Milan yang Ganjil

Oleh Mahfud Ikhwan


Sementara Silvio Berlusconi lebih tenar karena hubungannya dengan gadis-gadis belia, AC Milan, tim yang dimilikinya, selama berdekade-dekade lebih identik dengan pria-pria matang. Maka, ketika muncul gejala bahwa mereka hendak menumpukan harapan kepada pemain-pemain dengan usia belia dan di antaranya dengan nama-nama yang tak begitu dikenal, yang diiringi dengan pencanangan anggaran seminim mungkin, maka semua orang yang mengenal Milan patut curiga.

(Jika Anda seorang milanisti, tentu saja Anda pantas untuk lebih dari sekadar gelisah—seperti saya.)

Menjual seorang superhero yang hampir sendirian memberi gelar liga bagi Milan pada musim pertama kedatangannya dan menumpukan harapan kepada seorang remaja 18 tahun; melego bek hebat yang telah diimpikan (dan memimpikan diri) untuk menjadi legenda Milan berikutnya dan menggantikannya dengan seorang pemain bertahan yang dipinjam dari sebuah klub Spanyol yang terdegradasi; merelakan pergi Pirlo dan sudah merasa cukup dengan Montolivo; memberikan nomor punggung 10—sebuah atribut yang biasa menempel pada seorang artis—kepada seorang tukang pukul; menukar-tambahkan si Peter Pan dengan anak buah (ya, anak buah!) Kapten Hook; apa mau mereka?

Apa maumu, Galliani?

***

Sejak diakuisisi oleh Berlusconi pada 1986, tindak-tanduk Milan tak pernah se-‘ganjil’ musim ini. Satu-satunya keganjilan yang pernah dilakukan Milan-nya Berlusconi adalah saat pertama kali taipan media ini memulai mimpinya bersama Milan, yaitu saat menunjuk seorang pelatih yang prestasi terbaiknya adalah juara Serie C1. Namanya Arrigo Sacchi. Selebihnya adalah kenormalan belaka—kenormalan sebuah tim besar.

Pelatih tak menonjol, yang memulai karir kepelatihannya justru karena tak becus bermain itu, oleh Berlusconi dibekali dengan pemain-pemain hebat yang sudah jadi. Pemain-pemain lokal macam Franco Baresi (yang telah menjadi bek mapan di Liga dan timnas Italia), Carlo Ancelotti (yang sudah jadi gelandang matang sejak memberikan gelar liga pertama bagi AS Roma), Paolo Maldini (yang meski masih muda namun sudah sangat diperhitungkan), digabungkan dengan trio Belanda, Gullit-Rijkaard-van Basten, yang telah menjadi bintang baik di di liga lokal maupun kawasan Eropa. Perpaduan ini kemudian melahirkan salah satu tim terhebat yang pernah ada dalam sejarah sepakbola.

Ketika Sacchi digantikan Fabio Capello pada 1991, transisi berjalan mulus dan lazim. Capello, sebagaimana Sacchi, juga pupuk bawang dalam soal kepelatihan. (Meskipun pemain hebat, sebelum melatih Milan, Capello lebih dikenal sebagai komentator sepakbola untuk tv milik Berlusconi daripada seorang calon pelatih hebat.) Namun, ia mewarisi trio Belanda, dan Milan masa ini juga diwarnai masa-masa emas pemain-pemain muda gemblengan Sacchi yang kelak menjadi serombongan legenda, semacam Maldini, Costacurta, Donadoni, dan Albertini . Dilengkapi dengan hadirnya para seniman Balkan pada diri Savisevic dan Boban, Capello kemudian menciptakan tim tak terkalahkan—salah satunya dengan menghancurkan Barcelona-nya Cruijff di final Piala Champions 1994.

Sepeninggal Capello ke Madrid pada 1996 sampai kedatangan Ancelotti di pertengahan musim 2001, Milan memang sempat kelimpungan. Dengan delapan pelatih dalam lima musim, masa-masa itu bisa dibilang menjadi masa paling tak stabil Milan dalam era Berlusconi. Namun, selain selera pemain pilihan Zaccheroni (satu-satunya pelatih yang memberi gelar Serie A dalam tahun-tahun yang sempoyongan itu), tak ada yang terlalu ganjil yang dilakukan Milan pada masa-masa ini.

Seperti umumnya klub besar, kaya, sekaligus arogan, Milan selalu ambil bagian penting dan menonjol di tengah hiruk-pikuk jendela transfer dan hampir pasti senantiasa mampu mendaratkan bakat-bakat baru yang hebat—meskipun tak sedikit juga yang gagal total. (Ingat, Oscar Tabarez yang dipecat di tengah musim 1996-1997 bahkan dibekali dengan tak kurang dari 4 pemain yang pada musim panas merebut tropi Liga Champions 1995 untuk Ajax!) Jika kemudian “kenormalan” ala Milan itu tak berujung tropi, mungkin karena itu memang adalah dekadenya Juventus dengan Deschamps, Zidane, dan Del Piero-nya. Tapi, jelas, Milan tetap terlihat melakukan apa yang semestinya dilakukan sebuah klub juara.

Meskipun terimbas Calciopoli dan tak pernah benar-benar bisa pulih seperti sedia kala, Milan pada masa Ancelotti tak kehilangan “kepantasannya”-nya sebagai tim terkemuka dunia. Mulai identik dengan reputasi sebagai klub yang sangat sukses memperpanjang karir bermain para legendanya, jelas hanya klub terkemuka yang mampu menjadi tempat terciptanya fenomena-fenomena sepakbola. Shevchenko, Kaka, dan Pirlo untuk menyebut beberapa saja.

Mengakhiri delapan musim era Ancelotti yang tak terlalu luar biasa namun sangat mengesankan, diselingi pengabdian Leonardo yang singkat namun emosional, Berlusconi yang tak lagi perdana menteri memercayakan Milan kepada pelatih muda yang diperkirakan akan cemerlang, Massimiliano Alegri. Masih memiliki para maestro pada diri Seedorf dan Pirlo, ikon baru di lini belakang bernama Tiago Silva, dan pahlawan hasil pinjaman pada diri Ibrahimovic, Alegri memberikan gelar Serie A yang telah absen selama 7 musim dari lemari Milan. Bersamaan dengan kegagapan Inter melewati masa-masa pasca-Mou, para pendukung Milan niscaya percaya mereka akan segera menuju bulan, mengiringi tarian moonwalking-nya Kevin-Prince Boateng. 

Namun, usai perayaan itu, tanda-tanda keganjilan telah tampak. Melepas Pirlo—gratis!—ke rival yang kemudian mengambil gelar juara liga, para pendukung Milan dipaksa puas dengan pembelian aneh Nocerino yang harga murahnya mendekati pemain asing di Liga Indonesia. Meski mencetak delapan gol dalam semusim, salah satunya dengan hatrick, kedatangan Nocerino (yang digadang-gadang menjadi suksesor Rino Gattuso) semakin menegaskan hilangnya para seniman dan sosok-sosok elegan di lapangan tengah Milan. Kembali sangat diperhitungkan, bahkan di Liga Champions, terutama saat melihat cara Milan menghadapi Barca dalam empat pertandingan di babak grup dan perempat final, Milan mengakhiri musim dengan menjadi pengekor Juve di Serie A. Seorang milanisti fanatik pasti akan terus menunjuk tidak diakuinya gol Suley Muntari ke gawang Buffon di San Siro sebagai penyebab hilangnya gelar Milan musim kemarin. Tapi, mereka tentu tak terlalu terkejut jika di pengujung musim Milan tak memperoleh satu tropi pun.

Para milanisti juga tak akan terlalu heboh saat melihat para legenda klub itu (Inzaghi, Zambrotta, Gattuso, Seedorf) berbondong-bondong pergi—masa-masa itu memang sudah seharusnya tiba. Tapi, mereka pasti akan jatuh duduk (meminjam frasa Benyamin S.) saat menyaksikan siapa pemain yang pergi dan siapa yang datang sesaat setelah batas transfer musim panas, pada 31 Agustus, ditutup. Sebuah klub yang lebih sibuk melego para pemain juaranya dan memunguti pemain-pemain bekas yang tak dibicarakan di hiruk-pikuk pasar bukanlah Milan yang kita kenal—klub dengan 18 gelar Serie A dan 7 gelar Eropa.

***

Menyaksikan tim kesayangannya dibentuk, tumbuh, menjadi lebih kuat, dan akhirnya menjadi yang terkuat, niscaya akan menjadi pengalaman indah fans manapun di dunia. Tanyakan pengalaman hebat itu kepada fans United atau Barca. 

Meski sudah sangat terbiasa dengan tropi-tropi yang dihasilkan pemain-pemain berumurnya, fans Milan pasti juga akan menyukai pengalaman macam itu (itulah kenapa mereka sangat menyayangi pemain seperti Maldini, Kaka, hingga Ambrosini). Maka, jika masa-masa penuh legenda itu sudah dianggap tak lagi cocok untuk Milan masa depan, dan tiba gilirannya para talenta muda yang penuh gairah yang ambil peran, Milanisti tentunya akan sabar menunggunya. Revolusi bahkan tak terjadi hanya dalam waktu semalam, bukan? Mereka toh sudah pernah merasakannya: mengubah Milan yang medioker di akhir ’70-an menjadi sebuah tim tak terkalahkan di awal 90-an butuh paling tidak satu dekade.

Namun, hampir semua jenis perkembangan sebuah tim ada presedennya dalam sepakbola. Dan, gerak-gerik Milan yang ganjil di jendela transfer musim panas lalu, juga pemain yang pergi dan datang, jelas sekali menunjukkan bahwa Alegri tak sedang membangun sebuah tim sebagaimana  Fergie atau Guardiola pernah melakukannya. Seperti MU membangun tim juaranya dengan paling tidak bertumpu pada Schmeichel-Keane-Cantona, atau Guardiola menciptakan Barcelona terbaik sepanjang masa dengan bertulangpunggungkan Puyol-Xavi-Messi, atau Wenger menciptakan Arsenal yang unbeaten lewat Adams-Vieira-Henry, Milan seharusnya memulai revolusinya (jika itu memang dimaksudkan demikian) dengan—paling tidak—T. Silva dan Ibra menjadi bagian pentingnya. Tapi, yang kita saksikan adalah sebaliknya. Dan, karena itulah, sebagian pembeli tiket terusan di San Siro meminta kembali uangnya.

Meskipun dibayangi oleh kesulitan finansial yang parah, kita akan sulit membayangkan Milan mengalami nasib seperti Napoli atau Forest atau Leeds di tahun 90-an—para raksasa yang mengalami kehancuran pelan-pelan dan memilukan. Namun, berada di peringkat 15, dengan lima kekalahan dari 8 pertandingan, jelas bukan fakta yang memberikan harapan.


Related Posts:

Sang Bintang

Oleh Eduardo Galeano

Pada suatu hari yang indah, angin keberuntungan mencium sepasang tungkai yang buruk: kaki kurang gizi dan sedikit bengkok. Dari kecupan lembut nasib itulah sang bintang mengada di dunia. Dia dilahirkan di sebuah ranjang berkarat di bawah atap gubuk reyot, dan muncul ke dunia untuk memaut bola.

Saat mulai belajar berjalan, dia sudah tahu bagaimana cara mengolah bola. Di masa belia, dia membawa kegembiraan di tanah berdebu, diantara lorong-lorong sempit pemukiman kumuh, dimana ia bermain sepanjang hari hingga malam beranjak, saat bola tak lagi bisa terlihat. Menjelang dewasa, ia terbang ke belahan dunia lain dan seisi stadiun melayang bersamanya. Seni gocekannya terlukis di pelbagai katedral sepakbola, minggu demi minggu, dari satu kemenangan menuju kemenangan lainnya, untuk riuh rendah tepuk tangan ke tepuk tangan berikutnya.

Bola jinak di kakinya, mengerti dan membutuhkanya. Ia memeluk dan bercumbu dengan ujung jarinya. Sebaliknya, Sang bintang merawat dan membuat kekasih bundarnya itu menyayanginya, dan sepanjang waktu, mereka terlibat dalam jutaan percintaan tanpa kata. Siapa saja, yang biasanya menjadi bukan siapa-siapa, akan merasakan desir darahnya mengaurs di sebuah momen ketika keindahan umpan satu dua, sebuah giringan bola melintas, meninggalkan lukisan imajinatif di rerumputan, gol tumit memukau atau tendangan gunting menghadirkan pesonanya. Saat ia di lapangan, timnya memiliki tak hanya sebelas pemain. ‘Dua belas? Lebih, itu adalah lima belas, dua puluh!

Bola tertawa, berpilin dan merona di udara. Sang bintang membawanya pulang, mengajak tidur bersama, memandikannya dengan penuh kasih, membawanya berdansa dan merasakan belas kasih yang indah, sesuatu yang belum diperoleh anak cucu sang bintang, yang mungkin juga tidak akan pernah merasakan kualitas percumbuan si kakek dengan bolanya.

Namun, sang bintang adalah secercah cahaya cemerlang di sebuah momen. Keabadian manusia adalah mustahil. Ketika waktunya tiba bagi si kaki emas berubah menjadi bebek yang pincang, sang bintang akan menyelesaikan perjalanan gas berpijarnya di gelap semesta. Otot-ototnya lebih longgar dari jubah badut, dan sejak itu, pesulap menjadi lumpuh. Sang seniman menjadi terseok-seok: ‘Tidak lagi ada keajaiban'.

Guyuran pujian penonton berganti sorakan dan cemoohan: ‘Kamu bangkai’.

Terkadang, Si bintang tidak jatuh sekaligus secara penuh. Dan saat dia hancur berkeping-keping, orang-orang akan memangsa remah-remahnya.

Related Posts: