Oleh Nurcholis Kartiman
------
Judul: The Fandi Ahmad Story,
Penulis: Wilfred Yeo.
Tahun: 1993
Penerbit: Brit Aspen Pub, Singapore.
-----
Tahun 1996 Fandi Ahmad bertemu kembali dengan kawan lamanya, Malena Maroof, dan memintanya menjadi manajernya. Buku berjudul The Fandy Ahmad Story merupakan salah satu hasil awal dari kerjasama itu. Wilfred Yeo, seorang wartawan yang mewawancarai fandi ketika masih belia kemudian ditunjuk menjadi penulisnya.
Fandi lahir dari keluarga yang miskin. Saking miskinnya dia harus sering mendengar seruan ibunya, Semiah Ismail, agar ayahnya membeli pesawat televisi. Ahmad Wartam bukannya tidak bekerja keras. Selain menjadi pegawai rumah sakit Woodbridge Hospital, ia juga merupakan penjaga gawang tim nasional sepakbola Singapura, termasuk adiknya, Abu Sujak. Meski demikian, kedua hal tersebut tidak menolongnya dengan kehidupan ekonomi yang baik.
Meski bukan kepala keluarga yang mampu memberi sedikit kemewahan, Ahmad Wartam adalah pahlawan Fandi. Fandi masih mengingat kebanggannya berjalan di belakang sang ayah, dengan menggantungkan sepasang sepatu, menuju lapangan latihan. Sembari duduk di belakang gawang, Fandi berujar dalam hati, “Bagaimana rasanya bermain untuk tim nasional?”. Ia mulai bermain sepakbola dengan menjadi penjaga gawang, seperti ayahnya. Tubuhnya yang kecil kemudian mendorong pelatihnya di SSB Kaki Bukit mendorongnya sebagai pemain tengah.
Kesempatan untuk bermain bola tim nasional Singapura datang ketika Fandi berumur 16 tahun. Selepas membawa tim masa belianya menjuarai Lion City Cup, ia dipanggil mengikuti tur tim nasional Singapura dalam latih tanding ke Rusia. Fenomena Fandi tak berhenti di Singapura. Selepas pertandingan persahabatan melawan Boca Juniors, dimana mencetak satu gol meski kalah 2-1, Fandi diundang mengikuti uji coba selema tiga minggu di Ajax Amsterdam, diakhiri dengan tawaran kontrak 60 ribu dolar Amerika. Tapi bukan Ajax yang dipilih Fandi. Adalah Niac Mitra yang datang dengan tawaran fantastis, 75 ribu dola Amerika ditambah rumah tinggal dan tiket Surabaya-Singapura semaunya. Tawaran yang besar dan mengikuti pilihan keluarganya, Fandi bergabung dengan Niac Mitra. Di Niac, Fandi tidak sendirian, terdapat kompatriotnya di timnas Singapura, yaitu penjaga gawang David Lee. Penolakannya terhadap Ajax di kemudian hari disesali Fandi, “Saya tak pernah tahu apa jadinya jika saya bermain untuk tim sebesar mereka”.
Mempersembahkan gelar juara Galatama tahun 1982 serta satu asist dan satu gol dalam pertandingan persahabatan melawan Arsenal, menang 2-0, membuat sukacita warga Surabaya terhadap duo Singapura itu meluap-luap. Bahkan keduanya dianugerahi sebagai warga kehormatan Surabaya, bersanding dengan mantan Gubernur Jawa Timur tahun 1967-1976, Muhammad Nur. Pelarangan pemain asing di musim berikutnya, keberadaan duo Singapura hanya bertahan semusim.
Musim berikutnya Fandi dikontrak FC Groningenselama dua musim. Menjalani musim pertama yang baik, termasuk mencetak gol dan asist ke gawang Inter Milan, tetapi tidak pada musim kedua. Meski masih berharap ada tawaran dari klub Eropa, Fandi kembali ke Asia dan bermain di Malaysia Cup. Serangkaian prestasinya yang baik membuat datang tawaran dari OFI Crete, sebuah klub liga Yunani. Ketakjelasan ITC membuat Fandi membatalkan kontrak dan membayar denda 30 ribu dolar. Dalam level internasional, meski mampu bermain impresif, Fandi Ahmad tidak pernah memberikan gelar apapun untuk Singapura.
***
Terdapat paling tidak tiga hal yang coba diungkap Wilfred Yeoh,soal kesusksesan yang identik dengan kekayaan, soal sikap terhadap fans, dan pengaruh Fandi. Dalam satu bagian ditulis bagaimana Fandi mengenang penggemarnya di Surabaya, “Mereka begitu miskin, sehingga tak mampu membeli sepatu dan jersey. Saya merelakan beberapa pasang sepatu dan jersey”. Trauma Fandi, dan mungkin juga keinginan penulisnya agar pembaca melihat Fandi sebagai jutawan olahraga, terhadap masa kecil yang miskin terbaca dalam buku ini. Alih-alih menceritakan suka duka Fandi dalam perjalanan karirnya, Yeo lebih banyak mengungkap sisi kehidupan yang menyenangkan.
Sebagai pahlawan nasional, Fandi kemudian dibanding-bandingkan dengan Maradona dan Pele, tentunya bukan dari sisi sepakbola. Sebelum pertandingan persahabatan Selangor FA melawan Boca Juniors, Fandi bertemu dengan Maradona dalam lift. Tidak membuang kesempatan, Fandi meminta tanda tangan Maradona. Alih-alih memberikan tanda tangan, Maradona malah bersikap tak acuh. Dendam terhadap Maradona, membuat Fandi menuruti setiap permintaan tanda tangan, karena itulah ia lebih baik. Pele dan Fandi, melalui sepakbola dapat bersahabat dengan orang-orang besar, tetapi hanya Fandi yang berani melarang ketua klub datang di malam pertandingan.
The Fandi Ahmad Story di tulis ketika Fandi menjadi sorotan utama di Singapura, karenanya kisah yang ditulis tentang dirinya akan lebih banyak mengungkap sisi manis hidupnya. Buku ini dengan tepat menggambarkan kekhawatiran Budiawan, dalam buku biografi Suryopranoto, Anak Bangsawan Bertukar Jalan (2006) bahwa godaan terbesar dalam menulis biografi adalah terjebak pada personifikasi nilai-nilai dan tak jarang menjadikan sang tokoh sebagai manusia setengah dewa.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Fandi Ahmad : Kisah si Anak Emas"
Posting Komentar