rooney dan United butuh semacam Cristiano Ronaldo atau Giggs 10 tahun lalu. Valencia dan Nani tampaknya sedang berjalan ke arah sana, sementara Young terlihat jadi pembelian yang gagal—kecuali cara jatuhnya di kotak penalti dihitung sebagai assist. Tapi, lebih dari itu, United jelas membutuhkan seorang gelandang yang lebih dari sekelas Fletcer dan Carrick. Ya, ya, mereka tentu gelandang bagus—mana bisa pemain jelek masuk United? Tapi, dengan sangat gamblang bisa disaksikan, mereka tak cukup sepadan jika berhadapan dengan Silva, Nasri, Mata, Modric, atau bahkan Jordi Gomez dari Wigan.

Fergie mencoba memperbaiki timnya dengan memanggil kembali Scholes dari liburan Natalnya bersama keluarga pada awal tahun. Meski bukan tindakan konyol, itu lebih mendekati keputusasaan daripada heroisme. (Pemain sehebat Scholes tentunya kembali untuk juara. Sayangnya, itu tak didapatnya.) Alih-alih mengabaikan bahwa para pemain hebat yang dihasilkannya telah menua, Fergie harus bisa memaksa keluarga Glazer membuka lebih lebar dompetnya. Mungkin mereka akan kalah bersaing dengan City untuk mendapatkan Hazard dari Lille. Tapi, Sneijder pasti malas untuk bermain di play-off Liga Eropa (yang dulu biasa disebut Piala Intertoto). Modric juga telah cukup lama menghabiskan karirnya di Spurs dan belum pernah dapat piala. Jadi, tunggu apa?

Membeli pemain berpengaruh, sudah jadi, disegani, dengan harga sedikit mahal, tak akan membuat United tampak seperti City, Fergie. Cantona dibeli mahal dari Leeds, demikian juga Cole dari Rovers, York dari Villa, Nistelroy dari PSV, Rooney dari Everton, dan Berba dari Spurs, dan tak seorang pun bilang MU telah membeli gelar. Sedikit lain jika membeli tiga pemain Dortmund sekaligus. Sebab, dalam dua tahun ini, Mancini dan City sudah melakukannya dengan empat pemain dari Arsenal dan dua kapten Villa.


3/

Sayangnya, saya bukan fans United, dan sepertinya tak akan bisa. Bahkan jika Andrei Kanchelskis dan Eric Cantona kembali ke Old Trafford sebagai pemain berusia 23. Bahkan jika Carrington menemukan formula kimia yang bisa membuat Giggs membelah diri menjadi lima dan tidak bisa tua.

Seperti yang pernah saya katakan, saya termasuk orang yang paling bahagia saat yang mengangkat tropi Liga bukanlah Evra melainkan Kompany. Rasanya, saya merayakan gelar juara City layaknya Indonesia meraih Piala Asia.

Karena itu, bagi United dan para fans mereka sesungguhnya, lupakan saja tiga “hikmah” versi fans United gadungan itu. Bolehlah itu dianggap olok-olok, meski itu cuma sedikit dari tujuan tulisan ini. Ya, saya pun berharap tiga hikmah itu tak pernah benar-benar diperhatikan oleh United dan para pendukungnya. Karena, menyenangkan melihat mereka menyesali kekalahan itu berlama-lama. Juga, pengalaman luar biasa ketika menemukan para penggemar United membuat teori konspirasi tentang dua gol telat di Etihad—sebab, selama ini, United-lah yang selalu jadi objek teori konspirasi.

Fergie pasti masih akan bermusim-musim lagi bersama United, tapi saya berharap bukan untuk memberi gelar berikutnya, melainkan untuk mengoleksi kegagalan yang lebih banyak. Saya juga punya harapan, keluarga Glazer tak mengeluarkan uang; mereka akan memaksa Scholes dan Giggs bermain sampai usia 43; memperpanjang kontrak Fletcer dan Carrick lebih lama dengan gaji yang dipangkas; dan jika pun mengeluarkan uang banyak, bukannya menemukan Cantona atau Keane baru, semoga mereka menemukan Bebe berikutnya.

Dan, sstt.... tentu saja, doa-doa ini saya rapalkan diam-diam. Kalau tetangga berisik saja mereka benci, apalagi orang asing yang berisik.

Related Posts:

Madre Mía Barca

Oleh Darmanto Simaepa

Manusia berpikir, Tuhan tertawa: begitu pepatah Yahudi berbunyi. Tampaknya pepatah itu cocok dengan nasib satu pekan 'tragedi menyedihkan' Barca musim ini. Semakin Guardiola terobsesi memikirkan bagaimana cara menyerang paling brilian dan membongkar pertahanan Chelsea, semakin dekat ia dengan kekalahan. Semakin Xavi meningkatkan proporsi mengumpan dan Messi mencoba menembak ke gawang Madrid, semakin banyak frustasi yang mereka dapatkan. Semakin bersemangat mencari celah masuk ke kotak penalti lawan, justru mereka harus mendapati kenyataan gawang mereka sendiri yang kebobolan.

Kisah kegagalan Barcelona musim ini adalah sebuah pertunjukkan akal sehat yang harus rela disingkirkan kekuasaan para dewa sepakbola......

*****

Saya sepakat dengan Franklin Foer yang menyatakan, jika menjadi penggemar Barca, anda harus siap-siap patah hati. Sejarah Barca adalah sejarah panjang tentang destruksi diri, fatalisme dan melankoli. Kesedihan ini, pada tahap yang paling awal, berasal dari kekeraskepalaan untuk memegang filosofi dan sejarah yang mereka bangun sendiri. Mereka mengklaim sebagai és més que un club: bukan sekadar tim sepakbola. Citara rasa sepakbola Barca, konon berkait dengan kecanggihan selera seninya, gelora nasionalisme kosmopolit Catalunia, dan campuran kecerdikan beserta pragmatisme pedagang Mediterania.

Warna bendera merah-biru Barca terinspirasi tricolore revolusi Perancis. Bendera inilah yang menjadi simbol perlawanan melawan dominasi tuan tanah Kastilia di masa perang sipil dan kediktatoran Franco. ‘Kemenangan Barca, dalam sejarahnya,’ kata penulis kontemporer terbesar Spanyol, Luis Vazques Montalban dalam novelnya tentang Barca, Offside, ‘adalah kemenangan warga Athena atas Sparta’. (Sebentar lagi kita akan tahu, bahwa Barca dekat dengan kisah Athena bukan karena sikap heroiknya.....)

Jadi, dalam sejarah Barca, ada semacam tautan antara permainan dan sejenis romantika. Sepakbola bukan lagi sekadar sepakbola. Sepakbola mewakili aspirasi, gaya hidup dan selera sebuah bangsa pedagang yang makmur, pintar, dan berakal sehat. Bagi pemuja humanisme, Barca bisa dianggap mewakili pencerahan manusia modern. Konon, akal sehat Barca dan Catalunia menyelamatkan konsep nasionalisme inklusif melalui sepakbola. Jika sepakbola Eropa modern selalu terhubungkan dengan kekerasan, rasisme, dan kerusuhan, maka tim ini adalah tim yang paling bersih dari riwayat hitam keganasan dan kebrutalan suporternya. Pemujanya yang fanatik bisa saja frustasi, tapi tidak pernah mentransformasikannya menjadi anarki atau berperilaku layaknya begundal keji.

Bagi bangsa Catalunia, patriotisme dan kosmopolitanisme bisa saling mengisi dengan sempurna. Anda mencintai negeri anda sendiri tetapi bisa juga bisa dicintai bangsa lain. Anda bisa nasionalis dan menganggap bangsa anda punya keunggulan sekaligus menyerap pengaruh asing. Konsep nasionalisme inklusif ini diterjemahkan ke dalam kebijakan tim dimana anda bisa mengkombinasikan didikan akademi La Masia dengan pemain terbaik dari seluruh penjuru dunia. Secara sempurna konsep ini ditunjukkan penguasaan permainan dan dominasi tiki-taka sementara lawan yang kebingungan dan para pendukungnya terpesona oleh sihir ketepatan umpan Xaviesta bisa mengagumi dan memujinya. Inti semangat abstrak bangsa Catalunia mewujud dalam bentuk konkritnya melalui permainan sepakbola.

Dengan keteguhan memegang filosofinya dan romansanya, Barcelona bisa dengan gampang menjual seniman terbaik seperti Maradona, Luis Figo, atau Ronaldo yang memilih pendapatan tambahan dari Nike atau Adidas daripada memakai kaos tanpa iklan. Klub ini akan memecat pelatih seperti Helenio Herera atau Luis van Gaal yang dinilai tidak memiliki kualitas artistik dalam taktiknya dan kosong nilai estetika meskipun memberi banyak piala. Para pendukung bisa bersiul mengejek sepanjang pertandingan kepada timnya sendiri yang bermain buruk meski menang, dan bisa bertepuk tangan dan bernyanyi gembira sejam lebih setelah pertandingan meski timnya kalah.

*****

Namun, jika riwayat Barca mirip kisah Athena seperti yang diungkapkan Montalban, barangkali, ironisnya, bukan pada heroismenya, tetapi dari tragedinya. Dari riwayat panjang prestasi klub yang semenjana, Barca menerima kekalahan dan kesedihan jauh lebih banyak dari pada keagungan filosofi permainan yang berusaha mereka pegang dan medali kemenangan yang mereka inginkan.

Kesedihan dan melankoli Barca konon terhubungkan dengan sebuah pertandingan finalnya yang pertama di Eropa yang penuh melodrama. Saat melawan Benfica di stadion Wankford, Berne tahun 1961, Barca adalah tim favorit. Mereka memiliki Luis Suarez, pemain terbaik Eropa tahun itu dan juga dua dewa sisa Magical Magyar, Sandro Kocsis dan Zoltan Csibor. Di Youtube anda bisa mengunduh dan menyaksikan bagaimana mereka menguasai bola, mendikte permainan, dan menekan lawan. Sisi dramanya: mereka kalah oleh sebuah gol bunuh diri dan serangan balik.

‘Sampai hari ini,’ ujar Luis Suarez, yang saat itu menjadi pemain terbaik Eropa namun gagal mencetak gol untuk Barca, ‘kami tidak tahu kenapa bisa kalah’. Orang Catalunia menamai pertandingan itu sebagai Madre mia, suatu istilah untuk menyebut suatu peristiwa yang mustahil terjadi namun terjadi. Kekalahan itu sulit diterima karena tidak ada penjelasan yang memadai tentangnya.

Pertandingan-pertangingan liga Champion Barca selalu identik dengan Madre mia ini. Barca kalah dari Steua Bucharest dalam final Champions kedua tahun 1986 lewat drama penalti dimana 4 pemain tim nasional Spanyol gagal menyarangkan tendangan dua belas pasnya. Pun begitu dengan malam berakhirnya era The Dream Team Cruijff. Sebelum pertandingan Cruijff mengatakan bahwa tidak mungkin timnya bisa kalah dari Milan. Dengan jumawa, seperti yang ditulis Sid Lowe secara melankolik dalam Barcelona vs Milan revisited: The night in 1994 the Dream died, Barca merasa sudah juara tanpa harus mempersiapkan taktik dan strateginya. Namun apa daya, tim Barca yang dianggap 'immortal' itu akhirnya remuk redam oleh Milan yang tanpa kapten dan bek terbaiknya, Baresi dan Costacurta. Dihidupi oleh tragedi ke tragedi lainnya, pendukung Barca sangat lekat dengan fatalisme dan pesimisme.

Bagi pendukung Barca, apa yang dibayangkan salah akan menyebabkan semuanya salah. Jadi mereka memiliki mentalitas pesimisme yang menjadi bagian dari DNA-nya. Jika boleh spekulatif, saat melihat Messi tidak ceria dan sering garuk-garuk kepala melawan Chelsea, pendukung Barca tampaknya tahu apa hasil akhir pertandingannya. Sikap fatalis ini konon ada hubungannya dengan perasaan dikorbankan saat Generalissimo Franco memihak Madrid. Barca memiliki inferioritas dan irasionalitas atas bayang-bayang konspirasi yang direkayasa untuk mengalahkan mereka. Ketika Franco tidak ada lagi, maka dewa-dewa di langitlah yang menjadi tertuduhnya.

Jika melihat benar-benar apa yang terjadi dalam pertandingan melawan Chelsea, anda tidak akan menemukan penjelasan dalam aspek permainan sepakbola. Pemain terbaik anda mendapatkan penalti yang sangat jarang digagalkannya. Tim anda menguasai bola, mendikte lawan, unggul jumlah pemain, dan mendapat peluang melimpah. Tetapi anda tetap kalah.

‘Saat melihat lagi pertandingan melawan Chelsea,’ kata Guardiola dalam wawancara hari Jumat, ‘Saya masih tidak mengerti kenapa kami tidak ke final. Tidak ada yang salah dalam peramainan kami’. Dia tak bisa menjelaskan Ramirez mencetak gol seperti Messidan tiba-tiba Torres berada di ruang dan waktu yang tepat untuk menerima bola sapuan Ashley Cole. Pendukung Barca akan menyebutnya Madre mia.

Diantara warga Catalunia, Guardiola barangkali adalah orang yang paling tahu tentang kesedihan dan Madre mia ini. Ia, tak sanggup menerima derita dan tekanan lebih banyak lagi. Saya kira, terlalu banyak ia menangis untuk Barca. Ia mendapatkan pukulan pertamanya sebagai laki-laki dewasa saat memimpin the dream team melawan Milan itu. Ia menangis saat, teman terbaiknya, kiper Andoni Zubizaretta, pergi ke Mestalla pasca ‘lonceng kematian yang sunyi di kamar ganti Athena’. Lalu, ia menangis tak lama kemudian, ketika pemain yang paling dikaguminya, Michael Laudrup bergabung dengan Real Madrid karena kecewa tidak mendapatkan kesempatan turun di partai final terakhirnya.

Guardiola yang memiliki DNA Catalunia dalam setiap sel darah merahnya tahu bahwa tragedi selalu berimpit dengan klubnya. Kekalahan-kekalahan Barca selalu menyakitkan dan meminta korban. Jadi saya tidak terkejut ketika mendengar kalimatnya dalam jumpa pers pasca kekalahan dari Chelsea. ‘Ini malam yang menyedihkan,’ kata Guardiola pasca tiga kekalahan beruntun pekan itu, ‘tapi kita akan mendapatkannya jauh lebih banyak’. Ia mundur karena, jika terus memaksakan diri sendiri, ia berpotensi mendapatkan tragedi yang pernah dialami oleh Cruijff atau Helenio Herera.

*****

Barangkali, kisah Barca dan Madre Mia-nya berasal dari sejenis obsesi akal sehat yang terlalu berlebihan dalam sepakbola. Konon, evolusi permainan sepakbola, pada puncaknya, ada dibawah kendali pikiran Guardiola, umpan presisi Xavi, dan penyelesaian akhir Messi. Barca yang terobsesi dengan sejenis filosofi, selera permainan seperti kualitas lukisan Salvador Dali, dan kecanggihan taktik hasil rancangan gedung dan jembatan ala Gaudi, adalah kisah rencana-rencana dan akal sehat manusia yang berusaha melawan kuasa para dewa sepakbola.

Saya merasa ada hubungan antara keangkuhan filosofi permainan Barca dengan sebuah wawancara panjang FourFourTwo dengan Xavi beberapa tahun lalu. Dari Xavi, saya mendapatkan tambahan perbendaharaan kosa kata bernama seny. Ini adalah istilah yang mewakili karakter nasional catalunia yang bisa diterjemahkan kombinasi antara pragmatisme dan kecerdikan. Pendek kata, seny setara dengan istilah peretongan.

Permainan tiki-taka Xaviesta, taktik memanfaatkan ruang, kombinasi permutasi posisi dan pressing ala Guardiola, dan statistik gol Messi adalah representasi istilah seny dalam lapangan sepakbola. Jika permainan sepakbola jenis ini disebut seni, maka seni ini bukan seni primitif yang mengandalkan insting dan imajinasi belaka. Ini adalah sejenis permainan yang muncul dari akal sehat: dipikirkan, dianalisis, dan dilatih. Bukan kebetulan jika Dani Alves, Gerard Pique dan del Bosque menyebut Guardiola sebagai pelatih yang tidak hanya melatih tetapi juga pemikir.

Kita semua tahu kisah-kisah berakhir sedih para pemikir dan pemuja akal sehat. Dari Socrates hingga Galileo, dari Ibnu Arabi hingga Tan Malaka. Dan kita tahu kisah-kisah manusia yang berpikir dan para dewa yang tertawa dalam tragedi Yunani. Barca, dengan akal sehatnya, dengan filosofinya, dengan kepercayaan teguhnya, dengan segala kebrilianan taktik dan tekniknya, tetap saja harus menerima hal-hal yang tidak bisa dijelaskan. Dalam sepakbola, akal sehat dan seny tidak akan selamanya memenangkan piala.

Empat tahun penuh dengan gelimang medali dan kesuksesan bisa saja membutakan prinsip dasar sepakbola yang juga punya wajah irasionalitasnya: kejutan, keajaiban, kebruntungan dan kisah-kisah yang berada di luar akal sehat. Lewat dominasi Barca, para pecinta sepakbola lupa bahwa orang Jawa telah lama menemukan kebenaran ini: orang pintar akan dikalahkan orang yang berusaha keras, dan orang yang berusaha keras akan dikalahkan orang bernasib baik.

Seperti dalam drama-drama Sopochles dan Eurepides, kita akan tahu kisah akhirnya: dewa akan menang, menulis nasib sedih dan menghukum manusia. Teman sebelah kamar saya menulis di dinding fb-nya begini: sesungguhnya tuhan tidak menyukai hal-hal yang berlebihan, termasuk dalam penguasaan bola dan ketepatan umpan. Saya bisa menambahkan selorohnya: ‘Barca bermain dan para dewa sepakbola tertawa...’

Related Posts:

Bola, Buku dan Pesta: Untuk Leideners

Oleh Darmanto Simaepa

Saya pernah mendengar sebuah aksioma tentang hubungan antara kalangan ‘cendekiawan’ dan sepakbola di Indonesia. Aksiomanya kira-kira begini: orang yang suka membaca buku, tidak menyukai sepakbola, dan sebaliknya orang yang senang sepakbola, tidak suka membaca buku. Bertahun-tahun saya meyakini hal tersebut—kecuali untuk diri saya sendiri. Fakta bahwa hanya ada satu artikel serius di jurnal internasional tentang sepakbola Indonesia, seakan-akan menggambarkan kebenaran aksioma itu. Juga hanya sedikit sarjana Indonesia yang meluangkan waktu dengan teliti untuk menyigi aspek sosial, ekonomi dan politiknya sepakbola Indonesia memperkuat rumusan tentang ketidakakuran sepakbola dan kegiatan akademik.

Namun sepertinya, pengalaman selama tiga bulan di Leiden sedikit menumpulkan ketajaman aksioma itu. Rumus itu lebih menyerupai sebentuk ungkapan frustasi dari pada realitas sehari-hari. Paling tidak, dinamika hubungan antara mahasiswa, buku dan sepakbola lebih berwarna dari yang kita kira. Juga barangkali hubungan ketiga kata-kata itu menyimpan kebenaran akan istilah klise namun nyata: kehangatan Indonesia dan persaudaraan erat di perantauan.

Inilah kisahnya...


Sejarah di Hoffland:
Indonesia 4, Maroko 15

Kekalahan timnas Indonesia 0-10 dari Bahrain jelas sebuah pertandingan paling yang menyebalkan dalam sejarah sepakbola Indonesia. Tetapi, sepertnya, itu tidak bisa dibandingkan dengan rasa malu yang diterima oleh kumpulan ‘cendekiawan muda’ yang harus rela gawangnya di jebol 16 kali oleh anak ingusan dari Maroko. ‘Timnas’ pelajar Leiden hanya bisa membalasnya empat kali—dengan salah satunya berupa gol cuma-cuma.

Sedari semula, pertandingan itu adalah sebuah nasib buruk. Awalnya, manajer merencanakan latihan menjelang siang di lapangan kecil di taman Hoffland. Latihan ini adalah kali pertama untuk persiapan mengikuti turnamen antar mahasiswa Indonesia Belanda di Arnhem. Dengan ukuran Indonesia, janjian di Centraal Station pukul 12.00 siang tidak begitu menyisakan banyak getah karet, karena semua datang sebelum 13.00. Namun, sesampai di taman Hoffland, lapangan sudah di pakai anak-anak Maroko yang rumahnya di sekitar taman. Tidak sabar menunggu anak-anak Maghribi kelelahan, manajer membuat kesepakatan dengan mereka untuk sebuah pertandingan persahabatan. Akhirnya, latihan ini berubah menjadi petaka.

Dengan cedera engkel yang saya dapat dari lapangan Imam Bonjol, tujuh bulan lalu, saya hanya bisa menggigil kedinginan di pinggir lapangan karena sisa salju dan menahan gigi geraham karena hujan gol ke gawang tim Leiden. Hati menjadi panas karena salah satu anak Maroko dengan nada mengejek menyatakan, Indonesia 0 Maroko 7 di jeda pertama. Saat mendengar kata Indonesia, saya lantas teringat rasa geram Uji Nugroho, sejarahwan dan pembuat bakso paling hebat dari Gunung Kidul. ‘Anak-anak itu mengatai-ngatai dan mengaggap remeh kita’ ujar Uji dalam percakapan sambil makan fish chip di Open Markt hari Rabu sebelumnya, ‘dikira aku tidak mengerti bahasa Belanda’.

Saat salah satu anak Maroko yang agresif menunjukkan gestur merendahkan dan menyebut identitas terkait dengan asal-usul, tiba-tiba Indonesia datang dengan cara yang aneh. Mungkin ini adalah melankoli perantauan sebagai warga negara Indonesia: di saat kecewa, kita sering mencelanya namun disaat jauh, kita merasa butuh. Saya tidak membayangkan bagaimana perasaan Uji atau mas Wahid—yang mendapat pelajaran bahasa Belanda abad 17 hingga 21—mendengar omongan itu.

Tanpa perhitungan akan cedera, saya akhirnya membuat sejarah hari itu: bermain sepakbola di Eropa pertama kalinya. Di bawah suhu 0 celcius, hidung seperti tersumbat dan tenggorokan menyempit. Mulut menguarkan asap seperti cerobong kereta uap di perkebunan gula awal akhir abad 19. Otot kaku dan mengkerut—balsem tropis paling panas pun tidak bisa melenturkannya. Dengan udara di pori-pori kulit tropis, saya harus bermain dengan kupluk, jins, sarung tangan, dan sweeter. Jelas, itu lebih mirip petani dieng yang sedang memanen kentang dari pada bermain sepakbola.

Lebih buruknya, saya mendapat kekalahan terbesar dalam hidup saya.

Para pemain yang ikut seleksi timnas Leiden jelas bukan sembarangan. Hampir kesemuannya menggenggam gelar sarjana. Otak encernya jelas tidak perlu diragukan lagi. Dari ahli statistik sampai pemikir politik, dari yang menggeluti budaya hingga perbandingan agama, semua ada. Tetapi masalahnya adalah, pikiran para pemain itu jauh melampaui tindakan. Saat ide di kepala mengarahkan bola ke arah gawang, tetapi otot kaki ternyata menendang bola ke sudut lapangan, jelas menggambarkan ada yang keliru dengan koordinasi tindakan. Untung saja, diantara salah umpan dan pergantian pemain yang hampir sama jumlahnya, pemain belakang hanya sekali membuat gol ke gawang sendiri.

Sebelum mencela etos atau perjuangan ‘duta’ Indonesia di Leiden ini, mari kita sedikit mengenali latar belakangnya. Sebagai mahasiswa yang relatif miskin—untuk ukuran Belanda—para pemain ini akan memilih memasak nasi dan menghindari makan siang dari pada terbiasa makan roti, keju, daging atau jus stroberi. Asupan protein paling istimewa adalah daging sapi paling murah di Mabroek, kedai milik orang Maroko atau susu sekotak yang bisa untuk beberapa hari dengan harga di bawah 1 euro. Sementara otak mereka diperas sepanjang hari untuk menyelesaikan tesis dan dibuat frustasi oleh urusan yang belum selesai dengan artikel, verba, atau proposisi, otot mereka jelas dilatih hanya melalui jalan kaki atau bersepeda.

Tidak diragukan lagi bahwa pemain-pemain berbakat untuk menganalisis dan memahami sepakbola. Namun bila dilihat dari gaya larinya dan cara menendangnya, mereka jauh lebih banyak berurusan dengan angka atau buku-buku dari pada tersungkur di lapangan rumput. Sebagian dari mereka di masa remaja adalah pemain berbakat. Ini bisa dikenali dari teknik mengambil bola atau berteriak meminta bola. Namun mereka tidak bermain sepakbola di lapangan sungguhan secara teratur sekitar sepuluh tahun. Seperti veteran yang kalah perang, sepakbola adalah sejumput kenangan masa muda yang hanya nikmat untuk diceritakan lalu ingin dilupakan. Jadi kekalahan ini jelas bisa lebih mudah dimaklumi dan dilupakan.....

Diantara sejarah yang memilukan ini, puji tuhan, selalu ada suporter yang setia. Di hari pembantaian itu, Dr. Eddy datang dengan bakwan dan sambal kecapnya yang legendaris plus jus apel yang segar. Kombinasi jajanan tradisional dan perasan buah Eropa sedikit mengalihkan perbincangan tentang kekalahan. Sepekan kemudian, lebih banyak suporter datang. Kali ini para pemain boleh sedikit bersemangat. Para pendukung adalah gadis-gadis cantik dan pintar dengan sepatu bot, jaket tebal dan sedikit gaya—meskipun suhu dingin membuat bibir mereka kering dan sedikit berkerak jingga. Mereka duduk di kursi sudut taman di bawah pohon ek—lengkap dengan kamera. Luar biasanya, mereka membuat puding yang sangat Indonesia: bubur kacang hijau lengkap dengan ketan hitam dan santannya.

Barangkali tidak ada suporter sepakbola di dunia sehebat di Leiden. Mereka bangun pagi-pagi di akhir pekan untuk menanak kacang padi, ketan hitam dan memanaskan santan dan kemudian datang untuk memberi dukungan bagi sebuah tim yang minggu sebelumnya kalah 4-16 secara memalukan. Tidak terdengar—setidaknya secara terang-terangan—caci maki, siulan dan nada cemoohan. Kacang padi disajikan dalam keramahan dan ‘kelembutan’ timur yang terkenal itu. Dalam hal ini, nilai dukungan dari para suporter lebih banyak untuk dibincangkan dan dikenang ketimbang sejarah kekalahan...

Sepakbola di KITLV? Yang ada adalah keluarga.....

Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) nyaris seperti surga bagi peneliti Asia Tenggara—khususnya Indonesia—dan Karibia. Disini tersedia dokumen sejarah Indonesia yang tertulis maupun visual sejak tahun 1851. Bagi mahasiswa ekonomi, antropologi, ilmu agama, atau ilmu sosial lainnya anda bisa orgasme menemukan harta karun pengetahuan yang anda cari-cari selama ini. Namun bagi peminat sejarah sepakbola Indonesia—anda akan dibuat frustasi.

Dokumen tentang sepakbola dari masa Hindia Belanda hingga jaman Nurdin Halid tidak begitu banyak tersedia. Kisah-kisa sepakbola di awal abad 20 hanya terselip dalam koran-koran kecil berbahasa Belanda dan koran Melayu Tionghioa. Buku tentang sejarah klub tidak ada. Sedikit dokumentasi berasal dari PSSI yang biasa dicetak glossy lebih banyak kisah puja-puji terhadap organisasi dan ketokohan pengurusnya dari pada cerita tentang sepakbola Indonesia itu sendiri.

Atas bantuan Bart Barendreght dan Fera, saya bisa ngobrol kilat dengan Freek Colombijn, satu-satunya sarjana Belanda kontemporer yang menulis politik sepakbola Indonesia. Mungkin sekitar 15 menit—karena dia harus pulang mengurus anaknya sementara istrinya sedang field work di Afrika—saya bisa berbagi perspektif tentang sejarah bola di Indonesia. Ia membuat kesimpulan bahwa sepakbola di Indonesia memang sebuah anomali. Negeri ini punya populasi 250 juta yang hampir semuanya menggilai bola—separuh diantaranya setidaknya pernah memainkan dan menontonnya—namun hanya sedikit ilmuwan sosial yang menulisnya.

Di negeri dimana sepakbola berimpit dengan gerakan nasional pasca kemerdekaan, terhubungkan dengan kontrol militerisme dan kapitalisme semu di masa orde baru, dan oligarki kekuasaan serta dekat dengan sejarah kekerasan sepanjang penyelenggaraan kompetisi, studi tentang sepakbola sebagai fenomena sosial dan cerminan transformasikan proses ekonomi-politik hanya bisa dihitung sebelah tangan.

Sebelum pulang, Freek mengenalkan saya dengan seorang archivaris khusus bidang olahraga Indonesia di KITLV. Namanya Nick van Horn. Nick bekerja mengumpulkan buku, naskah, guntingan koran mikro film, video, laporan tentang sepakbola Indonesia. Orang lucu ini setahun sekali berburu dokumen dari Museum di Taman Mini, Kwitang di Pasar Senen hingga kedai-kedai buku bekas Jalan Bawean di Surabaya. Ia menyilahkan saya datang ke ruang kerjanya untuk melihat koleksi hasil buruanya. ‘Tidak banyak,’ ujar Nick yang suporter Persija itu, ‘sepertinya klub-klub dan orang penting di Indonesia tidak peduli dengan dokumentasi olahraga’.

Di ruangannya yang sempit di lantai tiga, saya hanya menemukan 2 buku tentang sejarah klub sepakbola (Suryanaga di Surabaya dan UMS di Jakarta, kebetulan dua-duanya klub milik keturunan Tionghoa yang peduli dokumentasi). Buku-buku lain adalah kolom-kolom pendek di koran yang dibukukan—misalnya ulasan Gus Dur, Emha Ainun Nadjib atau Sindhunata. Hanya ada tiga guntingan koran yang menulis laporan khusus tentang kontinyuitas sejarah sepakbola—satu tentang kejayaan sepakbola Tionghoa, lainnya tentang desa sepakbola di Maluku, dan terakhir tentang bonek Surabaya di musim 2003-2004. Selain itu, sepakbola Indonesia terbenam dalam kegelapannya goa sejarahnya sendiri.

*****

Meskipun tidak menemukan aliran passion saya atas sejarah sepakbola bertemu dengan arusnya, saya seperti mendapat berkah terhubungkan dengan KITLV. Selain bahwa disini tersedia naskah dan dokumentasi paling lengkap tentang pulau tercinta yang akan saya teliti, Siberut, saya merasa seperti di sebuah keluarga imajiner bernama ‘Indonesia’. Disini tiap kali membuka pintu, saya selalu menemukan wajah-wajah Indonesia. Anda akan sering berjumpa dengan para bule yang menyapa dalam bahasa Indonesia. Kalau kangen berita nusantara dari media cetak, Kompas, Indo Pos, Republika atau Tempo tersedia secara rutin tiap minggunya. Tempat inilah di Belanda yang paling menghubungkan emosi saya dengan entitas abstrak bernama Indonesia.

Ini bukan sekadar karena isi KITLV yang melimpah dengan studi tentang Indonesia. Lebih kongkrit dan terasa, tempat inilah dimana solidaritas dan pertemanan seperantuan di Leiden (bahkan mungkin di Eropa) dimulai. Hampir semua teman baru yang didapatkan di Belanda berawal dari dari tatap muka di rak yang menderet jurnal Indonesia terbitan Cornell, di komputer reservasi, di loker penyimpanan tas, dibalik pintu toilet, di ruang foto kopi atau saat-saat menunggu antrean pengembalian sambil ngobrol basa-basi. Hari ini kadang kita mendapat teman yang sekolah di Paris dan Praha dan lusa mahasiswa Indonesia dari Edinburgh dan Frankfurt menyapa.

Bagi mahasiswa baru, KITLV adalah salah satu tempat untuk merasa nyaman berada di Leiden. Disini juga banyak para peneliti yang kita tidak kenal memulai percakapan dengan bahasa Indonesia. Para senior yang sedang pada fase akhir penulisan atau profesor sesekali berkunjung dan membuat kesepakatan bertemu untuk berdiskusi. Jika seseorang tinggal berjauhan, peta Google susah dibaca dan Leiden masih jadi tempat yang membingungkan, KITLV adalah tempat yang paling mudah untuk janjian.

Selain Central Station, KITLV adalah melting pot, tempat bermuaranya dokumen masa lalu, arus sirkulasi pengetahuan masa kini dan sekaligus tempat yang memberi peluang untuk membangun jaringan akademia di masa depan. Jaringan ini tidak dimulai dari debat panas, diskusi ndakik-ndakik, atau percakapan elit dunia akademik. Disini, pertemanan dimulai dari janjian untuk membeli tempe di pasar hari Rabu atau sumbang saran atas resep makanan yang ada di toko Cina, datang ke acara pak Min berbarengan, bertukar informasi mengenai kost-kostan dan informasi harga buah atau sayur-sayuran yang paling murah, atau bergosip ria sambil melempar humor jenaka.....

Diatas semuanya, KITLV adalah pusaran arus migrasi pengetahuan dan migrasi ruang mahasiswa Indonesia. Dan tentu saja ada sepakbola dalam lalu lintas percakapan di bangku-bangku di luar ruang baca perpustakaan KITLV. Setelah penat berurusan dengan artikel-artikel jurnal atau arsip-arsip tua, saat matahari peralihan musim semi bersinar cerah dan angin dari arah laut atlantik berhembus lembut, bangku melingkar di taman adalah tempat yang asyik untuk membahas kekalahan Barcelona atau nasib apes Fernando Tores. Ada juga ledekan antar pendukung dan sedikit taruhan untuk pertandingan akhir pekan.

Mahasiswa Indonesia yang datang ke KITLV, seserius dan sekutu buku apapun dia, terlihat tidak terasing di negeri asing—meskipun barangkali sebagian diantara mereka terasing dari sepakbola....

‘Yaps, kami tidak punya ipad tapi punya tukang pijat, imajinasi dan semangat’

Dari segi apapun, tim Leiden bukanlah tim yang menyenangkan mata dalam turnamen futsal antar pelajar Indonesia di Arnhem. Diantara peserta lainnya yang lebih segar dan berwajah bening, kontingen Leiden lebih mudah dikenali dari warna kusam rona mukanya dan bentuk perutnya. Meskipun jauh lebih kreatif dari sisi pembuatan nomor punggung, dilihat dari gaya dan pesona, jelaslah kontingen ini kurang berada dari segi dana dan gaya meskipun berlebih dari segi usia.

Di Valkenhuizen Arena itu, terlihat kelas yang berbeda antara remaja-remaja anak orang kaya yang sekolah di Delft, Deventer, Tilburg dan Amsterdam dan para calon cendekiawan yang tidak akan pergi ke luar negeri kalau tidak mendapat beasiswa. Jika manajer Deventer menggunakan jas rapi, sepatu kulit, dan I-Pad terbaru, maka rombongan Leiden bermodalkan pita suara dan nyaring bunyi kecrekan belaka. Saat sepasang remaja yang sepertinya sedang dilanda asmara berjalan hilir mudik seperti dua perangko di tempelkan di seterika, yang bisa dilakukan adalah menelan ludah dan membicarakannya dengan pelan-pelan. ‘Itu kita juga pernah,’ seloroh Aji, ‘Saya mah lebih hebat dari itu’.......

Namun jangan salah sangka, kontingen Leiden jauh unggul dalam banyak hal. Pertama, tim ini adalah tim yang paling berpengalaman. Bukan pengalaman bertanding tentunya, tetapi pengalaman menghadapi pahitnya hidup dan tekanan. Dari pengalaman sendiri, setiap pekan selalu ada cerita sindrom bab pembukaan, gaya tulisan atau perasaan tidak percaya diri saat bertemu supervisor penelitian. Menulis berbahasa Inggris adalah alat intimidasi yang paling mengerikan sekolah di negeri orang dari pada sekedar menerima rasa malu salah jalan. Jadi tidak masalah jika rombongan yang hampir kehilangan usia muda itu tetap berteriak penuh semangat penuh tenaga meskipun barangkali remaja-remaja bening dari bangku sebelah agak keheranan.

Tim Leiden punya dua hal sekaligus dalam diri Mas Ary Budhi—fisioterapis dan ahli masak ulung. Mungkin jurus dan ilmu mengendorkan otot betis dan membuat tahu petis berbeda, tapi ditangan mas Ary, semua seperti asam digunung dan garam dilaut. Saya sedikit percaya diri untuk tampil beberapa menit meski belum sembuh dari cedera setelah jurus urut mas Ary bekerja. Pemain terbaik yang merupakan naturalisasi dari Timor Leste Edegar Concecao, menjadi bertenaga setelah penanganan yang brilian darinya. Sayang sekali, gara-gara makanan yang kelebihan gula dalam saus tauge yang disediakan panitia, jurus fisioterapis tidak bekerja karena ‘tenaga dalamnya’ digunakan untuk menyelesaikan masalah perutnya...

Setelah berlatih tiga kali dan sebuah pertemuan yang membahas taktik dan teknik sama seriusnya dalam menyantap iga bakar di kamp konsentrasi Duwo, dalam tiga pertandingan penyisihan yang penuh hasrat, tim ini berhasil membuat sejarah bagi PPI Leiden karena mencetak gol dan meraih 3 angka dari 2 pertandingan. Penyerang terbaik yang dipunya, campuran aneh antara semangat dan tenaga Drogba dengan postur Fabrizio Miccoli dalam diri Yanwar van Tasik, membuat gol tercepat dalam turnamen itu. Meskipun kiper dadakan ‘Romi Rafaik’ berulang kali harus meminta pendapat dari penontont sebelum dan setelah menendang bola, gawangnya paling sedikit dibobol penyerang dari tim favorit sekaligus tuan rumah Arnhem.

Yang tidak semua orang bisa tahu—kecuali Tuhan dan Leideners sendiri—tim ini punya sehimpun imajinasi. Ngurah Suryawan yang diplot di tengah seperti posisi pemain favoritnya Steven Gerard, memiliki bayangan di kepalanya tentang bagaimana umpan terobosan diberikan atau sudut terbaik untuk menendang. Sayang sekali antropolog muda menjanjikan ini, saat dilapangan, jelas lebih mengkhayalkan sepakbola dari pada memainkannya. Imajinasi sepakbola memberikan arahan, tetapi apa daya, usia tidak pernah bisa berbohong dan gambir di perut tidak bisa menyembunyikan bukti seseorang mengarungi waktu.

Kecuali Edegar dan Uji, para pemain Leiden lebih sering memegang pinggang dari pada mengejar lawan. Otot mudah bergetar bukan karena grogi tetapi memang tidak bisa dipaksa untuk kencang berlari. Setelah dua kali atau tiga kali sprint mata Yanwar terlihat berkunang-kunang, Muslihin dan Aji bingung menjaga lawan hingga hanya banyak berlari-lari kecil ke sana kemari, sementara Faik dengan celana pendeknya yang seksi menyisir lapangan cepat meminta ganti...

Namun kalau dilihat dari perspektif lain, tim ini bermaterikan pasukan tempur yang bermain heroik meski punya banyak keterbatasan. Uji harus merelakan engkelnya bergeser dan Akhmad Wahid yang bermain sayap kiri, terus menempel lawan meski otot hamstringnya konstraksi. Yang paling membanggakan, tim ini jelas paling demokratis dan egaliter. Antara tim inti, pemain cadangan, manajer, dan suporter mengeluarkan tenaga yang sama dan merasakan capek yang setara. Kiper bisa berganti posisi menjadi penyerang dan tim cadangan bisa masuk kapan saja asal kuat tenaga.

Dan sekali lagi, suporter layak mendapat kredit tambahan. Dengan kecrekan, plastik biru dan spidol hitam, pendukung hebat ini membuktikan usia tidak ada kaitannya dengan percaya diri, kebersamaan, spirit dan kekompakan. Meskipun barangkali paling sedikit jumlahnya, dengan suara nyaring dan lambaian tangan, suporter ini memiliki gema tersendiri di ruangan itu. Jika mahasiswa pasca sarjana yang tidak lagi remaja dan tengah dipusingkan dengan tesis masih lebih energik dan memiliki vitalitas dibanding remaja-remaja tingkat kuliah dua, cukuplah kita mengakui bahwa ada makna tentang soliditas diantaranya....

Bagi pendatang baru seperti saya, turnamen Arnhem bukanlah sekadar bisa merasakan atmosfer bola antar pelajar di Belanda atau kuping geli mendengar sambutan wakil duta besar Indonesia di Belanda. Arnhem adalah kota paling jauh yang saya pertama saya kunjungi di Belanda. Diantara jeda stasiun di belasan kota dan ratusan kilometer diantaranya, ada percakapan-percakapan kecil diantara bangku kereta. Obrolan ringan tentang negeri asing—kuburan, kanal-kanal, hamparan lahan pertainan, trem-trem dan gedung tua—bertukar tangkap dengan lepas bersama pembicaraan tentang kisah negeri sendiri dan ceritera pengalaman diri sendiri. Itu adalah waktu-waktu yang berharga untuk bisa mengenal kisah orang lain, dari rute sejarah yang agak lain, melewati kota-kota yang asing. Misalnya, saya bisa sedikit berbagi tentang biografi diri dan Mentawai dan mendapatkan sejarah kelam di Bali atau kisah perdagangan di pedalaman Kalimantan ...

Dan tentu saja perjalanan-perjalanan jauh bersama di akhir pekan ini memiliki banyak manfaat. Anda bisa sedikit melarikan diri dari kepenatan menulis paper, mengistirahatkan pantat dari bangku perpustakaan, atau memberi asupan pengalaman diluar urusan akademi. Sekali lagi, ini juga bisa memberikan anda rasa nyaman untuk bersama sebagai sebuah keluarga. Lahir dan tumbuh dalam tradisi Indonesia, sekuat apapun anda bersendiri dan mandiri, kadang-kadang kolektivitas kita butuhkan untuk memberikan rasa nyaman di negeri orang.

Dan diantara semuanya, tidak lengkap tanpa pesta

Sebagai keturunan Austronesia yang sudah melanglang buana hingga ke Eropa, mahasiswa ini sudah tidak akrab lagi dengan pengayauan, rumah panjang, dan menyembah roh-roh yang bersemayam di batu-batuan. Namun kita masih berhak mengklaim pewaris tradisi itu karena kita masih melestarikan salah satu ritual ‘warisan nenek moyang’. Tradisi neolitik Mentawai mengenalnya sebagai puliaijat atau punen, di Jawa ada selametan, orang Meratus mengenalnya aruh ganal, Sunda Wiwitan memiliki seren taon. Dan mahasiswa Indonesia di Leiden selalu punya alasan untuk syukuran.

Mungkin ini tidak ada kaitan dengan pepatah yang bias Jawa, ‘makan gak makan yang penting kumpul’. Toh, dalam setiap syukuran dan pesta, makanan tersedia melimpah. Minuman meruah. Dan makanan ringan selalu berlebih. Saya tidak tahu persis tradisi Leideners dalam melakukan acara bersama. Yang saya tahu untuk satu turnamen atau kegiatan, disini perlu dua acara syukuran. Paling tidak dalam kasus Arnhem, sebelum berangkat semua berkumpul bersama untuk makan-makan, doa dan berpesta dan setelah pulang, semua berkumpul lagi untuk makan-makan, doa dan berpesta. Dan setiap pekan hampir selalu ada undangan datang untuk hajatan orang pulang, ulang tahun, atau peresmian rumah baru...

Dulu di tahun 1970-an, Ashadi Siregar dengan novelnya Cintaku di Kampus Biru, membawa istilah ‘buku, pesta dan cinta’ dalam kehidupan mahasiswa Yogya. Saya tidak tahu apakah istilah cinta di Leiden menemukan makna terbaiknya. Istilah ini lebih menyerupai alegori dalam sahut menyahut obrolan dan tampaknya, entah mengapa, semua orang menghindari pembicaraannya secara terbuka. Tapi yang pasti, dengan syukuran dan kumpul bersama nyaris tiap minggunya, kata-kata cinta mungkin bisa diganti dengan bola.

Mungkin bias perspektif menyulut saya untuk berani mengganti bola dengan cinta disini. Tetapi jika melihat pemahaman, kualitas percakapan dan juga daya jangkau sepakbola dalam percakapan sehari-hari para mahasiswa ini, jelas obrolan tentang sepakbola bukan sekadar cara mendapat teman. Yanwar darahnya sebiru Chelsea, Uji dan Ngurah meski saling meledek di acara seperti biasa tak pernah bisa berganti hati dengan Liverpool, Dani mukanya memerah jika MU kalah, dan saya sendiri lunglai berhari-hari di pekan menyedihkan Barcelona.

Tetapi mungkin juga, cinta dalam pengertian terbaiknya tak pernah menguap di udara kota Leiden seiring bergantinya cuaca. Saya bisa menangkapnya dalam tiga urusan ini: makanan, lagu-lagu kenangan, dan pembacaan cerpen....

Mas Ary Budhi, koki Indonesia terbaik di Leiden, membuat masakan seperti mencintai perut dan kesehatannya sendiri. Saya tidak beruntung merasakan bebek panggangnya di malam perpisahan kang Kusmana, tetapi hanya dari warna kuah mangut tongkol dan sambal merahnya, orang paling awam pun akan terbit air liurnya. Baksonya Uji ratusan kali jauh lebih mententeramkan jiwa dari bakso Surabaya ala pasar malam Den Haag. Ronde segar-hangat dan klepon manis Zweta merefleksikan kepribadianya. Iga bakar asam manis ala ‘satria bergitar’ rasanya tersisa dalam ingatan hingga kini dan cumi bumbu padang dari Intan rasanya gurih di lidah dan menyegarkan pikiran. Sementara gulai kambing Yanwar memaksa orang harus tambah dua kali. Saya boleh berbangga, rendang yang dibuat tidak menggunakan bumbu instan meski mata harus pedih dan tangan pegal karena melumat bawang dan bumbu satu-satu dalam ulekan.

Bicara soal masakan dan cinta, saya jadi teringat Remy, tikus pintar dalam film Ratatouile. Di bagian akhir film, saat bertemu dengan Anton Ego si pengkritik, Remy mengatakan ‘anda tidak bisa menilai masakan dengan kepala, tetapi harus dengan hati’. Sebab, kata Remy, seluruh masakan terbaik selalu dimasak dengan hati. Dan hanya sedikit yang bisa dilakukan dengan hati selain memasak, bukan? Diantara yang sedikit itu, cinta adalah salah satunya. Jika anda tidak bisa memasak dengan segenap cinta, apa yang akan terjadi dengan perut teman yang kamu kasihi? Begitulah kira-kira pesannya si Remy.

Selain asap dapur dan bau terasi, pesta mahasiswa Indonesia tidak akan punya gaya tanpa lagu-lagu sisa kenangan 'masa remaja'. Jika tukang kendang tidak selalu bisa datang untuk mengiringi irama dangdutan, alunan gitar irama melankoli akan mendominasi. Seperti yang sering saya guraukan, anugerah terbesar mahasiswa Leiden kontemporer adalah memiliki Gesit Pambudi. Ia sabar dan mahir melayani beragam selera, berbagai jenis suara, dan bermacam-macam cengkok dan irama--bahkan suara yang nyaris tanpa garam.

Generasi emas pop progresif 90an dan 2000an adalah sajian utama. Kla Project, Dewa, Padi, Gigi, Iwan Fals dan dari musik internasional, Cranberries mungkin adalah selera segelintir orang, namun setidaknya lagu-lagi itu bisa menyulut romantisme akan kebersamaan. Para rock mania menyembunyikan hatinya dan bersikap malu-malu kucing (atau sebenarnya takut malu), sementara lagu Yogyakarta, Begitu Indah dan Tentang Kita senantiasa mengudara. Barangkali perasaan Ngurah yang bersemangat melagukan Tentang Kita—dan hampir semua penggemar ikut paduan suara—mewakili perasaan mahasiswa yang tengah jauh dari keluarga yang dicintainya, apapun definisi tentang keluarga.

Lalu Mas Achmad Munjid datang dengan kisah-kisah pendek dan puisi melankolis yang penuh metafora. Puisi Luka dibaca dengan hening dan tenang di rumah Koening—membuat orang pada terdiam. Juga dengan Ama yang begitu mencintai bunga kamboja di Marienpoel Straat 51. Suara mas Munjid yang empuk (seempuk daging kalf Maroko) dan lembut(selembut es krim Australian) dengan iringan dentingan gitar Gesit membuat para mahasiswa yang lebih sering menggunakan otak kanannya itu, terbawa hanyut dalam suasana: ngelangut.

Kata-kata dari kisah mas Munjid kadang datang seperti udara segar, kadang sehangat matahari Mei, namun kadang menikung menyerupai suhu dingin membekukan hati. Ceritanya seperti membuka tirai dan menuntun pendengarnya untuk mendengarkan kisahnya yang ia tenun sendiri. Dan kebenaran ucapan pak guru Keating dalam film Peter Weir, Dead Poet Society tak terbantahkan: puisi membuat dewa-dewa iri dan para perempuan pingsan! Terutama Donna, yang meskipun kadang celalakan dan mirip preman Medan, hatinya akan segera lumer: lemeeeessss . Sementara yang lain, setelah sesi baca puisi atau cerpen, segera merekues kisah lanjutannya.

Uji akan menyebut kata ‘dahsyat’ berpuluh-puluh kali selama membicarakan karya-karya mas Munjid. Sementara yang lain, entah karena tersentuh hatinya atau tidak mengerti rangkaian majas dan alur ceritanya, lebih memilih duduk dengan khidmat merenungi makna di balik kata-kata. Bertahun-tahun menjalani lika-liku sebagai mahasiswa studi religi tidak mengikis keterampilan menulis dan cita rasa romantis era 90-an. Philadelpia, sepertinya tidak bisa menghapus ingatan mas Munjid akan tema-tema abadi seperti cinta dan kematian, bahkan semakin menebalkannya.

Lagu-lagu, masakan berbumbu dan cerpen syahdu adalah alasan dibalik kehangatan perantauan. Pesta atau syukuran adalah salah satu medium untuk mengintegrasikan mahasiswa yang berbeda generasi, bidang keilmuan, perspektif, dan yang lebih penting allowance beasiswanya. Dari generasi Obi Messakh, Kla Project, Sheila on7 hingga Adele, dari boruSiregar, bli I Ngurah, teh Intan hingga Concecao, semua berusaha meleburkan diri—meski tidak semuanya berhasil—dalam nuansa kebersamaan.

Dalam pesta syukuran: semua menyanyi (meski sebagian hanya dalam hati) untuk merayakan sejenak momen kebersamaan; untuk melupakan masalah tenggat tulisan; untuk lari sejenak dari kenyataan; untuk berjarak dari masalah yang membelit diri sendiri; untuk menyeka barang sebentar kesunyian dan kesendirian di negeri orang; untuk bertahan dari segala tekanan. Yang penting dalam nyanyian bersama ini, seluruh arus jiwa dan gelora mengambang di udara—segalanya berasal dari nasib berbeda namun dipertemukan dalam muara ruang dan waktu bersama.

*****

Sepanjang tiga bulan di Leiden ini saya menemukan makna dan peristiwa baru lengkap dengan peralihan dan ketidakmenentuan cuacanya. Saat saya datang kembali—percakapan tentang sepakbola, buku-buku dan pesta—semua tak akan pernah lagi sama. Saat menyadari harus melintas benua untuk meninggalkan arus peristiwa selama tiga bulan ini, untuk kembali ke sebuah negeri rumit yang lebih kita cintai saat kita pergi, saya tidak bisa menemukan kata-kata sendiri untuk menggambarkannya. Saya perlu satu sajak Octavio Paz untuk mengakhirinya:

Between going and staying the day wavers

Between going and staying the day wavers,
in love with its own transparency.
The circular afternoon is now a bay
where the world in stillness rocks.

All is visible and all elusive,
all is near and can't be touched.
Paper, book, pencil, glass,
rest in the shade of their names.

Time throbbing in my temples repeats
the same unchanging syllable of blood.
The light turns the indifferent wall
into a ghostly theater of reflections.

I find myself in the middle of an eye,
watching myself in its blank stare.
The moment scatters. Motionless,
I stay and go: I am a pause.

Related Posts: