Wim dan Kaca Matanya
Oleh Darmanto Simaepa
Wim mungkin tak sedingin Erikson. Swedia jelas lebih dekat ke kutub utara dan Belanda lebih hangat cuacanya. Erikson tidak pernah terlihat membawa pena. Apalagi catatan. Pria Belanda itu sesekali mengibaskan tangan ke udara, berdiri, mencopot jaket atau mengacungkan pena. Ia rajin membawa buku kecil. Sepanjang waktu ia terlihat, setelah mendelikkan mata ke arah lapangan, menulis entah apa dicatatannya. Ia bahkan terlihat lebih serius dari van Gaal.
Kaca mata Erikson bulat dengan gagang perak. Ia lebih mirip saintis yang bekerja di lab kimia. Wim agak sedikit bergaya dengan kaca mata oval dengan bingkai hitam yang cocok untuk orang tua. Sementara Sven pelit bicara, Wim lebih suka omong dengan media.
Kesamaan keduanya adalah tidak pernah terlihat gugup ketika timnya dipecundangi. Keduanya tidak terlihat panik saat timnya ketinggalan dan posisinya berada dalam tekanan. Kegalauan hatinya tersimpan dibalik kacamata. Namun Erikson lebih flamboyan. Ketenangan Sven menjelaskan sesering apa ia ditolak dan atau menaklukan perempuan. Saat Inggris tersingkir dari Portugal di Jerman, ia tetap menatap lurus dan berjalan tegak dengan setelannya armani yang rapi.
Sebaliknya, sikap tenang Wim mengabarkan bahwa ia jenis pelatih yang jarang menang dan lebih mudah bersikap pasrah. Kita disuguhi pandangan yang sama setiap Indonesia kalah. Seorang kakek tegap dan sehat bermuka pucat yang nyaris tanpa harapan. Wajah terlihat linglung dikursi tim cadangan. Kaki selonjoran. Bahunya direndahkan, seperti sedang rebahan. Sesekali, ia terlihat menarik napas panjang dan mengangkat bahu. Sesekali, matanya menatap ke arah langit.
Kita tidak pernah tahu matanya minus berapa. Tidak ada satu laporan memuat seberapa banyak penurunan daya lihatnya. Yang jelas, Ia bukan lagi Wim yang hebat dari tahun 70-an. Dalam foto klasik tim Oranje dan total football-nya, ia cocok jadi vokalis van Hallen atau setidaknya berpeluang menjadi saingan Ozzy Osborne. Rambut blonde-keritingnya lebih dekat dengan gaya Puyol sekarang—dengan seringai lebih menakutkan. Atau paling tidak, ia pantas menjadi cover majalah Times bila ia menjadi pentolan mahasiswa bohemian yang demonstrasi di kota-kota Eropa tahun 1960-an.
Pada masanya, dia adalah pemain belakang yang terpercaya. Ia jenis pemain yang membuat Rinus Michel nyaman mengutak-atik taktik penyerangan tanpa takut kebobolan. Statistik golnya menjelaskan ia bukanlah bek yang suka maju ke depan atau menipu penjaga gawang lawan. Nalurinya bertahannya sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan sebuah tim yang dianggap pernah mempraktekkan secara sempurna cara menyerang.
Badannya gempal dan tidak terlalu tinggi—untuk ukuran Eropa. Ia dilahirkan untuk menjadi bek tengah yang memenangi duel dan menyapu bola-bola mendatar. Di masa jayanya, ia berhasil membawa Feyenoord mematahkan dominasi Ajax di liga dan membawanya kampiun UEFA. Ia bermain di dua piala dunia dan nyaris membawa Belanda juara.
Apa yang didapatkan Indonesia dari Wim jelaslah hanya nama besar dan sisa masa lalunya. Wim yang kita kenal sekarang ini adalah pria tua dengan kacamata yang sama sekali tidak menggambarkan karir kepelatihannya. Ia mungkin pelatih tekun dan rajin. Namun, dengan rajin menulis dan membawa catatan, bukan otomatis seseorang menjadi pelatih brilian.
Karirnya kepelatihannya dihabiskan di klub-klub semenjana. Pernah menangani tim junior Ajax, ia kemudian berkelana di Volendam, NAC Breda, Universidad de Catolica. Ia singgah di Mexico sebentar dengan menjadi asisten di tim yang agak lumayan terkenal, Club America. Lalu bertualang ke timur tengah dan memberikan jasanya untuk klub bernama aneh Al Ittifaq. Karirnya paling tinggi adalah menjadi pelatih Trinidad dan Tobago selama 6 bulan sebelum dipecat. Portofolio menjadi asisten tidak membantunya mengembalikan reputasi Trinidad dan Tobago setelah ditinggal Benhakker ke Polandia.
Dengan kacamata dan pena, ia nampak seperti seorang Calvinis taat yang dikirim pemerintah kolonial ke Hindia Belanda abad 19. Wawancaranya dengan majalah Voklsrant mirip pandangan seorang pendeta yang menganggap penduduk pribumi tidak bisa mengurusi imannya. Secara eksplisit ia mengatakan Indonesia adalah mimpi buruk. 'Susah sekali berurusan dengan [hal] yang baik dan benar disini’ ujarnya. Cara pandang esensialis-nya nampak begitu nyata saat menyebut kesulitan budaya yang dihadapinya: pemain tidak disiplin, malas, suka kabur dan sejumlah alasan, ‘yang khas Indonesia’.
Ketika ditanya apa solusinya? Ia menjawab dengan mengangkat bahu. Jika para pendeta rajin belajar sejarah dan situasi sosial negara jajahannya, Wim tidak mengenali dinamika sepakbola Indonesia. Ia mengaku tidak tahu, tiba-tiba menggantikan Riedle. Ia agak bingung dengan campur aduknya sepakbola dengan politik. Ia merasa berada dalam kepungan kepentingan. Sambil mengatakan hanya mau melatih sepakbola dan bukan berpolitik, ia mengeluhkan sikap pendukung timnas yang meneriakkan nama Riedle di stadion GBK.
Kacamata tidak membuat Wim mengenali posisinya dalam kontestasi politik kekuasaan di PSSI. Bahkan ia mengesankan berada diluar semuanya. Agaknya, dari sikapnya, dia cocok dengan gambaran pendeta naif dalam kartun-kartun Albert Haan di majalah De Notenkraker awal abad 20. Seorang pendeta alim yang hanya mau tahu cara membaptis para pribumi primitif. Seorang yang tidak peduli dengan siapa yang membayari dan dari mana uangnya--mirip para pendeta profesional yang cuci tangan atas ketidakadilan politik kolonial. Andai saja wajah pucatnya dilengkapi dengan tongkat, topi panjang dan jas, mungkin Wim akan selegendaris calvinis teguh yang diparodikan ala De Vlam.
Saya bukan pemuja Riedle. Orang Swiss itu tidak memberikan gelar apa-apa. Namun setidaknya, ia memberi nilai tambah bagi sepakbola Indonesia. Ia memberi sebuah dimensi baru bagi sikap dan mentalitas timnas. Determinasi, keras kepala, dan selera disiplinnya mengajarkan bahwa tim adalah segalanya. Ia tidak mau berkompromi dengan sikap manja dan besar kepala. Sehebat apapun Boaz, jika tidak berkomitmen, lebih ia menonton timnas dirumah saja. Ia menyediakan elemen yang tidak pernah ada dalam sepakbola Indonesia (konon pernah ada dijaman Coerver atau Polosin): kerja keras, disiplin dan rasa adil.
Riedle membuka jalan evolusi permainan 4-4-2 ala Indonesia. Ia menemukan Bustomi seperti Pirlo ditempatkan Ancelotti. Ia bisa memaksa Firman untuk lebih bertahan—meskipun dengan cara itu ia lebih sering melepas umpan panjang. Ia berani membangkucadangkan BP—kapten, pemain paling senior, dan pemegang rekor. Yang lebih penting, ia bisa meminta para pemainnya berlari sepanjang pertandingan. Anda tahu dalam pertandingan final melawan Malaysia, bahkan ketika nyaris mustahil menyusul hasil agregat, wajah-wajah para pemain Indonesia dipenuhi hasrat dan semangat. Riedle bisa membawa atmosfer bagi pemain bahwa itu pertaruhannya bukanlah medali dan piala, itu adalah suatu pertandingan menebus harga diri dan memenangkan hati jutaan rakyat Indonesia!
Kacamata, buku catatan dan ketekunan Wim, sekali lagi, tidak berguna. Pernah ia menjanjikan, timnas akan bermain 4-3-3 ala Belanda dan Barcelona. Tapi yang terjadi hanyalah kebingungan menyusun formasi. Ia menyia-nyiakan momentum Made Wirawan yang bermain gemilang dan voila! memanggil kembali pemain veteran yang sudah melewati masa kejayaan; menarik BP ke posisi lebih dalam dan membuatnya seperti pesepakbola yang main tenis lapangan beneran (seperti di iklan!); dengan menempatkan disayap murni, ia menghilangkan kesenangan Boaz membuat kejutan dan umpan terobosan, memaksanya berpacu lari dari sayap kiri; sebuah gejala aneh ketika ia terus memainkan Firman saat bermain buruk (kandang lawan Qatar) dan menggantinya tatkala bermain bagus kemaren.
Yang lebih buruk, ia membuat sepakbola Indonesia kehilangan sentuhan dengan cara meletakkan Bustomi dibangku cadangan. Purwaka Yudhi bukanlah pemain buruk. Mirip Cannavaro yang suka menyergap, ia bukan tipe pemain yang bisa mengatur tempo dan ritme permainan. Jelas, bakat terbaiknya bukanlah menguasai bola dan mengubah arah permainan. Di klub, ia tidak pernah dimainkan sebagai gelandang bertahan. Ia bukan pemain yang dibutuhkan dalam mengawali serangan.
Tanpa jangkar dipusat kedalaman, jarak pemain timnas berjauhan. Penguasaan bola berkurang dan daerah pertahanan gampang ditekan. Para pemain tidak nyaman bermain pelan-pelan dengan operan satu dua sentuhan dari belakang menuju garis depan. Sayap tidak berfungsi karena bola tidak mengalir dari kiri ke kanan. Umpan-umpan panjang lebih dominan yang mengurangi akurasi dan meningkatkan rasio kesalahan. Saat di Senayan, kemenangan Qatar diawali dari salah umpan Firman, maka saat main tandang, Boaz membuat sebuah kekeliruan yang hampir tidak pernah kita saksikan.
Saat timnas ketinggalan dan lawan mengendurkan serangan, Wim lebih memilih tenggelam dibalik kacamata ovalnya. Reaksi yang terlihat di televisi hanya mengangkat bahu dan mendelik ke arah Listiadi. Saya menghitung dalam 5 menit, Bung Towel sampai 7 kali mengeluhkan hal sama tanpa henti: mengapa Wim tidak memainkan Bustomi. Ketika si protagonista Ibrahim Khalfan keluar dan tidak ada yang perlu dijaga karena Lazaroni tampaknya sudah cukup puas dengan hasil 3-0, kenapa Purwaka masih dimainkan dan malah mengganti Firman? Tanpa pemain kreatif ditengah, ia menempatkan Ridwan bersama BP sebagai otak serangan. Jika itu adalah sebuah taktik yang ia warisi dari skema permutasi pemain Belanda 70-an, jelas Wim salah perhitungan.
Empat pertandingan kualifikasi: Nol poin, 2 gol memasukkan, 12 gol kemasukan. Kekalahan menjadi akrab kembali. Antusiasme surut dan sikap rendah diri seperti jerawat yang datang lagi. Sepakbola Indonesia semakin suram dilihat dari kacamata Wim. Dalam sebuah wawancara ia pernah mengatakan tidak terlalu optimis dengan prestasi Indonesia. Tentu saja saya juga sama pesimisnya dengan dia: tapi paling tidak ia cukup mahal dibayar untuk mengubah rasa muram menjadi harapan.
Tentang masa depan sepakbola Indonesia, ia mengatakan pada Voklsrant, "masih akan makan waktu bertahun-tahun untuk terjadi perubahan, kalau memang ada." Pandangan Wim ini mengingatkan cara insinyur perkebunan kolonialnya Multatuli atau tuan tanah-nya Jan Breman tentang mentalitas para kuli dan harapannya untuk merdeka.
Jelas kita tidak bisa melihat masa depan yang cerah dari kacamatanya. Ini saatnya meletakkan kacamata Wim, mengambil jeda, dan membuat kalkulasi terperinci untuk menggantinya dengan lensa yang lebih membuat sepakbola menjadi lebih menjanjikan di depan.
0 Response to "Wim dan Kaca Matanya"
Posting Komentar