Wajah Jermain Defoe tertutup kaos putih Spurs-nya. Ia tak sedang merayakan gol seperti biasa, tapi menyeka air matanya. Masih dengan kostum sama, di belakangnya, Luca Modric tepekur lunglai. Tangan menumpu lutut, wajahnya kosong menatap kejauhan. Karena pertandingan sedang imbang, dan Spurs baru saja menyamakan kedudukan, bisa dipastikan ia tak sedang menyesali gol keenam yang masuk ke gawangnya. Sedikit di samping, dengan seragam cadangan Bolton, Tuncay Sanli berjongkok dengan tangan menengadah—mengingatkan kepada seorang Muslim Jawa yang tahlilan di samping kuburan. Ia belum bermain sore itu, tapi yang pasti ia tak sedang berdoa agar pelatih menurunkannya.
Mereka bertiga, dengan ras, agama, dan negara-bangsa yang berbeda, detik itu, sedang memikirkan satu hal yang sama: nyawa Fabrice Muamba—teman sejawat mereka yang tengah berhenti detak jantungnya.
Gambar yang diambil Clive Rose itu (di mana tangis Defoe, tatapan kosong Modric, dan doa Tuncay dapat ditemukan dalam satu frame), tak diragukan, adalah salah satu gambar paling menyedihkan yang pernah diambil dari arena sepakbola. Namun, bersamaan dengan itu, gambar itu juga meruapkan keindahan yang mengharukan. (“Oleh-oleh terindah dalam sepakbola,” begitu kurang lebih kalimat kolumnis Guardian, Marina Hyde, tentang peristiwa yang sama.) Gambar itu menunjukkan, apa yang selama ini dilabeli manusia sebagai hal-hal yang lebih berharga dari hidup dan mati—entah itu warna kulit, kepercayaan, identitas kebangsaan, juga sepakbola—ternyata tak pernah lebih berharga bahkan dari selembar nyawa manusia. Ya, tak lebih berharga.
Melihat bagaimana seisi White Hart Lane, dengan kostum dan syal yang berbeda, bertangisan dan bersama-sama menyanyikan nama Muamba, wasit Howard Webb yang memilih menghentikan pertandingan, juga pelatih Owen Coyle dan kapten tim Kevin Davies yang tanpa pikir panjang memilih meninggalkan lapangan dan menyertai Muamba ke rumah sakit, maka kutipan masyhur bahwa “sepakbola lebih dari urusan hidup dan mati” milik pelatih legendaris Bill Shankly, pastilah salah—paling tidak untuk kali ini. Yang benar justru yang dikatakan Jose Mourinho, pelatih yang selama ini dianggap menghalalkan segala acara untuk merengkuh juara. Saat Petr Cech tergeletak karena mengalami retak tengkorak, sementara tim medis Stamford Bridge bertindak kurang cekatan, Mou membentak: “Ini (nyawa Cech) jauh lebih penting dari sepakbola!”
***
Muamba yang muda dan malang. Tapi, bagaimanapun, dia beruntung. Ia ada di sebuah kompetisi sepakbola yang keberadabannya jadi acuan. Ia, jelas sekali, tak semalang empat suporter Persebaya.
Sepekan sebelum Muamba tumbang di rumput White Hart Lane, empat (kabar lain menyebutkan lima) suporter Persebaya ditemukan tak bernyawa di pinggir rel kereta jalur Surabaya-Bojonegoro dengan penyebab yang tak cukup jelas. Mereka terjatuh dari atap gerbong kereta, begitu polisi menyatakan. Pertandingan Persibo vs Persebaya ditandai dengan pita hitam di lengan pemain dan diawali dengan mengheningkan cipta. Sebuah Tim Pencari Fakta dikabarkan dibentuk untuk mengetahui duduk persoalan sesungguhnya.
Tepat saat para dokter di London Chest Hospital sedang berusaha keras memulihkan detak jantung Muamba, detak jantung para pengurus PSSI yang berkongres di Palangkaraya mungkin justru tengah terpacu. Mereka pasti tengah menunggu, apa yang akan ditimpakan FIFA terhadap mereka dari Zurich sana, sekaligus melirik-lirik trik-trik apalagi yang akan dilancarkan Mattalitti dan KPSI-nya dari Jakarta. Dalam keadaan begitu, tanpa maksud berburuk sangka, rasa-rasanya akan berlebihan jika berharap empat nyawa Bonek yang telah tiada akan dianggap cukup penting untuk masuk agenda sidang mereka. (KLB KPSI? “Apa urusannya dengan kami?” paling begitu kilah mereka.) Meski begitu, sebagaimana para keluarga, saya turut berharap, polisi atau institusi apapun yang menangani kasus ini, termasuk Tim Pencari Fakta bentukan PSSI (jika itu ada), paling tidak akan memberi kejelasan lebih apa sebab kematian mereka.
Tapi, saya tak akan berharap lebih dari itu. Misalnya, mengharapkan TPF (sekali lagi, jika itu benar-benar ada) memberi rekomendasi komprehensif kepada PSSI, Polri, KNKT, MA, sekaligus DPR, untuk secara bersama menyusun sistem yang mencegah seminimal mungkin jatuhnya korban di setiap pertandingan sepakbola di Indonesia—sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Taylor Report di persepakbolaan Inggris pasca-Tragedi Hillsborough yang menewaskan 96 suporter Liverpool.
Namun, sejujurnya, saya bahkan tak akan terkejut jika pada akhirnya, kematian para Bonek itu hanya akan jadi deretan angka saja, mengikuti Bonek-Bonek yang tewas mendahului mereka. Kita toh telah terbiasa menyatakan prihatin dan kemudian dengan gampang melupakannya. Ya, saya bicara tentang dua suporter yang tewas dalam final sepakbola Sea Games 2011, seorang suporter Persela yang tewas setelah disiksa beberapa waktu sebelumnya, seorang suporter Persik yang jatuh dari stadion beberapa musim lalu, 6 suporter PSIS Semarang yang terlindas kereta jelang final Liga Indonesia 1999, dan mungkin ratusan suporter lain yang mati terlupakan.
***
“Kematian di Jawa bukanlah hal yang sesedih di dunia Barat,” begitu celetuk antropolog Andre Moller dalam bukunya, Ramadan di Jawa.
Tampaknya ia benar. Dan mungkin, dengan alasan yang salah, itulah yang membedakan nasib Muamba dengan para suporter di Indonesia.
0 Response to "Muamba yang Kolaps dan Suporter Indonesia yang Mati"
Posting Komentar