MESSI, KEMISKINAN IMAJINASI, DAN CAHAYA KHAYALI KEMASYHURAN

Oleh Dwi Cipta

Untuk: Eduardo Galeano dan Mariana Renata

Dan dia yang sehari-harinya tampak di mata kita//tak lebih dari sosok kecil dan biasa-biasa saja//Dalam sorot cahaya khayali kemasyhuran//Akan melenggang seagung bayang–Octavio Paz, Kemasyhuran.

Menjelang pertandingan Barcelona vs Atletico Madrid pada hari minggu malam, 16 Desember 2012, media massa di berbagai penjuru dunia mengajak jutaan pemirsa menjadi saksi siapa yang lebih banyak mencetak gol di antara Lionel Messi dan Radamel Falcao. Tak ada yang meragukan kemampuan Messi dalam membobol gawang lawan. Sebelum melawan Atletico, dia telah menahbiskan diri sebagai pencetak gol terbanyak dalam setahun, melewati rekor Gerd Mueller yang telah bertahan selama 40 tahun. Falcao, yang baru dua musim merasakan kerasnya liga Spanyol, juga membuktikan diri sebagai striker maut bagi gawang lawan. Sebelum pertandingan melawan Barca dia telah membukukan rekor penciptaan 5 gol dalam satu pertandingan.

Dan pemirsa pertandingan yang melibatkan dua striker itu menyaksikan betapa berbahayanya dua striker itu. Menerima operan bola dari Diego yang berhasil merebutnya dari Messi, Falcao berlari cepat dibayangi tiga pemain Barca seperti Busquet dan Pique. Ia lolos dari para bek itu dan melepaskan tembakan terukur yang tak bisa diantisipasi oleh Valdes. Seolah tak ingin ketinggalan, Messi menciptakan gol spektakuler yang tak kalah indahnya. Menerima umpan Alexis Sanchez, Messi berlari ke dalam kotak 16 meter, dan dibayangi oleh tiga pemain belakang Atletico, ia melepaskan sepakan terukur yang mengarah masuk ke pojok kiri gawang. Messi tak berhenti hanya dengan satu gol. Setelah dengan cekatan memanfaatkan kesalahan Diego Godin, ia merangsek maju, lalu dalam hitungan detik mencungkil bola melewati kiper Courtois dan mencatatkan namanya di papan skor untuk kedua kalinya.

Salah satu pertandingan terbaik di liga Spanyol musim ini kembali meneguhkan nama Messi sebagai striker yang memiliki kelas berbeda di antara para striker dunia lainnya. Mungkin akan sia-sia kerja keras penggemar sepakbola Brazil yang tengah sibuk memaksa FIFA mencatat nama Zico sebagai striker tersubur dalam setahun karena berhasil melesakkan 89 gol meski rekor ini tak pernah diakui oleh Badan Sepakbola dunia tersebut. Gol kedua Messi membuatnya secara resmi mencetak 90 gol, lebih sebiji dari yang dibukukan Zico. Dengan menyisakan satu pertandingan terakhir di paruh pertama musim ini, bukan tidak mungkin rekornya itu akan ia pertajam, sehingga akan sangat sulit bagi striker-striker masa depan untuk melampuinya.

***

Seperti seremonial wajib, puja-puji terhadap Messi kembali bermunculan setelah pertandingan melawan Atletico Madrid, baik dari pihak lawan maupun kawan-kawannya. Namun mungkin pujian Alejandro Sabella, pelatih Messi di timnas Argentina, yang paling menarik perhatianku. Sehari setelah pertandingan, Alejandro Sabella mengucapkan komentar menggelitik atas capaian Messi dalam sepakbola: "Messi adaah seseorang yang selalu ingin mencapai hal yang lebih baik. Anda bisa mendeskripsikan kategori sangat buruk, buruk, cukup, bagus, sangat bagus, sempurna, luar biasa, dan di atas segalanya adalah Messi."

Ucapan Sabella mengingatkanku dengan sebuah cerita pendek karya Primo Levi berjudul Bintang Hening (A tranquil Star). Cerpen tersebut bertutur tentang sejarah sebuah bintang sangat besar bernama Al-ludra yang hilang dari alam semesta. Namun seorang astronom yang ditempatkan di kutub utara menemukan sebuah noktah persis di posisi yang ditempati Al-ludra. Selain liburan akhir pekannya terganggu, benaknya juga terganggu dengan kemungkinan mengadanya kembali bintang itu, sebuah siklus ada dan tiada yang semula tak pernah diperkirakan dalam ilmu perbintangan.

Bintang Hening sebenarnya berkisah tentang ketidakmampuan bahasa dalam memberikan representasi atas ukuran-ukuran. Dari cerita pendek tersebut, Levi menengarai bahwa penggunaan kata-kata sifat yang menerbitkan keheranan guna memberikan representasi ukuran yang tepat atas sesuatu hal, tanpa kita sadari, menyebabkan makin miskinnya imajinasi kita. Seberapa tepat sebuah benda disebut besar, dan sebaliknya, seberapa tepat benda yang lain disebut kecil.

Ukuran paling besar dalam dunia hewan adalah Gajah, sedangkan ukuran terkecilnya adalah kutu. Namun kemiskinan imajinasi manusia memaksa mereka memberi representasi tergesa-gesa. Kebutuhan atas repersentasi jumlah yang sangat besar memaksa manusia melahirkan kata “juta” di abad dua belas. Dan seabad kemudian, dengan imajinasi yang lebih miskin, kata “milyar” lahir dengan kemiskinan imajinasi yang serupa. Tanpa disadari ukuran-ukuran tersebut dipakai manusia tanpa pernah tahu kalau imajinasi mereka tak mampu merengkuh kebesaran kata sifat tersebut. Dan kini kita menjadi saksi bagaimana kata-kata yang merepresentasikan sesuatu yang berada di luar batas imajinasi miskin kita mengepung dan menutup ruang gerak kita sendiri.

Dalam persoalan inilah, Sabella menyuguhkan tawaran uniknya. Ucapannya yang terkesan hiperbolik itu paling tidak memberi tawaran atas problem bahasa yang telah dikemukakan oleh Primo Levi beberapa puluh tahun lalu. Ia memberi ukuran sangat buruk, buruk, cukup, bagus, sangat bagus, sempurna, dan luar biasa bagi para striker tergantung pada penampilan yang bisa disaksikan penonton di lapangan. Setelah menggunakan kosakata-kosakata yang berkenaan dengan ukuran kemampuan seorang striker dalam mengolah bola ia memberikan kosakata baru. Dan kita nyaris tak membayangkan kalau ukuran itu berasal dari sosok yang menciptakannya secara langsung di lapangan hijau. Messi menjadi ukuran baru bagi puncak pencapaian seorang striker. Lewat gocekan bolanya, kemampuannya melewati hadangan para pemain lawan, dan keakuratannya menjebol gawang membuat Messi memberi bukti empiris nan tak terbantahkan soal ukuran kemampuan sempurna seorang striker. Ia memperpendek jarak kenyataan dan imajinasi.

***

Sebagian dari kita mungkin terheran-heran bagaimana mungkin seorang lelaki bertubuh mungil seperti Messi bisa memberi jalan baru bagi problem ketepatan representasi ukuran dalam bahasa manusia. Namun kalau menengok pada lingkungan dimana ia dilahirkan dan menjalani masa kanak-kanak awal, keheranan kita mungkin memeroleh jawaban dari keheranan tersebut. Negeri dimana ia dilahirkan, Argentina, adalah sebuah bagian dari gugus Amerika Latin yang dikenal melahirkan figur-figur Quixotic. Di negeri ini Borges lahir dan memeroleh kemasyhuran sebagai pengarang dunia yang ikut membidani lahirnya genre sastra Realisme magis yang menghebohkan dunia. Di negeri ini pula, selama beberapa waktu, Eduardo Galeano melahirkan tulisan-tulisannya yang lebih layak disebut realisme fantastik karena ia mampu melekatkan yang riil dan fantastik secara sangat mengagumkan. Di wilayah politik, kita mengenal seorang petualang sampai akhir hayat terus bergerilya tanpa memedulikan batas-batas negara, Ernesto Che Guevara.

Amerika Latin bukan hanya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya imajinasi tanpa batas dalam diri manusia. Ia juga menjadi lahan tak kalah subur bagi eksperimen-eksperimen nyata dari penerjemahan imajinasi tanpa batas itu dalam kehidupan nyata. Jazirah yang kini mulai menggeliat dan memberi tantangan serius pada tuan yang dulu mengangkanginya itu menggunakan hampir semua senjata sang tuan untuk menaklukkan mereka, bukan hanya di Amerika Latin, namun juga di tanah mantan penguasa itu sendiri. Setelah bahasa dan agamanya mereka rengkuh dan mereka latinkan, kini sepakbola Eropa dipenuhi dengan para pemain berbakat dari negeri Samba, Argentina, sampai Kolombia. Dalam lingkungan kultural semacam inilah Messi lahir dan dibesarkan. Jika Borges dan Galeano meluberkan ketakterbatasan imajinasinya di dunia sastra, Che Guevara meluberkannya di dunia politik, Messi melakukan peluberan imajinasi itu di sepakbola.

Karena hal-hal semacam itu pula kita bisa berspekulasi tentang jalan ajaib yang ditempuh Messi menuju kebesarannya. Meski di masa kanak-kanak divonis tak memiliki prospek bagus sebagai pemain sepakbola karena kekurangan hormon pertumbuhan, orang tuanya tak menyerah untuk mencari jalan keluar dari situasi sulit tersebut. Saat Newell Old Boys angkat tangan untuk membiayai pengobatannya yang sangat mahal, sang ayah berkirim surat ada klub besar yang jaraknya ribuan mil dari Argentina, sebuah klub yang juga punya sejarah panjang sebagai simbol perlawanan bangsa Catalunya yang ingin memisahkan diri dari Spanyol. Setitik cahaya tampak dari ujung lorong karir sepakbolanya. Setahap demi setahap ia meniti karir, mengasah bakat sepakbolanya yang menonjol sejak masih balita, dan tak letih belajar dari para legenda-legenda sepakbola yang ada di Barcelona.

Di Catalan, Maradona, legenda sepakbola terbesar Argentina dan dunia, menorehkan tinta emasnya di dunia yang kini digeluti Messi. Ia memiliki sebuah figur acuan yang akan dilampauinya dengan cara hampir sama seperti Maradona: menciptakan banyak gol dengan kaki kiri, melewati hadangan lima pemain lawan dalam sebuah pertandingan sebelum melesakkan bola ke dalam gawang, dan membikin gol dengan tangan. Bahkan Messi sendiri tak mengira bahwa cahaya samar yang ia saksikan dari lorong panjang hidupnya yang berakhir di kota Barcelona itu adalah sumber cahaya kemasyhuran dirinya sendiri.

Maka seperti Galeano yang melahirkan Trilogy of Fire-nya di Spanyol setelah melarikan diri dari terkaman rezim militer Argentina, Messi menumpahkan keajaiban-keajaiban yang hanya mungkin terjadi di alam khayal dengan menggocek bola di seluruh lapangan sepakbola di negeri Semenanjung Iberia tersebut. Di bawah tangan dingin Pep Guardiola dan para pelatih klub Barcelona, terinspirasi baik oleh Maradona maupun Ronaldinho dan Ronaldo yang sama berasal dari negeri-negeri Amerika Latin, dalam rentang hampir satu dekade ia menjelma menjadi pemain sepakbola terbaik yang pernah dilahirkan di muka bumi. Satu per satu gawang tim lawan ia bobol. Pencetak gol terbanyak Eropa disandangnya. Gelar pemain terbaik dunia sebanyak 3 kali disematkan padanya. Dan entah rekor apa lagi yang nanti akan ditorehkannya...

***

Tidak secara kebetulan Lionel Messi mendapat julukan La Pulga atau si kutu. Ukuran awal manusia untuk memberi representasi bahasa paling tepat bagi benda paling kecil di dunia sebagaimana diungkap oleh Primo Levi ini secara kontrapuntal telah telah memberi representasi atas segala hal yang tak bisa dengan mudah direpresentasikan dengan kata-kata baru ciptaan manusia. Ini efek kontras dalam bahasa untuk menjangkau makna berkebalikan dari nama yang disandangnya. Kontras semacam ini berulang-ulang kunikmati setiap kali memutar kembali film The Hours. Saat Virgnia Woolf ditanyai oleh Leonard kenapa tadinya ia memutuskan membunuh pahlawan perempuan dalam novelnya, ia menjawab pendek: “Seseorang harus mati agar orang lain lebih menghargai hidup. Ini sebuah kontras.”

Di dunia sepakbola, kontras itu hadir lewat wujud lain, meski menghadirkan kebenaran yang sama meyakinkannya seperti kata-kata Woolf. Messi memeroleh julukan si kutu untuk menunjukkan kontras atas kemampuannya mengolah bola yang lebih akbar dari yang dipikirkan manusia. La Pulga tak lain adalah bintang sangat besar yang oleh para astronom Arab jaman dulu di sebut Al-ludra yang arti harfiahnya adalah “Yang tak terduga-duga.”

Alejandro Sabella, legenda kota Sheffield, bisa saja terlalu tergopoh-gopoh memberi representasi atas kemampuan Messi dalam bermain bola yang membikin seluruh kata kehilangan maknanya. Namun lelaki yang menjadi pelatih Messi di timnas Argentina itu secara jitu memakai nama Messi sendiri sebagai ukuran yang bisa kita bayangkan langsung saat menentukan kemampuan tertinggi manusia dalam mengolah bola. Kata ini tak bernasib seperti kata milyar dan triliun, atau mega dan giga byte dalam dunia komputer yang sangat susah kita imajinasikan selain merujuk pada kata itu sendiri. Menyebut Messi sekaligus membawa imajinasi orang pada ketidakterdugaan yang ia tunjukkan di lapangan hijau.

Memikirkan Messi membuatku teringat dengan sebuah puisi Octavio Paz, penyair dari salah satu negeri yang juga menjadi bagian dari wilayah yang kita sebut Amerika Latin, Meksiko. Puisi berjudul Kemasyhuran itu sedikit menggambarkan apa yang dilakukan oleh Messi. Ia yang sehari-harinya tampak di mata kita sebagai sosok kecil dan biasa-biasa saja melenggang seagung bayang di benak kita. Octavio Paz tak mengungkapkan dari mana sumber cahaya khayali kemasyhuran yang ia tuangkan dalam puisi. Namun kita dan generasi sesudah kita nanti menjadi saksi bahwa sumber cahaya khayali kemasyhuran Messi berasal dari lapangan hijau tempat si kutu unjuk kebolehan bermain bola. Keagungan bayangan yang tak sekedar melintasi layar masanya sendiri seperti yang diungkapkan oleh Paz dalam puisinya, namun melampaui lintasan masanya sendiri, sampai lahir legenda sepakbola baru yang memaksa kita mengakui bahwa imajinasi kita memang betul-betul miskin.

KKS, Tengah Desember 2012.

Related Posts:

Milan yang Ganjil

Oleh Mahfud Ikhwan


Sementara Silvio Berlusconi lebih tenar karena hubungannya dengan gadis-gadis belia, AC Milan, tim yang dimilikinya, selama berdekade-dekade lebih identik dengan pria-pria matang. Maka, ketika muncul gejala bahwa mereka hendak menumpukan harapan kepada pemain-pemain dengan usia belia dan di antaranya dengan nama-nama yang tak begitu dikenal, yang diiringi dengan pencanangan anggaran seminim mungkin, maka semua orang yang mengenal Milan patut curiga.

(Jika Anda seorang milanisti, tentu saja Anda pantas untuk lebih dari sekadar gelisah—seperti saya.)

Menjual seorang superhero yang hampir sendirian memberi gelar liga bagi Milan pada musim pertama kedatangannya dan menumpukan harapan kepada seorang remaja 18 tahun; melego bek hebat yang telah diimpikan (dan memimpikan diri) untuk menjadi legenda Milan berikutnya dan menggantikannya dengan seorang pemain bertahan yang dipinjam dari sebuah klub Spanyol yang terdegradasi; merelakan pergi Pirlo dan sudah merasa cukup dengan Montolivo; memberikan nomor punggung 10—sebuah atribut yang biasa menempel pada seorang artis—kepada seorang tukang pukul; menukar-tambahkan si Peter Pan dengan anak buah (ya, anak buah!) Kapten Hook; apa mau mereka?

Apa maumu, Galliani?

***

Sejak diakuisisi oleh Berlusconi pada 1986, tindak-tanduk Milan tak pernah se-‘ganjil’ musim ini. Satu-satunya keganjilan yang pernah dilakukan Milan-nya Berlusconi adalah saat pertama kali taipan media ini memulai mimpinya bersama Milan, yaitu saat menunjuk seorang pelatih yang prestasi terbaiknya adalah juara Serie C1. Namanya Arrigo Sacchi. Selebihnya adalah kenormalan belaka—kenormalan sebuah tim besar.

Pelatih tak menonjol, yang memulai karir kepelatihannya justru karena tak becus bermain itu, oleh Berlusconi dibekali dengan pemain-pemain hebat yang sudah jadi. Pemain-pemain lokal macam Franco Baresi (yang telah menjadi bek mapan di Liga dan timnas Italia), Carlo Ancelotti (yang sudah jadi gelandang matang sejak memberikan gelar liga pertama bagi AS Roma), Paolo Maldini (yang meski masih muda namun sudah sangat diperhitungkan), digabungkan dengan trio Belanda, Gullit-Rijkaard-van Basten, yang telah menjadi bintang baik di di liga lokal maupun kawasan Eropa. Perpaduan ini kemudian melahirkan salah satu tim terhebat yang pernah ada dalam sejarah sepakbola.

Ketika Sacchi digantikan Fabio Capello pada 1991, transisi berjalan mulus dan lazim. Capello, sebagaimana Sacchi, juga pupuk bawang dalam soal kepelatihan. (Meskipun pemain hebat, sebelum melatih Milan, Capello lebih dikenal sebagai komentator sepakbola untuk tv milik Berlusconi daripada seorang calon pelatih hebat.) Namun, ia mewarisi trio Belanda, dan Milan masa ini juga diwarnai masa-masa emas pemain-pemain muda gemblengan Sacchi yang kelak menjadi serombongan legenda, semacam Maldini, Costacurta, Donadoni, dan Albertini . Dilengkapi dengan hadirnya para seniman Balkan pada diri Savisevic dan Boban, Capello kemudian menciptakan tim tak terkalahkan—salah satunya dengan menghancurkan Barcelona-nya Cruijff di final Piala Champions 1994.

Sepeninggal Capello ke Madrid pada 1996 sampai kedatangan Ancelotti di pertengahan musim 2001, Milan memang sempat kelimpungan. Dengan delapan pelatih dalam lima musim, masa-masa itu bisa dibilang menjadi masa paling tak stabil Milan dalam era Berlusconi. Namun, selain selera pemain pilihan Zaccheroni (satu-satunya pelatih yang memberi gelar Serie A dalam tahun-tahun yang sempoyongan itu), tak ada yang terlalu ganjil yang dilakukan Milan pada masa-masa ini.

Seperti umumnya klub besar, kaya, sekaligus arogan, Milan selalu ambil bagian penting dan menonjol di tengah hiruk-pikuk jendela transfer dan hampir pasti senantiasa mampu mendaratkan bakat-bakat baru yang hebat—meskipun tak sedikit juga yang gagal total. (Ingat, Oscar Tabarez yang dipecat di tengah musim 1996-1997 bahkan dibekali dengan tak kurang dari 4 pemain yang pada musim panas merebut tropi Liga Champions 1995 untuk Ajax!) Jika kemudian “kenormalan” ala Milan itu tak berujung tropi, mungkin karena itu memang adalah dekadenya Juventus dengan Deschamps, Zidane, dan Del Piero-nya. Tapi, jelas, Milan tetap terlihat melakukan apa yang semestinya dilakukan sebuah klub juara.

Meskipun terimbas Calciopoli dan tak pernah benar-benar bisa pulih seperti sedia kala, Milan pada masa Ancelotti tak kehilangan “kepantasannya”-nya sebagai tim terkemuka dunia. Mulai identik dengan reputasi sebagai klub yang sangat sukses memperpanjang karir bermain para legendanya, jelas hanya klub terkemuka yang mampu menjadi tempat terciptanya fenomena-fenomena sepakbola. Shevchenko, Kaka, dan Pirlo untuk menyebut beberapa saja.

Mengakhiri delapan musim era Ancelotti yang tak terlalu luar biasa namun sangat mengesankan, diselingi pengabdian Leonardo yang singkat namun emosional, Berlusconi yang tak lagi perdana menteri memercayakan Milan kepada pelatih muda yang diperkirakan akan cemerlang, Massimiliano Alegri. Masih memiliki para maestro pada diri Seedorf dan Pirlo, ikon baru di lini belakang bernama Tiago Silva, dan pahlawan hasil pinjaman pada diri Ibrahimovic, Alegri memberikan gelar Serie A yang telah absen selama 7 musim dari lemari Milan. Bersamaan dengan kegagapan Inter melewati masa-masa pasca-Mou, para pendukung Milan niscaya percaya mereka akan segera menuju bulan, mengiringi tarian moonwalking-nya Kevin-Prince Boateng. 

Namun, usai perayaan itu, tanda-tanda keganjilan telah tampak. Melepas Pirlo—gratis!—ke rival yang kemudian mengambil gelar juara liga, para pendukung Milan dipaksa puas dengan pembelian aneh Nocerino yang harga murahnya mendekati pemain asing di Liga Indonesia. Meski mencetak delapan gol dalam semusim, salah satunya dengan hatrick, kedatangan Nocerino (yang digadang-gadang menjadi suksesor Rino Gattuso) semakin menegaskan hilangnya para seniman dan sosok-sosok elegan di lapangan tengah Milan. Kembali sangat diperhitungkan, bahkan di Liga Champions, terutama saat melihat cara Milan menghadapi Barca dalam empat pertandingan di babak grup dan perempat final, Milan mengakhiri musim dengan menjadi pengekor Juve di Serie A. Seorang milanisti fanatik pasti akan terus menunjuk tidak diakuinya gol Suley Muntari ke gawang Buffon di San Siro sebagai penyebab hilangnya gelar Milan musim kemarin. Tapi, mereka tentu tak terlalu terkejut jika di pengujung musim Milan tak memperoleh satu tropi pun.

Para milanisti juga tak akan terlalu heboh saat melihat para legenda klub itu (Inzaghi, Zambrotta, Gattuso, Seedorf) berbondong-bondong pergi—masa-masa itu memang sudah seharusnya tiba. Tapi, mereka pasti akan jatuh duduk (meminjam frasa Benyamin S.) saat menyaksikan siapa pemain yang pergi dan siapa yang datang sesaat setelah batas transfer musim panas, pada 31 Agustus, ditutup. Sebuah klub yang lebih sibuk melego para pemain juaranya dan memunguti pemain-pemain bekas yang tak dibicarakan di hiruk-pikuk pasar bukanlah Milan yang kita kenal—klub dengan 18 gelar Serie A dan 7 gelar Eropa.

***

Menyaksikan tim kesayangannya dibentuk, tumbuh, menjadi lebih kuat, dan akhirnya menjadi yang terkuat, niscaya akan menjadi pengalaman indah fans manapun di dunia. Tanyakan pengalaman hebat itu kepada fans United atau Barca. 

Meski sudah sangat terbiasa dengan tropi-tropi yang dihasilkan pemain-pemain berumurnya, fans Milan pasti juga akan menyukai pengalaman macam itu (itulah kenapa mereka sangat menyayangi pemain seperti Maldini, Kaka, hingga Ambrosini). Maka, jika masa-masa penuh legenda itu sudah dianggap tak lagi cocok untuk Milan masa depan, dan tiba gilirannya para talenta muda yang penuh gairah yang ambil peran, Milanisti tentunya akan sabar menunggunya. Revolusi bahkan tak terjadi hanya dalam waktu semalam, bukan? Mereka toh sudah pernah merasakannya: mengubah Milan yang medioker di akhir ’70-an menjadi sebuah tim tak terkalahkan di awal 90-an butuh paling tidak satu dekade.

Namun, hampir semua jenis perkembangan sebuah tim ada presedennya dalam sepakbola. Dan, gerak-gerik Milan yang ganjil di jendela transfer musim panas lalu, juga pemain yang pergi dan datang, jelas sekali menunjukkan bahwa Alegri tak sedang membangun sebuah tim sebagaimana  Fergie atau Guardiola pernah melakukannya. Seperti MU membangun tim juaranya dengan paling tidak bertumpu pada Schmeichel-Keane-Cantona, atau Guardiola menciptakan Barcelona terbaik sepanjang masa dengan bertulangpunggungkan Puyol-Xavi-Messi, atau Wenger menciptakan Arsenal yang unbeaten lewat Adams-Vieira-Henry, Milan seharusnya memulai revolusinya (jika itu memang dimaksudkan demikian) dengan—paling tidak—T. Silva dan Ibra menjadi bagian pentingnya. Tapi, yang kita saksikan adalah sebaliknya. Dan, karena itulah, sebagian pembeli tiket terusan di San Siro meminta kembali uangnya.

Meskipun dibayangi oleh kesulitan finansial yang parah, kita akan sulit membayangkan Milan mengalami nasib seperti Napoli atau Forest atau Leeds di tahun 90-an—para raksasa yang mengalami kehancuran pelan-pelan dan memilukan. Namun, berada di peringkat 15, dengan lima kekalahan dari 8 pertandingan, jelas bukan fakta yang memberikan harapan.


Related Posts:

Sang Bintang

Oleh Eduardo Galeano

Pada suatu hari yang indah, angin keberuntungan mencium sepasang tungkai yang buruk: kaki kurang gizi dan sedikit bengkok. Dari kecupan lembut nasib itulah sang bintang mengada di dunia. Dia dilahirkan di sebuah ranjang berkarat di bawah atap gubuk reyot, dan muncul ke dunia untuk memaut bola.

Saat mulai belajar berjalan, dia sudah tahu bagaimana cara mengolah bola. Di masa belia, dia membawa kegembiraan di tanah berdebu, diantara lorong-lorong sempit pemukiman kumuh, dimana ia bermain sepanjang hari hingga malam beranjak, saat bola tak lagi bisa terlihat. Menjelang dewasa, ia terbang ke belahan dunia lain dan seisi stadiun melayang bersamanya. Seni gocekannya terlukis di pelbagai katedral sepakbola, minggu demi minggu, dari satu kemenangan menuju kemenangan lainnya, untuk riuh rendah tepuk tangan ke tepuk tangan berikutnya.

Bola jinak di kakinya, mengerti dan membutuhkanya. Ia memeluk dan bercumbu dengan ujung jarinya. Sebaliknya, Sang bintang merawat dan membuat kekasih bundarnya itu menyayanginya, dan sepanjang waktu, mereka terlibat dalam jutaan percintaan tanpa kata. Siapa saja, yang biasanya menjadi bukan siapa-siapa, akan merasakan desir darahnya mengaurs di sebuah momen ketika keindahan umpan satu dua, sebuah giringan bola melintas, meninggalkan lukisan imajinatif di rerumputan, gol tumit memukau atau tendangan gunting menghadirkan pesonanya. Saat ia di lapangan, timnya memiliki tak hanya sebelas pemain. ‘Dua belas? Lebih, itu adalah lima belas, dua puluh!

Bola tertawa, berpilin dan merona di udara. Sang bintang membawanya pulang, mengajak tidur bersama, memandikannya dengan penuh kasih, membawanya berdansa dan merasakan belas kasih yang indah, sesuatu yang belum diperoleh anak cucu sang bintang, yang mungkin juga tidak akan pernah merasakan kualitas percumbuan si kakek dengan bolanya.

Namun, sang bintang adalah secercah cahaya cemerlang di sebuah momen. Keabadian manusia adalah mustahil. Ketika waktunya tiba bagi si kaki emas berubah menjadi bebek yang pincang, sang bintang akan menyelesaikan perjalanan gas berpijarnya di gelap semesta. Otot-ototnya lebih longgar dari jubah badut, dan sejak itu, pesulap menjadi lumpuh. Sang seniman menjadi terseok-seok: ‘Tidak lagi ada keajaiban'.

Guyuran pujian penonton berganti sorakan dan cemoohan: ‘Kamu bangkai’.

Terkadang, Si bintang tidak jatuh sekaligus secara penuh. Dan saat dia hancur berkeping-keping, orang-orang akan memangsa remah-remahnya.

Related Posts:

Si Kiper

Oleh Eduardo Galeano

Orang-orang menyebutnya pengawas mistar, penjaga gawang, atau penunggu sarang, tetapi dia lebih mudah disebut sebagai martir, kambing hitam, penentu kekalahan, atau pembayar kesalahan. Orang-orang mengatakan, dimana ia berdiri, rumput tak bisa tumbuh.

Ia berdiri sendirian, terpaksa menyaksikan permainan dari ujung lapangan. Tanpa pernah meninggalkan kotak penalti, Ia berteman hanya dengan tonggak gawang. Dan Ia menghadapi berondongan eksekusi tembakan lawan, sendirian. Lazimnya, kaus lengan panjangnya berwarna hitam seperti pengadil pertandingan. Namun, dimasa para wasit tak lagi seperti burung gagak, si Kiper menghibur kesunyiannya dengan fantasi berwarna-warni.

Penungggu gawang tidak mencetak gol. Ia bertugas untuk sebuah ironi perayaan sepakbola: seorang striker menyalakan sinar kecemerlangan sepakbola, si Kiper, dengan handuk basah yang ia taruh di disela-sela sarang, sekuat tenaga memadamkan pijarnya.

Dia mengenakan seragam nomor satu dipunggung. Lantas, apakah Ia orang pertama yang menerima bayaran? Bukan, justru Ia adalah orang pertama yang harus membayar semua. Kesalahan selalu ditimpakan padanya. Bahkan ketika ia tidak melakukan kecerobohan, tetap saja akan mendapat cacian. Ketika pemain lain melakukan pelanggaran, dia satu-satunya orang yang mendapat hukuman: teman-temannya akan meninggalkannya duduk menutup muka di bawah jaring yang lengang, meninggalkan jasad yang habis dieksekusi, teronggok sendirian. Dan ketika timnya mendapat sore yang sial, Ia orang pertama yang membayar tagihan, menebus dosa teman setimnya dengan menerima hujan tembakan.

Pemain lain dapat saja melakukan kesalahan fatal, suatu kali. Tetapi kemudian, mereka dapat menebus kesalahan dengan melewati lawan secara brilian, memberi umpan terobosan menggiurkan, atau tendangan voli mematikan. Tapi itu bukanlah jatahnya. Kerumunan penonton tak akan pernah memaafkan hari buruk si penunggu sarang yang lagi terpuruk.

Adakah gambaran itu berlebihan? Apakah Ia membiarkan dirinya dikambinghitamkan? Adakah bola meluncur dengan sendirinya? Apakah jemari kokohnya berubah menjadi selembut sutra? Dengan sebuah blunder, si kiper dapat mengacaukan pertandingan. Atau ketika kesempatan juara menghilang, para fans seketika lupa segala kehebatan dan mengutuknya atas sebuah kesalahan tak termaafkan. Lalu, sumpah serapah akan menyertai hingga akhir hayatnya.

Related Posts:

Si Pemain

Oleh Eduardo Galeano

Terengah-engah, Ia menyisir sisi lapangan. Sebuah sisi menanti surga kemenangan; sisi lain menunggu kehancuran yang meremukkan.

Ia menjadi bahan pergunjingan tetangga: atlet profesional yang berhasil melarikan diri dari pabrik kusam atau kantor membosankan, dan ia mendapat bayaran dari bersenang-senang. Ia telah memenangkan lotre. Dan bahkan ketika Ia harus mengucurkan seember keringat, tanpa hak untuk letih dan bersedih, Ia bisa masuk surat kabar dan televisi. Namanya berdengung di radio. Para perempuan berteriak ke arahnya, dan anak-anak membual agar bisa seperti dirinya. Ia tak lagi mengolah si kulit bundar untuk secercah kenikmatan di jalanan becek di pemukiman kumuh, namun untuk sebuah kewajiban di stadion, dimana Ia tak memiliki pilihan lain kecuali untuk menang dan menang.

Para pebisnis membeli, menjual, dan meminjamkannya; dan Ia membiarkan semua terjadi dengan harapan mendapat ganjaran popularitas dan sekantung uang. Semakin ia sukses dan mendapat kibasan uang, semakin ia menjadi seorang tawanan. Dipaksa untuk hidup dengan disiplin militer, Ia menahan derita-hukuman latihan sepanjang hari dan gelontoran pembunuh rasa sakit serta kortison untuk meredakan cedera dan ketakberdayaan tubuhnya. Dan menjelang pertandingan besar, mereka menguncinya di kamp konsentrasi, dimana dia dipaksa menjadi buruh, menyantap makanan tak berasa, minum air putih belaka, dan tidur di kamar sendirian.

Dalam kisah perdagangan manusia, harga menurun seiring menuanya usia, namun seorang pemain sepakbola sudah dianggap kapiran di usia tigapuluhan. Otot-otot letih lebih awal:

“Pemain itu tidak bisa mencetak gol bila lapangan sedikit bergelombang.”

‘Dia? Tidak akan bisa bahkan jika mereka mengikat kipernya.”

Atau semuanya terjadi sebelumnya: jika setiap bola yang menghampirinya datang membawa sial, atau ketidakberuntungan mencabik ototnya, atau sebuah tendangan meremukkan tulangnya sehingga kakinya tak bisa diperbaiki lagi. Di sebuah hari yang muram, si pemain mendapati dirinya kalah taruhan melawan kehidupan saat dadu pertama digelindingkan. Uangnya lenyap dan keterkenalannya menguap. Ah, keterkenalan, si gadis fana itu, tak pernah meninggalkan sebuah surat cinta untuknya.

Related Posts:

Sepakbola

Oleh Eduardo Galeano

Sejarah sepakbola adalah sebuah perjalanan menyedihkan tentang keindahan yang berubah menjadi tugas yang menjemukan. Saat olahraga menjadi industri, keindahan yang mekar dari kegembiraan bermain-main dicampakkan dari akarnya yang terdalam: permainan. Di era ini, pesepakbola profesional beranggapan bahwa semua yang bermain-main tak ada gunanya, dan tak berguna berarti tak menghasilkan keuntungan. Tak seorang pun akan mendapatkan uang dari perasaan hebat ini: sebuah momen yang mengubah laki-laki dewasa menjadi anak kecil yang asyik dengan balonnya, seperti seekor kucing dengan bola karetnya; seperti seorang penari balet dengan bola kristal-bercahaya atau gulungan pitanya. Seseorang yang bermain bahkan tanpa sadar ia sedang bermain-main, tanpa tujuan, tanpa batas waktu, tanpa lapangan bergaris tepi, tanpa wasit meniup peluit.

Permainan telah menjadi tontonan, dengan sekelompok pahlawan dan ribuan penonton: sepakbola untuk siaran. Dan tontotan menjadi salah satu bisnis yang paling menjanjikan di dunia, digerakkan tidak untuk menghadirkan permainan, tetapi bahkan untuk merusaknya. Teknokrasi olahraga profesional dikelola untuk menghadirkan kilatan kecepatan dan brutalitas kekuatan. Dan bisnis siaran menghadirkan jenis sepakbola yang membenci kegembiraan, membunuh fantasi, dan menghancurkan nyali.

Untunglah, di tengah lapangan, kau masih dapat menyaksikan, meskipun hanya sekali untuk waktu yang panjang, sedikit berandal kurang ajar yang melesat diluar skenario dan berlari sambil menggiring bola, melewati seluruh lawan, wasit dan meninggalkan kerumunan yang berdiri dibelakangnya. Semua itu untuk kenikmatan ragawi bermesraan dengan sebuah penjelajahan terlarang menuju kebebasan.

Related Posts:

Seandainya Saya Fans United (2)


Oleh Mahfud Ikhwan


Seandainya saja fans United, ini adalah hari-hari di mana hati tengah berbunga-bunga.

Begitu musim berakhir, United telah mendapat tanda tangan Kagawa. Bocah Jepang yang dibesarkan Ragnick di Signal Iduna Park selama dua musim itu, datang ke Manchester tak hanya dengan sensasi kalau ia berpacar seorang AVN Idol, tapi juga dengan serangkai penampilan pramusim yang sangat menjanjikan. Dan, di tengah pekan ini, hati yang berbunga-bunga itu akan pecah berantakan oleh euforia yang tak tertahankan. Van Persie, top skorer musim lalu, penyelamat Arsenal di paroh terakhir musim dengan gol-gol sehingga menghindarkan Gudang Peluru bernasib seperti Inter di Italia, telah bermusim-musim menebar ketakutan di barisan belakang United yang menua. Dan kini, monster kidal yang semakin terasah kaki kanannya itu, ada di kubu mereka.

Bingkisan lebaran yang luar biasa, bukan?

Kagawa menegaskan bahwa visi yang selama ini dipakai Fergie membesarkan United masih dipakai: mendatangkan pemain muda. Datang dengan status yang jauh lebih mentereng jika dibanding kebanyakan pemain-pemain belia yang didatangkan Fergie ke Old Trafford belakangan ini (dengan dua gelar Bundesliga bersama Dortmund), Kagawa adalah wujud bahwa sebuah tradisi bagus dan terbukti sukses dari sebuah klub hebat masih terus dipertahankan. Sembari mengenang musim 1999 dengan bangga, seorang pencinta United mungkin kini sudah mereka-reka di kepalanya tentang sebuah tim, dengan de Gea, Smalling, John, Cleverly, Kagawa, Welbeck, dan Chicarito ada di dalamnya, akan mengangkat treble saat usia mereka belum lagi 25.

Tapi datangnya van Persie—melebihi semua itu—bukanlah sebuah bayangan, tak semata visi. Tanda tangannya di depan dewan direksi United adalah sebuah gol di menit pertama; sebuah gebrakan yang menandakan bahwa United akan kembali mendapatkan apa yang selama ini menjadi haknya—gelar demi gelar. Siapa pun yang intens mengikuti United dari masa ke masa, akan tahu apa arti dari bergantinya van Persie dari baju merah berlengan putih ke baju merah kotak-kotak. Ia adalah sekepal batu yang bisa menjatuhkan dua burung dalam sekali lempar.

Menilik betapa musim lalu van Persie hampir sendirian membawa Arsenal tetap bertahan di habitatnya di empat besar, memindahkannya dari Emirates ke Old Trafford sama halnya mencuri separoh peluru dari meriam putus asa yang telah sewindu lebih tanpa piala itu. Jika saya fans United, saya akan berani berpikir bahwa mengambil van Persie dari para Gooner sama halnya memreteli dua tangan Michael Pelps sebelum menceburkannya ke kolam renang; ia mungkin tetap akan bisa mengapung di air (karena ia Michael Pelps), tapi ia musti butuh waktu untuk bisa berenang tanpa lengan. Mereka boleh punya Podolski, Girroud, dan terakhir Carzola, tapi normalnya, mereka tentu butuh waktu.

Yang mungkin lebih menggembirakan, kedatangan van Persie ke kompleks latihan Carrington pastinya juga jadi kemenangan pramusim yang mengesankan atas musuh lama tapi baru—si kaos abu-abu. Ya, ini memang bukan pertandingan yang seharusnya—bagaimana mungkin United absen dari Community Shield setelah lima musim berturut-turut? Ini juga tanpa piala. Tapi, percayalah, gengsi dan arti besarnya luar biasa. Menjadikan van Persie pasangan Rooney di Theatre of Dream dan bukannya jadi cadangan Balotelli di Carravan of Oil bisa berarti: 1) mengalahkan mereka dalam berebut pemain yang diinginkan—hal yang dalam tiga musim terakhir sulit sekali dilakukan oleh klub manapun saat berhadapan dengan City; 2) menunjukkan pada dunia bahwa, tak seperti yang dalam beberapa musim terakhir ini banyak dibicarakan, Fergie bisa kembali berbelanja dengan duit besar (United tetap klub kaya, tau!); 3) seorang pemain hebat yang ingin memperoleh gelar telah menunjukkan kalau ia lebih memilih tradisi dibanding sensasi; 4) MU telah lebih dari siap untuk meraih gelar, sebagaimana biasa.

Sementara melihat tetangga sebelah kebingungan mau menjual pemain-pemain tak bergunanya namun menghabiskan alokasi gaji, menunggu Arsenal bertransisi, mengamati Chelsea yang mantap dalam belanja untuk keperluan di lapangan tapi sangat ragu di sektor bangku cadangan, Spurs yang tengah coba-coba, dan Liverpool yang sepertinya memilih proyek jangka panjang, jika saya fans United, saya akan sangat yakin menyongsong liga musim ini.

***     

Tapi saya bukan fans United. Dan, tentu saja, saya punya pandangan lain. Juga perasaan lain.

Begitu mendengar mereka berhasil mendaratkan van Persie,  para pembenci United pastilah blingsatan seketika. Betapa mengerikannya membayangkan van Persie satu baju dengan Wayne Rooney—dua nama yang selalu mengisi daftar pencetak gol-gol hebat di EPL dalam beberapa musim terakhir ini. Para pendukung tim lain pastinya akan berharap-harap cemas dengan nasib penjaga gawang mereka. Jika pada musim 2011 United bahkan bisa juara dengan mengandalkan Chicarito, seorang striker yang ‘kebetulan’ tajam, bagaimana jika mereka memiliki dua orang striker kejam?

Tapi, para pembenci United, coba duduk sebentar, lalu tenangkan pikiran. Dan, dalam beberapa saat, kalian akan menemukan bahwa kalian tak perlu secemas itu. Van Persie datang ke United dengan transfer 24 juta Pound, usia 29, dan riwayat cedera yang panjang dalam CV-nya. Jadi, percayalah, itu bukan hanya belanja yang tak terlalu brilian dari Sir Alex, tapi bahkan berisiko.

Saya agak sulit mengerti bagaimana staf medis MU begitu saja mengabaikan rentannya otot kaki van Persie. Mungkin 32 golnya musim lalu menghapus jejak kurang baik itu, termasuk menghapus jejaknya yang samar di tim Arsenal pada tujuh musim sebelumnya yang tanpa gelar dan tanpa peran yang semenonjol Fabregas atau bahkan si bengal Nasri. Tapi, bisa jadi, dalam 24 juta Pound itu, MU memang tak hanya membeli kaki kiri van Persie, tapi juga menghidup-hidupi bayangan mereka sendiri tentang betapa akan lemahnya salah satu musuh mereka, Arsenal—setelah mereka gagal berebut Eden Hazard dengan Chelsea musim ini dan dipermalukan City saat mereka membajak Tevez tiga musim lalu.

Tapi yang lebih membingungkan adalah kenapa mereka membeli striker, sementara yang mereka butuhkan adalah pemain tengah. Dengan melambatnya Berba, munculnya Chicarito dan prospektifnya Welbeck, dan tetap kokohnya Rooney, tak pernah membuat MU jadi tim mandul—apalagi jika Young terus saja mengasah keterampilannya dalam hal menjatuhkan diri. Dalam hemat saya (seperti yang pernah saya utarakan dalam tulisan tentang United sebelumnya), United membutuhkan seorang playmaker lebih dari apapun. Jadi, cukup mengherankan jika mereka membawa buku cek itu ke London dan bukannya ke Milan, sebab seharusnya mereka tidak membutuhkan van Persie melainkan rekan setimnya di timnas Belanda, Sneijder. (Jika pun mereka ke London, bidikan seharusnya diarahkan ke White Hart Lane, di mana seorang pemain tengah elegan yang sudah tak kerasan, namanya Luka Modric, sedang menunggu pinangan.)

Dengan mata telanjang dapat dilihat, apa yang membuat mereka diempaskan City pada musim lalu adalah level pemain-pemain tengah mereka yang rendah. Fletcher pemain bagus, tapi tim seperti MU tentu saja membutuhkan lebih dari sekadar pemain bagus. Anderson akan tampak sebagai pemain hebat jika ia bermain di tim yang nyaman dengan peringkat 12 atau 10 di tabel liga.

Tapi, meski bukan fans United, dengan bergabungnya Kagawa dan van Persie, saya berharap MU tetap akan mampu bersaing. Paling tidak dengan Arsenal.


Related Posts:

The Death of Indonesian Supporters (Part II): Socio-Political Explanation

Oleh Darmanto Simaepa

'The new violence' in Indonesian football is more closely related with the two-parallel important aspect of the contemporary of Indonesian socio-politicis, which are the dynamics of local politics in post-New Order regime and the localized of the global football culture. The socio-politic circumstance is myriad term and its work in various ways. Even more, the Indonesia politic situation influences the pattern of organization of supporters and then the violence that they dispose. Two examples in the New Order regime and Reform Era (Era Reformasi) will help us to explain the influence of political condition for the behaviour and pattern of football fighting and violence.

First, the New Order regime deployed the floating mass concept to create an anti-politic mass that suitable for idea of development (Schwartz 1994). People expressed their voice through the quasi-democracy party once in five year but they were not allowed to express their identity and political question. The state announced that people should avoid discussing politics through warn of the matter of ‘SARA’ (ethnicity, religion, races). Local expression and political un-rest will be blamed as anti-nationalism by Jakarta-based central government. However, football fills the niche of socio-political expression and local identity through a local football association (Perserikatan or Persatuan Sepakbola). The football association generally has a long history in the provincial level, even since the colonial periods (Palupi 2004, PSSI 2000, 1980).

The association teams, which were not dependent on the whims of sponsor, attracted larger supporters who identifying football team as a part of their identity. The Stadium is the space that people can express their local identity, mainly base on provincial or city such as Surabaya (Persebaya), Jakarta (Persija), Bandung (Persib) and others. The local association-base competition continued a long standing city matches at the national level with qualifying round as it was in pre-independence. It is not surprise when the local association-base competition was popular than professionals league (GALATAMA) (Colombijn: 287).

The supporters linked with their team through locality and the association teams attracted larger fans and built a loyal follower. Each association have loyal supporters and they create rivalry with other association fans from different provinces. The violence had occurred when the local association playing final or semi-final match in Jakarta. A sizeable group of supporters from Surabaya or Semarang followed their team when their team won and played until final. The dividing line in these fights and violence patterns is not based ethnicity but the original’s place. Although the violence caused fatal damaged for infrastructure and transportation, there was no massive victims. The supporters use violence and football as expressing their local identity that was pressed by state authority.

Second, the violence in the latest periods of the New Order regime was associated with the loosing of state authority and control. It obviously worked for the football riots during the upheaval periods in Indonesia history during the years of the reformasi (1997-2001). The declining state authority made supporters lose their respect for state apparatus, both of the military and the police. The Bonek, special name for Surabaya-based supporters, is the excellent example to explain how the state loses their control over the society. The Bonek became a national issue when they caused serious damaged and intimidated their rivals in Jakarta. In 1997, the military could handle the Bonek in Jakarta and they shipped the Bonek to Surabaya with military boat. However, during 1998-1999, the military and the police could not manage the Bonek. The department of transportation could not provide sufficient transportation when the Bonek visited Jakarta to support their team in the final match.

However, the Bonek was not the only case in that period, while the violence also happened in Outer Island such as Makasar, Bali, and Medan as well as in Papua. In 1998-1999, the league cancelled because the military authority could not guarantee for security issue for all match across Indonesia stadium. For fourth years (1997-2001), 17 supporters were killed in the stadium, but this numbers probably more than officially reported. More than 50 matches were played without visitors to avoid the violence. The significant numbers of violence across Indonesia during the reformation era reveals that there is no reason to treat the Bonek or other group of supporters as special category such as hooligans in Europe (Amstrong 1996). The rise of violence and appearing of the Bonek were influenced by the generally declining respect for state authority which mark in the turbulence time in Indonesia history. The Bonek case reveals that football riots in Indonesia during the reformasi era was interwoven with the socio-political situation.

The continuity and change of Indonesia politics play important role in football games and contribute to pattern of the supporter’s behaviour and violence. For example, the decentralization process gives the district and provincial level a greater political authority. The head of district position is the important jobs that invite the competition and battle of local power. The term the ‘son of native’ (putra daerah) became popular as the tools to assert political gain. At the same time, the relation of patron-client politics with Jakarta-based oligarch is also important for the sources of politics (Nordholt 2002, Aragon 2007). With the direct election system, the mass that was forgotten in the new Order Regime becomes an important source of power. Obviously, football that is the most popular sport in this country attracts political actors across the region to grab it. Football supporters provide a political mobilization in the election for the head of district of province.

It is not surprise when there is a common phenomenon of mushrooming district-base club football. A lot of political actors exert a football club to give a new identity for their region and benefit for their political attempt. For instance, Kediri became important district when the Persik won Indonesian league twice in early 2000s. Before Persik lifted the trophy, Kediri is unfamiliar district in the map of Indonesian’s life. Several distric such as Lamongan in East Java, Wamena in Papua, Sigli in Aceh and many others that are not recognised by Indonesian public following Kediri’s strategy. Suddenly, those district are discussed in the headline of the national newspaper when their team buy an expensive player or play a fine style of football.

The emerging of district-base club has increased because the district parliament and the executive spend a lot of money for their club. A significant of public expenditure is allocated year to year to recruit foreign players and coaches, to renovate the stadium, and to pay local players. Most of the local legislative (DPRD) agree to pouring money to the club through APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) scheme. The careers of many political actors in the districtt level depend on their ability to feed the club and make enjoy local-base supporters. Likewise, the resident of the region and supporters enjoy the new identity regarding their football team. They press the politician to spend more money to improve their club and buying a good player.

Football and politics are two pictures in the same coin. When the issue of corruption, conflict, and money politics are attached the wheel of league in Indonesia, it is revealed the practice and life of political system in the post-decentralization policy. For instance, the Indonesian Corruption Watch’s (ICW) report (2010) shows that the corruption was found in the practice of issuing public expenditure for football club in four provinces. The practice of corruption linked with the key figures of political system in those regions. Having said, football organized reflects practice of politic; conversely, politic system reflects the football.

Admittedly, the club and the football association are the important institution to gain political benefit. Different parties have contested the control of association football. Politicians have used football as a vehicle for their personal career and as instrument for their political claim. The representative teams are a matter of concern to the leader, be they of the district, province, and village as well as in national level. It is common phenomena when the head of district (Bupati) and Mayor City (Walikota) also the head of football club. In the case of Indonesia, the control over football supporters and club determines succeeded of economical benefit and political career (Colombijn 2001: 184-86).

The head of district that successfully created a promised club and made supporters enjoy the match, in almost all case, won the district general election. From 26 teams that played in the Indonesian Super League during 2004-2010, 17 of them were led by the head of district, governor, and Mayor city (or their deputy), and 15 of them won the election in that periods. The incumbent, who lead the club, used their power to build loyalty among the supporters as important of political sources. They use their ‘client’ to manage and control over group of supporters. The head of a group supporter is usually proponent of political figures who hold the top position of the club.

Without question, football association and group of supporters are the space for different parties struggled for powers. Longstanding internal conflict over Indonesia Football Association (PSSI), dualism of league and the media wars over football organization reflect the battle and claims of football authority. In the same way, almost all supporters divided along the historical and political lines. For examples, in Padang, the supporters of Semen Padang split into two groups the Spartac and the Kmers. In Lamongan, the LA Mania divided in two two major groups and several small group of supporters because disagreement of their leaders about political choise for next distric election. The similar story, at least, occurred across Indonesia, from Jakarta and Surabaya and Ujung Pandang.

At the same time, football became important sports in the daily life of Indonesian. In the last decade, global football relatively made a successs to intrusive the daily life of Indonesia people. It could not isolate from the success of a marketing strategy. World cup, European tournament, and Champion League have delivered freely to the family room of millions Indonesian. Indonesian also enjoys the match from England, Italy, and Spanish league in a weekly basis because the cigarette companies pay for advertisement.

The Indonesian football fans intensively connected with football events around the world through newspaper as well as social media such as the twitter and the facebook. Internet technology make easy for supporters to build alliance with global fans. Several European big clubs, such as Liverpool, Manchester United, Milan, Juventus for a few name, create local supporter in Indonesia. There are common picture when Indonesian fans watching their national team wearing jersey, scarf or flag of European club. It is not incidentally that the throwed-conveti from the supporter in Argentinian or Brazilian stadium is found in the small stadium in Sleman or Bantul. Moreover, a lot of Indonesia club have a more European name such as Batavia Union, Mataram City, Cikarang United, and Semarang FC and so on. In the same way, the football league in national level has increase.

In the last decade, Indonesian football association tried to manage a professional league with an international standard. Certainly, the standard of security, stadium facilities, and referee is increase. The league receives a lot of money from the sponsor, especially from the cigarettes industries and television royalty. Every week, women and children come and watch the football match, and it is the common panoramic on the TV screen. Family use the stadium as the recreation sites on the weekend. Remarkably, Indonesia was success to manage the Asian cup in 2007. The venue in Jakarta and Palembang is full of spectators, and it makes the Asian Football Association (AFC) and world football organization (the FIFA) praised Indonesian football organization (PSSI) for organizing the tournament. In addition, the Indonesian national team also success to shows excellent performance and a million of Indonesian fans proud at that moment.

As far as Indonesian football fans in general is concerned, the globalization of football culture play important role in the contemporary social life of supporters. The globalization of football is not just appearing in the English name of the club, costum and syal, but also obviously and deeply influences the behaviour of supporters. Just recently, the scenery in Indonesian stadium is full of supporters who singing a special song for their club and their favourite players. The group of youth in small stadium wear a shirt with Italian word that expressed a spirit of the ultras, a popular term for fanatic football fans. Meanwhile, the huge-blues flag in the air is impress the visitors as in European stadium.

The group of Indonesian supporters both in the rural and urban area deploy military-sounded term such as the ulras, the curva, the delije, and the brigade for their groups. The curva and the ultras refer the group of loyal supporters in Italia (Podaliri & Balestri 1998: 89), while the delije and the brigade are especially groups of supporter cum para-milita group who use violence, racist, and political alliance to intimidate their opponents in Balkan Peninsula during the post-Yugoslavian wars (Foer 2004: 18).

Certainly, there is not just the transfer of foreign name, but the Indonesia football fans also try to transfers European ‘sub-culture’. According one of the Brajamusti leaders, some of their members were sent to Argentina and Balkan Peninsula to learn about the culture of the Boca Junior and the Obilic supporters in 2009. They also develop a communication with European group of supporters through social media, facebook, twitter, and yahoo messenger.

The PSS Sleman’s supporters send an email regularly to their college in Italian and East Europe to gain detailed information about organizing supporters. These alliances remain the story of Croatian club supporters made a global friendship with English hooligan in early 1990 (Kuper 1994: 17). Surprisingly, local supporters in Indonesia use more the idioms which are linked with fanatical supporters across the world. They also learn and appreciate the methods of violence that was used by group of fanatical supporters in Serbia and other place.

Related Posts:

The Death of Indonesian Supporters (Part I)

Oleh Darmanto Simaepa

The series of football violence in Surabaya, Jakarta and Yogyakarta in February-May 2012, where five supporters died and several injured, once again, reveals the dark side of Indonesian football. Although that violence had occurred in a close time, there is a slight dissimilarity among them. In the Gelora Bung Karno (GBK) stadium, the assault and abterry of the Jak’s Mania to visitors who suspected as the member of rival group the Vikings have showed the classic of the Indonesian football riots. GBK’s violence could be seen as a ‘spontaneous reaction’ to what happened on the pitch when some violent supporters angry because of the presence of their rivals. However, the death of Nurul Huda and Pandu’s heavily maltreatment, both in Yogyakarta, tells a new pattern of violence among the football fans.

Although the motives of attackers have not been identified clearly yet, the violence in Yogyakarta is just not spontaneous but looks like a well-planned measure. Especially, it is clear in the case of Pandu. Local newspapers report that the oppressor took their action outside the stadium. The attackers did the violence with a particular reason and prepared their action. Surprisingly, both of the oppressor and the victim have similar identity as PSS Sleman’s club supporters and they also live in the same region. The fact that the oppressors have selected a young boy as a victim is not indicates that it is classic example of an adolescent football fighting such an in Europe (Young and Giulinotti 1996: 174). Moreover, the difference of violence in Jakarta and Yogyakarta represents both of continuity and change of violence patterns in contemporary Indonesian football life.

The massive violence in Indonesian football history reflects the mirror of Indonesian socio-politics, but also reveals the interwoven of football and politics as well as football and society (Colombijn 2001: 173). The series of violence shows the continuation of a long-standing behaviour of Indonesian supporter on the pitch, but also reveals the changing pattern of violence that they deploy and the social circumstances surround them. For instances, spontaneous fighting among the supporters such as in GBK case is not a new phenomena. This kind of violence has been connected with the development of Indonesia football almost from the beginning. Fighting among the visitors in the football match as well as players with the supporter in the pitch was reported regularly in 1920s. As Dutch scholar Freek Colombijn shown (2001:193-194), several cup-final match in Padang, Pontianak and Batavia in colonial periods ended in a massive fight. One of the characteristic of mass fighting in the past is the brawlers were not anonymous adolescents, but adult.

There is significant pattern of football riot in 1970s and before. Before regular competition so-called GALATAMA and Kompetisi Perserikatan (Association Competition) in mid-1970, there was no routinely league, so the club was not play regularly. In the colonial period, the clubs played only in special moment such the birthday of Netherland’s Queen or New Years Day (Palupi 2004: 82). During 1950s-1960s, with the political turn-moil, the competition was not implemented in regular-base. The player changed their club frequently as well as their supporters. At that time, the composition of the groups of supporters was ephemeral and there was no club loyalty of a permanent core fans. Consequently, the football riots was seen as spontaneous reaction. The lack of solid supporters organization indicated that the football violences was not structured.

Contrary with the past, the current Indonesia supporters settle down to a particular club. They organized themselves like professional fans and create a loyal and fanatic fan along the district, province or city. The group of supporter, especially in the big cities like Jakarta, Bandung and Surabaya, is predominantly, although not always, by youth. Surprisingly, the current phenomena of violence is marked by co-supporters’ fighting, and an internal conflict within the supporters the club is reported regularly.

It is believed, some of the contemporary violence have linked with the struggle to gain a greater control over supporter organization and paralleled with the conflict over football association (PSSI). Remarkably several supporters use a new method of mobilization and violence that is used to European fanatics fans. Speculatively, the changing pattern of violence is results of combination of internal dynamics within supporters, the new tensions of controlling football association, and the dynamics politics (local or national) surrounded football organization.

Cultural Explanation

Despite the violence is a part of football games in Indonesia for a long time, there is limited social explanation what exactly happen with the football culture. One of the few social explanation in this field is cultural perspective which was used by Dutch scholar Freek Colombijn in The Politics of Indonesian Football (2001). Drawing through his research in Padang, West Sumatra, he shows that the football violence in late colonial period was associated with the colonial policy concerning a plural society in the East-Indies. In the late colonial periods, there was social differentiation and segregation along the European resident, Indo (Arabic, Chinese, India) and native people. Football match was a sport that drew together different races or ethnic groups, who otherwise met only at the market (Furnivall 2010). Meanwhile, the native people also organized themselves along the ethnic group such as Java, Minangkabau, Batak, or Minahasan.

A football pitch was an opportunity to express ethnic identity in opposition to other ethnic groups. Most clubs in Padang were races or ethnically assembled and matches were a way of expressing feeling against social categories. In early history of Indonesia football, the violence of supporters had occurred among the European with Chinese team as well Chinese with native spectators both in Java and in Outer Island (Colombijn 2001: 194). Eventually, the football match was the way ethnic distinction with the concomitant social inequality was reinforced, and the mass fighting in the pitch expressed it.

Furthermore, Colombijn argued that it was possible to extend the cultural explanation to the post-war periods of Indonesian football. Drawing from Javanese culture as numerically dominant group in Indonesia, he described that the Indonesian players and visitors forced to avoid the conflict and disorder on the pitch. This idea basically comes from the Javanese culture about strict order, social harmony and behavioural controls. The idea of conformity and conflict avoidance, Colombijn said, is problematic in a football match, where football is an ‘explicit conflict’ through physically contact for players. Loosing and disappointment are the part of the game. Certainly, this is impossible for Javanese players or supporters to avoid conflict and to hide their disappointment in a crowded stadium. When the tension quickly increases, the reaction for the players and supporters under such strain is the breaking up of self control, and the fight on the pitch is explodes.

The cultural explanation is helpful to explain the violence in the context of colonial periods and the early football history in Indonesia, but as Colombijn also said (p. 294), it is full of hypothesis and partial. There is the cultural essentialism aspect in Colombijn’s perspective. As a critical anthropologist mentioned (Marcus and Clifford 1985, Otner 1999), there is no cultural relation between the ethnicity and the practice of culture or action such as in the case of football violence. His explanation could not use to explaining contemporary behaviour of supporters and players. Especially in the last decade, the violence was not done by Javanese exclusively, but also occurred in Outer Island. For example, the massive fighting in Mattoangin Stadium, Makassar caused four supporter died in 2002 as well as in remote area such as in Wamena Papua or Deli Serdang in West Sumatra.

As an illustration, the Jakmania and the Vikings, two of supporter group who have reputation as master of fighting and have regularly punished by association, just possess a small number of Javanese members. The Jakmania comprises an ethnic mixture across Indonesia and the Viking is dominated by the Sundanese. In addition, the players that were punished by association due to their violence action on the pitch are mostly the foreign players such as the famous Uruguayan-born player Christiano Gonzales and Brazilian Marcio Souza.

BERSAMBUNG

Related Posts:

Someone in a Crowded Stadium

Oleh Darmanto Simaepa

Imagine, someone stands wearing a red or a yellow shirt in the sea of white-shirted football fans in the crowded stadium. Although s/he is a supporter of same club with the mass, s/he will be seen as a strange supporter. Some supporters may shout at him/her, and other may ignore his/her existence. Moreover, she/he may not be considered as a part of the group because of his/her appearances. However, S/he will be accepted as a part of the group if he sings the mars, mocks the opposite players, or shows his middle finger to the rivals. In the football stadium, there are no people in between. As a supporters, people should identify yourself as ‘us’ or ‘them’ depend on the team that they support. ‘We’ or ‘they’ determine supporter behaviour, attitude, clothing, and word. Being a football supporter in the stadium, people may lose their individuality.

The relation of people in the stadium reveals how important of football in modern society as well as represent how individu build a relation with community. Certainly, football is an important sport because it is able to blend the differences and to unite the diversity of human nature. Football can integrate a million people from different religions, nations, classes, and ethnicity into a union. The stadium is a social medium for people to meet and socialize. People watch football game with the differences purpose. Generally, thousands of people watch a spectacular and technical entertainment that is provided by gifted football stars. Players such as Maradona, Zidane, and Messi for a few are the modern version of Maximus the Roman in the Colloseum as in Ridley Scott’s film, The Gladiator. They make people come to the stadium to see the ‘theatre of the dream’ and celebrate togetherness, happiness, drama or surprises. Football stars’ life and football indusry represents wealthness, power, prosperity, or glamoureness our modern society. From the different side of perspective, some people watch football match to forget their problem. For example, the South Africa World Cup 2010 made the Ivorian stop the civil war by coming to the stadion watch their national team. The anti-apartheid warrior Nelson Mandela used football to reconcile South Africa Nation in the Johanessburg’s historical match in 1994.

However, football is not always bringing a nice story. Racism is associated to this game. European newspapers report regularly about the supporters who throws banana’s skin or imitates monkey’s voice in the stadium when the dark-skinned played get the ball. Ironically, racism is also found among the players themselves. Each year, football association release a list of players and clubs who is suspected for racist action. They release a huge campaign against racism and take a fine from the club who can not prevent their supporters and player to deploy a racist action for other players. Moreover, violence is also linked to football. Through history, stadium is the place that a thousand of supporter have been killed by other supporters. For instances, football match and stadium were used by Serbian militia as tool for genocide in Yugoslaviea. During the World War II, football match triggered a war between Argentina and Uruguay. In Indonesia, we are familiar with the fighting among supporters and the violence along the competition.

Racism and violence are mainly taken by supporters. Those negative aspects of football might be rooted in the mass psychology of supporters. In a football match in the stadium, it is believed no ‘individual’ supporter. There is no place for neutrality in the stadium even in a box of journalist or official committee. Supporter, a football pundit, and a television comentator should choose and decide their favourite team. Certainly, someone who attends in the football match chooses his team before entering into the stadium. The reasons of choosing a team are various. Some love their team base on the city origin, favourite player, coach, style and tactics, or nationality. Then in the stadium, his/her decision will melt with other thousand people decision. Having said, there is no loneliness or noneness for supporters in a crowded stadium.

The collectiveness of supporters in the stadium is an example of basic human psychology. The psychologist Erich Fromm noted on The Need To Conform (1996: 280) that men always find a solution to overcome their separateness, achieve a union and transcend their individual life and find an atonement. Religions, arts, militaries, states, or music are the institutions that provide an answer for human beings in search for togetherness. In the contemporary life, football is an important institution that is chosen by people to make a unity. Football fans in a crowded stadium are the space where individu can unite with other million poeple. The football fan in stadium is an example of Fromm’s term of union. As Fromm said, union save a person from frightening experiences of aloneness as well as football fans community for a supporter. Consequently, football fans not only provide a social acceptance to a supporter but also encourage his/her find their collective identity.

The development of fans as community have been rooted in the history of football, however, it significanly increased in 1970s-1980s, and since then football fans have played important role in modern football. The social origin and aspect of fans have been a research topic among social scientist since the football fans was viewed as social problem across the world. For example, in England, there was hooligan that dominated newspaper headline for their violence and destruction after a football match. In Balkan Peninsula, there was several ‘civil war’ among the supporters. Meanwhile, in Beunos Aires or Sao Paulo and elshewhere, a ‘new species’ of supporters that different with pre-war supporters was born. In the beginning, the attention of sociologist and psychologist focused on violence and youth culture aspect of football fans. The new species of fans was characterized by fanatic, angry, young, and use of violence. They created mass fighting, killed several rivals and tortured opponent players. Furthermore, some of the ultras a group of young fanatical football fans built an alliance with hand-wing political party and paramilitia.

The emergence of fanatic fooball fans can not be separated from the social context at that time. A Scottish sociologist Ricardo Giulinotti explains that the number of football fans organization increases because they provide an environment for young people to express their collective identity (2007: 161-7). The result of neo-liberal policy in developed countries in 1970s made the changing in social relations for modern society. Neo-liberal policy made government cut social insurance, health supplies, reduced public expenditure, and extended the pension age. Thousands of young people had no job and were not in school. Their parents must work hard and had no time to accompany their children, especially when they were teenager. Foooball fans are believed as to be the product of the social change since the role of family and religion were sinking to give a social nursery for the youth. The young people looked at the football fans as the place to express their voice as well as a new kind of community. The film Hooligan Streets (1998) illustrated how football fans have been the source of many of the most visible manifestations of youth culture protest. The youth tends to join football because football fans give them a nesting place. Further, not only young supporter, however, find the football fans as community. Moreover, adults, children, teenagers, women or men also feel the football fans as community. They can raise the flag, drink alcohol, yell together and feel as unity that cannot be separated. Again, football fan is a community as Fromm’s definiton ‘where man feel more strong and brave enough’ (p. 283).

Without doubt, the football supporter in the stadium is a new kind of community in our time. This novel community creates a new custom, practice, and beliefs. Like a religion, the football fans in the stadium have songs, attributes, social codes, taboos and sanctions. They have a particular code of conduct, and some scholars classified them as ‘sub-culture’. Moreover, this community also creates a hierarchy among the supporters according to the place, age or gender. For example, fanatic supporters occupy in the curve of stadium or in the back of the goalkeeper area. Usually, these places are specialized to young man. Less die-hard fans occupy the middle side of stadium. Women and children also sit in the middle side of stadium or near the security area. The organization of fans will select a new member through several inaugurations and initiations.

Through its social code, the football community seems to force an individual supporter following the community rules. However, such as Fromm said, people want to conform to a much higher degree than they are forced to conform (p. 284). Fromm’s analysis is useful to explain the habit of the football fans. It is true that the supporters have different personalities or attitudes when they watch the match. They come to stadium with different reason, buy ticket with their money and love their team through different ways. Nobody can force an individual fans to see the match or changing their decision to choose their team. Nevertheless, stadium is different things. When the whistle is blown and the kick-off begin, the football match divides a thousand people into two categorizes. Visitors should choose: our team or theirs team. The individual becomes impersonal person in two categories: proponent or opponent. Football match provide a room for an individual supporter who want to be a part of the community.

The role of stadium for provide a room for conformity is obviously for contemporary society. Football venue is look like a holy temple for modern society. Stadium is physical building with a football pitch, the seats, and car parkings. There is something with social relation, for instance joyness, worships, and drama in the stadium. In the word of the Merseyside legendary manager, Bill Shankly, football match in stadium is ‘beyond the life and the death’. As a football essayist Simon Kuper (1994: 4) writes, the stadium is the ritual place for post-industry society. In the stadium, post-industry society can find their imagination about a community. However, the concept of community in the stadium is different with the concept of community for South Dakota people, as Dorothy Lee written in Autonomy and Community (1996). There is a limited space of two-ways social interaction between individu and the collective fans as community. The dialectic relation that creates both of autonomy and collectiveness is not developed in the stadium. People who come to the stadium do not find their autonomy. On the contrary, people who come to stadium willing to search for a similarity with others and leave their autonomy.

Is it true that the football community do not have the room for personality or individuality? The answer is depends on the place. Out of the stadium, a supporter is an ‘individual’ with various backgrounds. s/he can be a teacher, a young executive, a priest, a monk, a student. Certainly, s/he can select their place in the stadium for free. In the stadium, however, people becoming an alien person if they can’t sing, yell or objurgate rivals together or show their identity. A serious professor can be a crazy fan, a calm husband can be an energetic supporter, or a priest can shout at the opponent players with several curses. Preciselly, in the stadium, someone prefer their anonymity.

Related Posts:

Van Basten: Angsa Berhati Singa*


Oleh Mahfud Ikhwan


Judul: Marco van Basten: Era AC Milan dan Oranye; penulis: Zeger van Herwaarden; alih bahasa: Laurens Sipahelut; penerbit: Pena Wormer;
tebal: 254 halaman
; tahun: 2006.


"VAN Basten tidak pernah dianggap manusia darah dan daging, tidak seperti Maradona, yang meleburkan diri dengan hiruk pikuk kehidupan Napoli. (Sementara) anak Argentina itu hidup di hati masyarakat, kecintaan pada Van Basten ada di kepala." Demikianlah sebuah paragraf Zeeger van Herwaarden dalam bukunya, Marco van Basten: De Jaren in Italic en Oranye, yang diterjemahkan oleh Laurent Sipahelut menjadi Marco van Basten: Era AC Milan dan Oranye (2006).


Van Basten memang serupa angsa. Karena itu, orang Italia menjulukinya Il Cigno (si angsa). Ia anggun, elegan, amat memesona, tapi tak ada orang yang bisa mendekatinya. Apalagi membelainya. Ia hanya bisa dikagumi dari kejauhan, tapi tak bisa disentuh. Seusai memesona puluhan ribu penonton di stadion, ia akan bergegas mandi dan sesegera mungkin pulang ke rumah. Permintaan tandatangan dari fans diberikan sebagai bagian dari pekerjaan, bukan sebentuk basa-basi keramahan. Permintaan wawancara dari juru warta akan ia jawab dan hanya jika berkait dengan sepakbola. Begitu pertanyaan menjurus ke urusan pribadi, dengan enteng ia akan ngeloyor pergi. 


Seperti ditulis Van Herwaarden, sejak kecil, satu-satunya hal yang diketahui dan menarik hati Marco muda hanya sepakbola. Ini karena sejak sebelum 10 tahun, saat masih bermain di klub amatir EDO, di kota kelahirannya, Utrecht, Marco telah jadi talenta yang mengundang perhatian. Sementara ayahnya, Joop van Basten, adalah seorang pelatih amatir yang ngomongnya tak lain hanya sepakbola.

Di kamar Marco, tulis Van Herwaarden, setiap malam, sebelum Marco tidur, ayah dan anak Van Basten itu menyempatkan untuk membahas teknik dan taktik sepakbola barang setengah jam. Van Basten senior juga seorang yang sangat keras, terutama kepada anaknya sendiri. Sebagus apapun Marco bermain, Joop tak pernah menunjukkan rasa puasnya. "Dengan kemampuan yang kamu miliki, kamu semestinya jauh lebih baik," demikian hardik Joop pada Marco.

Kerasnya Joop menempa anaknya amat membekas pada Marco. Marco tumbuh jadi remaja yang selalu ingin membuktikan diri. Kepada orang lain, tetapi terutama kepada diri sendiri. "Saya adalah yang terbaik kedua setelah saya," demikian semboyan Van Basten yang, konon, masih dapat ditemukan tertera di meja kerjanya sampai saat ini. Dan semangat itu, yang melengkapi bakat dahsyatnya, mengantar Marco dengan tanpa kesulitan menapaki tangga kebintangannya.

Di Ajax-lah kemudian Van Basten mendapat sentuhan langsung dari legenda sepakbola terbesar Belanda, Johan Cruyff. Jika Van Basten senior menempa Van Basten junior keras terhadap dirinya sendiri, maka Cruyff—yang oleh beberapa kalangan dianggap seorang maniak—mengarahkan Van Basten untuk keras terhadap seluruh dunia. Sang legenda menanamkan dalam-dalam ke pikiran si calon legenda kalau sepakbola pada dasarnya hanya tunduk pada satu hukum: memakan atau dimakan. Cruyff pula yang menanamkan pada benak Van Basten bahwa untuk bertahan menjadi juara diperlukan sikap jemawa. Misalnya, saat Van Basten resah karena hanya jadi cadangan di skuad Belanda untuk Piala Eropa 1988, Cruyff dengan setelah menghasut mengatakan kepadanya: “Kamu penyerang terbaik Eropa... Main sebagai penyerang atau jangan main sama sekali.” Dengan sangat tepat Van Herwaarden mengatakan kalau Cruyff tak hanya membuat Van Basten lebih waspada, tajam, dan lihai, tapi juga lebih keras lagi bengis. Dan memang itulah gambaran lengkap seorang Marco Van Basten, sebagai pribadi maupun sebagai pemain.

Beberapa kisah yang bisa kita temukan di buku ini bisa diajukan sebagai contoh. Van Basten adalah aktor penting dalam kejadian memalukan saat skuad Belanda pada kualifikasi Piala Dunia 1990, yang dipelopori sang kapten, Ruud Gullit, sepakat “mencopot” pelatih mereka sendiri yang kurang dikenal, Thijs Libregts—sebuah kejadian yang selalu menjadi rujukan setiap orang yang ingin menelisik mengapa di balik membanjirnya bakat-bakat sepakbola, Belanda hanya punya seupil piala. Pada lain kesempatan, saat menjadi kapten timnas Belanda pada kualifikasi Piala Eropa 1992, dengan tanpa belas-kasihan, Marco meminta pelatih Belanda saat itu, Rinus Michels, agar meminggirkan Wim Kieft, striker senior yang tidak sukai Marco—dan permintaan itu dituruti.

Tapi, ke-“garang”-an van Basten tak hanya terjadi di luar lapangan. Menjadi striker hebat di Serie-A yang dikenal karena kebengisan bek-beknya, van Basten tumbuh menjadi penyerang yang juga bengis. Merasa tak cukup dilindungi oleh wasit, dan bukan jenis pemain yang suka mengiba kepada wasit untuk minta belas-kasihan, van Basten mengembangkan perlindungan diri dengan caranya sendiri: membalas. Itulah yang membuatnya disegani. Insiden paling terkenal adalah saat ia membuat bonyok hidung bek Club Brugge, Pascal Plovie, dalam sebuah pertandingan di Piala Champions. Insiden yang menghasilkan skorsing empat pertandingan (sebelum dikurangi menjadi tiga) itu, oleh van Basten dengan enteng dianggapnya sebagai sebuah ‘kecelakaan belaka”. Yang perlu ditambahkan, bonyoknya hidung Plovie ini hanya berselang dua pekan dari sebuah keributan yang ditimbulkannya saat Milan kalah lawan Porto, di mana van Basten diklaim telah membuat jontor bibir bek Porto, Veloso.

***

Dikenal sebagai pribadi yang keras dan dingin, bukan berarti suasana itulah yang kita dapati sepanjang buku. Dari keanggunan yang tak tersentuh dari van Basten, yang secara umum menjadi kesimpulan dari buku ini tentang siapa van Basten, banyak bagian yang justru sangat menyentuh. Ya, tak sebengis gol-golnya, beberapa bagian dari diri van Basten masih menyikan drama untuk kita—yang sebagian mungkin tak banyak diketahui oleh para pembaca tabloid olahraga.

Meski telah menjadi penyerang hebat di Liga Belanda, kepindahannya ke Milan pada musim kompetisi 1988 tak serta-merta mencuatkan karirnya ke puncak sebagaimana yang kita ketahui belakangan. Datang ke Milan dengan ligamen lutut telah rusak, ia melewati musim pertama bersama Rossoneri dengan lebih banyak menjadi cadangan dari Pietro Paolo Virdis, striker yang bahkan tak banyak dikenal dalam sejarah AC Milan. Van Herwaarden menggambarkan, ketika Rudd Gullit dielu-elukan karena menjadi poros utama kesuksesan Milan merebut Scudetto dari dominasi Napoli-nya Maradona—sebuah gelar yang mengawali era keemasan Milan pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an—van Basten hanya duduk-duduk tenang di pinggir lapangan. Ia tak larut dalam kegembiraan tim itu karena merasa tak menjadi bagian dari kesuksesan tersebut.

Tak cukup sukses pada musim pertamanya di Milan membuat van Basten hanya jadi ban serep di skuad Belanda untuk Piala Eropa 1988 di Jerman Barat asuhan Rinus Michels. Menjadi cadangan dari striker yang kini sudah hampir terlupakan dari memori kita soal timnas Belanda, John Bosman, Michels memaksa van Basten untuk bermain di sayap kiri dan memberinya nomor punggung pemain cadangan, 12, yang oleh Basten disebut sebagai “nomor tribun”. Namun, seperti sebuah film olahraga kacangan, semua orang kemudian tahu, Basten muncul di akhir turnamen sebagai pahlawan.  

Namun, drama terbesar dari kisah van Basten tentu saja adalah cedera engkelnya. Jika van Basten adalah superhero di dunia sepakbola, maka cedera engkel ini adalah penjahat tangguh dan licik yang selalu merongrongnya—dan akhirnya berhasil mengalahkannya. Berlatih terlalu keras, dan menjadi musuh nomor satu semua bek, van Basten telah hidup dengan cedera sejak belia, sebagaimana dialami oleh pemain-pemain hebat macam Maradona dan Baggio. Namun, Basten, dengan kelenturan tubuh yang alami, selalu sukses untuk kembali ke lapangan dan kembali mencetak gol. Namun, sebuah cedera yang didapatinya setelah melawan Ancona pada sebuah partai Serie A di mengujung tahun 1992 berbeda. Cedera itulah yang membuatnya menerima penghargaan Pemain Terbaik Dunia dengan kaki pincang. Cedera itulah yang mengharuskannya berpindah dari satu dokter bedah ke dokter bedah lain (dengan satu dokter dengan dokter yang lain saling menyalahkan), dari satu meja operasi ke meja operasi lain, dan–pada akhirnya--dari satu kemungkinan sembuh ke ketidakmungkinan sama sekali. Cedera itulah--setelah melewati bulan-bulan yang menyakitkan, penuh darah penuh nanah, penuh penantian yang memutusasakan--akhirnya memaksanya untuk menyerah. Di usia 28 tahun!

***

Meski bercerita tentang Marco Van Basten dari awal karirnya hingga masa kepelatihannya dengan detail yang mengagumkan, buku ini jelas bukan buku biografi, apalagi otobigrafi. Bukan saja karena terlalu tipis untuk sosok sebesar Van Basten, tapi juga memiliki bentuk yang terlalu aneh untuk sebuah buku riwayat hidup. Zeger Van Herwaarden, sang penulis, menyisipi (atau malah, tepatnya, mengawali) tiap pergantian bab dengan fragmen-fragmen hidupnya sendiri. Tapi, alih-alih mengganggu, fragmen-fragmen pendek hidup penulis ini justru malah menjadikan buku ini menjadi sangat personal bagi penulis. Lebih-lebih lagi, Van Herwaarden menulis dengan cara yang lincah dan cergas, khas gaya para penulis kolom sepakbola Eropa.

Lepas dari bentuknya, ini buku langka yang penting. Penerjemahannya yang langsung dari bahasa Belanda sudah jadi salah satu keistimewaannya. Sebab, dalam khazanah perbukuan Indonesia, biasanya hanya buku-buku ilmiah dan sejarah saja yang diterjemahkan langsung dari bahasa Belanda. Yang perlu dipuji juga adalah usaha penerjemahnya untuk memberdayakan dan mengekplorasi kosa-kata Indonesia dalam penerjemahan ini. Banyak kosa-kata yang jarang—yang sering disangka telah arkais— dipakai penerjemah dalam buku ini. Kata "sintas", “retas”, “dolak-dalik”, "jemawa", atau "langsam" dapat dengan mudah ditemukan dalam buku ini.

Suka atau tidak dengan sepakbola, kenal atau tidak dengan Marco van Basten, buku ini mesti dibaca para olahragawan dan para pencinta dunia olahraga. Selain menyajikan dengan amat manusiawi sosok olahragawan besar seperti Van Basten, buku ini secara langsung maupun tak langsung menunjukkan kepada kita semua—baik sebagai manusia maupun sebagai olahragawan—apa yang mesti dilakukan dan apa yang tak perlu dilakukan. Van Basten menjadi contoh bahwa kebesaran tak bisa diraih dengan usaha biasa-biasa saja: kerja keras, ambisi besar, standar tinggi, kadang malah harus sempurna, adalah tuntutannya. Tapi, jalan hidup Marco juga mengajarkan, tak ada yang lebih berbahaya bagi diri kita kecuali kita sendiri.***


*Dirombak dari sebuah resensi yang (rupanya) pernah dimuat di harian Analisa edisi Rabu, 17 Februari 2010.

Related Posts:

Jerman yang Kembali Gagal, Jerman yang Gagal Kembali


Oleh Mahfud Ikhwan

“Menyaksikan tim ini bermain memang menyenangkan, tapi agar dianggap hebat, mereka mesti merebut gelar,” begitu pujian sekaligus peringatan dari legenda timnas Jerman, Gunter Netzer, di Four-Four Two edisi Piala Eropa.

Kalimat Netzer (orang yang pernah membuat pelatih timnas Jerman lain, Rudi Voeller, murka di depan kamera televisi), juga sebagian besar pendukung Jerman tentunya, jelas didengar oleh Joachim Low. Di balik pembawaannya yang tenang dan setelan pakaiannya yang selalu rapi, Joachim Low rupanya menyimpan kegelisahan. Ia tampaknya tak ingin hanya membuat senang penonton sepakbola. Ia ingin timnya menjadi bagian dari sejarah sepakbola Jerman yang hebat.

Jogi Low memegang salah satu tim terbaik di dunia; salah satu tim terbaik Jerman sepanjang masa. Di tim itu terdapat pemain-pemain dengan skil Amerika Latin dan bisa bermain tiki-taka pada satu waktu dan bermain Total Football pada waktu lain. Sebuah tim yang membuat para pembenci Jerman lupa betapa membosankannya tim itu sebelumnya, sekaligus memberi asa para pendukungnya akan datangnya era kebangkitan. Kekurangan tim ini cuma satu: gelar juara.

Sejak berada di bangku cadangan Der Panzer pada 2004, saat mulai mengasisteni Klinsmann, Low telah merasakan empat semifinal dalam empat turnamen besar yang diikuti Jerman. Tentu, empat semifinal bukanlah sesuatu yang sangat istimewa, mengingat mereka adalah Jerman. Namun, bagaimana tim itu bermain dan betapa mudanya mereka, membuat semua orang terpana.

Tapi, sekali lagi, tim yang bagus namun tak juara bukanlah Jerman sebagaimana yang kita kenal. “Jerman,” yang macam itu, kata penulis sepakbola Belanda, Henk Spann, “adalah Belanda.”

Tentu tak seorang Jerman pun, tak terkecuali Low, yang ingin timnya seperti Belanda—tim yang selalu penuh bakat namun lebih dikenang karena nasib buruknya di turnamen-turnamen besar. Lagi pula, Low tentu tak ingin—dan tak mungkin—jadi pengamal ajaran Bapak Sepakbola Belanda, Johann Cruijff, bahwa “keindahan lebih dikenang daripada kemenangan.” Pertama, karena Low bukan Cruijff, yang meskipun tak mendapat gelar bersama Belanda namun bergelimang gelar di tingkat klub bersama Ajax dan menjadi dewa di Barcelona. (Bandingkan dengan Low, yang menghabiskan karir pemainnya dengan klub-klub di divisi bawah Liga Jerman, sementara gelar tertingginya adalah Piala DFB Pokal bersama Stuttgart dan juara Liga Austria bersama FC Tirol Innsbruck saat menjadi pelatih.) Kedua, tentu saja, karena Low orang Jerman.

Seperti semua pendukung Jerman, Low sepertinya mulai berharap lebih dari sekadar semifinalis, apalagi sekadar sebutan “tim yang bermain indah”. Itulah yang pada akhirnya membuat Low harus mendengar kritik dan, ujung-ujungnya, mengubah pendekatannya terhadap tim. Timnya harus juara, sebagaimana seharusnya tim Jerman. Karena kelihatannya gelar itu tak dapat dicapai dengan cara yang hampir sewindu ini dipakainya, maka ia harus memakai cara Jerman—cara yang memberi tim itu tiga bintang di dada sekaligus predikat terkuat di Eropa.

Lalu, di Polandia-Ukraina, kita melihat tim yang sangat berbeda dengan tim yang memesona di Afrika Selatan dua tahun lalu. Sebuah tim yang nyaris klinis.

Sebuah tim yang meminggirkan pemain penuh gaya sekaligus topscorer Piala Dunia 2010, Thomas Muller, dan memberikan tempat kepada striker penuntas (penerus tradisi Klinsmann dan Bierhoff), Mario Gomez—yang dalam dua turnamen besar sebelumnya selalu jadi cadangan. Sebuah tim yang membuat seniman lapangan seperti Ozil diharuskan bermain lebih efektif dibanding impresif.

Itulah tim yang lebih mendekati menakutkan dibanding mengagumkan.

***

Hingga semifinal, tim Low paling mutakhir ini jelas lebih meyakinkan dibanding dengan Jerman yang memesona dua tahun lalu. Bahkan, terlihat lebih mengerikan dibanding dengan tim yang bermain di Euro 1996, di mana gelar terakhir Jerman didapatkan. Di penyisihan, Jerman jadi satu-satunya tim yang menuai nilai sempurna, meski berada di grup yang dianggap paling berat. Di perempat final, mereka menghujani gawang Yunani dengan empat gol yang kesemuanya tampak begitu Jerman: rapi, terencana, dan tampak tak terbendung. Coba ingat bagaimana cara Lahm, Khedira, Klose, dan Reus mencetak golnya!

Tapi, seperti yang telah disebut, tim ini nyaris klinis, dan karena itu nyaris Jerman. Namun, tentu saja, tim yang nyaris Jerman jelas bukan tim yang benar-benar Jerman.

Sekilas tak ada yang kurang dari tim ini. Dalam banyak hal, selain jauh lebih muda, tim ini jauh lebih berbakat dibanding Jerman 1996 yang juara. Di depan, Gomez tampak tiga kali lebih berbahaya dibanding Bierhoff. Di tengah, kombinasi ketepatan, kekuatan, dan kelihaian antara Khedira-Schweinteigger-Ozil mungkin adalah yang terbaik yang pernah dimiliki Jerman. Lalu di belakang... ? Ah, inilah pertanyaan besarnya. Inilah juga akan memperlihatkan bahwa tim asuhan Low memang “tak Jerman-Jerman amat”, sebagaimana yang selama ini banyak disangka.

Jerman yang kita kenal tak hanya mengerikan di penyerangan, tapi membuat segan di sektor pertahanannya. Bahkan, mungkin, dari sektor inilah kejayaan sepakbola Jerman dilahirkan. Perhatikan, di area ini, karakter-karakter hebat macam Beckenbeuer, Vogts, Brehme, Matthaus, Basler, atau Sammer, muncul. Di area ini, dari kaisar hingga jenderal sepakbola Jerman dihasilkan. Dan, inilah kepingan yang belum ditemukan dari tim Jerman-nya Low.

Batstuber atau Hummels jelas bek tengah dengan masa depan cerah dalam lima tahun ke depan. Namun, pada usia (masih) 23, mereka tampak terlalu hijau untuk meneruskan tradisi yang membentang dari Der Kaizer hingga Summer itu.

Kita telah melihat gejalanya. Menghadapi Yunani di perempat final, tim yang strikernya hanya mencetak tiga gol, yang dua diantaranya karena blunder kiper dan satunya dari tendangan penalti, lini belakang Jerman dibuat berantakan pada 15 menit antara akhir babak pertama dan awal babak kedua. Para pendukung Jerman sempat dibuat demam hebat saat Samaras, striker yang lemah gemulai itu, yang jadi kucing-kucingan saat menghadapi bek Argentina di Afrika Selatan dua tahun lalu, mampu menyamakan kedudukan. Meski mampu bereaksi dengan sangat galak, dan akhirnya menang dengan telak, menderita dua gol dari tim ‘paling aneh’ di turnamen menunjukkan bahwa, di depan gawang, Jerman-nya Low tampak rentan.
Lalu, di semifinal, Italia benar-benar membuktikan betapa rentannya Jerman di belakang. Dua gol Balotelli, yang masing-masing diawali dari kesalahan Hummels saat mengawal Cassano dan kelengahan Batstuber dalam mengantisipasi umpan panjang Montolivo, membuat mereka sekali lagi gagal melewati fase semifinal.

Namun, yang lebih penting, kegagalan itu juga menunjukkan Jerman-nya Low, Jerman yang sedap dipandang mata, tak berhasil untuk mencoba kembali menjadi Jerman yang perkasa itu. Jerman yang tiga kali juara Piala Dunia dan Piala Eropa, sekali lagi, gagal. 

Related Posts: