Oleh Darmanto Simaepa
Cerita bola yang ketiga terkait dengan kabit. Kabit adalah sejenis cawat yang dipakai oleh orang Mentawai. Terbuat dari kulit pohon baiko (Artocarpus caryophylla) yang telah diolah dengan cara dipukul-pukul dengan sebilah kayu. Cawat ini dililitkan disekitar pinggang dan menutupi alat vital. Alat ini hanya dikenakan laki-laki. Pemakaian kabit menandakan profesinya. Bagi para dukun atau kerei, kabitnya berwarna merah. Warna itu didapat dengan mencampur kulit togro, suatu jenis mangrove yang direndam bersama kabit. Dengan tato, badan kekar dan berotot serta bunga-bunga (manai), orang Mentawai terlihat gagah dengan kabitnya.
Meskipun sederhana, kabit menyimpan sejarah yang panjang dan kompleks. Di zaman ketika arus perdagangan dengan etnis tetangga atau pedagang kolonial belum intensif, kabit adalah pakaian yang lazim dikenakan sehari-hari. Dipercaya sebagai keturunan Austronesian paling awal, orang Mentawai di Siberut, anehnya, adalah bagian dari kelompok-kelompok yang tidak mengenal pengolahan tekstil, produksi gerabah, atau mengolah minuman keras. Sampai akhir kolonial dan menjelang kemerdekaan, laporan etnografis menyebutkan bahwa kabit adalah pakaian sehari-hari.
Penggunaan kabit memberi gambaran ambivalensi identitas yang dilekatkan kepada orang Mentawai. Tahun 1950-an, melalui peristiwa yang disebut sebagai ‘rapat tiga agama’, penggunaan kabit resmi dilarang—setidaknya oleh pejabat setempat. Pelarangan ini dibarengi dengan kewajiban meninggalkan agama setempat dan memeluk agama resmi negara, meninggalkan ritual dan upacara. Kabit disimbolkan sebagai ciri orang Mentawai yang terbelakang, primitif, miskin dan kolot. Orang-orang tua di zaman itu mengenang, mereka dihukum membersihkan kantor kecamatan atau kerja bakti di gorong-gorong desa jika kedapatan mengenakan kabit.
Bagi generasi baru Mentawai, sebagian besar mewarisi pandangan ini. Kabit mewakili sebuah era yang harus ditinggalkan karena berasosiasi dengan kekunoan. Sebagian anak muda menganggap bahwa pemakaian kabit adalah tanda orang tidak mampu membeli celana kain dan sebuah ciri dari kemiskinan Mentawai. Agar ciri itu hilang, mereka mencurigai apapun yang berkaitan dengan penghargaan terhadap kabit, adalah cara untuk menempatkan orang Mentawai dalam museum kehidupan. Sementara bagi aktivis konservasi dan pengakuan hak-hak budaya—terutama dario generasi 80-an dan 90-an—kabit dan sikerei dijadikan simbol dan bukti hubungan harmonis antara suku pedalaman dan hutan. Kabit dan dukun menjadi ikon perjuangan lingkungan.
Bagi orang Mentawai, kabit bisa berarti beragam. Orang-orang tua menyukainya saat bekerja di ladang. Di dangau-dangau dekat hutan yang lengas dan panas, orang-orang lebih suka bertelanjang dada dan hanya mengenakan kabit. Di lembah-lembah yang lebih terpencil, terutama bagi generasi tua, kabit masih dipakai sehari-hari. Dimana para kerei masih terasa dibutuhkan, produksi kabit nyaris ajek bertahan. Di lembah-lembah yang telah intensif kontak dengan migran, pemakaian kabit sangat jarang—kecuali di ladang atau pada saat diselerenggakannya ritual atau pengobatan. Di lembah Rereiket, beberapa orang tua menunjukkan kebanggaannya mengenakan cawat. Almarhum Teu Bijai Kerei dari Ugai pernah mengatakan, ia merasa menjadi orang Mentawai sejati dengan mengenakan kabit.
Desa-desa yang didominasi pemeluk Katolik, kabit masih bisa dijumpai. Di lembah Simatalu, di pantai barat, sesekali para orang tua mengenakan kabit yang dilapisi celana longgar untuk pergi ke gereja. Situasi agak berbeda di kawasan Utara Siberut, dimana penyebaran agama protestan lebih gencar, praktik-praktik perdukunan secara keras dihentikan dan penggunaan kabit dianggap mewakili iman lama yang harus ditinggalkan. Kabit, menggambarkan campuran segala hal tentang menjadi Mentawai. Rasa bangga, prakti-sisme, keterbatasan, pergulatan identita, hasrat meninggalkan masa lalu dan pergulatan untuk mencari identitas.
Limu, sebuah desa katolik di pantai barat yang terisolir dan hampir mustahil bagi sampan melempar sauh karena ombaknya ganas berasal dari Samudria Hindia, adalah dusun yang sebagian penduduknya masih mengenakan kabit. Dusun ini terdiri dari 80 kk yang mengandalkan kelapa, kakao dan nilam sebagai sumber mata pencaharian. Sepakbola adalah gairah olahraga terbesar disana. Lapangannya cukup datar dan kering. Terletak dipinggir pantai, lapangan ini bahan dasarnya bukanlah pasir lempungan tetapi pasir pantai yang ditumbuhi rumput. Di separuhnya, sepertinya dengan sengaja, ditanam rumput Jepang. Jenis rumput yang membuat lapangan seperti datar, keras dan jika kita jatuh tergores akan menimbulkan parutan luka dan goresan pedih.
Bulan Juni 2010 yang lalu, saya ke desa tersebut untuk membuat sebuah survei tentang perburuan. Setelah letih keluar masuk hutan untuk menghitung populasi primata, di akhir pekan, saya menikmati sepakbola. Lapangan baru saja dikepras melalui gotong royong yang dikomandoi oleh dukun setempat. Saya telah mendengar banyak cerita mengenai para pemain sepakbola berkabit di Simatalu. Dusun Paipajet yang terletak di hulu sungai—sangat terkenal karena kehebatan pemainnya—pemain-pemain berkabit dan bersepatu kacang menjadi pemandangan yang lazim.
Seluruh laki-laki di Limu sore Minggu itu ada di lapangan bola. Ada juga beberapa anak muda yang datang dari Bojo, dusun sebelah yang tidak memiliki lapangan. Permainan di mulai agak sedikit siang. Setengah empat, peluit sedah dibunyikan. Nampaknya untuk dua kali pertandingan, seluruh penduduk itu akan kebagian main semuanya.
Di pinggir lapangan, ada sekitar 4-5 orang yang mengenakan kabit menunggu giliran. Termasuk diantaranya adalah Teu Manai, pemandu yang menyertai sebuah survei mengenai perburuan dan populasi primata yang saya lakukan. Di dusun ini Kabit ternyata tidak menggunakan kulit pohon baiko. Mereka mengenakan kain panjang yang dililitkan menyerupai kabit. Jadi agak sukar untuk melihat apakah orang yang mengenakannya seorang sikerei atau tidak. Orang-orang berkabit itu lengkap dengan tato-tato diseluruh tubuh, tas pinggang yang digunakan untuk menyimpan tembakau dan kertas rokok dan korek apinya.
Saya tidak punya foto dan anda hanya bisa memvisualisasikannya. Seorang dukun mengenakan cawat tradisional lengkap dengan rokok menunggu giliran bermain bola. Anda bisa juga menyebutnya sebuah globalisasi yang aneh: bola Mikasa dari jepang, permainan impor China, tembakau payakumbuh, dan kabit Mentawai. Tapi ini bukanlah lawakan ala God Must be Crazy. Ini bukan lelucon orang primitif dan orang-orang kulit putih. Ini adalah bagaimana sepakbola bisa dinikmati oleh jutaan orang—apapun warna kulitnya, apapun pakaiannya.
Salah satu diantara pria berkabit mereka masuk pada pertandingan pertama. Dengan langkah yang santai dan terkesan tersipu, Ia tidak melepaskan rokok dan tas pinggangnya. Tas pinggang itu diisi tembakau panorama dan lintingan daun nipah yang akan jadu kertas rokoknya. Ia berlari-lari kecil ke tengah lapangan sambil menghisap dalam-dalam tembakaunya. Saya telah menyiapkan ide untuk membuat pertandingan menjadi jenaka. Jika ia menjadi lawan, saya akan membawa bola didekatnya, mengicuhnya dan membuatnya agak sedikit bingung lalu...tiba-tiba berhenti di depannya, membiarkan ia merebut bola lantas mengambil rokok dari bibirnya. Itu mungkin akan jadi edisi Just for Laugh Mentawai.
Sayangnya, dia masuk di tim saya. Dia tidak bisa dikatakan cukup pandai. Cara menendangnya menunjukkan kakinya lebih ahli menapak diatas titian kayu atau menyisir lereng bukit mencari manau. Ia lebih banyak menunggu bola dan ketika datang, menyepaknya sekeras mungkin.
Ketika bola tidak ke arahnya, dia menghisap rokoknya dalam-dalam. Rokok itu akan mati kena angin atau lupa dihisap ketika berlari.
Sangat jarang dia membawa bola. Saya berusaha untuk berdekatan dengan posisinya. Setiap saya mendapatkan bola, saya oper kearahnya. Bukannya menendang, ia selalu mengembalikannya ke arah saya disertai dengan senyuman. Saya tidak begitu menguasai bahasa Mentawai dialek lembah ini. Sementara dia tidak lancar berbahasa Indonesia—dan agak kurang mengerti dialek Sabirut yang saya kuasai. Sepanjang pertandingan hanya bicara pelan dalam satu dua kata yang sama-sama dimengerti. Kami lebih banya berbicara dengan senyuman.
Di Limu, dan hampir di semua kampung-kampung yang tidak memiliki tim yang bagus, pesepakbola yang terkenal adalah sesorang yang berani mengadu kaki atau menendang bola yang paling keras. Selain pencetak gol dan para pemain sayap yang berlari kencang, pemain yang bisa menyepak bola dan menghasilkan suara tumbukan yang paling menggema adalah orang yang paling dikagumi. Operan-operan pendek tidak begitu terbiasa sementara pacu lari membuktikan siapa yang paling laki-laki.
Karena mengoper satu dua sentuhan ke arahnya bukanlah hal biasa, setiap ia mendapatkan bola dari saya, para pemain dan penonton berteriak untuk membuat operan pendek-pendek ke pemain lain. Setiap teriakan datang, ia lebih banyak gugup dan kehilangan bola dengan sendirinya. Semakin ia sering mendapat bola, ia semakin bersemangat dan berlari. Dan semakin sering tertawa. Mungkin ia bisa menikmati pertandingan dan mematikan rokoknya. Di pertandingan kedua, saat dia tahu saya ikut ingin bermain lagi, dia segera berbaris di belakang saya. Kali ini tanpa rokok dan bau tembakau dimulutnya.
Malam hari setelah makan Teu Isak, begitu namanya disebut, datang ke rumah tempat saya tinggal. Pertama-tama, ia datang hanya dengan senyuman. Setelah saya jelaskan bisa bicara dalam dialek Rereiket, dia mulai bicara bahasa Mentawai. ‘Maeru ban maenu. Mantap’ ujarnya, ‘maagai ekeu’. Dalam bahasa Indonesia, ini adalah sebentuk pujian. Terjemahan bebasnya ‘bagus kawan main bola kamu. Mantap. Pintar kamu bermain bola.’ Saya menjawab dengan bahasa percaya diri sehari-hari Mentawai, ‘elek a teu ? kalau kiiiiiita’ (begitu ya pak? Kalau kiiiiiita!).
Iseng-iseng saya tanya apakah nyaman bermain bola dengan kabit? Ia menjawab, ‘Jika kamu memberinya celana bola yang tadi kamu pakai, saya akan menggunakannya minggu depan’. Jawaban selanjutnya sungguh tidak terduga: memakai celana bola, menambah biaya. Ya, saya harus beli celana dalam, katanya. Dengan kabit, ia tidak memerlukan celana dalam. Bukannya berkeringat? Bermain bola, untuknya, untuk bersenang-senang. Bukan untuk mencetak gol atau menang. Keringat bermain bola bukan jenis keringat yang sama seperti merambah hutan atau membuka ladang. ‘Semua yang bermain-main dan menyenangkan itu pasti membuat kita basah’, ujarnya sambil tertawa-tawa tanpa menjelaskan maksudnya.
Cara Teu Manai melihat sepakbola mengingatkan pada cerita remaja saya. Dulu saat pertama ikut klub sepakbola, ada banyak aturan sebelum para pemain menyentuh bola. Pelatih memulangkan teman yang mengenakan kemeja. Diharuskan mengenakan celana olahraga dan harus memakai sepatu bola. Setiap pemain harus melakukan pemanasan terlebih dulu. Padahal sebelumnya, seperti jutaan anak lainnya, saya bermain sepakbola tanpa memerlukan syarat tertentu. Anda punya bola—bisa bola plastik, gulungan kertas yang dibundel menyerupai bola, bola tenis, sandal—dan anda bisa main sepuasnya. Anda bisa bermain bola dengan celana seragam sekolah, telanjang kaki, atau sepatu biasa.
Setelahnya, kami tenggelam dalam cerita-cerita mengenai tanah, asal-usul leluhur, bagaimana menjadi sikerei, harga kakao, hasil kopra, dan tentu saja sepakbola. Lalu, dia memberi nasehat kepada saya agar tidak terlalu serius untuk bermain bola. Sepakbola adalah permainan dan kesenangan adalah hal utama. Menurutnya, sepakbola itu seperti berburu. Mendapatkan hewan buruan adalah penting, tetapi seseorang harus menikmati perburuan itu sendiri. Kalau tidak menikmati dan bersenang-senang, begitu ia mengatakan, simagre (roh) pemburu akan tertinggal di hutan. Seperti halnya berburu, sepakbola memberi efek permainan sekaligus keseriusan, tujuan-tujuan praktis dan sekaligus metafisis. Jadi, sepakbola harus dinikmati, kalau tidak roh kita akan tertinggal di lapangan? Begitu balas saya. Ia mengangguk serius dan mengatakan, jika tidak bermain-main, kita akan teringat-ingat kekalahan, terobsesi dengan kemenangan, dan karena itu kita melupakan kesenangan yang lain.
Terakhir dia mengatakan, keberhasilan sepakbola dan berburu sama: terletak dari mengkombinasikan kesenangan dan kesungguhan, kehebatan individu dan pembentukan tim sebagai kesatuan. ‘Dan disini,’ ujarnya, ‘hanya laki-laki sehat yang bisa melakukannya’.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Sepatu Bot dan Cawat di Lapangan Bola (3)"
Posting Komentar