Oleh Darmanto Simaepa
Paris 1938: Kontrol Lapangan, Kontrol Perjuangan
Pada fase perkembangan awalnya di Indonesia di awal abad 20, sepakbola belum memiliki orientasi nasionalisme. Meskipun cepat menjadi olahraga rakyat, sepakbola masih dimainkan melalui garis segregasi etnis. Orang-orang Belanda dan Kaukasoid lain memainkan sepakbola bersama kelompoknya sendiri. Sepakbola dipertandingkan sebagai sarana nostalgis untuk memproyeksikan kehidupan Hindia Belanda dengan orientasi Eropa. Misalnya, sepakbola memiliki makna yang penting di hari peringatan ulang tahun ratu Belanda atau waktu sela dinas militer. Orientasi nostalgis itu ditandai pada saat pembukaan kompetisi dimana, para socialite (terutama perempuan)yang baru datang dari Belanda diundang untuk melakukan tendangan pembukaan.
Sementara, penduduk keturunan Tionghoa bersemangat mempertandingkan sepakbola sebagai strategi ekonomi disela-sela pertunjukan tonil keliling yang mereka miliki. Dua diantara yang terkenal adalah Oreon Opera miss Riboet dan Toneel Gezelschap Dardanella yang terkenal dikalangan rakyat karena klub sepakbolanya dibandingkan sandiwaranya. Sebagai hal yang baru, penduduk pribumi memainkannya sebagai sarana mencari uang di klub-klub Tionghoa. Namun sebentar saja, akibat dari kandungan intrinsiknya sebagai olahraga demokratis dan populer, sepakbola menjebol sekat-sekat rasial. Di bentuk awal 1915an, klub-klub sepakbola keturunan Tionghoa, yang dihimpun dalam HNVB (Hua Nan Voetbalbond) yang ada di Semarang, Surabaya, Solo dan Bandung merupakan cikal bakal klub-klub sepakbola modern di Indonesia. Klub-klub ini sudah memiliki orientasi kosmopolit dan profesional melalui pertandingan reguler antar kota.
Para pemain pribumi bermain bersama klub-klub Tionghoa sebagai pemain bayaran dan sesekali juga dibayar klub-klub Eropa pada pertandingan penting. Beberapa yang bagus dibayar untuk bermain dalam uji coba klub Belanda dengan klub luar negeri. Sepakbola menjadi kian populer karena disebarluaskan melalui pertunjukan oleh opera keliling. Hal ini memberi kesempatan pertaruhan judi yang massif di kota-kota kecil yang disinggahi pertunjukan sirkus dan sandiwara. Barangkali hanya dilapangan sepakbolalah para penjudi Belanda, China, Pribumi dan Arab bertaruh bersama dan membentuk relasi sosial yang tidak mungkin ditemukan dalam arena sosial lainnya.
Politik segregasi sosial menemukan ambivalensinya ketika berhadapan dengan sepakbola. Klub sepakbola memberi kesempatan untuk mengartikulasikan perasaan tertekan sebagai warga negara kelas tiga. Usaha-usaha menggunakan sepakbola sebagai kendaraan untuk meraih kesetaraan sebagai warga negara di mulai di Solo pada tahun 1922 meskipun belum menemukan gemanya hingga enam tahun berselang. Menjelang mendidihnya perasaan kebangsaan, yang kulminasinya ada pada peristiwa Sumpah Pemuda, perkumpulan anak-anak muda dan cendekia alias Jong-Jong di kota-kota besar di Jawa dan Sumatra mulai menggunakan sepakbola sebagai sarana integrasi dan perjuangan kemerdekaan.
Artikulasi Indonesia sebagai kesatuan secara eksplisit terlihat dalam penggunaan kata Indonesia dalam kepanjangan PSSI. Diantara lautan pergerakan partai-partai, Jong-Jong, serikat-serikat dan perkumpulan, asosiasi sepakbola adalah organisasi olahraga paling awal yang merujuk pada kemerdekaan dan perjuangan Indonesia merdeka sebagai tujuannya. Barangkali lintasan sejarah yang membentuknya ini memiliki korelasi dengan arus-arus nasionalisme dalam bentuknya yang lain sepanjang sejarah pertandingan tim nasional Indonesia.
Mukadimah Anggaran Dasar PSSI 1930 mencantumkan ‘..kelahiran PSSI..sebagai akibat tuntutan pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan. Konon, kelahiran PSSI berada dalam satu kontinum Sumpah Pemuda dalam suatu fase zaman bergerak pembentukan republik. Kongres pertama yang dilakukan di Yogyakarta 19 April 1930 berada dalam pengawasan intilejen Belanda. Pengurus Voetbal Bond dari Jakarta, Surabaya, Bandung, Surakarta, Magelang dll. dalam kongres itu, yang merupakan elit terdidik dan aktivis gerakan nasional secara eksplisit menggunakan sepakbola sebagai salah satu sarana pergerakan.
Kampanye sepakbola sebagai alat perjuangan bangsa termanifestasikan didalam kompetisi nasional. Pada awal 1930an, klub yang bertanding di liga yang diselenggarakan NIVB hanyalah klub Belanda dan klub yang bernaung di asosiasi sepakbola keturunan Tionghoa (HNVB). Akan tetapi para pemain HNVB kebanyakan adalah pemuda-pemuda pribumi yang mencari nafkah. Dalam pertandingan yang bersejarah dalam kompetisi Voetbalbond Batavia en Omstreken 1930, klub asosiasi Tionghoa yang secara penuh diperkuat pemain pribumi mengalahkan klub yang dihuni pemain Eropa, 5-2. Kemenangan ini menguatkan keyakinan PSSI untuk mengkonsolidasikan diri dan menggunakan sepakbola sebagai sarana politik kebudayaan nasional.
Momen lain yang menandai bangkitnya perlawanan terhadap dominasi NIVB adalah pertandingan tandingan di Tambak Sari Surabaya. Pada 13 Mei 1932, NIVB telah menjadwalkan pembukaan kompetisi di lapangan Thor. Namun SIVB, Cabang Surabaya dari HNVB, menggelar pertandingan pribumi vs Arab-Tionghoa. Pertandingan ini dihadiri tokoh-tokoh pemuda dan pergerakan di Surabaya dan sekitarnya dan dipimpin wasit perempuan Ny. Sadjono yang mengenakan sarung dan kebaya secara lengkap. NIVB kehilangan pemasukan 20,000 gulden.
Pengurus NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Unie) berusaha menghalangi gerakan PSSI. Pada tahun 1935, NIVB melarang klubnya bermain dengan para ‘inlander’ dalam pertandingan di Solo, akan tetapi usaha ini tidak berhasil karena para pemain ‘inlanders’ tetap bisa bermain dengan klub diluar asosiasi NIVB. Para pemain-pemain yang berkompetisi dibawah NIVB dilarang bermain dibawah PSSI. Pemain-pemain terbaik PSSI direkrut NIVB dan diberi bayaran tinggi. Lapangan-lapangan dikuasai NIVB dan memaksa PSSI bermain di sawah-sawah yang diberakan di musim kemarau. Cara ini efektif karena klub-klub PSSI harus bermain di desa-desa dimana penonton tidak punya uang, dan hanya menyisakan pemain medioker yang bermain dilapangan buruk. Selain itu, pendapatan PSSI merosot drastis.
Di dalam NIVB sendiri terjadi keretakan bagaimana mengatasi gerakan PSSI sehingga mereka pecah menjadi NIVU dan NIVB. NIVU berisi orang-orang yang kooperatif dengan PSSI. Para pemain di klub-klub yang berasosiasi dengan NIVU adalah pribumi yang bekerja di perusahaan Belanda atau China. Dapat dimengerti kalau NIVU lebih kooperatif karena tanpa kompetisi dengan PSSI, mereka akan kehilangan banyak pemain andalan. Mereka membuat gentlement agreement dengan PSSI tahun 1937 dengan membolehkan klub-klub anggota PSSI bermain dengan tim-tim asing yang diundang NIVU.
Di bulan Oktober 1937, NIVU mengundang tim kenamaan dari China, Nan Hwa untuk eksebisi di beberapa kota di Jawa. Tim-tim dibawah NIVU tidak mampu mengalahkan Nan Hwa, dan justru para pemain dadakan yang diambil dari klub-klub PSSI mampu menahannya 2-2. Momen keberhasilan ini terjadi pada saat kampanye piala dunia Prancis 1938 tersebar melalui kehadiran serdadu sekutu di Indonesia yang mulai mengantisipasi invasi Jepang menjelang piala dunia ke 2. Keberhasilan menahan Nan Hwa menyemangati para pemain pribumi. PSSI, terdorong oleh semangat nasionalisme, hendak membuat kampanye politik nasionalisme melalui sepakbola di tingkat dunia.
Dengan argumen bahwa tim dari klub dibawah asosiasinya mampu menahan Nan Hwa, PSSI bersikeras tim Hindia Belanda yang dikirim ke Paris adalah pemain asosiasinya. Argumentasi PSSI diperkuat dengan lampiran surat bukti laporan pertandingan sejak tahn 1933 dimana pemain-pemain pribumi lebih sering memenangkan pertandingan ketika berhadapan dengan klub-klub anggota asosiasi NIVB maupun NIVU. Sikap PSSI ini di tengarai sebagai bentuk gejala awal nasionalisme dalam sepakbola. PSSI tidak mau diatur oleh aturan NIVU. Pada saat yang sama PSSI mendorong terbentuknya asosiasi olahraga lain untuk bertanding di Olimpiade 1936 dengan menggunakan bendera Indonesia. Selain ISI (Ikatan Sport Indonesia)—yang kelak menjadi KONI, PSSI adalah organisasi olahraga yang menggunakan kata Indonesia dalam setiap kegiatannya.
NIVU tidak setuju dan menawarkan seleksi bersama karena NIVU-lah yang menjadi asosiasi resmi FIFA di Hindia Belanda. NIVU akan menyelenggarakan pertandingan segitiga antara dua tim NIVU dan pemain pilihan PSSI. Argumentasi NIVU cukup kuat dan PSSI tidak bisa bertanding dibawah bendera Belanda. Karena PSSI tidak mau bernegosiasi, pemain-pemain dari NIVU-lah (dan bukan PSSI) dikirim ke Prancis. Pemain-pemain NIVU ini konon bukan pemain sepakbola terbaik yang ada pada zaman itu. Sebagian besar mereka juga pribumi namun kebanyakan adalah pegawai, pekerja kongsi dagang Belanda atau serdadu KNIL. Tim ini langsung ke putaran final tanpa kualifikasi. Jepang dan Amerika menarik pulang timnya dan bersiap-siap menghadapi perang. Dalam satu-satunya pertandingan yang pernah dimainkannya, NIVU kalah 6-0 dari Hungaria.
Sumber:
Colombijn. F. 2001. The Politics of Indonesia Football. Archipel, 59: 180-182.
Palupi. S. A. 2000. Sepakbola di Jawa, 1920-1940. Lembaran Sejarah: 89-98.
PSSI. PSSI 25 tahun 1930-1955. Jakarta: Visser, 1955.
PSSI. PSSI 30 tahun 1930-1960. Jakarta: PSSI, 1960.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Tiga Kisah Asosiasi #2"
Posting Komentar