Revolusi Akhir-Pahit, Arsenal?

Oleh Darmanto Simaepa

Andai saja Wenger bisa tersenyum lebar dan bahagia seperti semalam, setiap pekan! Terlepas dari gairah yang keluar saat menghancurkan Spurs, tujuh tahun terakhir, Arsene Wenger lebih sering mengusap kepalanya di konferensi pers, terlihat depresi atau murung di bangku cadangan.

Wajah tirus dan tanpa harapan dalam wawancara pasca kekalahan di Milan dan Sunderland pekan lalu itu bisa jadi sebuah pertanda sebuah revolusi, yang klimaksnya mendekat, namun berakhir getir.

*****

Tak disangkal lagi, Wenger adalah manajer tersukses dalam sejarah Arsenal. Ia tidak hanya memberi piala dan sejarah, tetapi merevolusi Arsenal lama yang tua, physical, dan banyak berlari menjadi Arsenal yang lebih segar, taktis, dan modern. Ia tidak hanya menciptakan tim tak terkalahkan dalam satu musim kompetisi, the invicible, tetapi segalanya: menu makan, pola tidur, ukuran lapangan latihan, hingga kuitansi transfer para pemainnya.

Sistem pemantauan pemain belia di penjuru dunianya merevolusi sistem rekruitmen pemain di Eropa. Sekolah sepakbola di Abidjan dan Younde menghasilkan pemain hebat dan murah ala Kolo Toure atau Song. Mata tajam pemandu bakatnya bisa menghasilkan Fabregas, Clichy, Ramsey, atau Koscielny.

Naluri dan kecermatan ekonomi Profesor—ia mendapat gelar doktornya di Universitas Strasbourg yang terkenal—membuat Arsenal adalah tim elit Eropa paling sedikit berhutang di bank dan stabil secara finansial. Bakat dagangnya bisa menciptakan stadion Emirates yang tidak terlalu besar tapi sangat praktis dalam hitungan ekonomis. ‘Adjusment program’ ala Wenger berhasil menghindarkan Arsenal dari badai industri sepakbola yang terimbas krisis kapitalisme keuangan .

Secara taktik, revolusinya ditandai bergantinya wajah sangar Paul Merson dengan elegansi Bergkamp atau Fabregas.Ia mengubah gaya kick and rush menjadi satu dua sentuhan versi Eropa Daratan. Ia memberi garis perbatasan era ‘fever pitch’. Bagi penikmat sepakbola kontemporer, apa yang dipikirkan, didefinisikan dan dibayangkat tentang Arsenal berasosiasi dengan Wenger. Generasi kini pasti tidak hapal Herbert Chapman, George Graham, atau Tony Parker....

Wajah Arsenal modern adalah wajah Arsene Wenger. Para jurnalis jelas punya dilema jika mengkritik apa yang memudar dari rejim ini. Lagi pula tidak mudah mencari celah orang hebat dalam sejarah. Saya sepakat bahwa kritik terhadapnya tidak sebanding dengan apa yang telah ia capai. Ia telah mengubah dan memberi identitas Arsenal lebih dari siapapun dalam sejarahnya. ‘Ia bilang saya harus mundur,’ kata Wenger membalas kritik bekas muridnya,Martin Keown, ‘seakan-akan saya ada di bisnis ini dua pekan kemarin‘.

Saya sepakat!

Namun, jika tim stabil secara finansial, brilian secara taktik dan mencapai usia matang, dengan otoritas manajer yang begitu besar, jelas ada yang salah dengan 7 tahun tanpa gelar (bahkan gelar minor). Banyak spekulasi tentang derita Arsenal: pemain datang silih berganti, hilangnya pemimpin ala Vieira, investasi terlalu hati-hati, sampai yang klenik, hilangnya tuah Highbury! Namun, saya kira, masalah Arsenal lebih dalam dari urusan teknis.

Wawancara Fabregas dengan FourFourTwo yang cerdas secara implisit menjelaskan apa yang tidak berjalan semestinya ditubuh Arsenal. Meskipun secara halus dan sopan ia memendam kegundahan dengan tim yang membesarkannya, justru, respeknya terhadap Wenger dan klubnya menjelaskan semuanya. Klub ini lebih menitikberatkan pada proses kestabilan ekonomi dari pada investasi untuk mendapatkan gelar—salah satunya dengan membeli pemain berpengaruh dan berpengalaman dengan juara.

Tentu saja keberlanjutan finansial adalah hal baik dan ideal. Tapi dalam sebuah kompetisi yang melibatkan harapan jutaan orang, Arsenal ibarat sekolah sepakbola. Ia memproduksi banyak pemain hebat. Anak-anak muda brilian dibeli dengan harga murah, dibekali dengan teknik mumpuni, namun akan pergi saat tiba dahaga juara. Tim ini sepertinya kehilangan kerangka untuk mentransformasikan sisi pembinaan ke arah tim yang lapar gelar.

Barangkali kerumitan sebuah klub tidak hanya seperti yang saya tuliskan ini. Wenger pasti ingin juara dengan anak-anak muda yang tumbuh bersamanya. Ia hampir menaklukan Eropa tahun 1996 sebelum kesalahan fatal Lehmann menggagalkannya. Ia juga pasti tidak semata-mata hanya berhitung jumlah kas klubnya dibanding mengkoleksi final piala FA. Ia telah membuktikannya selama 9 tahun pertama: koleksi trofi bisa sejalan dengan efisiensi.

Namun apa yang keliru dengan 7 tahun ini? Surut ke belakang, menyaksikan Arsenal tidak pernah juara diera turbulensi Chelsea dan transisi MU, teka-tekinya bukan perkara tim lain lebih hebat. Ini belaka karena Arsenal yang tidak punya kualitas juara atau tim yang kompetitif.

Tony Adams, kapten legendaris, menyatakan, tim ini kehilangan semangat bertarung pesepakbola Britania. Saya setuju dengan ucapannya. Ada sebuah elemen penting Inggris dalam tim ini telah hilang. Akan menjadi sangat jelas jika kita merujuk statistik kekalahannya. Arsenal sulit menang jika bobol duluan dan mudah kalah kalau lawan mengejar ketinggalan. (mungkin kecuali pertandingan derby semalam :))...

Bagaimana ini bisa dijelaskan? Sepakbola dipercaya merepresentasikan sejarah dan relasi sosial suatu bangsa—atau katakanlah populasi di wilayah tertentu. Itulah mengapa pria pesolek dan maskulin Italia mengekspresikanya dalam seni bertahan dan para bek tampannya menemukan Catennacio. Hangat cuaca dan ekologi jazirah di Spanyol ditunjukkan dengan seni menguasai bola sehingga mereka punya kosa kata posesion yang tidak hanya berarti menguasai tapi juga indah. Sementara cara berpikir Jerman yang sangat teknis, duratif dan mekanis diperagakan dalam cara bermain pelan-pelan, ritmik, dan dengan daya tahan yang sepenuhnya rasional.

Konon, orang-orang Celt dan Saxon di Britania adalah bangsa pejuang. Mereka mewujudkannya lewat kick and rush dan umpan panjang. Kelahiran buruh era revolusi industri dan masa-masa perang, kata sosiolog Ricardo Guilonotti, menciptakan daya juang dan bertempur. Sepakbola Inggris tidak pernah indah, namun punya semangat bertarung di dalamnya.

Agak rumit dan spekulatif, memang, menarik proposisi logis hubungan Arsenal dan sejarah Inggris. Semangat bertarung adalah definisi abstrak. Bukankah Jerman era Loew jauh lebih artistik dari pada Brazil era Dunga? Atau Belanda lebih artistik dari Spanyol untuk di final piala dunia? Bukankah tim manapun punya semangat dan mentalitas bertarung?

Tapi bagi Arsenal barangkali ada secercah kebenarannyua. Wajah tanpa gairah pemain Arsenal sejak kalah 8-2 di Old Trafford hingga dipecundangi Sunderland tidak menyembunyikan fakta bahwa tim ini telah kehilangan darah. Para legenda Arsenal menggelengkan kepala melihat reaksi tanpa daya tim ini dipecundangi Milan. Bukan kekalahan itu yang menyakitkan, tetapi reaksi pemain terhadap kekalahan dalam permainan yang membuat mereka menyesalkan tim ini.

Pendukung Arsenal pra-Wenger mengeluhkan hal ini sejak lama. Wenger dianggap mengganti tradisi sepakbola Inggris dengan sepakbola kontinental. Elemen ini sangat terasa dengan semakin sedikitnya pemain yang memiliki cara bermain agresif dan penuh semangat ala Vieira.

Setelah era Henry, umpan panjang Arsenal paling sedikit diantara tim manapun di Britania. Mereka juga berlari dan menyundul jauh dibawah rata-rata. Bek-bek tim ini bahkan hampir tidak pernah menekel. Hilangnya unsur Britania terwakili dengan proporsi pemainnya. Fakta ini mungkin bukan isu utama, tapi juga bukan kebetulan.

Era tanpa gelar Arsenal adalah era tanpa pemain Inggris sebagai tulang punggungnya. Sejak Cole menyeberang ke Chelsea, Campbell ke Spurs, Roy Parlour dan Koewn menepi dan pensiun, pemain-pemain Inggris hanya menjadi bagian minor Arsenal. Para pembela Wenger mungkin berpendapat, bukankah Walcott, Gibbs, masih disana? Iya, tapi gaya mereka, karena sudah masuk di dalam visi dan mentalitas sepakbola kontinental sulit mentransformasikan spirit Britania.

Lebih dari itu, metode latihan dan visi Arsenal adalah menciptakan tradisi sepakbola Eropa Daratan. Ini, sekali lagi, juga bukan hal yang buruk. Inggris menyadari bahwa sepakbola Britania tertinggal jauh dari daratan Eropa. Secara fisik dan kebugaran mungkin mereka menang, tetapi secara teknik dan taktik, Inggris kalah kelas dari Italia atau Spanyol misalnya.

Bukan kebetulan jika FA merevolusi akademi sepakbola dan berharap menyaingi akademi sepakbola Prancis. Permainan Arsenal menjadi standar dan role model dari bagaimana sepakbola seharusnya dimainkan. FA juga mengubah elemen dasar latihan bagi anak-anak muda untuk lebih akrab dengan bola, belajar taktik, dan aspek teknik. Jelas, revolusi Arsenal telah mengubah wajah sepakbola Inggris dan berkontribusi besar dalam transformasinya.

Akan tetapi, masalah utamanya adalah adalah revolusi Wenger telah mengurangi elemen semangat bertarung itu. Setiap kali kita melihat Arsenal yang kalah atau seri, kita melihat bola berputar-putar dari kaki ke kaki tanpa pernah bisa masuk ke kotak penalti.

Kadang sepakbola bukan hanya soal keindahan, tetapi juga brutalitas semangat untuk memenangkan pertandingan. Meskipun olahraga paling indah, sepakbola bukan seni melukis atau bermain teater. Permainan fisik dan semangat juga sangat menentukan hasil pertandingan. Bukan kebetulan jika Wenger selalu marah dan mengkritik Stoke City yang lebih mengandalkan semangat, umpan panjang dan lemparan ke dalam untuk mengalahkan mereka. Dan bukan kebetulan juga, jika Arsenal selalu kewalahan melawan tim-tim yang, seperti Newcastle dan West Bromwich, mengandalkan semangat tempur untuk menunaikan tugasnya.

Mungkin ia lupa, bahwa sebagian besar pemain Inggris adalah kelas pekerja yang mengandalkan daya juang, semangat tempur, daya tahan menderita untuk mencapai posisi kelas yang mereka dapatkan sekarang. Meski kaya raya, mereka punya semangat orang-orang Celt dalam dirinya. Liga Inggris terlihat menarik karena ‘permainan tidak akan selesai sebelum peluit berbunyi’ dan bola selalu mengarah ke gawang.

Seperti yang kita lihat semalam, bagaimana pemain Cardiff yang secara finansial dan teknik membuat pendukung Liverpool jantungan. Gerard atau Rooney akan sulit menyamai teknik Iniesta atau Xavi. Tetapi jika melihat mereka bermain, mentalitas sepakbola Britania yang membentuk pemainnya ada dalam darahnya.

Jika Wenger ingin mengubah tradisi sepakbola sebagai pertempuran, ia seperti menyuruh penggemar sepakbola mengganti bir dengan wine atau kapucino. Atau mengubah stadion menjadi tempat para pria berdasi menghabiskan akhir pekan. Jadi, revolusi Wenger telah mengubah sisi mentalitas sepakbola Brtiania di Arsenal. Ia mengganti seni semangat sepakbola menjadi seni mengolah bola.

Di banyak tempat dan dimasa yang akan datang (dan juga masa lalu), dua hal itu mungkin tidak menjadi kategori yang terpisah. Wenger telah melakukannya sepanjang 9 tahun pertamanya. Tapi ingat, saat itu, masih ada unsur brutalitas pertempuran Arsenal. Seseorang yang cinta rivalitas Arsenal—MU ini pasti mengingat lorong-lorong perkelahian menuju kamar ganti, adu fisik Keane vs Vieira, atau lompatan penuh intimidasi Keown terhadap Nistelrooy.....

Apa lagi yang bisa dikatakan jika tim jarang menciptakan gol-gol krusial di menit akhir untuk menang? atau tim yang tidak pernah menang jika bermain buruk. Arsenal telah banyak kehilangan semangat bertempur itu. Misalnya saat lawan Milan, Arsenal bukanlah bermain jelek atau Milan bermain brilian.

Kegagalan Arsenal meraih trofi adalah sebuah arus balik revolusi sepakbola sebuah klub hebat. Seperti halnya dalam sejarah, tindakan revolusioner memiliki jalurnya sendiri untuk memutar dan seperti sabuk, memakan ekornya sendiri. Ironisnya, revolusi yang berniat mentransformasikan permainan kaku ala Britania, telah mengubah sisi dasar sepakbola ditempat ia berasal. Dan seperti setiap revolusi yang meminta korban, Arsenal mungkin meminta tumbalnya yang paling berharga....

Related Posts:

Dilema Seorang Madridistas yang Anti-Mou

Oleh Mahfud Ikhwan


Pertandingan di Stadion Luzhniki itu tak menyenangkan secara visual. Permukaan lapangan yang beku dan suhu yang minus 5 derajat meruapkan kabut ke udara, menciptakan sebuah lanskap yang pucat-kusam di layar kaca. Itu mengingatkan saya dengan scene-scene pembuka di film-film Tim Burton. Juga panel-panel halaman pertama di komik-komik DC. Pemain-pemain Madrid, dengan asap yang keluar dari hidung dan mulutnya, masuk ke lapangan, mulai berlari, dan mengumpan dengan rasa enggan—seperti seorang pegawai rendahan yang berangkat ke kantor saat hari hujan.


Di sisi lain, para pemain CSKA, tak terlihat lebih baik. Mungkin tak ada masalah dengan Ignashevich dan pemain-pemain lokal lainnya, juga dengan Wernbloom yang orang Scandinavia, atau Tosic yang Balkan. Tapi bagaimana dengan duo Afrika yang ada di depan, Ahmed Musa dan Seydou Doumbia? Meski berharap mereka sukses dan bahagia dengan karir mereka di Rusia, menonton pemain Afrika bermain di sebuah negeri dengan suhu minus selalu membawa saya mengingat kisah sedih Edward Ayamkyegh, pemain Nigeria yang bermain untuk Lviv di Liga Ukraina dalam tulisan Franklin Foer. Bagaimanapun, melihat orang bermain bola di suhu seperti itu, sama mirisnya dengan melihat buruh yang bekerja di sebuah pabrik yang tak menyediakan kipas angin—sebesar apapun gaji mereka.

Tapi, lebih dari semua itu, pertandingan yang berkesudahan 1-1 itu tak menyenangkan secara emosional.

Selama puluhan tahun, bagi saya, pertandingan-pertandingan di babak knock-out Liga Champions selalu jadi hal-hal yang sulit dilewatkan, apalagi jika itu melibatkan klub hebat macam Madrid. Namun, sejak sore, saya lebih meniatkan tidur siang dan secangkir kopi Blandongan saya untuk pertandingan Napoli vs Chelsea. CSKA vs Madrid akan saya tonton jika itu bisa bikin mata tetap terjaga. Jika tidak, saya mungkin lebih memilih menyicil file film koleksi saya saja. Meski jadi penonton sepakbola yang netral adalah hal yang tak menyenangkan, itulah yang telah saya tentukan sebelum pertandingan CSKA vs Madrid dimulai.

Tapi, benarkah saya penonton yang netral? Sepertinya tidak. Saya berdebar senang saat tendangan Dzagoev tampak membahayakan gawang Casillas. Saya menarik nafas lega saat tendangan Benzema melenceng, meski saya bersimpati dengan cedera ototnya. Saya memaki ketika Ronaldo mencetak gol first time dari kesalahan pemain belakang CSKA. Puncaknya, saya bahkan bertepuk tangan—walau pelan dan hampir diam-diam—saat Wernbloom mencetak gol balasan pada menit ke-92.

Sebagai seorang pemuja antihero yang kadang berlebihan, tepuk tangan untuk CSKA semestinya tindakan yang biasa. Ya, itu tentu akan jadi tepuk tangan biasa, seandainya saya bukan seorang penggemar Madrid.

***

Saat kelas dua SMA, seisi kelas kami bersepakat pakai kaos olahraga putih polos. Kaos olahraga dengan nama sekolah tertera di dada tidak keren, begitu teman-teman berpendapat. Saya bisa terima pendapat itu, tapi kaos putih polos itu tetap saja kaos olahraga terburuk saya sepanjang sejarah. Meski begitu, otak penggemar sepakbola miskin saya segera bekerja. Saya melihat, di balik kepolosan kaos putih itu tersembunyi seragam sepakbola terkeren di dunia. Dengan spidol marker hitam pinjaman, saya menggambari bagian dada kaos itu dengan tulisan Teko (Ind: datang), yang fontnya saya tiru persis dari kata Teka, produk yang jadi sponsor dada kostum Real Madrid saat itu. Tak cukup dengan bagian dada, di sekujur pundak hingga sepanjang lengan kaos itu juga saya coret-coret. Bukannya merepro gambar telapak anjing-nya Kelme (apparealnya Madrid saat itu), saya malah menjajar dari pundak ke lengan gambar dua orang telanjang yang saling memunggungi ala Kappa, yang saya contek dari kostum Barcelona. Dengan semangat yang sama, dengan saat menggambar Teko di dada, kata-kata Kappa di sekujur pundak dan lengan saya selewengkan jadi Kappo’ (baca, kapok).

Jelas, apa yang saya lakukan saat itu bukan karena ingin coba mendamaikan permusuhan politis-ideologis antara Castilla dan Catalonia. Saya cuma seorang remaja yang terlalu rakus dengan segala hal  yang berkait sepakbola, sehingga kadang abai dengan fanatisme di tingkat tim (klub atau negera). Semua yang bisa saya jangkau saya ambil, simpan, dan tampilkan. Meski saat itu saya penggemar berat Fiorentina, poster Batistuta tak sendirian di ruang tamu. Ia berjajar rukun dengan poster tim Arsenal era pelatih Bruce Rioch, Jari Litmanen (Ajax), Marco Simone (Milan), bahkan Del Piero (Juventus—klub yang paling saya benci saat itu). Di balik pintu lemari pakaian, gambar Filippo Inzagi dengan kostum Atalanta berdesak-desakan dengan gambar George Weah (Milan), Salvatore Fressi (Inter), Enrico Chiesa (Parma), John Barnes (Liverpool), Gazza (Inggris), dan lain-lain. Meski jelas-jelas memusuhi Jerman, sampul kebanyakan buku tulis saya malah bertempel gambar Andres Kopke, Matthias Sammer, Steffan Effenberg, selain Robert Jarni (Kroasia), Zinedine Zidane (Prancis), Karim Bagheri (Iran), dll.

Lihat ‘kan, betapa rakusnya saya? Meski begitu, saya tentu saja tak sepolos kaos olahraga itu. Sudah ada beberapa warna panji di hati dan kepala saya.

Untuk Liga Italia, yang saat itu memang sedang top-topnya, saya telah menentukan pilihan: Milan, Fiorentina, semua klub yang diperkuat Baggio (kecuali Inter), dan semua tim yang sedang melawan Juve. Untuk Liga Inggris, meski kadang sedikit cair, saya pegang Liverpool dan Newcastle United. Tapi  hal yang sama agak sulit dilakukan untuk Liga Spanyol.

Saat itu, Liga Spanyol disiarkan secara minimalis oleh ANTV. Jam tayangnya yang selalu dini hari membuat saya yang ada di pesantren tak mungkin menontonnya. Beberapa partai La Liga hanya mungkin tertonton kalau libur tiba. Tapi, itu pun belum tentu bisa. Sebab, saya tak memiliki televisi dan saat itu cuma orang aneh yang menonton sepakbola non-Piala Dunia pada jam 3 pagi. Jadi, sebagian besar pengetahuan dan antusiasme saya terhadap Liga Spanyol dan klub-klubnya saya dapatkan dari tabloid olahraga dan acara Praktek Trang Kaisar Victorio di Radio Suzana Surabaya. Itulah yang membuat, untuk masa-masa itu, Atletico Madrid, Real Madrid, Real Betis, dan Barcelona, cenderung mendapat tempat yang sama.

Madrid jadi sedikit lebih istimewa dibanding lainnya saat Fabio Cappello, mantan pelatih AC Milan, memegang tim itu pada 1996. Itu ditambah dengan mulainya saya mengidolakan Davor Suker, yang bergabung ke Real pada 1996. Tapi, saat menyaksikan gol Pedja ke gawang Peruzzi di Amsterdam pada final Liga Champion 1997-1998, saya yakin saya sudah jadi penggemar tim putih-putih ini.

Saya jadi madridistas yang menggebu-gebu saat Madrid dipegang Del Bosque. Dua gelar Liga Spanyol (2001 dan 2003) dan dua gelar Liga Champions (2000 dan 2002) tentu saja jadi alasan utamanya. Tapi, alasan lain yang tak kalah penting adalah elegansi yang selalu jadi bagian integral dari tim ini. Sebuah tim yang di dalamnya terdapat wibawa Hierro, kecepatan Carlos, keteguhan Makelele, keanggunan Redondo, keajaban Zizou, keindahan Macca, totalitas Guti, dan keganasan Raul dan Moro, tak pernah akan saya tukar dengan tim manapun—termasuk dengan Barcelona yang ada Xavi-Iniesta-Messi-nya. Inilah tim yang akan selalu dikenang oleh para pendukung Madrid bukan saja karena kehebatannya melebihi nama galacticos yang dikenakan atasnya, bukan semata karena dua tropi Eropa-nya, tapi karena begitulah semestinya tim bernama Real Madrid. Tim inilah yang membuat saya selalu punya kekuatan untuk mengesampingkan pesona Barcelona-nya Guardiola, menganggap tiki-taka mereka tak ubahnya permainan pinball belaka.

Hingga kemudian Florentino Perez menjadi gila, yang membuatnya rela menukar semua kebesaran itu dengan selembar kaos bernomor 23 milik David Beckham. Ia memecat Del Bosque hanya beberapa jam saja setelah merebut gelar liga dari genggaman Valencia, menggantinya dengan seorang bos berkelas asisten bernama Carlos Queroz. Ia menolak menaikkan gaji Makelele yang memang kecil dan memilih melepasnya, bersamaan dengan Hierro, Macca, dan juga Moro.

Disneyfikasi Madrid, meminjam istilah McManaman, itu berujung amburadul. Empat musim tanpa gelar, permainan mengerikan, pelatih yang datang dan pergi, pemain-pemain baru yang gagal, dipadu dengan merajalelanya Ronaldinho bersama Barcelona, bagi saya adalah aib terburuk sepakbola di awal milenium ketiga—selain kegagalan Argentina di Piala Dunia 2002. Saya membenci masa-masa itu. Tapi, hingga saat itu, saya tak pernah punya alasan untuk meninggalkan Madrid.

Lalu rasa iri para pengurus klub dengan rival Catalan-nya makin menjadi-jadi. Cristiano Ronaldo didatangkan di awal musim 2009 dengan harga yang tingginya bisa kita jadikan acuan serendah apa tingkat kewarasan para direksi El Real. Saat perihnya dengki tak tertahankan lagi, setahun kemudian, mereka mendatangkan Mourinho—orang yang lama melewatkan awal karir kepelatihannya di pusat latihan Barcelona.

Kita akan tahu nanti, bagaimana perasaan saya berkait dengan “tragedi” beruntun ini. Tapi, dalam kalimat yang lebih pendek, boleh dikatakan kalau itu rasanya seperti di dalam rumah Anda sedang bersembunyi dua penjahat kejam; Anda ingin dua penjahat itu dihancurkan berkeping-keping, tapi Anda tak mau ada seinci pun dinding rumah Anda rusak.

***

Tahun 2004 adalah masa yang ganjil bagi sepakbola. Milan, juara bertahan Liga Champions, dihancurkan di perempat final oleh empat gol Valeron dkk. di Riazor. Madrid gagal lagi, kali ini oleh gol anak kesayangan Bernabeau yang disia-siakan Perez, Fernando Morientes. Porto juara dengan mudahnya. Yunani menjuarai Piala Eropa dengan rekor gol memasukkan paling sedikit sepanjang masa. Rehhagel, orang Jerman yang terbuang, jadi dewa di Athena. Dan orang yang menyebut dirinya The Special One mulai dielu-elukan.

Oke, pada awalnya, saya tak ada masalah dengan orang yang disebut terakhir itu. Porto jelas berhak juara—karena, bagi saya, siapa yang bisa menyingkirkan MU, ia layak juara. Mourinho, orang itu, jelas pelatih hebat. Dalam sepakbola, ia memberi gambaran paling komplit tentang sosok yang dideskripsikan oleh band Superman Is Dead sebagai “muda, beda, dan berbahaya”.  

Meskipun geram dengan cara Abramovich mendepak Ranieri untuk diganti dengan Mou, jujur, saya punya ‘harapan’ saat dia datang ke Chelsea. Dia bisa mengandaskan MU di Liga Champions musim sebelumnya, maka sangat mungkin dia bisa melakukannya di pertandingan-pertandingan Liga Inggris. Dan siapa pun yang bisa mengalahkan MU layak untuk disambut. Jadi, “kita lihat saja,” begitu pikir saya. Perkiraan saya (dan kebanyakan khalayak sepakbola) jadi nyata. Mou langsung mempersembahkan gelar liga untuk Chelsea setelah 50 tahun. Bahkan mengulangi pada musim berikutnya.

Sampai di sini, tentunya tak ada alasan untuk membenci Mou. Ia bahkan layak dicintai, jika mengingat saya pernah menaruh hati dengan Chelsea, paling tidak sejak kedatangan para veteran Liga Italia di pengujung ‘90-an. Ya, semestinya begitu, karena Mou mampu melakukan apa yang tak sanggup dilakukan Gullit, Vialli, dan Ranieri—sekalipun, dalam hal ini, celengan Abramovich jadi faktor pembedanya. Tapi, nyatanya, benih-benih permusuhan itu dimulai justru tepat di situ.

Itu karena, di tahun itu juga, Mou mulai memapankan dirinya jadi musuh penggemar Liverpool. Pas di situlah masalahnya.

Liverpool adalah nama klub Inggris yang saya tahu paling awal. Itu membuat saya lebih mudah untuk menyukai klub tersebut dibanding klub Inggris lain—meski saya justru mulai intens mengikuti Liga Inggris sejak musim 1995, saat Blackburn Rovers jadi juara. Apalagi, saya menemukan sosok idola pada diri Steve ‘Macca’ McManaman. Jadi, untuk Liga Inggris, saya rasa, saya seorang Liverpudlian. Hampir putus asa menunggu hasil dari tim penuh bakat asuhan Roy Evans (yang di dalamnya ada Macca, Jamie Redknapp, Phill Babb, Robbie Fowler, serta dua remaja ajaib bernama Michael Owen dan Steven Gerrard), Houllier memberi rasa percaya diri yang besar saat memberikan treble di tahun 2001. Namun, apa yang diberikan Rafa Benitez pada musim panas 2005 pastilah mengatasi semua itu.

Menjadi penggila bola pastilah tak jauh beda dengan menonton film laga; kita harus memilih mana pahlawan, mana penjahatnya. Meski memperoleh gelar dengan merebutnya dari AC Milan dan Anchelotti (pahlawan saya yang lain), Rafa dengan segera jadi pahlawan baru saya. Karena, “pahlawan tak akan berarti tanpa seorang penjahat”, seperti yang dikatakan Joker di The Dark Night, Rafa mesti memiliki musuh yang harus dihancurkan. Dan, saya jelas tak kesulitan untuk menentukan kemana telunjuk diarahkan. Tahu sendiri ‘kan?

Saya bisa saja mengajukan tindakan-tindakan, gestur di pinggir lapangan, dan berbagai-bagai komentarnya yang muncul di media sebagai acuan untuk membenci Mou. Tapi, saya lebih percaya kalau faktor terbesarnya adalah ia terlalu banyak “terlibat masalah” dengan Liverpool (dan terutama dengan Rafa) pada musim pertamanya di Chelsea. Jari telunjuk di mulut pada final Piala Liga 2005, komentarnya yang terlalu banyak soal gol tunggal Luis Garcia di semi final Liga Champions 2005, dan ya... tentu saja dua gelar Liga Inggris-nya.

Dan, setelah itu, semuanya hanya tinggal jadi pelengkap saja: anekdot karangannya tentang pertemuan pada jeda pertandingan di Camp Nou 2006, yang membuat wasit Andres Frisk pensiun dini; kepindahannya ke Inter; kegaduhan yang dibikinnya di setiap akhir pekan di Italia; juga, dan terutama, cara timnya bermain saat menyingkirkan Barca di Liga Champions 2010.

Mou pelatih hebat. Bahkan, sangat mungkin akan jadi yang terhebat pada beberapa tahun mendatang. Tapi, jelas, dia bukan orang yang saya inginkan untuk memberi gelar pada tim-tim kesayangan saya. Dia bukan tamu yang saya kehendaki datang ke rumah saya. Dan alangkah mengerikannya saat dia masuk dan bahkan menjadi koki di situ. Maka, sejak kedatangan pertamanya ke Bernabeau, sejak itu pula saya ingin dia cepat-cepat pergi. Lebih-lebih setelah melihat ketakberdayaannya yang berkelanjutan menghadapi Barcelona-nya Pep.

***

Nama Pontus Wernbloom mengingatkan saya kepada Pontius, si gubernur Palestina. Ketika bertepuk tangan untuknya saat mencetak gol ke gawang Casillas di menit ‘92, sepintas saya memikirkan Yudas yang bertepuk tangan saat Pontius menangkap Yesus. Ya, saya merasa, sedang melakukan pengkhianatan. Tapi, apa boleh buat. Kegagalan Madrid, yang itu berarti kegagalan Mourinho, tampaknya hanya satu-satunya cara membuatnya keluar dari Bernabeau—secepatnya.

Tapi sepertinya tak bisa semudah itu.

Melihat Milan bisa meladeni Barcelona di dua pertemuan babak penyisihan Liga Champion musim ini, tentu saja sebuah kebahagiaan bagi saya. Tapi, di sisi lain, itu menyemburatkan setumpuk kekhawatiran. Gol Pato di menit pertama dan Gol Silva di menit terakhir, memperlihatkan Barca tak sekuat—atau, paling tidak, tak selapar—tahun-tahun sebelumnya. Dan, Anda tahu sendiri, lemahnya Barca hampir sama artinya dengan kuatnya Madrid, dan itu berarti kesempatan besar bagi Mou. Tidak hanya di La Liga, tapi juga di kancah Eropa. Jika ‘cuma’ dengan tropi Piala Raja, Mou bisa begitu meyakinkan Perez, apa jadinya jika orang itu memberikan gelar Liga.

Sebagai seorang pendukung Madrid, saya semestinya gembira melihat betapa mungkinnya gelar Liga yang telah empat musim lepas bisa diraih lagi. Juga, tentu saja, gelar kesepuluh di Eropa. Tapi, di sisi lain, saya tak mau Mou yang memberikannya. Saya tak ingin menikmati pesta yang diciptakannya, sebab pesta Mou tak akan pernah jadi pesta saya. Dan, yang jelas, saya tak ingin melihat Mou mendekam lebih lama di rumah yang saya sayangi. Saya tak bisa menerima itu lebih lama!

Saya tak akan mungkin pindah rumah. Tapi, akan sulit pulang ke rumah yang dihuni oleh musuh. Dan karena saya amat rindu untuk pulang, semua usaha yang bisa dipakai untuk mengusir musuh itu jadi tampak baik di mata saya. Itulah kenapa saya bertepuk tangan untuk gol Pontus Wernbloom. 

Meski tepuk tangan itu mungkin akan sulit terjadi di Bernabeau, 14 Maret nanti, saya tak akan keberatan melakukannya lagi. Pasti seru membayangkan sebuah gol penyama kedudukan 2-2 dari Ahmed Musa pada menit 93.

Tapi, masa sih CSKA bisa menyingkirkan Madrid...?    






Related Posts:

BEK: Sebuah Novel (Bag. 7)

Oleh Mahfud Ikhwan

4/

Pada waktu-waktu sebelumnya, hanya bocah yang telah masuk usia 14, atau bahkan lebih tua dari itu, yang merasa pantas untuk ikut berlatih di lapangan. Namun belakangan, setelah beberapa perubahan dan perkembangan yang terjadi di desa itu, mereka yang muncul di lapangan jadi jauh lebih muda.

Malaysia. Sepertinya, dari sanalah asal mulanya.
Sejak akhir 80-an, Lerok yang terpencil, tertinggal, dan kering itu disapu oleh sebuah semangat baru: merantau. Ada yang ke Jakarta, Kalimantan, Batam, Saudi Arabia, dan ke Malaysia. Lalu waktu kemudian menguji, tempat yang disebut terakhir itu yang paling menjanjikan. Tidak saja mampu memberi harapan, tapi juga sejumput kemakmuran. Setelah gelombang pertama yang dianggap sangat sukses, menyusullah perantau gelombang kedua yang luar biasa banyaknya. Meski setelah sekian waktu kemudian menjadi jelas bahwa tak semua yang berangkat ke Malaysia menuai keberhasilan, gelombang itu tak terbendung lagi. Karena itu, gelombang berikutnya pun menyusul lagi. Dan berikutnya, dan berikutnya lagi. Hingga, masuk paruh pertama 1990-an, hampir sulit ditemukan ada keluarga di Lerok yang tak memiliki anggota keluarga yang bekerja di Malaysia. Sebutlah nama, maka akan segera ditemukan anggota keluarganya yang di Malaysia. Isnan, misalnya, ditinggal bapaknya. Salim ditinggal kakaknya. Kacung bahkan ditinggal bapak dan emaknya. Agung malah menjadi yatim untuk selama-lamanya setelah bapaknya meninggal di sana.
Tapi, bukan hanya para bocah itu yang ditinggal, kakak, orangtua, atau sanak-familinya. Lapangan—ulangi, lapangan sepakbola itu—juga mengalami nasib yang kurang-lebih sama. Ia ditinggal banyak pemain yang biasa bermain di sana.
Pada gelombang pertama, Nasikul si striker dan Masrokan sang kiper telah ikut berangkat.
“Untuk masa depan yang lebih baik,” begitu mereka pamit. Mengingat pentingnya peran mereka dalam skuad Perserok, tentu banyak yang menyesali kepergian mereka.
“Sepakbola Lerok akan kehilangan kalian,” demikian kalimat pengantar dari ketua Karang Taruna pada acara selamatan sebelum keberangkatan.
Sebagai sedikit penghiburan kepada yang ditinggal, kedua orang itu menjanjikan untuk tetap berandil dalam persepakbolaan desa itu. Kalau tidak main secara langsung, begitu mereka menjelaskan, mereka akan membantu dari jarak jauh dan dengan cara yang berbeda. “Kalau ada kelebihan rejeki, aku akan mengirim pulang bola-bola yang bagus. Biar teman-teman yang latihan tidak antri pakai bolanya,” demikian Nasikul berjanji. Masrokan tak mau kalah. “Kita tak pernah punya kostum yang bagus. Jadi, doakan saya agar bisa menyediakan kaos yang bagus untuk Perserok,” begitu ikrar Masrokan.
Kehilangan Nasikul dan Masrokan, Perserok jadi sedikit pincang. Itu tampak dari berbagai pertandingan persahabatan yang dilakoni tim ini. Tak adanya striker andalan dan kiper kepercayaan, Perserok jadi lebih susah bikin gol sekaligus gampang kemasukan. Pengampu sepakbola di desa sudah berusaha mencari gantinya, namun sejauh itu belum menunjukkan hasil.
Meski demikian, paling tidak, persepakbolaan Lerok masih terus bernafas. Lebih-lebih, ketika kedua orang itu berhasil menunaikan janjinya pada tahun kedua perantauannya, nafas sepakbola desa itu lebih menderu. Punya bola lebih dari tiga dan sebuah kostum yang tidak memalukan adalah hal langka dan belum tentu terjadi sekali dalam satu dasawarsa. Apalagi ketika perantau Malaysia yang lain ikut-ikutan urunan untuk membeli jaring gawang dan cat bermutu untuk tiang gawang dan garis lapangan. Sepanjang orang bisa mengingat, baru kali itulah gawang di lapangan Lerok bercat dan memiliki jaring. Dengan bola lebih dari tiga, kaos tim, jaring gawang, dan lapangan bergaris cat (bukan oleh adonan gamping), latihan dan pertandingan persahabatan menjadi lebih semangat dan lebih kerap—meskipun, dengan tak kunjung ditemukannya pengganti Nasikul dan Masrokan, Perserok masih saja lebih gampang kalah.
Tetap bernafas namun masih belum pulih benar, sepakbola Lerok kemudian mendapatkan pukulan yang lebih telak. Dua tahun setelah keberangkatan Nasikul dan Masrokan, lima orang pemain pilar Perserok menghilang dari peredaran lapangan Lerok. Mu’ad menikah dengan orang luar desa dan tak pernah balik lagi ke Lerok. Empat lainnya, kemana lagi kalau tak ke Malaysia. Kebutuhan hidup adalah alasan yang tak terelakkan dan tak perlu dikatakan. Namun kepada rekan-rekan sepakbolanya, mereka mengatakan kalau kepergian mereka ke Malaysia akan menjadi langkah maju bagi persepakbolaan Lerok. “Kami punya rencana, di sana nanti, para mantan pemain Perserok akan membentuk arisan. Hasilnya nanti akan kami sumbangkan sebesar-besarnya kepada perkembangan sepakbola Lerok. Misalnya, untuk membeli pemotong rumput atau bahkan menggaji seorang pelatih,” kata Karpandi, salah seorang dari mereka saat pamit.
Satu tahun sesudah kepergian Karpandi dan rekan-rekannya, Perserok yang sebelumnya megap-megap akhirnya benar-benar habis. Tim itu sudah dua kali 17-an tak lagi ikut kompetisi sekecamatan. Menyusul mundurnya beberapa orang lagi karena alasan umur, dari 11 pemain yang dulu mampu mengalahkan Tambakrejo Putra, tinggal hanya Jabal, si pemain belakang, yang masih bertahan. Sementara, generasi di bawahnya, tanpa di sadari seorang pun, ternyata lebih banyak lagi yang berangkat ke Malaysia.
Persis pada saat keadaan seperti inilah Isnan, Kacung, Salim, Muslim, Wakid, Agung, Umar, Edi, dan bocah-bocah seumur mereka memulai masa-masa bermain di lapangan.
*

Selalu menyenangkan melakukan langkah maju dalam hidup. Demikian juga yang dialami bocah-bocah itu. Berpindah main bola dari halaman ke lapangan pada usia yang belum genap sebelas sama rasanya dengan masuk sekolah SMP tanpa perlu melewati Ebtanas. Sedikit mengejutkan, namun terasa mudah. Ya, begitulah. Karena mereka masuk di saat lapangan itu hampir-hampir kosong, mereka tak harus menjadi cadangan lebih dulu. Mereka tak perlu menghadapi teror-teror pemain tua, seperti yang dulu-dulu sering dialami oleh setiap pemain baru di Perserok. Mereka, di usia SD mereka, hampir-hampir jadi penguasa lapangan sepenuhnya. Namun, seperti biasa, jenjang SMP bagi bocah yang seharusnya masih di SD tentu saja tak semenyenangkan itu.
Mari kita mulai dari lapangan itu. Jika dijajar dalam rata-rata lapangan sepakbola, tak diragukan kalau lapangan sepakbola Lerok adalah lapangan terkecil di dunia. (Orang-orang Lerok pasti tak akan lupa, enam tahun sebelumnya, saat perwakilan pemain Tambakrejo Putra berkata dengan nada setengah bercanda dan tigaperempat menghina, “waduh, kalau saja tadi diberi tahu lapangan Lerok seperti itu, kami pasti akan gulung lapangan kami dan kami bawa ke sini.”). Maka, jika benar-benar diukur, lapangan itu pasti hanya sepertiga dari ukuran lapangan sepakbola yang seharusnya. Sudah begitu, sedikit miring pula permukaannya. Tapi, apapun kenyataan yang bisa dipakai untuk menghinanya, lapangan itu tetaplah terlalu dini bagi bocah-bocah 10 tahunan itu.
Bocah-bocah itu sudah pernah merasakan lapangan ini, dulu saat melakukan pertandingan gila 6 lawan 6 pada tengah hari itu. Dan mereka merasa begitu menderita—sebuah penderitaan yang masih akan terus dikenang. Kini, dalam sebuah permainan yang jauh lebih normal, dengan 15 lawan 15, pada cuaca sore yang normal, dengan bola besar yang lebih bersahabat, mereka menyangka keadaan akan lebih baik. Tapi ternyata tidak. Mereka baru sadar, bahkan dengan 20 lawan 20 pun, lapangan ini tetap saja masih terlalu besar untuk mereka. Terbiasa dengan halaman 6x12 meter, lapangan yang luasnya paling tidak masih mencapai 25x55 meter itu terasa jadi terlalu luas. Di mata mereka, para pemain yang berdiri di posisi masing-masing terlihat tampak berjauhan dan sendirian. Di lapangan itu, tidak terlihat ada dua tim yang saling berhadapan, namun 30 orang yang satu sama lain saling bermusuhan.
Para pemain yang tampak berjauhan itu barang kali tidak jadi masalah jika yang mereka mainkan adalah bola tenis hijau yang ringan dan lenting itu (umpan tentu akan sedikit sulit diterima, tapi pasti sampai). Tapi, persoalannya, sejak di lapangan ini, mereka mesti memakai bola biasa. Ya, bola biasa, begitulah orang dewasa menyebut bola yang menimbulkan nyeri di kaki kalau ditendang dan membuat pusing di kepala kalau disundul. Bola milik SD Negeri bercap ‘Departemen P & K’, yang mereka mainkan dua tahun lalu di lapangan ini, memang mengerikan kerasnya, sementara bola yang mereka pakai sekarang ini adalah bola-bola kiriman para mantan pemain yang ada di Malaysia—bola terbaik bermerek terkenal yang dijual di toko-toko olahraga di Kuala Lumpur dan George Town. Namun, bahkan masa dua tahun dan bola yang lebih empuk dan lebih ringan, tetap tak membuat kaki-kaki bocah itu jadi jauh lebih enteng tugasnya. Untuk menendang bola-bola made in Malaysia itu tetap membutuhkan tiga hingga lima kali tenaga dibanding dengan saat menendang bola tenis yang hijau dan lenting itu. Dan, tentu saja, juga tiga hingga lima kali risiko keseleo.
Tapi apapun itu, beralih dari halaman ke lapangan tetaplah sesuatu yang mesti dirayakan.





Related Posts:

Takdir Zambia

Oleh Darmanto Simaepa

Ada semangat istemewa dalam diri kami. Itu sudah tertulis di langit
.
—Herve Renard, pelatih Zambia—

Selama lebih kurang tiga jam menyaksikan final piala Afrika, beserta ritual penyerahan pialanya, saya tidak hanya menikmati keajaiban sepakbola, tetapi juga kisah tentang manusia dan misteri permainan ini. Saya tertegun beberapa lama dan selama sepekan, terus memikirkannya. Sisi akal sehat saya meyakini, juara adalah urusan kerja keras, latihan spartan, taktik yang cerdik, persiapan matang dan pendekatan tepat atau kemampuan finansial yang hebat. Dalam hampir setiap kasus pertandingan besar, detil-detil kecil persiapan dan kalkulasi matematis yang rinci akan sangat menentukan. Namun akal sehat seringkali tidak pernah cukup dalam sepakbola. Pasukan The Chipolopolo (peluru timah) mengingatkan bahwa spirit--campuran antara gairah yang menyala dan semangat untuk menerima derita--akan melampaui kalkulasi teknis yang paling hebat sekalipun.

Kisah Zambia adalah ‘realisme magis’ sepakbola! Tim ini bermain seakan-akan melampaui hukum gravitasi. Menonton langsung Zambia adalah sebuah berkah tersendiri. Setiap permutasi pemainnya digerakan oleh sebuah spirit tim yang tidak bisa dicari di liga terbaik Eropa. Setiap senyum dan gerak tubuh pasukan Zambesi merefleksikan individu yang bergerak bersama menuju sebuah metafisika. Mereka berlari, mengumpan, menekel, menyundul, dalam sebuah bingkai ketegangan antara keyakinan akan juara dan ketegangan mewujudkannya. Herve Renard, sang pelatih, menyebutnya sederhana: mereka sedang bermain dengan takdir.

Juga, dua hal yang dilakukan Renard setelah pertandingan, membuat saya merasa, apa yang penting dalam sepakbola adalah hubungan antar manusia. Menang mungkin puncak segalanya, tapi memberi dimensi pada momen kemenangan akan memberi nilai tambah bagi sejarah. Apa yang dilakukan Renard membuat sepakbola bukan soal statistik, klasemen, bonus, uang atau halaman muka surat kabar. Ia bisa membuat sepakbola bisa dirasakan oleh sel-sel darah merah anda. Ya, saya tidak menolak orang yang menyatakan sepakbola modern adalah kalkulasi siaran televisi dan urusan akuntansi. Namun, orang yang paling deterministik menyatakan sepakbola adalah urusan uang belaka, harus disumpal mulutnya untuk tahu bahwa sepakbola bisa jadi bukan urusan uang belaka.

Pertama, ia segera menggendong Joseph Mosunda, bek kiri yang cedera, dari bangku cadangan sepanjang setengah lapangan ke sudut lapangan, dimana seluruh tim berkumpul, berdoa, histeris, dan menyanyi bersama. Kedua, ia memberikan medali dan pialanya kepada Kalusha Bwalya, satu-satunyapemain terbesar Zambia yang tersisa dari generasi emas pesepakbola yang pernah ada di negeri itu. Jika publik dunia (terutama Eropa) tersentuh hatinya oleh sikap humanistik Guardiola yang memberikan ban kapten kepada Eric Abidal dan memberi kesempatan bermain selama beberapa menit pasca operasi hati di Final Champions, apa yang telah dilakukan Renard tidak bisa dideskripsikan dan disentuh dengan kata-kata. Tindakannya membuat mata anda berkaca-kaca dan hati anda yang keras meleleh. Renard memberi pesan bahwa, sepakbola dengan segala keglamorannya, adalah: fana.

*****

Pada awalnya, saya sulit untuk merangkai kolase gambar yang muncul di layar notebook—saya melihat siarannya dari streaming internet di kamar Marienpoel Straat nomor 25. Televisi selalu menyorot seorang pria paruh baya yang berwajah tegang. Setiap Zambia meraih peluang, mata pria 40-an tegap itu berkilat. Saat Pantai Gading menembak ke gawang Zambia, ia sekilas menahan napas dan otot mukanya mengeras. Setelah mencari-cari siaran berbahasa Inggris yang bagus, akhirnya saya tahu itu adalah Kalusha Bwalya, satu-satunya pemain Zambia yang saya pernah kenal namanya entah dari suatu masa.

Kisah Bwalya dan tim segenerasinya adalah kisah yang jauh lebih tragis dari tragedi Munich. Tanggal 30 April 1993, Zambia dijadwalkan bertanding untuk kualifikasi piala dunia 1994. Pesawat DHC-Buffalo buatan Kanada yang membawa 30 penumpang—25 awak tim dan 5 kru—singgah di Libreville untuk mengisi bahan bakar dan segera menuju Abidjan untuk transit kedua menuju Dakar. Namun sesaat setelah lepas landas, pesawat militer itu jatuh di lepas pantai Libreville di Gabon. Jika Boby Charlton masih bisa bermain dengan 3-4 anggota tim yang selamat, Bwalya kehilangan semua anggota timnya—termasuk dua saudaranya. Ia beruntung, karena sebagai pemain PSV Eindhoven dan bermain di liga Eropa, dia bisa menyewa jet pribadi dari Belanda ke Senegal.

Delapan belas pemain yang disebut-sebut sebagai tim terbaik Zambia yang pernah ada meninggal. Satu generasi pemain hilang. Tim inilah, yang pada masa remajanya, mengalahkan Italia yang diperkuat Roberto Baggio dan Di Canio, 4-0 di Olimpiade Seul 1988. Saat menuju Senegal itu, mereka memulai perjalanan untuk menjadi tim yang membawa negara di delta sungai Zambesi ini pertama kali masuk piala dunia 1994. Kecelakaan itu membuat sepakbola tidak pernah lagi menjadi sama bagi Zambia dan Bwalya. Sepanjang dua dekade, Kalusha dibebani perasaan bersalah—karena menjadi satu-satunya orang yang selamat. Dan sebagai pemain terbesarnya, ia dihantui oleh sejarah.

Bwalya berkesempatan menghapus trauma tragedinya di piala Afrika 1994. Bersama tim compang-camping, masih berduka dan semangat penebusan, ia memimpin Zambia ke Tunisia. Keajaiban hampir ia raih. Sebuah tim setengah amatir, menantang salah satu tim terbaik Afrika sepanjang sejarah di partai puncak. Namun, waktu belum memberi takdirnya. Satu generasi emas Nigeria (anda ingat Amunike, Amokachi, Nii Lamptey muda, Finidi George, Residi Yekini kan?) mengalahkan tim terluka itu.

Hidup akan memberi keadilan jika kita cermat menghitungnya. Seluruh rangkaian peristiwa sepanjang dua dekade sejarah sepakbola memberikan haknya pada Zambia. Kalusha, the last man standing, yang kini menjadi presiden sepakbola akhirnya bisa hidup dengan tenang di sepanjang sisa hidupnya setelah berdamai dengan ingatannya.

Zambia tahu, sekarang adalah waktu yang tepat. Sebelum pertandingan, Bwalya, Renard dan pemain pergi ke tepian pantai Libreville untuk berdoa, mengirim bunga, dan memandang ke arah lautan lepas atlantik di teluk Guinea. ‘Kami tahu mereka bermain bersama kami,’ kata si kiper Kennedy Mweene dalam ziarah menjelang final, ‘arwah mereka akan membantu kami’. Dan begitulah takdir tak pernah tidak menepati janjinya.

Jika suatu takdir sudah tertulis, tidak ada kekuatan yang bisa mencegahnya. Bahkan jika itu adalah sekumpulan pemain bintang yang dianggap melampaui generasi emas Nigeria, yang berisi kumpulan pemain terbaik di liga terbaik dunia. Dalam setiap detilnya, stadion di Libreville seakan menjadi momen di dimana ‘seluruh semesta seakan-akan telah menyediakan panggung untuk Zambia’. Misalnya, pada fase penyisihan grup hingga ke semifinal, Zambia selalu mendapat tempat—yang telah ditentukan melalui undian grup—di di Guiena Ekuatorial. Namun, tanpa disangka, finalnya dilangsungkan di Gabon, di stadion yang lokasinya mengarah ke arah lokasi jatuh pesawat.

Namun, satu takdir tidak pernah bisa memberi kebahagiaan bagi semua pihak dalam sepakbola. Dari perspektif lain, takdir Pantai Gading tidak menemukan momennya. Tim ini juga berpeluang mengulangi apa yang dilakukan oleh pemain generasi terdahulunya, menjadi satu-satunya tim yang mampu juara tanpa kebobolan di tahun 1992. Takdir itu juga sebuah deja vu bagi Didier Drogba yang gagal mengeksekusi dua penalti dalam dua final yang ditempuhnya.....

*****

Di menit-menis sebelum kick off, kamera dari dekat memperlihatkan para pemain Pantai Gading yang sudah merasa juara. Mereka sering sekali berpelukan dan tersenyum riang. Satu-satunya tim yang dianggap sepadan, menjadi rival, dan juga sedang berevolusi mencapai tahap terbaiknya, Ghana, telah tersingkir di semifinal. Zambia hanya memiliki dua pemain yang bermain di Eropa, salah satunya di kasta dua liga Rusia.

Tapi ada sesuatu yang mengambang di udara. Itu adalah sebuah perasaan yang muncul pada tim Brazil 1998 dan 2006. Rasa percaya diri yang tinggi, yang berada sekian milimeter dari beban tinggi sekaligus takut gagal. Dan benarlah, pelukan dan salam yang canggung itu menjelaskan situasi akan seperti mereka bermain. Drogba seperti pastor yang kehilangan jemaatnya, Toure seperti sedan mewah yang hilang kuncinya, Gervinho sepertinya tidak belajar bagaimana menjadi Messi dan dia nyata-nyata bukanlah Maradona.

Zambia bukanlah tim favorit. ‘Tapi kami percaya bahwa kami memiliki kekuatan istimewa’ , kata Nkusu sebelum pertandingan. Tangisan Josef Mosunda pada sepuluh menit pertama menunjukkan seberapa besar hasratnya bermain untuk pertandingan ini demi negara dan sejarahnya. Saat harus menerima kenyataan tekel pentingnya terhadap Gervinho membuat betisnya tidak bisa lagi menopang badannya, ia sesenggukan di sudut bangku cadangan seperti kehilangan anggota tubuhnya. Sebagai pemain paling senior, dia mengatakan apa yang dirasakannya dengan tubuhnya. Semua orang yang cinta sepakbola tahu itu adalah sebuah hasrat besar yang hanya muncul beberapa tahun sekali dalam bentuk terbaiknya—salah satunya adalah bahasa tubuh Gerard saat memimpin Liverpool dalam keajaiban ‘Malam Istambul’.

Para pemain Zambia tidak bermain dengan teknik yang brilian. Namun mereka bermain sebagai unit yang saling terhubungkan. Dengan postur yang jauh lebih kecil, mereka terlihat ada di seluruh sudut lapangan. Mereka sering menang saat berebut bola. Mereka tidak sekalipun merasa terintimidasi oleh nama besar lawannya. Bahkan sebuah umpan satu dua yang diakhiri dengan cungkilan Mayuka kepada Nathan Sinkala di sekitar 1970, membuat Pantai Gading seperti Madrid dan Zambia layaknya Barca. Selain tendangan Yaya Toure yang masih tipis, pada dasarnya, Pantai Gading tidak memberi ancaman berarti.

"Saat penalti Drogba gagal,’ batin Davis Nkausu yang melanggar Gervinho di kotak penalti, ‘saya semakin yakin, (final) ini adalah milik kami’. Anda bisa melihat keyakinan itu dari sorot mata Kenedy Mweene. Tangkapannya tidak lengket dan secara teknis buruk. Bola selalu melenting dari tangannya. Tapi dari gestur tubuhnya, cara dia berkomunikasi dengan bek-beknya, cara dia bersijingkat, dan sikap menghadapi penalti Drogba, ia menikmati pertandingan ini layaknya anak-anak mendapatkan bola pertama kalinya—bahkan saya tidak pernah menyaksikan Schemeichel atau Casillas menikmati pertandingan seperti ini. Bahkan saat dia mengambil penalti yang menentukan sebagai penendang kelima, lewat sebuah tendangan pelan dan mendatar tapi mematikan, dia tampak jauh lebih berpengalaman dari pada Rogerio Ceni.

Saat adu tendangan penalti, saya menyaksikan sebuah elemen yang berbeda dari kedua tim yang bertanding. Di bangku cadangan Pantai Gading, wajah-wajah frustasi dan tegang begitu terasa. Di tengah lapangan, pemain the Elephant berdiri mematung dan agak berjauhan. Mereka tahu, nasib baik sedang menjauhi mereka. Sementara itu para pemain Zambia saling melingkarkan tangan dan berlutut. Di bangku cadangan, mereka seperti sedang berdoa menunggu pesta hasil hewan buruan. Saat penalti Bamba dari Pantai Gading yang gagal harus diulang, tidak ada keluhan dari Zambia. Saat Renford Kalaba gagal menyarangkan bola, mereka tidak terasa tertekan. Dari kamera televisi, mereka terus berdoa, bernyanyi dan berlagu secara ritmik. Pemain, pelatih, presiden bergabung saling menopang tangan pada bahu.

Saat tendangan terakhir Gervinho melambung dan Sunzu masuk, takdir itu menemukan bentuknya. Diantara ekspresi juara yang saya pernah saksikan sepanjang masa 20 tahunan terakhir, ini adalah ekspresi yang paling menggetarkan. Para pemain, staf pelatih, dan Bwalya berlari menuju sudut lapangan. Mereka saling berangkulan dan membentuk lingkaran. Mereka bergumam secara ritmik, dengan nada-nada cepat yang mungkin tidak ada yang mengerti. Sesekali mereka menunjukkan jari ke arah langit dan menengadahkan tangan.

‘Kami ingin memberikan hadiah ini kepada para pemain yang telah meninggal disini dan sedang menyaksikannya. Keluarga mereka yang ditinggalkan akan merasa bahagia. Arwah-arwah mereka kini telah tenang’, kata mereka bersama.

*****

Momen yang membuat saya tertegun adalah saat semua orang berlari menuju sudut lapangan, Renard segera menggendong Mosunda ke sana. Tubuh Mosunda dalam balutan selimut warna bendera menggigil. Air matanya tidak berhenti mengalir, bahkan kian deras setelah juara. Anda bisa memberi perspektif apa saja dari dimensi humanistiknya. Itu adalah sebuah peristiwa, dimana, hasrat yang besar menemukan ruang dan waktunya. Juga sebuah momen dimana nilai-nilai persaudaraan, gairah, respek, kebersamaan, sama rasa sama rata, cinta dan kasih sayang—nilai-nilai yang bila dihayati, membedakan kita dengan spesies lain—masih ada dalam sepakbola dan menjadi bagian penting di dalamnya.

Keajaiban tidak selalu muncul tiap pekan dalam sepakbola. Zambia barangkali akan sulit mengulangi capaian ini di masa-masa mendatang. Tetapi justru karena tidak datang setiap hari, kita pantas dan punya alasan mengingat momen magis ini.

Sejarah, konon adalah adalah timbunan dan akumulasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Dia selalu hidup dan meminta untuk diingat. Apa yang telah diperbuat oleh sepakbola Zambia di Libreville dan hubungannya dengan sejarah mereka di masa lalu, bagaimana mereka memberi makna pada setiap peristiwa dalam arus waktu dan menghormatinya memberi petunjuk bahwa takdir sepakbola hanya bisa terwujud jika kita merawat setiap detil peristiwa yang telah berlalu, belajar darinya, dan memberi nilai tambah baginya. Takdir, barangkali, adalah hasil dari penghayatan dan penghargaan terhadap sejarah.

Related Posts:

Hantu Para Maestro

Oleh Darmanto Simaepa

Saya suka istilah Uruguay, Maestro, untuk menyebut para pelatih hebat. Ada banyak definisi, dan juga perdebatan tentang siapa Maestro. Ukuran yang paling banyak digunakan—dan mungkin paling bisa diterima—adalah seberapa banyak koleksi tropi dan medalinya. Pada level ini, Herbert Chapman, Ferguson, Giovani Trapattoni, Miguel Munoz, Mourinho bisa kita sebut didalamnya.

Bila dirincikan lagi, perdebatan tidak akan berhenti karena bicara tentang trofi juga dipengaruhi dimensi level (apakah memenangi piala dunia, liga champion atau liga domestik) dan dimensi waktu (apakah seseorang melatih tim sebelum piala dunia, era 70an atau kompetisi modern yang sangat ditentukan siaran televisi), serta selera sepakbola (apakah anda penggemar permainan menyerang atau pengagum seni bertahan).

Sebagian lain mengatakan piala memang penting, tapi kemampuan melakukan revolusi taktik dan mentransformasikannya menjadi sebuah standar permainan pada masanya, jauh lebih dihargai. Michels dengan total football-nya, Tele Santana dengan Jogo Bonito, Sacchi dengan Corto Stretto, Heleno Herera dengan Catenaccio, Cruijff dengan permutasi dan positioning play-nya, atau Lobanovsky dengan scientific football berada pada level yang berbeda dengan pelatih kebanyakan ketika berbicara tentang penemuan metodologi sepakbola.

Ada juga sebuah definisi yang (entah sadar atau tidak) dipinjam dari istilah sekolah, dimana Maestro adalah orang yang bisa menghasilkan generasi pelatih yang sama hebat dengan dirinya. Sacchi bisa dibilang hebat karena Gullit, Rijkaard, Ancelotti, Basten, Savicevic berhasil menjadi pelatih brilian. Kalau benar ini ukurannya, mungkin Rinus Michels bisa dibilang buruk karena menghasilkan pelatih sejenis Wim Rijsbergen....

******

Saya tidak akan masuk ke dalam perdebatan tanpa usai tentang siapa Maestro paling hebat. Selain bahwa perdebatan itu barangkali absurd, saya jelas sudah punya preferensi, dan setiap argumentasi hanyalah seperti sebuah omong kosong. Alih-alih mendaftar para Maestro, saya tertarik dengan kisah para hantunya.

Bagaimana ini terjadi, saya akan memulai dari kisah almarhum Bobby Robson dan Barcelona....

Bagi mendiang Robson, Nou Camp adalah rumah besar yang angker. ‘Cruijf seperti bayang-bayang gelap yang menghantuiku,’ kenang Robson untuk sedikit tahun hidup di Katalunia. Tidak peduli piala Winners yang ia menangkan, tidak peduli membuat Ronaldo menjadi pemain terbaik dunia, Robson dibayang-bayangi oleh keberhasilan Cruijf menjadikan Barca menjadi salah satu tim yang merevolusi cara menyerang—selain Milan—pada masanya. Dengan segala reputasi dan gelar kebangsawanannya, Nou Camp tidak pernah cukup bisa menerima kemampuan Robson meracik taktik.

Barcelona (selain rival abadinya, Madrid) adalah salah satu tim yang tidak cukup puas hanya bisa juara atau menang pertandingan. Seringkali, untuk mendapatkan elegansi, gaya, visi yang mereka inginkan dalam permainan, dia harus membuang para pemain termahalnya atau pelatih dambaannya. Setelah hampir dua dekade dengan sebelas pelatih datang dan pergi, bahkan sekalipun itu Rijkaard yang memberi titel Champion, bayang-bayang Cruijf hanya bisa dihapus oleh murid kesayangannya, Guardiola.

Dalam tradisi sepakbola Inggris, hantu-hantu para Maestro bergentayangan di kota-kota sepakbola. Di Manchester, bayang-bayang kebesaran Matt Busby telah membuat Old Trafford jadi kandang divisi dua selama 3 musim selama era 70-an. Ketidakberhasilan melepaskan era kejayaan Sir Matt selama dua puluh tahun, telah membuat setan merah menderita. Tim ini harus merugi, kehilangan fans, paceklik gelar dan terutama kehilangan otoritas untuk bisa dikagumi di Eropa.

Para pengganti Busby, merasa langkahnya diikuti oleh bayang-bayang sir Matt: di ruang ganti, dibangku cadangan, di tempat latihan, di pesawat. Definisi tentang bermain sepakbola, bagaimana kostum dirancang, jenis sepatu yang dipakai merujuk pada kata-kata Matt. Frank O’Farrel, yang hanya beberapa bulan duduk di kursi yang selama puluhan tahun ditempati pendahulunya itu, mengeluh bahwa dia hanya direkrut untuk mengunci pintu kantor yang ditinggalkan oleh Sir Matt. ‘Dia selalu ada dimana-mana,’ keluh Farrel, ‘dan para pemain mudah menemukannya’.

Berganti kisah ke merah lainnya, hantu Bill Shankly juga membayangi kehidupan Bob Paisley selama tahun-tahun awal gejolak transisi di Anfield. Suatu masa di Melwood, saat Shankly yang setengah pikun mencari-cari halaman rumahnya dan kesasar di lapangan latihan, tiba-tiba semua pemain, staff, dan pembersih kamar mandi menoleh ke arahnya dan mengatakan ‘hai Boss’ dan sedikit mengacuhkan keberadaan Paisley. Paisley bahkan harus mengancam klub untuk ‘mengusir’ Shankly (yang saat itu menjadi dewan direktur) atau dia akan mundur untuk mengikis hantunya. Hantu Shankly hanya bisa diatasi Liverpool setelah dirinya, karena setengah terusir dari Anfield memilih mengungsi ke Goodison Park.

Manchester mungkin lebih beruntung karena, setelah dekade frustasi di tahun 70-an dan 80-an, mereka menemukan orang yang bisa menghalau hantu sir Matt—kita tidak usah menyebut nama si diktator penggantinya ini. Arsenal butuh 6 dekade untuk mencari reinkarnasi Herbert Chapman dalam diri Arsene Wenger. Auxerre kehilangan selama-lamanya figur ayah dalam diri Guy Roux, dan kehidupan sepakbola di kota itu tidak pernah lagi sama sejak ia pensiun. Intermilan harus melewati banyak kenistaan dan menahan tahun-tahun penuh rasa malu dan rendah diri untuk membuat roh Helenio Herrera bersemayam dengan tenang sampai saat mereka menemukan si istimewa Mourinho.

Menjadi pelatih hebat dan juara memang sulit. Tapi jauh lebih sulit lagi dia bisa menciptakan serial hantu yang mampu menteror para penerusnya. Kebanyakan Maestro yang mampu menciptakan hantunya adalah orang yang mampu membuat revolusi bagi timnya. Revolusi ini tidak harus berarti permainan ala Guardiola atau Sacchi. Para Maestro ini mampu mentransformasikan visinya ke dalam konteks permainan yang dia inginkan. Helenio Herera bisa diterima di klub Barcelona karena ia mampu merevolusi cara klub berpikir—tidak peduli cara berpikir itu berbeda dengan gaya flamboyan Catalan.

Apa kualitas yang menentukan para Maestro itu? Disini dibutuhkan ego, karakter, kekuasaan, dan kualitas personal yang sangat besar. Anda tidak akan mencatat Steve McLaren untuk menjadi pelatih Inggris yang dikagumi atau Zaccheroni untuk pelatih Milan yang dikenang. Dibutuhkan Seseorang dengan daya pimpin yang kuat—tidak peduli jahat atau brutalnya dia—dan bisa mentransformasikan dirinya menjadi representasi klub. Ego yang sangat besarlah yang mampu mewujudkan apa yang identik dengan tim, klub dan cara bermain sepakbola.

‘Wajah pelatih adalah cermin dari kesehatan timnya,’ ujar Wenger suatu kali. Dan tentu saja ia benar. Coba apa yang anda pikir tentang Fergie, MU dan permainannya? Pasti anda berpikir tentang betapa berkuasanya (dia dan tim ini), betapa arogannya, betapa disiplin dan loyalnya seseorang menjadi bagian terpenting dari sebuah kehidupan sepakbola. Jika anda tidak sesuai dengan gaya Fergie, pintu Old Trafford selalu terbuka. Jika saya disuruh berpikir tentang Chelsea, saya akan berpikir tentang metode Mourinho! Juga cara Lampard, Terry dan Drogba menendang dan mengumpan bola.

Hantu para Maestro yang hadir di kantor, WC dan konferensi pers klub, jika tidak pernah bisa tidur tenang, menjadi salah satu faktor yang akan membuat klub hidup dalam masa kegelapan. Nottingham Forest tidak pernah berhasil mencari figur Brian Clough yang tidak beristirahat dengan damai karena melihat klub tercintanya terdegradasi. River Plate terus menerus gusar mencari padanan kehebatan Angel Labrina—bahkan ketika Pasarella mencobanya—dan kini terpuruk ke divisi dua.

Namun, kisah hantu para Maestro ini tidak melulu membuat depresi para penerusnya. Bayang-bayang kehebatan itu juga kerap kali menghantui si Maestro sendiri. Rinus Michels kembali ke Ajax 5 kali setelah pensiun dan tidak pernah bisa menciptakan Ajax seperti yang ia wariskan. Di ujung Skandinavia, Eggen harus bolak-balik 6 kali ke klub yang sama selama 30 tahun terakhir untuk mencari-cari formasi 4-3-3 versi Skandinavia yang telah ia ciptakan. Juga si Tabarez harus turun gunung lagi menukangi Uruguay mencari sejumput kejayaan masa lalunya di Montevideo. Bahkan tarik ulur masa pensiun Fergie adalah sebuah contoh dimana ia selalu dihantui kebesarannya sendiri.

*****

Kehebatan setiap Maestro memiliki sisi gelapnya. Para pelatih yang sangat sukses menjadi ikon dan representasi klub membuat klubnya berada dalam resiko besar—terutama setelah si Maestro pensiun. Kejayaan Liverpool era Paisley dan kemudian diteruskan oleh Dalglish telah membuat klub ini menghasilkan satu generasi Scouse yang patah hati, murung dan menderita inferioritas yang sangat dalam.

Masalah terbesarnya adalah para pelatih hebat dan segala keberhasilannya akan mentransformasikan harapan tertentu. Harapan terbesar publik Nou Camp adalah mencari pelatih yang membawa evolusi permainan yang telah dirancang dan dipraktikkan oleh Michels dan Cruijff. Bahkan Van Gaal yang sangat sukses di 3 negara dan Rijkaard (dan memberikan Barca gelar bergengsi) tidak bisa memberikan harapan itu.

Menenangkan arwah Cruijf mungkin hal yang sangat sulit, tapi barangkali dalam sepakbola kontemporer, menyapu jejak Ferguson di Old Trafford barangkali pekerjaan yang nyaris mustahil. Perdebatan siapa pengganti Fergie selalu menjadi teka-teki yang tak pernah usai. Siapapun yang menggantikannya akan dihantui oleh level keberhasilan yang telah Fergie capai selama 25 tahun.

Tidak ada klub yang mampu melakukan transisi yang berlangsung mulus untuk sebuah suksesi sebuah rejim yang sangat sukses. Tidak mengherankan jika ramalan The Guardian menyebutkan MU adalah sebuah kerajaan yang sedang menanti zaman keruntuhannya.

Tepat disinilah saya harus memberi apresiasi kepada Mourinho. Ia menjadi istimewa, tidak hanya seperti yang diklaimnya sendiri, karena keberhasilannya untuk membunuh hantu-hantu Maestro dan sekaligus menggandakan hantunya di klub-klub yang ia pernah tangani.

Kenapa ia begitu dipuja Moratti dan Interisti karena tidak hanya berhasil melampaui apa yang Herrera berikan untuk Inter, ia juga telah membuat 4 pelatih hebat setelahnya—Benitez, Leonardo, Gasperini, dan Ranieri—menerima bayang-bayangnya dan tidak berhasil keluar darinya.

Saya kira, hantu Mou bahkan tidak bisa dihapus oleh Ancelotti di Stamford Bridge—apalagi oleh Villas Boas. Satu-satunya orang yang bisa membunuh hantunya adalah dia sendiri. Tidak kebetulan jika dia ingin kembali ke premier league dan Inggris akan selalu menjadi rumah sepakbola baginya. Ia sepertinya belum selesai menyempurnakan hantu ciptaannya sendiri di Chelsea dan saya yakin ia pasti kembali ke sana suatu saat nanti. Dalam sepakbola modern ini, meskipun saya membencinya, saya kira Mourinho adalah satu-satunya Maestro yang terus menerus menciptakan hantunya sendiri!

Setidaknya, saya selalu dihantui oleh nama Mourinho saat menulis tentang kisah para pelatih.......

Related Posts:

BEK: Sebuah Novel (Bag. 6)


Oleh Mahfud Ikhwan

3/

Ada baiknya bocah-bocah itu menunda keinginannya untuk bermain di lapangan dengan bola kulit besar dan mesti bersaing dengan orang-orang dewasa. Toh, mereka memiliki tempat lain yang sangat nyaman untuk bermain bola. Tak kalah luas dengan halaman, mulus seperti koridor sekolahan, dan tak harus kepanasan meski main pada pertengahan siang. Dan yang lebih penting, hanya bocah-bocah seperti mereka yang bisa bermain di sana. Sedikit catatan, tempat itu hanya bisa dimanfaatkan setahun sekali. Namun, demi sebuah sepakbola yang paling menyenangkan, rasa-rasanya sekali dalam setahun itu memang layak ditunggu.

Setiap datang bulan Ramadan, Masjid al-Khair yang kecil itu selalu kuwalahan menampung jamaahnya. Lebih-lebih saat pelaksanaan salat tarawih. Untuk mengurangi beban masjid, pengurus memutuskan memisahkan jamaah anak-anak dari orang dewasa. “Biar menambah khusyuk amalan-amalan puasa orangtuanya,” itu salah satu alasannya. Alasan lainnya, “biar anak-anak mendapatkan ceramah yang lebih sesuai dengan masa pertumbuhannya.” Pada awalnya, jamaah bocah itu dipindahkan ke sebuah musala yang masih sepaham agama dengan masjid itu. Namun, hal itu hanya bertahan satu puasa saja. Musala itu letaknya terlalu jauh. Itu bikin anak-anak malas berangkat dan memilih ikut orangtuanya saja ke masjid. Namun, setelah munculnya keputusan pemisahan itu, tarawih di masjid jadi momok untuk anak-anak. Hanya terdiri atas jamaah dewasa, imam tarawih tanpa beban memilih ayat-ayat al-Quran yang panjang-panjang pada setiap rakaatnya. Lama ceramahnya juga hampir terasa sewenang-wenang. Tak jarang bisa sampai satu jam. Malas ke musala dan takut ke masjid, anak-anak akhirnya memilih diam di rumah saja. Ujungnya, para orangtua yang kemudian protes. Misi mereka untuk menjadikan bulan Puasa sebagai ajang penggemblengan agama untuk anak-anak bisa-bisa gagal total.
Lalu apa hubungan kisruh soal tarawih ini dengan tempat bermain sepakbola yang istimewa itu? Mari kita perjelas pelan-pelan.
Terjepit di antara kemalasan anak-anak dan protes para orangtua, pada puasa berikutnya para pengurus masjid memutuskan untuk memindahkan tarawih para bocah ke tempat yang lebih dekat dengan masjid. Tempat yang dekat dengan masjid satu-satunya yang mereka punya adalah gedung madrasah itu. Tentu keputusan itu bertepatan dengan kebijaksanaan sekolah yang libur penuh sepanjang bulan Puasa. Jadi, sepanjang bulan, tempat itu tak terpakai. Kebetulan yang lain, bangunan sekolah itu—tak selazimnya gedung sekolah yang baik—pada dasarnya tak lebih dari sebuah hanggar sederhana. Mungkin karena dibangun pada saat yang penuh keprihatinan (sebagaimana yang sering diceritakan orang-orang), bangunan itu sama sekali tak bersekat-sekat di bagian dalamnya. Los begitu saja. Sebagai pemisah antarkelas dan ruangan-ruangan khusus, hanya dipakai sekat-sekat papan pendek yang bisa digeser-geser kapan saja. Satu-satunya sekat yang agak permanen, yang terdiri atas dinding papan yang menempel di dua sisi dinding dan langit-langit, adalah sekat yang memisahkan kantor guru dan kelas-kelas lainnya. Karena bagian dalam yang seperti itu, maka hanya dengan memindahkan semua meja, kursi, menggeser papan-papan penyekat ke luar kelas, menyimpan untuk sementara gambar-gambar Pahlawan Revolusi yang ada di dinding kelas, mengepel lantainya dua kali pengepelan lantai, dan kemudian membuat papan pengumuman “Lantai Suci” di depan pintu, ruangan dalam madrasah itu pun telah berubah wujud jadi musala. Musala terbesar di desa itu, tepatnya.
(Yap, kita akhirnya telah sampai pada hal-ihwal lapangan istimewa itu.)
Bagaimanapun, ruangan dalam madrasah itu hanya jadi musala hampir pada saat salat tarawih saja. Selebihnya, musala paro waktu itu hanya jadi ruang kosong yang nyaman untuk sekumpulan bocah bermalas-malasan menunggu waktu berbuka tiba. Dan, hanya dibutuhkan seekor setan amatiran, yang iseng membuat bola-bolaan dari bundelan sarung, sudah cukup untuk membuat bocah-bocah yang kebosanan itu menjadi keranjingan. Selanjutnya, bisa ditebak apa jadinya: ruang berukuran 5 x 12-an meter itu, yang pada malam hari menjadi musala itu, segera malih rupa menjadi lapangan sepakbola dalam ruangan yang amat nyaman.
Tak seperti di halaman, tak ada batu di permukaan lapangan itu. Soal luasnya, rasa-rasanya tak kalah dengan lapangan tenis di sekolah-sekolah mewah di kota-kota. Bermain di situ, bocah-bocah itu juga tak perlu khawatir kalau bola sarung mereka akan tercemplung ke got, sebagaimana yang sering terjadi dengan bola mereka jika sedang bermain di halaman. Lagi pula, dengan menjadikan empat sisi tembok sebagai garis luar lapangan, mereka juga tak pusing-pusing soal lemparan ke dalam. Alangkah menyenangkannya sebuah permainan sepakbola yang tak perlu dihentikan karena bola keluar arena!
*

“Tak takutkah batal puasa?”
Anak-anak itu pasti tertawa jika ada yang bertanya seperti itu. Pertanyaan macam itu hanya cocok diajukan kepada bocah-bocah kota, yang baru memulai latihan puasanya pada usia belasan. Untuk bocah-bocah Lerok, yang telah mampu berpuasa penuh pada usia ke-5, jelas itu pertanyaan yang aneh. Jangan coba meragukan keandalan mereka dalam berpuasa. Bagi mereka, sepakbola di musala musiman itu tak hanya berguna untuk membunuh kebosanan mereka, tapi juga membantu mereka untuk menjadi lelah sehingga memudahkan mereka tidur siang dan bisa terbangun kala hari sudah menjelang senja.
Satu-satunya persoalan bagi mereka saat itu adalah memperoleh bola yang enak dimainkan namun tidak terdengar terlalu ribut.
Bagaimanapun, bermain bola dengan sarung yang digulung bulat-bulat bukanlah sepakbola yang sebenar-benarnya. Hanya serasa seperti sepakbola. Maka, bocah-bocah pembosan itu segera berpikir untuk mengganti bola sarung mereka. Untuk mendapatkan rasa sepakbola yang sebenarnya, mereka sempat nekat memakai bola plastik yang biasa mereka pakai di halaman. Namun, bola plastik ternyata berisik sekali saat dihajar kaki atau ketika dihantamkan ke tembok. Lebih berisik lagi karena suara berisik itu terjadi di ruang tertutup. Suara berisik itu tentu tidak baik bagi kelangsungan sepakbola dalam ruang mereka. Bisa saja seorang dewasa yang ada di sekitar mendengar suara ribut itu, mengadukannya kepada pengurus masjid atau ke guru madrasah mereka. Dan, habislah mereka. Dari pengetahuan agama mereka yang masih di tingkat dasar, mereka yakin, sepakbola di musala tak membatalkan puasa, juga bukan termasuk perbuatan dosa (Isnan bilang kepada teman-temannya, ia pernah menemukan cerita kalau para sahabat Nabi menggunakan masjid untuk berbagai macam kegiatan, termasuk berlatih ketangkasan untuk persiapan perang). Tapi, mereka juga tahu, para guru dan orang tua mereka pasti tak suka jika menemukan mereka memainkan bola di tempat yang mereka pakai untuk salat. (Kira-kira, seperti saat ibu melihat anaknya memasukkan celana pendek di kepala.)
Lalu, penemuan paling cemerlang dalam sejarah sepakbola Lerok itu pun terjadi.
Pada suatu siang yang membosankan, yang hampir terlewatkan tanpa ada sepakbola yang dimainkan, Umar datang dengan seri di wajahnya. Anak SD Negeri yang sejak pertandingan di lapangan yang konyol itu mulai akrab dengan Isnan, datang ke musala sekolah itu dengan membawa sebuah benda ajaib. Sebuah bola berukuran sekepal, berwarna hijau, begitu kenyal, namun ringan dan lenting. Bola itu bisa melesat hebat hanya dengan sedikit sentuhan saja. Yang terpenting, dan ini yang mereka cari, saat menghantam tembok suara bola itu hanya sekeras sarung yang dikebutkan. Meski belum tahu benar bola macam apa yang ada di hadapan mereka itu, bocah-bocah itu menyambutnya seakan itu suara takbir tanda lebaran. Mereka senang sekali. Tapi, Kacung adalah yang paling dirundung senang. Dalam perkiraannya, dengan bola selenting itu, tak akan ada kiper yang bisa menghadang tembakannya.
“Aku meminjamnya dari gudang SD,” kata Umar.
Saat mengatakan kata ‘meminjamnya’, mata Umar agak dipicingkan. Teman-temannya pasti tahu apa maksud picingan itu. Jika saja apa yang ‘dipinjam’ Umar itu benda lain dan bukan bola ajaib itu, pasti ada di antara bocah-bocah itu yang akan menghardik kalau ia sudah mencuri dan dengan demikian puasanya batal. Tapi, hari itu, tak seorang pun bicara soal puasa yang batal.
“Ini pasti bola kasti terbaik,” sahut Kacung dengan penuh semangat. Selama ini ia mengira, satu-satunya bola kasti adalah yang warna merah, keras dan berat, dengan isi jerami di dalamnya. Namun ia kini melihat yang warna hijau, ringan, dan lenting.
“Aku rasa itu bola tenis,” Isnan coba meluruskan. Ia pernah melihat bola semacam itu di acara Dari Gelanggang ke Gelanggang di TVRI, tapi dari nada suaranya ia terdengar tak begitu yakin.
“Aih!” Wakid menukas, “Bola tenis itu kecil dan warnanya putih.” Bocah ini tentu tak tahu menahu beda antara tenis dan tenis meja.
“Ah, aku tak peduli bola apa ini,” potong Salim sembari memain-mainkan bola di kakinya. “Ayo main!”
Tanpa perlu komando yang kedua kalinya, delapan bocah yang saat itu ada di tempat itu segera membagi diri menjadi dua tim. Kopiah-kopiah segera dikumpulkan untuk jadi tiang gawang. Dua pintu yang menghubungkan ruangan itu dengan dunia luar ditutup rapat dan dikunci. Tiga jendela berkaca nako yang ada di dinding depan juga ditutup dan dikelambu dengan sarung. Dan permainan dimulai.
Sebuah sepakbola paling menyenangkan yang pernah mereka mainkan. (Jika ada yang berpikir kalau di surga nanti sepakbola dimainkan juga, pasti rasanya akan mirip-mirip seperti itu.) Seru, tempo tinggi, saling menyerang, dan banyak sekali gol. Jika ada televisi yang menayangkannya, para penggemar sepakbola rasanya akan lebih memilih pertandingan ini dibanding Piala Dunia 1990 yang kasar, membosankan, dan miskin gol itu. Kacung, seperti yang diperkirakannya, mencetak gol banyak sekali—ada dua atau tiga gol yang dicetaknya menyerupai gol Basten ke gawang Uni Soviet di Piala Eropa 1988. Isnan yang jarang bikin gol karena selalu memilih bermain di belakang juga mencetak gol yang lumayan. Bahkan, Wakid si kiper juga bisa mencetak gol dari tendangan gawang.
*

Memporak-porandakan dua keping kaca nako, menyebabkan munculnya sebuah lubang menganga di langit-langit sekolah, dan menyebabkan jatuhnya korban luka (karena salah seorang bocah rontoknya gigi akibat tersungkur ke lantai tegel dengan mulut mendarat lebih dulu), sepakbola gerilya yang mereka lakukan akhirnya terbongkar juga. Bocah-bocah ngawur itu pun kini ada dalam pengawasan. Tindakan bocah-bocah itu kemudian dianggap patut dicegah dan diwaspadai oleh para pengurus masjid dan orang-orang tua murid. Meski demikian, di antara bocah-bocah itu, ada kesepakatan tak terucap kalau mereka, bila ada kesempatan, akan melakukannya lagi pada bulan Puasa tahun depan. Dan benar, mereka melakukannya lagi—dengan risiko lebih tinggi.
Tapi tidak pada puasa tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya.
Bukan karena para pengurus masjid, guru-guru madrasah, dan orang-orang tua murid sama sekali melarangnya. Namun, karena bangunan yang kecil dan terjepit namun menyenangkan itu terkena proyek pembongkaran—bersama masjid dan kamar mandi umum yang berada di sampingnya.
Gelontoran duit ringgit dari para perantau Lerok di Malaysia, memberi kepercayaan diri pada pengurus masjid dan pengelola madrasah untuk membangun sebuah pusat kegiatan keagamaan dan pengajaran terbaik yang bisa mereka bayangkan. Yang dimaksud dengan itu tentu saja sebuah masjid yang lebih luas, berberanda di tiga sisinya, berlantai keramik, kalau perlu punya lantai lebih dari satu, lengkap dengan menara dan kubahnya. Sebagai pelengkap, namun yang tak kalah penting, adalah sebuah kompleks pendidikan yang terdiri atas dua gedung. Yang pertama untuk taman kanak-kanak, sementara gedung kedua untuk madrasah ibtidaiyah.
“Ini adalah upaya kami untuk melahirkan manusia-manusia Islam Indonesia sepenuhnya. Manusia Indonesia yang tak hanya berbekal iman dan taqwa saja, namun juga menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Imtaq haruslah dilengkapi dengan Iptek. Imtaq yang tanpa Iptek adalah kejumudan, seperti juga Iptek yang tanpa Imtaq adalah kesesatan. Karena itu, jika yang kita miliki cuma masjid yang indah saja, tanpa dilengkapi lembaga pendidikan yang memadai, niscaya itu sama sama saja dengan membiarkan anak-anak kita menjadi generasi yang lemah. Dan Allah memurkai umat-Nya yang meninggalkan generasi penerus yang lemah!” begitu kata khatib jumat, tepat pada hari dimulainya pembangunan masjid dan sekolah itu.
Bagi para pemuja kemajuan, yang menyambut Era Tinggal-Landas dengan penuh percaya diri, pembangunan itu tentu sebuah gebrakan yang membanggakan. Gedung TK itu, tak seperti yang lama yang ala kadarnya, disiapkan sebagai sebuah sekolah kanak-kanak yang menyenangkan sekaligus mencerdaskan. Untuk itu, berbagai jenis wahana permainan mesti disediakan. Demikian juga untuk sekolah madrasah. Tak ada lagi pembatas antarkelas yang bisa digeser-geser. Sebab, setiap kelas adalah ruangan-ruangan tersendiri.
Bagaimana dengan bocah-bocah itu? Tentu saja tak ada alasan mereka untuk tidak berbahagia. Seperti para orang dewasa, mereka juga amat bersemangat dengan pemugaran sekolah mereka itu. Sebab, tak seperti selama ini terjadi, pada tahun-tahun itulah dan kemudian untuk seterusnya, sekolah madrasah mereka tampak jauh lebih bagus dibanding SD Negeri—yang pada waktu hampir bersamaan justru rubuh, tak diperbaiki lagi, dan akhirnya ditutup. Apalagi ketika alat-alat olahraga, tidak hanya bola sepak, tapi juga takraw, kasti, atletik, dan bulutangkis (yang pada waktu-waktu lalu tak pernah mereka punya) kini tersedia hampir-hampir lengkap di rak kantor sekolah.
Satu-satunya yang sedikit mereka sesali adalah hilangnya musala paro waktu itu (setelah masjid diluaskan dan sekolah gedung madrasah mereka dibagi menjadi beberapa ruang kelas yang lebih sempit). Itu berarti, tak ada lagi sepakbola dalam ruangan dengan bola hijau lenting—yang baru belakangan mereka yakini sebagai bola tenis itu. Juga koridor panjang di depan sekolah, yang kini diubah menjadi deretan taman, dengan pagar dan bunga-bunga yang sejuk dipandang. Juga halaman yang akibat perluasan masjid dan sekolah kini hanya tinggal hampir separonya saja. Lebih sempit lagi karena sebuah tiang bendera lengkap dengan landasan upacara menyusul dibuat juga.
Tapi, tak ada yang perlu disesali. Sebab, dengan hilangnya koridor, halaman, dan musala paro waktu itu, tak ada lagi yang bisa menunda bocah-bocah itu untuk ikut bermain di lapangan.

(Bersambung...)

Related Posts:

Catatan tentang Sebuah Kerusuhan


Oleh Mahfud Ikhwan


Sejarah mengajarkan, hanya butuh satu orang gila untuk mengobarkan perang dunia. Dan sore itu (07/02), saya menyaksikan langsung bahwa hanya butuh seorang pemarah setengah teler untuk menyulut kerusuhan di sebuah pertandingan sepakbola.

***

Mendamba cukup lama untuk bisa kembali menonton sepakbola langsung di stadion, setelah hampir setahun tak melakukannya, digelarnya pertandingan ISL antara Persija vs Persipura di Jogja tampaknya akan jadi penebusan yang melegakan. Kalau bukan berkah, ini paling tidak sedikit hal baik dari tidak menentunya kompetisi bola yang bisa saya nikmati. Makanya, meski sedang amat sulit memikirkan sepakbola, saat seorang teman mengingatkan kalau hari itu Persija-Persipura bertanding di Mandala Krida, dengan bersemangat saya mandi dan mempersiapkan diri.

Mengingat kurang dari seminggu sebelumnya, saat pertandingan Persija vs Persiwa di tempat yang sama, terjadi keributan, saya merasa harus sedikit berhati-hati. Untuk itulah saya pilih outfit netral: kaos merah polos berbedge bendera Indonesia dan lambang Sea Games 2009 (pemberian seorang kenalan) dan syal (timnas) Indonesia. Tapi, seorang teman yang baru datang dari Solo mengingatkan kalau itu warna yang identik dengan Pasoepati, kelompok suporter Solo yang punya hubungan kurang baik dengan Brajamusti, kelompok suporter PSIM, yang kandangnya dipakai untuk pertandingan kali itu. Mencoba menghindari masalah sekecil apapun, saya buru-buru berganti kaos.

Datang satu setengah jam sebelum kick-off, saya dan seorang teman disambut dengan suasana stadion yang sudah hiruk-pikuk. Kami memang menyangka, meski partai usiran, pertandingan ini akan ramai ditonton—mengingat reputasi kedua tim. Namun, tetap mengejutkan jika seramai itu. Karena sedang dalam keadaan berhutang, saya menyepakati ajakan teman saya agar kami membeli tiket paling murah di tribun terbuka. Tapi, cuaca yang sedang sangat panas membatalkan niat itu. Kami akhirnya beli tiket kelas dua di tribun beratap.

(Ketika keluar stadion usai pertandingan, kami pasti mensyukuri keputusan itu...)

Satu jam sebelum kick-off, stadion sudah hampir terisi separo. Tribun paling mahal, 75 ribu, yang tepat di sisi barat garis tengah lapangan, mutlak dikuasai oleh suporter Persipura—meski mereka bukan golongan yang berkostum dan berspanduk. Tribun di kiri-kanannya tapi masih di sisi barat lapangan, dimana kami berada, adalah tribun yang tampaknya akan jadi paling cair. Kebanyakan diisi oleh penonton tanpa kostum, namun di banyak bagian terlihat penonton beratribut Persipura dan Persija duduk sebanjar. Mereka sama-sama meneriakkan nama pemain macam Yoo, Boaz, Tibo, BP, atau Ramdani dan bertepuk tangan saat rombongan pemain Persipura maupun Persija memulai sesi pemanasan.

Di tribun terbuka, suporter (berseragam dan berspanduk) Persipura lebih dulu masuk. Petugas keamanan mengawal mereka ke sektor belakang gawang bagian utara, dimana suporter tamu tampaknya biasa ditempatkan. Namun, jumlah mereka yang jauh lebih besar dibanding kapasitas sektor suporter tamu itu, mereka akhirnya meluber hingga mengisi hampir separo tribun terbuka (atau sekitar sepertiga kapasitas stadion). Sepertinya semua orang Papua di Jogja hari itu berkumpul bersama di Mandala Krida. 


Di sisi tribun terbuka lain, saat itu, spanduk suporter Persija terlihat lebih banyak dibanding jumlah suporternya sendiri. Saya menyangka, suporter Persija akan kalah jumlah hari itu—mungkin keributan dengan suporter Persiwa tempo hari jadi sedikit pertimbangan mereka. Tapi, saya salah. Mereka cuma masuk agak terlambat. Lima menit sebelum pertandingan dimulai, jumlah mereka mulai mendekati suporter tamu.   Namun, karena mereka jauh lebih terlatih dan lebih reguler berada di tribun stadion, suara dan gerakan  mereka segera mengambil alih arena. Mereka menjadi tampak lebih besar lagi saat penonton netral yang membeli tiket kelas tiga bercampur dengan mereka.


Saat kick-off dilakukan, hampir tak ada sela kosong di tribun penonton. Itu membuat, kelompok suporter Persipura di sisi utara dan kelompok suporter Persija di sisi selatan hampir menyatu di sisi timur lapangan belahan utara. Terlihat hanya beberapa petugas berompi hijau terang dan segelintir suporter tak berseragam yang tampak tak antusias—teman saya mengatakan, itu petugas berpakaian preman—yang memisahkan kedua kelompok suporter.  

Saat itulah saya baru ingat kalau dua kelompok suporter ini pernah punya masalah. Kalau tak salah, mereka ribut saat Persipura mengalahkan Persija di Senayan pada final Divisi Utama 2005.

***

Tapi, masalah itu sepertinya tak akan kambuh hari ini. Tensi pertandingan berlangsung sangat biasa. Persija bermain aman, Persipura kurang tajam. Dicadangkannya Ramdhani Lestaluhu di satu pihak dan gagalnya Boaz bermain secara mendadak di pihak lain mungkin jadi penyebabnya. BP terisolasi, meski Robertino Pugliara bermain sangat baik. Di sisi lain, bola-bola sodoran Zah Rahan yang memukau (seperti biasanya), banyak disia-siakan oleh Tibo dan Beto. Lebih banyak diserang, Persija mendapatkan gol dari tendangan penalti BP, setelah sebuah handball yang tak begitu jelas di depan gawang Persipura.

Gol itu tak mengesankan. Juga keseluruhan jalannya pertandingan babak pertama. Sebuah aksi spektakular kiper Andrithany yang menggagalkan sundulan Tibo dari jarak dekat adalah adegan terbaik di 45 menit pertama. Tapi, hal paling menarik justru terjadi di tribun terbuka. Yaitu, saat usaha suporter Persipura membuat mexican wave berkali-kali gagal karena suporter Persija tak pernah menyambutnya. Kami yang ada di tribun kelas dua sebenarnya ingin terlibat dengan gelombang manusia ala Piala Dunia Mexico 1986 itu, dan karena itu sedikit menyesalkan dinginnya sambutan suporter Persija. Karena itu pula, kebanyakan penonton di tribun tertutup memuji usaha itu. Tapi, karena berkali-kali melihat gelombang itu macet di belahan lapangan yang sama, kegagalan suporter Persipura kemudian jadi bahan tertawaan.

Di lapangan, babak kedua jadi lebih membosankan lagi. Persija mulai tampak bertahan, sementara Persipura justru kehilangan ritme. Masuknya Lukas Mandowen dan Ramdhani Lestaluhu di waktu yang tak berselang lama disambut gemuruh penonton. Keduanya bermain baik. Pada satu-dua momen, terlihat jelas keduanya adalah talenta-talenta terbaik Indonesia saat ini. Tapi, mereka tak mampu mengangkat suhu pertandingan. Kira-kira memasuki 10 menit terakhir, hanya orang edan yang  bisa membayangkan kalau pertandingan itu akan merujung kerusuhan.

Sialnya, sore itu, orang edan itu ternyata ada di stadion.

Antara tujuh hingga lima menit menjelang pertandingan berakhir, seorang berkaos putih melompat dari tribun belakang gawang utara tempat suporter Persipura berada. Ia berlari sejauh panjang lapangan—dengan melewati puluhan petugas keamanan!—menuju tribun tempat suporter Persija terkonsentrasi. Seorang diri, si kaos putih itu menantang dan melempari ratusan (malah mungkin ribuan) suporter Persija. Orang itu pasti sangat bangga terhadap dirinya sendiri, karena dalam hitungan menit saja bisa memukul mundur ratusan orang. Yang aneh, bukannya menangkap si kaos putih, petugas keamanan justru memburu suporter Persija yang memberikan perlawanan. Ribuan suporter Persija berhamburan. Ada yang ke pintu keluar, ada yang ke lapangan, ada pula yang menantang maut dengan melompati pagar pembatas sektor yang memisahkan tribun terbuka dengan tribun beratap.

Meski tempo sedikit meningkat di waktu tambahan, pertandingan berakhir hampir tanpa perhatian. Lapangan yang ditinggalkan pemain ke ruang ganti, diisi penonton yang meluber dari tribun. Si kaos putih bergulat dengan temannya sendiri. Suporter Persija kini berhadap-hadapan langsung dengan petugas keamanan. Titik api terlihat di beberapa bagian stadion. Beberapa orang tampak terluka.

Yel-yel “Polisi goblok!” membahana saat kami memutuskan untuk keluar dari stadion.

Related Posts:

KABAR DARI LEIDEN

Oleh Darmanto Simaepa

Saya punya dua pesan dari redaktur senior belakanggawang, Mahfud Ikhwan (a.k.a Owen McBall), sebelum berangkat ke Leiden. Pesan pertama, agak sedikit kampungan dan mencerminkan bagaimana dia mencintai Lerok-nya, adalah 'titip salam untuk Wesley Sneijder'.

Kalau dipikir-pikir, ini agak sedikit membingungkan saya setidaknya karena tiga hal. Sneijder adalah pemain dari rival klub favoritnya dari masa remaja dan pasti hingga tua; Sneijder adalah pemain kesayangan pelatih yang dibencinya, Mourinho; Sneijder, di pasar pemain, sering diisukan paling diincar dan disukai oleh Fergie, pelatih yang akan ditertawakannya kalau runtuh kedigdayaannya.

Pesan ini sulit diwujudkan bukan karena kemustahilannya atau kelogisan proposisinya. Pesan yang ia sampaikan saat mengantar saya di muka pintu rumah di Sambilegi menyerupai cara orang Lerok mengiringi kepergian Ulid—anda harus baca novel si redaktur, Ulid Tak Ingin ke Malaysia, untuk mengerti konteks kalimat ini.

Ungkapan itu setara dengan kalimat, ‘Sampaikan salam untuk penyanyi Isabela atau Mahatir Muhammad,’ bagi perantau yang baru pertama kali mau pergi ke negeri Jiran. Nilai pentingnya bukan perkara pesan itu bisa disampaikan atau tidak, tetapi lebih menyerupai kalimat ibu saya yang menyertai ke manapun saya pergi 'hati-hati ya, jangan lupa berdoa...'

Pesan kedua, yang lebih mirip sebagai harapan, adalah dia meminta saya, jika ada kesempatan, untuk menulis sepakbola amatir atau liga-liga kasta rendahan di Belanda. Pesan ini jauh lebih mungkin untuk dipenuhi. Setidaknya, pesan ini seperti tagihan hutang. Sudah sebulan ini, janji untuk menulis setiap pekan bagi belakanggawang saya ingkari sendiri.

Jadi, pesan si redaktur jadi batu gerinda yang bisa memaksa saya untuk mengingat ucapan saya untuk tubuh saya sendiri. Alhamdamdulilah, pesan ini sudah menemukan celahnya, bahkan, pada setengah hari pertama saya di Leiden. Ini berawal dari pesan singkat di YM dari teman saya. Petang hari, siripok saya dari Mentawai yang sudah lama tinggal di Leiden ingin menyambut saya dengan secangkir kapucino hangat di dekat Station Centraal di pusat kota.

Pilihan sulit, sebenarnya. Cuaca di luar sedang buruk. Salju turun mencapai puncaknya pekan ini. Turun dari pesawat di Schippol, Amsterdam, suhu berada 8 derajat dibawah nol. Menjelang malam, angka itu akan menukik hingga –22 derajat. Malasnya lagi, lima menit barusan, sampai dirumah setelah mengigil lebih dari 10 menit setelah pulang belanja dari Jumbo, supermarket yang jaraknya sekitar 10 menit jalan kaki.

Bagi orang tropis yang terbiasa dengan sinar matahari dan angin muson, berjalan 5 menit di tengah cuaca semacam ini untuk pertama kali adalah neraka. Hidung tiba-tiba penuh dengan cairan. Muka kering dan kaku terpapar angin laut yang beku. Bibir pecah-pecah dan meradang. Dingin menusuk hingga ke tulang. Sweater dan jaket membantu anda menahan gigil hawa, tapi saya tetap tidak bisa tidur nyenyak meski lelah dan letih dari perjalanan panjang begitu mendera. Kaus kaki rangkap tiga tidak mampu menghilangkan keriput ujung jari.

Tetapi, seperti dalam tradisi Mentawai, undangan makan atau minum pantang untuk ditolak. Apalagi dari sahabat lama. Lagi pula, saya tidak punya cara membunuh waktu di senja mematikan ini. Televisi di kamar kost tidak menyiarkan laga MU vs Chelsea sehingga, untuk menutupi rasa kecewa, percakapan hangat dan mengumpat dalam bahasa Mentawai mungkin akan meredakannya.

*****

Perjumpaan terakhir dengan Tuli (nama lengkapnya Juniator Tulius) sudah lebih dari 6 tahun lalu. Kali ini, Tuli hanya punya waktu 45 menit. Selain harus menyelesaikan disertasi, dia harus bekerja untuk mendapatkan uang untuk hidup di Belanda. Beasiswa habis sejak 3-4 tahun yang lalu dan dia punya ‘istri’. Pekan ini dia harus ke San Fransisco untuk sebuah presentasi dalam simposium mengenai Material Culture and Primitive Art. Ia menampilkan makalah yang berangkat dari perdebatan lama mengenai keasilan (authencity) dan kepalsuan dalam seni Mentawai.

Tidak ada pilihan lain selain menembus salju dan angin musim dingin untuk menerima undangannya.

Dia memilih Kaffe Haat, restoran kecil diatas Oude Rijn, sebuah kanal yang paling tua dari sungai Rheine. Kafe itu mengingatkan rumah karavan dari film My Life Without Me. Bedanya restoran ini lebih terawat, dengan batu bata merah yang menyiratkan keanggunan, jendela-jendela besar yang bening dan kursi rapi dari serat pohon ek tua. Dia mentraktir segelas besar kapucino late, dengan taburan coklat Belgia diatasnya.

Seperti biasa, kabar terbaru dari Siberut mengawali percakapan. Si Hakim sudah meninggal, si Potan baru punya anak perempuan minggu lalu, Si Anu membangun rumah besar—mungkin dari hasil korupsi proyek, Si Gaek tidak berlayar lagi, harga coklat turun di Utara dan cengkeh mulai berbunga di Saibi. Si Yudas jadi bupati, dan proyek UNESCO masih jalan dengan tertatih-tatih. Dan detil-detil kecil lainnya.....

Selanjutnya adalah obrolan hangat yang ditemui dimana saja orang Siberut berada: masalah tanah, kepemilikan, asal-usul dan migrasi serta konflik-konflik yang dulu pernah ada, muncul kembali atau bertransformasi. Tuli sedang menyelesaikan studi tentang sejarah lisan orang Mentawai sementara saya sangat antusias terhadapa masalah hubungan kepemilikan dan penguasaan tanah dan ekonomi-politik cerita-cerita lisan yang terkait dengannya. Bobot akademik percakapan ini adalah mencari teka-teki tentang asal-usul orang Mentawai, migrasi, dan klaim kepemilikan tanah.

Bagi belakanggawang, tentu saja bukan diskusi akademik yang menjadi pokok masalahnya. Bagian yang paling menarik, terkait dengan pesan si redaktur adalah, soal sepakbolanya. Bagi laki-laki di Siberut, sepakbola adalah ekspresi simbolik dari maskulinitas. Itu bagian yang melekat dalam setiap percakapan antar laki-laki Siberut kontemporer seperti halnya berburu bagi laki-laki Mentawai di masa yang lalu—dan masih bagi sebagian kecil di masa kini. Tidak di Leiden, tidak di Padang, tidak di Jawa, laki-laki Mentawai berkumpul, sepakbola adalah menu obrolannya.

Dia masing mengingat kemampuan terbaik sepakbola saya. Seperti dua veteran tua, kami membicarakan gol pertama saya di Siberut. Gol itu saya cetak berkat sepatu Adidas seri Predator 2002 pinjaman Tuli. Gol itu tercipta dalam kejuaraan resmi antar kampung di lapangan Muntei, 3 Agustus 2004. Sebuah slalom dari tengah lapangan yang banyak orang masih mengenang hingga sekarang. Dia memuji gol saya, dan saya menambahkan peran sepatu dalam pujian itu.

Sepatu itulah yang membuat saya dibicarakan di kampung-kampung sehingga memudahkan orang mengenal saya. Dari momen itu, orang mengenal saya sebagai Sasareu yang suka bermain bola. Sepatu dengan pul 8 yang pipih yang tidak lazim satu dekade lalu, yang diciptakan untuk membuat tendangan Gerard muda menemukan sasarannya. Meski agak berat untuk lari, sepatu itu membuat bola lebih mudah digiring melalui kaki bagian dalam.

Setelah kapucino surut setengah gelas, momen ‘sungai menemukan arusnya’ muncul ketika Tuli bertanya apakah saya masih bermain sepakbola. Tentu saja saya mengatakan iya, meski saya merahasiakan cedera engkel yang parah. Lalu dia bercerita, secara rutin, dia masih bermain di akhir pekan di lapangan kampus Universitas Leiden—kadang-kadang main di taman-taman. Di musim panas, dia sesekali bermain di liga non-profesional di sela-sela liburan panjang.

‘Saat salju menghilang dan musim semi datang’, Tuli menawarkan, ‘aku akan menelponmu dan kita akan bermain bola’. Kejutan besarnya, dia sudah membelikan sepatu bekas untukku. Ia masih menyimpan Predator itu. Namun karena berlalunya waktu, sepatu itu jauh kian longgar bila saya pakai. Selain bahwa ukuran kakinya lebih besar—dulu saya pakai karena terpaksa dan ingin mencoba—seiring dengan hukum pemuaian fisika, kulit sepatu itu sudah melebar ke mana-mana.

‘Aku akan senang sekali kalau kamu mengajakku,’ jawab saya, ‘meski aku melihatnya dari pinggir lapangan’. Saat waktunya kebenaran diungkap, saya mengatakan bahwa sebuah tekel yang buruk dari kiper yang marah karena kalah telah membuat engkel kaki kanan saya retak. Peristiwa itu terjadi sekitar 6 bulan yang lalu di lapangan Seminari Prayoga Padang.
Hingga sekarang, engkel itu belum pulih dan memaksaku untuk mengadu geraham jika tawaran bermain futsal atau sepakbola datang.

‘Aku punya blog sepakbola yang sedikit berbeda, dan akan menarik jika aku bisa menulis sepakbola amatir di Belanda’, saya berujar padanya. ‘Beberapa ada tulisan sepakbola di Siberut’ Saya mencoba mencuri sisi melankolik dan psikologisnya, ‘dan jika ada laporan dari Leiden, itu akan lebih lengkap’. Dia menjawab pendek, saya harus menunggu hingga Mei. ‘Dan saya tidak bisa duduk lebih lama lagi,’ ujarnya sambil menutup obrolan. Masalahnya: Mei aku harus pulang.

Setelah percakapan yang luar biasa hangat di cuaca yang begitu dingin, kami mengucap salam perpisahan di depan Kaffe Haat.

*****

Mungkin saya tidak bisa bermain sepakbola di Belanda, tetapi saya punya kesempatan besar untuk mewujudkan pesan redaktur saya. Ini juga bisa jadi momentum untuk memecahkan kebekuan belakanggawang.

Januari adalah bulan terburuk bagi belakanggawang. Jumlah tulisan yang di posting, paling sedikit. Saya hanya berhasil merilis satu tulisan di awal pekan. Persiapan dokumen dan prosedur administrasi ke Belanda, tragedi Pulogadung, dan masalah-masalah domestik lainnya membuat saya mengingkari janji terhadap diri sendiri untuk menulis secara rutin setiap pekan. Ide-ide tiba-tiba seperti udara segar, menguap tanpa bentuk setelah hembusan pertama.

Dari kesan pertama hidup dilingkungan kota kecil dengan nuansa akademik yang kuat di Leiden, paling tidak, saya bisa berharap untuk menulis dengan tenang. Kota ini cukup sunyi dan tenang. Setiap orang sangat nyaman berjalan kaki atau bersepeda. Museum Natural Science sangat besar dan lengkap dan perpustakaan KITLV berada di Leiden. Kanal-kanal dan rumah-rumah sisa abad 17-18 dengan batu bata merah dan cerobong asap seperti dalam gambar-gambar kartu pos Hindia Belanda akhir masa kolonial.

Dan saya mendapat kamar yang saya imajinasikan sejak semester 2 di UGM. Imajinasi itu mulai tumbuh saat pertama kali melihat kamar-kamar yang luas di asrama mahasiswa di Baciro. Saya selalu berharap suatu saat itu akan nyata: sebuah ruangan yang nyaman dengan meja dekat jendela yang besar.

Terletak di lantai tiga, kamar saya berukuran sekitar 4 x 5 meter dengan jendela kaca yang lebar menghadap ke jalan. Di balkon kecil dekat jendela, astaga! saya bisa menemukan bunga geranium yang diinginkan oleh Pangeran Kecil dalam definisinya tentang rumah. Kadang-kadang burung gereja hinggap sebentar di dekatnya. Desain interiornya dan fasilitasnya jauh lebih baik dari kamar hotel bintang dua di Padang—bahkan di Yogya.

Dari tempat menulis ini, Saya bisa melihat mahasiswa dari seluruh dunia lalu lalang di MarienPoel Straat. Salju turun pelan seperti hujan bulu angsa di luar jendela. Di Seberang nampak gadis (atau ibu-ibu??) yang sedang menjemur pakaian atau menghisap rokok di balkonnya.

Kamar ini juga dilengkapi dengan dapur dan air mandi hangat. Menurut ukuran setempat, harga 500 euro/bulan memang sedikit mahal. Tapi, sepertinya ini adalah harga yang pantas. Satu meja belajar yang terawat, lemari pakaian yang besar, satu sofa dan kursi malas dan tempat tidur yang nyaman—dan mesin pemanas yang lumayan. Jelas fasilitas ini tidak bisa dibandingkan dengan kamar busuk Sambilegi, tempat belakanggawang mulai mendapatkan bentuk nyatanya.

Tidak jauh dari kost ini, ada toko buku dan majalah yang cukup lengkap. Sepulang dari Kaffe Haat saya mampir sejenak. Di rak majalah, saya mencari Voetbal International, dan puji tuhan, saya menemukannya. Keparatnya, saya hanya bisa menikmati fotonya, karena majalah sepakbola yang terkenal ini hanya terbit dalam bahasa Belanda. Tapi tidak mengapa, saya bisa mencari Fourfourtwo atau Champions besok lusa dan ini memberi sedikit semangat untuk belakanggawang.

Setidaknya, setelah berjalan menembus 11 derajat di bawah nol selama seperempat jam sepanjang Leiden Naar, sudah ada dua ide hinggap dikepala. Saya pikir, ini akan bagus buat redaktur saya yang mulai tidak nyaman karena belakanggawang, untuk 5 edisi terakhir hanya berisi petikan novelnya. Kalaupun ke dua pesan yang disampaikan kepada saya sebelum berangkat tidak bisa saya tunaikan, paling tidak saya bisa menebusnya dengan kembali menulis rutin untuk melarikan diri dari hawa dingin dengan segala previlege yang saya punyai saat ini.

Related Posts: