Oleh Mahfud Ikhwan
-- Eric Hobsbawm, sejarawan --
Sedang asyik nongkrong di meja panjang warung kopi Blandongan, seorang teman tiba-tiba memutus obrolan dan bertanya, “Bahrain-Indonesia berapa-berapa?”
Saya terkejut dengan pertanyaan itu. Bukan karena itu pertanyaan yang tiba-tiba dan salah saat, tapi karena saya bahkan tak ingat kalau timnas Indonesia malam itu bertanding. Namun yang lebih mengejutkan adalah reaksi saya atas pertanyaan itu. “Oh iya, ya,” jawab saya sembari merogoh ponsel. Saya tulis pertanyaan kepada seorang teman yang pasti sedang menonton pertandingan. “4-0,” balasnya. Tanpa ada getar emosional apa pun, tak sebagaimana biasa, kami teruskan obrolan yang terpenggal.
Saya terkejut sebab, sepanjang yang bisa saya ingat, tak pernah saya seabai malam itu berkait dengan pertandingan timnas. Hendak pulang kampung, sejak siang saya merengek kepada teman-teman serumah untuk ngopi. Kental kopi Blandongan, seperti biasa, pasti akan jadi bekal yang baik untuk balik ke Jawa Timur selama satu-dua pekan—seperti shalat untuk bekal akhirat. Karena saya biasa pulang dengan bus malam, satu-satunya hal yang terpikirkan berkait sepakbola adalah saya mungkin akan melewatkan partai Inggris-Belanda. Bahrain-Indonesia sama sekali tak mampir di kepala.
Saya pernah menangis saat tak bisa nonton siaran langsung Yaman vs Indonesia dalam prakualifikasi Piala Dunia 1998 karena tak seorang pun di kampung menyalakan televisinya pada sore itu. Saya pernah pulang malam-malam dengan telanjang dada dari rumah tetangga karena jijik dengan kaos warna biru (yang kebetulan saya pakai) usai Indonesia dikalahkan Thailand di final Sea Games 1997. Saya juga pernah dengan tenang menjalani hukuman tingkat berat di pesantren hanya agar bisa menonton Indonesia vs Vietnam di Piala Tiger 1998. Dan, ya, seperti yang pernah saya kisahkan, saya berhari-hari tak bisa apa-apa usai Indonesia kalah oleh Malaysia di final Sea Games 2011.
Dan malam itu, saat sepakbola Indonesia mengukir rekor terburuknya, anehnya, perasaan menggelora yang biasa terasa setiap timnas bertanding itu hilang entah ke mana.
Saya masih sempat melihat gol ke-10 Bahrain saat balik dari warung kopi untuk mulai berkemas. Saya tak ingat betul siapa pencetak golnya. (Ah, bahkan saya sama sekali lupa siapa penjaga gawang Indonesia.) Tapi, saya ingat betul suara masygul dan hampir menggeram dari Tommy Welly dan Tris Irawan sesaat setelah gol itu terjadi. “Saya tak ingat betul kapan kita kalah sebanyak ini, Bung,” kata Bung Towel. “Tanpa ragu saya katakan,” timpal Bung Tris dengan suara tercekat, “ini memalukan!”
Sama dengan Bung Towel, saya tak ingat Indonesia pernah kalah sebanyak itu—karena Indonesia memang belum pernah kalah sebanyak itu. Tapi, berbeda dengan Bung Tris, saya sama sekali tak malu. Melihat permainannya pada tiga menit terakhir, tim itu jelas bermain bobrok dan tak patut dibela. Tapi lebih dari itu, saya merasa, tim itu sama sekali tak ada hubungannya dengan saya. Dengan ke-Indonesia-an saya! Ada garuda di dada kanan kostum mereka. Tapi saya merasa mereka bermain untuk beberapa orang saja. Dan, jelas, saya tak termasuk di dalamnya.
Karena itu, di hati saya, tak tebersit sehelai pun rasa sangsai. Berangkat hanya beberapa saat setelah pertandingan “bersejarah” itu usai, saya pulang kampung dengan dada yang lega. Pikiran saya bening, seperti tanpa kaca.
Warung Kopi 2
Seorang teman menulis di dinding facebook kalau ia menunggu ulasan saya tentang kekalahan Indonesia. Saya sama sekali tak menanggapi pesan itu, apalagi dengan tergesa menyalakan komputer dan menulis sebuah ratapan berjudul “Narasi Kekalahan untuk yang Kesekian”. Tak ada denyar di dada yang perlu dituangkan. Tak ada “demam” yang bisa dipakai untuk memulai kalimat pertama. Pikiran saya lebih tersita dengan perkara sepele tapi aneh yang terjadi di rumah. Seorang tukang kayu yang sudah tak laku, tanpa permisi, memasangkan jendela baru di rumah saya, dan kemudian membuat keluarga kami tiba-tiba berhutang. Ini baru benar-benar Indonesia...
Sampai kemudian, di warung kopi Mbok Juni, saya melihat pemandangan tak biasa: seorang bocah tanggung memakai kostum kuning-hitam milik timnas Malaysia.
“Ah, itu sih banyak, Cak,” terang seorang teman soal kostum Malaysia itu. Dan teman saya benar. Sebab, tak lama kemudian, saya melihat bocah lain memakai kostum yang sama.
Mengingat darimana bapak-bapak mereka mendapatkan sumber nafkahnya, tentu saja saya punya segudang permakluman untuk bocah-bocah itu. Namun itu tak menghentikan saya mengasosiasikan seragam kuning-hitam itu dengan berbagai memori buruk: gol-gol Malaysia yang menyakitkan di final Sea Games lalu, judul-judul berita online mereka yang angkuh, Munafid yang dikencingi dan Gus Sodik yang dipukuli di Bukit Djalil, sampul novel saya yang buruk (dan kuning!). Dan, lebih dari semua, kostum Malaysia yang dipakai bocah-bocah itu secara menyakitkan melontarkan saya kepada ingata akan ke-Indonesia-an saya yang pergi entah ke mana.
Saya tak bisa seperti seorang teman yang menegaskan ke-Indonesia-annya dengan merokok, apalagi dengan ikut kompetisi cosplay antarnegara. Hampir tak tersisa untuk yang lainnya, kepada sepakbolalah secuil ke-Indonesia-an masih saya tautkan. Dan ketika tautan itu tercerabut, hampir pasti saya sedang tak memiliki hubungan apa-apa dengan Indonesia. Meminjam istilah Emile Durkheim, saya tengah mengalami anomi—paling tidak dalam konteks negara-bangsa. Durkheim menyebut, kondisi anomi adalah penyebab utama seseorang bunuh diri. Saya tak akan bunuh diri karena kehilangan ke-Indonesia-an. Tapi, yang pasti, itu sungguh tak saya kehendaki.
Maka, sepanjang sisa hari itu, saya merenungkan ke-Indonesia-an saya yang lepas tautan. Saya rindu merasakannya. Itu membuat saya rindu timnas saya. Saya rindu bahagia dan sedih karenanya.
Warung Kopi 3
Lalu saya menemukan kembali Indonesia di warung kopi Bu Siti.
Takut tak cukup punya gairah untuk menonton sendirian di rumah, saya berangkat ke warung kopi Bu Siti untuk menonton pertandingan terakhir penyisihan grup Hasanal Bolkiah Trophy antara Indonesia vs Philipina. Cukup berhasil.
Tim itu, dengan sebagian besar pemain yang tak dikenal, sama sekali tak menarik untuk ditonton. Tapi, denyar itu kembali saya dapatkan. Saya bisa memaki untuk setiap umpan yang salah. Saya bisa berhenti bernafas untuk sebuah peluang yang gagal. Saya bisa bersorak ketika Andik mencetak golnya. Tim itu seharusnya menyertakan Ferry Pahabol, Lukas Mandowen, David Faristian, atau Sunarto. Dan seharusnya bisa menang lebih dari lima gol melawan Philipina. Tapi bagaimanapun, toh mereka telah membuat saya menemukan lagi tautan dengan Indonesia.
Mereka kembali memberi bukti benarnya kata sejarawan Eric Hobsbawm, bahwa “komunitas terbayang itu tampak lebih nyata pada 11 orang di lapangan sepakbola”. Mereka membuat saya menghabiskan sisa malam dengan memikirkan sebuah tulisan. Mereka bisa membuat saya, pada keesokan harinya, mengobrol dengan teman tentang peluang kita menghadapi Vietnam di semifinal.
Lepas dari betapa cemen-nya tropi yang sedang diperebutkan, mereka telah membuat saya berdoa, semoga mereka sampai final dan juara.
Warung Kopi 3 (bag. 2)
Masih di warung kopi Bu Siti, saya berharap menemukan Indonesia yang berbeda. Indonesia yang juara. Persetan apapun pialanya.
Seperti menjelang partai final melawan Malaysia di Sea Games lalu, ide tulisan telah berjejalan di kepala. Karena itu, saya berangkat ke warung kopi dengan membawa kamera. Dengan harapan-harapan baik, lensa saya set untuk scene party.
Saat saya datang, ruang di depan televisi 21 inci yang sekaligus jadi tempat nongkrong para pengopi, sudah disesaki orang. Beberapa celetukan menjelang laga, yang rasa-rasanya tak pernah berubah sejak saya kecil, meramaikan suasana. Ada yang mengomentari ringkihnya tubuh sang sultan yang katanya terkaya sedunia. Ada pula yang menawarkan taruhan dengan memegam tim yang menang. Yang menarik, ada juga yang menyamakan kostum kedua tim di lapangan seperti PDIP dan Golkar sembari menambahkan komentar, “mana ada yang menang lawan Golkar?” Ke-Indonesia-an jelas memenuhi ruangan.
Indonesia memulai pertandingan dengan sangat tidak mengesankan, dan itu jelas menggelisahkan. Namun, hingga babak pertama usai, mereka sukses membuat Brunei menunggu di lapangannya sendiri. Beberapa cemoohan ditujukan kepada pemain Indonesia. Tapi, sasaran kemarahan adalah wasit asal Thailand yang terlalu mudah memberi pelanggaran untuk tuan rumah. Saya mengambil beberapa gambar. Harapan itu masih ada.
Kegelisahan itu semakin membuncah ketika di babak kedua tak tampak ada perbaikan. Kegelisahan berubah jadi geram ketika Brunei menciptakan gol pertamanya. Bukan pada gol itu, tapi dari kebodohan yang mengawali proses terjadinya. Dan geram jadi kemarahan ketika pemain Indonesia tak terlihat menemukan cara untuk mencetak gol balasan. Andik yang selalu jadi tumpuan harapan mulai dapat cemoohan karena tampak sudah tak lagi mempercayai teman-teman setimnya. Satu-dua orang tampak minggir dari depan televisi dengan muka gusar. Saat gol kedua Brunei tercipta, kerumunan di depan televisi bubar jalan. Saat peluit berbunyi panjang hanya tersisa dua orang saja. Saya adalah salah satunya.
Saya keluar dari warung dengan sesak di dada. Sakitnya luar biasa. Tapi, saya jelas akrab dengan rasa sakit itu. Pasti, tak mungkin lain, itulah sakitnya menjadi Indonesia.
Lamongan, 10-03-12
0 Response to "Indonesia Datang dan Pergi, di Warung Kopi"
Posting Komentar