Oleh Darmanto Simaepa
Padang: Kontrol Lapangan, Kontrol Pendapatan
Klub sepakbola pertama, Padangsche Voetbal Club, dibentuk orang Belanda tahun 1901. Tak lama kemudian, sepakbola menjadi permainan populer. Dalam 3 tahun, enam tim baru lahir. Kala itu permainan menggunakan rago, bola yang lebih kecil dan ringan--kadang campuran rotan dan plastik. Politik segregasi kewarganegaraan kolonial membuat klub sepakbola dibentuk menurut garis ras Belanda (Eropa), China (Non-Eropa), dan Minangkabau (Pribumi). Meskipun demikian, mereka bisa bermain bersama di lapangan yang sama. Tahun 1905, tujuh klub membentuk WSVB (West Sumatra Voetbal Bond), asosiasi sepakbola yang diberi wewenang menggelar kompetisi lokal di Plein van Rome—sekarang Lapangan Imam Bonjol di dekat pasar Raya Padang.
WSVB membuat pagar bambu dan menarik uang masuk bagi penonton. Mereka membayar penjaga untuk menghalau penonton yang nekat menerobos. Kompetisi ini berhenti tahun 1915 karena dua hal. Pemain-pemain klub adalah serdadu, anak kapal, pegawai kolonial, dan buruh perusahaan yang sering berpindah tugas. Selain itu, kekerasan sering muncul di pertandingan big match. Setelah vakum beberapa tahun, kompetisi diselenggarakan kembali oleh WSVB pada tahun 1921. Hanya saja pengurus WSVB yang baru semua orang Belanda. WSVB menyediakan kereta bagi penonton dari luar kereta untuk menghindari kerusuhan. Mereka juga menarik uang karcis penonton berdasar kategori etnis: 10 sen untuk pribumi, 20 sen untuk non-native, dan 50 sen untuk kursi yang hampir semuanya diduduki orang Belanda. WSVB memonopoli uang dan pengaturan pertandingan dan ini membuat klub pribumi memilih keluar dan membentuk asosiasi sepakbola sendiri SVM (Sportvereeniging Minangkabau). Surat kabar Sumatra Bode mengecam tindakan ini dan menyatakan dua asosiasi sepakbola dalam satu kota sangat menggelikan.
Untuk menggelar kompetisi dan meraih uang dari sepakbola, tiap asosiasi harus punya akses terhadap lapangan. SVM menyewa dua lapangan yang berada di bawah kontrol walikota. Selain dari gedung bioskop, penyewaan lapangan adalah pendapatan terbanyak dari pajak untuk Walikota. Akan tetapi, para pemain jarang dibayar dan mereka mengambil semua keuntungan dari sistem monopoli penyelenggaraan pertandingan. Beberapa klub lokal marah terhadap asosiasi dan memisahkan diri membentuk PSV (Padang Sport Vereniging). PSV menyelenggarakan pertandingan di lapangan yang lebih murah meskipun tidak begitu bagus. Hal ini meningkatkan ketegangan antar asosiasi. Jika klub-klub PSV bermain melawan tim dari Jawa, SVM juga mengundang tim Jawa lain untuk bertanding di jam yang sama dengan harga karcis yang lebih murah. Salah satu asosiasi mengundang tim dari Singapura dan Penang. Meskipun harga karcis masuk mahal, pertandingan dihadiri oleh ribuan penonton. Rivalitas antar asosiasi ini berlangsung selama 15 tahun. Setelah sempat akur beberapa saat dibawah PSV tahun 1935, beberapa klub menyatakan keluar dan bertanding diluar urusan PSV.
Kebuntuan ini bisa dipecahkan setelah pengurus NIVU (Nederlandsch Indische Voetbal Unie), perserikatan sepakbola Indis, Th. van der Lee, merestui pendirian VPO (Voetbalbond Padang Omstreken), asosiasi sepakbola yang resmi berafiliasi dengan NIVU. Van der Lee memiliki jaringan internasional dengan FIFA dan sebagai pengurus NIVU, dia bisa menggunakan hirarki otoritas nasional dan global untuk mengontrol asosiasi sepakbila lokal. Sejak saat itu, NIVU mengontrol uang karcis, pajak pertandingan, dan uang dari bandar judi.
Sumber:
Colombijn. F. 2000. The Politics of Indonesia Football. Archipel, 59: 175-179.
PSSI. PSSI 25 tahun 1930-1955. Jakarta: Visser, 1955.
PSSI. PSSI 30 tahun 1930-1960, Jakarta: PSSI, 1960.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Tiga Kisah Asosiasi #1"
Posting Komentar