Presiden Nixon sedang kepayahan, dengkulnya linu, diterjang tak henti-henti oleh skandal Watergate, sementara sebuah kapal luar angkasa sedang meluncur menuju Jupiter. Di Washington, seorang letnan angkatan darat yang membunuh seratus penduduk sipil di Vietnam diputuskan tidak bersalah; toh mereka tak lebih dari seratus, cuma orang sipil, Vietnam pula.
Novelis Miguel Angel Asturias dan Par Lakgervist terbaring sekarat, demikian pula dengan pelukis David Alfaro Siqueiros. Dan Jenderal Peron, yang menancapkan jejaknya pada sejarah Argentina, tergolek di ranjang persemayamannya. Pun, sekarat adalah Duke Ellington, sang raja jazz. Putri si raja koran, Patricia Hearst, yang jatuh cinta dengan penculiknya sendiri, merampok bank dan mengumumkan bahwa bapaknya adalah babi borjuis. Sumber informasi yang bisa dipercaya di Miami mengumumkan pasti jatuhnya Fidel Castro, tinggal tunggu jamnya saja.
Kediktatoran Yunani berantakan, demikian pula di Portugal, di mana Revolusi Anyelir berjingkrak mengentakkan lagu “Grandola, vila morena.” Kediktatoran Augusto Pinochet menguatkan cengkeramannya atas Chile, sementara di Spanyol Fancisco Franco sekarat di Rumah Sakit Francisco Franco, digerogoti oleh kuasa dan usia.
Dalam sebuah plebisit yang bersejarah, penduduk Italia melakukan pemungutan suara untuk mengesahkan perceraian, yang kelihatannya lebih baik tinimbang pisau, racun, atau cara-cara lain yang biasanya disukai tradisi untuk menyelesaikan persoalan rumahtangga. Dalam pemungutan suara yang tak kalah bersejarahnya, para pemimpin dunia sepakbola memilih Joao Havelange sebagai Presiden FIFA. Sementara di Swiss Havelange mengusir Stanley Rous yang berwibawa itu, di Jerman Piala Dunia kesepuluh sedang dilangsungkan.
Piala dalam bentuk baru dipertunjukkan. Meskipun lebih jelek dibanding Rimet Cup, piala itu begitu didambakan oleh sembilan tim dari Benua Eropa dan lima tim dari Benua Amerika, plus Australia dan Zaire. Uni Soviet kehilangan tempat di kejuaraan karena mereka menolak memainkan pertandingan kualifikasi di Stadion Nasional Chile, sebab tak lama berselang tempat tersebut jadi kamp konsentrasi dan jadi tempat eksekusi oleh regu tembak. Maka, di stadion tersebut skuad Chile memainkan pertandingan paling memprihatinkan dalam sejarah sepakbola: mereka bermain tanpa lawan, mencetak beberapa gol di gawang yang tak dijaga, dan disoraki oleh penonton. Saat Piala Dunia, Chile tidak memenangkan satu pertandingan pun.
Kejutan: para pemain Belanda membawa istri atau pacar mereka ke Jerman dan tinggal bersama mereka selama turnamen. Itu adalah pertama kalinya terjadi. Kujutan lain: para pemain Belanda seperti memiliki sayap di kakinya dan mencapai final tanpa terkalahkan, dengan empatbelas gol memasukkan dan hanya satu kemasukan; itu pun karena sial belaka, sebab yang memasukkannya adalah salah satu dari mereka sendiri. Piala Dunia ’74 berkisar di sekitar “Weker Oranye”, hasil karya luar biasa dari Cruyff, Neeskens, Rensenbrink, Krol, dan pemain Belanda lain yang tak memiliki pusar, yang dikendalikan oleh pelatih Rinus Michels.
Pada awal pertandingan final, Cruyff bertukar warna dengan Beckenbauer. Dan kemudian kejutan ketiga terjadi: “Der Kaizer” dan timnya menusuk balon pesta milik Belanda. Maier yang menghadang segalanya, Muller yang menjebol segalanya, dan Breitner yang memecahkan segalanya, menyiramkan dua timba air dingin ke kepala sang favorit, dan melawan segala ketidakmungkinan. Jerman menang 2-1. Sejarah Piala Dunia ’54 di Swiss, saat Jerman mengalah Hungaria yang digdaya, kembali terulang.
Di belakang Jerman dan Belanda adalah Polandia. Di tempat keempat ada Brazil, yang tak sanggup melakukan apa yang sebelumnya bisa mereka lakukan. Pemain Polandia, Lato, berujung menjadi pemimpin daftar pencetak gol dengan tujuh gol, diikuti oleh pemain Polandia lain, Szarmach, dan pemain Belanda Neeskens dengan lima gol.
*diterjemahkan dari Soccer in Sun and Shadow; trans. Mark Fried; Verso, 2003.
0 Response to "Piala Dunia a la Galeano X: Piala Dunia 1974*"
Posting Komentar