BEK: Sebuah Novel (Bag, 2)

Oleh Mahfud Ikhwan


1/

Perserok, Persatuan Sepakbola Lerok, kesebelasan yang tak pernah lolos dari babak penyisihan kompetisi kecamatan, sore itu, hanya akan jadi bulan-bulanan saja bagi lawan yang kini dihadapinya. Begitulah orang-orang berpikir. Tambakrejo Putra, yang dihadapinya, adalah tim yang belum lama ini berhasil menggondol Piala Bupati Gresik. Dalam pikiran mereka, tim yang sedang berhadap-hadapan di lapangan ini tak ubahnya tim nasional Indonesia yang baru digasak 7-0 oleh Thailand di Sea Games terakhir berhadapan dengan Jerman yang baru saja menjuarai Piala Dunia 1990. (Jika Jerman punya Thomas Hasler, Tambakrejo Putra punya Ismail, seorang pemain tengah elegan yang dikabarkan akan direkrut oleh kesebelasan beken Petrokimia Putra untuk menjadi tandem Ferryl Raymond Hattu di lini tengah tim itu.) Makanya, sebelum pertandingan, orang-orang tak begitu tertarik membincangkan siapa akan mengalahkan siapa. Lerok akan kalah berapa, itulah hal yang laku diajukan sebagai bahan taruhan kecil-kecil. Dan, ratusan orang Lerok, tua-muda, lelaki-wanita, simbah-simbah maupun bocah, juga beberapa puluh penggemar sepakbola dari desa sebelah, yang membeludaki setiap inci pinggir lapangan datang karena lebih terdorong untuk menonton sesedikit apa gol-gol Tambakrejo Putra dapat diredam oleh para pemain Perserok.

Ketika melihat bagaimana jalannya pertandingan sejauh itu, tampaknya perkiraan tersebut tinggal menunggu pembuktiannya saja. Sepanjang pertandingan, para pemain Lerok tak pernah bisa melewati garis tengah lapangan. Bahkan, sang striker, Nasikul, yang kata orang-orang setempat disebut-sebut punya lari secepat striker Persebaya, Mustakim, hanya bisa berdesak-desakan bersama teman-teman setimnya di kotak penaltinya sendiri. Yang berdiri di lingkaran tengah lapangan, yang dibikin dari adonan gamping itu, justru para bek Tambakrejo Putra. Angkuh dan terlihat begitu perkasa. Mata-mata mereka selalu siap mengincar kesempatan, dan kaki-kaki mereka selalu siap memangsa bola yang memantul dari pertahanan lawan. Jika pertahanan lawan terlihat terlalu rapat, maka bola-bola akan dilambungkan ke tiang jauh atau ke tengah kerumunan di depan gawang. Namun jika celah itu ada, mereka tak segan-segan mengirimkan tendangan-tendangan jarak jauh mereka langsung ke mulut gawang yang dijaga Masrokan, kiper Lerok.

Namun, tampaknya, pembuktian itu membutuhkan waktu lebih lama—lebih lama dari yang banyak diperkirakan. Ketika warna jingga di langit barat sudah semakin memekat (satu-satunya pertanda yang bisa dipakai penonton untuk memperkirakan bahwa pertandingan tak lama lagi akan segera berakhir), gawang Masrokan rupanya belum bobol juga. Sejauh itu, tembakan-tembakan yang mengarah ke gawang Masrokan hanya mental kembali ke lapangan tengah untuk menjadi tembakan berikutnya. Atau, yang lebih banyak, menjadi sepakpojok; penonton sudah tak bisa menghitung lagi, berapa sepakpojok yang didapat Tambakrejo Putra. Tak ayal, orang-orang pun mulai bingung.

Sungguh aneh tak melihat sebiji gol pun bersarang di gawang Masrokan sejauh itu. Apalagi mereka juga tak mendengar kalau sebelum pertandingan, ada orang pintar yang memberi jampi-jampi di gawang tuan rumah. Mereka merasa ditipu, paling tidak oleh perkiraan mereka sendiri. Di mana ketajaman para penyerang Tambakrejo? Ismail yang mengerikan itu, apa kerjanya? Dan apa gunanya mereka datang ke lapangan jika tim yang seharusnya membuat banyak gol tak mampu membikin sebiji gol pun? Ini lebih aneh daripada mendengar Indonesia menahan Uni Soviet di Olimpiade Melbourne.

Manakala suara bacaan ayat suci al-Qur’an dari masjid yang punya pengeras suara paling tinggi terdengar, yang menandai bahwa hanya beberapa menit lagi azan magrib akan tiba, dua tim yang bermain hanya sedikit saja terlihat lebih jelas dari kelebat bayangan. Dan gol yang diperkirakan akan datang itu belum juga tercipta. Sejauh itu, hanya gelagat akan terjadinya gol saja yang mereka lihat di lapangan. Para penonton, diam-diam tapi hampir serempak, sudah membuat kesimpulan baru: bukan para penyerang Tambakrejo yang buruk, namun para pemain belakang Lerok-lah yang bermain luar biasa. Pikiran itu membuat mereka gembira, dan menganggap hasil imbang ini memang benar-benar berhak mereka dapatkan dan rayakan.

Maka, kini yang mereka tunggu bukan lagi gol Tambakrejo, melainkan bunyi panjang peluit Mukandar, wasit sore itu. Satu-dua hujatan sudah dialamatkan kepadanya. Dia orang Lerok, kenapa tak punya sedikit saja rasa murah hati untuk mengakhiri pertandingan lebih cepat? “Peluit, Cuk!” maki banyak orang. “Jebol saja pematangnya, biar mati sekalian padinya!” sambar yang lain. “Kalau sampai ada gol, coret kartu KK-nya!” teriak penonton yang lain lagi. “Bakar KTP-nya!” timpal yang lain.

Lalu orang-orang terkesiap. Di lapangan, dalam keremangan petang yang hampir gelap, sebuah adegan yang mengingatkan mereka pada proses bakal terjadinya sebuah gol tengah berlangsung. Tidak. Tentu tidak di depan gawang Masrokan. (Mereka tak akan tertarik dengan jenis adegan yang terjadi berulang-ulang di sepanjang pertandingan.) Adegan itu berada di belahan lapangan di mana gawang Tambakrejo berada. Awalnya adalah duel udara sengit yang terjadi di depan gawang Lerok yang melibatkan Ismail, playmaker Tambakrejo, dengan Jabal, bek Lerok. Jabal, yang biasa dipanggil Jagal itu, memenangkan duel itu. Mungkin hanya karena kehendak Tuhan, bola liar yang biasanya dengan mudah jatuh ke kaki pemain Tambakrejo kini jatuh ke kaki Mu’ad, playmaker Lerok. Dengan kelenturan yang rasa-rasanya tak bisa diulang lagi pada saat-saat lainnya, Mu’ad lolos dari kepungan dua orang musuh hingga berhadapan dengan dua bek terakhir Tambakrejo yang berada di lingkaran tengah. Merasa tak mungkin memenangi duel dua lawan satu, tanpa melihat, ia melepas bola ke sisi kanan lapangan yang kosong tak terjaga. Saat bola itu dilepas, belum terlihat pemain Lerok lain yang ikut maju. Namun, hanya dalam hitungan sepersekian detik, Nasikul telah melesat memburu bola itu dan menguasainya. Lapangan itu hanya setengah panjangnya, atau bahkan kurang, dari ukuran lapangan sepakbola yang seharusnya. Maka, hanya dengan sekali dorong-dan-kejar saja, Nasikul beserta bola di kakinya kini telah berhadap-hadapan dengan kiper Tambakrejo.

Dalam sekian detik, ratusan penonton yang memagari tiap inci tepi lapangan itu menahan nafas. Pasti karena mereka tak ingin suara tarikan nafas mereka akan membuat mereka melewatkan peristiwa ajaib itu—atau lebih parah lagi, menghentikan adegan ajaib yang sedang mereka saksikan. Hanya orang gila saja yang bisa membayangkan adegan yang sedang mereka tonton, di mana striker Lerok dengan bola di kakinya tinggal berhadap-hadapan dengan kiper Tambakrejo yang tak berdaya, akan terjadi sore ini. Mereka sudah terkejut dengan tak bobolnya gawang Masrokan sejauh itu. Dan, dalam kesederhanaan keinginan mereka, tak terbayangkan kejutan yang melebihi itu. Tidak mungkin sebuah tim yang jadi pupuk bawang di tingkat kecamatan, yang jadi bagian dari daerah tingkat dua yang tidak memiliki tradisi sepakbola, memenangkan pertandingan melawan juara kabupaten Gresik, wilayah yang punya dua tim sepakbola ternama, Persegres dan Petrokimia Putra. Tak masuk akal rasanya sebuah kesebelasan yang biasa bertanding di lapangan sempit ukuran 35x60 m. menang melawan tim yang belum lama ini mendapatkan juara di Stadion Tridarma.

Bukan, pasti bukan ini tujuan Khozin membawa kesebelasan hebat itu ke desa terpencil ini. “Biar Perserok mendapatkan pengalaman dan pelajaran yang berharga,” itulah kata Khozin, orang Tambakrejo yang menikah dengan orang Lerok, pada sebuah rapat Karang Taruna yang membahas perkembangan Perserok. Bahkan, kebanyakan orang Lerok percaya kalau tujuan lain Khozin membawa kesebelasan desanya ke desa istrinya ini tak lain untuk sedikit menyombongkan diri.

Tapi, apa yang kini tersaji di lapangan justru tengah berjalan menuju ke arah yang berlawanan dengan semua perkiraan dan segala ketidakmungkinan. Dalam detik-detik ke depan, para penonton mulai yakin, bukan Perserok yang akan mendapatkan pengalaman berharga, tapi justru Tambakrejo Putra. Lihatlah! Tukir, penjaga gawang Tambakrejo yang sepanjang pertandingan nyaris tak bekerja, dengan muka terkejut menyambut Nasikul yang berlari dengan bola menempel di kakinya. Ia coba beringsut ke depan, mempersempit ruang tembak penyerang mungil Perserok itu. Tangan si kiper direntangkan, seakan-akan ingin mencoba menutup seluruh muka gawang yang ada di belakangnya. Dalam petang yang hampir gelap, Tukir juga terlihat berusaha mengangkerkan wajah dan sosoknya. Badannya yang kerempeng dan mukanya yang kisut seperti pelawak Doyok coba digembungkan seakan ia adalah Benny van Breukelen dari Arseto Solo. Tentu saja, usahanya itu sia-sia belaka. Rentangan tangannya memang hampir berhasil membuat muka gawangnya mustahil ditembus, tapi ia justru lupa celah di antara dua kakinya. Tanpa membuang waktu, Nasikul mengirim sontekan mematikannya ke celah yang telah diincarnya. Tidak deras, tapi cukup membuat Tukir terkesiap dan buru-buru merapatkan dua betisnya. Tapi, ia amat terlambat. Bola sontekan Nasikul membentur mata kaki kirinya, kemudian bergulir ke mulut gawang. Cukup pelan, namun terlalu kencang untuk usaha terakhir penuh keputusasaan yang dilakukan Tukir.

Tanpa menunggu bunyi peluit tanda gol dari Mukandar, semua penonton yang bertumpuk-tumpuk di pinggir lapangan, di sisi barat, sisi timur, belakang gawang utara, belakang gawang selatan, juga yang nangkring di pagar hidup dan pohon-pohon sekitar lapangan, melompat berhamburan ke dalam lapangan—seakan-akan pantat setiap orang diledakkan oleh petasan. Dan hanya berbilang detik, lapangan yang sebelumnya hanya berisi 22 pemain dan 1 wasit itu kini sudah seperti kerumunan penonton layar tancap yang baru saja bubar. Orang-orang sudah tak memikirkan kalau pertandingan masih akan berlangsung beberapa menit lagi. Kesadaran mereka akan waktu dan peraturan tiba-tiba saja menghilang. Ya, bisa saja mereka masih mengingatnya, namun dengan sengaja tak memedulikannya. Nasikul, si pencetak gol, mereka bopong beramai-ramai seperti seorang kepala desa yang baru saja terpilih. Yang tidak lagi mendapat bagian menggotong Nasikul kemudian mengejar-ngejar Mu’ad. Pada akhirnya, semua pemain Lerok mendapatkan penggotongnya sendiri-sendiri. Bahkan, beberapa penonton yang terlalu terlambat menghambur ke lapangan sehingga tak lagi menemukan pemain Perserok yang bisa digotong, memutuskan untuk menggotong Mukandar sang wasit.

Azan maghrib akhirnya mengalun. Gelap sudah berar-benar turun. Penonton tak mungkin lagi dibujuk untuk menepi dan kembali rapi. (Mereka bahkan tak bisa diminta untuk menurunkan pemain yang sedang mereka bopong.) Maka, wasit Mukandar, atas pengaruh panitia, juga karena dikerubuti begitu banyak orang, dengan sedikit memaksa meminta para pemain Tambakrejo Putra untuk sepakat mengakhiri pertandingan lebih cepat. Ketika peluit panjang, yang ditiup hampir secara sepihak oleh Mukandar berbunyi, resmilah sejarah sepakbola desa itu mencatat: Perserok 1 (Nasikul, 87’) - 0 Tambakrejo Putra.

Di pinggir lapangan, seorang bocah yang belum lagi masuk usia kelimanya, yang terlihat sedikit kalut karena hampir terinjak orang dan tengah dilupakan bapaknya yang ikut keranjingan, juga tengah membuat catatannya sendiri. Tentu dengan kepalanya yang kecil dan ingatannya yang masih lamat. Ingatan atas pertandingan itu, meski dengan renik-renik yang semakin lama semakin kabur, selalu menjadi mula dari setiap kenangan bocah itu atas lapangan tersebut.
*

(Bersambung...)

Related Posts:

0 Response to "BEK: Sebuah Novel (Bag, 2)"

Posting Komentar