Oleh Mahfud Ikhwan
I. Lapangan
Ia sudah menyangka kalau tempat itu akan tampak menyedihkan. Mudah membayangkan kemungkinan tersebut, semudah ia mendapatkan cerita menyedihkan itu dari tetangga atau teman-temannya, semenjak ia di rumah. Meski demikian, apa yang dilihatnya sore itu ternyata jauh lebih menyedihkan dari yang bisa dipikirkannya.
Sore itu, jelas ia tak menemukan sebuah lapangan. Bahkan, sebuah lapangan paling buruk sekalipun. Tak disangsikan, panorama sekitar, bentang tanah yang kini dipijaknya, hanya pantas jika disebut “bekas lapangan”. Itu persis dengan kita menyebut setumpuk puing sebagai bekas rumah. Atau, segerumbul semak yang terpiak sebagai bekas jalan. Atau, sekeping papan sebagai bekas meja. Di sisi utara, bagian yang dekat dengan jalan raya, terpacak dua tonggak kayu yang satu dengan lainnya berjarak sekira tiga meter yang doyong ke arah berlawanan. Apakah itu gawang? Ya, itu gawang. Atau, lebih tepatnya, bekas gawang. Meski demikian, satu-satunya bukti yang bisa ia pegang untuk meyakini bahwa dua tunggak yang tak berhubungan (bahkan terlihat saling menolak itu) itu adalah ingatannya semata. Lain tidak. Tak ada bukti tersisa yang cukup kuat untuk mendukung kalau dua tonggak yang saling menolak itu adalah gawang pada masa-masa sebelumnya. Sebab, dua tonggak itu tak dihubungkan oleh sepotong mistar, sebagaimana lazimnya gawang sepakbola. Tak juga ada bekas-bekas repihan kain jaring di sana. Bahkan, pada salah satu tonggak, terikat seekor sapi jantan besar yang tengah memamah biak—tentu dengan ceceran kotoran di sekitarnya.
Membelah (bekas) lapangan, menerobos rumput liar setulang kering, ia mengayunkan kakinya dengan berat dari arah utara menuju ke sisi selatan. Sepatu bola berpul enam, yang baru pertama kalinya dipakai meski sudah dibelinya sejak setahun lalu, tampak goyah dan menderita ketika menyentuh permukaan tanah yang jauh dari rata. Terseret dan terseok. Lebih berat lagi karena sepasang kaki yang dikayuhnya itu telah terlalu lama tak melakukan hal serupa. “Mungkin tiga tahun,” demikian dengusnya pada diri sendiri. Itu jumlah tahun yang telah dilaluinya di pabrik; pabrik yang setiap ia pulang kerja tak pernah lupa membekalinya kelelahan; kelelahan yang selalu memberinya alasan tak melakukan hampir apa pun selain mengaso sembari menunggu hari kerja berikutnya—dan dengan demikian mengesampingkan sepakbola yang dicintainya. Tak heran, ia menyeret betisnya seperti pesakitan menyeret bola besi. Jika saja ia bisa melihat dirinya sendiri dan menyaksikan bagaimana cara berlari yang sedang dilakukannya, menemukan betapa kacaunya koordinasi antara gerakan tungkai kaki, ayunan bahu, dan sudut kecondongan tubuhnya, alangkah malunya dia. Dan, hai, ia mendengar suarau “pluk-pluk-pluk-pluk” yang seirama langkah kakinya. Serupa suara “koq-koq-koq-koq” yang mengikuti lari kuda penarik delman, dengan intonasi dan vokal yang sedikit beda. Tak asing lagi, itu pasti suara lemak di dada, perut, dan pinggang yang selama tahun-tahun terakhir ini ditabungnya.
Memasuki lapangan paroh selatan, rumput liar digantikan oleh ilalang, yang semakin ke selatan semakin tinggi. Lalu, tepat pada sebuah titik, ia berhenti. Kepalanya celingak-celinguk, seperti seorang manca yang memasuki wilayah yang sama sekali tak dikenalnya. Jelas, kini ia tak tahu berada di bagian mana. Lapangan, atau bekas lapangan, itu semakin tak dikenalinya. Ia tak tahu lagi, sampai di mana. Apakah aku masih di lapangan? Atau sudah melewatinya, dan telah masuk hutan? Ia bertanya-tanya. Tak ada yang bisa diacunya sebagai petunjuk. Di sekitar ia berdiri, tak ada secuil pun bukti, jejak, artefak, atau apa pun, yang bisa membantunya menentukan di mana garis gawang bagian selatan. Gerumbulan ilalang hampir setinggi paha itu, tempat ia sekarang berhenti dan termangu berdiri, bersambung langsung dengan rimbun hutan jati milik Perhutani (pagar hidup yang dulu jadi pembatasnya sudah tak ada lagi). Sementara gawang, atau bekas gawang, atau tanda-tanda bahwa di tempat itu pada suatu masa pernah ada gawang, sama sekali tak dapat ditemukan. Lebih parah dibanding yang di belahan utara, tak ada sekeping pun bekas tiang gawang yang tersisa. Tak juga ditemukan remukan mistar yang, misalnya, keropos termakan rayap dan masa. Gawang itu hilang, membawa serta garis lapangan bagian selatan.
Tak menemukan gawang di selatan, ia memutar badan menghadap utara. Memandang ke seantero lapangan dari tempat di mana sekarang ia berdiri, dicobanya mengukur apakah benar ilalang yang dipijaknya adalah tempat di mana dulu ia sering berdiri, sebagai seorang bek kiri dalam formasi bermain 3-5-2, mengamati permainan, dan bersiap menghalau setiap serangan. Setelah beberapa saat mencoba-coba, mematut-matut, membuat ukuran-ukuran maya, pada akhirnya ia hanya bisa memperkirakan saja. “Aku yakin di sini ini,” gumamnya, dengan nada jauh dari mantap. “Atau, paling tidak, pasti di sini,” katanya lagi, sembari menggeser berdirinya sedikit ke depan.
Ia mendapatkan sedikit penguatan ketika memandang ke sudut kiri lapangan selatan, tempat gerumbul ilalang tumbuh paling tinggi. “Ya, ya, ya,” ia manggut-manggut. Sudut kiri selatan sejak dulu telah ditumbuhi ilalang. Jadi, ia menyimpulkan, di situlah pasti sudutnya. “Kalau pakai bek sayap, Agung akan sering beroperasi di situ,” katanya, menyebutkan nama salah seorang temannya, tidak kepada siapa-siapa—sebab di lapangan itu memang hanya ada ia sendiri. Ia tertegun-tegun saat membayangkan betapa menderitanya Agung, bek sayap kiri tercepat yang pernah ada dalam sejarah sepakbola Lerok, saat lari dan membawa bola di antara ilalang setinggi itu. Namun ketika wajah Agung digantinya dengan wajah Roberto Carlos, ia tertawa-tawa sendiri. Gareth Bale? Ia boleh saja merajalela di White Hart Lane. Tapi di sini, ah, alang-alang tinggi ini pasti akan terlalu tangguh bagi solo run-nya.
Membayangkan ke arah mana dulu ia bergerak saat timnya memulai serangan, ia berlari kecil secara diagonal ke area sayap kiri, menyeret kakinya menyibak alang-alang. Tepat saat itulah ia baru menyadari kalau lebar (tanah yang dulu pernah menjadi) lapangan ini jauh berkurang. Segera menjadi jelas, pagar hidup di sebelah barat, yang berbatasan langsung dengan sawah milik Tarsam, telah terdesak jauh ke timur. Tarsam, orang brengsek itu. Orang yang dimusuhi para pencinta sepakbola Lerok sejak pertama kali lapangan itu ada karena kebiasaannya menggeser pagar sawahnya ke tanah desa. Dan kini, setelah lapangan ini hampir tak terpakai lagi, rupanya hampir seperempat lebar lapangan ini telah berpindah tempat tanpa sertifikat. Angka seperempat itu didapatnya tidak asal gasak saja. Jangankan dirinya yang begitu menghapal tempat ini, siapa pun akan tahu dengan segera, dengan melihat ke arah gerbang barat kuburan yang terletak di seberang jalan. Dulu, gerbang kuburan itu sejajar dengan garis barat lapangan. Kini, jarak antara keduanya hampir cukup untuk sebuah gawang.
Tak dapat dielakkan. Garis sejarah telah menentukan. Lapangan sepakbola Desa Lerok kini adalah sepetak tanah kosong yang hanya layak disebut sebagai bekas lapangan!
Nokia 1112 di sakunya bergetar.
“Halo!” sapanya, yang tak lama kemudian dipungkasi dengan makian, “Dancuk!”
Muslim, dengan siapa siang tadi ia membuat kesepakatan untuk ke lapangan, rupanya ingkar janji. Cecunguk itu tak jadi datang, rutuknya. Dengan demikian, sore ini, tak ada teman di lapangan ini untuknya. Dan tentu saja tak ada bola. Ah, come back penting bagi sejarah sepakbola desa ini takkan terlaksana hari ini, sesalnya. Sembari bersungut-sungut, ia memutuskan akan mengitari setengah lapangan bagian utara sebanyak lima kali, lalu pulang. Dan Muslim yang ingkar janji itu harus dilabrak, nanti di warung kopi.
Pada putaran keempat, dua orang bocah, kira-kira awal belasan, masuk ke (bekas) lapangan itu. Beberapa saat kemudian, tiga anak lainya menyusul. Salah seorang dari mereka datang dengan bola lusuh di kakinya. Tak satu pun dari anak itu yang dikenalnya. Dan, sepertinya, mereka juga tak mengenalinya. Ketika bocah-bocah itu mulai memain-mainkan bola dalam sebuah lingkaran kecil tanpa menaruh perhatian berlebih kepadanya, salah satu bek terbaik yang pernah dilahirkan desa ini, tentu saja ia bisa memakluminya. Terpaksa memakluminya. Pikirnya, pengabaian itu pasti juga akan dialami oleh Kacung si striker tersubur, atau Salim sang pengatut permainan terhebat, atau Wakid si danyang gawang tak terpatahkan, atau Agung si tercepat.
Seperti Kacung, Salim, Wakid, dan Agung, ia adalah salah satu dari ratusan perantau yang memutuskan untuk meninggalkan desa dan, pada akhirnya, juga sepakbola. Yang sedikit beda, mereka semua ke Malaysia, sementara ia ke Jogja. Jadi, jangan salahkan anak-anak itu, jika mereka tak begitu mengenal sejarah sepakbola desa ini yang pernah cemerlang, tak tahu nama para legenda, sebagaimana mereka sangat mungkin tak tahu kalau lapangan tempat mereka bermain ini pernah sangat ramai penuh sorak-sorai. Saat kecemerlangan dan keramaian itu terjadi, bisa jadi bocah-bocah itu masih bermain dengan bola-bolaan di kereta bayi mereka.
Saat ia menepi setelah menyelesaikan putara kelimanya dan bersiap untuk pulang, salah seorang anak mendekatinya. “Ikut main bola, Cak. Pemainnya kurang satu.”
Tawaran itu terdengar aneh di kupingnya. Tapi, jelas ia sumringah. Namun, ia tak mau terkesan murah. “Main di mana? Gawangnya tidak ada begitu, kok?” tawarnya, berlagak enggan.
“Pakai gawang kecil,” kata si bocah, sembari menunjukkan sepasang ranting yang dipegangnya, juga ke arah sisi utara, di samping tonggak bekas gawang yang tak dipakai mencencang sapi, di mana seorang bocah lain tengah menancapkan sepasang ranting yang dipasang sejajar dengan jarak masing-masing kira-kira empat tapak kaki.
Tanpa mengangguk sebagai tanda sepakat, ia menyabet ranting dari tangan si bocah yang mengajaknya. “Sini, aku yang pasang.”
“Kalian maju! Aku bek!” serunya, setelah gawang kecilnya telah berdiri. Agar diketahui, untuk gawang kecil, orang terakhir di depan gawang adalah bek.
Karena menjadi satu-satunya orang dewasa di (bekas) lapangan sore itu, ia berada di tim yang dua pemain lainnya adalah bocah-bocah paling kecil di antara kelima dari mereka. Maka, bisa diduga, lapangan tengah segera dikuasai lawan, dan gawang yang dikawalnya segera mendapatkan gempuran. Sembari bertarung melawan berat badan dan otot yang hampir karatan, ia berusaha mengeluarkan kemampuan terbaiknya dalam bertahan. Dan, sejauh itu, hasilnya lumayan.
“Aku Isnan. Aku bek. Dan aku mau jadi seorang bek,” itu kata yang diucapkannya pada kelas 3 Ibtida’iyah saat diminta menyebutkan cita-citanya di depan kelas. Dan sore ini, di depan sebuah gawang selebar empat tapak kaki, pada usia 27 namun dengan kondisi badan serasa umur 53, kembali ia menandaskan kalau ia tetaplah seorang bek.
“Aku Isnan. Aku bek. Dan aku tetap seorang bek!”
Lalu, sebuah sontekan pendek yang memungkasi sebuah umpan tarik dari kanan gagal diantisipasinya. Bola membentur betis bagian dalamnya dan bergulir pelan ke dalam gawang kecil yang dijaganya.
(Bersambung...)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "BEK: Sebuah Novel (Bag. 1)"
Posting Komentar