BEK: Sebuah Novel (Bag. 3)

Oleh Mahfud Ikhwan


Sejak melihat pertandingan sore itu, tak sabar rasanya ia menunggu kapan masanya tiba ketika ia cukup besar untuk menjadi bagian dari tim, menjadi penguasa lapangan, menang, dielu-elukan. Masa itu pasti masih lama, namun ia tak mau menunggu terlalu lama. Jalan menuju ke lapangan itu ingin secepatnya ia retas.

Maka, sejak sangat mula, ia telah mengawalinya.


Memulai langsung dari lapangan adalah hampir tidak mungkin. Lapangan itu jauh di pinggir desa. Berbatasan dengan sawah-sawah di baratnya, hutan jati di selatannya, dan kuburan desa di utaranya (keduanya hanya dipisahkan jalan). Rumah yang terdekat, yang ada di sebelah timurnya, terpisah oleh beberapa petak tegalan. Jadi, jika rumahmu tidak berada agak dekat dengannya, atau kau tidak cukup gila untuk dianggap sebagai bocah konyol sok pemberani, lapangan adalah tempat yang harus menunggu giliran amat belakangan sebagai tempatmu bermain bola. Karena itu, sebelum menginjak lapangan sebagai pemain, bocah-bocah Lerok musti bersabar diri untuk berdebu-debu di halaman-halaman depan rumah tetangga yang cukup lega, atau pelataran-pelataran masjid dan langgar yang cukup longgar, atau kebun-kebun kosong bertanah rata di bawah tebing yang lebih dekat dengan rumah.

Namun bicara soal halaman-halaman yang cukup lega, atau pelataran-pelataran masjid dan langgar yang sedikit longgar, atau kebun-kebun kosong bertanah rata di Lerok, sama saja dengan membicarakan berapa kali tim nasional Indonesia menjadi juara. Ya, itu amat langka.

Desa itu, Lerok namanya, adalah sebuah desa yang menggelendot di bawah sebaris tebing yang ditaburi bukit-bukit. Pemukiman terletak di area dengan kemiringan lebih dari 30 derajat. Itulah yang membuat lapangan terletak jauh di barat, di mana permukaan tanah sudah mulai melandai. Desa ini menyediakan banyak tempat yang nyaman untuk menaikkan layang-layang, tapi tidak untuk bermain sepakbola. Di sebuah tempat yang lebih cocok untuk menjadi arena balap sepeda nomor downhill, mencari pelataran yang cukup pantas untuk jadi tempat bermain bola sungguhlah tak mudah. Karena itu, di tengah pemukiman, hanya ada beberapa tempat saja yang bisa dijadikan para bocah sebagai tempat berkumpul, dan kemudian mulai mengejar-ngejar sampah plastik yang dipadatkan jadi bulat. Salah satunya adalah halaman di depan gedung sekolah itu. Sebuah gedung kecil dan terjepit masjid dan rumah-rumah warga yang menampung enam kelas Ibtida’iyah dan dua kelas Taman Kanak-kanak.

Halaman madrasah itu adalah halaman paling luas di seantero desa yang bisa dipakai main bola, walau sangat jauh dari rata. (Mana mungkin bisa rata, jika halaman ini pada lima tahun sebelumnya adalah bangunan pemandian umum yang jebol dan karena itu harus dirubuhkan.) Sudah begitu, di tempat itu tak mungkin bisa dilangsungkan sebuah pertandingan antara dua tim yang masing-masing terdiri lebih dari 5 bocah. Artinya, setiap pertandingan yang digelar di halaman itu, hanya bisa menampung tak lebih dari 10 bocah. Dan, begitulah, hukum alam pun bekerja. Jika pada suatu sore ada 20 bocah yang berkumpul, maka tentu saja yang separoh harus minggir. Dan, mudah ditebak, yang tersingkir adalah mereka yang paling goblok atau paling lemah, termasuk di dalamnya adalah mereka yang masih dianggap terlalu kecil untuk beradu tulang kering di tengah pelataran berbatu itu.

Beberapa dari yang goblok dan lemah itu ada yang cukup bersabar dengan menunggu takdir memberi mereka giliran. Siapa tahu, sebelum azan maghrib berkumandang, salah seorang dari yang 10 itu ada yang terkilir kelingkingnya, atau robek telapak kakinya, atau bonyok dengkulnya. Beberapa yang lain bahkan sudah langsung pasrah menerima bahwa mereka tak cukup pantas untuk ikut bermain dan mulai memupuk keyakinan kalau mereka memang ditakdirkan untuk jadi penonton saja. Tapi, beberapa lain, yang lebih sedikit, menolak untuk melakukan keduanya. Mereka tak mau menunggu. Juga tak hendak menyerah.

Mereka yang terakhir inilah yang kemudian memilih untuk memanfaatkan beranda sempit memanjang yang membatasi halaman dan pintu madrasah. Dan di situlah, pada sebuah koridor gedung madrasah itu, tokoh kita mulai merintis langkah pertamanya menuju lapangan yang diidamkannya.


*


Jika bukan oleh mata bocah-bocah Lerok, rasa-rasanya tak ada yang bisa melihat kalau pada beranda yang memanjang itu tersembunyi sebuah lapangan bola. Meski panjangnya sama dengan halaman di depannya, lebarnya cuma sedepa orang dewasa. Namun, tanpa diajari oleh para penganjur sepakbola, tak perlu mendengar cerita tentang Pele dan Maradona, bocah-bocah yang belum lagi lulus taman kanak-kanak itu tahu belaka kalau tak ada keadaan macam mana pun yang bisa menghalangi sepakbola dimainkan. Lebih-lebih lapangan dengan ukuran aneh itu punya keunggulan yang tidak dimiliki oleh halaman di sampingnya. Jika halaman itu tak rata, berdebu, dan penuh batu, maka lapangan yang sedang kita bicarakan ini mulus seperti bola yang baru dibeli dari toko olahraga. Lantainya bertegel hitam tanpa benjolan. Lagi pula, di lapangan itu mereka tak harus susah-susah membuat gawang—tak seperti kakak-kakak mereka di halaman, yang harus menumpuk sandal sebanyak-banyaknya guna membuat tiang gawang sederhana. Ruang antara tiang penyangga di si sisi luar beranda dan tembok depan bangunan sudah dari sananya membentuk gawang yang sempurna. Jadi, jika mereka telah menemukan sesuatu yang bisa disepak, maka permainan sudah bisa dimulai.

Ya, jika hidup harus terus dilanjutkan, maka sepakbola harus dimainkan!

Di lapangan yang ganjil itulah Isnan membangun tim pertamanya. Selain dirinya, di tim itu ada Salim, Muslim, Agung, Kacung, dan Wakid. Mereka adalah murid-murid TK yang tak sabar menunggu masa-masa SD-nya. Mereka memulai tim itu dengan menendang apa saja yang bisa bergerak jika ditendang. Menganggap bahwa meminta dibelikan bola plastik kepada ibu sebagai sesuatu yang hampir mustahil sementara tangan mereka masih terlalu kecil untuk membentuk buntalan tas kresek menjadi bola yang bulat, padat, lagi pejal, mereka kemudian menjatuhkan pilihan pada sandal jepit saja. Lantai koridor yang bertegel mulus membuat sandal sepak itu tak kesulitan untuk bergerak. Tapi jelas, ia tak bergulir seperti lazimnya bola. Maka, untuk tak terlalu lama tampak konyol, sebagai sebuah langkah maju mereka kemudian memanfaatkan bola plastik pecah sisa kakak-kakak mereka yang bermain di halaman.

Ketika bola plastik pecah itu sudah benar-benar berantakan, sementara bola pecah berikutnya tak kunjung ada, mereka mencopot kepala boneka tangan berwajah Si Unyil, yang terbuat dari kayu, dari lemari guru TK mereka. Itu tak hanya terdengar kejam, tapi juga mendekati ritual penyiksaan diri. Betapa pun empuknya jenis kayu yang dipakai untuk kepala Si Unyil itu, benda itu tetaplah terbuat dari kayu. Dan kaki-kaki mungil-telanjang mereka begitu saja menyepakinya. Tapi, apa peduli mereka? Bagi mereka, kekejaman dan penyiksaan diri sesungguhnya adalah saat tak ada apa pun yang bisa mereka sepak. Lagi pula, kekejaman itu rupanya berujung bahagia. Tak ingin kepala Pak Ogah atau Pak Raden menjadi korban berikutnya dari anak-anak brutal itu, kepala sekolah TK akhirnya memutuskan untuk menyediakan beberapa buah bola plastik berukuran sekepal.

Pucuk dicinta ulam tiba....

Dengan bola yang lebih mendekati bentuk sebenarnya, Isnan dan kawan-kawan justru menggila. Mereka main bola kapan pun mereka sempat. Tak hanya pada sore hari bersama mereka yang bermain di halaman, Isnan dan komplotannya juga melakukan pada saat menjelang masuk sekolah, saat istirahat, atau sesaat setelah bubaran, atau bahkan pada jam pelajaran—jika ibu guru sedang lengah atau tidak di tempat. Tak puas bermain di antara mereka sendiri, mereka memaksa adik-adik kelas mereka, yang berumur antara 3 hingga 5, untuk menjadi lawan tanding mereka. Tentu saja tim itu tak berlawan. Tidak saja karena di TK itu mereka adalah murid-murid laki-laki paling besar dan kemampuan menyepak bola yang lebih baik, tapi juga merekalah pemegang peraturan pertandingan.

Maka, setelah melewati sebuah rapat (yang sejauh itu merupakan rapat terpenting dalam hidup dan karir mereka), mereka memutuskan untuk mencari lawan tanding yang lebih kuat. Yang ada dalam pikiran mereka adalah menantang murid-murid TK Negeri di seberang jalan—sebuah sekolah kanak-kanak yang lebih baik, yang beranda dan halamannya dipenuhi oleh lebih banyak wahana permainan, dan karena itu tak memberi ruang terlalu banyak untuk murid-muridnya bermain sepakbola. Pada jam istirahat bocah-bocah nekat itu menyeberang jalan dan mengoarkan tantangannya. Namun, hingga waktu yang telah mereka tentukan, perwakilan dari sekolah seberang tak muncul meladeni tantangan itu. Tentu saja mereka marah. Namun, niscaya rasa banggalah yang paling besar mereka rasakan. Tanpa berpikir bahwa bisa jadi tantangan itu tak benar-benar jelas untuk si lawan, keenam bocah itu menafsir bahwa ketidakdatangan sang tertantang menandakan bahwa si penantang bukan saja tim yang tak terkalahkan tapi juga tim yang menakutkan. Karena itu, tanpa mernimbang lebih panjang, pada sebuah sore yang agak rusuh, mereka menantang murid madrasah kelas satu—bekas kakak kelas mereka di TK.

Pada mulanya, tantangan nekat itu belum berani mereka pilih. Bocah-bocah kelas 1 Ibtidaiyah, bagaimanapun, jelas lebih besar dari mereka. Juga lebih berpengalaman tentu saja. Beberapa dari mereka sudah mendapat tempat untuk bermain secara teratur di halaman sekolah. Namun, tampaknya keadaan telah membuat mereka mengikis pertimbangan-pertimbangan dan segala keseganan itu. Pada sore yang ramai, halaman itu dihadiri terlalu banyak bocah. Itu membuat bocah-bocah kelas satu yang biasanya dapat tempat-tempat sisa, entah sebagai kiper, atau sekadar sebagai pemain pelengkap jumlah, sore itu tersingkir ke pinggir. Tak mau jadi penonton, mereka mengincar koridor sekolah, di mana sekarang Isnan dan kawan-kawannya tengah menggembleng diri. Karena tak membawa bola, mereka juga mengincar bola sekepal milik bekas adik-adik kelasnya itu. Tapi, yang terjadi berikutnya tentu tak semudah itu. Tim yang hendak mereka gusur dan mereka rebut bolanya adalah sebuah tim juara (paling tidak, menurut anggapan tim itu sendiri). Setelah sebuah adu mulut yang tak begitu berimbang, para agresor itu kemudian menyepakati sebuah tantangan: dua tim bertanding untuk memperebutkan koridor itu; siapa yang kalah harus cari tempat lain atau jadi penonton. Sebuah tantangan yang, menurut para agresor, hanya dilakukan oleh mereka yang telah terdesak, yang tak lebih dari cara konyol untuk menyerah secara terhormat.

Yang terjadi beberapa puluh menit kemudian bukanlah penyerahan secara terhormat, melainkan kehancuran yang memalukan. Namun, kehancuran memalukan itu untuk pihak penyerang. Bukan hasil yang mengejutkan, bukan? Jika ada pengamat sepakbola yang melakukan analisis atas pertandingan itu, akan gampang menyimpulkan bahwa Isnan dkk. mungkin tidak unggul di teknik dan kekuatan, tapi mereka memiliki semangat dan kerjasama tim yang jauh lebih baik dari lawannya. Meski mulai mencicipi level sepakbola yang lebih tinggi, tim kelas 1 terlalu sering menjadi cadangan, dan itu berpengaruh kurang baik bagi mental mereka, juga kerja sama mereka sebagai tim. Sebaliknya, tim TK justru tengah kompak-kompaknya, serta berada pada puncak kepercayaan diri, setelah lawan yang mereka tantang sebelumnya tidak berani datang.

Status tak terkalahkan membuat mereka mulai menjadi angkuh. Tim itu mulai mereka padan-padankan dengan tim sepakbola terbaik di dunia dan menyama-nyamakan diri mereka sendiri dengan para pemain pujaan. Mengingat mereka adalah anak-anak yang besar di Lerok, yang belum berlistrik dan langka pesawat televisi, dan dengan demikian membuat mereka memperoleh terlalu sedikit berita dan cerita tentang sepakbola dunia, tim-tim dan nama-nama yang mereka catut terdengar agak aneh dan tidak lazim di kuping penggemar sepakbola. Maka, bukannya Argentina, bukan pula Belanda, atau Jerman, atau Brazil, mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Perserok versi kecil. Dan catat, mereka tak mengubah nama-nama mereka menjadi Maradona, atau Haesler, atau Klinsman, atau Gullit, atau van Basten, atau bahkan Ricky Yacob atau Hermansyah. Mereka tanpa sungkan memakai nama Mu’ad, Nasikul, Jabal, atau Masrokan untuk diri mereka. “Ayo, tendang Bal, Jabal!” begitu jika sang penyerang memanggil Isnan, si bek. “Ah, Nasikul payah. Tinggal cocor saja tak masuk,” demikian serapah untuk Kacung, sang penyerang, jika gagal memanfaatkan peluang. “Oper, Ad!” itu biasanya teriakan untuk Salim, yang biasa bermain di tengah. Sementara “Tangkap, Kan!” biasa diteriakkan kepada Wakid, si kiper. Agung, yang cara bermainnya agak aneh, bermain di belakang namun terlalu sering maju ke depan, yang menolak memakai nama pemain-pemain Perserok atau nama siapa pun, karena merasa ia merasa tak satu pun pemain di dunia ini yang cara bermainnya seperti dia. Sementara Muslim, yang mengikuti perkembangan sepakbola di luar sana lebih baik dari teman-temannya (ia memiliki televisi dan rajin mendengar siaran pandangan mata di radio), dengan bangga menyebut dirinya Subangkit, sama dengan sang poroshalang Persebaya.

Namun, puncak keangkuhan itu terjadi saat bocah-bocah yang masih beberapa bulan lagi menginjak usia SD itu dengan semena-mena menantang anak-anak Ibtidaiyah kelas 2. Tantangan itu berisi: 1) main 6 lawan 6; 2) tempat di halaman sekolah; 3) waktu, antara jam pulang TK (10 pagi) hingga jam masuk Ibtidaiyah (13 siang).

Keajaiban tak selalu datang. Tim yang penuh kesombongan, yang lupa mengukur diri itu, yang bahkan tak merasa perlu untuk mengganti seragam putih-biru mereka dengan baju bermain, akhirnya dibantai oleh kakak-kakak kelas jauh mereka. Jangan tanya skor. Dilihat dari betapa tak seorang pun dari mereka yang bisa mengingat jumlahnya, sudah cukup menjelaskan banyaknya gol yang mereka derita.

Tambahan pula, mereka tak hanya kena batunya, tapi juga kena bencana. Bola plastik sekepal yang biasa mereka pakai bermain, yang sebenarnya properti sekolah itu, pecah berantakan setelah diinjak dengan sengaja oleh sang pemenang. “Kalian biasa main dengan bola pecah, bukan?” demikian kata sang pemenang sambil menyeringai pergi. Mereka mungkin tak memikirkan akan mengganti bola sekolah itu, namun jelas mereka akan pusing untuk mencari bola yang bisa mereka pakai pada hari-hari yang akan datang. Tak hanya sampai itu, tim itu pun babak belur dalam arti yang sebenar-benarnya. Salim harus pulang dengan pincang, karena tulang keringnya bengkak kena gasak. Kacung harus dipapah karena telapak kakinya melepuh. Isnan lebih parah, bahkan dalam kesulitan besar. Pada sebuah usaha sleding yang sia-sia, celana sekolah yang dipakainya ambrol jahitan selangkangannya, hingga berubah menjadi rok dan tak lagi bisa dipakai untuk selama-lamanya. Jelas itu sebuah bencana. Sebab, dalam keluarga Tarmidi—nanti kita akan segera tahu—ambrolnya selangkangan celana sekolah (seperti halnya sandal jepit putus, atau buku tulis sobek, atau uang saku hilang) bukanlah perkara sepele.

(Bersambung...)

Related Posts:

0 Response to "BEK: Sebuah Novel (Bag. 3)"

Posting Komentar