Oleh Darmanto Simaepa
Setelah mencium piala Carling, Steven Gerard mengatakan, target besar musim ini adalah masuk liga Champion. Ia menekankan rumah yang layak bagi tim sebesar Liverpool adalah liga yang dianggap paling kompetitif itu. Pun begitu dengan Arsenal. Setelah hampir mustahil mengejar duo Manchester dan membalikkan skor melawan Milan, Wenger menyebut pertaruhannya adalah posisi empat besar.
Kenapa Champions begitu berarti? Para determinis akan menyebut uang. Alasan ini jelas masuk akal. Al Jazeera dan Sky Sport—dan itu berarti para kelas menengah di penjuru dunia yang mampu membayar TV langganan dan para pengiklan seperti Djarum atau Gudang Garam—rela membayar siaran langsung dengan uang yang entah jumlah nolnya berapa. Match fee pertandingan liga Champions 13 kali lebih besar dari liga domestik, dan jangan sekali-kali dibandingkan dengan hadiah juara Carling atau FA.
Selain itu Liga Champions dianggap paling kompetitif. Para pemain terbaik dunia dalam 20 tahun terakhir bermain di liga ini—kecuali Ronaldo Nazario (1997) yang bermain di piala Winners untuk Barca. Tim-tim yang dianggap menjadi terbaik dunia menjadi juaranya—Liverpool, Juve dan Milan di 1980an, Barca, Madrid atau MU di 1990an, dan Barca lagi dalam tahun-tahun terakhir. Kecuali Wenger, coba hitung siapa pelatih papan atas yang belum menjuarainya?
Mungkin pandangan ini bias Eropa—dan para sarjana kritis akan menganggap ini bisa terjadi hanya karena siklus kapitalisme dan surplus ekonomi yang memeras negara dunia ketiga. Mungkin. Ini juga abai terhadap heterogenitas kompetisi di penjuru dunia. OK, saya bisa terima. Tapi, maaf bagi para pecinta sepakbola yang terlalu dalam mengapresiasi tim Suda-Mericana atau klub-klub Afrika, dalam urusan industri sepakbola, kita tidak bisa berpaling dari benua biru ini. Baiklah, dalam kejuaraan antar klub dunia, tim-tim Eropa tidak selalu menang melawan klub-klub Amerika Selatan. Tapi apa yang telah dilakukan oleh Barca terhadap Santos tempo hari menunjukkan ada dimana posisi industri dan inovasi taktik Eropa diantara tempat lain di dunia.
Champion menjadi barometer keberhasilan klub karena arus perputaran uang, memang, berputar kencang. Namun, menyatakan hanya uang dan bisnis yang menentukan segalanya, itu tidak menggambarkan keseluruhan cerita. Uang dan prestasi adalah sisi koin yang sama. Akan menjadi reduksi gila jika satu sisi mendeterminasi yang lain.
Misalnya, jika uang menjadi masalah, saya pikir orang Lamongan tidak akan membayar tiket untuk sebuah liga yang dimainkan dalam sebuah stadion yang lebih mirip kandang sapi di Surajaya. Atau, penduduk Ngraho di sepanjang Ngawi-Bojonegoro akan protes karena pajaknya digunakan membayar mahal pemain bon-bonan dan membangun stadion dari pada memperbaiki jalan yang berlumpur itu.
Saya tidak tertarik mendiskusikan pertanyaan telur dan ayam antara sepakbola dan uang. Mungkin lebih baik melektakkannya dalam sebuah dialektika dalam sebuah cerita yang bersifat historis. Kisah liga champions dan tim-tim negara akan sedikit membuka kisah gerak sejarah industri sekaligus inovasi dalam sepakbola.
*****
Secara historis, kompetisi modern sepakbola lahir dari revolusi industri di Inggris. Para aktornya adalah kelas buruh yang membutuhkan hiburan akhir pekan dalam sebuah hari-hari yang rampat oleh pekerjaan yang sangat terjadwal. Meskipun berkembang pesat pada awal abad 20-an, industri belum mengglobalkan sepakbola. Tentu saja lalu lintas jual beli pemain telah melewati batas-batas negara, tapi kompetisi antar negara—dalam bentuk klub maupun negara belum menemukan momentumnya. Resesi, krisis kapitalisme global tahun 1930an dan biaya-biaya perang membuat sepakbola tidak menjadi prioritas.
Perang-perang, terbentuknya nation-state, aliansi-aliansi antar negara dan blok-bloknya, serta konfigurasi geopolitik global menjadi latar bagi kebutuhan piala dunia. Sepakbola, dalam takaran tertentu menjadi kendaraan nasionalisme. Pertandingan di piala dunia Italia dan Uruguay sangat politis dan secara langsung terhubung dengan rejim-rejim kekuasaan.
Justru hubungan yang lebih erat dengan kekuasaan dan politik menunjukkan sisi paradok sepakbola. Pada masa ini memenangkan piala dunia sebangun dengan memberi kemenangan atas politik. Karena kejuaraan-kejuaraan negara menjadi penting, inovasi taktik sepakbola modern lahir. Sejarah umpan panjang di Inggris, Jerman yang deterministik, lahirnya playmaker dan seniman lapangan tengah dari Swiss dan Austria, serta embrio seni defensif Italia menggambarkan konteks historis dimana taktik ini ditemukan, diciptakan dan diperbaharui.
Karena tidak terlibat dalam persekutuan penyelenggaraan piala dunia, pada masa transisi perang dunia pertama dan kedua, tim kreatif seperti Austria dan Swiss kurang begitu bergema.
Namun, ada paradoks lain pasca perang. Permainan kreatif dan inovatif, anehnya lahir dari negara-negara yang tidak terlibat dalam perang. Jonathan Wilson dalam kitab sucinya, Inverting the Pyramids menyebutkan gejala ini sebagai pengaruh sedikitnya tekanan dari rejim yang berkuasa untuk mengejar faktor kemenangan sebagai satu-satunya alasan. Hungaria memiliki Magical Magyar dan Brazil melahirkan Jogo Bonito. Keduanya bermain ofensif dengan skema 4-2-4 di dua edisi piala dunia (1954 dan 1958), yang dari jumlah gol dan atraksinya, pasti sangat lezat dinikmati.
Selain faktor geopolitik dan hubungannya situasi pasca perang, zaman itu, pemain nasional lebih banyak berkutat di kompetisi domestik. Para pelatih memiliki waktu bersama untuk membangun tim dan menciptakan strategi.
Juara piala dunia adalah tim yang bermain atraktif dan inovatif. Hampir semua pemain Brazil bermain di liga semi amatir. Para pemain Prancis, kecuali Raymond Kopa yang bermain di Madrid, punya banyak waktu untuk berdiskusi tentang strategi di Swedia. Sebagian besar tulang punggung tim nasional biasanya bermain dalam satu klub. Misalnya saja tim Hungaria pada dasarnya adalah bayangan dari klub Honved.
Negara-negara yang pemainnya melanglang buana biasanya tidak terdengar, meskipun materi pemainnya luar biasa. Argentina punya Stefano dan Rattin, tapi mereka lebih terkenal karena sikap kebinatangannya di Wembley 1966. Setelah Puskas dkk. patah hati tahun 1954, para pemain lainnya tersebar ke klub-klub dan sejarah sepakbola Hungaria berbalik arah.
Hingga tahun 1970an, inovasi sepakbola masih berada dalam rahim kebangsaan. Brazil konon memiliki tim terbaik tahun 1970—meskipun tidak jelas apa yang dimainkannya. Belanda memiliki total voetballnya akhir 1960-an dan awal 1970-an. Di masa-masa itu industri sepakbola sedang mengembang di horison. Klub-klub mulai mengambil posisi. Para pemain terbaik mulai diincar. Tele Santana dan tim terbaik Brazil yang pernah ada—ya, jauh lebih jogo bonito dari timnya Pele—berusaha mengembalikan inovasi sepakbola. Namun, seni saja, dalam sepakbola mutakhir, tidak pernah cukup menaklukan dunia!
Sementara, diujung cakrawala, industri sepakbola sedang meraih momentumnya....
*****
Industri sepakbola berkembang 1970an, terutama, karena pulihnya ekonomi Eropa pasca perang dan masuknya siaran televisi. Kompetisi domestik kian penting dan klub-klub berinvestasi membeli pemain mahal. Kompetisi ini digulirkan secara teratur dengan sistem pertandingan terjadwal. Sepakbola menjadi profesi dan pemainnya menjadi pekerja. Efek kompetitif ini menghasilkan inovasi-inovasi teknik dan taktik baru. Ketatnya kompetisi dan pertandingan yang lebih bisa diamati lewat rekaman video dan televisi membuat para pelatih harus memeras otak untuk mencari inovasi-inovasi baru. Formulasi-formulasi strategi yang lebih bertahan mulai dikembangkan Helenio Herera dengan Intermilan. Dan Ajax menemukan embrio total voetball.
Tidak cukup dengan kompetisi dalam negeri, UEFA mencari inovasi penyelenggaraan liga Champions, Liga UEFA, dan piala Winners. Tujuan pertama mungkin menarik keuntungan dengan menjangkau pasar yang lebih luas. Tapi kisahnya lebih dari sekadar fulus semata. Sistem penyisihan (setengah kompetisi atau kompetisi) dan knock out dievaluasi secara berkala. Hal ini membuat kompetisi menjadi lebih kompetitif, dan pada gilirannya menarik minat konsumen untuk membeli tiket terusan. Siaran-siaran televisi menyediakan uang secara teratur bagi kas klub. Investasi ini kemudian diputar untuk membangun stadion baru dan pemain-pemain berkelas.
Siaran televisi secara langsung tidak hanya mengglobalkan sepakbola tetapi juga merangsang setiap pelatih dan klub memikirkan pendekatan baru untuk menaklukannya. Klub menjadi laboratorium penciptaan taktik dan inovasi. Para pemain dan pelatih bisa bekerja 4-5 hari atau 48 jam setiap pekan untuk menyiapkan dan menyempurnakan timnya. Dalam sebuah industri yang bisa memperbaharui diri—biasanya muncul dari produksi kapitalis—waktu, ruang, dan emosi diatur untuk meraih sebuah objektif tertentu.
Tim-tim terbaik yang pernah ada muncul dari latar ini. Liverpool, Juventus dan Milan muncul di akhir 1970an dan akhir 1980an, serta kemudian Barca awal 1990an. Salah satu ciri tim-tim terbaik ini adalah dibangun dalam waktu yang panjang dan skuadnya bermain bersama dalam periode waktu tertentu. Bob Paisley membutuhkan 5 tahun dengan tim yang sama sebelum menaklukan Eropa. Brian Clough dengan Notingham Forest, untuk meraih sukses, harus bekerja selama 14 tahun.
Sistem kebersamaan mungkin berubah dalam tahun-tahun terakhir—kecuali MU tentu saja. Namun poin pentingnya, tim-tim terbaik berhasil diciptakan oleh industri yang kompetitif dan investasi kapital. Jika kita merujuk bagaimana sepakbola harus diselenggarakan dan standar permainan ditentukan kita tidak bisa berpaling dari liga Eropa.
Tim-tim terbaik yang membawa inovasi taktik, hampir semuanya memenangkan liga Champions. Santos telah menjadi masa lalu, sementara Sao Paoulo hebat karena talenta individual pemainnya. Yang kita bicarakan adalah Corto Strettonya Milan, Barca dibawah Cruijff, dan paling akhir, Barca arahan Guardiola.
Jika kita neg dengan fakta sejarah, kita bisa meminta statistik untuk menjelaskannya. Opta menunjukkan bahwa jumlah tendangan ke gawang, umpan dan akurasinya, gol pertandingan terbuka, menit bola dimainkan dan penguasaan bola di liga Champions lebih tinggi dari liga manapun di Eropa. Dari analisa rekaman video, fakta ini telah muncul sejak 1984. Tidak hanya memberikan kesempatan seni menyerang, jumlah tekel dan intersep—memotong atau mengantisipasi aliran arah bola—di liga Champion juga lebih tinggi. Di sebutkan juga, bahwa tim yang menang, secara konsisten adalah tim yang memiliki penguasaan bola lebih unggul dan mengumpan jauh lebih banyak.
Dari segi teknik, tempo permainan lebih tinggi dan taktik dimainkan secara cerdik dan variatif di liga Champion. Guardiola selalu berksperimen dengan permutasi para pemainnya. Ini menjelaskan bagaimana tim pemenang dan kuat hasil olah gagasan Mourinho atau MU yang merajalela di Inggris masih terlihat primitif. Milan musim ini paling sering mengganti para pemain tengahnya untuk variasi taktik menghadapi tim yang berbeda. Dalam pertandingan melawan Barca yang belum pernah bisa diimajinasikan dunia, Allegri hampir menyentuh level yang dicapai Guardiola.
Sementara manajer di klub terus berpikir seperti alkemis, para pelatih tim nasional lebih sering berpikir seperti pengemis. Mereka sering disalahkan karena membuat pemain cedera. Mereka harus dikasihani dan minta bantuan FIFA ketika harus memanggil para pemainnya. Lamere harus dipecat karena gagal membawa Prancis juara— apalagi kalau gara-garanya Zidane tidak fit setelah musim yang hebat di Madrid. Hal ini menjelaskan kenapa Wenger tidak tertarik menangani Inggris.
Para pelatih nasional hanya punya waktu sangat sempit dalam menyiapkan tim di turnamen besar. Mereka hanya bisa berkumpul selama setahun maksimal 10 kali—itupun paling banter 2-3 hari sekali kumpul. Mereka tidak bisa meracik taktik yang inovatif karena para pemainnya, selain tidak mudah menerapkan ide-idenya, juga sudah terpola dalam permainan di level klub. Tidak Maradona, Bielsa, Batista atau Sabella, semua tidak bisa membuat Messi menemukan rumahnya dan bahagia. Para pemain disekeliling Messi telah dibongkar pasang, tapi hasilnya sama.
Jadi, apa yang terjadi dengan Spanyol belakangan menunjukkan dua gejala. Gejala pertama, kehebatan tim ini adalah ulangan cerita lama yang dimulai Santos dan Brazil, Honved dan Hungaria, Ajax dan Belanda, serta Juventus dan Italia. Enam-tujuh pemain inti Spanyol adalah punggawa Barca, dan 3 sisanya sudah jatah Ramos, Alonso dan Casillas dan para pemain seperti David Silva atau Mata, hanya akan jadi cadangan saja. Para pemain itu telah bermain bersama dengan taktik yang tampaknya sama—tapi sangat dinamis—dari klub-klub yang memang terbaik di level dunia.
Namun kisah Spanyol juga memberi gejala betapa tim nasional lebih memilih untuk bertahan dan tidak mengembangkan taktik yang brilian. Karena tidak punya waktu yang intens, para pelatih tim nasional memilih bermain aman, bertahan dan menunggu lawan menyerang. Selain bahwa para pemainnya bergerak dengan sisa tenaga yang diperas di akhir pekan selama 10 bulan, para pelatih juga harus mengamankan kursinya dari pemecatan.
Itulah mengapa del Bosque sangat berhati-hati mengarahkan para pemainnya. Menyaksikan bola berputar ke kiri dan ke kanan di sekitar Xavi, mata kita seperti disuguhi menu telor rebus dan nasi putih setiap hari. Disisi lain, karena ketakutan yang sama, para lawannya menumpuk 6 pemain di tengah untuk memaksa mereka bermain seri atau setidaknya mencuri gol di menit-menit akhir pertandingan.
Hal ini menjelaskan kenapa jumlah gol di piala dunia semakin sedikit dan tim-tim memilih bermain negatif. Spanyol yang dianggap tim terbaik dalam turnamen dunia dan Eropa, lebih sering bermain membosankan. Ingat, mereka adalah tim juara yang mencetak gol paling sedikit dalam sejarah. Taktik bermain aman, miskinnya inovasi strategi, dan keletihan membuat para pemain terbaik seperti Messi dan Ronaldo sulit menjadi protagonista bagi negaranya. Dalam situasi kontemporer,diantara sekian tim besar, mungkin hanya Jerman yang sedikit punya keberanian hati dan inovasi.
******
Menjadi jelas kenapa Wenger dan Gerard sangat menginginkan timnya masuk ke Champions. Bagi para maestro seperti Wenger atau pemain sekaliber Gerard, kompetisi ini menyediakan sisi ganda sepakbola: keindahan permainan dan bisnis menggiurkan. Uang mungkin menjadi isu utama—tapi ini tidak segalanya. Wenger tetap tidak mau melatih Inggris meski digaji dua kali lebih besar dengan kerja yang lebih sedikit. Gerard menyatakan piala Carling memang penting, tapi tempat yang diinginkannya adalah final Istanbul. Seniman bola terbaik dan pelatih inovatif membutuhkan panggung yang besar untuk mewujudkan egonya. Dan liga Champions, lebih dari liga manapun—bahkan mungkin piala dunia—yang menyediakannya.....
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Uang, Kompetisi, dan Inovasi"
Posting Komentar