Oleh Darmanto Simaepa
Tim juara adalah tim yang selalu terluka. Anda bisa menemukan polanya dalam sejarah turnamen-turnamen sepakbola. Tim-tim juara selalu melalui rute yang berliku dan meragu. Ia harus melalui pertandingan berat yang menguji batas-batas rasa yakin, keraguan dan juga, keberuntungan.
Tim-tim yang tak pernah kalah dan menang dengan meyakinkan—jarang juara. Anda tahu, Swiss tak pernah kalah di ajang piala dunia. Namun, kita juga tahu, tim itu tidak pernah lolos dari babak ke dua. Saya ingat Belanda 2008. Mereka selalu menang menghadapi tim besar dengan skor meyakinkan dan permainan mengagumkan di babak penyisihan. Tapi dikaki-kaki pemain Rusia, mereka tidak berdaya. Saya ingat Inggris 1996. Saya ingat Brazil 1998. Saya ingat Brazil 1982.
Anda perlu diragukan untuk bertahan hingga ujung permainan. Masih segar ingatan tentang Spanyol yang secara mengejutkan dihantam Swiss di Johanessburg. Kekalahan itu membuat milyaran orang yakin kembali, Spanyol adalah tim unggulan yang mudah rontok dipenyisihan. Juara adalah tim yang kalah disaat perlu kalah dan menang disaat harus menang. Malaysia punya cerita tentang kisah ini di Tiger Cup tahun lalu.
Orang Italia sangat tahu bahwa, dalam sepakbola, kemenangan bukanlah satu-satunya cara menjadi juara. Anda harus tahu kemenangan itu diraih kapan dan dengan cara seperti apa. Kisah sukses Italia ditopang oleh timbunan 'kegagalan' dibabak penyisihan. Buffon menyebutnya sebagai, ‘bangun tidur ala Italia’. Azzuri selalu membutuhkan detik-detik terakhir untuk memastikan kelolosan--kadang tertolong oleh tim lain.
Bukan kebetulan jika Lippi tampak tenang ketika menjawab pertanyaan mengapa strikernya, sampai pertandingan ke 3, tak kunjung mencetak gol di Jerman. Bearzot hampir dipulangkan ketika timnya seri terus dibabak grup. Seusai lolos, ia mengatakan, ‘Seringkali tim juara tidak harus selalu memenangi pertandingan. Ia hanya kadang perlu satu kemenangan’.
Anda bisa merunut pengalaman Jerman di sepanjang kejuaraan utama—tahun 1954, 1980, 1990, 1996. Di turnamen-turnamen itu, Jerman (Barat) selalu tertatih-tatih. Tim-tim yang penuh medali itu selalu saja diragukan dan pernah kalah dibabak-babak yang kurang menentukan. Tahun 1954: Tak ada yang mengira der Panzer bisa menang di final, sementara saat di pembukaan, mereka kalah 6-2 dari Magical Magyar. Tahun 1974: bandar taruhan akan tersenyum riang jika de Oranje yang diunggulkan tidak tumbang. 1990: Di Italia, semua orang berdoa si anak ajaib, Maradona, akan menggenggam piala dunia untuk kali kedua.
Saya tidak sedang menghibur diri. Mencari pembelaan. Atau sekadar menenangkan pikiran.
Kita melihat gundah gulana dari bangku cadangan. Hasim Kipuw melonjak dan menengadahkan tangan saat Tibo membuang peluang. Abdulrahman menggulung wajahnya dibalik lengan. Si Wanggai mukanya menegang. Ribuan umpatan dan penyesalan pasti terlontar saat Alfred Sinaga menendang bola dengan ekor kaki kanan. Dan anda tahu sendiri reaksi Rahmad kan?
Suasana gempita penonton masih sama. Rasa haus dan lapar publik menggantung di udara. Gairah dan harapan masih menyala-nyala—harapan yang makin dihancurkan para petinggi PSSI sendiri. Kalah adalah kalah. Anda tidak bisa menerima sisi positifnya—kalaupun itu ada. Kekalahan bisa jadi adalah pelajaran—itu mungkin saja. Yang jelas bagi saya, kekalahan ini pantas disyukuri karena satu hal: ketepatan momennya.
Ini adalah kekalahan yang bisa diterima. Saya berani bertaruh, timnas tidak akan lolos ke semifinal bila kalah lebih awal. Seorang sinis mungkin akan mengatakan, itu hanya karena tiket ke semifinal telah dipastikan. Ini pertandingan yang tidak banyak hal dipertaruhkan.
Baiklah! Itu kemungkinan yang terbuka. Tapi dalam perspektif permainan, Indonesia memainkan sepakbola yang matang tadi malam. Di pertandingan pertama, Kamboja bukanlah lawan sepadan. Pengangkatan bendera off-side asisten wasit—sebuah keputusan yang bisa diperdebatkan—telah membunuh mental pemain debutan Kamboja. Setelah Tibo memanfaatkan umpan silang bagus dan Indonesia menemukan ritmenya, selanjutnya adalah pertunjukan pemain Papua.
Singapura harus bermain jam 2 siang—bahkan sebelum genap istirahat 40 jam. Bukanlah nasib malang yang membuat mereka menderita karena kesalahan pemain belakang. Otot-otot yang lelah berkontraksi membuat gelandang Singapura yang letih cepat naik emosi. Rasa frustasi itu menyebabkan kecerobohan dan memudahkan wasit memberikan hukuman. Disaat unggul pemain dan menguasai pertandingan, apa yang terlihat dari timnas, selain sejenis ego tak terkendali? Tidak ada skema rapi. Atau koordinasi antar lini. Yang kita saksikan adalah umpan-umpan panjang Eggi dan tusukan-tusukan Octo yang hanya memuaskan ambisi.
Sementara saat menghadapi Thailand, wasit Korea terlalu keras dan dingin hati. Ia mudah mencabut kartu dari saku. Sebuah provokasi cerdik Diego Michel membunuh harapan Thailand. Bahkan saat unggul 2 pemain, Indonesia sangat kerepotan menghadapi serangan Rangsit dkk. Saya bayangkan, jika Indonesia yang ketinggalan 2-1 dengan bermain 9 orang, kemungkinan terbaiknya adalah Thailand menang dengan marjin lebih dari 5. Atau terburuknya, dua pemain Indonesia lagi terkena kartu merah.
Yang menjadi kunci tim juara adalah bagaimana mengambil reaksi dan menangani situasi kekalahan. Saya merasa, tim ini berada di jalur yang benar. Saat tertinggal, anak-anak muda itu cukup memberi harapan. Mereka bermain tenang, agak rapi meski sedikit frustasi. Gelandangnya tidak ceroboh membangun serangan walau bola terlalu sering hilang. Tim ini lebih solid meskipun sangat kewalahan ketika mendapat serangan balik dari rusuk kiri dan umpan silang.
Saat ketinggalan dan waktu semakin berkurang, mereka tetap memainkan bola dari kaki ke kaki. Baiklah, semua pemain pengganti—kecuali Ramdhani—bermain dibawah standar. Yongki bahkan tidak pernah berhasil mengontrol bola dengan baik sekali saja. Selain keterlambatan Yericho menutup serangan balik dari rusuk kiri, tidak banyak tembakan ke gawang Aditya.
Anda bisa mengkritik Rahmad soal komposisi dan formasi pemain. Yang harus diingat, Indonesia tidak mendapat keberuntungan tadi malam. Peluang bersih Malaysia tidak seberapa, meskipun serangan baliknya selalu menciptakan bahaya. Yeeeaah, andai saja Tibo memutar bola dengan kaki bagian dalamnya. Beberapa kali momen Ramdhani bermain satu-dua sentuhan yang imajinatif membuka peluang kreatif.
Detil-detil ini memberi petunjuk bahwa waktu sedang menguji kesabaran. Indonesia kalah karena memang harus kalah. Semesta keberuntungan akan tiba pada saat yang tepat. Seperti Eduardo Galleano bilang tentang Copa America 1989, ‘yang diperlukan Uruguay adalah bermain teka-teki dengan waktu’.
Diluar lapangan, tampaknya, Rahmad telah menyiapkan permainan dengan waktu itu. Para pemain cukup tenang menghadapi wartawan. Tidak ada ekspektasi berlebihan—meskipun mereka kini giliran dipuja sebagai pahlawan. Tak ada terasa besar kepala meskipun sorot mata Tibo atau Michel menjawab pertanyaan TvOne dengan penuh keyakinan. Sebelum Bepe memberikan petuahnya tentang perlunya sikap hati-hati, tim ini telah dibekali oleh sikap sederhana dan rendah hati. Tim ini telah menyadari satu hal: harapan jutaan rakyat yang menggema di hari-hari penuh kesesakan adalah berkah sekaligus kutukan.
Malaysia memberi kekalahan yang paling pedih sekaligus paling nikmat bagi garuda muda. Saya yakin mereka sekarang tahu apa yang mereka miliki, apa yang sedang dihadapi, dan batas-batas kemampuan mereka sendiri. Ini adalah sebuah tamparan yang membangkitkan kesadaran. Tamparan yang memberikan rasa nyeri namun masih ada waktu untuk diatasi dan ada kesempatan untuk membalas kembali. Kekalahan ini semoga membangkitkan lapar, menaikkan rasa penasaran dan membakar semangat pembuktian. Seperti yang dibilang Rahmad, pertandingan hari ini penting, tetapi arti pentingnya adalah untuk pertandingan tanggal 19 dan 23.
Balas dendam bukanlah perkataan yang bijak, tapi untuk medali emas yang telah lama dirindukan, istilah itu akan sangat berarti bagi republik ini. Sampai bertemu lagi dengan Malaysia di Final.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Untunglah, Kalah!"
Posting Komentar