Oleh Darmanto Simaepa
Cara lain menikmati sepakbola adalah cerita dari Muntei, sebuah desa kecil dekat pantai di bagian tenggara Siberut. Desa ini terbentuk sejak tahun 1970-an melalui program OPKM (Otorita Pengembangan Kepulauan Mentawai) yang disponsori perusahaan kayu. Desa-desa OPKM umumnya memiliki lapangan sepakbola yang bagus dan cukup besar. Terletak di lembah Sabirut yang landai tempat bertemunya sungai Rereiket dan Silaoinan, desa ini merupakan kawasan yang subur dan sedikit makmur. Ladang kakao telah menyebabkan ekonomi desa ini bertahan menghadapi resesi akibat jatuhnya nilam dan cengkeh.
Lapangan bola Muntei sangat luas, dan barangkali salah satu yang paling bagus di pulau ini. Saya pernah menghitung: lebarnya mencapai 73 meter dan panjangnya hingga 110-an meter. Lapangan itu terletak lebih tinggi dari aliran sungai sehingga cukup kering meski agak miring dan di bagian timurnya akan tergenang air selepas turun hujan. Di sebelah kanan kirinya adalah ladang kakao, pisang dan kebun durian. Satu-satunya kekurangan lapangan ini adalah jenis rumputnya. Di sebelah barat yang datar dan cukup kering, rumput sipitpit tumbuh amat cepatnya. Di musim-musim hujan, pertumbuhannya luar biasa dan menyebabkan lapangan seperti ladang gandum. Batang dan bunganya tumbuh meninggi setinggi betis dan menyebabkan aliran bola tidak lancar. Putik rumput itu mudah tersangkit di kaos kaki.
Lapangan bagus cenderung menghasilkan tim bagus. Sejak mulai dikenalkannya olahraga ini pada awal 70-an, pemain-pemain bagus di Siberut bagian Selatan mulai bermain sejak kecil dari lapangan Muntei. Sepanjang tahun, generasi baru selalu bermunculan. Tim desa ini selalu segar. Anak-anak mudanya mendominasi susunan pemain SMA. Beberapa yang kuliah sesekali menjadi pemain sewaan di Padang. ‘Muntei bisa membentuk 3 tim sekaligus,’ Agustinus Sagari, ketua pemuda setempat menyatakan, ‘di setiap turnamen 17 Agustusan’. Sejak 2007, desa ini juara turnamen Kecamatan berturut-turut sehingga berhak mengkoleksi piala tetap.
Diantara generasi yang muncul paruh 2000-an, dua yang paling terkenal adalah Jingglo dan SiMax (bacanya Simex). Jingglo, nama baptisnya Januarius, adalah campuran dari ejekan sekaligus pujian. Dalam bahasa Mentawai dialek Sabirut, Jingglo berarti timpang atau berat sebelah. Ia mendapatkan nama itu karena kakinya tidak simetris—padanan populernya adalah milik Rivaldo. Kaki kanannya lebih panjang dan jika berjalan sedikit melengkung dan seperti membentuk huruf O. Usianya sekarang mungkin 27-an, dengan kulit agak gelap dan semampai. Sehari-hari ia mengolah batu-bata milik pamannya.
Teknik bermain Jingglo tidak mempesona tapi cara dia lari sambil membawa bola mungkin yang paling cepat di lembah itu. Posisi yang paling ia sukai adalah penyerang sayap. Walau kakinya asimetris, kecepatan larinya tak terhentikan. Cara larinya juga sangat unik. Dalam bahasa Jawa Timuran, seperti layang-layang gojeg—layang-layang yang bergerak ke kiri kanan karena tidak seimbang sayapnya. Saat pertama kali berhadapan dengannya, saya hanya mendengar suara celana di kedua pahanya bergesekan dan tiba-tiba saja dia sudah ada dimuka gawang.
Sementara SiMax memiliki nama asli Sergius Sabajou. Kisah namanya menjelaskan bagaimana ia bermain bola. Sebelum akrab dengan julukan itu, ia punya banyak nama. Dua yang terkenal adalah Si Prend (dari SiFriend) dan SiPitung dari sinetron SCTV. Sewaktu SMA, dia sering mencopot seragam dan lebih suka mengenakan kaus bertuliskan Max Bengkel. Ia mengaku punya baju itu setelah bapaknya mendapat bonus pembelian mesin pemotong rumput dari Bengkel milik pengusaha Tionghoa di Muara Siberut. Rumor yang berkembang, salah seorang gadis desa yang bekerja di bengkel itu adalah pacar gelapnya.
Di sekolah, ia kerap memparodikan dirinya sebagai pebengkel. Tidak ada yang tahu ia punya berapa kaus tipis berwarna putih itu. Yang pasti, di jalan, di sekolah, dan saat pergi ke ladang, ia terlihat mengenakan kaos yang sama. Ia adalah figur bandel. Terlihat merokok di sepanjang jalan menuju sekolah dan daftar absennya dipenuhi tinta merah. Ia selalu tinggal kelas sehingga membutuhkan 4 tahun untuk naik ke kelas 3 sebelum dipindahkan orang tuanya di Tua Pejat. Meskipun demikiant, teman-teman SMA mencintai dan menghormatinya. Semuanya karena kemampuanya memberi kebahagiaan pada banyak orang saat mengolah bola.
Bertubuh mungil, mungkin tidak sampai 160 cm tingginya, SiMax, barangkali bakat terbaik yang pernah saya lihat di Mentawai. Skillnya sangat hebat. Kedua kakinya sama kuat. Sprint pendek dan caranya mencari ruang sangat enak dilihat. Lompatanya juga sangat tinggi sehingga ia sering mencetak gol dari sundulan kepala. Beberapa orang menyebutnya si kancil, merujuk cara bermain Iswadi Idris pada masa jayanya: kecil, cepat, cekatan, dan cerdik. Bagi saya, caranya memainkan si kulit bundar mengingatkan saya pada Ronaldinho. Kejenakaan dan sifat main-mainnya membuat sepakbola menjadi alat beriang-gembira dan bahagia. Di pertandingan yang ketat, ia bisa membuat banyak trik, menembak bola dengan ekor kaki ala Maradona. Saat dijegal dan dicurangi bek, ia masih tersenyum, dan kemudian malah mendekati lawan sepanjang pertandingan untuk mempermainkannnya.
Dipertandingan Sabtu-Minggu, lebih banyak humor sepakbola darinya. Paling sering ia peragakan adalah ketika mendapat umpan terobosan. Ia akan berlari sekencang mungkin mendahului bola. Saat ia agak jauh melampaui aliran bola, tiba-tiba ia duduk dan bersedekap menunggu bola itu menghampirinya. Bila berhadapan satu-lawan-atu dengan kiper, ia sering mengerjainya: berputar-putar memaksa kiper keluar sarangnya dan lalu mencungkilnya. Jika memungkinkan, ia akan mengincar kolong kaki lawan, melewati kiper, menghentikan bola di garis gawang dan menyundulnya sambil rebahan atau menyorongnya dengan pantat.
Hanya saja, keduanya bisa mengeluarkan kehebatan terbaiknya jika tidak memakai sepatu. Semua teknik, Jurus dan skil yang mereka miliki ada di kaki telanjangnya. Ini agak menyulitkan tim Muntei di awal-awal pertandingan. Panitia tarkam selalu mensyarakat pengunaan sepatu—bisa sepatu kacang—untuk mengurangi cedera. Dalam 5 turnamen terakhir, mereka selalu mengenakan sepatu baru. Atau setidaknya kelihatan bersih dan baru dicuci. SiMax mengaku, sebagian besar sepatu yang ia pakai dari pinjaman atau milik pamannya. Bapaknya, yang bekas pemain, menyiapkan gaud, sejenis ramuan dari daun-daun yang dipercaya memiliki kekuatan gaib melindungi kaki.
Mereka tidak pernah mencetak gol cepat. Di awal-awal pertandingan, keduanya lebih sering terjatuh atau terpeleset dengan sepatu. Keduanya sulit menjinakkan bola dan mudah salah mengirim umpan. Sesekali sepatu itu lepas dari kaki. Jika itu terjadi, SiMax hanya tersenyum-senyum, mengambilnya, kadang menciumnya, mengacungkan ke arah penonton dan memakainya lagi. Dalam momen ini, penonton akan terbahak-bahak dan mulai berteriak agar SiMax melepasnya. Beberapa menit setelah wasit dan panitia sudah terhanyut oleh suasana pertandingan dan para pendukung Muntei mulai berteriak hilang kesabaran, keduanya menepi dan mencopot sepatunya. Setelah sepatu itu berhasil dilepas, lepas pula beban dikepala mereka. Gol-gol tinggal menunggu waktu dan permainan menemukan bentuk terbaiknya. Saat hari hujan, keduanya tidak melepaskan kaus kaki.
Empat kali Saya menghadapi Jingglo dan dua dengan SiMax dalam kejuaraan resmi. Sekali menang dan sisanya adalah kekalahan. Saat cuaca cerah tahun 2007, tim yang saya bentuk Kompass, mengalahkan mereka 4-0. Yang paling ingat saya ingat adalah perempat final tahun 2008. Waktu itu cuaca mendung dan lapangan becek karena hujan deras pagi hari. Dalam 12 menit pertama, Kompass sudah unggul 2 gol. Saat itu, mereka masih mengenakan sepatu. SiMax ada di tim cadangan karena terserang flu. Setelah Jingglo kesulitan sendirian di depan, SiMax diturunkan. Sampai babak pertama—saat mereka masih menggunakan sepatu—kedudukan masih tetap 2-0.
Lalu mereka menanggalkan sepatu dan 45 menit berikutnya bermain dengan kaos kaki saja. SiMax dengan kaki telanjangnya mencetak gol terbaik yang pernah saya saksikan selama 7 tahun di Siberut. Di luar kotak penalti, sambil membelakangi gawang dia menerima umpan dengan dadanya. Kecerdikannya memperdayai bek kami dengan cara melambungkan bola melewati bahu lawan, lantas menimang-nimang bola dengan tiga-empat kali sentuhan. Masih membelakangi gawang, tanpa melihat ke arah sasaran, sebelum bola jatuh ke tanah, dia mengirisnya dengan kaki bagian luar. Bola melengkung menuju sudut gawang dan kiper hanya terpaku diam. Sebuah gol yang mungkin lebih indah dari milik Thierry Henry ke gawang Barthez satu dekade lalu. Setelah gol itu, pertandingan milik Muntei.
Dengan usia masih muda, bakat SiMex menarik minat pengurus PSSI Mentawai. Kebetulan, pamannya yang menjadi anggota DPRD (2004-2009) adalah ketuanya. Tahun 2007, dalam usia 17, ia ikut seleksi tim Pekan Olahraga Daerah (Porda). Seleksi dilakukan di kota Padang—dan ia datang. Oleh pamannya, ia dibelikan kostum, kaus kaki, sepatu, deck pelindung tulang betis yang baru. Ia dibelikan sepatu yang cukup mahal. Karena tidak ada ukuran seragam yang pas, ia mengenakan kaos dan celana yang menelan seluruh tubuhnya.
‘Hilang semua ilmu saya,’ sambil nyengir dia menceritakan pengalaman seleksi itu, ‘karena pakai sepatu bola’. Gampang ditebak, seleksi itu hanya menambah panjang daftar gagalnya bakat terbaik sepakbola untuk dirubah menjadi pemain hebat. Seluruh kejenakaannya lenyap dalam seleksi itu. Perasaan riang dan gembira saat bersama bola menguap bersama uang yang dibayarkan pamannya untuk kostum itu. Pelatih tim Mentawai mengatakan, bahwa SiMax punya bakat yang hebat. Namun, ia menjelaskan, tidak mungkin bertanding tanpa sepatu di kalender pertandingan milik PSSI. Saat saya tanya mengenai kesempatan yang hilang, SiMax mengatakan, lumayan sudah pernah ke Payakumbuh dan mendapat uang belanjat Rp300,000 dari panitia seleksi.
Di belahan dunia yang lain, para produsen apparel sepakbola berlomba menciptakan sepatu yang paling hebat dan paling mahal: bola yang paling ringan, dan kaus yang paling menyerap keringat . Konon katanya, semua ditujukan agar sepakbola semakin menghibur, lebih banyak gol, kontrol semakin akurat. Atau lari lebih kencang. Sepatu-sepatu dibuat seringan mungkin, setipis yang bisa dicapai, didesain agar cocok dengan lapangan sintetis atau licin. Semua dibuat dengan kalkulasi matematis agar penyerang bisa menciptakan gol dan memecahkan rekor. Tapak kaki dilindungi agar cedera tidak menghampiri.
Tampaknya, Messi dan Ronaldo harus belajar mencetak gol dari Jingglo dan Max. Juga, Adidas dan Nike harus merevisi iklannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan Bola (2)"
Posting Komentar