Boxing Day Ala Mentawai

Oleh Darmanto Simaepa


Di bawah langit Desember ujung yang selalu muram dan murung, pesepakbola amatir di Kepulauan Mentawai akan bertempur memperebutkan bola di lapangan yang becek dan penuh lumpur. Saat badai basah angin selatan membawa air langit menghantam permukaan bumi dan menjadikan lapangan seperti kolam dangkal setinggi mata kaki, setiap pemain tetap bertarung dengan penuh semangat dan melibatkan emosi. Di pinggir lapangan, tim cadangan dan penonton—sayangnya, semuanya laki-laki— untuk menghindari udara dingin, berdiri sambil merapatkan tangan ke dada dan melonjak-lonjak kegirangan.

Di hari-hari biasa, saat hujan deras datang, lapangan tidak akan semeriah ini. Atau paling tidak kalau lapangan mulai menggenang, pertandingan akan dihentikan. Lalu, orang-orang memilih untuk meringkuk di dalam selimut. Atau duduk santai di beranda rumah dengan sagu panggang atau roti kabin yang ditemani teh hangat atau secangkir kopi.

Perkecualian selalu dibutuhkan pada saat-saat tertentu. Di Mentawai, itu akan terjadi di hari-hari menjelang bergantinya tahun. Inilah suasana terbaik di gugusan pulau lepas pantai Sumatra itu. Sebuah pesta natal dan tahun baru yang digabung menjadi satu. Sebuah pesta yang tidak peduli dengan hantaman badai dan langit sendu. Gerimis tipis yang berangsur-angsur turun, bahkan kadang sepanjang hari, tidak akan menghalangi orang merasakan kehangatan nuansa dan kemeriahan pesta.

Sepanjang siang, tetangga akan saling berkunjung, memberi ucapan selamat dan saling memaafkan. Lagu-lagu natal yang syahdu diputar dalam nada riang. Rumah-rumah dihias dengan bunga-bunga sementara tempat ibadah didekor dengan pita, janur kuning, dan dicat ulang. Di petang hari, setiap orang memakai pakaian terbaik untuk pergi ke misa gereja.

Kue-kue disajikan di atas meja di setiap beranda. Bersama sirup dan bagi yang punya banyak uang, bir dingin, kue sampit, semprit, atau bawang menjadi menu wajibnya. Roti bolu panggang empuk dan marie kaleng yang legendaris akan menyempurnakan sentuhan pesta.

Pesta yang berlangsung hampir dua pekan akan semakin lengkap dengan pertandingan-pertandingan olahraga. Tentu saja, yang paling utama adalah kemeriahan sepakbola. Selepas pulang dari misa gereja, orang akan berkumpul bersama keluarga untuk makan siang dengan menu ayam gulai atau daging babi yang dibeli secara patungan. Setelah sebentar berangin-angin di teras rumah, menjelang sore, orang akan berkumpul di lapangan.

Sepakbola dimainkan sepekan secara penuh tanpa jeda. Di beberapa desa terpusat, yang jumlah penduduknya berlimpah, suasana pesta ini diwarnai kompetisi yang diikuti banyak tim yang dibentuk secara dadakan. Tim-tim dibagi menurut kategori spasial (dusun/desa) atau juga kategori umur—misalnya tim bujangan, pemuda berkeluarga, dan veteran yang umurnya lebih dari 40-an. Untuk merampatkan jadwal, kadang pertandingan dimainkan pagi atau siang hari.

Jika rejeki sedang bagus—proyek padat karya pemerintah datang mengalir, harga kopra dan kakao naik, atau ternak tidak diserang hama oiluk—beberapa desa mengundang tetangga dekat untuk datang berkompetisi sambil merayakan pesta natal dan tahun baru secara meriah. Makanan, minuman, akomodasi disedikan untuk tamu secara gratis dan disajikan dengan mewah. Atau ketika pejabat kecamatan atau anggota DPRD bermurah hati menggelontorkan beberapa belas juta rupiah uang pemerintah daerah untuk sebuah pesta natal bersama antar desa, kemeriahan akan terasa jauh menggema hingga ke lembah-lembah.

Sepakbola memainkan peranan yang penting dalam pesta akhir tahun ini. Nyanyian, drama, tari-menari, lelang kue dan pertunjukan lawak hanya bisa dilangsungkan hanya beberapa malam yang khusus. Pesta semalam suntuk, yang terkenal dengan sebutan Malam Gembira, hanya dilakukan 25 Desember dan 1 Januari. Sementara sepakbola dilangsungkan sepanjang siang, sepanjang hari, sepajang pekan.

Sepakbola melengkapi sebuah pesta besar. Tidak peduli usia, orang tua bermain dengan cucunya. Para veteran sama bergayanya dengan menantunya. Dan para lawan politik lokal bisa gencatan senjata saat menendang bola. Hadiah dari pemenangnya tidaklah seberapa dibandingkan dengan hilangnya tenaga. Piala bagi sang juara lazimnya adalah babi kecil seukuran 13 kg—kalau dirupiahkan seharga kurang lebih 200 ribu rupiah. Kadang tin pemenang mendapatkan kue bolu seukuran nampan kecil yang ditaburi lelehan coklat atau kacang diatas mentega. Hadiahnya akan diserahkan di gereja atau gedung pertemuan di saat Malam Gembira dan lekas habis dimakan bersama.

Ketika terlibat dalam suatu pesta, Anda tidak berpikir tentang menang atau kalah. Yang jauh dihargai dalam partisipasi bermain bola adalah setiap laki-laki yang sehat dan mampu berlari dapat terlibat dan terhubung dengan sebuah pesta besar setahun sekali. Badai, hujan deras, dan dingin hanyalah bagian menyenangkan dari kemeriahan ini.

*****

Tidak ada yang tahu pasti kapan sepakbola menjadi bagian penting dari pesta akhir tahun. Sampai akhir periode kolonial dan awal-awal tahun kemerdekaan, tidak ada lapangan sepakbola di Mentawai. Juga saya bayangkan, pesta-pesta natal belum semeriah ini. Gereja pertama dibangun di Pagai Selatan pada tahun 1930-an, tapi si pendeta Jerman hanya punya 2-3 pengikut setia. Para pastor di Siberut baru bisa mendirikannya pada akhir 1950-an. di masa-masa itu, tepung terigu dan cetakan roti belumlah dikenal dan orang masih sulit membedakan soda kue dan pasta gigi.

Munculnya kemeriahan pesta natal dan tahun baru dimulai pada paruh 1960-an ketika secara statistik, orang Mentawai secara perlahan dikonversi menjadi Kristiani—sebagian kecil memilih Islam. Gereja-gereja mulai dibangun secara serentak di dusun-dusun. Anak-anak dari kampung disekolahkan ke kota kecamatan dan sebagian dikirim ke Padang. Mereka tinggal di asrama Katolik, Protestan atau pondok pesantren untuk dididik dan diberi pelajaran.

Bersamaan dengan itu, pada tahun 1970-an, negara setengah memaksa penduduk Mentawai untuk tinggal di kampung buatan yang terpusat. Kampung ini akan dipimpin oleh kepala dusun dan secara administratif menjadi teknologi kepemerintahan. Di desa-desa yang diresmikan, orang Mentawai mudah dikontrol, diatur dan dilayani sebagai bagian dari republik. Penduduk Mentawai diberi rumah secara gratis dan lahan 2 ha. Campuran dari penyebaran agama dan kontrol negara telah menciptakan kampung-kampung, dalam istilah sosiolog Jerman Willfried Wagner, Parish Settlement. Sebuah pemukiman yang diwarnai dengan cita rasa keagamaan dan moralitas kepastoran.

Tapi ini hanyalah sebagain dari cerita yang lebih rumit.

Untuk urusan kemeriahan pesta, gereja hanya mengikuti dan meneruskan tradisi yang sudah menyejarah. Secara tradisi, orang Mentawai mengenal pesta atau Punen sebagai peristiwa sosial yang ditujukan untuk meningkatkan solidaritas dan menyatukan kelompok sosial (Uma) tertentu. Ada beberapa istilah penyebutan pesta di mentawai. Di pulau Siberut pesta disebut Puliajat/Lia. Di lembah Simatalu kadang disebut Muiring. Punen atau Lia ini sangat penting bagi kehidupan orang Mentawai.

Punen adalah suatu momen dimana manusia mengembalikan kondisi kesetimbangan dengan roh-roh yang ada di semesta dan alam raya. Lia adalah suatu momen dimana manusia hidup selaras dengan seisi alam raya dan peristiwa mereka terhubung secara spiritual dengan kekuata adi kodrati. Caranya? Mereka menghentikan kegiatan yang dipandang akan mengganggu kesetimbangan dan fokus pada menjaga harmonisasi dengan roh-roh yang ada di seluruh semesta.

Dengan takaran kasar, pesta ini hampirlah sama dengan selametan dalam tradisi Jawa. Pada saat itu seluruh anggota kelompok berkumpul dan beristirahat dari kerja. Tidak ada aktivitas berladang, merawat kelapa, mencari rotan atau menebang kayu. Dalam pesta ini, hewan-hewan peliharaan (babi, ayam) disembelih dan dagingnya dibagi-bagikan secara merata (otcai) kepada anggota kelompok. Pantangan dan tabu-tabu yang rumit dan keras diberlakukan sepanjang pesta. Orang tidak boleh minum air mentah, makan ketika kaki masih basah atau sambil berjalan, tidak boleh mengkonsumsi udang atau belut. Hubungan suami istri dilarang keras dan bagi tetua (sikebbukat), mereka dilarang mandi di sungai sambil membasahkan rambutnya—serta berderet pantangan lain.

Di akhir proses pesta, perburuan hewan di hutan (monyet, rusa, babi hutan) atau dilaut (penyu, dugong, keratang) dilakukan untuk menyempurnakannya. Sepanjang tahun, setiap Uma bersaing menyelenggarakan pesta-pesta yang paling meriah. Dari jumlah penyembelihan hewan peliharaan dan daging buruan yang dibagikan, setiap Uma beroleh prestise dan kejayaan.

Pesta-pesta dalam bentuknya yang masih tradisional mungkin telah musnah--setidaknya telah bertransformasi nenyesuaikan dengan perkembangan baru. Kampung yang dibuat pemerintah jauh dari ladang dan kandang babi. Di kampung, beternak babi dilarang sehingga kebiasaan beternak telah mengalami kemerosotan dibanding waktu-waktu lampau. Semakin hari, penduduk Siberut semakin terhubung dengan kekuasaan negara. Jual beli hasil hutan atau tanaman pertanian telah mengintegrasikan—sekaligus mengikat—mereka ke dalam perdagangan global dan membentuk mereka menjadi konsumen produk industri. Corak produksi tradisional telah bercampur dengan pertanian cengkeh, nilam, atau belakangan, tanaman kakao.

Jika ada yang hilang, tentu saja ada yang datang. Surplus dari ekstraksi gaharu atau rotan dan menjual minyak nilam dan cengkeh telah membuat mereka membeli beras, menyekolahkan anak, atau membeli televisi. Kepercayaan animistik digantikan iman terhadap Yesus dan Bunda Maria. Praktik-praktik perdukunan secara lambat mulai digantikan peran dokter lulusan pergeruan tinggi atau para bidan. Praktik-praktik agama lokal telah digantikan misa gereja dan rosario di akhir pekan. Sengketa-sengketa kini diselesaikan oleh kepala dusun atau kepala desa.

Di tengah adonan zaman dan kreatifitas aktornya, Punen dan Lia, secara cerdik dan sengaja ditransformasikan menjadi pesta natal dan tahun baru. Tentu saja, saya tidak mengatakan Punen tradisional telah lenyap. Di beberapa tempat Punen di Uma masih merupakan aspek penting dalam kehidupan sosial di Mentawai. Namun, Punen jauh lebih terasa lebih meriah dan menggema di hari-hari menjelang natal dan tahun baru.

Punen natal dan tahun baru tidak lagi mengintegrasikan satu Uma, tapi seluruh Kepulauan Mentawai. Identitas sebagai pemeluk ajaran Kristiani telah menyatukan orang yang berbeda asal-usul, keturunan, dan kelompok sosial di lembah-lembah yang terpisah menjadi identitas kolektif. Politik identitas semasa orde baru dan desentralisasi semakin mengukuhkan orang Mentawai sebagai komunitas yang dibayangkan tunggal.

Pemukiman yang terpusat bentukan pemerintah juga mampu mengintegrasikan kelompok-kelompok sosial yang berbeda—yang dulunya tinggal terpencar-pencar. Dengan semakin terhubung dalam proses bernegara, orang Mentawai semakin menautkan imajinasinya sebagai bagian dari komunitas yang jauh lebih besar.

Lalu dimana aspek sepakbolanya dalam cerita ini?

*****

Dulu, sarana untuk menunjukkan maskulinitas dan arena menempa diri sebagai laki-laki adalah berburu. Berburu adalah previlege laki-laki. Perburuan adalah aspek yang sangat penting dalam prosesi ritual Punen. Berhasil mendapat hewan buruan adalah sebentuk restu dari kekuatan adikodrati terhadap pesta yang diselenggarakan. Monyet, babi hutan, ular saba, rusa, dugong, penyu adalah hewan peliharaan roh-roh hutan dan laut. Jika orang berhasil berburu, berarti roh-roh didalam hutan, laut atau sungai memberikan hewan peliharaannya untuk manusia. Hasil yang pantas dalam berburu akan menyempurnakan sebuah pesta. Dengan mendapatkannya, pantangan boleh diakhiri dan kehidupan akan berjalan normal kembali.

Kampung buatan yang terpisah dari hutan dan kesibukan berladang tanaman komersial telah mengurangi kebiasaan berburu. Mengurus kelapa atau cengkeh di ladang mengalihkan waktu pergi ke hutan dan memanah hewan sasaran. Punen-punen besar juga semakin jarang diselenggarakan. Namun, mereka mendapat berkah dari pemukiman. Di setiap kampung, proyek pemukiman pemerintah menyediakan lapangan bola.

Lapangan inilah yang menggantikan fungsi hutan atau laut sebagai arena rekreasi bagi laki-laki. Di setiap akhir pekan, lapangan adalah panggung bagi kontes maskulinitas. Sebuah arena eksklusif yang diberikan untuk menunjukkan atribut yang pantas disematkan kepada laki-laki dewasa—kecepatan, kekuatan, ketahanan, kegesitan, kepintaran, kemenangan. Laki-laki yang paling dikagumi dilapangan adalah seseorang yang menendang bola paling keras, paling berani menerjang lawan, paling kuat beradu kaki, atau paling cepat lari.

Aspek-aspek kosmologis Punen mungkin telah bergeser tetapi fungsi sosialnya jelas masih bertahan. Dan tentu saja, prosesi ritualnya juga harus tetap dilanggengkan dalam bentuk yang berbeda seturut pergantian zaman. Transformasi Punen tradisional juga diikuti dengan perubahan dalam aspek penutupannya. Tidak ada yang lebih sempurna jika Punen natal dan tahun baru dengan pertandingan sepakbola sebagai upacara penutupannya--sama halnya ketika Punen tradisional harus diakhir dengan berburu ke hutan.

Lapangan dan Sepakbola memberi subtitusi dari kemeriahan berburu—sebagai arena yang ditujukan untuk menyempurnakan Punen tradisional. Sepakbola jauh lebih disukai—setidaknya jauh lebih sering dilakukan dan jauh lebih banyak orang melakukannya dibandingkan berburu. Lebih dari itu, sepakbola memberi kemungkinan dari transformasi dan pelestarian dari nilai-nilai dan praktek berburu. Orang mustilah menyadari mereka kehilangan keahlian membuat rou-rou (busur), meramu omae (racun), atau lari zig-zag diantara duri rotan, ngarai dan jurang. Tetapi orang mendapatkan kesenangan yang setara dengan memperlihatkan kemampuanya mengolah bola, mengecoh lawan, dan mencetak gol ke gawang.

Lebih dari itu, sepakbola memberikan sifat eksklusifnya bagi seluruh laki-laki yang berpesta. Seperti halnya bahwa pesta tidak lagi diselenggarakan secara eksklusif oleh Uma-Uma tertentu dan berburu hanya secara khusus bagi laki-laki anggota Uma itu, sepakbola bisa dimainkan oleh siapa saja di dusun sebagai cara untuk merayakan pesta dan kemeriahan secara bersama.

*****

Tidak ada sekotak hadiah atau selembar uang dari si kaya kepada si miskin di Mentawai—layaknya di Inggris dimana tradisi boxing day berasal. Bagi orang Mentawai, tidak ada jarak kemiskinan yang lebar antara satu orang dengan orang lainnya. Tidak ada tuan tanah dan para buruh yang bekerja kepada seorang majikan atau juragan. Tidak ada pita dan rasa kasihan. Setiap keluarga pasti memiliki ayam dan tentu saja mampu membeli daging babi dari tetangga. Mereka juga berlomba-lomba membuat agar-agar yang paling kenyal dan membeli roti kalengan—bahkan ketika harus menjual cengkeh atau tanahnya. Disini gengsi sosial untuk tidak mau dikalahkan memainkan peranan penting. Semua orang ingin terlibat dalam pesta dan menunjukkan antusiasme yang tinggi.

Yang lebih penting, boxing day ala Mentawai tidak hanya berlangsung sehari (mungkin untuk hal ini, saya perlu menciptakan istilah tersendiri: pekan gembira?:)). Puncaknya berlangsung lebih dari sepekan. Dari hari menjelang natal hingga usai tahun baru. Sepakbola kadang juga dimainkan setiap hari dalam lebih dari sepekan. Agar lebih semarak pertandingan dilakukan dengan sistem setengah kompetisi atau kalau waktunya cukup, dimainkan dalam format kompetisi penuh—yang terdiri dari 3-4 tim.

Festival ini memiliki kesamaan dengan pesta serupa Boxing Day karena memberi dimensi sekular dari tradisi religius yang utama. Ini adalah bentuk adaptasi masyarakat setempat terhadap pesan-pesan religius yang universal. Pesta akhir tahun ala Mentawai dimulai dari sejarah yang khusus dan dalam konteks yang spesifik. Namun, partikularitas ini membawa semangat universal pesta raya menjelang natal dan tahun baru. Ketegangan dan ekspresi universalitas dan partikularitas ala Mentawai ini mungkin setara dengan Idul Fitri bagi orang Jawa, Thanks Giving bagi orang Amerika atau St. Stephen Day di Irlandia. Tetangga terdekat diundang untuk bertanding menyanyi, bermain sepakbola, atau bermain voli.

Sepakbola mengisi celah aspek sekularitas dalam kemeriahan pesta yang didasari oleh perayaan religius. Aspek sekularitas ini memberi dimensi kesetimbangan bagi aspek spiritualitasnya. Saya tidak bisa membayangkan pesta natal dan tahun baru di Mentawai tanpa sepakbola. Sepakbola ditemukan, diciptakan, dan sekaligus datang sebagai berkah untuk melengkapi kesyahduan misa gereja. Sebuah akhir tahun paripurna yang diliputi suka cita, gembira, dan riang semata meskipun cuaca selalu buruk: hujan sepanjang hari dan badai mengamuk tak terkendali.

*****

Ini adalah natal pertama dalam 6 tahun bagi saya tidak berada di Mentawai. Langit Yogya sama kelabunya dengan langit Mentawai. Di rumah yang sedikit lengang dan berkapur di Sambilegi, ditengah deru hujan dan gelegar petir, bersama hidung gatal, demam dan meriang, saya menyaksikan MU menang 5-0 atas Wigan di pertandingan Boxing Day. Tentu saja saya bungah karena MU menyamai poin City pekan ini.

Namun, terasa ada yang hilang. Saya tidak merasakan kemeriahan pesta itu. Dan yang pasti, saya tidak menendang bola di tengah amukan badai. Atau merasakan aroma laki-laki di diantara lumpur, rumput, dan kubangan. Beberapa pesan dan suara dari teman lama di Siberut menambah tebal kerinduan. Ah, melankoli, kau datang kembali! Yeah, setidaknya belakanggawang sedikit menjadi pelepas lara.

Related Posts:

0 Response to "Boxing Day Ala Mentawai"

Posting Komentar