SEPAKBOLA TELANJANG BULAT (Bagian 3-Habis)

Oleh  Alex Bellos

Manaus punya sembilan klub profesional. Hanya dua di antaranyayang mampu membayar pemain lebih dari ketentuan upah minimal—keduanya bermain di divisi dua liga nasional. Sisanya? Hidup segan mati tak mau.

Untuk memahami realitas ini, aku mengunjungi America FC.

Klub ini dijalankan dari gudang pupuk yang terletak di teras belakang rumah Amadeu Teixeira. Amadeu, kini di usianya yang lebih 70, adalah pria yang menawan.  Wajahnya pipih, dengan mata biru dan rambut yang di sisir rapi ke belakang. Ketika dia mengucapkan ‘America’, kata itu terdengar ‘Omega’ karena giginya ompong. Dia membawaku ke ‘kantor pusat’ klub. Gudang itu disesaki medali, piala, gambar, dan perlengkapan olahraga. 

Terentang sebuah spanduk menutupi dinding, bertuliskan ‘Amadeu Teixeira: Legenda Sepakbola’. Aku tidak bisa tidak untuk tidak setuju. Pelatih di Brasil dibilang beruntung jika dia bisa bertahan dalam satu musim. Amadeu sudah menjadi pelatih America sejak 1956. Dan masih. Aku berani bertaruh dengan siapapun bahwa dia adalah pelatih sepakbola terlama di dunia.

Piala terbesar di gudang itu tingginya melampaui Amadeu. Ia bertingkat tiga: patung pesepakbola paling atas, di bawahnya berdiri panel yang menyerupai toples kecil, dan di bawah, empat pilar dari logam pejal menopang keseluruhan. Piala ini menandai kejayaan terbesar America: juara kejuaraan negara bagian Amazon tahun 1994. Amadeu memenanginya untuk pertama kali, dan satu-satunya, setelah mencoba selama 38 tahun.

“Daya tahan adalah kunci.” Gumamnya lirih.

Amadeu punya kesabaran yang luar biasa mengingat kesemrawutan sepakbola profesional di Amazon. Orang biasa pasti akan menyerah berpuluh-puluh tahun lalu. “Kami seharusnya juara beberapa kali,” klaim Amadeu. “Di tahun 70-an, kami melawan Nacional di final. Presiden Nacional adalah gubernur Amazona. Dia berdiri di tepi lapangan dan berteriak kepada wasit untuk mengusir pemain kami. Seingatku, dua pemain kami kena kartu merah.”

“Di tahun yang lain, kami bertanding di final melawan Rodoviaria. Kami sedang unggul sebelum lampu tiba-tiba mati dan stadion menjadi gelap gulita. Kata mereka, tak ada satu orang pun yang bisa menyalakannya lagi. Percaya nggak sih kamu? Di pertandingan ulang, kami kalah.”

Lalu dia mencari kertas untuk menggambarkan lapangan yang digunakan sebagai venue Final Kejuaraan tahun 1988 melawan Rio Negro. Jari-jarinya bergerak menyusuri kertas, menjelaskan arah pergerakan bola di final itu. “Salah satu pemain kami menendang bola ke kotak penalti.  Bek lawan melompat, berusaha menanduknya namun meleset. Bola melenting ke arah gawangnya sendiri. Penjaga garis lapangan bergegas lari ke arah wasit dan mengarang-ngarang cerita. Gol dibatalkan. Semua orang tahu wasit itu. Mereka bilang dia berangkat terbang dari Rio. Kami tahu dia makan siang dan duduk minum-minum dengan pemain dan presiden Rio.”

Amadeu masih remaja bau kencur saat membentuk America dengan teman-teman sekolahnya. Waktu itu dia baru berusia 13 tahun. Ini adalah salah satu aspek dari karernya yang, menurut ukuran Brasil, sebenarnya tidak aneh. (Botafogo, klub besar dari Rio, didirikan oleh remaja ingusan 14 tahun.) Amadeu punya pekerjaan sebagai pegawai negeri di kantor pemda namun menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk America. Dia menciptakan akademi pemain muda, bahkan juga mengembangkan olahraga lain seperti bersepeda, bola voli dan bola basket.

Suatu hari di tahun 1960s, dia melihat anak gadis bermain bola di jalanan. Si gadis itu dijuluki Pele dan cara menggiring bola sebagus anak laki-laki. Itu menginspirasiya untuk mengembangkan sebuah ide. Lalu dia mengumpulkan beberapa gadis yang cukup untuk dua kesebelasan. Namun saat mereka berlatih, seorang polisi datang. Berita mengenai inovasinya sampai ke telinga pejabat di ibu kota Brasilia. Menteri Pendidikan mengirimi pesan: perempuan bermain bola dilarang oleh hukum.

Amadeu menunjukkan kepadaku guntingan koran dari tahun 1969. “Di sana di Amazon, ada sepakbola wanita’ begitu judul artikel dari sebuah koran Sao Paulo, ditulis dengan campuran bingung dan rasa takjub. Empat tahun kemudian, jauh dari kontroversial, perempuan mendapat tempat dalam sepakbola Amazona: tampil dengan cawat dan berlomba memperebutkan gelar ratu Tarkam.

Selain menggelar kompetisi profesional, Federasi sepakbola Amazona juga menghelat Copa dos Rios, Turnamen antar Sungai. Ini turnamen semi-amatir tim-tim yang mewakili kota kecamatan. Karena Amazona luasnya tiga kali luas Prancis dan transportasi utamanya adalah kapal, Copa dos Rios barangkali adalah contoh terbaik seberapa jauh orang Brazil bepergian untuk bermain sepakbola. Wasit-wasit dari Manaus sering menghabiskan waktu berminggu-minggu di atas kapal yang melayari anak-anak sungai Amazon untuk datang ke pertandingan.

Kota kecamatan berinvestasi besar-besaran di Copa dos Rios karena turnamen ini adalah satu-satunya cara bagi masyarakat yang terpencar-pencar dan saling tidak mengenal untuk melakukan sosialisasi. “Tidak ada kegiatan sosial lain yang mampu menghubungkan kota-kota selain turnamen sepakbola. Turnamen itu adalah satu satunya even yang mempertemukan orang-orang,” ujar Fernando Seabra, koordinator Asosiasi Kota-Kota Amazona.

Ucapan itu tak sepenuhnya tepat. Tarkam juga melibatkan tim-tim dari pelosok Amazon. Di tahun 2000, sepuluh kota di Amazon menyelenggarakan Tarkam di tingkat kabupaten (tentu lengkap dengan pemilihan ratu kecantikan).Turnamen-turnamen itu menjangkau desa-desa dan kota-kota kecil sejauh 350 km di luar Manaus. Pemenang Tarkam tingkat kabupaten ini akan bersaing untuk mendapat tempat di putaran final Tarkam tingkat negara bagian di Manaus. Jika kita memasukkan seluruh tim dan pemain yang terlibat dalam keseluruhan Tarkam tingkat kabupaten, ini akan membuat ukuran Tarkam besarnya dua kali lipat.  Di tahun 1995, jumlah pemain yang ikut turun lapangan mencapai 30,000.

Sebuah pertandingan berlangsung tak seimbang. Setelah gol ke empat dicetak, seorang suporter tim yang dipermalukan menghambur ke lapangan untuk membuat perhitungan. Fransisco, suporter nekat itu, sedang berusaha mengayunkan pukulan pertamanya ke arah wasit ketika Eurico, lebih cepat dari kilatan cahaya, tiba-tiba saja sudah berada di dekat wasit. Bek tengah itu kekar dan garang mirip tukang pukul. Fransisco tersentak. Dan mengkeret. Namun dia tidak bodoh. Dia berlutut dan menyembah-nyembah wasit agar mengampuninya. Akhirnya, mereka membuat kesepakatan. Fransesco seorang sopir taksi. Dia setuju mengantar wasit pulang ke rumah. Dua puluh tahun kemudian, dia masih menyopiri taksi. Di manapun dan kapanpun mereka berpapasan, Fransesco akan berhenti dan memberi tumpangan gratis. Semua orang tahu dia masih terbayang-bayang wajah Eurico.

Kendati merupakan negara bagian kedua paling kecil dalam tingkat kepadatan penduduk, Amazonas ironisnya punya kota yang paling padat. Separuh penduduk Amazonas tinggal di Manaus. Secara demografi, ini membuat kota ini seperti pulau kecil yang ramai dikelelingi samudra sunyi. Saat menumpang taxi di salah satu kota satelit, sebuah kota yang menjorok menuju hutan tropis, aku terpana oleh pemandangan di luar jendela. Aku tak ubahnya seperti sedang di sebuah kota miskin biasa di bagian Amerika Latin lain. Bagi kebanyakan penduduk, Manaus adalah kota kumuh berair coklat, bukan hijaunya hutan tropis.

Pagi-pagi jam 7, setelah satu jam berkeleliling, taksi membawaku di depan Rumah No 16, Jalan No 8, Blok 13. Gubuk reot di atas lahan sempit itu tempat Paulinho Jorge de Moraes hidup dengan seekor kucing siam. Poster-poster tim sepakbola dari Rio de Janeiro menguning memenuhi dinding gubuk itu. Paulinho adalah satu-satunya orang yang menjadi panitia Tarkam sejak tahun pertama. Ketika aku tiba, dia sudah mengenakan pakaian wasit lengkap dengan peluit dan sepatu hitam. Gelang dan cincin emas berkilauan melingkari jari dan lengannya. Kalung emas dengan bandul jimat juga menguntai di lehernya. Ketika tersenyum, kilau gigi emas keluar dari mulutnya. Dia lebih cocok sebagai seorang pelanggan pub di utara Inggris.

Jiika ada satu orang yang benar-benar mewakili fantasi tentang Tarkam, maka itu adalah Paulinho. Seorang kenalan memberitahuku untuk tak menganggap serius 30 persen apa yang Paulinho katakan. Dia mengklaim dirinya setinggi 160 cm. Itu adalah klaim yang kelewat bersemangat.

Barangkali satu-satunya penilaian yang tidak terlalu berlebihan terkait dengan Paulinho adalah bahwa hidupnya dibentuk oleh Tarkam. Turnamen ini memberinya kepercayaan diri dan popularitas di tiap sudut kota. Tanpanya, kita tak bisa membayangkan yang sebaliknya.

“Karena pada dasarnya sangat kecil, aku selalu ingin menjadi wasit. Mula-mula ibuku melarang pergi karena khawatir aku akan kena pukul. Namun lambat laun dia terbiasa,” ujar Paulinho, yang sekarang berumur 52 tahun, “Untuk menjadi wasit, ukuran bukan hal yang penting. Yang paling utama adalah memahami aturan.”.

Paulinho adalah wasit dengan nyali kuat. Sepanjang 27 tahun memimpin pertandingan, dia mengklaim telah mengusir 5,982 pemain. Dia lebih terlihat sebagai  orang mungil yang melawan orang normal dari pada seorang wasit. “Biasanya, aku mengeluarkan 18-20 kartu merah tiap minggu. Lebih sering aku mengusir orang dari pada tidak.” Setiap orang harus berhati-hati jika ia memimpin pertandingan. Pernah suatu kali, seorang suporter yang marah memanggilnya, “sabun batangan hotel’ karena badanya yang mini dan penampilan yang kemrincing. ‘Aku langsung memberinya kartu merah,” dia menukas.

Aku tanya dia apakah dia pernah mengalami kekerasan. Paulinho bilang dia pernah dikejar-kejar oleh seorang perempuan sambil mengacungkan sapu. Dia juga mendapat delapan jahitan di kepala setelah seorang pemain meninjunya. “Polisi menemukan dan membawanya kepadaku. Mereka memintaku untuk membalas.” Dia melanjutkan, “sekarang dia salah satu teman terbaikku.” Di lain kesempatan, dia mengusir seorang pemain ‘sebesar orang hutan’. Orang-orang mencegah pemain itu masuk kembali ke lapangan dan melakukan balas dendam. Namun sore itu juga mereka berpapasan di kedai tuak dan berjabat tangan. Paulinho bilang: ‘Dia mengajak ke hotel, mentraktir minum-minum dan membayari perempuan untuk bergabung di mejaku. Kenangan-kenangan seperti inilah yang membuat Tarkam menjadi even yang menyenangkan.’

Pakaian warna-warni tak ada yang berukuran cukup kecil untuknya sehingga dia harus mengenakan baju dinas berwarna kuning-hitam itu. Segala sesuatu di rumahnya berukuran mungil; alih-alih lemari es, dia punya minibar. “Aku ingin dikubur dengan mengenakan baju wasit lengkap, kartu kuning di saku kiri dan kartu merah di saku kiri,” katanya sambil menepuk dada.

Aku memberinya tumpangan ketika dia hendak ke kota. Ini adalah minggu pertama Tarkam. Seratus tiga puluh enam pertandingan akan dimainkan di 40 lapangan yang berbeda dari jam 8 pagi sampai matahari terbenam. Paulinho mengarahkan taksi ke beberapa lapangan yang akan digunakan. Pada dasarnya, di manapun ada gawang, di situlah pertandingan dilangsungkan. Manaus mungkin kota yang dikelilingi semak belukar. Namun nyaris semua lapangan berupa garis petak di atas tanah berdebu. Aku bahkan melihat lapangan yang penuh bebatuan, pecahan kaca, dan tumpukan tulang.

Paulinho tidak bertugas hari ini. Di babak grup, pertandingan di atur sendiri oleh tim-tim peserta. Setiap tim harus menyediakan empat orang sebagai panitia: wasit, penjaga garis, dan manajer pertandingan. Mereka kemudian mengatur kesepakatan bagaimana mengatur pertandingan-pertandingan selanjutnya. Tiap tim butuh secara serius menyiapkan panitia demi kepentingan tim mereka sendiri. Tim yang tidak mengirim wasit pertandingan akan terkena hukuman berat.

Aku berhenti sejenak di salah satu lapangan untuk mengamati prosedur pertandingan dari awal hingga akhir. Pertama-tama, panitia pertandingan datang. Wasit mengempit bola, peluit dan kedua kartu. Penjaga garis membawa bendera yang terbuat dari cabikan kain yang ditempel di tongkat kecil. (Sekali waktu, seorang wasit lupa tidak membawa kartu merah dan menggantinya dengan bungkus rokok.) Manajer pertandingan membawa meja seadanya. Dia membawa secarik kertas yang diambil dari kantor Tarkam dan menuliskan laporan pertandingan.

Sebuah mobil angkot berhenti dan pemain-pemain berhamburan ke luar. Aku terkesima dengan prosesi pertandingan. Presiden klub menata kostum tim di sebuah pagar dan membagikan kepada tiap pemain. Dilengkapi dengan kartu pengenal tim, dia lantas memastikan bahwa setiap pemain menandatangani secarik kertas yang dibawa oleh panitia.

Pertandingan mulai tepat waktu. Wasit melakukan tugas dengan baik. Dia tidak memihak dan tidak juga, seperti yang pernah dikatakan orang-orang, menghentikan pertandingan, memberi kesempatan buat dirinya sendiri untuk bernapas. Untuk meningkatkan kualitas, Tarkam juga menyediakan kompetisi paralel bagi tim-tim yang memiliki 16 wasit terbaik. Juara turnamen paralel ini masuk play-off segi tiga dengan 16 klub yang ratu paling cantik dan 16 tim terbaik dari kabupaten. Juara dari kompetisi paralel ini akan memenangkan satu kursi 16 besar Tarkam tingkat negara bagian.

Setelah mondar-mandir dari satu lapangan ke lapangan yang lain, aku menghabiskan waktu sore hari dengan Vila Nova yang memainkan debutnya. Aku tiba di tempat kumpul-kumpul beberapa jam sebelum bertanding. Kami duduk-duduk di bawah rindang pohon zaitun dekat rumah Audemir. Bangkunya terbuat dari papan kasar yang melengkung tiap seseorang menempelkan pantat. Sekitar sepuluh orang bergantian duduk dan berdiri.

Suasana tegang. Mauricio Lima, ipar Audemir dan wakil presiden Vila Nova, mengatakan persiapan timnya agak berantakan. Mereka punya desain untuk kostum baru. Dia baru saja mengambilnya dari percetakan sablon yang dikelola seorang teman. Nama sponsor mereka, Delirium Drinks, tercetak tak keruan. Mereka memutuskan akan mengenakan kostum lama saja. Delirium Drink adalah nama kedai tuak tempat Ademir bekerja. Dukungan sponsor ini dapat dilihat di bawah pohon zaitun: kotak polifom besar berisi dua krat bir.

Tersiar kabab bahwa Erica, ratu klub, gagal masuk seleksi kedua. Audemir frustasi. “Aku sudah bilang, batalkan saja ikut ratu-ratuan,” dia menggerutu. “Itu pengeluaran tambahan. Kita membuang lebih banyak uang untuk kontes kecantikan dari pada mencari pemain. Tim kaya bisa dengan mudah mencari gadis semlohai. Sementara kami sangat tergantung dari kualitas pemain.” Dia mengucapkan kalimat terakhir layaknya Tarkam adalah kompetisi sepakbola yang tidak adil.

Sejam sebelum dimulai, pemain berjalan beberapa kilo meter menuju lapangan. Tetangga ikut bergabung sepanjang perjalanan. Kami menyusuri lorong air dan melintasi kampung kumuh. Mauricio bilang kampung ini dikuasai pengedar obat-obat terlarang. Siapapun dilarang masuk ke kawasan ini di malam hari. Pemukiman ini dibangun di atas lumpur. Rumah-rumah berada di atas selokan kecil yang bisa dilihat dari kolong-kolongnya. Salah satu superter bernyanyi dan menabuhi drum yang digantung di lehernya. Vila Nova adalah satu-satunya klub yang punya kelompok superter homoseksual yang dibentuk oleh Marcos, seorang juru masak lokal. Marcos dan teman-temannya barangkali adalah ratu sejati Tarkam. Mereka membuat rumbai-rumbai hijau yang melambai-lambai sepanjang jalan.

Ketika tiba di tepi lapangan, aku mengenali Ford Maroon Ademir. Dia mengangkat galon air dari bagasi. Dia meletakkannya dipunggung dan membawanya ke dekat garis lapangan. Mauricio dan saudara-saudaranya Ademir mengenakan kostum tim yang berbeda dengan yang dikenakan oleh pemain. Perbedaan itu membedakan mana pemain dan mana staf pelatih. Aku bertanya apakah ada anggota keluarga yang tidak datang. “Hanya ayah. Dia akan berjingkrak-jingkrak kesetanan dan lalu bertengkar dengan wasit.”

Lawan Vila Nova adalah Unidos da Rua Natal, atau Persatuan Sepakbola Natal. Audemir tampak cemas. Sebelum mulai, pemain dan pelatih saling berangkulan di lingkaran tengah. Suara Audemir serak memberi wejangan: “Simbol tim kita adalah elang. Itu berarti nyali, keberanian, kekuatan dan keinginan kuat. Ingat—tidak ada yang memalukan dari pada menyerah. Mereka lalu menyitir sabda tuhan dan mengakhirinya sambil meletakkan tangan di pusat lingkaran dan berteriak ‘Vila Nova’.

Pertandingan mulai. Vila Nova mendominasi namun lawan lebih kuat dari yang diperkirakan. Kedua tim sangat disiplin. Tampaknya tak ada celah lemah yang bisa dimanfaatkan. Seorang pemain Vila Nova terjatuh dan cedera. Dua staf pelatih berlari memberi pertolongan sambil membawa sekantung es batu. Setelah 25 menit babak pertama—aturan yang berlaku untuk babak penyisihan—skor masih kacamata.

Tak terhitung cerita seru dan kelakar tak tentu Aku dengar tentang Tarkam sampai-sampai aku mulai meragukan kebenarannya. Namun, kisah-kisah ajaib itu melintas di pelupuk mata saya. Menjelang sepuluh menit terakhir, suporter homoseksual mulai berteriak-teriak. Seorang pemain Vila Nova datang telambat karena baru pulang kerja. Dia sangat tampan. Selagi dia pemanasan, suporter gay berjumpalitan. Mereka teriak-teriak kegirangan, “ayo ganteng, ayo ganteng!”.

Dia masuk tanpa sepatu. Kepada Audemir ia bilang bahwa dia hanya bisa bermain dengan kaki telanjang. Bergegas, ia lari mengambil posisi di lapangan tengah. Tiap kali bola menghampirinya, fans Vila Nova melompat-lompat dan meracau seperti orang kesurupan. Kehadirannya mengubah keseimbangan. Vila Nova mulai menekan tanpa henti. Mereka mendapat tendangan sudut berkali-kali. Beberapa menit kemudian, si pengganti seksi itu mencetak gol.

Vila Nova menang 1-0. “Hasil yang bagus kawan-kawan,” sambut Audemir sambil menjabat tangan seluruh pemain ketika mereka meninggalkan lapangan. “Untuk pertandingan pertama, kita melakukan pekerjaan bagus.”

Mereka balik jalan kaki menuju pohon Zaitun untuk sebuah ‘perahu besar’, nama yang diberikan untuk pesta pasca-pertandingan yang wajib dilakukan. Suporter gay sukarela bersedia menjadi pelayan. Mereka membukakan botol bir dan memastikan bahwa gelas-gelas tidak kosong. Di malam yang gerah, seluruh kampung larut dalam pesta kemenangan. ‘Sepakbola adalah permulaan,” ujar Mauricio “Selanjutnya terserah anda.”

Si wasit sekilas melihat sebuah tendangan yang membahayakan dan, tanpa sekalipun berkedip, dia meniup peluit. Pelanggaran. Penalti? Itu detil yang tidak penting. Yang pasti, tiupan itu mengundang amarah. Semua pemain berebutan menonjok wasit. Namun Manuel bukan orang yang goblok. Dia sudah bersiap-siap. Dia mengeluarkan pistol dari balik seragam. Dia menodongkan senjata itu dan berbalik mengancam. “Siapa berani maju sekarang!” koarnya. Hidungnya berasap. Para pemain lari lintang pukang, saling bertabrakan dan kebingungan. Dalam kemelut itu tak ada yang memperhatikan detil kecil. Itu sebuah gertakan. Pistol itu pistol mainan seharga 50 ribu di toko anak-anak.

Aku meninggalkan Manaus hari berikutnya namun mengikuti perkembangan Tarkam sekembali ke Rio. Dua minggu sekali, A Critica, harian dari Manaus memuat delapan halaman khusus buat Tarkam. Aku minta toko majalah langganan menyimpannya untukku. (Ini tidak berlebihan karena dari Rio, Manaus lebih jauh dari Argentina, Uruguay, Paraguay, Bolivia, Chile dan Peru). Halaman khusus itu memang berasa testosteron. Separuh bagian untuk sepakbola. Setengahnya berisi gambar-gambar gadis semok mengenakan bikini. 

Selama beberapa bulan, aku mengikuti perkembangan Vila Nova. Mereka lolos dari babak penyisihan tanpa sekalipun terkalahkan. Mereka takluk 1-3 dari Central Park St Antonio di babak gugur ketika hanya tersisa 45 tim. Tarkam tahun ini akhirnya dimenangi oleh 3B Surprishop, tim yang dipunyai oleh pemilik toko retil barang-barang elektronik. Samantha Simoes dari Gloria United memenangi kontes ratu kecantikan yang disiarkan secara langsung oleh televisi. Nona Roberta, gagal maju ke babak kedua.


* Disadur tanpa izin dari Naked Futebol, Bab XI dari "Futebol The Brazilian Way of Life" (Bloomsbury 2014).  

Related Posts:

MENAKAR LUIS MILLA

Oleh Darmanto Simaepa

Nyaris seluruh federasi sepakbola di dunia ingin timnas-nya bermain seperti Barcelona, Spanyol atau Belanda. Publik sepakbola Indonesia, terutama rejim PSSI, bukanlah perkecualian.

Dari  jaman Bardosono hingga Edy Rahmayadi, kita punya selera khusus dengan sepakbola total voetbal, dan turunannya di masa kontemporer:tiki-taka. Wiel Coerver, Foppe de Haan, hingga Wim Rijsbergen pernah punya kesempatan untuk membudidayakan gaya Hollande School nun jauh di negeri tropis ini. Konon, gaya itu cocok dengan tipikal fisik dan teknik pemain Indonesia.

Jadi, Luis Milla, Anda bukanlah orang pertama. Dan tampaknya, ini adalah pilihan yang masuk akal. Dan paling aman. Tengok saja jejak rekamnya.

Sebagai pemain, ia produk akademi La Masia. Andai tak ribut dengan direktur klub untuk urusan kontrak dan mata jeli Johan Cruijff  luput menemukan bakat hebat dari bocah kurus dari Sentpedor bernama (ermmm siapa lagi kalau bukan) Joseph Guardiola, mungkin saja dia akan menjadi legenda no. 4 Barcelona.

Ia termasuk segelintir pemain yang punya keistimewaaan merasakan gelar La Liga bersama dua rival Real Madrid dan Barcelona. Ia juga punya koleksi medali Liga Champions. Meskipun, medali nomor dua, bersama Valencia.

Sebagai pelatih, ia membawa tim Spanyol junior juara final piala Eropa. Tangannya dianggap mujarab bila memoles pemain belia. Tulang punggung timnas Spanyol kontemporer—Juan Mata, Gerard Pique, Isco, Alvaro Morata, David de Gea, Ander Herera—berhasil menjalani transisi dari tim junior, salah satunya, karena kerja kerasnya.

*****

Pertama kali mendengar kesediaan Milla membesut timnas, timbul rasa respek kepadanya. Berpetualang sejauh setengah bumi ke arah timur jauh untuk melatih timnas negara yang prestasi sepakbolanya sama sekali tak terdengar jelas butuh nyali.

Meski kondisi Indonesia jauh lebih baik dari abad 15, teknologi pelayaran seribu kali lipat lebih canggih dari masa Alfonso de Albuquerque, dan bau pala dan lada tak lagi punya daya sengat sebesar beberapa abad yang lewat, melatih sepakbola di Indonesia setara dengan perjudian mencari (dan mencuri) harta kekayaan di wilayah yang belum tartera di peta.

Ibaratnya, Luis Milla sedang melempar dadu, mempertaruhkan karir kepelatihannya yang, meskipun tak begitu mentereng di level senior, tetap saja akan menarik minat negara-negara tau klub-klub medioker di Eropa. 

Tak mudah meninggalkan kenyamanan sepakbola Eropa dan beradaptasi dengan kultur, dan terutama struktur, sepakbola Indonesia. Belum lagi menghadapi jalanan macet, terik udara tropis, dan ancaman nyamuk malaria.

Lalu saya pun menduga-duga. Apakah nyalinya berpetualang muncul karena dipaksa oleh keadaan setelah kegagalan di CD Lugo dan pemecatan dari presiden Real Zaragosa—keduanya tim-tim papan bawah divisi dua kompetisi la Liga?  Apakah ia butuh tantangan di tempat lain setelah gagal di negeri sendiri?

Yang pasti, keluarga atau penasehat dan pengacaranya tahu bahwa ia butuh kontrak yang bagus.

*****

Sebagai warga sepakbola Indonesia, saya tak memiliki keluhan. CV-nya mentereng. Kredensialnya terbukti—paling tidak ditingkat junior. Dari sudut pandang politik sepakbola, kedatangannya sangat mudah untuk dipahami. Ia datang satu kapal dengan naiknya rezim Edi Rahmayadi di PSSI.

Ia memberi kredibilitas buat rejim baru PSSI. Ia menawarkan kesegaran: wajah baru sepakbola Indonesia yang baru saja melewati masa pertengkaran internal harimau dan buaya yang, banyak orang menduga, tak akan kunjung sudah.

Sebagai orang asing yang sama sekali asing dengan politik sepakbola Indonesia (dan Asia Tenggara), Luis Milla, merepresentasikan kebaruan dan harapan. Meskipun operasi membawa Milla tak lepas dari kepentingan cukong dan toke sepakbola, ia, secara personal, tak punya sejarah dengan mereka dan tak dibebani kelimut kepentingan, seperti yang pernah dialami oleh Alfred Riedl dan Ivan Kolev.

Yang menjadi masalah adalah:  jejak rekam pelatih seperti Luis Milla tak pernah membawa kesuksesan buat timnas Indonesia. Dari enam belas pelatih asing pernah membesut timnas senior, dua pertiganya berlatar belakang sepakbola Eropa Barat dan sepertiganya dari Eropa Timur. Hanya satu, Jacksen Tiago, dari Brazil—itupun problematis jika dibilang dia mewakili sepakbola Brazil karena Jacksen sebagai pemain dan pelatih terbentuk di Indonesia

Sebagian besar dari mereka—terutama yang dari tradisi sepakbola Eropa Barat—adalah pelatih yang bermain dengan tradisi sepakbola gaya 4-3-3. Beberapa dari mereka punya reputasi mentereng. Romano Matte, Wiel Coerver atau Fopee de Haan punya reputasi besar di Italia dan Belanda. Peter White adalah orang terkemuka di Inggris dan berjasa besar membangkitkan kembali sepakbola Thailand.

Di tangan pelatih Eropa Barat, timnas tak pernah juara. Yang menarik, hanya dua pelatih asing yang mewariskan medali buat PSSI. Keduanya pelatih Eropa Timur yang tak punya reputasi mentereng menangani pemain muda atau dikenal memiliki inovasi taktik. Atau jejak rekam yang membanggakan. Secara nama, bahkan di masanya masing-masing, mereka bukan pelatih yang populer.

Di masa kejayaan kompetisi reguler (perserikatan dan Galatama) paruh 1980an, Anatoly Polosin adalah pelatih asing yang benar-benar asing. Sebelum datang, publik sepakbola Indonesia tak ada yang mengenalnya. Dan dia bukan pelatih yang menarik atau menyenangkan—dari aspek keahlian maupun kepribadian. Alih-alih mengajarkan rondo atau inovasi taktik 4-3-3, dia memaksa pemain berlari berkilo-kilo meter dan anglatpunya daya tahan fisik dan disiplin tinggi. 

Sudah menjadi legenda bagaimana ia meminta pemainnya naik-turun gunung Welirang dan Arjuna hingga muntah-muntah. Metode ini membuat banyak pemain terbaik (secara teknik) namun lemah secara fisik saat itu (Ansyari Lubis, Fachri Husaini) lari dari pemusatan pelatihan.

Justru tanpa pemain berbakat dan berteknik tinggi, ia membawa timnas berjaya di Manila.  Racikan dan metode Polosin memaksa pemain Thailand yang lebih bagus secara teknik kelelahan dan frustasi di babak final serta kaki gemetaran saat mengambil tendangan pinalti. Kekuatan fisik membuat pemain Indonesia disiplin secara taktik dan percaya diri.    

Jauh lagi ke belakang ke era 1950an, Tony Pogacnik datang ke Indonesia bukan karena reputasi. Hubungan erat Soekarno dan presiden Yugoslavia Joseph Tito di masa perang dingin membuat Indonesia mencari pelatih dari blok netral dan/atau blok timur untuk membangun tim sepakbola.

Meskipun motif politik lebih kuat dibanding motif olahraga, kedatangan Pogacnick masih dikenang sebagai masa-masa emas sepakbola Indonesia. Dilihat dari perspektif masa kini, kita akan kesulitan berimajinasi bahwa bagaimana mungkin Pogacnik bisa membawa sepakbola kita melaju ke perempat final Olimpiade, masuk semifinal Piala Asia dua kali, dan secara rutin menjuarai kompetisi regional lainnya.

Keberhasilan Polosin dan Pogacnik punya kesamaan: menghasilkan tim yang solid dengan disiplin tinggi ala Eropa Timur dan daya tahan fisik. Timnas 1991 tidak spektakuler dan mengesankan. Namun dengan kedisiplinan dan kebugaran, mereka memaksa Thailand yang lebih berbakat bertarung hingga akhir. Dengan kaki-kaki yang lebih kuat, Indonesia menang adu pinalti.

Kisah-kisah orang tua mengatakan timnas zaman Soekarno bermain sederhana, dengan fisik yang kuat dan disiplin secara taktik. Laporan resmi IOC Melbourne 1956 pun memuji kekokohan organisasi permainan timnas Indonesia ketika menahan timnas Rusia. 

Kesamaan lain: keduanya adalah pelatih asing yang memiliki kontrak (yang relatif) berjangka waktu panjang. Dari 16 pelatih asing yang pernah membesut timnas, hanya Pogacnik dan Polosin yang memiliki kontrak lebih dari 3 tahun. Kontrak lebih dari 3 tahun menunjukan bahwa, selain PSSI memiliki orientasi jangka menengah, juga memberi kesempatan buat pelatih asing untuk mengenali kekuatan dan kelemahan pemain Indonesia secara lebih baik.

Polosin dan Pogacnik sedikit beruntung karena mereka tidak dikontrak untuk memenangi sebuah turnamen. Nyaris semua kontrak pelatih asing berpola untuk, kalau tidak lolos kualifikasi Piala Asia, ya menjadi juara di Asia Tenggara—terlepas apapun nama turnamen itu. Mereka berdua adalah sedikit pelatih yang beruntung mengikuti lebih dari dua turnamen dan dua kualifikasi.

Mereka berdua gagal di turnamen pertama, namun hal itu tidak membuat pejabat PSSI gegabah membuat keputusan. Jadi, mereka punya waktu cukup untuk mengenali kebutuhan tim dan membangun tim yang sesuai dengan karakter pemain Indonesia.

*****

Metode Polosin mungkin sudah kadaluarsa bagi sepakbola masa kini. Taktik sederhana Pogacnik juga tak akan sukses ketika diterapkan sekarang. Belum lagi tuntutan juara yang  menjadi batu gerinda bagi rejim yang berkuasa. Apalagi, psikologi massa sepakbola Indonesia yang terlalu lama menjadi pecundang (dari sisi kebanggaan prestasi, maupun harga diri sehari-hari) menghilangkan kesabaran dan kerja keras dan seringkali mendukung jalan pintas. Dan ini bukan hanya melanda sepakbola Indonesia.

Namun dari pengalaman Pogacnik dan Polosin, kita bisa mengambil pelajaran dari sejarah. Dan dari sini, demi sepakbola Indonesia (well, saya tidak sedang berkelakar), ijinkanlah saya untuk sedikit punya the will to improve, hasrat untuk mencari perbaikan.

Pertama, timnas tak perlu berpikir untuk bermain seperti Spanyol atau Barcelona. Yang perlu dibenahi dari timnas barangkali adalah kualitas fisik dan organisasi permainan. Dalam sejarahnya, timnas yang membawa medali juara adalah timnas yang siap secara fisik dan rapi  dalam bermain.

Kedua, kontrak jangka pendek tak baik untuk sepakbola Indonesia. Kita tahu Luis Milla, seperti semua pelatih asing timnas lainnya, dikontrak untuk memenangi sebuah turnamen. Ketika gagal di satu turnamen atau babak kualifikasi, mereka dipecat.

Dengan dua tahun kontrak, saya tak yakin Luis Milla akan memberi sesuatu yang berharga bagi sepakbola Indonesia. Alih-alih juara, menginstal gaya 4-3-3 atau mencetak generasi pemain hebat, dua tahun adalah masa yang pendek bagi Milla untuk memahami kultur dan struktur sepakbola Indonesia. Selain ia harus mengenali bentangan geografis yang begitu luas untuk mendapatkan bakat-bakat terbaik, berhadapan dengan kekuasaan para makelar sepakbola, dan terutama adalah absennya kompetisi yang teratur.  

Seperti halnya dengan pelatih-pelatih asing sebelumnya, mungkin ada banyak kekecewaan di akhir masa kontrak Luis Milla. Yang saya tak ingin lihat lagi adalah kontrak yang bagus dari PSSI membuat Luis Milla hidup bahagia dan sejahtera, sementara publik sepakbola Indonesia tetap merana.



Related Posts:

SEPAKBOLA TELANJANG BULAT* (Bagian 2)

Oleh   Alex Bellos

Vila Nova adalah tim dari Sao Fransisco, sebuah pemukiman buruh di Manaus. Sebagian besar rumah-rumah di sana terbuat dari papan. Jalan menuju kota baru saja diaspal. Bau selokan menguar ke udara. Kita melihat proses urbanisasi adalah sebuah pertarungan tak henti-henti melawan kekuatan alam—di mana orang tak membersihkan halaman, semak belukar segera menguasainya.

Audemir adalah laki-laki pendiam dan pekerja keras. Rambutnya yang hitam pekat berantakan jatuh ke alis. Kami nongkrong dengan teman-temanya di kedai tuak lokal, Novo Encontro, yang berupa gubuk kayu sederhana dengan lemari es besar penuh bir.

“Di sinilah kami memulai semuanya.” dia mengawali percakapan. “Kami sadar kawasan tempat kami tinggal tidak punya wakil di Tarkam. Kami musti punya dan karena itu membuat tim sendiri.”

Pedalaman Amazon menjadi daya tarik bagi para pendatang yang mengadu peruntungan. Sebagian dari mereka akhirnya tinggal di Manaus, kota terbesar di tengah belantara Amazon. Ini adalah kota penuh harapan. Novo Encontro berarti awal yang baru. Vila Nova berarti tempat yang baru. Audemir memilih nama—disalin dari nama klub sepakbola profesional di Brazil tengah—karena itu sesuai dengan semerbak harapan awal yang baru. Tim sepakbola memberi harapan itu .

Audemir mengangkat dirinya sebagai Presiden Vila Nova, istilah rada-rada resmi yang wajib dipakai oleh tim yang ikut Tarkam. Dia menunjuk Mauricio Lima, saudara ipar, sebagai wakil presiden dan adik kandungnya sebagai Direktur Olahraga. Empat saudara ipar lain ikut cawe-cawe di tim yang memulai debut pada tahun 1998.

Vila Nova kini menjadi pusat kegiatan warga. “Sao Fransisco dulunya terpecah-pecah,” kata Mauricio. “Orang-orang tidak membaur. Ketika tim bermain bagus, orang-orang mulai menyatu. Kami mulai dengan seratusan pendukung, sebagian besarnya keluarga dan sekarang kami bisa mengumpulkan 300 orang.”

Ini mengubah Audemir, pria kalem yang menjadi pelayan bar, menjadi tokoh lokal. Tahun ini ia berhasil mencari 26 pemain. Dia juga mengganti nama klub dari singkatan kuno FC (Football Club) menjadi AA (Associaco Atletica atawa Athletical Association), yang lebih terkesan modern. Vila Nova boleh saja klub kecil, tapi namanya mengesankan optimisme dan kelas.

Birokrasi Tarkam memakan waktu panjang dan berpotensi memakan biaya. Audemir menghabiskan sebagian besar waktu luang untuk mencari pemain, mengundang sponsor, mencetak kostum dan membeli sepatu. Dia punya map kulit yang berisi daftar nama pemain dan proposal permohonan bantuan dana.

Dan untuk ratu tim? Ketika baru mulai, Audemir mengandalkan keluarga. Di tahun 1998 ratunya adalah si keponakan. Di tahun 1999 adiknya. Keduanya gugur di babak pertama. Audemir tidak berharap banyak: dia memilih kepantasan dari pada kecantikan.

Lebih baik mengirim ratu buruk rupa dari pada tidak mengirim sama sekali. Tahun ini, karena tim semakin populer, dia bisa mencari kandidat yang lebih glamor. Erica dos Santos, gadis pujaan lokal terpilih setelah dia mencuat dalam festival tari-tarian tradisional.

Tidak semua tim yang bermain di Tarkam  berasal dari sebuah kampung seperti Vila Nova. Karena turnamen ini bebas dan terbuka, klub-klub peserta dibentuk berdasar lingkungan sosial yang beragam. Serikat satpam, para pekerja migran yang tinggal di hutan yang sama, grup band, atau koperasi petani punya tim.

Ada juga tim bernama Barra Persada FC. Tim ini milik kumpulan orang yang kelebihan berat badan. Tiga bulan yang lewat, salah satu pemainnya terkena serangan jantung dalam sebuah pertandingan. “Kami menang tapi hampir kehilangan seorang teman,” ujar anggota tim Fernando de Abreu. Dia sadar bahwa kesempatan timnya untuk menang di kontes ratu kecantikan sangat tipis. “Ratu kami, sudah bisa ditebak, adalah yang paling gendut.”

Aku tidak bisa membayangkan ada kompetisi sepakbola yang lebih akurat merefleksikan dinamika sosial tempat ia dilangsungkan dari pada Tarkam. Kompetisi ini adalah gambar dari masyarakat Amazon itu sendiri. Tiga belas ribu pesepakbola datang dari penjuru kota dan desa. Segala keliaran, keindahan, ketiadaan aturan, dan keserbamenawanan Tarkam adalah wajah Manaus itu sendiri.

Nama-nama tim berwarna-warni. Selain Arsenal, ada juga Manchester. “Kami memilihnya karena enak didengar,” kata Presiden klub, “dan karena kami tidak punya uang”. Aston Vila, Ajax, Barcelona, dan Real Madrid dengan gampang dikenali sebagai nama tiruan. El Cabaco Futebol Clube—artinya Kesebelasan Berselaput Dara—adalah contoh humor lokal. Kolonel Kurtz, andaikata saja dia tinggal di Amazon, pastilah mendukung Apocallipse Club.

Sehari setelah menghabiskan waktu bersama Vila Nova, aku mengunjungi sebuah tim yang kekuatan finansialnya kebalikan dari Vila. Unidos da Gloria, atau Gloria United, dirancang seperti klub profesional. Klub ini berbasis di Gloria, sebuah pemukiman nan-makmur khas Manaus.

Tim ini disokong oleh perusahaan tepung terbesar di Amazon. Mereka membayar skuad berisi 22 pemain, pelatih berkualitas dan punya perlengkapan yang layak, kendaraan dan berkrat-krat bir sehabis pertandingan. Fernando Salles, juru perlengkapan, dibayar untuk merawat tiga bola dan dua puluh dua pasang kaus kaki, sepatu dan kostum di gubuk tiga lantai di mana ia tinggal bersama 13 anggota keluarganya.

Sore hari ketika aku datang, ada pesta bakar daging untuk memperingati ulang tahun klub yang kesebelas. Tiga speker besar berdentam-dentam menggelontorkan suara musik yang dimainkan oleh pemain orgen tunggal. Kegaduhan speker itu membuat obrolan mustahil dilakukan.

Kekuatan di balik Unidos da Gloria adalah Americo Loureiro. Dia pria berhidung pesek dan beralis tebal. Kalung biru bergambar Maria sang Perawan menjuntai di dadanya yang berbulu. Americo bekerja di pabrik kayu lapis selama tiga puluh tahun dan menjadi ketua serikat buruh selama dua puluh tahun.

Kami pindah ke dekat jalan supaya bisa mendengar kata-kata kami sendiri. “Unidos adalah kebanggaan kampung. Kami punya fans lebih banyak dari pada yang lain,” dia sedikit membanggakan. Tahun ini dia berusaha untuk memperbaiki penampilan timnya setelah hasil mengecewakan tahun lalu. “Tahun sebelumnya, kami lambat mempersiapkan tim. Ketika kami harus memulai pertandingan pertama, pemain-pemain terbaik sudah dikontrak tim-tim yang lain.”

Dia punya ide tersendiri mengenai ratu klub. Dia mengundang juara kedua kontes tahun lalu, Samanta Simoes. “Kami meminangnya dengan mahar yang sulit ditolak oleh gadis manapun. Itu seperti seorang pemain bola diminta bermain untuk Flamengo.”

Hutan Amazon adalah tempat legenda dan mitos menakjubkan, sebagian karena pengaruh budaya lisan Indian. Dan Tarkam menciptakan mitosnya sendiri. Ini terbantu oleh pembual seperti Americo.

Terlibat dengan kejuaraan ini sejak awal berdirinya, ia tak pernah melewatkan kesempatan untuk membumbui cerita Tarkam dengan kelakar liar. Kisah-kisah bualan biasanya melibatkan dirinya sendiri. Hanya saja, tiap cerita tidak selalu memiliki keterangan waktu atau tempat yang jelas. Karakter-karakter yang muncul dalam bualannya tak selalu punya nama.

Awalnya, Americo membidani sebuah tim yang dikenal dengan JAP. Suatu ketika, terdengar tim bernama Sao Jose. Mereka berasal dari pedalaman dan tak terkalahkan di wilayahnya. Suatu waktu mereka memutuskan ikut Tarkam. Mereka datang ke Manaus dan minta dimasukkan ke dalam satu grup dengan JAP. Sambil terkekeh-kekeh, Americo mengenang: “Setelah dua puluh empat menit, kami unggul 24-0. Kiper kami pun ikut mencetak gol.”

Saat kami berbincang, Messias Sampaio muncul. Kedatangannya adalah berkah karena sebelumnya aku berencana mewawancarainya. Messias menemukan ide Tarkam di tahun 1973 saat bekerja sebagai wartawan. Reputasi sebagai pencetus Tarkam membawanya sukses di jalur politik. Sekarang dia menjadi ketua Parlemen Kotamadya.

Messias datang untuk menunjukkan dukungan kepada Gloria dan Americo, yang bekerja untuknya sebagai staf ahli bidang politik. Dia sangat ramah dan kami duduk di kursi plastik. Dia punya rambut tipis dan gigi yang tak beraturan. Bicaranya lembut dengan kesabaran dan kewaspadaan seorang politisi.

Kisah kejayaan Manaus berakhir ketika orang-orang Inggris membawa karet ke Borneo, tempat budidaya karet yang lebih efisien. Kota ini menderita sepanjang setengah abad sampai kemudian bergeliat lagi untuk kali kedua. Di tahun 1967, Brazil mengeluarkan peraturan yang membebaskan pajak bagi perusahaan yang mendirikan pabrik di Manaus. Kebijakan ini dikeluarkan bersamaan dengan proyek modernisasi lain seperti pembangunan jalan lintas Amazon. Itu adalah strategi junta militer untuk mengkolonisasi hutan Amazon. Usaha itu berhasil.

Manaus berubah dari kota terlantar yang muram menjadi penghasil barang-barang elektronik dan menjadi kota industri paling ambisius di dunia. (Kendati punya masalah logistik seperti jalan atau jalur kereta api menuju bagian selatan.) Penduduknya meledak—dari 300,000 di tahun 1970 menjadi 1.4 juta di akhir abad 20.

“Anak-anak muda dalam jumlah besar berbondong-bondong ke Manaus mencari kerja di awal 1970-an,” kata Messias, “Namun kota ini kekurangan hiburan.” Messias lalu diminta oleh perusahaan tempatnya bekerja, sebuah grup media lokal Rede Calderado de Comunicao, untuk memikirkan even promosi besar di mana publik bisa ikut berpartisipasi. Turnamen sepakbola amatir adalah solusi tokcer. Brasil baru saja juara Piala Dunia untuk kali ketiga. Ini memantapkan sepakbola sebagai kebanggaan nasional.

Masalahnya, Manaus tidak punya sejarah sepakbola profesional. Beberapa klub profesional bermain di liga ecek-ecek dan tidak terlalu berpengaruh di tingkat nasional. Messias mencium kebutuhan akan turnamen amatir namun kompetitif.

Dugaannya tepat. Tarkam pertama berisi 188 tim. Yang kedua diikuti 286 klub dan ketika masuk tahun ketiga, tim yang terlibat lebih dari 500. Kejuaraan itu tumbuh seiring berkembanganya industri. Dengan cepat, Tarkam menjadi bagian tak terpisahkan dari fabrikasi sosial kota Manaus. Kendati turnamen ini masih didanai oleh Rede Calderado—sebesar 4 miliar per tahun—Tarkam adalah institusi lokal.

Tarkam mendapat tempat terhormat karena setiap orang Brasil, pepatah lama bilang, menganggap diri mereka sebagai pesepakbola. Di Tarkam, setiap pemain bisa menjadi pemain sepakbola. Namun turnamen ini menjadi sangat penting mungkin karena alasan yang lain.

Manaus sangat terpencil dan terisolasi dari pusat-pusat kekuasaan Brasil sehingga warganya, seperti orang Inggris di pantai barat Spanyol atau eksil Indonesia di Moskow atau Amsterdam, punya kebutuhan untuk melebih-lebihkan karakter khas nasionalisme mereka.

Setelah Tarkam edisi pertama mendapat sambutan meriah, Messias merenungkan bagaimana bisa melibatkan perempuan. “Aku mendapati banyak fans perempuan. Lebih tepatnya, banyak sekali fans perempuan yang cantik. Lantas kami berpikir bagaimana bisa menggabungkan keduanya,” dia mengatakan ini sambil menggosok kedua telapak tangannya pelan–pelan sehingga kedua jari telunjuknya akhirnya saling bertautan.

“Sepakbola perempuan belum ada saat itu. Di tahun kedua aku bersikeras tiap klub yang ikut harus mengirim ratu tim. Tarkam sukses besar karena menampilkan dua hal yang paling disukai oleh orang Brasil: sepakbola dan perempuan cantik.”

Selama bertahun-tahun, upacara pembukaan dihelat di balai kota Manaus. Kontestan ratu kecantikan berparade di atas perahu seperti dalam karnaval. Messias berkelakar: “Pemilihan ratu kecantikan Tarkam lebih dikenal dan lebih penting dari pemilihan Putri Amazonia.”

Arti penting kontes ratu Tarkam harus diletakkan dalam konteks regional. Jarang sekali ada even besar di Amazon yang tidak menyertakan perempuan-perempuan bahenol. Karnaval tahunan punya ratu. Begitu juga perayaan hari lahir Santo Petrus, Santo Joni, dan Santo Antoni di bulan Juni.

Setiap kota-kota kabupaten di hutan Amazon punya ratu yang dinamai seturut dengan hasil pertanian utama. Coari punya ratu pisang. Maues punya ratu jambu. Ratu jeruk ada di Anori, sementara ratu susu dipilih di Autazes. Ratu mentimun dipentaskan di Codajas dan Ratu cupuacu dikonteskan di Presidente Figueiredo. Sepakbola tak mau ketinggalan dan Tarkam juga punya ratu.

Aku tanya Messias mengapa dia memberi kesempatan kepada tim dengan ratu paling cantik bisa kembali masuk turnamen.

“Itu menyemangati orang-orang untuk mencari ratu yang bagus dengan serius. Namun, ada alasan lain yang tak kalah penting. Katakanlah ada sebuah tim yang bermain bagus dan mereka tersingkir karena kesalahan wasit. Biasanya, tim yang kalah akan menyerang wasit dan memukulinya.

Sepakbola bisa menciptakan ketidakadilan dan wasit tidak ada yang menjaga. Sebaliknya, mereka tahu bahwa kesempatan masih terbuka jika punya ratu yang cantik sehingga mereka tidak terlalu frustasi dan bertindak semaunya sendiri. Ratu-ratu ini adalah obat penenang,”

Messias percaya bahwa kekuatan terbesar Tarkam adalah memberi peluang bagi orang-orang kalah untuk mendapatkan rasa hormat dan mencicipi kemenangan. Menjadi presiden klub misalnya, adalah sebuah kehormatan besar. Di tengah-tengah melebarnya jurang si kaya dan si miskin, turnamen ini mempromosikan kesetaraan.

Tak peduli asal-usul mereka, setiap tim memiliki struktur yang sama persis dengan klub profesional. Sembilan dari sepuluh dari mereka punya pelatih. Messias juga yakin bahwa aturan main kejuaraan ini sangat longgar sehingga memungkinkan seluruh komponen masyarakat ikut terlibat. “Kejahatan berkurang selama hari-hari pertandingan,” dia menambahkan, “karena semua orang pergi ke lapangan.”

Kami berbincang-bincang tentang bagaimana Tarkam menjadi turnamen raksasa.

Messias percaya bahwa orang-orang di Manaus punya obsesi sepakbola paling besar di antara orang Brasil lain. “Orang-orang di sini punya banyak kendala. Lapangan berlumpur, terik matahari, badai tropis, hujan deras. Semakin banyak rintangan yang mereka hadapi, semakin keras mereka berjuang menyingkirkannya.”

Bayangkanlah suasana ini. Proses pemilihan ratu kecantikan sedang panas-panasnya. Penonton berdesak-desakan memenuhi panggung untuk melihat bokong-bokong sintal dan berminyak dari dekat. Semua tampak berjalan sempurna ketika seorang gadis menawan menyedot pandangan mata. Tiap mulut berbisik-bisik mengatakan dia sangat semlohai. Tinggi dan seksi seperti boneka. Dia tidak berjalan—dia melenggang. Dengan mengenakan sepatu tapak tinggi, dia melenggok sambil tersenyum penuh kemenangan ke arah semua orang. Beberapa pesaingnya sudah berpikir bagaimana cara mencederainya. “Bagaimana kalau kita patahkan salah satu hak sepatunya,” salah seorang kontestan berbisik. Tiba-tiba salah satu dari kerumunan berteriak lantang: “Dia laki-laki!” Alamaaak! Saya membayangkan berapa banyak penonton yang sudah basah celananya.

Nei Rezende mengundangku datang ke kediamannya, sebuah rumah panggung reot di atas lumpur. Di luar, ayahnya bersantai di atas kain ayunan. Seekor anjing hitam tertidur pulas di pangkal pokok jambu. Aku masuk ke dalam dan berjalan di lantai papan yang tak rata. Aku bisa melihat keluarga ini adalah pecinta olahraga. Di salah satu dinding, ada rak kecil dijubeli medali dan piala. Di dekatnya berderet poster tim sepakbola dan model-model cantik. Dua hal yang orang Brazil paling sukai.

Nei adalah pemain bayaran. Dia bisa saja bergabung dengan salah satu klub profesional di Manaus namun dia tidak tertarik. Dia mendapat penghasilan lebih besar dari Tarkam. Tahun ini dia mendapat 10 juta, telepon genggam, dua puluh sak semen, dan 2,000 batu bata untuk membangun rumah.

Sebagai profesional, paling-paling dia akan mendapat upah minimum, sekitar 500 ribu per bulan. Ketika upah minimum pesepakbola profesional disepakati tahun 1998, tiga puluh pemain meminta Federasi Sepakbola Amazonas untuk mencabut status mereka sebagai pesepakbola profesional sehingga mereka dapat ikut Tarkam.

Kebanyakan tim-tim kaya di Tarkam punya koneksi dengan perusahaan lokal. Nei bilang beberapa kawannya bermain untuk mereka dan mendapatkan pekerjaan tetap. Tarkam menawarkan masa depan yang lebih menjanjikan dari pada liga profesional. Kejuaran ini adalah cara terbaik untuk mendapatkan ketenaran.

Manaus memiliki lebih dari 60 liga-liga amatir tingkat kota. “Sepanjang tahun, tim-tim besar memantau pertandingan itu,” kata Nei. “Siapapun yang bermain bagus akan dimintai nomor telepon dan mendapat kontrak.”

Tarkam menjadi wahana bagi bagi pemain-pemain untuk memunculkan diri. Franca, alumni Tarkam paling sukses, masuk tim nasional Brasil. Tandukannya menyamakan kedudukan dalam pertandingan seri 1-1 melawan Inggris di Wembley Mei 2000.

Nei berharap bahwa Tarkam tahun ini meroketkan namanya. “SD saja aku tak tamat. Sepakbola adalah satu-satunya yang aku tahu. Target tahun ini adalah membuat namaku dibicarakan.”

Manaus punya sembilan klub profesional. Hanya dua di antaranya—bermain di divisi kedua liga nasional—yang mampu membayar pemain lebih dari ketentuan upah minimal. Sisanya hidup segan mati tak mau.

*Disadur tanpa izin dari Naked Futebol Bab XI dari "Futebol The Brazilian Way of Life" (Bloomsbury 2014). 

Related Posts: